disusun oleh
dr. Akhmad Fahrozy
Pembimbing
dr. Suryantini, Sp. A
1
PENDAHULUAN
2
buruk, 19% diare, 19% Infeksi Saluran Pernafasan Akut, 18% perinatal, 7% campak,
5% malaria dan 32% penyebab lain.4,5
Deteksi dini pada anak-anak yang mengalami kelainan neurologis sangatlah
penting pada setiap tahapan yang dilalui anak sejak dari dalam kandungan sampai
dengan anak tumbuh dan berkembang, sehingga pelayanan kesehatan pada anak perlu
dilakukan sedini mungkin untuk deteksi dini apabila terjadi gangguan pada tahap-
tahap tersebut, mengingat bahwa anak merupakan generasi penerus bangsa dan
Negara.6
Anak memiliki suatu ciri khas yaitu selalu tumbuh dan berkembang sejak
konsepsi sampai berakhirnya masa remaja. Hal ini yang membedakan anak dengan
dewasa. Anak bukan dewasa kecil karena pada anak menunjukkan ciri-ciri
pertumbuhan dan perkembangan sesuai dengan usianya, sehingga masa tumbuh
kembang anak merupakan masa yang penting. Pertumbuhan adalah bertambahnya
ukuran dan jumlah sel serta jaringan interseluler, berarti bertambahnya ukuran fisik
dan struktur panjang tubuh sebagian atau keseluruhan sehingga dapat diukur dengan
satuan panjang dan berat. Perkembangan adalah bertambahnya struktur dan fungsi
tubuh yang lebih kompleks dalam kemampuan gerak kasar, gerak halus, bicara dan
bahasa serta sosisalisasi dan kemandirian.16
Pertumbuhan terjadi secara simultan dengan perkembangan. Berbeda dengan
pertumbuhan, perkembangan merupakan hasil interaksi kematangan susunan saraf
pusat dengan organ yang dipengaruhinya, misalnya perkembangan sistem
neuromuskuler, kemampuan berbicara, emosi dan sosialisasi. Kesemua fungsi
tersebut berperan penting dalam kehidupan manusia yang utuh. Banyak faktor baik
internal maupun eksternal yang dapat mempengaruhi keberhasilan tumbuh kembang
anak. Salah satu faktor yang mempengaruhi tumbuh kembang anak tersebut adalah
kematangan sistem saraf, mulai dari otak sampai dengan saraf tepi. Perkembangan
dari susunan sistem saraf anak sejak dari dalam kandungan hingga masa tumbuh
kembang dipengaruhi oleh berbagai faktor yang bersifat positif dan negatif. Pada
3
kondisi cerebral palsy (CP) mendapatkan pengaruh yang negatif, sehingga
mengakibatkan gangguan perkembangan susunan saraf pusatnya.6
Cerebral palsy (CP) adalah kelainan postur tubuh dan gangguan
perkembangan motorik yang banyak ditemukan pada anak-anak dalam prakterk
rehabilitasi, baik di negara berkembang maupun di negara maju. Gangguan
perkembangan motorik ini terjadi karena otak mengalami kerusakan pada masa
perkembangan dini. Pada umumnya kelainan CP disertai dengan gangguan bicara,
pendengaran, penglihatan, strabismus, kejang maupun retardasi mental. Pada
umumnya kerusakan yang terjadi pada kondisi CP terdapat pada korteks serebri,
ganglia basalis dan serebellum. Kelainan yang disebabkan oleh kerusakan tersebut
bersifat non progresif dan kerusakannya tidak berlanjut lagi, tetapi penderita
menunjukkan manifestasi klinik berupa kelainan postur dan gerak yang masih dapat
berubah akibat maturasi sesuai dengan perkembangan umur.6,7,8,9,10
Kapan otak dikatakan matur, sampai saat ini masih menjadi kontroversi. Otak
dianggap matang kirakira pada usia 4 tahun, sedangkan menurut The American
Academy for Cerebral Palsy batas kematangan otak adalah 5 tahun. Adapula
beberapa penelitian yang menyebutkan bahwa kematangan otak terjadi pada usia 8
9 tahun.12
Di Amerika, prevalensi penderita CP dari yang ringan hingga yang berat
berkisar antara 1,5 sampai 2,5 tiap 1000 kelahiran hidup. Angka ini didapatkan
berdasarkan data yang tercatat pada pelayanan kesehatan, yang dipastikan lebih
rendah dari angka yang sebenarnya. (Kuban, 1994) Suatu penelitian pada anakusia
sekolah, prevalensi CP ditemukan 1,2 2,5 anak per 1.000 populasi. Sedikitnya 5.000
kasus baru CP terjadi tiap tahunnya. (Gordon, 1987; Gilroy, 1992) Dari kasus tersebut
10 % sampai 15 % CP didapatkan adanya kelainan otak yang biasanya disebabkan
oleh infeksi atau trauma setelah bulan pertama kehidupan.11,12
Di Indonesia, prevalensi penderita CP diperkirakan sekitar 1 5 per 1.000
kelahiran hidup. Di YPAC Surakarta tercatat 58 penyandang CP pada peride
Desember 2007 sampai dengan Mei 2008. Bayi lakilaki mempunyai resiko
4
terjadinya CP lebih besar daripada perempuan. Seringkali terdapat pada anak
pertama. Hal ini mungkin dikarenakan kelahiran pertama lebih sering mengalami
kelahiran macet. Angka kejadiannya lebih tinggi pada bayi berat badan lahir rendah
dan kelahiran kembar. Umur ibu seringkali lebih dari 40 tahun, terlebih lagi pada
multipara.14
Dalam laporan kasus ini akan dibawakan mengenai tuberkulosis paru dan
adanya gangguan tumbuh kembang yang mengarah ke cerebral palsy pada anak.
1.2 Tujuan
Tujuan pembuatan laporan kasus ini adalah :
1. Menambah ilmu dan pengetahuan mengenai penyakit yang dilaporkan.
2. Membandingkan informasi yang terdapat pada literatur dengan kenyataan yang
terdapat pada kasus.
3. Melatih mahasiswa dalam melaporkan dengan baik suatu kasus yang didapat.
5
LAPORAN KASUS
Identitas pasien
Nama : An. D
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 10 bulan
Alamat : Jl. Kabo, Sangatta
Anak ke : 2 dari 2 bersaudara
MRS : 1 September 2016
6
Batuk dialami pasien sejak 1 bulan sebelum MRS, batuk berdahak, dahak
berwarna putih dan sulit dikeluarkan, darah (-), sesak (-), suara nafas berbunyi grok-
grok. Batuk juga disertai demam yang naik turun, menggigil (-), mengigau (-),
berkeringat (-). Pasien mengalami penurunan berat badan sejak sakit karena nafsu
makannya menurun.
Riwayat Saudara-Saudaranya :
Hamil Kondisi Jenis Usia Sehat Umur Sebab
ke saat Lahir Persalinan / Meningg Meningg
7
Tidak al al
1 Aterm Spontan 4 tahun sehat
8
Pemeliharaan Prenatal
Periksa di : Bidan
Obat-obatan yang sering diminum : Vitamin
Riwayat Kelahiran :
Lahir di : RS, ditolong oleh : bidan
Berapa bulan dalam kandungan : 9 bulan
Jenis partus : spontan, langsung menangis
Pemeliharaan postnatal :
Periksa di : Posyandu
Keadaan anak : sehat
Keluarga berencana : Ya, metode suntik
IMUNISASI
Imunisasi Usia saat imunisasi
I II III IV Booster I Booster II
BCG (+) //////////// //////////// //////////// //////////// ////////////
Polio (+) (+) (+) (+) - -
Campak - - //////////// //////////// //////////// ////////////
DPT (+) (+) (+) //////////// - -
Hepatitis (+) (+) (+) ////////// - -
B
PEMERIKSAAN FISIK
Dilakukan pada tanggal 6 Desember 2010
Kesan umum : sakit sedang
Kesadaran : E4M6V5
9
Tanda Vital
Frekuensi nadi : 130x/menit, regular, kuat angkat
Frekuensi napas : 28x/menit, regular
Temperatur : 37,30C
10
Kepala
Rambut : Hitam
Mata : Anemis (-/-), Ikterik (-/-), Sianosis (-/-), Refleks
Cahaya (+/+), Pupil: Isokor (3mm/3mm).
Hidung : Sumbat (-), Sekret (-)
Telinga : Bersih, Sekret (-)
Mulut : Lidah bersih, faring Hiperemis(-), mukosa bibir basah,
pembesaran Tonsil (-/-)
Leher
Pembesaran Kelenjar : Pembesaran KGB (+) konsistensi kenyal, mobile, berukuran 1
cm
11
Thoraks
Pulmo
Inspeksi : Bentuk dan pergerakan simetris, retraksi ICS (-)
Palpasi : Fremitus raba dekstra sama dengan sinistra
Perkusi : Sonor di semua lapangan paru
Auskultasi : bronkovesikuler, Ronki (+/+), wheezing (-/-)
Cor:
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba pada ICS V MCL sinistra, thrill (-)
Perkusi : Batas jantung
Kanan : ICS III, 3 cm dari right parasternal line
Kiri : ICS V left midclavicular line
Auskultasi : S1S2 tunggal reguler, gallop (-), murmur (-)
Abdomen
Inspeksi : Tampak datar
Palpasi : Soefel, nyeri tekan (-), organomegali (-), turgor kulit baik.
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal
12
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan darah saat pasien masuk
Hemoglobin : 10,6 gr/dl
Leukosit : 2100 /mm3
Hematokrit : 34,3 %
Trombosit : 287.000/mm3
13
14
\
15
Hasil CT scan
Skor TB
Parameter Skor
Kontak TB 0
Uji Tuberkulin 3 (10 mm)
Status Gizi 2 (klinis Gizi Buruk)
Demam tanpa sebab yang jelas 1 (1 bulan)
Batuk 1 (1 bulan)
Pembesaran KGB 1 (KGB colli)
Pembengkakan tulang/sendi -
Foto 1
Total 9
16
Diagnosa lain : Cerebral Palsy
PENATALAKSANAAN :
- Mucopect syr 3x1 cth
- Sanmol syr 4x 0,6 ml
- gentamycin 2x 15 mg
- inj.Cefotaxim 3x200 mg
- Dexa 3x 1,5 mg
PEMBAHASAN
17
Diagnosis tuberculosis paru dan cerebral palsy pada laporan kasus ini
ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
yang dilakukan.
Pada tanggal 6 Desember dilakukan anamnesa pada pasien didapatkan batuk
dialami pasien sejak 1 bulan sebelum MRS, batuk berdahak, dahak berwarna putih
dan sulit dikeluarkan, darah (-), sesak (-), suara nafas berbunyi grok-grok. Batuk juga
disertai demam yang naik turun, menggigil (-), mengigau (-), berkeringat (-). Pasien
mengalami penurunan berat badan sejak sakit karena nafsu makannya menurun.
Patogenesis TB sangatlah kompleks, sehingga manisfestasi klinis TB sangat
bervariasi dan bergantung pada beberapa faktor. Faktor yang berperan adalah kuman
TB, penjamu, serta interaksi keduanya. Faktor kuman bergantung pada jumlah dan
virulensi kuman, sedangkan faktor penjamu bergantung pada usia,kompetensi imun
serta kerentanan penjamu pada awal terjadinya infeksi. Anak kecil seringkali tidak
menunjukkan gejala walaupun sudah tampak pembesaran kelenjar hilus pada foto
Rontgen thoraks.2
Manisfestasi klinis TB terbagi 2 yaitu manisfestasi sistemik dan lokal.
Manisfestasi sistemik inilah yang dapat kita ketahui dari anamnesa kepada pasien.
Manisfestasi sistemik adalah gejala yang bersifat umum dan tidak spesifik karena
dapat disebabkan oleh berbagai penyakit atau keadaan lain. Sebagian besar anak
dengan TB tidak memperlihatkan gejala dan tanda selama beberapa waktu. Sesuai
dengan sifat kuman TB yang lambat membelah,manisfestasi klinis TB umumnya
bertahap dan perlahan.2
Salah satu gejala sistemik yang sering terjadi adalah demam. Temuan demam
pada pasien TB berkisar antara 40-80% kasus. Biasanya demam hilang timbul dalam
jangka waktu yang cukup lama. Manisfestasi sistemik lain yang sering dijumpai
adalah anoreksia, berat badan tidak naik (turun,tetap,atau naik tetapi tidak sesuai
dengan grafik pertumbuhan), dan malaise (letih,lemah,lesu). Keluhan ini sulit diukur
dan mungkin terkait dengan penyakit penyerta.2
18
Pada sebagian besar kasus TB paru pada anak, tidak ada manisfestasi
respiratorik yang menonjol. Batuk kronik merupakan gejala tersering pada TB paru
dewasa, tetapi pada anak bukan merupakan gejala utama. Fokus primer TB paru pada
anak umumnya terdapat di daerah parenkim yang tidak mempunyai reseptor batuk.
Gejala batuk kronik pada anak dapat timbul bila limfadenitis regional menekan
bronkus sehingga merangsang reseptor batuk secara kronik. Selain itu, batuk berulang
dapat timbul karena anak dengan TB mengalami penurunan imunitas tubuh,sehingga
mudah mengalami infeksi respiratorik akut (IRA) berulang.2
Pada pneumonia maupun bronkopneumonia, gejala yang timbul biasanya
mendadak tetapi dapat didahului dengan infeksi saluran nafas akut bagian atas.
Gejalanya antara lain batuk, demam tinggi terus menerus, sesak, kebiruan disekitar
mulut, menggigil (pada anak), kejang (pada bayi) dan nyeri dada. Biasanya anak lebih
suka berbaring pada sisi yang sakit.6
Pasien pada kasus ini berjenis kelamin laki-laki, dengan usia 10 bulan, dengan
berat badan 5,4 kg. Gejala yang dialami pasien pada awalnya adalah batuk berdahak
tanpa disertai pilek dan berlangsung lebih dari tiga minggu. Tidak ada demam tinggi,
hanya sumer-sumer. Demam berlangsung selama lebih dari dua minggu yang tidak
disertai keringat malam. Kemudian pasien tidak didapatkan sesak nafas, akan tanpa
disertai nafas berbunyi grok-grok akibat dahak yang sulit dikeluarkan serta pasien
memiliki riwayat bronkopnemonia saat berusia 9 bulan dan biru sejak umur 3 bulan
dan tidak memiliki riwayat kontak dengan keluarga yang mengalami batuk lama serta
mendapatkan pengobatan 6 bulan. Pada follow up hari ke 32 sampai dengan 35
perawatan didapatkan pasien mengalami demam yang naik turun tanpa sebab yang
jelas.
Pada pemeriksaan fisik pertama lakukan pada saat pasien diruangan
perawatan hari ke-sebelas. Gejala bronkopnemoni yang ditemukan pada pasien ini
adalah ronki diseluruh lapangan paru namun tidak disertai dengan adanya sesak.
Sedangkan untuk TB paru ditemukan adanya pembesaran kelenjar di daerah leher
sinistra sebanyak 1 buah,konsistensinya kenyal berukuran 1 cm dan mobile.
19
Pada pneumonia maupun bronkopneumonia, gambaran klinis pada bayi dan
anak bergantung pada berat-ringannya infeksi, tapi secara umum adalah sebagai
berikut:6
Gejala infeksi umum, yaitu demam 39 0C, sakit kepal gelisah, malaise,
penurunan nafsu makan, keluhan gastrointestinal seperti mual, muntah,
diare.
Gejala gangguan respiratori, yaitu batuk, sesak nafas, retraksi dada,
takipnea, nafas cuping hidung, air hunger, merintih dan sianosis.
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda klinis seperti pekak perkusi,
suara nafas melemah dan ronki. Gambaran klinis bronkopneumonia pada neonatus
dan bayi kecil tidak khas, lebih beragam dan tidak selalu jelas terlihat. Mencakup
serangan apnea, sianosis, merintih, nafas cuping hidung, takipnea, letargi, muntah,
tidak mau minum, takikardi atau bradikardi, retraksi subkosta dan demam.6
Pada TB paru gejala spesifik bergantung pada organ. Pembesaran kelenjar
limfe superfisialis sebagai manisfestasi TB sering dijumpai. Kelenjar yang sering
terkena adalah kelenjar limfe colli anterior atau posterior, tetapi juga dapat terjadi di
aksila, inguinal, submandibula, dan supraklavikula. Secara klinis, karakteristik
kelenjar yang dijumpai biasanya multiple, unilateral, tidak nyeri tekan, tidak hangat
pada perabaan, mudah digerakkan, dan dapat saling melekat satu sama lain.2
Pada pemeriksaan fisis, didapatkan berat badan pasien ini adalah 5,4 kg dan
tinggi badan 66 cm. Diagnosis malnutrisi berat relatif lebih mudah ditegakkan, sesuai
dengan kriteria WHO/NCHS (Z-score) tahun 1999, yang pada pasien menunjukkan
rasio berat badan menurut tinggi badan adalah -3 SD. Hal ini berarti telah terjadi
defisiensi nutrisi berat saat ini.
Menurut literature, Malnutrisi energi protein berat didiagnosis melalui
penilaian status gizi dan adanya gejala klinis sesuai jenis malnutrisinya. Berdasarkan
kriteria WHO/NCHS tahun 1999, malnutrisi energi protein berat bila berat badan
menurut umur (BB/U) 60% baku median WHO-NCHS dan/atau berat badan
menurut tinggi badan (BB/TB<70% baku median WHO-NCHS.8
20
Grafik 1. Z-score BB/U anak laki-laki usia lahir-5 tahun
21
kadang apatis. - Sering disertai diare kronik atau
- Anak sering menolak segala jenis konstipasi / susah buang air, serta penyakit
makanan (anoreksia). kronik.
- Pembesaran hati. - Tekanan darah, detak jantung dan
-Sering disertai infeksi, anemia dan diare. pernafasan berkurang.
- Rambut berwarna kusam dan mudah
dicabut.
- Gangguan kulit berupa bercak merah
yang meluas dan berubah menjadi hitam
terkelupas (crazy pavement dermatosis)
- Pandangan mata anak nampak sayu.
22
5) Pemberian ASI
Pemberian ASI yang terlalu lama tanpa pemberian makanan tambahan yang
cukup.
6) Gangguan metabolik
Misalnya: renal asidosis, idiopathic hypercalcemia, galactosemia, lactose
intolerance.
7) Tumor hypothalamus
Jarang dijumpai dan baru ditegakkan bila penyebab marasmus yang lain telah
disingkirkan.
8) Penyapihan
Penyapihan yang terlalu dini disertai dengan pemberian makanan yang
kurang akan menimbulkan marasmus.
9) Urbanisasi
Urbanisasi mempengaruhi dan merupakan predisposisi untuk timbulnya
marasmus, meningkatnya arus urbanisasi diikuti pula perubahan kebiasaan
penyapihan dini dan kemudian diikuti dengan pemberian susu manis dan susu yang
terlalu encer akibat dari tidak mampu membeli susu dan bila disertai dengan infeksi
berulang, terutama gastro enteritis akan menyebabkan anak jatuh dalam marasmus.
Pada pasien ini, terjadinya marasmus dapat diakibatkan dari beberapa faktor
pemberian makanan yang kurang terlihat pada intake (makan dan minum) sehari-hari
pasien, terjadinya infeksi pada pasien kasus sering mengalami batuk dan pilek
berulang, dan penyapihan terlalu dini.
Menurut UNICEF, terdapat 2 penyebab langsung gizi buruk, yaitu intake zat
gizi (dari makanan) yang kurang dan adanya penyakit infeksi. Kedua penyebab
langsung ini dipengaruhi oleh 3 faktor yang merupakan penyebab tak langsung, yaitu
ketersediaan pangan keluarga yang rendah, perilaku kesehatan (termasuk pola
asuh/perawatan ibu dan anak) yang tidak benar, serta pelayanan kesehatan rendah dan
23
lingkungan yang tidak sehat. Ketiga faktor tersebut bermuara pada kemiskinan dan
kebodohan, yang merupakan akibat langsung dari kebijakan politik dan ekonomi
yang tidak kondusif. Oleh karena itu, keadaan gizi masyarakat merupakan manifestasi
keadaan kesejahteraan rakyat.5,8,9,10
Dari pemeriksaan laboratorium darah lengkap saat pasien datang ditemukan
leukosit yang menurun 2100/mm3, menunjukkan adanya tanda-tanda infeksi pada
pasien, hemoglobin 10,6 g/dl, hematokrit 34,3 %, trombosit 287.000/mm 3. Menurut
literatur penyebab rendahnya jumlah sel darah putih termasuk: Influenza, lupus
eritematosus sistemik, limfoma Hodgkin, beberapa jenis kanker, malaria tipus, TBC,
demam berdarah, infeksi rickettsial, pembesaran limpa, kekurangan folat, psittacosis
dan sepsis. Banyak penyebab lain ada, seperti kekurangan mineral tertentu seperti
tembaga dan seng. Sedangkan untuk bronkopneumonia didapatkan adanya
leukositosis yang berkisar antara 15.000-40.000/mm3 dengan predominan PMN,
hitung jenis bergeser ke kiri.2,3
Foto rontgen harus diambil dari 2 sisi yaitu postero-anterior dan lateral.
Gambaran foto thoraks pada TB tidak khas, kelainan-kelainan radiologis pada TB
dapat dijumpai pula pada penyakit lain, sebaliknya foto rontgen yang normal tidak
dapat menyingkirkan diagnosis TB. Dengan demikian, pemeriksaan foto thoraks saja
tidak dapat digunakan untuk mendiagnosis TB. Secara umum gambaran radiologis
yang sugestif TB adalah pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan atau tanpa
infiltrat, konsolidasi segmental atau lobar, milier, kalsifikasi dengan infiltrat,
atelektasis,kavitas, efusi pleura dan tuberkuloma. Sedangkan pada bronkopnemonia
ditandai dengan gambaran difus merata pada kedua paru berupa bercak infiltrat yang
dapat meluas hingga daerah perifer paru, disertai dengan peningkatan corakan
peribronkial. Pada pasien, foto rontgen diambil dalam 2 posisi dengan intepretasi
infiltrat pada hilus kiri yang terdeteksi sebagai bronkopnemonia.2,3,6
Diagnosis pada pasien ini dapat disimpulkan dari hasil anamnesis,
pemeriksaan fisis dan pemeriksaan penunjang dengan menggunakan score TB untuk
24
mendiagnosis TB, sedangkan untuk menentukan tipe Kurang Energi Protein (KEP)
dengan menggunakan score Mc Laren.
UKK Respirologi IDAI 2008 menyusun sistim skoring yang dapat digunakan
sebagai uji tapis bila sarana memadai. Bila skor 6, beri OAT selama 2 bulan, lalu
evaluasi. Bila respon positif maka terapi diteruskan, tetapi bila tidak ada respon, rujuk
ke rumah sakit untuk ditinjau lebih lanjut.2
25
tulang/sendi
panggul, lutut,
falang
Foto Toraks Normal/tidak Sugestif TB
jelas
Jumlah
26
5,50 6,24 3
6,25 6,99 2
7,00 7,74 1
>7,75 0
Skor :
0-3 : Marasmus
4-8 : Marasmus Kwashiokor
9-13 : Kwashiokor
27
infeksi dengan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dan mulai pemberian cairan dan
makanan sesuai dengan penatalaksanaan gizi buruk yaitu tahap stabilisasi, tahap
transisi dan tahap rehabilitasi.
N FASE STABILISASI TRANSISI REHABILITA
o SI
Hari ke 1- Hari ke 2-7 Minggu ke-2 Minggu ke 3-7
2
1 Hipoglikemia
2 Hipotermia
3 Dehidrasi
4 Elektrolit
5 Infeksi
6 MulaiPemberian
Makanan
7 Tumbuh kejar
(Meningkatkan
Pemberian
Makanan)
8 Mikronutrien Tanpa Fe dengan Fe
9 Stimulasi
10 Tindak lanjut
28
Sesuai dengan perhitungan formula yang tepat pada pasien adalah F75 diberikan
12x60cc atau Modified Skim Coconut Oil/Modisco dengan pemberian 12x100 cc.
Pada tahap stabilisasi tidak diberikan pemberian tablet Fe. Namun vitamin A
pada hari 1 diberikan tanpa melihat ada atau tidaknya gejala defisiensi Vitamin A.
Vitamin A diberikan sesuai dengan usia < 6 bulan 50.000 SI, 6-11 bulan 100.000 SI
dan 1-5 tahun 200.000 SI. Vitamin lain dapat diberikan seperti asam folat dengan
pemberian hari pertama 5 mg/hari selanjutnya diberikan asam folat 1 mg/hari,
vitamin B kompleks diberikan sebanyak 1 tablet/hari dan vitamin C BB < 5 kg
sebanyak 50 mg/hari dan BB 5 kg 100 mg/hari. Menurut literature Anak yang
menderita KEP biasanya juga mengalami defisiensi mikronutrien, yang berpengaruh
buruk terhadap proses tumbuh kembang. Defisiensi mikronutrien yang sering terjadi
adalah defisiensi besi, iodium, asam folat, vitamin D, dan vitamin A.
Fase transisi : E = 100-150 kkal/kgBB/hr, Protein = 2-3 gr/kgBB/hari, cairan
150 ml/kgBB/hari.
Perhitungan pemberian cairan dan makanan dengan Berat Badan : 5,4 Kg
Energi : 100 150 kkal/kgBB/hr
: 540 810 kkal/hr
Protein : 2 3 gram/kgBB/hr
: 10,8 16,2 gram/hr
Cairan : 150 ml/KgBB/hr (tanpa edema)
: 810 ml/hr
Sesuai dengan perhitungan formula yang tepat pada pasien adalah F100 diberikan 6x
135 cc akan tetapi pada pasien hanya diberikan susu LLM 12 x 60 cc yang artinya
kalorinya hanya 7,2 x 66 = 475,2 kkal.
Fase rehabilitasi : E = 150- 220 kkal/kgBB/hr, Protein = 3-4 gr/kgBB/hari,
cairan 150-200 ml/kgBB/hari.
Perhitungan pemberian cairan dan makanan dengan Berat Badan : 5,4 Kg
Energi : 150- 220 kkal/kgBB/hr
29
: 810- 1188 kkal/hr
Protein : 3-4 gram/kgBB/hr
: 16,2 21,6 gram/hr
Cairan : 150-200 ml/KgBB/hr (tanpa edema)
: 810-1080 ml/hr
Sesuai dengan perhitungan formula yang tepat pada pasien adalah F135 3x100 dan
ditambah makanan lumat. Pada pasien ini diberikan:
- SGM 4x60cc = 2,4 x 60 cc= 144 kkal
-LLM 8x60cc= 4,8x 66 cc= 316,8 kkal
-makanan lumat = 3x 125cc = 375kkal +
835,8 kkal
Prinsip penatalaksaan TB anak adalah lebih cepat mengobati daripada
terlambat agar komplikasi tidak terjadi. Bila dianamnesis dan diperiksa, anak
kemungkinan besar menderita TB maka beri OAT selama 2 bulan. Lalu, observasi
apakah terdapat perbaikan klinis. Respon anak terhadap OAT (farmakokinetik)
berbeda dengan dewasa. Toleransi anak terhadap dosis OAT per kilogram berat badan
lebih tinggi. Efek samping hepatitis akibat isoniazid dan rifampisin lebih banyak
ditemukan pada anak. Maka dari itu, dianjurkan untuk memeriksa rutin uji faal hati
sebelum pengobatan, setelah 2 minggu dan 1 bulan pengobatan.2
Dosis OAT pada anak harus mengacu pada dosis per kilogram berat badan.
Karena OAT yang tersedia di pasaran berbentuk tablet untuk orang dewasa, maka saat
diberikan kepada anak, tablet itu harus digerus menjadi puyer. Tak hanya itu,
isoniazid, rifampisin, dan pirazinamid tidak boleh dicampur menjadi satu puyer sebab
dapat mengganggu bioavailabilitas rifampisin. Pemberian OAT pada teori sesuai
dengan laporan kasus dengan dosis INH 50 mg 1x1, PZA 75 mg 1x1, RIF 150 mg
1x1 dibuat puyer secara terpisah.2
30
(mg/kgBB/hari) (mg/hari)
Isoniazid 5-15* 300 Hepatitis, neuritis perifer,
hipersensitivitas
Rifampisin** 10-20 600
Gastrointestinal, reaksi kulit, hepatitis,
trombositopenia, peningkatan enzim hati,
cairan tubuh berwarna orange kemerahan
Pirazinamid 15-30 2000
Toksisitas hepar, artralgia,
Etambutol 15-20 1250 gastrointestinal
Ototoksik, nefrotoksik
* Bila INH dikombinasi dengan rifampisin, dosisnya tidak boleh melebihi 10 mg/kgBB/hari
** Rifampisin tidak boleh diracik dalam satu puyer dengan OAT lain karena dapat
mengganggu bioavailabitias rifampisin
31
Pemberian injeksi Dexametason 3x1,5 mg iv telah sesuai dengan dosis dan
berat badan yaitu dalam rentang 0,1-0,2 mg/kgBB/dosis. Penggunaan antibiotik pada
kasus ini adalah injeksi gentamicin 2x 15 mg iv dan injeksi Cefotaxim 3x150 mg iv.
Pemberian gentamicin diluar rentang dosis yaitu 2,5-5/kg BB/ hari yang seharusnya
6,75-13,5 mg/kali sedangkan cefotaxim sudah sesuai dengan rentang dosis yaitu 50-
100/kg BB/hari. Pada pasien ini pun terdapat gizi kurang, maka merupakan indikasi
untuk pemberian antibiotik segera saat tanda awal bronkopneumonia didapatkan,
yaitu dengan pilihan antibiotik sefalosporin generasi ketiga, seperti Cefotaxim.
Pada tanggal 6 desember, dilakukan anamnesa tentang riwayat kelahiran
pasien oleh ibu pasien, didapatkan bahwa pasien lahir dengan spontan, cukup bulan
(aterm), bidan yang membantu persalinan mengatakan bahwa bayinya normal, sehat,
dang langsung menangis (tidak ada ketubah keruh atau bayi tidak menangis saat
lahir). Namun beberapa jam kemudian, pasien langsung panas tinggi selama 3 hari
tanpa disertai kejang dan dibawa ke puskesmas untuk diobati dan terus kontrol ke
puskesmas selama 2 bulan. Ketika pasien berumur 3 bulan, ibu pasien mengatakan
bahwa kepala pasien dapat miring ke kiri maupun ke kanan, namun tidak dapat
mengangkat kepala dan tidak dapat melihat, sehingga ibu pasien berinisiatif ke
dokter spesialis saraf dan oleh dokter spesialis saraf dilakukan rekam otak dan CT-
Scan kepala.
Dari pemeriksaan tersebut didapatkan bahwa otak pasien kecil daripada
ukuran otak pada usia tersebut sehingga rongga kepala sebagian besar diisi oleh
cairan kepala. Dari dokter spesialis saraf dikatakan bahwa pasien menderita Higroma
dan pasien diberi obat anti kejang. Karena ibu pasien merasa bahwa perkembangan
anaknya lebih lambat daripada anak pada umumnya dan dianjurkan oleh teman ibu
pasien untuk membawa pasien ke pusat rehabilitasi untuk mengobati pasien, dan
ketika pasien berumur 9 bulan, ibu pasien membawa pasien ke pusat rehabilitasi. Di
pusat rehabilitasi, pasien mendapatkan pengobatan fisioterapi berupa terapi dengan
menggunakan bola dan terapi untuk melatih otot tangan dan kaki pasien, dan untuk
terapi bicara tidak dilakukan.
32
Tabel perkembangan anak menurut usia
Lahir s/d 3 bulan Belajar mengangkat kepala
Belajar mengikuti obyek dengan mata
Bereaksi terhadap bunyi
Menahan barang yang dipegang
Mengoceh spontan
1. Pranatal
Kelainan perkembangan dalam kandungan, faktor genetik, kelainan kromosom;
Usia ibu kurang dari 20 tahun dan lebih dari 40 tahun; Usia ayah < 20 tahun dan >
40 tahun; Infeksi intrauterin : TORCH dan sifilis; Radiasi sewaktu masih dalam
33
kandungan; Asfiksia intrauterin (abrubsio plasenta, plasenta previa, anoksia
maternal, kelainan umbilikus, perdarahan plasenta, ibu hipertensi, dan lain lain);
Keracunan kehamilan, kontaminasi air raksa pada makanan, rokok dan alcohol;
Induksi konsepsi; Riwayat obstetrik (riwayat keguguran, riwayat lahir mati,
riwayat melahirkan anak dengan berat badan < 2000 gram atau lahir dengan 12
kelainan morotik, retardasi mental atau sensory deficit); Toksemia gravidarum;
Inkompatibilitas Rh; Disseminated Intravascular Coagulation oleh karena
kematian prenatal pada salah satu bayi kembar; Maternal thyroid disorder; Siklus
menstruasi yang panjang; Maternal mental retardation; dan Maternal seizure
disorder
2. Perinatal
Anoksia / hipoksia; Perdarahan otak akibat trauma lahir; Prematuritas; Berat
badan lahir rendah; Postmaturitas; Primipara; Antenatal care; Hiperbilirubinemia;
Status gizi ibu saat hamil; Bayi kembar; Ikterus; Meningitis purulenta; Kelahiran
sungsang; Partus lama; Partus dengan induksi/ alat; Polyhidramnion; dan
Perdarahan pada trimester ketiga.
3. Postnatal
Anoksia otak : tenggelam, tercekik, post status epilepticus; Trauma kepala :
hematom subdural; Infeksi : meningitis / ensefalitis yang terjadi 6 bulan pertama
kehidupan; Luka parut pada otak pasca operasi; Racun : logam berat, CO; dan
Malnutrisi.
Pada pemeriksaan fisik, pasien tampak lemah (hanya tidur dan belum bisa
bangun sendiri), pada kedua tungkai (tangan dan kaki) fleksi dan lemah. Selain itu,
dilakukan pengamatan dan penilaian pertumbuhan melalui pengukuran status gizi
dengan metode Z score dan lingkar kepala dengan melihat kurva Nellhaus. Pada
pemeriksaan perkembangan, dilakukan dengan menggunakan Kuesioner Pra Skrining
Perkembangan (KPSP) yang meliputi aspek gerak kasar (motorik kasar), gerak halus
(motorik halus), kemampuan bicara serta sosialisasi dan kemandirian sesuai dengan
usia anak, atau dapat menggunakan metode Denver II.
34
Tujuan skrining/pemeriksaan perkembangan anak menggunakan KPSP adalah
untuk mengetahui perkembangan anak normal atau ada penyimpangan. Pemeriksaan
ini dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan, guru/ petugas PADU terlatih.16
Jadwal skrining/pemeriksaan KPSP rutin adalah pada umur 3, 6, 9, 12, 15, 18,
21, 24, 30, 36, 42, 48, 54, 60, 66, dan 72 bulan. Jika anak belum mencapai umur di
atas ketika akan dilakukan skrining/pemeriksaan tersebut, minta ibu dating kembali
pada umur skrining yang terdekat untuk pemeriksaan rutin. Namun apabila orang tua
dating dengan keluhan anaknya mempunyai masalah tumbuh kembang, sedang umur
anak bukan umur skrining maka pemeriksaan menggunakan KPSP untuk umur
skrining terdekat/ yang lebih muda.16
Cara menggunakan KPSP yaitu pada waktu pemeriksaan, anak harus dibawa;
kemudian tentukan umur anak dengan menanyakan tanggal, bulan, dan tahun
kelahiran anak (bila umur anak lebih 16 hari dibulatkan menjadi 1 bulan); setelah
menentukan umur anak, pilih KPSP yang sesuai dengan umur anak, dan kemudian
ajukan pertanyaan atau perintah sesuai dengan pertanyaan/ perintah yang ada di
kolom KPSP yang digunakan tersebut (pertanyaan pada KPSP dijawab oleh ibu/
pengasuh anak dan perintah pada KPSP dilaksanakan oleh ibu/pengasuh
anak/petugas. Setelah semua pertanyaan/ perintah telah dijawab/dilaksanakan,
kemudian ditelitti kembali apakah semua pertanyaan dan perintah telah
dijawab/dilaksanakan.16
Interpretasi hasil KPSP meliputi:16
o Hitunglah berapa jumlah jawaban Ya.
35
o Jumlah jawaban Ya = 9 atau 10, perkembangan anak sesuai dengan
tahap perkembangan (S).
36
1 Pada posisi bayi terlentang, pegang kedua Gerak Kasar Ya Tidak
dibelakang kursi?
4 Apakah bayi dapat memungut dua benda Gerak Kasar Ya Tidak
ini.
5 Jika anda mengangkat bayi melalui Gerak Kasar Ya Tidak
37
kedua kakinya? Jawab YA bila ia mencoba
selama 60 detik?
8 Apakah bayi dapat makan kue kering Sosialisasi & Ya Tidak
sendiri? Kemandirian
9 Pada waktu bayi bermain sendiri dan anda Bicara dan Ya Tidak
badannya?
38
sejak dini, agar dapat segera ditindaklanjuti untuk meningkatkan kemampuan daya
dengan dan bicara anak. Jadwal TTD adalah setiap 6 bulan pada bayi umur kurang
dari 12 bulan dan setiap 6 bulan pada anak umur 12 bulan ke atas. Cara melakukan
TDD meliputi: menanyakan tanggal, bulan, dan tahun kelahiran anak dan dihitung
umur anak dalam bulan; kemudian pilih daftar pertanyaan TDD yang sesuai dengan
umur anak; dan hitung jawaban untuk semua jawaban Ya maupun Jawaban Tidak
kemudian interpretasikan. Interpretasi untuk tes daya dengar yaitu bila ada satu atau
lebih jawaban Tidak, kemungkinan anak mengalami gangguan pendengaran. 16
Pemeriksaan tes daya dengar dilakukan dengan terlebih dahulu menanyakann
tanggal kelahiran pasien dan didapatkan usia pasien 10 bulan 4 hari sehingga di
bulatkan menjadi 10 bulan. Kemudian cocokkan usia pasien dengan kolom kuesioner
usia 9-12 bulan. Pada kolom kuesioner usia 9-12 bulan terdapat 4 perintah yang harus
16
dilakukan oleh ibu/petugas, dan didapatkan jawaban Ya sebanyak 4 buah.
Berdasarkan interpretasi hasil tes daya dengar, anak tidak mengalami gangguan
pendengaran.
tangannya ke atas?
3 Apabila ada suara nyaring (suara batuk, salak anjing, Ya Tidak
39
terkejut atau terlompat?
4 Anda berada disamping atau belakang bayi dan tidak Ya Tidak
Pada tes daya lihat dilakukan untuk mendeteksi secara dini kelainan daya lihat
agar segera dapat dilakukan tindak lanjut sehingga kesempatan untuk memperoleh
ketajaman daya lihat mendaji lebih besar. Jadwal tes daya lihat dilakukan setiap 6
bulan pada anak usia prasekolah umur 36 sampai 72 bulan. Pada pasien ini tidak
dilakukan tes daya lihat karena usia pasien belum mencukupi untuk dapat dilakuakn
tersebut. 16 Tetapi untuk memeriksa daya lihat, petugas melakukan tes refleks cahaya
serta tes pupil, dan didapatkan refleks cahaya positif (+) dengan pupil isokor
3mm/3mm.
Deteksi dini penyimpangan mental emosional adalah kegiatan/ pemeriksaan
untuk menemukan secara dini adanya masalah mental emosional, autism, dan
gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas pada anak, agar dapat segera
dilakukan tindakan intervensi. Ada beberapa jenis alat yang dapat digunakan untuk
tes tersebut, yaitu: kuesioner masalah mental emosional (KMME) bagi anak usia 36-
72 bulan, ceklis autis anak prasekolah (Checklist for Autism in Todller/CHAT) bagi
anak usia 18-36 bulan, dan formulir deteksi dini gangguan pemusatan perhatian dan
hiperaktivitas (GPPH).16 Pada pasien ini tidak dilakukan karena usia pasien belum
mencukupi untuk dilakukan tes tersebut.
Pada pemeriksaan penunjang telah dilakukan rekam otak (EEG) dan CT-Scan
kepala oleh dokter spesialis saraf ketika pasien berusia 3 bulan. Pada EEG didapatkan
gambaran spike/wave epileptikus dan pada CT-Scan kepala terdapat gambaran
penumpukan cairan pada rongga kepala.
Pada umumnya untuk mendiagnosa suatu CP pada usia di bawah 6 bulan
memang sangat sulit oleh karena pada usia dibawah 6 bulan tidak banyak didapatkan
40
fase perkembangan baru. Namun, tanda awal CP dapat tampak pada usia < 3 tahun,
dan orang tua sering mencurigai ketika kemampuan perkembangan motorik tidak
normal. Bayi dengan CP sering mengalami keterlambatan perkembangan, seperti
tengkurap, duduk, merangkan, berjalan, atau tersenyum. Selain itu, dalam
mendiagnosa suatu CP diperlukan pemeriksaan kemampuan motorik bayi dan melihat
kembali riwayat medis, mulai dari riwayat kehamilan, persalinan, dan kesehatan bayi.
Perlu juga dilakukan pemeriksaan refleks dan mengukur perkembangan lingkar
kepala anak. Pada pemeriksaan penunjang dapat dilakukan CT-Scan kepala, MRI
kepala dan USG kepala untuk menunjang diagnose CP.26,27
Pada beberapa literature yang ada disebutkan bahwa untuk membuka
alternative baru dari kekaburan di dalam penegakkan diagnose, Levine melakukan
suatu studi untuk mencari standar dari criteria untuk diagnose CP untuk kasus berusia
di atas 1 tahun. Kelainan klinis motorik oleh Levine, dibagi atas 6 kategori besar:28
1. Pola gerak dan postur
2. Pola gerak oral
3. Strabismus
4. Tonus otot
5. Evolusi dari reaksi postural dan Landmark
6. Deep tendon reflex, refleks primitif dan refleks plantar.
Namun sebagian besar dokter akan menunda diagnose formal/ diagnosa
definitif hingga anak berusia 2 tahun dan dilakukan oleh neonatologist, dokter anak
atau komunitas dokter anak yang telah berpengalaman dalam mendignosis CP.29
Pada pasien ini dapat disimpulkan dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisis dan
pemeriksaan penunjang didapatkan adanya gangguan dalam tumbuh kembang yang
mengarah ke diagnosa sementara berupa CP, namun tetap dipantau terus sampai usia
2 tahun untuk mendapatkan diagnosa definitif.
Perlu ditekankan pada orang tua penderita CP, bahwa tujuan dari pengobatan
bukan membuat anak menjadi seperti anak normal lainnya. Tetapi mengembangkan
sisa kemampuan yang ada pada anak tersebut seoptimal mungkin, sehingga
41
diharapkan anak dapat melakukan aktifitas seharihari tanpa bantuan atau hanya
membutuhkan sedikit bantuan saja.15
Berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
didapatkan pasien mengalami gangguan perkembangan pada aspek gerak kasar, gerak
halus, serta sosialisasi dan kemandirian. Untuk itu diperlukan terapi untuk
meningkatkan aspek-aspek tersebut, seperti melakukan stimulasi-stimulasi sesuai
dengan umur anak, namun pada pasien ini tidak dapat dilakukan karena berdasarkan
skrining KPSP didapatkan pasien kemungkinan ada penyimpangan yang diharuskan
untuk merujuk ke rumah sakit yang memiliki fasilitas untuk rehabilitasi medis. Dapat
diberikan obatobatan sesuai dengan kebutuhan anak, seperti obat-obatan anti kejang
maupun untuk spastic.15 Pada pasien telah diberikan obat anti kejang dan ini sesuai
dengan literature di atas, namun untuk pengobatan spastic diberikan karena pasien
tidak mengalami spastic.
Pada pusat rehabilitasi medis dapat dilakukan fisoterapi berupa latihan
penguatan otot (stretching), latihan penguatan dan peningkatan daya tahan otot
(endurance), latihan luas gerak sendi (ROM exercise), latihan duduk, latihan berdiri,
latihan pindah (transfer activity) dan latihan berjalan. 15,2,23,24,25 Pada pasien ini telah
melakukan fisioterapi sesuai dengan yang telah dijelaskan diliteratur, berupa latihan
penguatan otot (stretching) dan latihan penguatan dan peningkatan daya tahan otot
(endurance). Fisioterapi yang telah dilakukan adalah sebanyak 4 kali pertemuan (2x
seminggu) ketika usia 9 bulan, namun terhenti dikarenakan pasien harus rawat inap di
rumah sakit, dan akan berencana melanjutkan fisioterapi ketika keluar dari rumah
sakit.
42
KESIMPULAN
43
literatur yang ada berupa medikamentosa, dan fisioterapi untuk mengatasi gangguan
tumbuh kembang anak tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
44
8. Stempien, LM., Spira DG. Rehabilitation of Children and Adult with Cerebral
Palsy. Dalam : Branddom RL, eds. Physical Medicine & Rehabilitation.
Philadelphia : W.B. Saunders Company, 1996 ; 1113-1132.
10. Menkes, JH. Textbook of Chil Neurology. 4th ed. Philadelphia : Lea and
Febringer, 1990 : 302-316.
12. Gilroy, John M.D. Cerebral Palsy. Dalam : Basic Neurology. 2nd ed.
International, 1992 ; 64 66.
13. Kuban, KCK., Alan, Leviton. 1994. Cerebral Palsy. N Engl J Med; 330 : 188
195.
14. Soetjiningsih, dr. DSAK. Tumbuh Kembang Anak. IG.N. Gde Ranuh, editor.
Jakarta : ECG, 1995 ; 223 235.
15. Hamid, T., Satori, Dhewi Wahani. Ilmu Kedokteran Fisik Dan Rehabilitasi
(Physiatry). 1st ed. Surabaya : Unit Rehabilitasi Medik RSUD Dr.
Soetomo/FK UNAIR, 1992 ; 117-143.
16. Tim Revisi & Pengarah. Buku Pedoman Stimulasi Deteksi dan Intervensi Dini
Tumbuh Kembang Balita tahun 2005. Jakarta : Tim Revisi & Pengarah Buku
Pedoman Stimulasi Deteksi dan Intervensi Dini Tumbuh Kembang Balita,
2005.
18. Nelson, KB, Swaiman KF, Russman BS.. Cerebral Palsy. In Swaiman KF. Ed.
Pediatric Neurology : Principles and Practice. St Louis : Mosby. 1994; pp :
312 5.
45
19. Gilroy John, M.D, John Stirling Meyer, B.Sc., M.Sc., M.D. Pediatric
Neurology in Medical. Third Edition. New York : Macmillan Publishing Co.,
Inc. 1979; pp : 118 123.
20. Fletcher NA, Foley J. Parental Age, Genetic Mutation and Cerebral Palsy.
Journal of Medical Genetic. 1993; Vol 30 (1):44-46. (abstrak)
23. Rusk, HA. Rehabilitation Medicine. St. Louis. CV. Mosby. 1977; 474-495.
26. Blasco, PA. Preterm Birth: To Correct or Not To Correct. Dev Med Child
Neurol. 1989; 31: 816-821.
28. Levine, MS. Cerebral Palsy Diagnosis in Children Over Age 1 Year. Standart
Criteria. Arch Phys Med Rehabilitation. 1980; 61: 358-389.
46