Anda di halaman 1dari 31

REFERAT

ILMU KESEHATAN ANAK


INFEKSI DENGUE

Pembimbing :

dr. M. Nadjib Moein, Sp.A

Disusun oleh :

Fatimasari Suryanto Putri - 20190420265


Ghevara Anisya Rifsanzani - 20190420273

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK


RSU HAJI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HANG TUAH
SURABAYA
2020

LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT
INFEKSI DENGUE

Referat ini telah diperiksa dan disetujui sebagai salah satu tugas dalam
rangka menyelesaikan studi kepaniteraan Dokter Muda di Bagian Ilmu
Kesehatan Anak Rumah Sakit Umum Haji Surabaya.

Surabaya, Juli 2020

dr. M. Nadjib Moein, Sp.A


KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
atas berkat rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan referat berjudul
Infeksi Dengue sebagai tugas kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Kesehatan
Anak. Tak lupa pula penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. M.
Nadjib Moein, Sp.A, selaku dokter pembimbing, yang telah memberi arahan
dan masukan kepada penulis sehingga penulis mampu menyelesaikan
referat ini. Keberhasilan dalam menyelesaikan referat ini tentunya tidak
lepas dari bantuan berbagai pihak. Untuk itu, penulis menyampaikan
terima kasih pada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian
referat ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan referat ini masih jauh dari
kesempurnaan yang perlu diperbaiki. Untuk itu, penulis mengharapkan
saran yang membangun sehingga dapat bermanfaat bagi siapapun yang
membacanya. Atas perhatiannya, penulis mengucapkan terimakasih.

Surabaya, Juli 2020

Penulis
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN........................................................................................i

KATA PENGANTAR...............................................................................................ii

DAFTAR ISI............................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................1

1.1 Latar Belakang...............................................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................2

2.1 Infeksi Dengue...............................................................................................2


2.1.1 Definisi.....................................................................................................2
2.1.2 Epidemiologi............................................................................................2
2.1.3 Etiologi....................................................................................................4
2.1.4 Patogenesis.............................................................................................5
2.1.5 Perjalanan Penyakit...............................................................................11
2.1.6 Diagnosis...............................................................................................13
2.1.7 Klasifikasi dan Grading Demam Dengue..............................................16
2.1.8 Pemeriksaan Penunjang.......................................................................16
2.1.9 Diagnosis Banding.................................................................................18
2.1.10 Komplikasi...........................................................................................20
2.1.11 Tatalaksana.........................................................................................21
2.1.12 Indikasi Rawat Inap.............................................................................24
2.1.13 Indikasi Pulang Rawat.........................................................................24
2.1.14 Monitoring............................................................................................24
2.1.15 Preventif..............................................................................................25

BAB III KESIMPULAN..........................................................................................26

3.1 Kesimpulan..................................................................................................26

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................27
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Demam dengue (DD) merupakan penyakit infeksi virus yang
ditularkan oleh nyamuk dari genus Aedes, yang tersebar luas di daerah
subtropis dan tropis di dunia. Gejala utamanya adalah demam yang
mendadak tinggi, nyeri kepala, nyeri retroorbital, nyeri otot dan sendi,
yang disertai leukopenia, ruam limfadenopati, trombositopenia dan
diatesis hemoragik. Sedangkan, Demam Berdarah Dengue (DBD) terjadi
perembesan plasma yang di tandai oleh hemokonsentrasi atau
penumpukan cairan di rongga tubuh. Sindrom renjatan dengue (dengue
shock syndrome) adalah demam berdarah yang disertai oleh tanda-tanda
syok (Darvin, 2019).
Jumlah kasus demam dengue yang dilaporkan kepada WHO
meningkat lebih dari 8 kali lipat selama dua dekade terakhir, dari 505.430
kasus pada tahun 2000, menjadi lebih dari 2,4 juta pada tahun 2010, dan
4,2 juta pada tahun 2019. Kematian yang dilaporkan antara tahun 2000
dan 2015 meningkat dari 960 menjadi 4032 (WHO, 2016).
Penularan virus dengue mengikuti 2 pola umum: epidemik dengue
dan hiperendemik dengue. Epidemik dengue terjadi ketika virus dengue
dimasukkan ke suatu daerah sebagai peristiwa terisolasi yang melibatkan
satu jenis virus. Upaya pengendalian nyamuk, perubahan cuaca, dan herd
immunity berkontribusi terhadap pengendalian epidemik ini. (Darvin,
2019).

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Infeksi Dengue


2.1.1 Definisi
Demam dengue (DD) adalah penyakit infeksi virus yang ditularkan
oleh nyamuk dari genus Aedes, yang tersebar luas di daerah subtropis
dan tropis di dunia. Gejala utamanya adalah demam yang mendadak
tinggi, nyeri kepala, nyeri retroorbital, nyeri otot dan sendi, yang disertai
leukopenia, ruam limfadenopati, trombositopenia dan diatesis hemoragik.
Pada Demam Berdarah Dengue (DBD) terjadi perembesan plasma yang
di tandai oleh hemokonsentrasi atau penumpukan cairan di rongga tubuh.
Sindrom renjatan dengue (dengue shock syndrome) adalah demam
berdarah yang disertai oleh tanda-tanda syok (Darvin, 2019).

2.1.2 Epidemiologi
Kejadian demam dengue telah meningkat secara dramatis di seluruh
dunia dalam beberapa dekade terakhir. Sebagian besar kasus tidak
menunjukkan gejala atau ringan dan dapat ditangani sendiri, sehingga
jumlah sebenarnya kasus dengue tidak dilaporkan. Banyak kasus yang
salah didiagnosis sebagai penyakit demam lainnya. Jumlah kasus demam
dengue yang dilaporkan kepada WHO meningkat lebih dari 8 kali lipat
selama dua dekade terakhir, dari 505.430 kasus pada tahun 2000,
menjadi lebih dari 2,4 juta pada tahun 2010, dan 4,2 juta pada tahun 2019.
Kematian yang dilaporkan antara tahun 2000 dan 2015 meningkat dari
960 menjadi 4032 (WHO, 2016).
Sebelum tahun 1970, hanya 9 negara yang mengalami epidemi
DBD. Penyakit ini sekarang endemik di lebih dari 100 negara di wilayah
WHO di Afrika, Amerika, Mediterania Timur, Asia Tenggara dan Pasifik
Barat. Wilayah Amerika, Asia Tenggara dan Pasifik Barat adalah yang
paling parah terkena dampaknya, dengan Asia mewakili ~70% dari beban
penyakit global (WHO, 2016).
Ancaman kemungkinan wabah DD sekarang ada di Eropa; transmisi
lokal dilaporkan untuk pertama kalinya di Perancis dan Kroasia pada
tahun 2010 dan kasus impor terdeteksi di 3 negara Eropa lainnya. Pada
tahun 2012, wabah DD di pulau Madeira di Portugal mengakibatkan lebih
dari 2000 kasus dan kasus impor terdeteksi di daratan Portugal dan 10
negara lain di Eropa. Di antara para wisatawan yang kembali dari negara-
negara berpenghasilan rendah dan menengah, demam dengue adalah
penyebab demam tersering kedua setelah malaria (WHO, 2016).
Jumlah kasus terbesar demam dengue yang pernah dilaporkan
secara global adalah pada tahun 2019. Semua wilayah terkena dampak,
dan penularan demam berdarah tercatat di Afghanistan untuk pertama
kalinya. Pada tahun 2020, demam berdarah terus memengaruhi beberapa
negara, dengan laporan peningkatan jumlah kasus di Bangladesh, Brasil,
Kepulauan Cook, Ekuador, India, Indonesia, Maladewa, Mauritania,
Mayotte (Fr), Nepal, Singapura, Sri Lanka, Sudan , Thailand, Timor-Leste
dan Yaman (WHO, 2016).
Penularan virus dengue mengikuti 2 pola umum: epidemik dengue
dan hiperendemik dengue. Epidemik dengue terjadi ketika virus dengue
dimasukkan ke suatu daerah sebagai peristiwa terisolasi yang melibatkan
satu jenis virus. Jika jumlah vektor dan host pediatrik dan dewasa yang
rentan cukup, penularan eksplosif dapat terjadi, dengan insidensi infeksi
25-50%. Upaya pengendalian nyamuk, perubahan cuaca, dan herd
immunity berkontribusi terhadap pengendalian epidemik ini. (Darvin,
2019).
Sedangkan penyebaran hiperendemik dengue ditandai oleh sirkulasi
konstan dari berbagai serotipe virus di daerah yang terdapat banyak host
yang rentan dan vektor kompeten (dengan atau tanpa variasi musim) yang
selalu ada. Ini adalah pola dominan dari transmisi global. Di daerah
hiperendemik dengue, prevalensi antibodi meningkat dengan
bertambahnya usia, dan kebanyakan orang dewasa sudah kebal (Darvin,
2019).

2.1.3 Etiologi
2.1.3.1 Virus
Infeksi dengue disebabkan oleh virus dengue (DENV), yang
merupakan virus RNA untai tunggal (panjang sekitar 11 kilobase) dengan
empat rantai tunggal positif ukuran sferis berdiameter 40-50nm,
nukleokapsid icosahedral dan ditutupi oleh amplop lipid. Virus ini ada
dalam keluarga Flaviviridae, genus Flavivirus. Genom virus dengue
mengkode 10 protein berupa 3 protein struktural (C, M, dan E) dan 7
protein non struktural (NS1, NS2a, NS2b, NS4a, NS4b, dan NS5). Virus
dengue memiliki 4 serotipe yang terkait tetapi berbeda secara antigen:
DENV-1, DENV-2, DENV- 3, dan DENV-4 (Murugesan and Manoharan,
2019).
2.1.3.2 Vektor
Virus dengue ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk
Aedes yang terinfeksi, khususnya Ae. aegypti. Ae. aegypti adalah vektor
utama di sebagian besar wilayah perkotaan. Namun, Ae. albopictus juga
dicurigai di banyak negara. Spesies lain seperti Ae. polynesiensis dan Ae.
niveus juga diduga berperan sebagai vektor sekunder di beberapa negara.
Nyamuk ini merupakan spesies tropikal dan subtropikal yang menyebar
luas di dunia. Terdapat reaksi silang antara serotipe dengue dengan
flavivirus lain seperti yellow fever, japanesse encephalitis, dan west nile
virus (Murugesan and Manoharan, 2019).
2.1.3.3 Host
Virus dengue menginfeksi manusia dan beberapa spesies primata.
Orang-orang dari segala usia dan kedua jenis kelamin beresiko terinfeksi.
Infeksi dengue sekunder adalah faktor risiko DBD, termasuk antibodi yang
didapat secara pasif pada bayi. Perjalanan ke daerah endemik dengue
adalah faktor risiko yang paling penting. Namun, jika pasien mengalami
demam lebih dari dua minggu setelah perjalanan, tidak dikatakan sebagai
infeksi dengue (Murugesan and Manoharan, 2019).
Virus dengue masuk kedalam tubuh manusia melalui gigitan
nyamuk. Selama fase akut virus dapat ditemukan dalam darah.
Seseorang dengan demam dengue mampu menularkan virus selama 4-5
hari (maksimum, 12 hari) ke vektor. Setelah masa inkubasi 4-10 hari,
nyamuk yang terinfeksi dapat menularkan virus selama sisa hidupnya (2
minggu hingga 1 bulan) (Murugesan and Manoharan, 2019). Dengue juga
dapat ditularkan secara nosokomial yaitu melalui produk darah, cedera
jarum suntik, dan pajanan mukokutan serta secara vertikal dari ibu ke
anak. Transmisi secara vertikal dapat dicurigai ketika ibu terkena dengue
dalam 10 hari sebelum persalinan (termasuk onset pada hari persalinan).
Penyakit muncul pada bayi baru lahir hingga 11 hari (median 4 hari)
setelah lahir (Tan et al., 2015).

2.1.4 Patogenesis
Patogenesis infeksi virus dengue berhubungan dengan:
1. Faktor virus : serotipe, jumlah, virulensi
2. Faktor host: genetik, usia, status gizi, penyakit komorbid dan interaksi
antara virus dengan host
3. Faktor lingkungan : musim, curah hujan, suhu udara, kepadatan
penduduk, mobilitas penduduk, dan kesehatan lingkungan
Peran sistem imun dalam infeksi virus dengue adalah sebagai berikut:
- Infeksi pertama kali (primer) menimbulkan kekebalan seumur hidup
untuk serotipe penyebab.
- Infeksi sekunder dengan serotipe virus yang berbeda (secondary
heterologous infection) pada umumnya memberikan manifestasi klinis
yang lebih berat dibandingkan dengan infeksi primer
- Bayi yang lahir dari ibu yang memiliki antibodi dapat menunjukkan
manifestasi klinis berat walaupun pada infeksi primer
- Perembesan plasma sebagai tanda karakteristik untuk DBD terjadi
pada saat jumlah virus dalam darah menurun
- Perembesan plasma terjadi dalam waktu singkat (24-48 jam) dan pada
pemeriksaan patologi tidak ditemukan kerusakan dari sel endotel
pembuluh darah

Imunopatogenesis
Secara umum patogenesis infeksi virus dengue diakibatkan oleh
interaksi berbagai komponen dari respons imun atau reaksi inflamasi yang
terjadi secara terintegrasi. Sel imun yang paling penting dalam
berinteraksi dengan virus dengue yaitu sel dendrit, monosit/makrofag, sel
endotel, dan trombosit. Akibat interaksi tersebut akan dikeluarkan
berbagai mediator antara lain sitokin, peningkatan aktivasi sistem
komplemen, serta terjadi aktivasi limfosit T. Apabila aktivasi sel imun
tersebut berlebihan, akan diproduksi sitokin (terutama proinflamasi),
kemokin, dan mediator inflamasi lain dalam jumlah banyak. Akibat
produksi berlebih dari zat-zat tersebut akan menimbulkan berbagai
kelainan yang akhimya menimbulkan berbagai bentuk tanda dan gejala
infeksi virus dengue.
Untuk lebih memahami imunopatogenesis infeksi virus dengue,
berikut ini diuraikan mengenai respons imun humoral dan selular,
mekanisme autoimun, peran sitokin dan mediator lain, serta peran sistem
komplemen.
1. Respons Imun Humeral
Respons imun humoral diperankan oleh limfosit B dengan
menghasilkan antibodi spesifik terhadap virus dengue. Antibodi spesifik
untuk virus dengue terhadap satu serotipe tertentu juga dapat
menimbulkan reaksi silang dengan serotipe lain selama enam bulan.
Antibodi yang dihasilkan dapat menguntungkan dalam arti melindungi dari
terjadinya penyakit, namun sebaliknya dapat pula menjadi pemicu
terjadinya infeksi yang berat melalui mekanisme Antibody-Dependent
Enhancement (ADE). Antibodi anti dengue yang dibentuk umumnya
berupa immunoglobulin G dengan aktivitas yang berbeda. Antibodi
terhadap protein F dapat berfungsi baik untuk neutralisasi maupun
berperan dalam mekanisme ADE. Antibodi terhadap protein NS1 berperan
dalam menghancurkan (lisis) sel yang terinfeksi melalui bantuan
komplemen (complement-dependent lysis). Diketahui bahwa antibodi
terhadap protein prM pada virion imatur juga berperan dalam mekanisme
ADE.
Virus dengue mempunyai empat serotipe yang secara antigenik
berbeda. Infeksi virus dengue primer oleh satu serotipe tertentu dapat
menimbulkan kekebalan yang menetap untuk serotipe bersangkutan
{antibodi homotipik). Pada saat yang bersamaan, sebagai bagian dari
kekebalan silang (cross immunity) akan dibentuk antibodi untuk serotipe
lain (antibodi heterotipik). Apabila kemudian terjadi infeksi oleh serotipe
yang berbeda, maka antibodi heterotipik yang bersifat non atau
subneutralisasi berikatan dengan virus atau partikel tertentu dari virus
serotipe yang baru membentuk kompleks imun. Kompleks imun akan
berikatan dengan reseptor Fcγ yang banyak terdapat terutama pada
monosit dan makrofag, sehingga memudahkan virus menginfeksi sel.
Virus bermultiplikasi di dalam sel dan selanjutnya virus keluar dari sel,
sehingga terjadi viremia. Kompleks imun juga dapat mengaktifkan
kaskade sistem komplemen untuk menghasilkan C3a dan C5a yang
mempunyai dampak langsung terhadap peningkatan permeabilitas
vaskular.
2. Respons Imun Selular
Respons imun selular yang berperan yaitu limfosit T (sel T). Sama
dengan respons imun humoral, respons sel T terhadap infeksi virus
dengue dapat menguntungkan sehingga tidak menimbulkan penyakit atau
hanya berupa infeksi ringan, namun juga sebaliknya dapat terjadi hal yang
merugikan bagi host. Sel T spesifik untuk virus dengue dapat mengenali
sel yang terinfeksi virus dengue dan menimbulkan respons beragam
berupa proliferasi sel T, menghancurkan (lisis) sel terinfeksi dengue, serta
memproduksi berhagai sitokin. Pada penelitian in vitro, diketahui bahwa
baik sel T CD4 maupun sel T CD8 dapat menyebabkan lisis sel target
yang terinfeksi dengue. Dalam menjalankan fungsinya sel T CD4 lebih
banyak sebagai penghasil stokin dibandingkan dengan fungsi
menghancurkan sel terinfeksi virus dengue. Sebaliknya, sel T CD8 lebih
berperan untuk lisis sel target dibandingkan dengan produksi sitokin.
Pada infeksi sekunder oleh virus dengue serotipe yang berbeda,
temyata sel T memori mempunyai aviditas yang lebih besar terhadap
serotipe yang sebelumnya dibandingkan dengan serotipe virus yang baru.
Fenomena ini disebut sebagai original antigenic sin. Dengan demikian,
fungsi lisis terhadap virus yang baru tidak optimal, sedangkan produksi
sitokin berlebihan. Sitokin yang dihasitkan oleh sel T pada umumnya
berperan dalam memacu respons inflamasi dan meningkatkan
permeabilitas sel endotel vaskular.
3. Mekanisme Autoimun
Di antara komponen protein virus dengue yang berperan dalam
pembentukan antibodi spesifik yaitu protein E, prM, dan NS1. Protein yang
paling berperan dalam mekanisme autoimun dalam pathogenesis infeksi
virus dengue yaitu protein NS1. Antibodi terhadap protein NS1 dengue
menunjukkan reaksi silang dengan sel endotel dan trombosit, sehingga
menimbulkan gangguan pada kedua sel tersebut serta dapat memacu
respons inflamasi. Sel endotel yang diaktivasi oleh antibody terhadap
protein NS1 dengue tenyata dapat mengekspresikan sitokin, kemokin, dan
molekul adhesi. Selain antibodi terhadap protein NS1, ternyata antibodi
terhadap prM juga dapat menyebabkan reaksi autoimun. Autoantibodi
terhadap protein prM tersebut dapat bereaksi silang dengan sel endotel.
Proses autoimun ini diduga kuat karena terdapat kesamaan atau
kemiripan antara protein NS1 dan prM dengan komponen tertentu yang
terdapat pada sel endotel dan trombosit vang disebut sebagai molecular
mimicry. Autoantibodi yang bereaksi dengan komponen dimaksud,
mengakibatkan sel yang mengandung molekul hasil ikatan antara
keduanya akan dihancurkan oleh makrofag atau mengalami kerusakan.
Akibatnya, pada trombosit terjadi penghancuran sehingga menyebabkan
trombositopenia dan pada sel endotel terjadi peningkatan permeabilitas
yang mengakibatkan perembesan plasma.
4. Peran Sitokin dan Mediator Inflamasi Lain
Sitokin merupakan suatu molekul protein dengan fungsi yang sangat
beragam dan berperan penting dalam respons imun tubuh melawan
infeksi. Dalam lingkup respons inflamasi, secara umum sitokin mempunyai
sifat proinflamasi dan antiinflamasi. Pada keadaan respons fisiologis,
terjadi keseimbangan antara kedua jenis sitokin tersebut. Apabila sitokin
diproduksi dalam jumlah yang sangat banyak dan reaksinya berlebihan,
akan merugikan host.
Pada infeksi virus dengue, sitokin juga berperan dalam menentukan
derajat penyakit. Infeksi yang berat dalam hal ini DBD (apalagi SSD)
ditandai dengan peningkatan jenis dan jumlah sitokin yang sering disebut
sebagai badai sitokin. Dalam melakukan fungsinya berbagai sitokin saling
berhubungan dan saling memengaruhi satu dengan yang lainnya berupa
suatu kaskade. Sitokin mana yang paling berperan menyebabkan penyakit
yang berat, beberapa penelitian menghasilkan hasil yang beragam. Hal ini
disebabkan karena beberapa alasan, antara lain variasi dalam waktu
pengambilan sampel pemeriksaan, usia, batasan derajat penyakit, dan
juga faktor genetik yang berbeda. Dari beberapa penelitian sitokin yang
perannya paling banyak dikemukakan yaitu TNF-α, IL-1β, IL-6, IL-8, dan
IFN-γ. Mediator lain yang sering dikemukakan mempunyai peran penting
dalam menimbulkan derajat penyakit berat yaitu kemokin CXCL-9, CXCL-
10, dan CXCL-11 yang dipicu oleh IFN-γ.
5. Peran Sistem Komplemen
Sistem komplemen diketahui ikut berperan dalam patogenesis
infeksi virus dengue. Pada pasien DBD atau SSD ditemukan penurunan
kadar komplemen, sehingga diduga bahwa aktivasi sistem komplemen
mempunyai peran dalam patogenesis terjadi penyakit yang berat.
Kompleks imun virus dengue dan antibodi pada infeksi sekunder dapat
mengaktivasi sistem komplemen melalui jalur klasik. Protein NS1 dapat
mengaktifkan sistem komplemen secara langsung melalui jalur alternatif
dan apabila berlebihan dapat menyebabkan peningkatan permeabilitas
vaskular.
Selain melalui kedua jalur tersebut, termyata aktivasi komplemen
pada infeksi virus dengue juga dapat melalui jalur mannose-binding lectin.
Aktivasi komplemen menghasilkan peptida yang mempunyai aktivitas
biologik sebagai anafilatoksin yaitu C3a dan C5a. Komplemen (5a
menginduksi produksi beberapa sitokin proinflamasi (seperti TNF-α, IL-1,
IL-6, dan IL-8) dan meningkatkan ekspresi molekul adhesi baik pada
neutrofil maupun sel endotel, schingga peran C5a dalam peningkatan
permeabilitas vaskular sangat besar.
5. Faktor Host
Beberapa faktor host dilaporkan dapat menjadi faktor risiko untuk
terkena infeksi dengue yang berat, antara lain usia, status gizi, faktor
genetik, dan penyakit tertentu khususnya penyakit yang berhubungan
dengan sistem imun. Anak-anak umumnya mempunyai perjalanan
penyakit yang lebih berat dibandingkan dengan dewasa. Mengenai
mekanisme yang mendasarinya belum jelas, tetapi diduga anak
mempunyai sistem mikrovaskular yang lebih mudah untuk mengalami
peningkatan permeabilitas.
Bayi usia 6-12 bulan mempunyai risiko lebih berat, meskipun pada
infeksi primer. Hal tersebut diduga melalui mekanisme ADE yang sama
dengan infeksi sekunder pada host dengan usia lebih dari satu tahun.
Antibodi (IgG) antidengue yang bersifat nonnentralising ditransfer dari ibu
peda saat kehamilan. Obesitas merupakan salah satu faktor risiko yang
pernah dilaporkan. Faktor genetik sebagai faktor risiko telah banyak diteliti
pada umumnya berhubungan dengan human leucocyte antigen (HLA)
tertentu, yang menjadi faktor risiko untuk lebih rentan atau sebaliknya
lebih kebal terhadap infeksi virus dengue.
Beberapa penelitian juga telah banyak melaporkan hubungan antara
faktor genetik dengan derajat penyakit dengue. Faktor genetik lain di luar
pengkode HLA adalah gen pengkode sitokin TNF-α, IFN-γ, dan IL-1, serta
gen yang mengkode reseptor IgG, reseptor vitamin D, dan mannosa
binding lectin (Hadinegoro, et al., 2014).
Gambar . Patogenesis Infeksi Dengue

2.1.5 Perjalanan Penyakit


1. Fase Demam
Pasien biasanya demam tinggi secara tiba-tiba (>38,5C). Fase
demam akut ini biasanya terjadi selama 2-7 hari dan sering disertai
dengan muka kemerahan, eritema kulit, nyeri seluruh badan, myalgia,
arthtalgia dan nyeri kepala. Beberapa pasien mengalami nyeri
tenggorokan, penurunan nafsu makan, mual dan muntah. Cukup sulit
untuk membedakan dengan infeksi virus lainnya. Tes tourniquet positif
(>10 bintik) pada fase ini memperbesar kecurigaan infeksi dengue.
2. Fase Kritis
Pada hari ke 3-7, ketika suhu menurun pada 37,5-38C, peningkatan
permeabilitas kapiler yang secara paralel terhadap kenaikan hematokrit
dapat terjadi. Hal ini menandakan dimulainya fase kritis. Biasanya
kebocoran plasma secara klinik terjadi selama 24-48 jam. Leukopeni yang
progresif diikuti dengan penurunan angka trombosit biasanya mendahului
terjadinya kebocoran plasma. Dalam keadaan seperti ini pasien yang tidak
mengalami peningkatan permeabilitas kapiler keadaan umumnya akan
membaik, sedangkan pasien yang mengalami peningkatan permeabilitas
kapiler justru akan memburuk keadaannya karena kebocoran plasma.
3. Fase Penyembuhan
Bila pasien dapat bertahan pada masa kritis maka akan terjadi
reabsorbsi cairan ekstravaskular secara bertahap selama 48-72 jam.
Keadaan umum akan membaik, nafsu makan kembali baik, gejala
gastrointestinal mereda, hemodinamik stabil. Keadaan umum membaik,
nafsu makan kembali, gejala gastrointestinal mereda, status hemodinamik
stabil, dan diuresis kembali lancar (Hadinegoro, et al., 2014).
Gambar . Perjalanan Penyakit Dengue

2.1.6 Diagnosis
1. Demam Dengue
- Demam 2-7 hari yang timbul mendadak, tinggi, terus-menerus, bifasik.
- Manifestasi perdarahan baik spontan seperti petckie, purpura, ekimosis,
epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis dan atau melena, maupun uji
tourniquet positif.
- Nyeri kepala, mialgia, artralgia, nyeri retroorbital.
- Dijumpai kasus DBD baik di lingkungan sekolah, rumah atau
sekitarnya.
- Leukopenia <4.000/mm3
- Trombositopenia <100.000/mm3
Apabila ditemukan gejala demam ditambah dengan adanya dua atau lebih
tanda dan gejala lain, diagnosis klinis demam dengue dapat ditegakkan.
2. Demam Berdarah Dengue
- Demam 2-7 hari yang timbul mendadak, tinggi, terus-menerus
- Manifestasi perdarahan baik yang spontan seperti petekie, purpura,
ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis dan atau melena
maupun uji Tourniquette yang positif
- Nyeri kepala, mialgia, artralgia, nyeri retroorbital
- Dijumpai kasus Demam Berdarah Dengue baik di lingkungan sekolah,
rumah atau sekitarnya
- Hepatomegali
- Terdapat kebocoran plasma yang ditandai dengan salah satu
tanda/gejala:
- Peningkatan nilai hematokrit >20% dari pemeriksaan awal atau dari
data populasi menurut umur
- Ditemukan adanya efusi pleura, asites
- Hipoalbuminemia, hypoproteinemia
- Trombositopenia <100.000/mm3
Demam disertai dengan dua atau lebih manifestasi klinis, ditambah bukti
perembesan plasma dan trombositopenia cukup untuk menegakkan
diagnosis DBD.
3. DHF dengan syok (DSS)
Memenuhi kriteria DBD dan ditemukan tanda dan gejala syok
hipovolemik baik yang terkompensasi maupun dekompensasi.
- Syok terkompensasi
- Takikardia
- Takipnea
- Tekanan nadi <20 mmHg
- Capillary refill time (CRT) >2 detik
- Akral dingin
- Produksi urin menurun < 1ml/kgBB/jam
- Anak gelisah
- Syok dekompensasi
- Hipotensi (sistolik dan diastolik turun)
- Nadi cepat dan kecil
- Pernapasan Kusmaull
- Sianosis
- Kulit lembab dan dingin
- Profound shock: nadi tidak teraba dan tekanan darah tidak terukur
4. Expanded Dengue Syndrome
Memenuhi kriteria DD atau DBD baik disertai syok maupun tidak,
dengan manifestasi klinis komplikasi infeksi virus dengue atau dengan
manifestasi klinis yang tidak biasa, seperti tanda dan gejala:
- Kelebihan cairan
- Gangguan elektrolit
- Ensefalopati
- Ensefalitis
- Perdarahan hebat
- Gagal ginjal akut
- Haemolytic uremic syndrome (HUS)
- Gangguan jantung: gangguan konduksi, miokarditis, pericarditis
- Infeksi ganda (Hadinegoro, Moedjito and Chairulfatah, 2014).
2.1.7 Klasifikasi dan Grading Demam Dengue

Tabel . Klasifikasi Demam Dengue

2.1.8 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan laboratorium untuk infeksi virus dengue adalah:
1. Isolasi virus
Isolasi virus dapat dilakukan dengan metode inokulasi pada nyamuk,
kultur sel nyamuk atau pada sel mamatia (vero cell LLCMK2 dan BHK21).
Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan yang rumit dan hanya tersedia
di beberapa laboratorium besar yang terutama dilakukan untuk tujuan
penelitian, sehingga tidak tersedia di laboratorium komersial. Isolasi virus
hanya dapat dilakukan pada enam hari pertama demam.
2. Deteksi asam nukileat virus
Genome virus dengue yang terdiri dari asam ribonukleat (ribonucleic
acid/RNA) dapat dideteksi melalui pemeriksaan reverse transcriptase
polymerase chain reaction (RT-PCR). Metode pemeriksaan bisa berupa
nested-PCR, one-step multiplex RT-PCR, real-time RT-PCR, dan
isothermal amplification method. Pemerikssan ini hanya tersedia di
laboratorium yang memiliki peralatan biologi molekuler dan petugas
laboratorium yang handal. Memberi hasil positif bila sediaan diambil pada
enam hari pertama demam. Biaya pemeriksaan tergolong mahal.
3. Deteksi antigen virus dengue
Deteksi antigen virus dengue yang banyak dilaksanakan pada saat
ini adalah pemeriksaan NS1 antigen virus dengue (NS-1 dengue antigen),
yaitu suatu glikoprotein yang diproduksi oleh semua flavivirus yang
penting bagi kehidupan dan replikasi virus. Protein ini dapat dideteksi
sejalan dengan viremia yaitu sejak hari pertama demam dan menghilang
setelah 5 hari, sensitivitas tinggi pada 1-2 hari demam dan kemudian
makin menurun setelahnya.
4. Deteksi respons imun serum
Pemeriksaan respons imun serum berupa Haemaglutination
inhibition test (uji HI), complement fixation test (CFT), neutralization test
(uji neutralisasi), pemeriksaan serologi IgM dan IgG anti dengue.
- Haemaglutination inhibition test (Uji HI)
Pada saat ini tidak banyak laboratorium yang menyediakan
pemeriksaan ini. Uji HI walau sensitif namun kurang spesifik dan
memerlukan dua sediaan serum akut dan konvalesens, sehingga tidak
dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis dini.
- Complement fixation test (uji CFT)
Tidak banyak dipakai secara luas untuk tujuan menegakkan diagnosis,
sulit untuk dilakukan dan memerlukan petugas yang sangat terlatih.
- Uji Neutralisasi
Merupakan pemeriksaan yang paling sensitif dan spesifik, metode yang
paling sering dipakai adalah plaque reduction neutralization test
(PRNT). Pemeriksaan ini mahal, perlu waktu, secara teknik cukup
rumit, oleh karena itu jarang dilakukan di Laboratorium klinik. Sangat
berguna untuk penelitian pembuatan dan efikasi vaksin.
- Pemeriksaan serologi IgM dan IgG anti dengue
Imunoglobulin M anti dengue memiliki kadar bervariasi, pada umumnya
dapat terdeteksi pada hari sakit kelima, dan tidak terdeteksi setelah
sembilan puluh hari. Pada infeksi dengue primer, IgG anti dengue
muncul lebih lambat dibandingkan dengan IgM anti dengue, namun
pada infeksi sekunder muncul lebih cepat. Kadar IgG anti dengue
bertahan lama dalam serum. Kinetik NS1 antigen virus dengue dan IgG
serta igM antidengue, merupakan petunjuk dalam menentukan jenis
pemeriksaan dan untuk membedakan antara infeksi primer dengan
infeksi sekunder.

2.1.9 Diagnosis Banding


1. Demam hemoragik virus lainnya
Virus lain yang mampu menyebabkan demam berdarah meliputi
virus Ebola, virus Marburg, virus Lassa, virus demam kuning, demam
berdarah Krimea-Kongo, hantavirus (demam berdarah dengan sindrom
ginjal), dan demam berat dengan virus sindrom trombositopenia
(SFTSV)). Semua penyakit ini dapat menyebabkan penyakit sistem
multiorgan yang parah disertai pendarahan. Penyakit dapat dibedakan
berdasarkan paparan epidemiologi yang relevan dan reaksi berantai
polimerase atau uji serologis (Darvin, 2019).
2. Chikungunya
Virus Chikungunya dan virus dengue menyebabkan gejala dan tanda
yang serupa dan ditularkan oleh vektor nyamuk yang sama. Nyeri sendi
dilaporkan agak lebih sering oleh pasien dengan chikungunya, sedangkan
nyeri perut dan leukopenia lebih umum pada mereka yang menderita
demam berdarah. Bengkak sendi sangat spesifik untuk chikungunya;
manifestasi perdarahan dan trombositopenia relatif spesifik untuk demam
berdarah. Diagnosis infeksi virus chikungunya ditegakkan melalui serologi
atau reaksi rantai balik transkriptase polimerase (RT-PCR) (Darvin, 2019).
3. Virus zika
Manifestasi klinis sama dan vektor sama. Tidak seperti dengue, zika
sering berhubungan dengan konjungtivitis. Diagnosis zika ditegakkan
dengan serologi atau RT-PCR (Darvin, 2019).
4. Malaria
Malaria ditandai dengan demam, malaise, mual, muntah, sakit perut,
diare, mialgia, dan anemia. Diagnosis malaria ditegakkan dengan
visualisasi parasit pada hapusan tepi (Darvin, 2019)
5. Demam tifoid
Manifestasi klinis demam tifoid termasuk demam, bradikardia, sakit
perut, dan ruam. Diagnosis ditegakkan berdasarkan feses dan/atau kultur
darah (Darvin, 2019)
6. Leptospirosis
Leptospirosis dikarakteristikkan dengan demam, menggigil, mialgia,
sufusi konjungtiva, dan nyeri kepala. Gejala yang lebih jarang adalah
batuk, mual, muntah, diare, nyeri perut, dan artralgia. Diagnosis
ditegakkan melalui serologi (Darvin, 2019)
7. Hepatitis viral
Penyebab hepatitis virus termasuk hepatitis A, B, C, D, dan E.
Hepatitis A dan E adalah infeksi akut yang ditularkan melalui rute fecal-
oral, sedangkan hepatitis B, C, dan D dapat muncul secara akut atau
kronis dan ditularkan oleh cairan tubuh. Mereka dibedakan melalui
serologi (Darvin, 2019).
8. Infeksi Rickettsial
Infeksi Rickettsial dengan manifestasi yang mirip dengan infeksi virus
dengue termasuk demam gigitan kutu Afrika dan demam kambuh. Demam
gigitan kutu Afrika diamati di antara para wisatawan ke Afrika dan Karibia
dan ditandai oleh sakit kepala, demam, mialgia, eskar soliter atau multipel
dengan limfadenopati regional, dan ruam menyeluruh. Diagnosis
ditegakkan melalui serologi. Demam kambuh ditandai dengan demam,
sakit kepala, leher kaku, artralgia, mialgia, dan mual. Alat diagnostik
termasuk sediaan apus langsung dan reaksi berantai polymerase (Darvin,
2019)
9. Sepsis akibat bakteremia
Pasien datang dengan demam, takikardia, gangguan kesadaran,
diagnosis membutuhkan kultur darah (Darvin, 2019).
2.1.10 Komplikasi
Expanded Dengue Syndrome, yaitu keadaan yang memenuhi
kriteria DD / DHF disertai syok maupun tidak, dengan manifestasi
komplikasi infeksi virus dengue atau manifestasi klinis tidak biasa, antara
lain:
- Kelebihan cairan
- Gangguan elektrolit
- Ensefalopati
- Ensefalitis
- Perdarahan hebat
- Gagal ginjal akut
- Haemolytic Uremic Syndrome (HUS)
- Gangguan jantung
- Infeksi ganda (Hadinegoro, et al., 2014).

Tanda kegawatdaruratan infeksi dengue pada anak:


1. Kulit pucat, acral dingin, kuku menjadi biru. Hal ini terjadi sebagai
akibat insufisien sirkulasi yang menyebabkan peningkatan
aktivitas simpatikus secara reflex.
2. Anak yang awalnya rewel, cengeng dan gelisah, kemudian
kesadarannya menurun menjadi apatis, sampai dengan koma
dikarenakan kegagalan sirkulasi serebral.
3. Nadi menjadi cepat dan lembut sampai tidak teraba karena
kolaps sirkulasi.
4. Tekanan nadi menurun menjadi 20mmHg atau bahkan lebih
rendah, karena pada saat syok secara fisiologis terjadi
vasokonstriksi perifer sehingga darah yang kembali ke jantung
akan lebih tinggi.
5. Tekanan sistolik menurun menjadi 80 mmHg atau kurang.
6. Oliguria sampai anuria karena menurunnya perfusi darah yang
meliputi arteri renalis (Soedarmo et al., 2008).
2.1.11 Tatalaksana
Demam Dengue
Jika rawat jalan (edukasi)
1. Cukup istirahat
2. Cukup minum, selain air putih bisa diberikan susu, jus buah,
cairan elektrolit. Cukup minum ditandai dengan buang air kecil
(BAK) tiap 4-6 jam sekali
3. Paracetamol 10mg/kgBB/x diberikan bila suhu >38C setiap 4-6
jam. Jangan diberi aspirin, ibuprofen. Beri kompres hangat
4. Kontrol setiap hari sampai melewati masa kritis. Periksa pola
demam, jumlah cairan balance, tanda perembesan plasma dan
perdarahan, serta periksa DL
5. Jika ada warning sign bawa pasien ke rumah sakit (Hadinegoro,
Moedjito and Chairulfatah, 2014).
Demam Berdarah Dengue tanpa syok (DBD gr I dan II)
- Antipiretik
- Makan sesuai kondisi nafsu makan
- Rujuk ke rumah sakit apabila ada tanda red flags : nyeri perut,
muntah persisten, demam tidak turun setelah diberi antipiretik,
tanda perdarahan, penurunan kesadaran, pasien tampak lemas,
acral dingin, oligouria dan organomegali
- Kebutuhan cairan harus terpenuhi, baik oral maupun parenteral
Tabel . Kebutuhan Cairan Berdasarkan Berat Badan Ideal

Setiap kenaikan suhu 1°C, cairan dinaikkan 12% dari kebutuhan rumatan.
Tabel . Kecepatan Pemberian Cairan

Prinsip pemilihan cairan, yaitu kristaloid isotonic (Ringer Laktat,


Ringer Asetat), kecuali pada bayi < 6 bulan beri NaCL 0,45%. Cairan
dihentikan bila keadaan umum telah stabil dan telah melewati masa kritis,
umumnya 24-48 jam pada kasus syok, 60-72 jam pada kasus tanpa syok.
Ringer Asetat diberikan saat SGOT SGPT meningkat, karena
dimetabolisme di otot bukan di hepar. Penggunaan cairan koloid
hiperonkotik (Albumin 5%, FFP, Gelofusin dipertimbangkan jika terjadi
kebocoran plasma berat dan tidak membaik setelah diberi kristaloid. Tidak
direkomendasikan transfuse trombosit pada anak (Hadinegoro, Moedjito
and Chairulfatah, 2014).
Dengue Shock Syndrome Terkompensasi (DBD gr III)

Gambar . Algoritma Tatalaksana DBD gr III


Tabel . Pemeriksaan Laboratorium A-B-C-S (Hadinegoro, Moedjito and
Chairulfatah, 2014).
Dengue Shock Syndrome Dekompensasi (DBD gr IV)
Gambar . Algoritma Tatalaksana DBD gr IV (Hadinegoro, Moedjito and
Chairulfatah, 2014).

2.1.12 Indikasi Rawat Inap


Secara umum, anak terindikasi rawat inap apabila menolak makan
dan minum serta muntah persisten. Warning sign pada infeksi dengue
yaitu adanya nyeri perut hebat, letargi, gelisah, akumulasi cairan, HCT
tinggi, demam turun tapi klinis memburuk.
Tanda expanded dengue syndrome antara lain encephalopati,
perdarahan hebat (melena, hematuria, hematemesis), gagal ginjal akut,
gagal jantung dan Haemolytic Uremic Syndrome (HUS). Sedangkan
indikasi sosial untuk rawat inap yaitu rumah jauh, tidak ada wali yang
merawat (Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2009).

2.1.13 Indikasi Pulang Rawat


- Tidak demam selama 24 jam tanpa anti piretik
- Secara klinis tampak perbaikan
- Nafsu makan membaik
- Minimal 2-3 hari setelah syok teratasi
- Jumlah urine cukup
- Tidak ada distress pernafasan
- Jumlah trombosit >50.000, apabila masih rendah namun klinis
baik, boleh pulang dengan edukasi bedrest untuk menghindari
trauma (Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2009).

2.1.14 Monitoring
- Keadaan umum, nafsu makan, muntah, perdarahan, warning
sign
- Tanda- tanda vital, akral setiap 4 jam sekali
- Pemeriksaan DL, hematokrit setiap 6 jam, minimal tiap 12 jam
- Balans cairan
- Pada DBD syok, cross match darah diperlukan untuk persiapan
transfus (Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2009).
2.1.15 Preventif
- Menguras tempat penampungan air secara rutin
- Menutup tempat penampungan air
- Mengubur atau mendaur ulang barang-barang bekas dan tidak
meletakkan secara terbuka
- Mengumpulkan sampah pada tempat sampah yang tertutup
- Mengatur cahaya dan ventilasi dalam rumah
- Menggunakan obat anti nyamuk
- Menggunakan pakaian lengan panjang untuk menghindari gigitan
nyamuk
- Memakai kelambu ketika tidur
- Menebar bubuk abate pada tempat penampungan air
- Memelihara ikan pada tempat penampungan air untuk membunuh
jentik-jentik
- Memantau perkembangan jentik nyamuk setiap seminggu sekali di
seluruh tempat penampungan air (Setiabudi, 2019).
BAB III

KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan
Demam dengue (DD) merupakan penyakit infeksi virus yang
ditularkan oleh nyamuk dari genus Aedes, yang tersebar luas di daerah
subtropis dan tropis di dunia. Gejala utamanya adalah demam yang
mendadak tinggi, nyeri kepala, nyeri retroorbital, nyeri otot dan sendi,
yang disertai leukopenia, ruam limfadenopati, trombositopenia dan
diatesis hemoragik. Demam Berdarah Dengue (DBD) ditandai
perembesan plasma yang di tandai oleh hemokonsentrasi atau
penumpukan cairan di rongga tubuh. Sindrom renjatan dengue (dengue
shock syndrome) yaitu demam berdarah yang disertai oleh tanda-tanda
syok.
Virus dengue masuk kedalam tubuh manusia melalui gigitan
nyamuk. Setelah masa inkubasi 4-10 hari, nyamuk yang terinfeksi dapat
menularkan virus selama sisa hidupnya. Dengue juga dapat ditularkan
secara nosokomial yaitu melalui produk darah, cedera jarum suntik, dan
pajanan mukokutan serta secara vertikal dari ibu ke anak. Transmisi
secara vertikal dapat dicurigai ketika ibu terkena dengue dalam 10 hari
sebelum persalinan (termasuk onset pada hari persalinan). Penyakit
muncul pada bayi baru lahir hingga 11 hari (median 4 hari) setelah lahir.
Tatalaksana meliputi identifikasi, memenuhu jumlah kebutuhan cairan
dan terapi simptomatis. Upaya pencegahan infeksi dengue dapat
dilakukan 3M plus, yaitu menguras, menutup tempat penampungan air,
mengubur / mendaur ulang barang bekas. Infeksi dengue dapat berujung
pada komplikasi, yaitu Expanded Dengue Syndrome.
DAFTAR PUSTAKA

Darvin, S. (2019) ‘Medscape; Dengue’.

Hadinegoro, S. R. S., Moedjito, I. and Chairulfatah, A. (2014) ‘Pedoman


Diagnosis dan Tatalaksana Infeksi Virus Dengue pada Anak. UKK
Infeksi dan Penyakit Tropis IDAI’.

Ikatan Dokter Anak Indonesia. (2009) ‘Pedoman pelayanan medis’.

Murugesan, A. and Manoharan, M. (2019) ‘Dengue virus’, in Emerging


and Reemerging Viral Pathogens: Volume 1: Fundamental and Basic
Virology Aspects of Human, Animal and Plant Pathogens. doi:
10.1016/B978-0-12-819400-3.00016-8.

Setiabudi, D. (2019) ‘Memahami Demam Berdarah Dengue. UKK Infeksi


dan Penyakit Tropis IDAI’.

Soedarmo, S. S. P. et al. (2008) Buku Ajar lnfeksi & Pediatri Tropis.

Tan, L. et al. (2015) ‘Analysis of clinical characteristics of the 12 cases of


neonatal dengue fever in Guangzhou in 2014 and literatures review’,
Zhonghua er ke za zhi = Chinese journal of pediatrics.

WHO (2016) ‘Dengue and severe dengue fact sheet’, World Health
Organization. doi: 10.1111/1469-0691.12442.

Anda mungkin juga menyukai