Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN

KOLITIS

Oleh :
ARIF MAULANA
2016200008

DIII KEPERAWATAN FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS


SAINS AL-QURAN JAWA TENGAH DI WONOSOBO
KOLITIS

A. Anatomi Fisiologi

Fungsi utama kolon adalah (1) absorbsi air dan elektrolit dari kimus untuk
membentuk feses yang padat dan (2) penimbunan bahan feses sampai dapat dikeluarkan.
Setengah bagian proksimal kolon berhubungan dengan absorbsi dan setengah distal kolon
berhubungan dengan penyimpanan. Karena sebagai 2 fungsi tersebut gerakan kolon
sangat lambat. Tapi gerakannya masih seperti usus halus yang dibagi menjadi gerakan
mencampur dan mendorong.

Gerakan Mencampur “Haustrasi”.

Gerakan segmentasi dengan konstriksi sirkular yang besar pada kolon, ± 2.5 cm
otot sirkular akan berkontraksi, kadang menyempitkan lumen hampir tersumbat. Saat
yang sama, otot longitudinal kolon (taenia koli) akan berkontraksi. Kontraksi gabungan
tadi menyebabkan bagian usus yang tidak terangsang menonjol keluar (haustrasi). Setiap
haustrasi mencapai intensitas puncak dalam waktu ±30 detik, kemudian menghilang 60
detik berikutnya, kadang juga lambat terutama sekum dan kolon asendens sehingga
sedikit isi hasil dari dorongan ke depan. Oleh karena itu bahan feses dalam usus besar
secara lambat diaduk dan dicampur sehingga bahan feses secara bertahap bersentuhan
dengan permukaan mukosa usus besar, dan cairan serta zat terlarut secara progresif
diabsorbsi hingga terdapat 80-200 ml feses yang dikeluarkan tiap hari.

Gerakan Mendorong “Pergerakan Massa”.

Banyak dorongan dalam sekum dan kolon asendens dari kontraksi haustra yang
lambat tapi persisten, kimus saat itu sudah dalam keadaan lumpur setengah padat. Dari
sekum sampai sigmoid, pergerakan massa mengambil alih peran pendorongan untuk
beberapa menit menjadi satu waktu, kebanyakan 1-3 x/hari gerakan.

Selain itu, kolon mempunyai kripta lieberkuhn tapi tidak ber-vili. menghasilkan mucus
(sel epitelnya jarang mengandung enzim). Mucus mengandung ion bikarbonat yang
diatur oleh rangsangan taktil , langsung dari sel epitel dan oleh refleks saraf setempat
terhadap sel mucus Krista lieberkuhn. Rangsangan n. pelvikus dari medulla spinalis yang
membawa persarafan parasimpatis ke separuh sampai dua pertiga bagian distal kolon.
Mucus juga berperan dalam melindungi dinding kolon terhadap ekskoriasi, tapi selain itu
menyediakan media yang lengket untuk saling melekatkan bahan feses. Lebih lanjut,
mucus melindungi dinding usus dari aktivitas bakteri yang berlangsung dalam feses, ion
bikarbonat yang disekresi ditukar dengan ion klorida sehingga menyediakan ion
bikarbonat alkalis yang menetralkan asam dalam feses. Mengenai ekskresi cairan, sedikit
cairan yang dikeluarkan melalui feses (100 ml/hari). Jumlah ini dapat meningkat sampai
beberapa liter sehari pada pasien diare berat

Absorpsi dalam Usus Besar

Sekitar 1500 ml kimus secara normal melewati katup ileosekal, sebagian besar air dan
elektrolit di dalam kimus diabsorbsi di dalam kolon dan sekitar 100 ml diekskresikan
bersama feses. Sebagian besar absorpsi di pertengahan kolon proksimal (kolon
pengabsorpsi), sedang bagian distal sebagai tempat penyimpanan feses sampai akhirnya
dikeluarkan pada waktu yang tepat (kolon penyimpanan)

Absorbsi dan Sekresi Elektrolit dan Air.

Mukosa usus besar mirip seperti usus halus, mempunyai kemampuan absorpsi aktif
natrium yang tinggi dan klorida juga ikut terabsorpsi. Ditambah taut epitel di usus besar
lebih erat dibanding usus halus sehingga mencegah difusi kembali ion tersebut, apalagi
ketika aldosteron teraktivasi. Absorbsi ion natrium dan ion klorida menciptakan gradien
osmotic di sepanjang mukosa usus besar yang kemudian menyebabkan absorbsi air

Dalam waktu bersamaan usus besar juga menyekresikan ion bikarbonat (seperti
penjelasan diatas) membantu menetralisir produk akhir asam dari kerja bakteri didalam
usus besar
Kemampuan Absorpsi Maksimal Usus Besar

Usus besar dapat mengabsorbsi maksimal 5-8 L cairan dan elektrolit tiap hari sehingga
bila jumlah cairan masuk ke katup ileosekal melebihi atau melalui sekresi usus besar
melebihi jumlah ini akan terjadi diare.

Kerja Bakteri dalam kolon.

Banyak bakteri, khususnya basil kolon, bahkan terdapat secara normal pada kolon
pengabsorpsi. Bakteri ini mampu mencerna selulosa (berguna sebagai tambahan nutrisi),
vitamin (K, B₁₂, tiamin, riboflavin, dan bermacam gas yang menyebabkan flatus di dalam
kolon, khususnya CO₂, H₂, CH₄)

Komposisi feses.

Normalnya terdiri dari ³⁄₄ air dan ¹⁄₄ padatan (30% bakteri, 10-20% lemak, 10-20%
anorganik, 2-3% protein, 30% serat makan yang tak tercerna dan unsur kering dari
pencernaan (pigmen empedu, sel epitel terlepas). Warna coklat dari feses disebabkan oleh
sterkobilin dan urobilin yang berasal dari bilirubin yang merupakan hasil kerja bakteri.
Apabila empedu tidak dapat masuk usus, warna tinja menjadi putih (tinja akolik). Asam
organic yang terbantuk dari karbohidrat oleh bakteri merupakan penyebab tinja menjadi
asam (pH 5.0-7.0). Bau feses disebabkan produk kerja bakteri (indol, merkaptan, skatol,
hydrogen sulfide). Komposisi tinja relatif tidak terpengaruh oleh variasi dalam makanan
karena sebagian besar fraksi massa feses bukan berasal dari makanan. Hal ini merupakan
penyebab mengapa selama kelaparan jangka panjang tetap dikeluarkan feses dalam
jumlah bermakna.

Defekasi

Sebagian besar waktu, rectum tidak berisi feses, hal ini karena adanya sfingter yang
lemah ±20 cm dari anus pada perbatasan antara kolon sigmoid dan rectum serta sudut
tajam yang menambah resistensi pengisian rectum. Bila terjadi pergerakan massa ke
rectum, kontraksi rectum dan relaksasi sfingter anus akan timbul keinginan defekasi.
Pendorongan massa yang terus menerus akan dicegah oleh konstriksi tonik dari 1)
sfingter ani interni; 2) sfingter ani eksternus

Refleks Defekasi. Keinginan berdefekasi muncul pertama kali saat tekanan rectum
mencapai 18 mmHg dan apabila mencapai 55 mmHg, maka sfingter ani internus dan
eksternus melemas dan isi feses terdorong keluar. Satu dari refleks defekasi adalah
refleks intrinsic (diperantarai sistem saraf enteric dalam dinding rectum.

Ketika feses masuk rectum, distensi dinding rectum menimbulkan sinyal aferen
menyebar melalui pleksus mienterikus untuk menimbulkan gelombang peristaltic dalam
kolon descendens, sigmoid, rectum, mendorong feses ke arah anus. Ketika gelombang
peristaltic mendekati anus, sfingter ani interni direlaksasi oleh sinyal penghambat dari
pleksus mienterikus dan sfingter ani eksterni dalam keadaan sadar berelaksasi secara
volunter sehingga terjadi defekasi. Jadi sfingter melemas sewaktu rectum teregang

Sebelum tekanan yang melemaskan sfingter ani eksternus tercapai, defekasi volunter
dapat dicapai dengan secara volunter melemaskan sfingter eksternus dan
mengontraksikan otot-otot abdomen (mengejan). Dengan demikian defekasi merupakan
suatu reflex spinal yang dengan sadar dapat dihambat dengan menjaga agar sfingter
eksternus tetap berkontraksi atau melemaskan sfingter dan megontraksikan otot abdomen.

Sebenarnya stimulus dari pleksus mienterikus masih lemah sebagai relfeks


defekasi, sehingga diperlukan refleks lain, yaitu refleks defekasi parasimpatis (segmen
sacral medulla spinalis). Bila ujung saraf dalam rectum terangsang, sinyal akan
dihantarkan ke medulla spinalis, kemudian secara refleks kembali ke kolon descendens,
sigmoid, rectum, dan anus melalui serabut parasimpatis n. pelvikus. Sinyal parasimpatis
ini sangat memperkuat gelombang peristaltic dan merelaksasi sfingter ani internus.
Sehingga mengubah refleks defekasi intrinsic menjadi proses defekasi yang kuat

Sinyal defekasi masuk ke medula spinalis menimbulkan efek lain, seperti mengambil
napas dalam, penutupan glottis, kontraksi otot dinding abdomen mendorong isi feses dari
kolon turun ke bawah dan saat bersamaan dasar pelvis mengalami relaksasi dan menarik
keluar cincin anus mengeluarkan feses.
B. Definisi
Kolitis userasi merupakan seuatu pernyakit kronisdimana terjadi peradangan dan
ulserasi (luka erosive )pada usus besar sehingga timbul serangan-serangan pernyakit ,
berupa diare berdarah, kram perut, dan demam gangguan ini meningkatkan resiko
terjadinya kanker usus besar di kemudian hari.
Colitis ulseratif bisa terjadi pada berbagai usia , tetapi biasanya sebelum usia 30 th, rata-
rata antara usia 14-24 tahun.ada juga beberapa orang baru mengalami serangan pada usia
antara 50-70 (David B, 2013)

C. Etiologi
Sementara penyebab kolitis ulseratif tetap tidak diketahui, gambaran tertentu
penyakit ini telah menunjukkan beberapa kemungkinan penting. Hal ini meliputi faktor
familial atau genetik, infeksi, imunologik dan psikologik.
1. Faktor familial/genetik
Penyakit ini lebih sering dijumpai pada orang kulit putih daripada orang
kulit hitam dan orang Cina, dan insidensinya meningkat (3 sampai 6 kalilipat)
pada orang Yahudi dibandingkan dengan orang non Yahudi. Hal ini menunjukkan
bahwa dapat ada predisposisi genetik terhadap perkembangan penyakit ini.
2. Faktor infeksi
Sifat radang kronik penyakit ini telah mendukung suatu pencarian terus
menerus untuk kemungkinan penyebab infeksi. Di samping banyak usaha untuk
menemukan agen bakteri, jamur, atau virus, belum ada yang sedemikian jauh
diisolasi. Laporan awal isolat varian dinding sel Pseudomona satau agen yang
dapat ditularkan yang menghasilkan efek sitopatik pada kultur jaringan masih
harus dikonfirmasi.

3. Faktor imunologik
Teori bahwa mekanisme imun dapat terlibat didasarkan pada konsep
bahwa manifestasi ekstraintestinal yang dapat menyertai kelainan ini (misalnya
artritis, perikolangitis) dapat mewakili fenomena autoimun dan bahwa zat
terapeutik tersebut, seperti glukokortikoid atau azatioprin, dapat menunjukkan
efek mereka melalui mekanisme imunosupresif. Pada 60-70% pasien dengan
kolitis ulseratif, ditemukan adanya p-ANCA (perinuclear anti-neutrophilic
cytoplasmic antibodies). Walaupun p-ANCA tidak terlibat dalam patogenesis
penyakit kolitis ulseratif, namun ia dikaitkan dengan alel HLA-DR2, di mana
pasien dengan p-ANCA negative lebih cenderung menjadi HLA-DR4 positif.

4. Faktor psikologik
Gambaran psikologis pasien penyakit radang usus juga telah ditekankan.
Tidak lazim bahwa penyakit ini pada mulaterjadinya, atau berkembang,
sehubungan dengan adanya stres psikologis mayor misalnya kehilangan seorang
anggota keluarganya. Telah dikatakan bahwa pasien penyakit radang usus
memiliki kepribadian yang khas yang membuat mereka menjadi rentan terhadap
stres emosi yang sebaliknya dapat merangsang atau mengeksaserbasi gejalanya.
5. Faktor lingkungan
Ada hubungan terbalik antara operasi apendiktomi dan penyakit kolitis
ulseratif berdasarkan analisis bahwa insiden penyakit kolitis ulseratifmenurun
secara signifikan pada pasien yang menjalani operasi apendiktomi pada dekade
ke-3. Beberapa penelitian sekarang menunjukkan penurunan risiko penyakit
kolitis ulseratif di antara perokok dibandingkan dengan yang bukan perokok.
Analisis meta menunjukkan risiko penyakit kolitis ulseratif pada perokok
sebanyak 40% dibandingkan dengan yang bukan perokok.
D. MANIFESTASI KLINIS
Kebanyakan gejala Colitis ulserativa pada awalnya adalah berupa buang air besar
yang lebih sering. Gejala yang paling umum dari kolitis ulseratif adalah sakit perut dan
diare berdarah. Pasien juga dapat mengalami:
1. Anemia
2. Fatigue/ Kelelahan
3. Berat badan menurun
4. Hilangnya nafsu makan
5. Hilangnya cairan tubuh dan nutrisi
6. Lesi kulit (eritoma nodosum)
7. Lesi mata (uveitis)
8. Nyeri sendi
9. Kegagalan pertumbuhan (khususnya pada anak-anak)
10. Buang air besar beberapa kali dalam sehari (10-20 kali sehari)
11. Terdapat darah dan nanah dalam kotoran.
12. Perdarahan rektum (anus).
13. Rasa tidak enak di bagian perut.
14. Mendadak perut terasa mulas.
15. Kram perut.
16. Sakit pada persendian.
17. Rasa sakit yang hilang timbul pada rectum
18. Anoreksia
19. Dorongan untuk defekasi
20. Hipokalsemia
Sekitar setengah dari orang-orang didiagnosis dengan kolitis ulseratif memiliki
gejala-gejala ringan. Lain sering menderita demam, diare, mual, dan kram perut yang
parah. Kolitis ulseratif juga dapat menyebabkan masalah seperti radang sendi, radang
mata, penyakit hati, dan osteoporosis. Tidak diketahui mengapa masalah ini terjadi di luar
usus. Para ilmuwan berpikir komplikasi ini mungkin akibat dari peradangan yang dipicu
oleh sistem kekebalan tubuh. Beberapa masalah ini hilang ketika kolitis diperlakukan.
Presentasi klinis dari kolitis ulserativa tergantung pada sejauh mana proses
penyakit. Pasien biasanya hadir dengan diare bercampur darah dan lendir, dari onset
gradual. Penyakit ini biasanya disertai dengan berbagai derajat nyeri perut, dari
ketidaknyamanan ringan untuk sangat menyakitkan kram.
Kolitis ulseratif berhubungan dengan proses peradangan umum yang mempengaruhi
banyak bagian tubuh. Kadang-kadang terkait ekstra-gejala usus adalah tanda-tanda awal
penyakit, seperti sakit, rematik lutut pada seorang remaja. Kehadiran penyakit ini tidak
dapat dikonfirmasi, namun, sampai awal manifestasi usus.

E. Patofisiologi
Lesi patologis awal adalah terbatas pada lapisan mukosa dan terdiri atas
pembentukan abses dalam kriptus. Pada permulaan penyakit, terjadi udema dan kongesti
mukosa. Udema dapat mengakibatkan kerapuhan yang hebat sehingga terjadi perdarahan
dari trauma yang ringan, seperti gesekan ringan pada permukaan. Pada stadium penyakit
yang lebih lanjut, abses kriptus pecah melewati di dinding kriptus dan menyebar dalam
lapisan mukosa, menimbulkan terowongan dalam mukosa. Mukosa kemudian terkelupas
dalam lumen usus, meninggalkan daerah yang tidak diliputi mukosa (tukak). Pertukakan
mula-mula tersebar dan dangkal, tetapi pada stadium lebih lanjut permukaan mukosa
yang hilang luas sekali mengakibatkan banyak kehilangan jaringan, protein dan darah
Pada kondisi yang fisiologis system imun pada kolon melindungi mukosa kolon dari
gesekan dengan feses saat akan defekasi, tetapi karena aktifitas imun yang berlebihan
pada colitis maka system imunnya malah menyerang sel-sel dikolon sehingga
menyebabkan terjadi ulkus.

Ulkus terjadi di sepanjang permukaan dalam (mukosa) kolon atau rectum yang
menyebabkan darah keluar bersama feses. Darah yang keluar biasanya bewarna merah,
karena darah ini tidak masuk dalam proses pencernaan tetapi darah yang berasal dari
pembuluh darah didaerah kolon yang rusak akibat ulkus. Selain itu ulkus yang lama ini
kemudian akan menyebabkan peradangan menahun sehingga terbentuk pula nanah (pus).
Ulkus dapat terjadi pada semua bagian kolon baik, pada sekum, kolon ascenden, kolon
transversum maupun kolon sigmoid. Akibat ulkus yang menahun maka terjadilah
perubahan bentuk pada kolon baik secara mikroskopik ataupun makroskopik

F. Pathway
G. Komplikasi

1. Perdarahan
Merupakan komplikasi yang sering menyebabkan anemia karena kekurangan zat
besi. Pada 10% penderita, serangan pertama sering menjadi berat, dengan perdarahan
yang hebat, perforasi atau penyebaran infeksi.
2. Kolitis Toksik
Terjadi kerusakan pada seluruh ketebalan dinding usus. Kerusakan ini
menyebabkan terjadinya ileus, dimana pergerakan dinding usus terhenti, sehingga isi
usus tidak terdorong di dalam salurannnya. Perut tampak menggelembung. Usus besar
kehilangan ketegangan ototnya dan akhirnya mengalami pelebaran. Rontgen perut
akan menunjukkan adanya gas di bagian usus yang lumpuh. Jika usus besar sangat
melebar, keadaannya disebut megakolon toksik. Penderita tampak sakit berat dengan
demam yang sangat tinggi. Perut terasa nyeri dan jumlah sel darah putih meningkat.
Dengan pengobatan efektif dan segera, kurang dari 4% penderita yang meninggal. Jika
perlukaan ini menyebabkan timbulnya lubang di usus (perforasi), maka resiko
kematian akan meningkat.
2. Kanker Kolon (Kanker Usus Besar).
Resiko kanker usus besar meningkat pada orang yang menderita kolitis
ulserativa yang lama dan berat. Resiko tertinggi adalah bila seluruh usus besar
terkena dan penderita telah mengidap penyakit ini selama lebih dari 10 tahun,
tanpa menghiraukan seberapa aktif penyakitnya. Dianjurkan untuk melakukan
pemeriksaan kolonoskopi (pemeriksaan usus besar) secara teratur, terutama
pada penderita resiko tinggi terkena kanker, selama periode bebas gejala.
Selama kolonoskopi, diambil sampel jaringan untuk diperiksa dibawah
mikroskop. Setiap tahunnya, 1% kasus akan menjadi kanker. Bila diagnosis
kanker ditemukan pada stadium awal, kebanyakan penderita akan bertahan
hidup.

Seperti halnya penyakit Crohn, kolitis ulserativa juga dihubungkan dengan


kelainan yang mengenai bagian tubuh lainnya.
Bila kolitis ulserativa menyebabkan kambuhnya gejala usus, penderita juga
mengalami:
- peradangan pada sendi (artritis)
- peradangan pada bagian putih mata (episkleritis)
- nodul kulit yang meradang (eritema nodosum) dan
- luka kulit biru-merah yang bernanah (pioderma gangrenosum).

Bila kolitis ulserativa tidak menyebabkan gejala usus, penderita masih bisa
mengalami :
- peradangan tulang belakang (spondilitis ankilosa)
- peradangan pada sendi panggul (sakroiliitis) dan
- peradangan di dalam mata (uveitis).

Meskipun penderita kolitis ulserativa sering memiliki kelainan fungsi hati,


hanya sekitar 1-3% yang memiliki gejala penyakit hati ringan sampai berat.

Penyakit hati yang berat bisa berupa:


- peradangan hati (hepatitis menahun yang aktif)
- peradangan saluran empedu (kolangitis sklerosa primer), yang menjadi sempit
dan terkadang menutup, dan
- penggantian jaringan hati fungsional dengan jaringan fibrosa (sirosis).

Peradangan pada saluran empedu bisa muncul beberapa tahun sebelum gejala
usus dari kolitis ulserativa timbul dan akan meningkatkan resiko kanker saluran
empedu.
H. PENATALAKSANAAN MEDIS
Tindakan medis untuk colitis ulseratif ditujukan untuk mengurangi inflamasi,
menekan respon imun, dan mengistirahatkan usus yang sakit, sehingga
penyembuhan dapat terjadi.
1. Penatalaksanaan secara umum
a. Pendidikan terhadap keluarga dan penderita.
b. Menghindari makanan yang mengeksaserbasi diare.
c. Menghindari makanan dingin, dan merokok karena keduanya dapat
meningkatkan motilitas usus.
d. Hindari susu karena dapat menyebabkan diare pada individu yang intoleransi
lactose.
2. Terapi Obat.
Obat- obatan sedatife dan antidiare/ antiperistaltik digunakan untuk mengurangi
peristaltic sampai minimum untuk mengistirahatkan usus yang terinflamasi.
a. Menangani Inflamasi : Sulfsalazin (Azulfidine) atau
Sulfisoxazal (Gantrisin).
b. Antibiotic : Digunakan untuk infeksi.
c. Azulfidin : Membantu dalam mencegah
kekambuhan.
d. Mengurangi Peradangan : Kortikosteroid (Bila kortikosteroid
dikurangi/ dihentikan, gejala penyakit dapat berulang. Bila kortikosteroid
dilanjutkan gejala sisa merugikan seperti hipertensi, retensi cairan, katarak,
hirsutisme (pertumbuhan rambut yang abnormal).

3. Psikoterapi :
Ditujukan untuk menentukan faktor yang menyebabkan stres pada pasien,
kemampuan menghadapi faktor- faktor ini, dan upaya untuk mengatasi konflik
ehingga mereka tidak berkabung karena kondisi mereka.
I. Pengkajian

Identitas Pasien :

Nama :

Umur :

Jenis kelamin :

Pendidikan :

Agama :

Alamat :

II. Identitas Penanggung Jawab

Nama :

Umur :

jenis kelamin :

pendidikan :

agama :

alamat :

III. Riwayat Penyakit Sekarang

DO : Fatigue (+), anoreksia(+), weakness (+)


DS : Klien mengatakan sudah diare selama 2 minggu, 5 hari terakhir terdapat darah
dan lendir pada feses, perut terasa nyeri di kuadran kiri bawah.

VI. Riwayat Penyakit Dahulu;

Klien mengatakan pernah mengalami penyakit seperti ini setengah tahun yang lalu.

V. Riwayat Penyakit Keluarga

IV. Aktifitas Sehari-hari

1. Pemeriksaan Fisik

 Inspeksi
 Auskultasi
 Palpasi
 Perkusi

2. Pemeriksaan Laboratorium / Data Penunjang

 Sebuah hitung darah lengkap dilakukan untuk memeriksa anemia; Trombositosis,


tinggi platelet count, kadang-kadang terlihat
 Elektrolit studi dan tes fungsi ginjal dilakukan, sebagai kronis diare dapat
berhubungan dengan hipokalemia, hypomagnesemia dan pra-gagal ginjal.
 Tes fungsi hati dilakukan untuk layar untuk keterlibatan saluran empedu: kolangitis
sclerosing utama.
 X-ray
 Urine
 Bangku budaya, untuk menyingkirkan parasit dan menyebabkan infeksi.
 Tingkat sedimentasi eritrosit dapat diukur, dengan tingkat sedimentasi yang tinggi
menunjukkan bahwa proses peradangan hadir.
 C-reactive protein dapat diukur, dengan tingkat yang lebih tinggi menjadi indikasi
lain peradangan.
 Sumsum tulang : Menurun secara umum pada tipe berat/setelah proses inflamasi
panjang.
 Alkaline fostase : Meningkat, juga dengan kolesterol serumdan hipoproteinemia,
menunjukkan gangguan fungsi hati (kolangitis, sirosis)
 Kadar albumin : Penurunan karena kehilangan protein plasma/gangguan
fungsi hati.
 Elektrolit : Penurunan kalium dan magnesium umum pada penyakit berat.
 Trobositosis : Dapat terjadi karena proses penyakit inflamasi.
 ESR : meningkatkarena beratnya penyakit.
 Kadar besi serum : rendah karena kehilangan darah.

3. Diagnosa Keperawatan

a) Diare berhubungan dengan proses inflamasi, iritasi atau malabsopsi .

b) Nyeri abdomen di quadran kiri bawah berhubungan dengan iritasi pada colon.

c) Feses berlendir dan bercampur darah berhubungan dengan terjadinya infeksi dan
iritasi pada kolon

d) Kurangnya nafsu makan berhubungan dengan rasa mual.

e) Nyeri abdomen, berhubungan dengan peningkatan peristatik dan inflamasi.

f) Kurang volume cairan dan elektrolit berhubungan dengan anoreksia, mual, dan
diare.

g) Perubahan nutrisi, kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan


pembatasan diet dan mual.

4. Implementasi

Tujuan utama mencakup mendapatkan eliminasi usus normal, hilangnya nyeri


abdomen, dan keram, mencegah kekurangan volume cairan, mempertahankan nutrisi
dan berat badan optimal, menghindari keletihan, penurunan anxietas, mencegah
kerusakan kulit, mendapatkan pengetahuan dan pembahasan tentang proses penyakit
dan program terapeutik dan tidak adanya komplikasi.

5. Intervensi

Mandiri Rasional

 Observasi dan catat frekuensi  Agar mengurangi bau tak sedap untuk
defekasi, karakteristik, jumlah menghindari malu pasien
dan factor pencetus  Istirahat menurunkan mobilitas khusus,
 Buang feses dengan tepat, juga menurunkan laju metabolisme
berikan pengharum ruangan.
 Tingkatkan tirah baring, berikan
alat alat di samping tempat tidur.
 Ø Membantu membedakan
penyakit individu dan mengkaji
beratnya episode

6. Evaluasi

Pada diagnosis kolitis ulserative kronis, pemeriksaan feses yang cermat dilakukan
untuk membedakannya dengan disentri yang di sebabkan oleh organisme usus umum,
khususnya entamoeba histolityca. Feses positif terhadap darah. Tes laboratorium akan
menunjukkan hematokrik dan hemoglobin yang rendah, peningkatan hitung darah
lengkap, albumin rendah, dan ketidakseimbangna elektrorit.
Daftar pustaka

Ganong W. F. 19.. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 17. Jakarta : EGC

Guyton A. C, Hall J. E. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta : EGC.

Basson, Marc D. 2011. Ulcerative Colitis. emedicine.medscape.com. Diakses tanggal 17


April 2012. Jam 22.00 WIB. Colitis UK. 2011. The Effects of Diet on Ulcerative Colitis.

http://www.ulcerativecolitis.org.uk/dietarychanges.htm. Diakses tanggal 17 April 2012. Jam


22.00 WIB. Djojoningrat, Dharmika. Inflammatory Bowel Disease : Alur Diagnosis dan
Pengobatannya di Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1 Edisi ke-IV. Hal. 384-
388. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.

Fauci, Anthony S., et all. 2009. Inflammatory Bowel Disease. Harrison’s Manual of
Medicine 17th Edition. Hal. 836-840. United States of America :

Mc.Graw Hill. Fogel, W.A., et all. 2005. The Role of Histamine in Experimental Ulcerative
Colitis in Rats. Inflammation Research Volume 54.

http://www.springerlink.com/content/h2341286554185w7/. Diakses tanggal 17 April 2012.


Jam 22.00 WIB.

Anda mungkin juga menyukai