Anda di halaman 1dari 46

TUBERCULOSIS PARU PADA ANAK

disusun oleh
dr. Akhmad Fahrozy

Pembimbing
dr. Suryantini, Sp. A

RSUD. Kudungga Sangatta


Kutai Timur
2016

1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tuberculosis paru merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh
Myocobacterium tuberculosis. Penyakit ini bersifat sistemik sehingga dapat mengenai
hampir semua organ tubuh dengan lokasi terbanyak di paru yang biasanya merupakan
lokasi infeksi primer. 1
Laporan mengenai TB anak jarang didapatkan, diperkirakan jumlah kasus TB
anak per tahun adalah 5-6 % dari kasus total TB. Pada negara berkembang TB pada
anak berusia < 15 tahun adalah 15% dari seluruh kasus TB, sedangkan di negara
maju, angkanya lebih rendah, yaitu 5-7 %. Menurut perkiraan WHO pada tahun 1999,
jumlah kasus TB baru di Indonesia adalah 583.000 orang per tahun dan menyebabkan
kematian sekitar 140.000 orang per tahun. Penyebab utama meningkatnya
tuberkulosis di dunia di antaranya karena kurangnya kepatuhan kepada program
penanggulangan tuberkulosis, diagnosis dan pengobatan yang tidak adekuat.2,3
Selain itu, gizi buruk masih merupakan masalah serius di Indonesia, walaupun
pemerintah Indonesia telah berupaya untuk menanggulanginya. Data Susenas
menunjukkan bahwa jumlah balita yang BB/U < -3 SD Z-score WHO-NCHS sejak
tahun 1989 meningkat dari 6,3% menjadi 7,2% pada tahun 1992 dan mencapai
puncaknya 11,6% pada tahun 1995. Gizi buruk ini sering disebut juga kurang energi
protein (KEP) berat. Terdapat 3 bentuk KEP berat secara klinis yaitu marasmus,
kwashiorkor, dan marasmik-kwashiorkor. Hal ini dapat terjadi karena asupan kalori
yang inadekuat (kurangnya asupan energi dan protein dalam makanan yang tidak
memenuhi angka kecukupan gizi). Pada umumnya Tuberculosis paru sering
menyebabkan gizi buruk yang akan disertai dengan penyakit infeksi seperti diare,
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA), serta penyakit infeksi lainnya. Data dari
WHO menunjukkan bahwa 54% angka kesakitan pada balita disebabkan karena gizi

2
buruk, 19% diare, 19% Infeksi Saluran Pernafasan Akut, 18% perinatal, 7% campak,
5% malaria dan 32% penyebab lain.4,5
Deteksi dini pada anak-anak yang mengalami kelainan neurologis sangatlah
penting pada setiap tahapan yang dilalui anak sejak dari dalam kandungan sampai
dengan anak tumbuh dan berkembang, sehingga pelayanan kesehatan pada anak perlu
dilakukan sedini mungkin untuk deteksi dini apabila terjadi gangguan pada tahap-
tahap tersebut, mengingat bahwa anak merupakan generasi penerus bangsa dan
Negara.6
Anak memiliki suatu ciri khas yaitu selalu tumbuh dan berkembang sejak
konsepsi sampai berakhirnya masa remaja. Hal ini yang membedakan anak dengan
dewasa. Anak bukan dewasa kecil karena pada anak menunjukkan ciri-ciri
pertumbuhan dan perkembangan sesuai dengan usianya, sehingga masa tumbuh
kembang anak merupakan masa yang penting. Pertumbuhan adalah bertambahnya
ukuran dan jumlah sel serta jaringan interseluler, berarti bertambahnya ukuran fisik
dan struktur panjang tubuh sebagian atau keseluruhan sehingga dapat diukur dengan
satuan panjang dan berat. Perkembangan adalah bertambahnya struktur dan fungsi
tubuh yang lebih kompleks dalam kemampuan gerak kasar, gerak halus, bicara dan
bahasa serta sosisalisasi dan kemandirian.16
Pertumbuhan terjadi secara simultan dengan perkembangan. Berbeda dengan
pertumbuhan, perkembangan merupakan hasil interaksi kematangan susunan saraf
pusat dengan organ yang dipengaruhinya, misalnya perkembangan sistem
neuromuskuler, kemampuan berbicara, emosi dan sosialisasi. Kesemua fungsi
tersebut berperan penting dalam kehidupan manusia yang utuh. Banyak faktor baik
internal maupun eksternal yang dapat mempengaruhi keberhasilan tumbuh kembang
anak. Salah satu faktor yang mempengaruhi tumbuh kembang anak tersebut adalah
kematangan sistem saraf, mulai dari otak sampai dengan saraf tepi. Perkembangan
dari susunan sistem saraf anak sejak dari dalam kandungan hingga masa tumbuh
kembang dipengaruhi oleh berbagai faktor yang bersifat positif dan negatif. Pada

3
kondisi cerebral palsy (CP) mendapatkan pengaruh yang negatif, sehingga
mengakibatkan gangguan perkembangan susunan saraf pusatnya.6
Cerebral palsy (CP) adalah kelainan postur tubuh dan gangguan
perkembangan motorik yang banyak ditemukan pada anak-anak dalam prakterk
rehabilitasi, baik di negara berkembang maupun di negara maju. Gangguan
perkembangan motorik ini terjadi karena otak mengalami kerusakan pada masa
perkembangan dini. Pada umumnya kelainan CP disertai dengan gangguan bicara,
pendengaran, penglihatan, strabismus, kejang maupun retardasi mental. Pada
umumnya kerusakan yang terjadi pada kondisi CP terdapat pada korteks serebri,
ganglia basalis dan serebellum. Kelainan yang disebabkan oleh kerusakan tersebut
bersifat non progresif dan kerusakannya tidak berlanjut lagi, tetapi penderita
menunjukkan manifestasi klinik berupa kelainan postur dan gerak yang masih dapat
berubah akibat maturasi sesuai dengan perkembangan umur.6,7,8,9,10
Kapan otak dikatakan matur, sampai saat ini masih menjadi kontroversi. Otak
dianggap matang kirakira pada usia 4 tahun, sedangkan menurut The American
Academy for Cerebral Palsy batas kematangan otak adalah 5 tahun. Adapula
beberapa penelitian yang menyebutkan bahwa kematangan otak terjadi pada usia 8
9 tahun.12
Di Amerika, prevalensi penderita CP dari yang ringan hingga yang berat
berkisar antara 1,5 sampai 2,5 tiap 1000 kelahiran hidup. Angka ini didapatkan
berdasarkan data yang tercatat pada pelayanan kesehatan, yang dipastikan lebih
rendah dari angka yang sebenarnya. (Kuban, 1994) Suatu penelitian pada anakusia
sekolah, prevalensi CP ditemukan 1,2 2,5 anak per 1.000 populasi. Sedikitnya 5.000
kasus baru CP terjadi tiap tahunnya. (Gordon, 1987; Gilroy, 1992) Dari kasus tersebut
10 % sampai 15 % CP didapatkan adanya kelainan otak yang biasanya disebabkan
oleh infeksi atau trauma setelah bulan pertama kehidupan.11,12
Di Indonesia, prevalensi penderita CP diperkirakan sekitar 1 5 per 1.000
kelahiran hidup. Di YPAC Surakarta tercatat 58 penyandang CP pada peride
Desember 2007 sampai dengan Mei 2008. Bayi lakilaki mempunyai resiko

4
terjadinya CP lebih besar daripada perempuan. Seringkali terdapat pada anak
pertama. Hal ini mungkin dikarenakan kelahiran pertama lebih sering mengalami
kelahiran macet. Angka kejadiannya lebih tinggi pada bayi berat badan lahir rendah
dan kelahiran kembar. Umur ibu seringkali lebih dari 40 tahun, terlebih lagi pada
multipara.14
Dalam laporan kasus ini akan dibawakan mengenai tuberkulosis paru dan
adanya gangguan tumbuh kembang yang mengarah ke cerebral palsy pada anak.

1.2 Tujuan
Tujuan pembuatan laporan kasus ini adalah :
1. Menambah ilmu dan pengetahuan mengenai penyakit yang dilaporkan.
2. Membandingkan informasi yang terdapat pada literatur dengan kenyataan yang
terdapat pada kasus.
3. Melatih mahasiswa dalam melaporkan dengan baik suatu kasus yang didapat.

5
LAPORAN KASUS

Identitas pasien
Nama : An. D
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 10 bulan
Alamat : Jl. Kabo, Sangatta
Anak ke : 2 dari 2 bersaudara
MRS : 1 September 2016

Identitas Orang Tua


Nama Ayah : Tn. B
Umur : 30 tahun
Alamat : jl.Kabo
Pekerjaan : swasta
Pendidikan Terakhir : SMK
Golongan darah : Tidak diketahui
Ayah perkawinan ke :1
Riwayat kesehatan ayah : tidak ada

Nama Ibu : Ny.N


Umur : 28 tahun
Alamat : jl.Kabo
Pekerjaan : IRT
Pendidikan Terakhir : SMK
Golongan darah : Tidak diketahui
Ibu perkawinan ke :1
Riwayat kesehatan ayah : tidak ada

Keluhan Utama : Batuk


Riwayat Penyakit Sekarang :

6
Batuk dialami pasien sejak 1 bulan sebelum MRS, batuk berdahak, dahak
berwarna putih dan sulit dikeluarkan, darah (-), sesak (-), suara nafas berbunyi grok-
grok. Batuk juga disertai demam yang naik turun, menggigil (-), mengigau (-),
berkeringat (-). Pasien mengalami penurunan berat badan sejak sakit karena nafsu
makannya menurun.

Riwayat Penyakit Dahulu :


Pasien pernah dirawat di RS A 1 bulan yang lalu dan didiagnosa
bronkopnemonia. Pasien juga sejak umur 3 bulan jika menangis lama membiru dan
kaku pada tangan,tetapi jika langsung digendong tidak jadi mebiru dan kaku. Saat
berumur 3 bulan ibu merasa anaknya mengalami keterlambatan dalam perkembangan
anaknya sehingga membawa anaknya ke dr. Spesialis saraf dan dilakukan CT scan
kepala didiagnosa otak mengecil dan mendapatkan pengobatan anti kejang serta rutin
melakukan terapi rehabilitasi.

Riwayat Penyakit Keluarga :


Tidak ada keluarga yang menderita batuk lama,dan mendapatkan pengobatan
6 bulan.

Riwayat Sosio-Ekonomi Keluarga :


Pasien diasuh oleh orang tua, ayah bekerja sebagai pegawai perusahaan, dan
ibu tidak bekerja. Penghasilan keluarga tetap, kurang lebih Rp 6.000.000/bulan.
Keluarga pasien tinggal di daerah Gerilya. Rumah terbuat dari kayu, beratap
seng, ventilasi dan pencahayaan cukup. WC yang digunakan berada di dalam rumah.

Riwayat Saudara-Saudaranya :
Hamil Kondisi Jenis Usia Sehat Umur Sebab
ke saat Lahir Persalinan / Meningg Meningg

7
Tidak al al
1 Aterm Spontan 4 tahun sehat

Pertumbuhan Dan Perkembangan Anak :


Berat badan lahir : 3000 gr
Panjang badan lahir : 51 cm
Berat badan sekarang : 5,4 kg (saat masuk RS)
Tinggi badan sekarang : 66 cm
Gigi keluar : 6 bulan
Tersenyum : ibu lupa
Miring : 6 bulan
Tengkurap : belum bisa
Duduk : belum bisa
Merangkak : belum bisa
Berdiri : belum bisa
Berjalan : belum bisa
Berbicara 2 suku kata :-
Masuk TK :-
Sekarang kelas :-

Makan Minum anak :


ASI : 0 bulan 7 bulan
Dihentikan : 7 bulan
Susu sapi/buatan : SGM / Nutrilon ( 4 sendok takar dalam 120 ml,
3 kali sehari)
Buah : 6 bulan
Bubur susu : 6 bulan (3 kali sehari 5-6 sendok)
Tim saring :-
Makanan padat, lauknya :-

8
Pemeliharaan Prenatal
Periksa di : Bidan
Obat-obatan yang sering diminum : Vitamin

Riwayat Kelahiran :
Lahir di : RS, ditolong oleh : bidan
Berapa bulan dalam kandungan : 9 bulan
Jenis partus : spontan, langsung menangis

Pemeliharaan postnatal :
Periksa di : Posyandu
Keadaan anak : sehat
Keluarga berencana : Ya, metode suntik

IMUNISASI
Imunisasi Usia saat imunisasi
I II III IV Booster I Booster II
BCG (+) //////////// //////////// //////////// //////////// ////////////
Polio (+) (+) (+) (+) - -
Campak - - //////////// //////////// //////////// ////////////
DPT (+) (+) (+) //////////// - -
Hepatitis (+) (+) (+) ////////// - -
B

PEMERIKSAAN FISIK
Dilakukan pada tanggal 6 Desember 2010
Kesan umum : sakit sedang
Kesadaran : E4M6V5

9
Tanda Vital
Frekuensi nadi : 130x/menit, regular, kuat angkat
Frekuensi napas : 28x/menit, regular
Temperatur : 37,30C

Berat badan : 5,4 kg


Panjang Badan : 66 cm
Status Gizi : Gizi Buruk (kurva CDC di bawah 3 SD)

Lingkar kepala : 42 cm (mikrochepal= < 2 SD)

10
Kepala
Rambut : Hitam
Mata : Anemis (-/-), Ikterik (-/-), Sianosis (-/-), Refleks
Cahaya (+/+), Pupil: Isokor (3mm/3mm).
Hidung : Sumbat (-), Sekret (-)
Telinga : Bersih, Sekret (-)
Mulut : Lidah bersih, faring Hiperemis(-), mukosa bibir basah,
pembesaran Tonsil (-/-)

Leher
Pembesaran Kelenjar : Pembesaran KGB (+) konsistensi kenyal, mobile, berukuran 1
cm

11
Thoraks
Pulmo
Inspeksi : Bentuk dan pergerakan simetris, retraksi ICS (-)
Palpasi : Fremitus raba dekstra sama dengan sinistra
Perkusi : Sonor di semua lapangan paru
Auskultasi : bronkovesikuler, Ronki (+/+), wheezing (-/-)
Cor:
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba pada ICS V MCL sinistra, thrill (-)
Perkusi : Batas jantung
Kanan : ICS III, 3 cm dari right parasternal line
Kiri : ICS V left midclavicular line
Auskultasi : S1S2 tunggal reguler, gallop (-), murmur (-)

Abdomen
Inspeksi : Tampak datar
Palpasi : Soefel, nyeri tekan (-), organomegali (-), turgor kulit baik.
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal

Genitalia : Dalam batas normal


Ekstremitas : Akral hangat (+), oedem (-), hipotoni

12
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan darah saat pasien masuk
Hemoglobin : 10,6 gr/dl
Leukosit : 2100 /mm3
Hematokrit : 34,3 %
Trombosit : 287.000/mm3

Foto thoraks AP/lateral

13
14
\

15
Hasil CT scan

Skor TB
Parameter Skor
Kontak TB 0
Uji Tuberkulin 3 (10 mm)
Status Gizi 2 (klinis Gizi Buruk)
Demam tanpa sebab yang jelas 1 (1 bulan)
Batuk 1 (1 bulan)
Pembesaran KGB 1 (KGB colli)
Pembengkakan tulang/sendi -
Foto 1
Total 9

Diagnosis sementara : TB paru


Diagnosa komplikasi : Bronkopnemonia
Gizi Buruk

16
Diagnosa lain : Cerebral Palsy

PENATALAKSANAAN :
- Mucopect syr 3x1 cth
- Sanmol syr 4x 0,6 ml
- gentamycin 2x 15 mg
- inj.Cefotaxim 3x200 mg
- Dexa 3x 1,5 mg

Prognosa : Dubia at bonam

PEMBAHASAN

17
Diagnosis tuberculosis paru dan cerebral palsy pada laporan kasus ini
ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
yang dilakukan.
Pada tanggal 6 Desember dilakukan anamnesa pada pasien didapatkan batuk
dialami pasien sejak 1 bulan sebelum MRS, batuk berdahak, dahak berwarna putih
dan sulit dikeluarkan, darah (-), sesak (-), suara nafas berbunyi grok-grok. Batuk juga
disertai demam yang naik turun, menggigil (-), mengigau (-), berkeringat (-). Pasien
mengalami penurunan berat badan sejak sakit karena nafsu makannya menurun.
Patogenesis TB sangatlah kompleks, sehingga manisfestasi klinis TB sangat
bervariasi dan bergantung pada beberapa faktor. Faktor yang berperan adalah kuman
TB, penjamu, serta interaksi keduanya. Faktor kuman bergantung pada jumlah dan
virulensi kuman, sedangkan faktor penjamu bergantung pada usia,kompetensi imun
serta kerentanan penjamu pada awal terjadinya infeksi. Anak kecil seringkali tidak
menunjukkan gejala walaupun sudah tampak pembesaran kelenjar hilus pada foto
Rontgen thoraks.2
Manisfestasi klinis TB terbagi 2 yaitu manisfestasi sistemik dan lokal.
Manisfestasi sistemik inilah yang dapat kita ketahui dari anamnesa kepada pasien.
Manisfestasi sistemik adalah gejala yang bersifat umum dan tidak spesifik karena
dapat disebabkan oleh berbagai penyakit atau keadaan lain. Sebagian besar anak
dengan TB tidak memperlihatkan gejala dan tanda selama beberapa waktu. Sesuai
dengan sifat kuman TB yang lambat membelah,manisfestasi klinis TB umumnya
bertahap dan perlahan.2
Salah satu gejala sistemik yang sering terjadi adalah demam. Temuan demam
pada pasien TB berkisar antara 40-80% kasus. Biasanya demam hilang timbul dalam
jangka waktu yang cukup lama. Manisfestasi sistemik lain yang sering dijumpai
adalah anoreksia, berat badan tidak naik (turun,tetap,atau naik tetapi tidak sesuai
dengan grafik pertumbuhan), dan malaise (letih,lemah,lesu). Keluhan ini sulit diukur
dan mungkin terkait dengan penyakit penyerta.2

18
Pada sebagian besar kasus TB paru pada anak, tidak ada manisfestasi
respiratorik yang menonjol. Batuk kronik merupakan gejala tersering pada TB paru
dewasa, tetapi pada anak bukan merupakan gejala utama. Fokus primer TB paru pada
anak umumnya terdapat di daerah parenkim yang tidak mempunyai reseptor batuk.
Gejala batuk kronik pada anak dapat timbul bila limfadenitis regional menekan
bronkus sehingga merangsang reseptor batuk secara kronik. Selain itu, batuk berulang
dapat timbul karena anak dengan TB mengalami penurunan imunitas tubuh,sehingga
mudah mengalami infeksi respiratorik akut (IRA) berulang.2
Pada pneumonia maupun bronkopneumonia, gejala yang timbul biasanya
mendadak tetapi dapat didahului dengan infeksi saluran nafas akut bagian atas.
Gejalanya antara lain batuk, demam tinggi terus menerus, sesak, kebiruan disekitar
mulut, menggigil (pada anak), kejang (pada bayi) dan nyeri dada. Biasanya anak lebih
suka berbaring pada sisi yang sakit.6
Pasien pada kasus ini berjenis kelamin laki-laki, dengan usia 10 bulan, dengan
berat badan 5,4 kg. Gejala yang dialami pasien pada awalnya adalah batuk berdahak
tanpa disertai pilek dan berlangsung lebih dari tiga minggu. Tidak ada demam tinggi,
hanya sumer-sumer. Demam berlangsung selama lebih dari dua minggu yang tidak
disertai keringat malam. Kemudian pasien tidak didapatkan sesak nafas, akan tanpa
disertai nafas berbunyi grok-grok akibat dahak yang sulit dikeluarkan serta pasien
memiliki riwayat bronkopnemonia saat berusia 9 bulan dan biru sejak umur 3 bulan
dan tidak memiliki riwayat kontak dengan keluarga yang mengalami batuk lama serta
mendapatkan pengobatan 6 bulan. Pada follow up hari ke 32 sampai dengan 35
perawatan didapatkan pasien mengalami demam yang naik turun tanpa sebab yang
jelas.
Pada pemeriksaan fisik pertama lakukan pada saat pasien diruangan
perawatan hari ke-sebelas. Gejala bronkopnemoni yang ditemukan pada pasien ini
adalah ronki diseluruh lapangan paru namun tidak disertai dengan adanya sesak.
Sedangkan untuk TB paru ditemukan adanya pembesaran kelenjar di daerah leher
sinistra sebanyak 1 buah,konsistensinya kenyal berukuran 1 cm dan mobile.

19
Pada pneumonia maupun bronkopneumonia, gambaran klinis pada bayi dan
anak bergantung pada berat-ringannya infeksi, tapi secara umum adalah sebagai
berikut:6
Gejala infeksi umum, yaitu demam 39 0C, sakit kepal gelisah, malaise,
penurunan nafsu makan, keluhan gastrointestinal seperti mual, muntah,
diare.
Gejala gangguan respiratori, yaitu batuk, sesak nafas, retraksi dada,
takipnea, nafas cuping hidung, air hunger, merintih dan sianosis.
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda klinis seperti pekak perkusi,
suara nafas melemah dan ronki. Gambaran klinis bronkopneumonia pada neonatus
dan bayi kecil tidak khas, lebih beragam dan tidak selalu jelas terlihat. Mencakup
serangan apnea, sianosis, merintih, nafas cuping hidung, takipnea, letargi, muntah,
tidak mau minum, takikardi atau bradikardi, retraksi subkosta dan demam.6
Pada TB paru gejala spesifik bergantung pada organ. Pembesaran kelenjar
limfe superfisialis sebagai manisfestasi TB sering dijumpai. Kelenjar yang sering
terkena adalah kelenjar limfe colli anterior atau posterior, tetapi juga dapat terjadi di
aksila, inguinal, submandibula, dan supraklavikula. Secara klinis, karakteristik
kelenjar yang dijumpai biasanya multiple, unilateral, tidak nyeri tekan, tidak hangat
pada perabaan, mudah digerakkan, dan dapat saling melekat satu sama lain.2
Pada pemeriksaan fisis, didapatkan berat badan pasien ini adalah 5,4 kg dan
tinggi badan 66 cm. Diagnosis malnutrisi berat relatif lebih mudah ditegakkan, sesuai
dengan kriteria WHO/NCHS (Z-score) tahun 1999, yang pada pasien menunjukkan
rasio berat badan menurut tinggi badan adalah -3 SD. Hal ini berarti telah terjadi
defisiensi nutrisi berat saat ini.
Menurut literature, Malnutrisi energi protein berat didiagnosis melalui
penilaian status gizi dan adanya gejala klinis sesuai jenis malnutrisinya. Berdasarkan
kriteria WHO/NCHS tahun 1999, malnutrisi energi protein berat bila berat badan
menurut umur (BB/U) 60% baku median WHO-NCHS dan/atau berat badan
menurut tinggi badan (BB/TB<70% baku median WHO-NCHS.8

20
Grafik 1. Z-score BB/U anak laki-laki usia lahir-5 tahun

Keadaan penderita yang tidak disertai edema menggambarkan bahwa


penderita telah mengalami kekurangan kalori dan protein berat, atau dikenal dengan
tipe marasmus. Menurut literature, gejala klinis malnutrisi energi protein berat secara
garis besar dibedakan dalam 3 tipe, yaitu marasmus, kwashiorkor atau marasmik-
kwashiorkor.
Tanda dan gejala klinis kwashiorkor, antara Tanda dan gejala klinis marasmus, antara
lain: lain:
- Edema umumnya di seluruh tubuh - Anak tampak sangat kurus, tinggal tulang
terutama pada kaki (dorsum pedis). terbungkus kulit.
- Wajah membulat dan sembab. - Wajah seperti orangtua
- Otot-otot mengecil, lebih nyata apabila - Cengeng, rewel
diperiksa pada posisi berdiri dan duduk, - Perut cekung.
anak berbaring terus menerus. - Kulit keriput, jaringan lemak subkutis
- Perubahan status mental : cengeng, rewel, sangat sedikit sampai tidak ada.

21
kadang apatis. - Sering disertai diare kronik atau
- Anak sering menolak segala jenis konstipasi / susah buang air, serta penyakit
makanan (anoreksia). kronik.
- Pembesaran hati. - Tekanan darah, detak jantung dan
-Sering disertai infeksi, anemia dan diare. pernafasan berkurang.
- Rambut berwarna kusam dan mudah
dicabut.
- Gangguan kulit berupa bercak merah
yang meluas dan berubah menjadi hitam
terkelupas (crazy pavement dermatosis)
- Pandangan mata anak nampak sayu.

Tanda-tanda marasmuskwashiorkor merupakan gabungan tanda-tanda dari


marasmus dan kwashiorkor.5,6,9
Secara garis besar sebab-sebab marasmus ialah sebagai berikut:
1) Masukan makanan yang kurang
Marasmus terjadi akibat masukan kalori yang sedikit, pemberian makanan
yang tidak sesuai dengan yang dianjurkan akibat dari ketidaktahuan orang tua si anak;
misalnya pemakaian secara luas susu kaleng yang terlalu encer.
2) Infeksi
Infeksi yang berat dan lama menyebabkan marasmus, terutama infeksi enteral
misalnya infantil gastroenteritis, bronkhopneumonia, pielonephritis dan sifilis
kongenital.
3) Kelainan struktur bawaan
Misalnya: penyakit jantung bawaan, penyakit Hirschprung, deformitas
palatum, palatoschizis, micrognathia, stenosis pilorus, hiatus hernia, hidrosefalus,
cystic fibrosis pancreas.
4) Prematuritas dan penyakit pada masa neonatus
Pada keadaan-keadaan tersebut pemberian ASI kurang akibat reflek mengisap
yang kurang kuat.

22
5) Pemberian ASI
Pemberian ASI yang terlalu lama tanpa pemberian makanan tambahan yang
cukup.

6) Gangguan metabolik
Misalnya: renal asidosis, idiopathic hypercalcemia, galactosemia, lactose
intolerance.
7) Tumor hypothalamus
Jarang dijumpai dan baru ditegakkan bila penyebab marasmus yang lain telah
disingkirkan.
8) Penyapihan
Penyapihan yang terlalu dini disertai dengan pemberian makanan yang
kurang akan menimbulkan marasmus.
9) Urbanisasi
Urbanisasi mempengaruhi dan merupakan predisposisi untuk timbulnya
marasmus, meningkatnya arus urbanisasi diikuti pula perubahan kebiasaan
penyapihan dini dan kemudian diikuti dengan pemberian susu manis dan susu yang
terlalu encer akibat dari tidak mampu membeli susu dan bila disertai dengan infeksi
berulang, terutama gastro enteritis akan menyebabkan anak jatuh dalam marasmus.
Pada pasien ini, terjadinya marasmus dapat diakibatkan dari beberapa faktor
pemberian makanan yang kurang terlihat pada intake (makan dan minum) sehari-hari
pasien, terjadinya infeksi pada pasien kasus sering mengalami batuk dan pilek
berulang, dan penyapihan terlalu dini.
Menurut UNICEF, terdapat 2 penyebab langsung gizi buruk, yaitu intake zat
gizi (dari makanan) yang kurang dan adanya penyakit infeksi. Kedua penyebab
langsung ini dipengaruhi oleh 3 faktor yang merupakan penyebab tak langsung, yaitu
ketersediaan pangan keluarga yang rendah, perilaku kesehatan (termasuk pola
asuh/perawatan ibu dan anak) yang tidak benar, serta pelayanan kesehatan rendah dan

23
lingkungan yang tidak sehat. Ketiga faktor tersebut bermuara pada kemiskinan dan
kebodohan, yang merupakan akibat langsung dari kebijakan politik dan ekonomi
yang tidak kondusif. Oleh karena itu, keadaan gizi masyarakat merupakan manifestasi
keadaan kesejahteraan rakyat.5,8,9,10
Dari pemeriksaan laboratorium darah lengkap saat pasien datang ditemukan
leukosit yang menurun 2100/mm3, menunjukkan adanya tanda-tanda infeksi pada
pasien, hemoglobin 10,6 g/dl, hematokrit 34,3 %, trombosit 287.000/mm 3. Menurut
literatur penyebab rendahnya jumlah sel darah putih termasuk: Influenza, lupus
eritematosus sistemik, limfoma Hodgkin, beberapa jenis kanker, malaria tipus, TBC,
demam berdarah, infeksi rickettsial, pembesaran limpa, kekurangan folat, psittacosis
dan sepsis. Banyak penyebab lain ada, seperti kekurangan mineral tertentu seperti
tembaga dan seng. Sedangkan untuk bronkopneumonia didapatkan adanya
leukositosis yang berkisar antara 15.000-40.000/mm3 dengan predominan PMN,
hitung jenis bergeser ke kiri.2,3
Foto rontgen harus diambil dari 2 sisi yaitu postero-anterior dan lateral.
Gambaran foto thoraks pada TB tidak khas, kelainan-kelainan radiologis pada TB
dapat dijumpai pula pada penyakit lain, sebaliknya foto rontgen yang normal tidak
dapat menyingkirkan diagnosis TB. Dengan demikian, pemeriksaan foto thoraks saja
tidak dapat digunakan untuk mendiagnosis TB. Secara umum gambaran radiologis
yang sugestif TB adalah pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan atau tanpa
infiltrat, konsolidasi segmental atau lobar, milier, kalsifikasi dengan infiltrat,
atelektasis,kavitas, efusi pleura dan tuberkuloma. Sedangkan pada bronkopnemonia
ditandai dengan gambaran difus merata pada kedua paru berupa bercak infiltrat yang
dapat meluas hingga daerah perifer paru, disertai dengan peningkatan corakan
peribronkial. Pada pasien, foto rontgen diambil dalam 2 posisi dengan intepretasi
infiltrat pada hilus kiri yang terdeteksi sebagai bronkopnemonia.2,3,6
Diagnosis pada pasien ini dapat disimpulkan dari hasil anamnesis,
pemeriksaan fisis dan pemeriksaan penunjang dengan menggunakan score TB untuk

24
mendiagnosis TB, sedangkan untuk menentukan tipe Kurang Energi Protein (KEP)
dengan menggunakan score Mc Laren.
UKK Respirologi IDAI 2008 menyusun sistim skoring yang dapat digunakan
sebagai uji tapis bila sarana memadai. Bila skor 6, beri OAT selama 2 bulan, lalu
evaluasi. Bila respon positif maka terapi diteruskan, tetapi bila tidak ada respon, rujuk
ke rumah sakit untuk ditinjau lebih lanjut.2

Tabel 1. Sistem Skoring Diagnosis TB pada anak


Parameter 0 1 2 3 Skor
Kontak TB Tidak Jelas Laporan Keluarga, BTA
BTA (-) atau tidak positif
tahu, BTA tidak
jelas
Uji Tuberkulin Negative Positif (
10 mm
atau 5
mm pd
keadaan
imunosupr
esi)
Status Gizi Gizi baik Gizi Kurang Gizi Buruk tampak
tampak sehat tampak sangat kurus
(BB/TB kurus (BB/TB <-3SD) &
antara -2SD- (BB/TB - atau ada edema
+2SD) 3SD-<- pada kedua
2SD) punggung kaki
sampai seluruh
tubuh
Demam tanpa 2 mgg
sebab jelas
Batuk 3 mgg
Pembesaran 1 cm,
kelenjar limfe jumlah > 1,
koli, aksila, tidak nyeri
inguinal
Pembengkakan

25
tulang/sendi
panggul, lutut,
falang
Foto Toraks Normal/tidak Sugestif TB
jelas
Jumlah

Pada penderita perhitungan sistem skoring diagnosis TB anak bernilai 9.


Menurut literature, bila skor 6, dilakukan pemberian OAT selama 2 bulan, lalu
evaluasi. Bila respon positif maka terapi diteruskan sesuai dengan terapi lini pertama
pengobatan TB pada anak.2
Penentuan skor Mc laren sebagai system diagnosis untuk menentukan tipe Kurang
Energi Protein.10 Penilain ini dilakukan berdasarkan gejala klinis yang di dapat serta
hasil pemeriksaan laboratorium.

Tabel 2. Score Mc Laren


Gejala Klinis Angka
Edema 3
Dermatosis 2
Edema + Dermatosis 6
Perubahan Rambut 1
Hepatomegali 1
Albumin g%
< 1,00 7
1,00 1,49 6
1,50 1,99 5
2,00 2,99 4
3,00 3,49 3
3,50 3,99 2
>4,00 1
Protein Total Serum
< 3,25 7
3,25 3,99 6
4,00 4,74 5
4,75 5,49 4

26
5,50 6,24 3
6,25 6,99 2
7,00 7,74 1
>7,75 0
Skor :
0-3 : Marasmus
4-8 : Marasmus Kwashiokor
9-13 : Kwashiokor

Berdasarkan tabel skor Mc Laren diatas penderita mengalami marasmus


karena skor bernilai 2 atau 3 yaitu kadal albumin 3,8 g% dan protein total 6,0 mg/dl.
Tujuan pengobatan pada penderita marasmus adalah pemberian diet tinggi
kalori dan tinggi protein serta mencegah kekambuhan. Penderita marasmus tanpa
komplikasi dapat berobat jalan asal diberi penyuluhan mengenai pemberian makanan
yang baik, sedangkan penderita yang mengalami komplikasi serta dehidrasi, syok,
asidosis dan lain-lain perlu mendapat perawatan di rumah sakit.5
Dalam literature menyebutkan ada 10 Prinsip dasar pengobatan rutin KEP
berat / gizi buruk :5
1. Atasi/cegah Hipoglikemia
2. Atasi/cegah Hipotermia
3. Atasi/cegah Dehidrasi
4. koreksi gangguan keseimbangan Elektrolit
5. obati/cegah Infeksi
6. Mulai Pemberian Makanan
7. Koreksi defisiensi nutrient mikro
8. Tumbuh kejar (Meningkatkan Pemberian Makanan)
9. Stimulasi sendorik dan dukungan emosional/mental
10. Rencanakan Tindak lanjut setelah sembuh
Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisis dan hasil pemeriksaan laboratorium
pada penderita tidak di dapatkan tanda bahaya dan tanda penting berupa syok, letargis
dan muntah/diare/dehidrasi. Sehingga tindak lanjut yang dilakukan berupa mengobati

27
infeksi dengan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dan mulai pemberian cairan dan
makanan sesuai dengan penatalaksanaan gizi buruk yaitu tahap stabilisasi, tahap
transisi dan tahap rehabilitasi.
N FASE STABILISASI TRANSISI REHABILITA
o SI
Hari ke 1- Hari ke 2-7 Minggu ke-2 Minggu ke 3-7
2
1 Hipoglikemia
2 Hipotermia
3 Dehidrasi
4 Elektrolit
5 Infeksi
6 MulaiPemberian
Makanan
7 Tumbuh kejar
(Meningkatkan
Pemberian
Makanan)
8 Mikronutrien Tanpa Fe dengan Fe
9 Stimulasi
10 Tindak lanjut

Fase stabilisasi : E = 80- 100 kkal/kgBB/hr, Protein = 1-1,5 gr/kgBB/hari,


cairan 130 ml/kgBB/hari.
Perhitungan pemberian cairan dan makanan dengan Berat Badan : 5,4 Kg
Energi : 80 100 kkal/kgBB/hr
: 432 540 kkal/hr
Protein : 1 1,5 gram/kgBB/hr
: 5,4 8,1 gram/hr
Cairan : 130 ml/KgBB/hr (tanpa edema)
: 702 ml/hr

28
Sesuai dengan perhitungan formula yang tepat pada pasien adalah F75 diberikan
12x60cc atau Modified Skim Coconut Oil/Modisco dengan pemberian 12x100 cc.
Pada tahap stabilisasi tidak diberikan pemberian tablet Fe. Namun vitamin A
pada hari 1 diberikan tanpa melihat ada atau tidaknya gejala defisiensi Vitamin A.
Vitamin A diberikan sesuai dengan usia < 6 bulan 50.000 SI, 6-11 bulan 100.000 SI
dan 1-5 tahun 200.000 SI. Vitamin lain dapat diberikan seperti asam folat dengan
pemberian hari pertama 5 mg/hari selanjutnya diberikan asam folat 1 mg/hari,
vitamin B kompleks diberikan sebanyak 1 tablet/hari dan vitamin C BB < 5 kg
sebanyak 50 mg/hari dan BB 5 kg 100 mg/hari. Menurut literature Anak yang
menderita KEP biasanya juga mengalami defisiensi mikronutrien, yang berpengaruh
buruk terhadap proses tumbuh kembang. Defisiensi mikronutrien yang sering terjadi
adalah defisiensi besi, iodium, asam folat, vitamin D, dan vitamin A.
Fase transisi : E = 100-150 kkal/kgBB/hr, Protein = 2-3 gr/kgBB/hari, cairan
150 ml/kgBB/hari.
Perhitungan pemberian cairan dan makanan dengan Berat Badan : 5,4 Kg
Energi : 100 150 kkal/kgBB/hr
: 540 810 kkal/hr
Protein : 2 3 gram/kgBB/hr
: 10,8 16,2 gram/hr
Cairan : 150 ml/KgBB/hr (tanpa edema)
: 810 ml/hr
Sesuai dengan perhitungan formula yang tepat pada pasien adalah F100 diberikan 6x
135 cc akan tetapi pada pasien hanya diberikan susu LLM 12 x 60 cc yang artinya
kalorinya hanya 7,2 x 66 = 475,2 kkal.
Fase rehabilitasi : E = 150- 220 kkal/kgBB/hr, Protein = 3-4 gr/kgBB/hari,
cairan 150-200 ml/kgBB/hari.
Perhitungan pemberian cairan dan makanan dengan Berat Badan : 5,4 Kg
Energi : 150- 220 kkal/kgBB/hr

29
: 810- 1188 kkal/hr
Protein : 3-4 gram/kgBB/hr
: 16,2 21,6 gram/hr
Cairan : 150-200 ml/KgBB/hr (tanpa edema)
: 810-1080 ml/hr
Sesuai dengan perhitungan formula yang tepat pada pasien adalah F135 3x100 dan
ditambah makanan lumat. Pada pasien ini diberikan:
- SGM 4x60cc = 2,4 x 60 cc= 144 kkal
-LLM 8x60cc= 4,8x 66 cc= 316,8 kkal
-makanan lumat = 3x 125cc = 375kkal +
835,8 kkal
Prinsip penatalaksaan TB anak adalah lebih cepat mengobati daripada
terlambat agar komplikasi tidak terjadi. Bila dianamnesis dan diperiksa, anak
kemungkinan besar menderita TB maka beri OAT selama 2 bulan. Lalu, observasi
apakah terdapat perbaikan klinis. Respon anak terhadap OAT (farmakokinetik)
berbeda dengan dewasa. Toleransi anak terhadap dosis OAT per kilogram berat badan
lebih tinggi. Efek samping hepatitis akibat isoniazid dan rifampisin lebih banyak
ditemukan pada anak. Maka dari itu, dianjurkan untuk memeriksa rutin uji faal hati
sebelum pengobatan, setelah 2 minggu dan 1 bulan pengobatan.2
Dosis OAT pada anak harus mengacu pada dosis per kilogram berat badan.
Karena OAT yang tersedia di pasaran berbentuk tablet untuk orang dewasa, maka saat
diberikan kepada anak, tablet itu harus digerus menjadi puyer. Tak hanya itu,
isoniazid, rifampisin, dan pirazinamid tidak boleh dicampur menjadi satu puyer sebab
dapat mengganggu bioavailabilitas rifampisin. Pemberian OAT pada teori sesuai
dengan laporan kasus dengan dosis INH 50 mg 1x1, PZA 75 mg 1x1, RIF 150 mg
1x1 dibuat puyer secara terpisah.2

Tabel 3. Dosis Obat Antituberkulosis Lini Pertama


Obat Dosis Harian Dosis Max Efek Samping

30
(mg/kgBB/hari) (mg/hari)
Isoniazid 5-15* 300 Hepatitis, neuritis perifer,
hipersensitivitas
Rifampisin** 10-20 600
Gastrointestinal, reaksi kulit, hepatitis,
trombositopenia, peningkatan enzim hati,
cairan tubuh berwarna orange kemerahan
Pirazinamid 15-30 2000
Toksisitas hepar, artralgia,
Etambutol 15-20 1250 gastrointestinal

Neuritis optik, ketajaman mata


berkurang, buta warna merah hijau,
Streptomisin 15-40 1000 hipersensitivitas, gastrointestinal

Ototoksik, nefrotoksik
* Bila INH dikombinasi dengan rifampisin, dosisnya tidak boleh melebihi 10 mg/kgBB/hari
** Rifampisin tidak boleh diracik dalam satu puyer dengan OAT lain karena dapat
mengganggu bioavailabitias rifampisin

Dasar tatalaksana pneumonia rawat inap adalah pengobatan kausal dengan


antibiotik yang sesuai, serta tidakan suportif. Pengobatan suportif yang diberikan
yaitu oksigenasi, pemberian cairan untuk mencegah dehidrasi, dan nutrisi yang
adekuat. Penggunaan antibiotik yang tepat merupakan kunci utama keberhasilan
pengobatan. Identifikasi dini mikroorganisme penyebab tidak dapat dilakukan karena
tidak tersedianya uji mikrobiologis cepat. Oleh karena itu, antibiotik dipilih
berdasarkan pengalaman empiris. Umumnya pemilihan antibiotik empiris didasarkan
pada kemungkinan etiologi penyebab dengan mempertimbangkan usia dan keadaan
klinis pasien serta faktor epidemiologis.1,2
Pada neonatus dan bayi kecil, terapi awal antibiotik intravena harus dimulai
sesegera mungkin. Oleh karena pada neonatus dan bayi kecil sering terjadi sepsis dan
meningitis. Antibiotik yang direkomendasikan adalah antibiotik spektrum luas seperti
kombinasi beta-laktam/ klavulanat dengan aminoglikosida, atau sefalosporin generasi
ketiga. Bila keadaan sudah stabil, antibiotik dapat diganti dengan antibiotik oral
selama 10 hari.1,6

31
Pemberian injeksi Dexametason 3x1,5 mg iv telah sesuai dengan dosis dan
berat badan yaitu dalam rentang 0,1-0,2 mg/kgBB/dosis. Penggunaan antibiotik pada
kasus ini adalah injeksi gentamicin 2x 15 mg iv dan injeksi Cefotaxim 3x150 mg iv.
Pemberian gentamicin diluar rentang dosis yaitu 2,5-5/kg BB/ hari yang seharusnya
6,75-13,5 mg/kali sedangkan cefotaxim sudah sesuai dengan rentang dosis yaitu 50-
100/kg BB/hari. Pada pasien ini pun terdapat gizi kurang, maka merupakan indikasi
untuk pemberian antibiotik segera saat tanda awal bronkopneumonia didapatkan,
yaitu dengan pilihan antibiotik sefalosporin generasi ketiga, seperti Cefotaxim.
Pada tanggal 6 desember, dilakukan anamnesa tentang riwayat kelahiran
pasien oleh ibu pasien, didapatkan bahwa pasien lahir dengan spontan, cukup bulan
(aterm), bidan yang membantu persalinan mengatakan bahwa bayinya normal, sehat,
dang langsung menangis (tidak ada ketubah keruh atau bayi tidak menangis saat
lahir). Namun beberapa jam kemudian, pasien langsung panas tinggi selama 3 hari
tanpa disertai kejang dan dibawa ke puskesmas untuk diobati dan terus kontrol ke
puskesmas selama 2 bulan. Ketika pasien berumur 3 bulan, ibu pasien mengatakan
bahwa kepala pasien dapat miring ke kiri maupun ke kanan, namun tidak dapat
mengangkat kepala dan tidak dapat melihat, sehingga ibu pasien berinisiatif ke
dokter spesialis saraf dan oleh dokter spesialis saraf dilakukan rekam otak dan CT-
Scan kepala.
Dari pemeriksaan tersebut didapatkan bahwa otak pasien kecil daripada
ukuran otak pada usia tersebut sehingga rongga kepala sebagian besar diisi oleh
cairan kepala. Dari dokter spesialis saraf dikatakan bahwa pasien menderita Higroma
dan pasien diberi obat anti kejang. Karena ibu pasien merasa bahwa perkembangan
anaknya lebih lambat daripada anak pada umumnya dan dianjurkan oleh teman ibu
pasien untuk membawa pasien ke pusat rehabilitasi untuk mengobati pasien, dan
ketika pasien berumur 9 bulan, ibu pasien membawa pasien ke pusat rehabilitasi. Di
pusat rehabilitasi, pasien mendapatkan pengobatan fisioterapi berupa terapi dengan
menggunakan bola dan terapi untuk melatih otot tangan dan kaki pasien, dan untuk
terapi bicara tidak dilakukan.

32
Tabel perkembangan anak menurut usia
Lahir s/d 3 bulan Belajar mengangkat kepala
Belajar mengikuti obyek dengan mata
Bereaksi terhadap bunyi
Menahan barang yang dipegang
Mengoceh spontan

3-6 bulan Mengangkat kepala 900C dan mengangkat dada bertopang


tangan
Meraih benda-benda dalam jangkauan/ di luar
Menaruh benda di mulut
Tertawa dan menjerit karena gembira diajak bermain

6-9 bulan Duduk tanpa dibantu


Tengkurap dan berbalik sendiri\ merangkak meraih benda
Memegang benda dengan ibu jari dan telunjuk
Mengenal wajah anggota keluarga
Mengeluarkan kata-kata tanpa arti

9-12 bulan Berdiri sendiri, berjalan dengan dituntun


Menirukan kata
Belajar mengucapkan 1 atau 2 kata
Mengerti perintah sederhana/ larangan

Cerebral palsy dapat disebabkan faktor genetik maupun faktor lainnya.


Apabila ditemukan lebih dari satu anak yang menderita kelainan ini dalam suatu
keluarga, maka kemungkinan besar disebabkan faktor genetik. Waktu terjadinya
kerusakan otak secara garis besar dapat dibagi pada masa pranatal, perinatal dan
postnatal.17,18,19,20,21

1. Pranatal
Kelainan perkembangan dalam kandungan, faktor genetik, kelainan kromosom;
Usia ibu kurang dari 20 tahun dan lebih dari 40 tahun; Usia ayah < 20 tahun dan >
40 tahun; Infeksi intrauterin : TORCH dan sifilis; Radiasi sewaktu masih dalam

33
kandungan; Asfiksia intrauterin (abrubsio plasenta, plasenta previa, anoksia
maternal, kelainan umbilikus, perdarahan plasenta, ibu hipertensi, dan lain lain);
Keracunan kehamilan, kontaminasi air raksa pada makanan, rokok dan alcohol;
Induksi konsepsi; Riwayat obstetrik (riwayat keguguran, riwayat lahir mati,
riwayat melahirkan anak dengan berat badan < 2000 gram atau lahir dengan 12
kelainan morotik, retardasi mental atau sensory deficit); Toksemia gravidarum;
Inkompatibilitas Rh; Disseminated Intravascular Coagulation oleh karena
kematian prenatal pada salah satu bayi kembar; Maternal thyroid disorder; Siklus
menstruasi yang panjang; Maternal mental retardation; dan Maternal seizure
disorder
2. Perinatal
Anoksia / hipoksia; Perdarahan otak akibat trauma lahir; Prematuritas; Berat
badan lahir rendah; Postmaturitas; Primipara; Antenatal care; Hiperbilirubinemia;
Status gizi ibu saat hamil; Bayi kembar; Ikterus; Meningitis purulenta; Kelahiran
sungsang; Partus lama; Partus dengan induksi/ alat; Polyhidramnion; dan
Perdarahan pada trimester ketiga.
3. Postnatal
Anoksia otak : tenggelam, tercekik, post status epilepticus; Trauma kepala :
hematom subdural; Infeksi : meningitis / ensefalitis yang terjadi 6 bulan pertama
kehidupan; Luka parut pada otak pasca operasi; Racun : logam berat, CO; dan
Malnutrisi.
Pada pemeriksaan fisik, pasien tampak lemah (hanya tidur dan belum bisa
bangun sendiri), pada kedua tungkai (tangan dan kaki) fleksi dan lemah. Selain itu,
dilakukan pengamatan dan penilaian pertumbuhan melalui pengukuran status gizi
dengan metode Z score dan lingkar kepala dengan melihat kurva Nellhaus. Pada
pemeriksaan perkembangan, dilakukan dengan menggunakan Kuesioner Pra Skrining
Perkembangan (KPSP) yang meliputi aspek gerak kasar (motorik kasar), gerak halus
(motorik halus), kemampuan bicara serta sosialisasi dan kemandirian sesuai dengan
usia anak, atau dapat menggunakan metode Denver II.

34
Tujuan skrining/pemeriksaan perkembangan anak menggunakan KPSP adalah
untuk mengetahui perkembangan anak normal atau ada penyimpangan. Pemeriksaan
ini dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan, guru/ petugas PADU terlatih.16
Jadwal skrining/pemeriksaan KPSP rutin adalah pada umur 3, 6, 9, 12, 15, 18,
21, 24, 30, 36, 42, 48, 54, 60, 66, dan 72 bulan. Jika anak belum mencapai umur di
atas ketika akan dilakukan skrining/pemeriksaan tersebut, minta ibu dating kembali
pada umur skrining yang terdekat untuk pemeriksaan rutin. Namun apabila orang tua
dating dengan keluhan anaknya mempunyai masalah tumbuh kembang, sedang umur
anak bukan umur skrining maka pemeriksaan menggunakan KPSP untuk umur
skrining terdekat/ yang lebih muda.16
Cara menggunakan KPSP yaitu pada waktu pemeriksaan, anak harus dibawa;
kemudian tentukan umur anak dengan menanyakan tanggal, bulan, dan tahun
kelahiran anak (bila umur anak lebih 16 hari dibulatkan menjadi 1 bulan); setelah
menentukan umur anak, pilih KPSP yang sesuai dengan umur anak, dan kemudian
ajukan pertanyaan atau perintah sesuai dengan pertanyaan/ perintah yang ada di
kolom KPSP yang digunakan tersebut (pertanyaan pada KPSP dijawab oleh ibu/
pengasuh anak dan perintah pada KPSP dilaksanakan oleh ibu/pengasuh
anak/petugas. Setelah semua pertanyaan/ perintah telah dijawab/dilaksanakan,
kemudian ditelitti kembali apakah semua pertanyaan dan perintah telah
dijawab/dilaksanakan.16
Interpretasi hasil KPSP meliputi:16
o Hitunglah berapa jumlah jawaban Ya.

Jawaban Ya, bila ibu/pengasuh anak menjawab: anak bias atau


pernah atau sering atau kadang-kadang melalukannya.

Jawaban Tidak, bila ibu/ pengasuh anak menjawab: anak


belum pernah melakukan atau tidak pernah atau ibu/ pengasuh
anak tidak tahu.

35
o Jumlah jawaban Ya = 9 atau 10, perkembangan anak sesuai dengan
tahap perkembangan (S).

o Jumlah jawaban Ya = 7 atau 8, perkembangan anak meragukan (M).

o Jumlah jawaban Ya = 6 atau kurang, kemungkinan ada


penyimpangan (P).

o Untuk jawaban Tidak, perlu dirinci jumlah jawaban Tidak menurut


keterlambatan (gerak kasar, gerak halus, bicara dan bahasa, sosialisasi
dan kemandirian).

Pada pasien ini dilakukan skrining/pemeriksaan kuesioner pra skrining


perkembangan (KPSP). Pemeriksaan dilakukan pada tanggal 7 Desember 2010, dan
pasien berusia 10 bulan 4 hari (3 Maret 2010) ketika dilakukan pemeriksaan tersebut
sehingga usia pasien dibulatkan menjadi 10 bulan. Pada kolom kuesioner tidak
didapatkan usia 10 bulan sehingga pasien dimasukkan ke dalam kolom kuesioner
umur 9 bulan. Kemudian diajukan 10 pertanyaan kepada ibu pasien untuk dijawab.
Dari 10 pertanyaan yang dijawab, didapatkan total jawaban Ya berjumlah 1 buah
pada aspek bicara dan bahasa, sedangkan jawaban Tidak berjumlah 9 buah pada
aspek gerak kasar, gerak halus, dan social dan kemandirian. Berdasarkan interpretasi
hasil KPSP, pasien kemungkinan ada penyimpangan. Bila tahapan perkembangan
terjadi penyimpangan, lakukan tindak lanjut berupa rujukan ke rumah sakit dengan
menuliskan jenis dan jumlah penyimpangan perkembangan (gerak kasar, gerak halus,
bicara dan bahasa, sosialisasi dan kemandirian). 16

KPSP PADA BAYI UMUR 9 BULAN

36
1 Pada posisi bayi terlentang, pegang kedua Gerak Kasar Ya Tidak

tangannya lalu tarik perlahan-lahan ke

posisi duduk. Dapatkah bayi

mempertahankan lehernya secara kaku

seperti gambar di sebelah kiri (Lampiran 1)

? Jawab TIDAK bila kepala bayi jatuh

kembali seperti gambar sebelah kanan.


2 Pernahkan anda melihat bayi Gerak Halus Ya Tidak

memindahkan mainan atau kue kering dari

satu tangan ke tangan yang lain? Benda-

benda panjang seperti sendok atau

kerincingan bertangkai tidak ikut dinilai.


3 Tarik perhatian bayi dengan Gerak Halus Ya Tidak

memperlihatkan selendang, sapu tangan

atau serbet, kemudian jatuhkan ke lantai.

Apakah bayi mencoba mencarinya?

Misalnya mencari di bawah meja atau

dibelakang kursi?
4 Apakah bayi dapat memungut dua benda Gerak Kasar Ya Tidak

seperti mainan/ kue kering, dan masing-

masing tangan memegang satu benda

pada saat yang sama? Jawab TIDAK bila

bayi tidak pernah melakukan perbuatan

ini.
5 Jika anda mengangkat bayi melalui Gerak Kasar Ya Tidak

ketiaknya ke posisi berdiri, dapatkah ia

menyangga sebagian berat badan dengan

37
kedua kakinya? Jawab YA bila ia mencoba

berdiri dan sebagian berat badan

bertumpu pada kedua kakinya.


6 Dapatkah bayi memungut dengan Gerak Halus Ya Tidak

tangannya benda-benda kecil seperti

kismis, kacang-kacangan, potongan

biscuit, dengan gerakan miring atau

menggerapai seperti gambar?


7 Tanpa disangga oleh bantal, kursi atau Gerak Kasar Ya Tidak

dinding, dapatkah bayi duduk sendiri

selama 60 detik?
8 Apakah bayi dapat makan kue kering Sosialisasi & Ya Tidak

sendiri? Kemandirian
9 Pada waktu bayi bermain sendiri dan anda Bicara dan Ya Tidak

diam-diam datang berdiri di belakangnya, Bahasa

apakah ia menengok ke belakang seperti

mendengar kedatangan anda? Suara keras

tidak ikut dihitung. Jawab YA hanya jika

anda melihat reaksinya terhadap suara

yang perlahan atau bisikan


1 Letakkan suatu mainan yang Sosialisasi & Ya Tidak

0 diinginkannya di luar jangkauan bayi, kemandirian

apakah ia mencoba mendapatkanya

dengan mengulurkan lengan atau

badannya?

Deteksi dini penyimpangan perkembangan anak juga dilakukan tes daya


dengar (TDD), tes daya lihat (TDL), serta deteksi dini penyimpangan mental
emosional. Tujuan tes daya dengar adalah untuk menemukan gangguan pendengaran

38
sejak dini, agar dapat segera ditindaklanjuti untuk meningkatkan kemampuan daya
dengan dan bicara anak. Jadwal TTD adalah setiap 6 bulan pada bayi umur kurang
dari 12 bulan dan setiap 6 bulan pada anak umur 12 bulan ke atas. Cara melakukan
TDD meliputi: menanyakan tanggal, bulan, dan tahun kelahiran anak dan dihitung
umur anak dalam bulan; kemudian pilih daftar pertanyaan TDD yang sesuai dengan
umur anak; dan hitung jawaban untuk semua jawaban Ya maupun Jawaban Tidak
kemudian interpretasikan. Interpretasi untuk tes daya dengar yaitu bila ada satu atau
lebih jawaban Tidak, kemungkinan anak mengalami gangguan pendengaran. 16
Pemeriksaan tes daya dengar dilakukan dengan terlebih dahulu menanyakann
tanggal kelahiran pasien dan didapatkan usia pasien 10 bulan 4 hari sehingga di
bulatkan menjadi 10 bulan. Kemudian cocokkan usia pasien dengan kolom kuesioner
usia 9-12 bulan. Pada kolom kuesioner usia 9-12 bulan terdapat 4 perintah yang harus
16
dilakukan oleh ibu/petugas, dan didapatkan jawaban Ya sebanyak 4 buah.
Berdasarkan interpretasi hasil tes daya dengar, anak tidak mengalami gangguan
pendengaran.

Umur 9-12 Bulan


1 Pada waktu bayi, kemudian anda berbicara atau Ya Tidak

meembuat kegaduhan, apakah bayi akan bergerak

atau terbangun dari tidurnya


2 Pada waktu bayi telentang dan anda duduk di dekat Ya Tidak

kepalanya pada posisi yang tidak terlihat bayi,

kemudian anda tepuk tangan dengan keras. Apakah

bayi terkejut atau mengerdipkan matanya atau

menegangkan tubuh sambil mengangkat kaki

tangannya ke atas?
3 Apabila ada suara nyaring (suara batuk, salak anjing, Ya Tidak

piring jatuh ke lantai dan lain-lainnya), apakah bayi

39
terkejut atau terlompat?
4 Anda berada disamping atau belakang bayi dan tidak Ya Tidak

terlihat oleh bayi, sebutkan namanya atau bunyikan

sesuatu, apakah bayi langsung memalingkan kea rah

sumber suara tersebut di samping atau belakangnya?

Pada tes daya lihat dilakukan untuk mendeteksi secara dini kelainan daya lihat
agar segera dapat dilakukan tindak lanjut sehingga kesempatan untuk memperoleh
ketajaman daya lihat mendaji lebih besar. Jadwal tes daya lihat dilakukan setiap 6
bulan pada anak usia prasekolah umur 36 sampai 72 bulan. Pada pasien ini tidak
dilakukan tes daya lihat karena usia pasien belum mencukupi untuk dapat dilakuakn
tersebut. 16 Tetapi untuk memeriksa daya lihat, petugas melakukan tes refleks cahaya
serta tes pupil, dan didapatkan refleks cahaya positif (+) dengan pupil isokor
3mm/3mm.
Deteksi dini penyimpangan mental emosional adalah kegiatan/ pemeriksaan
untuk menemukan secara dini adanya masalah mental emosional, autism, dan
gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas pada anak, agar dapat segera
dilakukan tindakan intervensi. Ada beberapa jenis alat yang dapat digunakan untuk
tes tersebut, yaitu: kuesioner masalah mental emosional (KMME) bagi anak usia 36-
72 bulan, ceklis autis anak prasekolah (Checklist for Autism in Todller/CHAT) bagi
anak usia 18-36 bulan, dan formulir deteksi dini gangguan pemusatan perhatian dan
hiperaktivitas (GPPH).16 Pada pasien ini tidak dilakukan karena usia pasien belum
mencukupi untuk dilakukan tes tersebut.
Pada pemeriksaan penunjang telah dilakukan rekam otak (EEG) dan CT-Scan
kepala oleh dokter spesialis saraf ketika pasien berusia 3 bulan. Pada EEG didapatkan
gambaran spike/wave epileptikus dan pada CT-Scan kepala terdapat gambaran
penumpukan cairan pada rongga kepala.
Pada umumnya untuk mendiagnosa suatu CP pada usia di bawah 6 bulan
memang sangat sulit oleh karena pada usia dibawah 6 bulan tidak banyak didapatkan

40
fase perkembangan baru. Namun, tanda awal CP dapat tampak pada usia < 3 tahun,
dan orang tua sering mencurigai ketika kemampuan perkembangan motorik tidak
normal. Bayi dengan CP sering mengalami keterlambatan perkembangan, seperti
tengkurap, duduk, merangkan, berjalan, atau tersenyum. Selain itu, dalam
mendiagnosa suatu CP diperlukan pemeriksaan kemampuan motorik bayi dan melihat
kembali riwayat medis, mulai dari riwayat kehamilan, persalinan, dan kesehatan bayi.
Perlu juga dilakukan pemeriksaan refleks dan mengukur perkembangan lingkar
kepala anak. Pada pemeriksaan penunjang dapat dilakukan CT-Scan kepala, MRI
kepala dan USG kepala untuk menunjang diagnose CP.26,27
Pada beberapa literature yang ada disebutkan bahwa untuk membuka
alternative baru dari kekaburan di dalam penegakkan diagnose, Levine melakukan
suatu studi untuk mencari standar dari criteria untuk diagnose CP untuk kasus berusia
di atas 1 tahun. Kelainan klinis motorik oleh Levine, dibagi atas 6 kategori besar:28
1. Pola gerak dan postur
2. Pola gerak oral
3. Strabismus
4. Tonus otot
5. Evolusi dari reaksi postural dan Landmark
6. Deep tendon reflex, refleks primitif dan refleks plantar.
Namun sebagian besar dokter akan menunda diagnose formal/ diagnosa
definitif hingga anak berusia 2 tahun dan dilakukan oleh neonatologist, dokter anak
atau komunitas dokter anak yang telah berpengalaman dalam mendignosis CP.29
Pada pasien ini dapat disimpulkan dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisis dan
pemeriksaan penunjang didapatkan adanya gangguan dalam tumbuh kembang yang
mengarah ke diagnosa sementara berupa CP, namun tetap dipantau terus sampai usia
2 tahun untuk mendapatkan diagnosa definitif.
Perlu ditekankan pada orang tua penderita CP, bahwa tujuan dari pengobatan
bukan membuat anak menjadi seperti anak normal lainnya. Tetapi mengembangkan
sisa kemampuan yang ada pada anak tersebut seoptimal mungkin, sehingga

41
diharapkan anak dapat melakukan aktifitas seharihari tanpa bantuan atau hanya
membutuhkan sedikit bantuan saja.15
Berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
didapatkan pasien mengalami gangguan perkembangan pada aspek gerak kasar, gerak
halus, serta sosialisasi dan kemandirian. Untuk itu diperlukan terapi untuk
meningkatkan aspek-aspek tersebut, seperti melakukan stimulasi-stimulasi sesuai
dengan umur anak, namun pada pasien ini tidak dapat dilakukan karena berdasarkan
skrining KPSP didapatkan pasien kemungkinan ada penyimpangan yang diharuskan
untuk merujuk ke rumah sakit yang memiliki fasilitas untuk rehabilitasi medis. Dapat
diberikan obatobatan sesuai dengan kebutuhan anak, seperti obat-obatan anti kejang
maupun untuk spastic.15 Pada pasien telah diberikan obat anti kejang dan ini sesuai
dengan literature di atas, namun untuk pengobatan spastic diberikan karena pasien
tidak mengalami spastic.
Pada pusat rehabilitasi medis dapat dilakukan fisoterapi berupa latihan
penguatan otot (stretching), latihan penguatan dan peningkatan daya tahan otot
(endurance), latihan luas gerak sendi (ROM exercise), latihan duduk, latihan berdiri,
latihan pindah (transfer activity) dan latihan berjalan. 15,2,23,24,25 Pada pasien ini telah
melakukan fisioterapi sesuai dengan yang telah dijelaskan diliteratur, berupa latihan
penguatan otot (stretching) dan latihan penguatan dan peningkatan daya tahan otot
(endurance). Fisioterapi yang telah dilakukan adalah sebanyak 4 kali pertemuan (2x
seminggu) ketika usia 9 bulan, namun terhenti dikarenakan pasien harus rawat inap di
rumah sakit, dan akan berencana melanjutkan fisioterapi ketika keluar dari rumah
sakit.

42
KESIMPULAN

Penegakkan diagnosa pada kasus Tuberculosis paru ini berdasarkan anamnesa,


pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang telah sesuai dengan literatur. Dimana
TB paru menjadi diagnosa utama dan bronkopneumonia menjadi infeksi sekunder
akibat kondisi pasien yang ditunjang dengan adanya staus gizi buruk. Gizi buruk itu
sendiri disebabkan karena adanya faktor pemberian makanan yang kurang yang
kurang (makan dan minum), infeksi (batuk dan pilek) yang berulang, dan penyapihan
terlalu dini. Adanya gangguan dalam tumbuh kembang didapatkan dari anamnesa,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang dan mengarah ke cerebral palsy
sebagai diagnosa lain, namun tetap dipantau terus selama 2 tahun sampai didapatkan
diagnose definitif berupa CP. Penatalaksanaan yang diberikan juga sesuai dengan

43
literatur yang ada berupa medikamentosa, dan fisioterapi untuk mengatasi gangguan
tumbuh kembang anak tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

1. IDAI. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak edisi I. Jakarta : Badan


Penerbit IDAI, 2004.
2. IDAI. Pedoman Nasional Tuberculosis Anak edisi II. Jakarta : UKK
Respirologi PP IDAI, 2008.
3. Widodo, E, Sukma, M, dan Alwi, U. Pemeriksaan Biopsi Aspirasi Kelenjar
untuk Membantu Diagnosis Tuberkulosis Anak. Cermin Dunia Kedokteran
No. 137. 2002.
4. Nelson, W.E. Ilmu Kesehatan Anak edisi 15 volume 1. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. 1996.
5. Hernawati, I. Bagan Tatalaksana Anak Gizi Buruk. Jakarta : Departemen
Kesehatan, 2007.
6. Ismail, S. Ciri-ciri Kelainan Neurologis yang Mudah Dikenali. Dalam:
Naskah Lengkap Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak
XXXIV. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 1995 ; 1-10.

7. Gans, MB. Rehabilitation of The Pediatric Patient. Dalam : Delisa JA.


Rehabilitation Medicine Principle and Practice, 2 nd ed. Philadlphia :
Lippincott Company. 1993 : 623-641.

44
8. Stempien, LM., Spira DG. Rehabilitation of Children and Adult with Cerebral
Palsy. Dalam : Branddom RL, eds. Physical Medicine & Rehabilitation.
Philadelphia : W.B. Saunders Company, 1996 ; 1113-1132.

9. Rusman, BS. Disorder of Motor Execution I Cerebral Palsy. Dalam : David


RB, eds. Pediatric Neurology for The Children, 1985 ; 469-479.

10. Menkes, JH. Textbook of Chil Neurology. 4th ed. Philadelphia : Lea and
Febringer, 1990 : 302-316.

11. Adam, RD., Victor, M. Normal Development and Deviation in Development


of The Nervous System. Dalam : Principles of Neurology. 2nd ed. New York :
Mc Graw Hill Book Co, 1981 ; 387 412.

12. Gilroy, John M.D. Cerebral Palsy. Dalam : Basic Neurology. 2nd ed.
International, 1992 ; 64 66.

13. Kuban, KCK., Alan, Leviton. 1994. Cerebral Palsy. N Engl J Med; 330 : 188
195.

14. Soetjiningsih, dr. DSAK. Tumbuh Kembang Anak. IG.N. Gde Ranuh, editor.
Jakarta : ECG, 1995 ; 223 235.

15. Hamid, T., Satori, Dhewi Wahani. Ilmu Kedokteran Fisik Dan Rehabilitasi
(Physiatry). 1st ed. Surabaya : Unit Rehabilitasi Medik RSUD Dr.
Soetomo/FK UNAIR, 1992 ; 117-143.

16. Tim Revisi & Pengarah. Buku Pedoman Stimulasi Deteksi dan Intervensi Dini
Tumbuh Kembang Balita tahun 2005. Jakarta : Tim Revisi & Pengarah Buku
Pedoman Stimulasi Deteksi dan Intervensi Dini Tumbuh Kembang Balita,
2005.

17. Hanifa, Wiknjosastro. Ilmu Kebidanan. Editor Abdul Bari Syaifuddin,


Trijatmo Rachimdani. Edisi ke-3, Cetakan ke-6. Jakarta : Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2002; 193 201.

18. Nelson, KB, Swaiman KF, Russman BS.. Cerebral Palsy. In Swaiman KF. Ed.
Pediatric Neurology : Principles and Practice. St Louis : Mosby. 1994; pp :
312 5.

45
19. Gilroy John, M.D, John Stirling Meyer, B.Sc., M.Sc., M.D. Pediatric
Neurology in Medical. Third Edition. New York : Macmillan Publishing Co.,
Inc. 1979; pp : 118 123.
20. Fletcher NA, Foley J. Parental Age, Genetic Mutation and Cerebral Palsy.
Journal of Medical Genetic. 1993; Vol 30 (1):44-46. (abstrak)

21. Blair, Eve., Fiona J. Stanley. An Epidemiological Study of Cerebral Palsy in


Western Australia, 1956 1975. III : Postnatal Aetiology. Develop Med Child
Neurol, 1982; 24:575 585.

22. Deaver, GG. Cerbral Palsy : Methods of Evaluation anf Treatment.


Rehabilitation Monograph IX. Institute of Physical Medicine and
Rehabilitation. New York University. Bellevue Medical Center. 1952.

23. Rusk, HA. Rehabilitation Medicine. St. Louis. CV. Mosby. 1977; 474-495.

24. Sterling HM. Rehabilitation in Cerebral Palsy. In : Licht S (ed):


Rehabilitation and Medicine. Baltimore-Maryland. Waverly Press. 1968; 411-
427.

25. Syllabus. American Academy of Physical Medicine and Rehabilitation. Study


Guide. 1977-1983.

26. Blasco, PA. Preterm Birth: To Correct or Not To Correct. Dev Med Child
Neurol. 1989; 31: 816-821.

27. Capute, AJ., Accardo PJ. The Infant Neurodevelopmental Assessment. A


Clinical Interpretive Manual for CAT-CLAMS in The First Two Years OF
Life, part 2. Curr Probl pediatric.1996; 26: 238-257.

28. Levine, MS. Cerebral Palsy Diagnosis in Children Over Age 1 Year. Standart
Criteria. Arch Phys Med Rehabilitation. 1980; 61: 358-389.

29. Jean-Piere Lin. The Cerebral Palsies : A Physiological Approach. J Neurol


Neurosurg Psychiatry. 2003; 74(Suppl I):123 129.

46

Anda mungkin juga menyukai