Anda di halaman 1dari 23

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Perdarahan Post Partum

2.1.1. Defenisi

Perdarahan post partum adalah perdarahan lebih dari 500 cc yang terjadi setelah

bayi lahir pervaginam atau lebih dari 1.000 mL setelah persalinan abdominal (Smith,

2004). Kondisi dalam persalinan menyebabkan kesulitan untuk menentukan jumlah

perdarahan yang terjadi, maka batasan jumlah perdarahan disebutkan sebagai

perdarahan yang lebih dari normal dimana telah menyebabkan perubahan tanda vital,

antara lain pasien mengeluh lemah, limbung, berkeringat dingin, menggigil, hiperpnea,

tekanan darah sistolik < 90 mmHg, denyut nadi > 100 x/menit, kadar Hb < 8 g/dL

(Saifuddin, 2002).

Perdarahan post partum dibagi menjadi :

1. Perdarahan Post Partum Dini / Perdarahan Post Partum Primer (early postpartum

hemorrhage). Perdarahan post partum dini adalah perdarahan yang terjadi dalam

24 jam pertama setelah kala III.


2. Perdarahan pada Masa Nifas / Perdarahan Post Partum Sekunder (late postpartum

hemorrhage). Perdarahan pada masa nifas adalah perdarahan yang terjadi pada

masa nifas (puerperium) tidak termasuk 24 jam pertama setelah kala III (Angsar,

1999).

2.1.2. Penyebab

3
Kejadian perdarahan postpartum ini di sebabkan oleh beberapa hal, yaitu:

1. Atonia uteri

2. Robekan jalan lahir

3. Retensio plasenta, inversion uterus, dan gangguan pembekuan darah (Parisaei, et

all., 2008).

2.1.3. Gejala Klinik Perdarahan Postpartum

Seorang wanita hamil yang sehat dapat kehilangan darah sebanyak 10% dari

volume total tanpa mengalami gejala-gejala klinik, gejala-gejala baru tampak pada

kehilangan darah sebanyak 20%. Gejala klinik berupa perdarahan pervaginam yang

terus-menerus setelah bayi lahir. Kehilangan banyak darah tersebut menimbulkan

tanda-tanda syok yaitu penderita pucat, tekanan darah rendah, denyut nadi cepat dan

kecil, ekstrimitas dingin, dan lain-lain (Lubis, 2011).

Penilaian Klinik untuk Menentukan Derajat Syok (Rayburn, 2001)


Volume Kehilangan
Tekanan Darah (sistolik) Gejala dan Tanda Derajat Syok
Darah
500-1.000 mL Palpitasi, takikardia,
Normal Terkompensasi
(10-15%) pusing
1000-1500 mL (15- Penurunan ringan (80-100 Lemah, takikardia,
Ringan
25%) mm Hg) berkeringat
1500-2000 mL (25- Penurunan sedang (70-80
Gelisah, pucat, oliguria Sedang
35%) mm Hg)
2000-3000 mL (35- Penurunan tajam (50-70
Pingsan, hipoksia, anuria Berat
50%) mm Hg)

Penilaian Klinik untuk Menentukan Penyebab Perdarahan Post Partum (Smith, 2004).

4
Gejala dan Tanda Penyulit Diagnosis Kerja
Uterus tidak berkontraksi dan Syok Atonia uteri
lembek.
Bekuan darah pada serviks
Perdarahan segera setelah anak atau posisi telentang akan
lahir menghambat aliran darah
keluar
Darah segar mengalir segera Pucat Robekan jalan lahir
setelah bayi lahir
Lemah
Uterus berkontraksi dan keras
Menggigil
Plasenta lengkap

Plasenta belum lahir setelah 30 Tali pusat putus akibat Retensio plasenta
menit traksi berlebihan

Perdarahan segera Inversio uteri akibat tarikan

Uterus berkontraksi dan keras Perdarahan lanjutan


Plasenta atau sebagian selaput Uterus berkontraksi tetapi Retensi sisa plasenta
tidak lengkap tinggi fundus tidak
berkurang
Perdarahan segera
Uterus tidak teraba Neurogenik syok Inversio uteri
Pucat dan limbung
Lumen vagina terisi massa

Tampak tali pusat (bila plasenta


belum lahir)
Sub-involusi uterus Anemia Endometritis atau sisa
fragmen plasenta (terinfeksi
Nyeri tekan perut bawah dan pada Demam atau tidak)
uterus

Perdarahan sekunder

2.1.4. Diagnosis

5
Karena pengertian dari Perdarahan postpartum itu kehilangan darah lebih dari

500 mL, maka di perlukan pengukuran jumlah darah yang hilang ketika persalinan.

Tetapi hal ini tidaklah akurat dikarenakan beberapa hal sebagai berikut :

Tidak semua darah yang hilang terkumpul :

Beberapa mL darah ada di lantai atau alas tempat tidur

Beberapa mL darah masih berada didalam uterus tetapi diluar pembuluh darah

Cara lain yang mungkin secara tidak sengaja terhitung :

Urin

Cairan amnion

Cairan pembersih lainnya.

Biasanya estimasi yang dibuat itu lebih kecil volumnya dibandingkan

kehilangan darah yang sebenarnya, jadi penatalaksanaan akibat kehilangan darah yang

terjadi pada kasus perdarahan postpartum ini lebih sedikit dibandingkan pada saat

operasi bedah (Hamilton-Fairley, 2009).

Perdarahan yang langsung terjadi setelah anak lahir tetapi plasenta belum lahir

biasanya disebabkan oleh robekan jalan lahir. Perdarahan setelah plasenta lahir,

biasanya disebabkan oleh atonia uteri. Atonia uteri dapat diketahui dengan palpasi

uterus ; fundus uteri tinggi di atas pusat, uterus lembek, kontraksi uterus tidak baik. Sisa

plasenta yang tertinggal dalam kavum uteri dapat diketahui dengan memeriksa plasenta

yang lahir apakah lengkap atau tidak kemudian eksplorasi kavum uteri terhadap sisa

plasenta, sisa selaput ketuban, atau plasenta suksenturiata (anak plasenta).

6
Eksplorasi kavum uteri dapat juga berguna untuk mengetahui apakah ada

robekan rahim. Laserasi (robekan) serviks dan vagina dapat diketahui dengan

inspekulo. Diagnosis pendarahan pasca persalinan juga memerlukan pemeriksaan

laboratorium antara lain pemeriksaan Hb, COT (Clot Observation Test), kadar

fibrinogen, dan lain-lain (faisal, 2008).

2.1.5. Pemeriksaan Penunjang

a) Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan darah lengkap harus dilakukan sejak periode antenatal. Kadar

hemoglobin di bawah 10 g/dL berhubungan dengan hasil kehamilan yang buruk.

Pemeriksaan golongan darah dan tes antibodi harus dilakukan sejak periode

antenatal.

Perlu dilakukan pemeriksaan faktor koagulasi seperti waktu perdarahan dan

waktu pembekuan.

b) Pemeriksaan radiologi

Onset perdarahan post partum biasanya sangat cepat. Dengan diagnosis dan

penanganan yang tepat, resolusi biasa terjadi sebelum pemeriksaan laboratorium

atau radiologis dapat dilakukan. Berdasarkan pengalaman, pemeriksaan USG

dapat membantu untuk melihat adanya jendalan darah dan retensi sisa plasenta

(Smith, 2004).

7
USG pada periode antenatal dapat dilakukan untuk mendeteksi pasien dengan

resiko tinggi yang memiliki faktor predisposisi terjadinya perdarahan post

partum seperti plasenta previa. Pemeriksaan USG dapat pula meningkatkan

sensitivitas dan spesifisitas dalam diagnosis plasenta akreta dan variannya

(Komite, 2000).

2.1.6. Penatalaksanaan

Pasien dengan perdarahan post partum harus ditangani dalam 2 komponen,

yaitu: (1) resusitasi dan penanganan perdarahan obstetri serta kemungkinan syok

hipovolemik dan (2) identifikasi dan penanganan penyebab terjadinya perdarahan post

partum (Smith, 2004).

a) Resusitasi cairan

Pengangkatan kaki dapat meningkatkan aliran darah balik vena sehingga dapat

memberi waktu untuk menegakkan diagnosis dan menangani penyebab perdarahan.

Perlu dilakukan pemberian oksigen dan akses intravena. Selama persalinan perlu

dipasang peling tidak 1 jalur intravena pada wanita dengan resiko perdarahan post

partum, dan dipertimbangkan jalur kedua pada pasien dengan resiko sangat tinggi.

Berikan resusitasi dengan cairan kristaloid dalam volume yang besar, baik normal

salin (NS/NaCl) atau cairan Ringer Laktat melalui akses intravena perifer. NS

merupakan cairan yang cocok pada saat persalinan karena biaya yang ringan dan

kompatibilitasnya dengan sebagian besar obat dan transfusi darah. Resiko terjadinya

8
asidosis hiperkloremik sangat rendah dalam hubungan dengan perdarahan post partum.

Bila dibutuhkan cairan kristaloid dalam jumlah banyak (>10 L), dapat dipertimbangkan

pengunaan cairan Ringer Laktat.

Cairan yang mengandung dekstrosa, seperti D 5% tidak memiliki peran pada

penanganan perdarahan post partum. Perlu diingat bahwa kehilangan I L darah perlu

penggantian 4-5 L kristaloid, karena sebagian besar cairan infus tidak tertahan di ruang

intravasluler, tetapi terjadi pergeseran ke ruang interstisial. Pergeseran ini bersamaan

dengan penggunaan oksitosin, dapat menyebabkan edema perifer pada hari-hari setelah

perdarahan post partum.

Ginjal normal dengan mudah mengekskresi kelebihan cairan. Perdarahan post

partum lebih dari 1.500 mL pada wanita hamil yang normal dapat ditangani cukup

dengan infus kristaloid jika penyebab perdarahan dapat tertangani. Kehilanagn darah

yang banyak, biasanya membutuhkan penambahan transfusi sel darah merah.

Cairan koloid dalam jumlah besar (1.000 1.500 mL/hari) dapat menyebabkan

efek yang buruk pada hemostasis. Tidak ada cairan koloid yang terbukti lebih baik

dibandingkan NS, dan karena harga serta resiko terjadinya efek yang tidak diharapkan

pada pemberian koloid, maka cairan kristaloid tetap direkomendasikan(Smith, 2004).

b) Transfusi Darah

Transfusi darah perlu diberikan bila perdarahan masih terus berlanjut dan

diperkirakan akan melebihi 2.000 mL atau keadaan klinis pasien menunjukkan tanda-

tanda syok walaupun telah dilakukan resusitasi cepat. PRC digunakan dengan

9
komponen darah lain dan diberikan jika terdapat indikasi. Para klinisi harus

memperhatikan darah transfusi, berkaitan dengan waktu, tipe dan jumlah produk darah

yang tersedia dalam keadaan gawat.

Tujuan transfusi adalah memasukkan 2 4 unit PRC untuk menggantikan

pembawa oksigen yang hilang dan untuk mengembalikan volume sirkulasi. PRC

bersifat sangat kental yang dapat menurunkan jumlah tetesan infus. Msalah ini dapat

diatasi dengan menambahkan 100 mL NS pada masing-masing unit. Jangan

menggunakan cairan Ringer Laktat untuk tujuan ini karena kalsium yang dikandungnya

dapat menyebabkan pengentalan (Smith, 2004).

2.2. Atonia Uteri

Atonia uteri adalah keadaan lemahnya tonus atau kontraksi rahim yang menyebabkan

uterus tidak mampu menutup perdarahan terbuka dari tempat implantasi plasenta setelah bayi

dan plasenta lahir (Taber, 2010).

Faktor Predisposisi atonia uteri sebagai berikut :

Regangan rahim yang berlebihan karena kehamilan kembar, polihidramnion, atau anak

terlalu besar.

Kelelahan kerena persalinan lama.

Kehamilan grande-multipara.

Ibu dengan keadaan yang jelek, anemis, atau menderita penyakit menahun.

Mioma uteri yang mengganggu kontraksi rahim.

10
2.2.1. Diagnosis

Diagnosis ditegakkan bila setelah bayi dan plasenta lahir ternyata perdarahan

masih aktif dan banyak, bergumpal dan pada palpasi didapatkan fundus uteri masih

setinggi pusat atau lebih dengan kontraksi yang lembek, perlu diperhatikan bahwa pada

saat atonia uteri didiagnosis, maka pada saat itu juga masih ada darah sebanyak 500

1000 cc yang sudah keluar dari pembuluh darah (Karkata, 2009).

2.2.2. Penanganan

a) Pemberian uterotonik agen.

Pemberian oksitosin secara i.m., i.v. akan mencegah bnyak kasus atonia uteri

Derivat ergot, diberikan jika oksitosin tidak efektif mengembalikan kontraksi

uterus. Biasanya diberikan 0.2 mg methylergonovine secara intramuskular.

Perlu diperhatikan bahwa pemberian derivat ergot ini tidak dianjurkan secara

intravena karena dapat menimbulkan hipertensi yang berbahaya khususnya

terhadap kasus preeklamsi.

Pemberian analog prostaglandin F2 (carboprost tromethamine) yang

terkadang menimbulkan efek samping berupa diare, hipertensi, mual muntah,

febris, takikardia.

b) Masase fundus uteri dan merangsang putting susu.

c) Resusitasi cairan agar tidak terjadi syok hipovolemik akibat darah yang banyak

keluar.

d) Kompresi bimanual uterus

11
e) Kompresi aorta abdominalis.

f) Pemasangan tampon kondom dalam kavum uteri yang disambung dengan kateter

dan di fiksasi dengan karet gelang kemudian diisi cairan infuse 200 ml yang

mengurangi perdarahan. Pemasangan tampon ini hanya bersifat temporer.

g) Bedah konservatif dengan cara ligasi arteria uterina / arteria ovarika dan operasi

ransel B Lynch.

h) Histerektomi supravaginal ataupun total abdominal (Karkata, 2009).

2.3. Retensio Plasenta

2.3.1. Definisi

Retensio plasenta adalah belum lepasnya plasenta melebihi waktu setengah jam

setelah bayi lahir (Manuaba, 2008). Retensio plasenta adalah tertahannya plasenta

didalam uterus selama lebih dari satu jam setelah bayi lahir (Jones, 2001).

2.3.2. Etiologi

a) Kelainan uterus

1) Kelainan kontraksi

Kontraksi uterus kurang kuat untuk melepaskan plasenta (plasenta adhesiva),

ketidakefektifan kontraksi dapat menghambat pelepasan plasenta yang terjadi

pada inersia uteri, atonia uteri dan tetani uteri.

12
2) Uterus bicornus dan subseptus

Kelainan uterus ini, dapat menyebabkan retensio plasenta karena bentuk uterus

yang tidak sempurna. Pada keadaan ini miometrium tidak berfungsi dengan baik,

sehingga menyebabkan terjadinya gangguan his yang menghambat plasenta untuk

keluar dari tempat implantasinya.

b) Kelainan plasenta

Plasenta normal biasanya menanamkan diri sampai batas atas lapisan

miometrium, kelainan plasenta yang dimaksud yaitu :

1) Plasenta akreta

Vili korialis plasenta menanamkan diri lebih dalam ke dinding rahim tetapi belum

menembus serosa.

2) Plasenta inkreta

Vili korialis tumbuh lebih dalam dan menembus lapisan desidua sampai ke

miometrium.

3) Plasenta perkreta

Vili korialis menembus lapisan miometrium dan menembus lapisan serosa atau

peritoneum dinding rahim.

13
c) Kesalahan manajemen aktif Kala III

Manipulasi uterus yang tidak perlu sebelum terjadinya pelepasan plasenta.

Pemberian uterotonika tidak tepat pada waktunya.

Pemberian anestesi yang dapat melemahkan kontraksi uterus.

d) Penyebab lain

Kandung kemih penuh Kandung kemih akan memenuhi ruang panggul

sehingga dapat menghalangi terjadinya kontaksi uterus.

Persalinan preterm

Hal ini terjadi bila persalinan preterm dilakukan atas indikasi medis bukan

karena kelainan dari uterus.

2.3.3. Mekanisme Pelepasan Plasenta

Kontraksi uterus akan mengurangi area plasenta, karena uterus bertambah kecil

dan dindingnya bertambah tebal beberapa sentimeter. Kontraksi tersebut menyebabkan

bagian plasenta menjadi longgar dan lemah pada dinding uterus, bagian ini akan

terlepas mula-mula sebagian dan kemudian seluruhnya.

Namun, terkadang ada sebagian kecil plasenta yang masih melekat pada dinding

uterus. Proses pelepasan plasenta terjadi setahap demi setahap, dengan adanya

pengumpulan darah di belakang plasenta akan dapat membantu dalam pelepasan

plasenta. Bila pelepasan sudah lengkap, maka kontraksi uterus akan mendorong

plasenta yang sudah lepas ke segmen bawah rahim untuk segera dilahirkan.

14
Kala III normal dibagi ke dalam 4 fase yaitu:

a. Fase laten

Fase laten ditandai dengan menebalnya dinding uterus yang bebas dari tempat

implantasi plasenta. Tetapi, dinding uterus tempat plasenta berimplantasi masih

tipis.

b. Fase kontraksi

Fase kontraksi ditandai dengan menebalnya dinding uterus tempat plasenta

berimplantasi, ketebalan awal kurang dari 1 cm menjadi lebih dari 2 cm.

c. Fase pelepasan plasenta

Fase pelepasan plasenta merupakan fase plasenta menyempurnakan pemisahan dan

kemudian lepas dari dinding uterus. Terpisahnya plasenta disebablan oleh kekuatan

antara plasenta yang pasif dengan otot uterus yang aktif pada tempat implantasi

plasenta (Pribakti, 2009).

Cara pelepasan plasenta ada 2 macam yaitu:

1) Secara Schultze

Pelepasan plasenta dimulai pada bagian tengah seperti menutup payung,

menurut cara ini perdarahan tidak terjadi sebelum plasenta lahir.

2) Secara Duncan

Pelepasan plasenta dimulai dari pinggir plasenta atau serempak dari

tengah ke pinggir plasenta, menurut cara ini ditandai oleh adanya

perdarahan pervaginam bila plasenta mulai lepas Wiknjosastro, 2007).

15
d. Fase pengeluaran

Fase pengeluaran merupakan fase dimana plasenta bergerak turun, daerah tempat

pemisahan plasenta tetap tidak berubah dan sejumlah kecil darah terkumpul di

rongga uterus. Ini menunjukkan bahwa perdarahan selama pemisahan plasenta

merupakan akibat bukan sebab (Pribakti, 2009).

Tanda-tanda lepasnya plasenta yaitu:

1. Perubahan bentuk dan tinggi fundus Setelah bayi lahir dan sebelum

miometrium mulai berkontraksi , uterus berbentuk bulat penuh dan tinggi

fundus biasanya turun hingga di bawah pusat. Setelah uterus berkontraksi dan

plasenta terdorong ke bawah, uterus menjadi bulat dan fundus berada di atas

pusat.

2. Tali pusat memanjang Tali pusat terlihat keluar memanjang atau terjulur

melalui vulva dan vagina (tanda Alfeld).

3. Semburan darah tiba-tiba. Darah yang terkumpul di belakang plasenta akan

membantu mendorong plasenta keluar dibantu oleh gaya gravitasi. Semburan

darah yang tibatiba menandakan bahwa darah yang terkumpul diantara tempat

melekatnya plasenta dan permukaan maternal plasenta (darah retroplasenter),

keluar melalui tepi plasenta yang terlepas (Departemen Kesehatan Republik

Indonesia, 2004).

16
2.3.4. Diagnosis

a) Fundus uteri tinggi

b) Perdarahan pascapersalinan

c) Tidak adanya tanda-tanda pelepasan plasenta (Liu,2007).

2.3.5. Proses penatalaksanaan aktif kala III

a) Penatalaksaan aktif Kala III pada semua ibu bersalin pervaginam

b) Amati adanya gejala dan tanda retensio plasenta, apabila perdarahan yang terjadi

sebelum plasenta lahir lengkap sedangkan uterus tidak berkontraksi biasanya

disebabkan oleh retensio plasenta.

c) Bila plasenta tidak lahir dalam 15 menit setelah bayi lahir, ulangi penataksanaan

aktif Kala III dengan memberikan oksitosin 10 IU IM dan teruskan penegangan tali

pusat terkendali. Teruskan melakukan penatalaksanaan aktif Kala III selama 15

menit atau lebih, jika plasenta masih belum lahir lakukan penegangan tali pusat

terkendali untuk terakhir kalinya. Setelah melakukan langkah-langkah di atas dan

plasenta belum juga lahir, segera rujuk ke rumah sakit bila ibu tidak mengalami

perdarahan hebat.

d) Bila terjadi perdarahan hebat, maka plasenta harus dilahirkan secara manual (IBI,

2003).

17
2.3.6. Prosedur manual plasenta

a) Infus sudah terpasang sebelum tindakan untuk memperbaiki keadaan umum pasien

b) Informed consent kepada pasien atau keluarga pasien sebelum melakukan tindakan

c) Siapkan alat, siapkan diri penolong dan siapkan pasien pada posisi litotomi

d) Pencegahan infeksi sebelum tindakan

Mencuci tangan sampai ke siku dengan sabun, air bersih yang mengalir dan

keringkan dangan handuk bersih.

Gunakan sarung tangan panjang yang steril

e) Tindakan penetrasi ke kavum uteri

Memberikan obat sedatif dan analgetik melalui karet infus

Melakukan kateterisasi kandung kemih apabila pasien tidak dapat berkemih

sendiri.

Jepit tali pusat dengan kocher kemudian tegangkan tali pusat sejajar dengan

lantai.

Secara obsetrik masukkan satu tangan (ujung-ujung jari tangan saling merapat

dan bertemu, punggung tangan berada dibawah) ke dalam vagina dengan

menelusuri tali pusat bagian bawah.

Tangan kiri penolong menahan fundus uteri, kemudian masukkan tangan

kanan ke dalam kavum uteri sehingga mencapai tempat implantasi plasenta.

Buka tangan obstetrik menjadi seperti salam (ibu jari merapat ke pangkal jari

telunjuk).

18
f) Melepaskan plasenta dari dinding uterus

1) Tentukan implantasi plasenta, temukan tepi plasenta yang paling bawah

a) Bila berada di belakang, tali pusat tetap berada di atas. Bila di bagian

depan, pindahkan tangan di bagian depan tali pusat dengan punggung

tangan menghadap ke atas.

b) Bila plasenta di bagian belakang, lepaskan plasenta dari tempat

implantasinya dengan jalan menyelipkan ujung jari diantara plasenta dan

dinding uterus dengan punggung kanan menghadap ke dinding dalam

uterus.

c) Bila plasenta di bagian depan, lakukan hal yang sama (punggung tangan

pada dinding kavum uteri) tetapi tali pusat berada di bawah telapak tangan

kanan.

2) Kemudian gerakkan tangan tangan ke kiri dan kanan sambil bergeser ke

kranial sehingga semua permukaan maternal plasenta dapat dilepaskan

g) Mengeluarkan plasenta

Pindahkan tangan luar ke supra simfisis untuk menahan uterus pada saat

plasenta dikeluarkan.

Pegang plasenta dan keluarkan tangan bersama plasenta.

Lakukan sedikit pendorongan uterus (dengan tangan luar) ke dorsal kranial

setelah plasenta lahir.

Letakkan plasenta ke dalam tempat yang telah disediakan, periksa apakah

plasenta lengkap atau tidak.

19
Lakukan eksplorasi ulang untuk memastikan tidak ada bagian plasenta yang

masih melekat pada dinding uterus (Depkes, 2004).

Bila tidak yakin plasenta sudah keluar semua atau jika perdarahan tidak

terkendali, maka rujuk ibu ke rumah sakit dengan segera (Ikatan Bidan

Indonesia, 2003).

h) Tindakan pascamanual plasenta

Perhatikan kontraksi uterus dan jumlah perdarahan yang keluar

Beri oksitosin 10 IU secara IV ke dalam cairan infus 60 tetes/menit, jika masih

terjadi perdarahan berikan metergin 0,2 mg secara IM

Periksa dan perbaiki robekan pada seviks, vagina dan episiotomi

Dekontaminasi alat pascatindakan

i) Perawatan pascatindakan

Observasi tanda vital pasien, kontraksi uterus dan perdarahan pervaginam.

Segera lakukan tindakan bila masih diperlukan.

Catat kondisi pasien dan buat laporan tindakan bila masih diperlukan.

Beri tahu ibu dan keluarganya bahwa tindakan telah selesai dilakukan tetapi

ibu masih memerlukan perawatan (Pribakti, 2009).

20
2.4. Robekan Jalan Lahir

Robekan jalan lahir umumnya terjadi pada persalinan dengan trauma. Pertolongan

persalinan yang semakin manipulative dan traumatic akan memudahkan robekan jalan lahir,

maka karena itu dihindarkan memimpin persalinan pada saat pembukaan serviks belum

lengkap. Robekan jalan lahir biasanya akibat episiotomy, robekan spontan perineum, trauma

foseps, atau vakum ekstraksi, atau karena versi ekstraksi.

Robekan yang terjadi dapat berupa :

Ringan (lecet, laserasi),

Luka episiotomy,

Robekan perinieum spontan derajat ringan,

Rupture perinea totalis (sfingter ani terputus),

Robekan pada dinding vagina,

Robekan pada forniks uteri,

Robekan pada serviks,

Ruptura uteri.

Perdarahan yang terjadi saat kontraksi uterus baik, biasanya dikarenakan ada robekan

atau sisa plasenta. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan cara inspeksi pada vulva, vagina, dan

serviks dengan memakai speculum untuk mencari sumber perdarahan dengan ciri warna

darah yang merah segar dan pulsatif sesuai dengan denyut nadi.

Perdarahan karena ruptura uteri dapat diduga pada persalinan macet atau kasep, atau

uterus dengan lokus minoris resistensia dan adanya atonia uteri dan tanda cairan bebas

21
intraabdominal (Karkata, 2009). Laserasi yang berdarah diperbaiki dengan benang kromik 00

atau 000. Visualisasi yang adekuat penting, dan serorang asisten sering diperlukan untuk

meretraksi dinding vagina dengan retractor sudut kanan.

Laserasi serviks diperbaiki dengan merenggut mulut serviks yang berdekatan dengan

laserasi dengan menggunakan forsep cincin. Jahitan berurutan dengan chromic 00 atau 000

dilakukan melalui bagian yang paling mudah dari robekan serviks. Traksi pada jahitan

tersebut dapat membantu dalam menarik apeks laserasi kebawah. Pembuluh-pembuluh yang

mengeluarkan darah harus diligasi untuk mencegah hematoma retroperitroneum.

Jahitan yang paling penting adalah pada apeks laserasi, di mana diperlukan perhatian

yang vermat untuk memastikan bahwa pembuluh-pembuluh yang mengalami retraksi tidak

terus berdarah. Jahitan terputus atau kontinu dapat dipakai, tergantung pada luasnya

perdarahan, tempat perdarahan yang terlihat dan keinginan operator (Taber, 1994)

2.5. Inversi Uteri

Kegawatdaruratan pada kala III yang dapat menimbulkan perdarahan adalah inverse

uterus yang merupakan keadaan di mana lapisan dalam uterus (endometrium) turun dan

keluar lewat ostium uteri eksternum, yang dapat bersifat inkomplit sampai komplit (Karkata,

2009). Inversi inkompit dimana fundus uteri tidak terbalik di luar servis. Inverse komplit

merupakan seluruh uterus terbalik keluar, menonjol melalui cincin serviks.

Factor-faktor predisposisi dari inverse uterus, yaitu:

Tekanan fundus,

22
Traksi tali pusat,

Insersi fundus plasenta,

Dinding uterus yang tipis atau kendor,

Tekanan abdomen yang meningkat secara tiba-tiba dan berkaitan dengan atonia uteri

(Taber, 2010).

Inversion uteri ditandai dengan dengan:

Syok karena kesakitan.

Perdarahan banyak bergumpal.

Di vulva tampak endometrium terbalik dengan atau tanpa plasenta yang masih melekat.

Bila baru terjadi maka prognosis masih baik, bila kejadiannya cukup lama mengakibatkan

uterus mengalami iskemia, nekrosis, dan infeksi dikarenakan jepitan dari serviks yang

semakin mengecil. Tindakan yang dilakukan secara garis besar sebagai berikut :

1) Memanggil bantuan anastesi dan memasang infuse untuk cairan/darah pengganti dan

pemberian obat.

2) Pemberian tokolitik/MgSO4 untuk melemaskan uterus yang terbalik sebelum

dilakukan reposisi manual yaitu mendorong endometrium ke atas masuk ke dalam

vagina dan terus melewati serviks sampai tangan masuk ke dalam uterus pada posisi

normalnya. Hal itu dapat dilakukan sewaktu plasenta sudah terlepas atau tidak.

3) Di dalam uterus plasenta dilepaskan secara manual dan bila berhasil dikeluarkan dari

rahim dan sambil memberikan uterotonika lewat infuse atau i.m. tangan tetap

23
dipertahankan agar konfigurasi uterus kembali normal dan tangan operator baru

dilepaskan.

4) Pemberian antibiotika dan transfuse darah sesuai dengan keperluannya.

5) Intervensi bedah dilakukan bila karena jepitan serviks yang keras menyebabkan

maneuver di atas tidak bias dikerjakan, maka dilakukan laparotomi untuk reposisi dan

kalau terpaksa dilakukan histerektomi bila uterus sudah mengalami infeksi dan

nekrosis (Karkata, 2009).

2.5. Gangguan Pembekuan Darah

Kausal perdarahan postpartum karena gangguan pembekuan darah baru dicurigai bila

penyebab yang lain dapat disingkirkan apalagi disertai ada riwayat pernah mengalami hal

yang sama pada persalinan sebelumnya. Akan da tendensi mudah terjadi perdarahan setiap

dilakukan penjahitan dan perdarahan akan merembes atau timbul hematoma pada bekas

jahitan, suntikan, perdarahan dari gusi, rongga hidung, dan lain-lain.

Pada pemeriksaan penunjang ditemukan hasil pemeriksaan faal hemostasis yang

abnormal. Waktu perdarahan dan waktu pembekuan memanjang, trombositopenia, terjadi

hipofibrinogenemia, dan terdeteksi adanya FDP (fibrin degradation product) serta

perpanjangan tes protrombin dan PTT (partial thromboplastin time).

Predisposisi untuk terjadinya hal ini adalah solusio plasenta, kematian janin dalam

kandungan, eklampsia, emboli cairan ketuban, dan sepsis. Terapi yang dilakukan adalah

dengan transfusi darah dan produknya seperti plasma beku segar, trombosit, fibrinogen dan

heparinisasi atau pemberian EACA (epsilon amino caproic acid) (Karkata, 2009)

24
2.7. Pencegahan

Pencegahan atau antisipasi dari perdarahan postpartum dapat dilakukan secara berikut :

1) Persiapan sebelum hamil untuk memperbaiki keadaan umum dan mengatasi setiap

penyakit kronis, anemia, dan lain-lain sehingga pada saat hamil dan persalinan pasien

tersebut ada dalam keadaan optimal.

2) Mengenal factor predisposisi perdarahan postpartum seperti multiparitas, anak besar,

hamil kembar, hidramnion, bekas seksio, riwayat perdarahan postpartum sebelumnya dan

kehamilan resiko tinggi lainnya yang bisa muncul saat persalinan.

3) Persalinan harus selesai dalam waktu 24 jam dan pencegahan pertus lama.

4) Kehamilan resiko tinggi agar melahirkan di fasilitas rumah sakit rujukan.

5) Kehamilan resiko rendah agar melahirkan di tenaga kesehatan terlatih dan menghindari

persalinan dukun.

6) Menguasai langkah-langkah pertolongan pertama menghadapi perdarahan postpartum

dan mengadakan rujukan sebagaimana mestinya (Karkata, 2009).

25

Anda mungkin juga menyukai