Nama
NIM
406138041
Fakultas
Kedokteran
Universitas
Tarumanagara
Tingkat
Bidang Pendidikan
Radiologi
Pembimbing
Pembimbing
BAB I
PENDAHULUAN
Radang usus besar (kolitis) adalah suatu peradangan kronis dari usus besar (colon). Colon adalah
bagian dari sistim pencernaan dimana sisa-sisa materi disimpan. Rektum adalah ujung (akhir)
dari colon yang berbatasan pada dubur (anus). Pada pasien-pasien dengan radang usus besar
terdapat gejala-gejala dari sakit perut, diare, dan perdarahan rektum.
Kolitis adalah suatu peradangan akut atau kronik pada kolon, yang berdasarkan penyebab dapat
diklasifikasikan sebagai berikut :
a. Kolitis
infeksi,
misalnya
: shigelosis,
kolitis tuberkulosa,
kolitis amebik,
Crohns kolitisradiasi,
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Selain itu, kolon mempunyai kripta lieberkuhn tapi tidak ber-vili. menghasilkan mucus (sel
epitelnya jarang mengandung enzim). Mucus mengandung ion bikarbonat yang diatur oleh
rangsangan taktil , langsung dari sel epitel dan oleh refleks saraf setempat terhadap sel mucus
Krista lieberkuhn. Rangsangan n. pelvikus dari medulla spinalis yang membawa persarafan
parasimpatis ke separuh sampai dua pertiga bagian distal kolon. Mucus juga berperan dalam
melindungi dinding kolon terhadap ekskoriasi, tapi selain itu menyediakan media yang lengket
untuk saling melekatkan bahan feses. Lebih lanjut, mucus melindungi dinding usus dari aktivitas
bakteri yang berlangsung dalam feses, ion bikarbonat yang disekresi ditukar dengan ion klorida
sehingga menyediakan ion bikarbonat alkalis yang menetralkan asam dalam feses. Mengenai
ekskresi cairan, sedikit cairan yang dikeluarkan melalui feses (100 ml/hari). Jumlah ini dapat
meningkat sampai beberapa liter sehari pada pasien diare berat
disebabkan produk kerja bakteri (indol, merkaptan, skatol, hydrogen sulfide). Komposisi tinja
relatif tidak terpengaruh oleh variasi dalam makanan karena sebagian besar fraksi massa feses
bukan berasal dari makanan. Hal ini merupakan penyebab mengapa selama kelaparan jangka
panjang tetap dikeluarkan feses dalam jumlah bermakna.
Defekasi
Sebagian besar waktu, rectum tidak berisi feses, hal ini karena adanya sfingter yang lemah 20
cm dari anus pada perbatasan antara kolon sigmoid dan rectum serta sudut tajam yang
menambah resistensi pengisian rectum. Bila terjadi pergerakan massa ke rectum, kontraksi
rectum dan relaksasi sfingter anus akan timbul keinginan defekasi. Pendorongan massa yang
terus menerus akan dicegah oleh konstriksi tonik dari 1) sfingter ani interni; 2) sfingter ani
eksternus
Refleks Defekasi. Keinginan berdefekasi muncul pertama kali saat tekanan rectum mencapai 18
mmHg dan apabila mencapai 55 mmHg, maka sfingter ani internus dan eksternus melemas dan
isi feses terdorong keluar. Satu dari refleks defekasi adalah refleks intrinsic (diperantarai sistem
saraf enteric dalam dinding rectum.
Ketika feses masuk rectum, distensi dinding rectum menimbulkan sinyal aferen menyebar
melalui pleksus mienterikus untuk menimbulkan gelombang peristaltic dalam kolon descendens,
sigmoid, rectum, mendorong feses ke arah anus. Ketika gelombang peristaltic mendekati anus,
sfingter ani interni direlaksasi oleh sinyal penghambat dari pleksus mienterikus dan sfingter ani
eksterni dalam keadaan sadar berelaksasi secara volunter sehingga terjadi defekasi. Jadi sfingter
melemas sewaktu rectum teregang
Sebelum tekanan yang melemaskan sfingter ani eksternus tercapai, defekasi volunter dapat
dicapai dengan secara volunter melemaskan sfingter eksternus dan mengontraksikan otot-otot
abdomen (mengejan). Dengan demikian defekasi merupakan suatu reflex spinal yang dengan
sadar dapat dihambat dengan menjaga agar sfingter eksternus tetap berkontraksi atau
melemaskan sfingter dan megontraksikan otot abdomen.
Sebenarnya stimulus dari pleksus mienterikus masih lemah sebagai relfeks defekasi, sehingga
diperlukan refleks lain, yaitu refleks defekasi parasimpatis (segmen sacral medulla spinalis). Bila
ujung saraf dalam rectum terangsang, sinyal akan dihantarkan ke medulla spinalis, kemudian
secara refleks kembali ke kolon descendens, sigmoid, rectum, dan anus melalui serabut
parasimpatis n. pelvikus. Sinyal parasimpatis ini sangat memperkuat gelombang peristaltic dan
merelaksasi sfingter ani internus. Sehingga mengubah refleks defekasi intrinsic menjadi proses
defekasi yang kuat
Sinyal defekasi masuk ke medula spinalis menimbulkan efek lain, seperti mengambil napas
dalam, penutupan glottis, kontraksi otot dinding abdomen mendorong isi feses dari kolon turun
ke bawah dan saat bersamaan dasar pelvis mengalami relaksasi dan menarik keluar cincin anus
mengeluarkan feses.
infeksi,
misalnya
: shigelosis,
kolitis tuberkulosa,
kolitis amebik,
Crohns kolitisradiasi,
Epidemiologi.
Prevalensi amebiasis diberbagai tempat sangat bervariasi, diperkirakan 10% populasi terinfeksi.
Prevalensi
tertinggi
di
daerah
tropis
(50-80%).
Manusia
merupakan host sekaligus reservoir utama. Penularannya lewat kontaminasi tinja ke makanan
dan minuman, dengan perantara lalat, kecoak, kontak interpersonal atau lewat hubungan seksual
anal-oral. Sanitasi lingkungan yang jelek. Penduduk yang padat dan kurangnya sanitasi
individual mempermudah penularannya.
Pasien yang asimtomatik tanpa adanya invasi jaringan, hanya mengeluarkan kista pada tinjanya.
Kista tersebut dapat bertahan hidup di luar tubuh manusia. Sedangkan pada pasien dengan
infeksi amuba akut/kronik yang invasif selain kista juga mengeluarkan trofozoit, namun
bentuk trofozoit tersebut tidak dapat bertahan lama diluar tubuh manusia.
Gejala klinis.
Gejala klinis pasien amebiasis sangat bervariasi, mulai dan asimtomatik sampai berat dengan
gejala klinis menyerupai kolitis ulseratif. Beberapa jenis keadaan klinis pasien amebiasis adalah
sebagai berikut :
1.
Carrier: ameba tidak mengadakan invasi ke dinding usus, tanpa gejala atau hanya keluhan
ringan seperti kembung, flatulensi, obstipasi, kadang-kadang diare. Sembilan puluh persen
pasien sembuh sendiri dalam waktu satu tahun, sisanya (10 %) berkembang menjadi kolitis
ameba.
2.
Disentri ameba ringan : kembung, nyeri perut ringan, demam ringan, diare ringan dengan
tinja berbau busuk serta bercampur darah dan lendir, keadaan umum pasien baik.
3.
Disentri ameba sedang : kram perut, demam, badan lemah, hepatomegali dengan nyeri
spontan.
4.
Disenti ameba berat : diare disertai banyak darah, demam tinggi, mual, anemia.
5.
Disentri ameba kronik : gejala menyerupai disentri ameba ringan diselingi dengan
periode
normal
tanpa
gejala,
berlangsung
berbulan-bulan
sampai
bertahun-
tahun, neurasthenia, serangan diare biasanya timbul karena kelelahan, demam atau
makanan yang sukar dicerna.
Penatalaksanaan.
1.
Karier asimtomatik.
Diberi obat yang bekerja di lumen usus (luminal agents) antara lain: Iodoquinol
(diiodohidroxyquin) 650 mg tiga kali per hari selama 20 hari atau Paromomycine 500 mg 3
kali sehari selama 10 hari.
2.
3.
Gejala klinis.
Masa tunas berkisar antara 7 jam sampai 7 hari. Pada dasarnya gejala klinis Shigeleosis
bervariasi. Lama gejala rerata 7 hari pada orang dewasa, namun dapat berlangsung sampai 4
minggu. Disentri basiler yang tidak diobati dengan baik dan berlangsung lama gejalanya
menyerupai kolitis ulserosa. Pada fase awal pasien mengeluh nyeri perut bawah, rasa
panas rektal, diare disertai demam yang bisa mencapai 40o C. selanjutnya diare berkurang tetapi
tinja masih mengandung darah dan lendir, tenesmus, dan nafsu makan menurun. Pada anak-anak
mungkin didapatkan demam tinggi dengan atau tanpa kejang, delirium, nyeri kepala, kaku kuduk
dan letargi.
Pengidap pasca infeksi pada umumnya berlangsung kurang dari 4 minggu. Walaupun jarang
terjadi telah dilaporkan adanya pengidap Shigella yang mengeluarkan kuman bersama feses
selama bertahun. Pengidap kronik tersebut biasanya sembuh sendiri dan dapat mengalami
gejala shifellosis yang intermiten.
Penatalaksanaan
1.
Mengatasi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit. Sebagian besar pasien disentri
dapat diatasi dengan rehidrasi oral. Pada pasien dengan diare berat, disertai dehidrasi dan
pasien yang muntah berlebihan sehingga tidak dapat dilakukan rehidrasi oral harus
dilakukan rehidrasiintravena.
2.
Dilaporkan bahwa pada daerah tertentu di Indonesia kuman Shigella telah banyak yang resisten
dengan antibiotik tersebut diatas sehingga diperlukan antibiotik lain seperti golongan kuinolon
dan sefalosporin generasi III terutama pada pasien dengan gejala klinik yang berat
1.
Pengobatan simtomatik. Hindari obat yang dapat menghambat motilitas usus seperti
narkotika dan derivatnya, karena dapat mengurangi eliminasi bakteri dan memprovokasi
terjadinya megakolon toksik. Obat simtomatik yang lain diberikan sesuai dengan keadaan
pasien antara lain analgetik-antipiretik dan antikonvulasi.
3. KOLITIS TUBERKULOSA
Infeksi kolon oleh kuman Mycobacterium tuberculosae.
Epidemiologi.
Lebih sering ditemukan di negara berkembang dengan penyakit tuberculosis yang masih menjadi
masalah kesehatan masyarakat.
Gejalaklinis.
Keluhan paling sering (pada 80-90% kasus) adalah nyeri perut kronik yang tidak khas. Dapat
terjadi diare ringan bercampur darah, kadang-kadang konstipasi, anoreksi, demam ringan,
penurunan berat badan atau teraba masa abdomen kanan bawah. Pada sepertiga kasus ditemukan
kuman pada tinja, tetapi pada pasien dengan tuberkulosis paru aktif adanya kuman pada tinja
mungkin hanya berasal dan kuman yang tertelan bersama sputum.
Penatalaksanaan.
Diperlukan kombinasi 3 macam atau lebih obat anti tuberculosis seperti pada pengobatan
tuberculosis paru, demikian pula lama pengobatan dan dosis obatnya. Kadang-kadang perlu
tindakan bedah untuk mengatasi komplikasi. Beberapa obat anti tuberculosis yang sering dipakai
adalah :
5. KOLITIS PSEUDOMEMBRAN
Kolitis
dengan
frekuensi
meningkat
dan
dapat
mengakibatkan
kematian.
Disebut pula sebagai kolitis terkait antibiotik oleh karena sering timbul akibat pertumbuhan
Clostridium difficile (C. difficile) akibat pemakaian antibiotika. Kolitis pseudomembran pertama
kali dilaporkan pada tahun 1893 disebabkan oleh karena Staphylococcus aureus, tetapi pada
tahun 1978 banyak kasus kolitis pseudomembran diakibatkan oleh toksin C. difficile. C. difficile
ditemukan 15-25% pada penderita dengan gejala asimptomatik, mendapat terapi antibiotika
sebelumnya dan orang dewasa yang MRS. 10% kasus antibiotika berhubungan diare adalah
kolitis pseudomembran. Usia lanjut mempunyai resiko tinggi untuk menderita kolitis
pseudomembran.
Kolitis pseudomembran berhubungan dengan pembentukan pseudomembran pada mukosa kolon.
Kolitis pseudomembran dapat terjadi pada minggu pertama pemakaian antibiotika atau terjadi
lebih 6 minggu setelah pemakaian antibiotika dihentikan. Pemakaian oral lebih sering
menimbulkan kolitis pseudomembran dibanding perenteral. Walaupun clindamysin dan
lincomycin berhubungan dengan kolitis pseudomembran, sebenarnya semua antibiotika dapat
mengakibatkan kolitis pseudomembran antara lain cephalosporin dan ampicillin oleh karena
pemakaian yang luas. Mortality rate penderita kolitis pseudomembran 1.1-3.5%
Etiologi
Kolitis
pseudomembran
sering
dihubungkan
dengan
penggunaan
antibiotika
yang
bakteri anaerobik tampaknya juga memegang peranan penting. Kuman tesebut menetap di kolon
dan
menghasilkan
toksin
yang
merusak
mukosa,
inflamasi
dan
sekresi
berbau busuk dan dapat disertai dengan sedikit darah, dengan frekuensi sering (10-20 kali/hari),
dan dapat terjadi ileus tetapi sangat jarang. Dapat disertai kram perut, demam dengan temperatur
tidak lebih dari 38C. Walaupun jarang dapat mengakibatkan manifestasi ekstraintestinal yaitu
oligoartritis dan iridosiklitis.
Diagnosis
Jika ditemukan pasien diare selama atau setelah menggunakan antibiotik perlu dipikirkan
terjadinya kolitis pseudomembran. Pemeriksaan laboratorium non spesifik berhubungan C.
difficile sebagai penyebab kolitis adalah lekositosis 15.000/mm3, hipoalbumin dan lekosit pada
feses. Diagnosis kolitis pseudomembran dapat cepat dibuat dengan mendeteksi toksin dalam
feses, hasil kultur positif dan melakukan pemeriksaan endoskopi. Karena pemeriksaan kultur C.
difficile kurang spesifik dikembangkan pemeriksaan enzyme immunoassay (EIA), latex
agglutination dan polymerase chain reaction. EIA dapat mendeteksi toksin A atau toksin A dan B,
banyak ahli menyukai test yang mendeteksi kedua toksin oleh karena beberapa kasus C. difficile
memproduksi hanya toksin A. Test sitotoksin feses memiliki sensitivitas 94-100% dan
spesivisitas 99%. Sebagai gold standard untuk diagnosis secara laboratorium adalah pemerikasan
sitotoksin, dengan mendeteksi toksin B pada feses. Test ini akan memberikan hasil positif jika
didapatkan sel pada kultur jaringan tampak pada feses cair, mengalami perubahan sitopatik.
Rekomendasi dari Society for Hospital Epidemiology and Infection Control (SHEA) untuk
deteksi C. difficile:
1) Test hanya feses diare kecuali jika ada ileus
2) jangan melakukan pemeriksaan atau mengobati kecuali jika ada penelitian epidemiologi
3) pemeriksaan feses hanya pada usia diatas 1 tahun
4) pemeriksaan yang disukai adalah kultur
5) EIA cocok sebagai alternatif pemeriksaan sitotoksik tetapi kurang sensitif
Plak pada kolitis pseudomembran tampak pada pemeriksaan endoksopi dan patologi anatomi.
Pada sebagian besar penderita kolitis pseudomembran yang dilakukan pemeriksaan
sigmoidoskopi fleksibel memberikan hasil positif diatas 90%, pada sebagian kecil penderita jika
penyakit terbatas pada proksimal kolon memerlukan pemeriksaan kolonoskopi. Inspeksi
langsung dengan endoskopi sebagian besar penderita dengan diare yang berhubungan dengan
pemakaian antibiotika ditemukan mukosa kolon dan rektum tampak normal atau menunjukan
inflamasi ringan. Penemuan ini dapat berupa perubahan nonspesifik berupa eritema, friability
dan edema sampai menunjukkan kelainan kolitis pseudomembran. Kolitis pseudomembran
merupakan suatu plak pseudomembran dengan ukuran antara 2-5 mm dan seringkali bergabung
menjadi bentuk besar, berupa pseudomembran putih kekuningan. Gambaran histologi dari lesi
bervariasi tergantung beratnya penyakit juga pada saat pengambilan biopsi dari jaringan, tapi
tidak berkorelasi dengan beratnya gejala klinik. Gambaran histologi dari biopsi kolitis
pseudomembran terdiri eksudat inflamatori berupa mukoid terdiri dari infiltrasi neutrofil
polimorfonuklear, eosinofil dan inti-inti. Pada lamina propria Menurut Price dan Davies ada 3
tipe lesi : Volcano, Glandular dan Mucosa necrosis.
Pemeriksaan radiologi meliputi foto polos abdomen, barium enema dan CT scan abdomen dapat
dilakukan untuk mendukung diagnosis kolitis pseudomembran. CT scan menunjukkan gambaran
cap jempol dari mukosa kolon yang menunjukkan edema mukosa tetapi perubahan ini tidak
spesifik untuk kolitis pseudomembran oleh karena C. difficile. Meskipun hasil CT scan tidak
berhubungan dengan beratnya penyakit dan hasil negatif tidak menyingkirkan diagnosis, tetapi
CT scan abdomen penting untuk penderita dengan kecurigaan kolitis pseudomembran
oleh karena peningkatan mortalitas akibat diagnosis yang ditegakkan dalam jangka waktu lama.
Komplikasi
Meningkatnya kesadaran penggunaan antibiotika penyebab kolitis pesudomembran dan
pemberian terapi awal kasus yang dicurigai kolitis pseudomembran mengakibatkan penurunan
komplikasi dan mortalitas. Akibat diare berkepanjangan mengakibatkan dehidrasi, gangguan
keseimbangan elektrolit, hipotensi dan protein loss dengan akibat hipoalbuminemia. Komplikasi
serius tapi jarang terjadi dari kolitis pseudomembran adalah kolitis fulminan dengan toksik
megakolon. Perforasi merupakan komplikasi yang mengakibatkan kematian tertinggi dari
komplikasi lainnya, terutama jika menyangkut beberapa lokasi, tetapi jarang terjadi.
Penatalaksanaan
Terapi pada kolitis pseudomembran meliputi: antibiotika yang diduga menjadi penyebab
dihentikan, terapi suportif non spesifik dan beberapa kasus diberikan antibiotika terhadap C.
difficile. Terapi suportif diberikan pada kasus ringan dan sedang. Terapi awal yang penting
adalah menghentikan penggunaan antibiotika yang diduga menyebabkan kolitis pseudomembran
atau minimal mengganti dengan antibiotika yang kecil kemungkinan untuk pertumbuhan C.
difficile, menghindari penggunaan obat yang mengganggu peristaltik (seperti narkotik dan
antidiare), mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit. Pada kasus berat penderita perlu
dirawat untuk rehidrasi secara intravena. Pada penderita tua dan kolitis pseudomembran yang
berat antibiotika empiris harus dimulai setelah dicurigai kolitis pseudomembranous. Pada kasus
gagal dengan terapi suportif dan antibiotika penyebab tidak dapat dihentikan, bisa
dipertimbangkann pemberian antibiotika khusus 7 sampai 10 hari bersama-sama pemberian
terapi suportif dan antibiotika penyebab dapat diganti lainnya jika memungkinkan. Terapi
spesifik didasarkan 3 pendekatan : penggunaan antibiotika efektif terhadap C difficile,
membersihkan toksin dari lumen kolon dengan pengikat resin atau menghidupkan kembali flora
normal.
Vancomycin dan metronidazole sering digunakan dan memberikan respon baik pada hampir
seluruh kasus. Metronidazole secara oral merupakan obat pilihan untuk terapi awal dengan dosis
250 mg 4 kali sehari atau 500 mg 2 kali sehari. Vancomycin direkomendasikan sebagai second
line therapy dengan dosis 125 mg 4 kali sehari, kedua antibiotika tersebut diberikan selama 1014 hari. Pemberian vancomycin secara oral memberikan kadar dalam kolon tinggi dan sensitif
terhadap semua strain C. difficile. Tetapi penggunaan metronidazole lebih disukai mengingat
harganya 20 kali lebih murah dibandingkan vancomycin. Pada penderita yang tidak
memungkingkan pemberian secara oral pemberian metronidazole intravena menjadi pilihan
dibandingkan vancomycin, hal ini disebabkan vancomycin tidak dapat diekskresikan ke dalam
kolon. Metronidazole intravena diberikan 500 mg tiap 6 jam. Cholestyramine dapat diberikan
untuk pengikatan toksin A dan B dari C. difficile, dengan maksud membersihkan toksin dari
lumen kolon. Cholestyramine dapat mengikat vancomycin sehingga diberikan 2 sampai 3 jam
sebelum atau sesudah pemberian vancomycin. Lactobacilli juga telah digunakan secara luas pada
penyakit diare seperti kolitis pseudomembran. Tindakan pembedahan diindikasikan pada
penderiita yang tidak respon dengan terapi medik atau kecurigaan perforasi kolon atau toxic
megacolon. Pembedahan diperlukan kurang lebih 0.4% kasus. Dua pertiga penderita dengan
toxic megacolon memerlukan tindakan pembedahan . Diare akan berkurang, suhu tubuh turun
dan perbaikan gejala klinis dalam 24-48 jam dan diare akan berhenti total dalam waktu 5 sampai
7 hari. Kultur C. difficile dan pemeriksaan toksin tetap positif dalam beberapa minggu dan
jangan disalahartikan sebagai kegagalan terapi jika diare membaik. Penderita yang tidak
membaik secara cepat perlu dipertimbangkan untuk diagnosa lain
Pencegahan
Paling penting untuk mencegah penyakit usus yang berhubungan dengan penggunaan antibiotika
adalah dengan menghindari penggunaan antibiotika jika tidak diperlukan. Jika telah terkena
penyakit tersebut dengan meminimalkan penyebarannya. Penyebaran secara nosokomial
merupakan hal serius sehingga isolasi tepat dan tindakan pencegahan harus diperhatikan
terutama pada penderita dengan diare. Disarankan pemakaian sarung tangan dan mencuci tangan
pada seseorang yang terlibat dalam perawatan penderita.
Sumber penularan C. difficile mungkin secara endogen jika penderita sebagai karier atau paling
sering didapat secara eksogen didapat secara nosokomial. Rekomendasi SHEA untuk mengontrol
C. difficile di rumah sakit dan perawatan yang lama :
1) Membatasi penggunaan antibiotika dedngan perhatian khusus untuk clindamycin
dan cephalosporin
2) cucitangan dengan sabun
3) memakai sarung tangan
4) membersihkan lingkungan terutama pada daerah dengan kasus infeksi C. difficile
5) isolasi pada penderita simptomatik khususnya yang inkontinensia feses pada ruangan khusus
6) menghindari penggunaan termometer rektal
Prognosis
Prognosis penderita kolitis pseudomembran adalah baik. Kecurigaan secara klinik dan
pengenalan tepat dari penyakit mendorong penghentian penggunaan antibiotika dan memulai
memberikan terapi spesifik jika merupakan indikasi. Progonis pada penderita dengan komplikasi
toxic megacolon dan perforasi kurang baik.
KOLITIS NON-INFEKSI
1. DEFINISI
Kolitis ulseratif adalah salah satu dari 2 jenis utama penyakit radang usus (IBD) ,
bersama dengan penyakit Crohn . Tidak seperti penyakit Crohn, yang dapat mempengaruhi
setiap bagian dari saluran pencernaan, kolitis ulseratif bersifat hanya melibatkan usus besar, dan
ileum terminal pada 10% pasien.
EPIDEMIOLOGI
Penyebaran penyakit kolitis ulseratif ini sama dengan penyakit chron. Banyak ditemukan
di negara barat dan sedikit di negara Asia dan Afrika. Akan tetapi akhir-akhir ini lebih banyak
kasus Crohn ditemukan di Indonesia, mungkin juga karena lebih banyak orang berobat ke dokter
dan adanya kemajuan di bidang teknik untuk diagnosa. Insidensi penyakit kolitis ulseratif di
Amerika Serikat kira-kira 15 per 100.000 penduduk secara respektif dan tetap konstan.
Prevalensi penyakit ini diperkirakan sebanyak 200 per 100.000 penduduk. Sementara puncak
kejadian penyakit tersebut adala usia 15-35 tahun, penyakit ini telah dilaporkan terjadi dalam
setiap dekade kehidupan.
Di RSCM tahun 2001 2006 terdapat 3,9% pasien yang terdeteksi dari 1541 pasien
yang dilakukan endoskopi, dan di RSGS tahun 2002 2006 terdapat 6,95% pasien yang
terdeteksi sebagai kolitis ulseratif dari 532 pasien yang dilakukan endoskopi.
ETIOLOGI
Sementara penyebab kolitis ulseratif tetap belum diketahui, gambaran tertentu
penyakit ini telah menunjukan beberapa kemungkinan penting. Hal ini meliputi faktor familial
atau genetik, infeksi, imunologik dan psikogenik. (Glickman RM, 2000)
Faktor familial/ genetik
Penyakit ini lebih sering dijumpai pada orang kulit putih dibandingkan orang kulit hitam
atau cina, dan insidensinya meningkat (3 sampai 6 kali lipat) pada orang Yahudi
dibandingkan dengan non Yahudi. Hal ini menunjukan bahwa dapat ada predisposisi
genetik terhadap perkembangan penyakit ini. (Glickman RM, 2000)
Faktor infeksi
Sifat radang kronik penyakit ini telah mendukung suatu pencarian terus menerus untuk
kemungkinan penyebab infeksi. Disamping banyak usaha untuk menemukan agen
bakteri, jamur, virus, belum ada yang sedemikian jauh diisolasi. Laporan awal isolat
varian dinding sel Pseudomonas atau agen lain yang dapat ditularkan yang dapat
menghadirkan efek sitopatik pada kultur jaringan masih harus dikonfirmasi.
Faktor imunologik
Teori bahwa mekanisme imun dapat terlibat didasarkan pada konsep bahwa manifestasi
ekstraintestinal yang dapat menyertai kelainan ini (misalnya artritis, perikolangitis) dapat
mewakili fenomena autoimun dan bahwa zat terapeutik tersebut, seperti glukokortikoid
atau azatioprin, dapat menunjukkan efek mereka melalui mekanisme imunosupresif. Pada
60-70% pasien dengan kolitis ulseratif, ditemukan adanya p-ANCA (perinuclear antineutrophilic cytoplasmic antibodies). Walaupun p-ANCA tidak terlibat dalam patogenesis
penyakit kolitis ulseratif, namun ia dikaitkan dengan alel HLA-DR2, di mana pasien
dengan p-ANCA negatif lebih cenderung menjadi HLADR4 positif.
Faktor psikologik
Gambaran psikologis pasien penyakit radang usus juga telah ditekankan. Tidak lazim
bahwa penyakit ini pada mula terjadinya, atau berkembang, sehubungan dengan adanya
stres psikologis mayor misalnya kehilangan seorang anggota keluarganya. Telah
dikatakan bahwa pasien penyakit radang usus memiliki kepribadian yang khas yang
membuat mereka menjadi rentan terhadap stres emosi yang sebaliknya dapat merangsang
atau mengeksaserbasi gejalanya.
Faktor lingkungan
Ada hubungan terbalik antara operasi apendiktomi dan penyakit kolitis ulseratif
berdasarkan analisis bahwa insiden penyakit kolitis ulseratif menurun secara signifikan
pada pasien yang menjalani operasi apendiktomi pada dekade ke-3. Beberapa penelitian
sekarang menunjukkan penurunan risiko penyakit kolitis ulseratif di antara perokok
dibandingkan dengan yang bukan perokok. Analisis meta menunjukkan risiko penyakit
kolitis ulseratif pada perokok sebanyak 40% dibandingkan dengan yang bukan perokok.
PATOGENESIS
Ada bukti aktivasi imun pada IBD, dengan infiltrasi lamina propria oleh limfosit,
makrofag, dan sel-sel lain, meskipun antigen pencetusnya belum jelas. Virus dan bakteri
telah diperkirakan sebagai pencetus, namun sedikit yang mendukung adanya infeksi spesifik
yang menjadi penyebab IBD. Hipotesis yang kedua adalah bahwa dietary antigen atau agen
mikroba non patogen yang normal mengaktivasi respon imun yang abnormal. Hasilnya suatu
mekanisme penghambat yang gagal. Pada tikus, defek genetik pada fungsi sel T atau
produksi sitokin menghasilkan respon imun yang tidak terkontrol pada flora normal kolon.
Hipotesis ketiga adalah bahwa pencetus IBD adalah suatu autoantigen yang dihasilkan oleh
epitel intestinal. Pada teori ini, pasien menghasilkan respon imun inisial melawan antigen
lumenal, yang tetap dan diperkuat karena kesam/aan antara antigen lumenal dan protein tuan
rumah. Hipotesis autoimun ini meliputi pengrusakan sel-sel epitelial oleh sitotoksisitas
seluler antibody-dependent atau sitotoksisitas cell-mediated secara langsung. (Price , 2005)
Imun respon cell-mediated juga terlibat dalam patogenesis IBD. Ada peningkatan sekresi
antibodi oleh sel monomuklear intestinal, terutama IgG dan IgM yang melengkapi komplemen.
Kolitis ulseratif dihubungkan dengan meningkatnya produksi IgG (oleh limfosit Th2) dan IgG,
sub tipe yang respon terhadap protein dan antigen T-cell-dependent. Ada juga peningkatan
produksi sitokin proinflamasi (IL-1, IL-6, IL-8 dan tumor necrosis factor- [TNF-], terutama
pada aktivasi makrofag di lamina propria. Sitokin yang lain (IL-10, TGF-) menurunkan imun
respon. Defek produksi sitokin ini menghasilkan inflamasi yang kronis. Sitokin juga terlibat
dalam penyembuhan luka dan proses fibrosis. Faktor imun yang lain dalam pembentukan
penyakit IBD termasuk produksi superoksida dan spesies oksigen reaktif yang lain oleh aktivasi
netrofil, mediator soluble yang meningkatkan permeabilitas dan merangsang vasodilatasi,
komponen kemotaksis netrofil lekotrien dan nitrit oksida yang menyebabkan vasodilatasi dan
edema.
KLASIFIKASI KOLITIS ULSERATIF
Klasifikasi kolitis ulseratif (Tabel 1) adalah:
a. Kolitis ulserosa dini aktif
Pada pemeriksaan endoskopik tampak mukosa rektum hipermia dan edema, erosif dan
ulserasif kecil. Gambaran histopatologi biopsi, menunjukkan kelainan kombinasi antara
erosi dan ulserasi. Kuantitas elemen kelenjar mukosa berkurang atau menghilang dan
vaskularisasi pada lamina propria bertambah. Pada kripta tampak mikroabses yang terdiri
dari kumpulan sel radang neutrofil dan limfosit. Mikroabses kemudian pecah dan proses
radang meluas pada submukosa.
b. Kolitis ulserosa kronik aktif
Pada tahap ini, terdapat lesi kombinasi radang aktif dan proses penyembuhan dengan
regenerasi mukosa. Mikroabses pada kripta jumlahnya berkurang atau menghilang, pada
lamina propria jaringan limfoid mengalami hiperplasia. Kelenjar mukosa mengalami
hiperplasia, muncul dalam bentuk psedopolip.
c. Kolitis Ulserosa Tenang
Pada stadium tenang, mukosa lebih tipis. Walaupun ada proses regenerasi kelenjar,
menonjol, akan tetapi vaskularisasi sudah berkurang. Bila kolitis ulserosa sudah
berlangsung lama, dapat dijumpai displasia atau prakanker. Itulah alasannya ulserosa
dianggap sebagai resiko tinggi untuk karsinoma kolon dan rektum.
Tabel 1. Klasifikasi kolitis ulseratif
Acute
Resolving
Chronic-healed
Stage
++
+
++
++
Stage
+
+
-
Stage
cell
Luminal pus
Basal plasma cell
Epithelial regeneration
Expantion of mitotic active
++
++
++
-
+
++
++
cell
Architectural distortion:
atrophy
branching
crypt shortening
villous surface
Metaplasia pyloric
Metaplasia Paneth cell
Lymphoid hyperplasia
Epithelial displacement
Increased mononucleous
++
Vascular congestion
Mucin depletion
Cryptitis, crypt abcess
Epithelial lost and ulcer
PMN, eosinophil and mast
++
++
++
++
++
++
++
++
++
++
++
GAMBARAN KLINIS
Gejala klinis yang paling dominan pada penderita kolitis ulseratf adalah sakit pada perut
dan diarrhea yang disertai pendarahan. Di samping itu dapat juga dijumpai anemia, kelelahan
(mudah lelah), kehilangan berat badan, pendarahan pada rektum, kehilangan nafsu makan,
kehilangan cairan tubuh dan gizi, lesi pada kulit dan radang sendi, pertumbuhan yang terganggu,
terutama anak-anak. Hanya sebagian pasien yang terdiagnosa dengan kolitis ulseratf yang
mempunyai gejala, yang lain kadang-kadang menderita demam, diarrhea dengan perdarahan,
nausea, rasa nyeri pada perut yang hebat. Kolitis ulseratf juga dapat menimbulkan gejala seperti
arthritis, radang pada mata (uveitis), hati (sclerossing cholangitis) dan osteoporosis. Hal ini tidak
dapat diketahui bagaimana bisa terjadi di luar dari kolon, tetapi para ahli berfikir komplikasi ini
dapat terjadi akibat pencetus dari peradangan yaitu sistem immune. Sebagian problem seperti ini
tidak jadi masalah jika kolitis dapat diobati. Ada pun organ yang terlibat pada kolitis ulseratif
seperti pada gambar dibawah ini.
Penyakit Crohn
Panintestinal
Skip-lesi dengan
intervening
mukosa normal
Peradangan
Transmural
Noncaseating
granuloma
Asca positif
setiap minggu. Berat ringannya serangan pertama sesuai dengan panjangnya kolon yang
terlibat. Lesi mukosa bersifat difus dan terutama hanya melibatkan lapisan mukosa. Secara
endoskopik penilaian aktifitas penyakit kolitis ulseratif relatif mudah dengan menilai gradasi
berat ringannya lesi mukosa dan luasnya bagian usus yang terlibat. Pada kolitis ulseratif,
terdapat reaksi radang yang secara primer mengenai mukosa kolon. Secara makroskopik,
kolon tampak berulserasi, hiperemik, dan biasanya hemoragik. Gambaran mencolok dari
radang adalah bahwa sifatnya seragam dan kontinu dengan tidak ada daerah tersisa mukosa
yang normal.
Tabel . Truelove and Witts classification of severity of ulcerative colitis
Activity
Mild
Moderate
Severe
<4
46
>6
Temperature (C)
Afebrile Intermediate
>37.8
Normal
Intermediate
>90
Haemoglobin (g/dl)
>11
10.511
<10.5
2030
>30
keterlibatan
kulit
(eritema
nodosum,
pioderma
gangrenosum),
dan
artralgia/artritis (periferal dan aksial artropati). Kolangitis sklerosing primer jarang dijumpai.
Gambaran Laboratorium
Temuan laboratorium seringkali nonspesifik dan mencerminkan derajat dan beratnya
perdarahan dan inflamasi. Bisa terdapat anemia yang mencerminkan penyakit kronik serta
defisiensi besi akibat kehilangan darah kronik. Leukositosis dengan pergeseran ke kiri dan
peningkatan laju endap darah seringkali terlihat pada pasien demam yang sakit berat.
Kelainan elektrolit, terutama hipokalemia, mencerminkan derajat diare. Hipoalbuminemia
umum terjadi dengan penyakit yang ekstensif dan biasanya mewakili hilangnya protein
lumen melalui mukosa yang berulserasi. Peningkatan kadar alkali fosfatase dapat
menunjukkan penyakit hepatobiliaris yang berhubungan.
Pemeriksaan kultur feses (patogen usus dan bila diperlukan, Escherichia coli
O157:H7), ova, parasit dan toksin Clostridium difficile negatif.
Pemeriksaan antibodi p-ANCA dan ASCA (antibodi Saccharomyces cerevisae
mannan) berguna untuk membedakan penyakit kolitis ulseratif dengan penyakit Crohn.
2.7.3 Gambaran Radiologi
1. Foto polos abdomen
Pada foto polos abdomen umumnya perhatian kita cenderung terfokus pada kolon.
Tetapi kelainan lain yang sering menyertai penyakit ini adalah batu ginjal, sakroilitis,
spondilitis ankilosing dan nekrosis avaskular kaput femur. Gambaran kolon sendiri terlihat
memendek dan struktur haustra menghilang. Sisa feses pada daerah inflamasi tidak ada,
sehingga, apabila seluruh kolon terkena maka materi feses tidak akan terlihat di dalam
abdomen yang disebut dengan empty abdomen. Kadangkala usus dapat mengalami dilatasi
yang berat (toxic megacolon) yang sering menyebabkan kematian apabila tidak dilakukan
tindakan emergensi. Apabila terjadi perforasi usus maka dengan foto polos dapat dideteksi
adanya pneumoperitoneum, terutama pada foto abdomen posisi tegak atau left lateral
decubitus (LLD) maupun pada foto toraks tegak.
Foto polos abdomen juga merupakan pemeriksaan awal untuk melakukan
pemeriksaan barium enema. Apabila pada pemeriksaan foto polos abdomen ditemukan
tanda-tanda perforasi maka pemeriksaan barium enema merupakan kontra indikasi.
2. Barium enema
Barium enema merupakan pemeriksaan rutin yang dilakukan apabila ada kelainan
pada kolon. Sebelum dilakukan pemeriksaan barium enema maka persiapan saluran cerna
merupakan pendahuluan yang sangat penting. Persiapan dilakukan selama 2 hari berturut-
turut dengan memakan makanan rendah serat atau rendah residu, tetapi minum air putih
yang banyak. Apabila diperlukan maka dapat diberikan laksatif peroral. (Marc D, 2011)
Pemeriksaan barium enema dapat dilakukan dengan teknik kontras tunggal (single
contrast) maupun dengan kontras ganda (double contrast) yaitu barium sulfat dan udara.
Teknik double contrast sangat baik untuk menilai mukosa kolon dibandingkan dengan
teknik single contrast, walaupun prosedur pelaksanaan teknik double contrast cukup sulit.
Barium enema juga merupakan kelengkapan pemeriksaan endoskopi atas dugaan pasien
dengan kolitis ulseratif.. Adapun gambaran kolitis pada pemeriksaan barium tampak pada
gambar.
Gambar : Pemeriksaan barium enema yang menunjukkan gambaran pipa pada Colitis
ulseratif (Adam, 2010)
Gambar : Gambaran colitis ulseratif stadium berat dimana haustra tidak terlihat hampir
menyeluruh di semua colon. (Adam, 2010)
Gambaran foto barium enema pada kasus dengan kolitis ulseratif adalah mukosa kolon
yang granuler dan menghilangnya kontur haustra serta kolon tampak menjadi kaku seperti
tabung. Perubahan mukosa terjadi secara difus dan simetris pada seluruh kolon. Lumen
kolon menjadi lebih sempit akibat spasme. Dapat ditemukan keterlibatan seluruh kolon.
Tetapi apabila ditemukan lesi yang segmental maka rektum dan kolon kiri (desendens)
selalu terlibat, karena awalnya kolitis ulseratif ini mulai terjadi di rektum dan menyebar ke
arah proksimal secara kontinu. Jadi rektum selalu terlibat, walaupun rektum dapat
mengalami inflamasi lebih ringan dari bagian proksimalnya.
Pada keadaan di mana terjadi pan-ulseratif kolitis kronis maka perubahan juga dapat
terjadi di ileum terminal. Mukosa ileum terminal menjadi granuler difus dan dilatasi,
sekum berbentuk kerucut (cone-shaped caecum) dan katup ileosekal terbuka sehingga
terjadi refluks, yang disebut backwash ileitis. Pada kasus kronis, terbentuk ulkus yang khas
yaitu collar-button ulcers. Pasien dengan kolitis ulseratif juga menanggung resiko tinggi
menjadi adenokarsinoma kolon.
3. Ultrasonografi (USG)
Pemeriksaan ultrasonografi sampai saat ini belum merupakan modalitas pemeriksaan
yang diminati untuk kasus-kasus IBD. Kecuali merupakan pemeriksaan alternatif untuk
evaluasi keadaan intralumen dan ekstralumen.
Sebelum dilakukan pemeriksaan USG sebaiknya pasien dipersiapkan saluran
pencernanya dengan menyarankan pasien untuk makan makanan rendah residu dan banyak
minum air putih. Persiapan dilakukan selama 24 jam sebelum pemeriksaan. Sesaat sebelum
pemeriksaan sebaiknya kolon diisi dulu dengan air.
Pada pemeriksaan USG, kasus dengan kolitis ulseratif didapatkan penebalan dinding
usus yang simetris dengan kandungan lumen kolon yang berkurang. Mukosa kolon yang
terlibat tampak menebal dan berstruktur hipoekhoik akibat dari edema. Usus menjadi kaku,
berkurangnya gerakan peristalsis dan hilangnya haustra kolon. Dapat ditemukan target
sign atau pseudo-kidney sign pada potongan transversal atau cross-sectional. Dengan USG
Doppler, pada kolitis ulseratif selain dapat dievaluasi penebalan dinding usus dapat pula
dilihat adanya hypervascular pada dinding usus tersebut.
4. CT-scan dan MRI
Kelebihan CT-scan dan MRI, yaitu dapat mengevaluasi langsung keadaan intralumen
dan ekstralumen. Serta mengevaluasi sampai sejauh mana komplikasi ekstralumen kolon
yang telah terjadi. Sedangkan kelebihan MRI terhadap CT-scan adalah mengevaluasi
jaringan lunak karena terdapat perbedaan intensitas (kontras) yang cukup tinggi antara
jaringan lunak satu dengan yang lain.
Gambaran CT-scan pada kolitis ulseratif, terlihat dinding usus menebal secara
simetris dan kalau terpotong secara cross-sectional maka terlihat gambaran target sign.
Komplikasi di luar usus dapat terdeteksi dengan baik, seperti adanya abses atau fistula atau
keadaan abnormalitas yang melibatkan mesenterium. MRI dapat dengan jelas
memperlihatkan fistula dan sinus tract-nya.
Gambaran Endoskopi
Pada dasarnya kolitis ulseratif merupakan penyakit yang melibatkan mukosa kolon
secara difus dan kontinu, dimulai dari rektum dan menyebar/progresif ke proksimal. Data
dari beberapa rumah sakit di Jakarta didapatkan bahwa lokalisasi kolitis ulseratif adalah 80%
pada rektum dan rektosigmoid, 12% kolon sebelah kiri (left side colitis), dan 8% melibatkan
seluruh kolon (pan-kolitis).
Pada kolitis ulseratif, ditemukan hilangnya vaskularitas mukosa, eritema difus,
kerapuhan mukosa, dan seringkali eksudat yang terdiri atas mukus, darah dan nanah.
Kerapuhan mukosa dan keterlibatan yang seragam adalah karakteristik. Sekali mukosa yang
sakit ditemukan (biasanya di rektum), tidak ada daerah mukosa normal yang menyela
sebelum batas proksimal penyakit dicapai. Ulserasi landai, bisa kecil atau konfluen namun
selalu terjadi pada segmen dengan kolitis aktif. Pemeriksaan kolonoskopik penuh dari kolon
pada kolitis ulseratif tidak diindikasikan pada pasien yang sakit akut. Biopsi rektal bisa
memastikan radang mukosa. Pada penyakit yang lebih kronik, mukosa bisa menunjukkan
penampilan granuler, dan bisa terdapat pseudopolip seperti pada gambar.
PERJALANAN KLINIK
Perjalanan klinis kolitis ulseratif bervariasi. Mayoritas pasien akan menderita relaps
dalam waktu 1 tahun dari serangan pertama, mencerminkan sifat rekuren dari penyakit.
Namun demikian, bisa terdapat periode remisi yang berkepanjangan hanya dengan gejala
minimal. Pada umumnya, beratnya gejala mencerminkan luasnya keterlibatan kolon dan
intensitas radang.
2.1 DIAGNOSIS DIFERENSIAL
Divertikulitis
Penyakit crohn
Polip colon
Gastroenteritis bakteri
Gastroenteritis viral
Pendarahan gastrointestinal bagian bawah
Colitis infeksi
Irritable bowel syndrome
Tuberkulosis usus
PENATALAKSANAAN
Karena kolitis ulserativa tidak dapat disembuhkan dengan pengobatan, tujuan
pengobatan dengan obat adalah untuk 1) menginduksi remisi, 2) mempertahankan remisi, 3)
Gambar : Algoritma rencana terapeutik kolitis ulseratif di pelayanan kesehatan lini pertama .
( Djojoningrat dkk, 2011)
a. Kortikosteroid Sistemik
Kortikosteroid ( Prednisone , prednisolone, hidrokortison, dll) telah digunakan
selama bertahun-tahun dalam pengobatan pasien dengan penyakit Crohn sedang sampai
parah dan kolitis ulseratif atau yang gagal untuk merespon dosis optimal 5-ASA. Berbeda
dengan senyawa 5-ASA, kortikosteroid tidak memerlukan kontak langsung dengan jaringan
usus yang meradang untuk menjadi efektif. Kortikosteroid oral adalah agen anti peradangan
yang kuat seluruh tubuh. Akibatnya, mereka digunakan dalam mengobati enteritis.
Pada pasien kritis, kortikosteroid intravena (seperti hydrocortisone) dapat diberikan
di rumah sakit. Kortikosteroid lebih cepat bertindak daripada senyawa 5-ASA. Pasien sering
mengalami perbaikan dalam gejala mereka dalam beberapa hari setelah pemberian
kortikosteroid dimulai.
Rencana bertindak diawali dengan : (a) memilih obat: secara konvensional,
prednison, metilprednisolon atau steroid enema masih menjadi pilihan yang sering karena
murah dan mudah dijangkau. Preparat Budesonide dipakai untuk memperoleh tujuan
konsentrasi steroid yang tinggi pada dinding usus, dengan efek sistemik (dan efek
sampingnya) yang rendah, khususnya pada pengobatan IBD di daerah ileum terminalis dan
colon ascendens baik dalam bentuk preparat oral lepas lambat ataupun enema. (b)
mempertimbangkan dosis. Dosis rata rata yang banyak digunakan untuk mencapai fase
remisi adalah setara dengan 40 60 mg prednison atau setara dengan prednisolon dengan
dosis 0,5 1,0 mg/KgBB. Tindakan terapi kemudian tappering off dose setelah remisi yang
tercapai dalam waktu 8-12 minggu.
mesalazine) lebih diutamakan dibanding mesalazine yang terikat molekul pembawa (carrir
molecule: sulfasalazine dan blasalazide), karena dapat dilepas lambat pada pH >5 (dalam
lumen usus halus/ ileum terminalisdan kolon proximal) serta lebih efektif dalam penggunaan
oral (coated) maupun rektal (foam-enema/suppository). (b) Dosis rata-rata 5-ASA untuk
mencapai remisi adalah 2-4 gram/hari. Setelah remisi tercapai yang umumnya setelah 16-24
minggu diberikan kemudian dosis pemeliharaan yang bersifat individual.Terapi jangka
panjang 5-ASA dapat pula mencegah karsinoma kolorektal dengan cara apoptosis dan
menurunnya proliferasi mukosa kolorektal pada IBD.
c. Immunomodulators
Immunomodulators adalah obat-obat yang melemahkan sistem kekebalan tubuh.
Pada pasien dengan penyakit Crohn dan kolitis ulceratif, bagaimanapun, sistem kekebalan
tubuh secara abnormal dan kronis diaktifkan. Immunomodulators mengurangi peradangan
jaringan dengan mengurangi populasi sel kekebalan tubuh dan / atau dengan mengganggu
produksi protein yang mempromosikan aktivasi kekebalan dan peradangan. Contoh
Immunomodulators
termasuk
azathioprine,
6-mercaptopurine
(6-MP), siklosporin,
dan methotrexate.
Azathioprine atau metabolit aktifnya 6-MP, memerlukan waktu pemberian 2-3 bulan
sebelum memperlihatkan efek terapeutiknya. Umumnya sebagai introduktor/ substituensi
pada kasus kasus steroid dependent atau refrakter. Umumnya dosis initial 50 mg sampai
tercapai efikasi substitusi, kemudian dinaikan bertahap 2,5 mg/kgbb untuk Azathioprine atau
1,5 mg/kgbb untuk 6-MP. Efek samping yang sering timbul adalah nausea dan dispepsia,
leukopenia, limfoma, hepatitis, dan pankreatitis.
d. Pembedahan
Kolitis toksik merupakan suatu keadaan gawat darurat. Segera setelah terdeteksi atau
bila terjadi ancaman megakolon toksik, semua obat anti-diare dihentikan, penderita
dipuasakan, selang dimasukan ke dalam lambung atau usus kecil dan semua cairan, makanan
dan obat-obatan diberikan melalui pembuluh darah.
Pasien diawasi dengan ketat untuk menghindari adanya peritonitis atau perforasi.
Bila tindakan ini tidak berhasil memperbaiki kondisi pasien dalam 24-48 jam, segera
dilakukan pembedahan, dimana semua atau hampir sebagian besar usus besar diangkat.
Jika didiagnosis kanker atau adanya perubahan pre-kanker pada usus besar, maka
pembedahan dilakukan bukan berdasarkan kedaruratan. Pembedahan non-darurat juga
dilakukan karena adanya penyempitan dari usus besar atau adanya gangguan pertumbuhan
pada anak-anak. Alasan paling umum dari pembedahan adalah penyakit menahun yang tidak
sembuh-sembuh, sehingga membuat penderita tergantung kepada kortikosteroid dosis tinggi.
Pengangkatan seluruh usus besar dan rektum, secara permanen akan menyembuhkan kolitis
ulserativa.
Penderita hidup dengan ileostomi (hubungan antara bagian terendah usus kecil
dengan lubang di dinding perut) dan kantong ileostomi. Prosedur pilihan lainnya
adalah anastomosa ileo-anal, dimana usus besar dan sebagian besar rektum diangkat, dan
sebuah reservoir dibuat dari usus kecil dan ditempatkan pada rektum yang tersisa, tepat
diatas anus.
KOMPLIKASI
1. Perdarahan, merupakan komplikasi yang sering menyebabkan anemia
kekurangan zat besi.Pada 10% penderita, serangan pertama sering menjadi
karena
berat,
Toksik,
terjadi
kerusakan
pada
seluruh
ketebalan
dinding
usus.
Kerusakan ini menyebabkan terjadinya ileus, dimana pergerakan dinding usus terhenti,
sehingga isi usus tidak terdorong di dalam salurannnya. Perut tampak menggelembung.
Usus besar kehilangan ketegangan ototnya dan akhirnya mengalami pelebaran. Rontgen
perut akan menunjukkan adanya gas di bagian usus yang lumpuh. Jika usus besar sangat
melebar, keadaannya disebut megakolon toksik. Penderita tampak sakit berat dengan
demam yang sangat tinggi. Perut terasa nyeri dan jumlah sel darah putih meningkat.
Dengan pengobatan efektif dan segera, kurang dari 4% penderita yang meninggal. Jika
perlukaan ini menyebabkan timbulnya lubang di usus (perforasi), maka resiko kematian
akan meningkat.
3. Kanker Kolon (Kanker Usus Besar). Resiko kanker usus besar meningkat pada orang
yang
menderita
kolitis
ulserativa
yang
lama
dan
berat.
Resiko tertinggi adalah bila seluruh usus besar terkena dan penderita telah mengidap
penyakit ini selama lebih dari 10 tahun, tanpa menghiraukan seberapa aktif penyakitnya.
Dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan kolonoskopi (pemeriksaan usus besar) secara
teratur, terutama pada penderita resiko tinggi terkena kanker, selama periode bebas
gejala. Selama kolonoskopi, diambil sampel jaringan untuk diperiksa dibawah
mikroskop. Setiap tahunnya, 1% kasus akan menjadi kanker. Bila diagnosis kanker
ditemukan pada stadium awal, kebanyakan penderita akan bertahan hidup.
PROGNOSIS
Remisi pada 10%; eksaserbasi intermiten sebanyak 75%; penyakit aktif berlanjut
sebanyak 10%.
LAPORAN KASUS
ANAMNESA
1. Identitas
Nama
Jenis Kelamin
Usia
Tanggal Lahir
Alamat
Pekerjaan
Pendidikan
Agama
Status Pernikahan
No.Reg CM
Tanggal Masuk
Ruangan
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
Tn. R
Laki - laki
27 th
18/04/1988
Jl. Lintang trenggono V no 5, Pedurungan.
SMA
ISLAM
Belum Menikah
273402
28/07/2015
Arimbi (15)
Pasien datang ke IGD RSUD Kota Semarang dengan keluhan sejak 1,5 bulan yang lalu
BAB bercampur darah segar dan kadang bercampur lendir. Konsistensi tinja kecil kecil
dan padat. Pasien mengatakan ketika BAB tidak hanya BAB bercampur darah tapi
darah segar dapat mengalir. Dalam 1 hari pasien bisa BAB >7x yang selalu disertai darah
segar maupun darah bercampur lendir. Mual (-), muntah (-), mules (+), BAK tidak ada
keluhan. Pola makan pasien kurang makan serat dan sayur-sayuran.
4. Riwayat Penyakit Dahulu :
1 tahun lalu pasien didiagnosa menderita hemmoroid dan disarankan untuk dilakukan
operasi tapi pasien menolak untuk dioperasi. Pasien mengaku hemoroidnya sekarang
sudah sembuh dengan pengobatan herbal.
5. Riwayat Penyakit Keluarga :
Tidak ada keluarga yang mengalami keluhan yang sama seperti pasien
6. Riwayat Sosial Ekonomi :
Biaya ditanggung oleh BPJS NON PBI.
7. Pemeriksaan Fisik :
Keadaan umum :
o Kesadaran kompos mentis, GCS E4 V5 M6 (15),tampak sakit sedang
o Tanda Vital :
Tekanan darah
: 110/80 mmHg
Nadi
: 84x/menit
Laju nafas
: 20x/menit
Suhu
: 36,7 derajat celsius
o Data antropometri :
Berat badan : 60 kg
Tinggi badan : 170cm
IMT
: 20,76 (normal menurut IMT Asia Pasifik)
Pemeriksaan sistematis :
o Kepala : bentuk dan ukuran normal, tidak teraba benjolan, rambut, dan
kulit kepala normal.
o Mata : palpebra superior et inferior, dex et sin tidak tampak edema /
cekung, konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), pupil bulat, isokor,
ukuran 3 mm, refleks cahaya + / +
o Telinga : bentuk normal, nyeri tekan tragus (-), nyeri tarik aurikel (-),
liang telinga D/S lapang, serumen (-), sekret (-)
o Hidung : bentuk normal, sekret (-)
o Mulut : perioral sianosis (-), bibir kering (-), lidah kotor (-), mukosa
dinding faring tidak hiperemis.
Karbohidrat
Lemak
:+
:+
: 15,4 g/dl
: 5,05 %
: 8,3/uL
: 242 10^3/ul
: 100 mg/dl
: 14,0 mg/dl
: 29 U/ L
: 15 U/ L
: 0,9 mg/dl
: 136 mmol/L
: 3,5 mmol/L
: 1,18 mmol/L
(12,0-16,0)
(35-47%)
(4,8-10,8/uL)
(150-40010^3/ul)
(70-105 mg/dl)
(15-43 mg/dl)
< 31
< 31
(0,7-1,1 mg/dl)
(134-147 mmol/L)
(3,5-5,2 mmol/L)
(1,12-1,32 mmol/L)
Eritrosit
Amoeba
Lekosit
Bakteri
Jamur
: 4-5
:+
: 8-10
:+
:+
RESUME
Telah diperiksa seorang laki laki berumur 27 tahun yang datang ke IGD dengan keluhan BAB
bercampur darah segar, kadang berlendir, dan darah segar kadang mengalir ketika BAB.
Konsistensi tinja: kecil-kecil dan padat. Dalam 1 hari pasien bisa BAB >7x. riwayat penyakit
dahulu pasien mengaku 1 tahun yang lalu didiagnosis menderita hemmoroid dan disarankan
untuk dilakukan operasi tapi pasien menolak dan pasien mengatakan sekarang hemmoroid pasien
sudah sembuh.
TATALAKSANA
IVFD RL 20tpm
Sulcolon 2x1 tab
Kotrimoksazol 3x1 tab
PROGNOSIS
1. Ad vitam
2. Ad functionam
3. Ad sanationam
: bonam
: bonam
: bonam
DAFTAR PUSTAKA
Moore, Keith L.2002.Anatomi Klinis Dasar. Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta
Fleshman, James W.Schwartzs. 1999. Principles of Surgery ed.7th. New York :
Mc Graw-Hill
Ariestina, Dina Aprilia.2008. Kolitis Ulseratif ditinjau dari aspek etiologi, klinik,
dan patogenesa. Universitas Sumatra Utara : Medan
Http//: www. digilib-usu.ac.id
Colitis Ischemic ( http://www.mayoclinic.com/health/ischemic-colitis/)
Colitis (www.e-medicine.com/colitis/article_em)
Sudoyo, Aru W.dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Penerbit FKUI : Jakarta
Way, Laurance W, Gerard M. Doherty. 2003. Current Surgical Diagnosis &
Treatment, Eleventh Edition. McGraw-Hill Companies : USA
Sabbiston, David C. 1995. Essentials of Surgery. Philadelphia
Kumar, Cotran, Robin. 2004. Buku ajar patologi edisi 7. Penerbit buku kedokteran
EGC. Jakarta.
Ganong W. F. 19.. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 17. Jakarta : EGC
Guyton A. C, Hall J. E. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta : EGC.
Bartlett JG. (2002). Pseudomembranous enterocolitis and antibiotic associated diarrhea. In :
Gastrointestinal and liver disease Pathophysiology. Diagnosis/Management. Ed. Feldman M,
Friedman LS, Sleisenger MH. 7th ed. WB Saunders, Philadelphia, p 1914.
Bartlett JG. (2002). Antibiotic-Associated Diarrhea. NEJM 346 (5),334.
Borriello SP. (1998). Pathogenesis of Clostridium difficile in infection. Journal of Antimicrobial
Chemotherapy 41 (Suppl. C), 13.
Brazier JS. (1998). The diagnosis of Clostridium difficile-associated disease. Journal of
Antimicrobial Chemotherapy 41 (Suppl.C), 29
Fasano A. (2002). Toxins and the gut : role in human disease.Gut 50 (Suppl III), iii9.
Gronczewski CA, Katz JP. (2003). Clostridium Defficile Colitis. E Medicine J
http//www.eMedicine.com/med/htm.