Anda di halaman 1dari 40

Nilai:

Tanda tangan:

Referat

Kolesistitis dan Kolelitiasis

Pembimbing:

dr. Agoes Tino, Sp.B, FICS, FINACS

Disusun Oleh:

Inge Pradita

11.2016.014

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH

RUMAH SAKIT ANGKATAN UDARA DR. ESNAWAN ANTARIKSA

PERIODE 06 NOVEMBER 2017 – 14 JANUARI 2018

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA


LEMBAR PENILAIAN

Nama Dokter Muda Inge Pradita

NIM 11 2016 014

Tanggal 29 Desember 2017

Judul Refarat Kolesistitis dan Kolelitiasis

Skor
Aspek yang dinilai
1 2 3 4 5

Kemampuan analisis

Penguasaan teori

Referensi

Bentuk journal tertulis

Cara penyajian

Total

Nilai %=(Total/25)x100%

Keterangan : 1 = sangat kurang (20%), 2 = kurang (40%), 3 = sedang (60%), 4 = baik (80%),
dan 5 =sangat baik(100%)

Komentar penilai

Nama Penilai
dr. Agoes Tino, Sp.B, FICS, FINACS Paraf/Stempel

2
LEMBAR PENGESAHAN

Referat dengan judul :


Kolesistitis dan Kolelitiasis

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah
RSAU Dr. Esnawan Antariksa periode 06 NOVEMBER 2017 – 14 JANUARI 2018

Disusun oleh:
Inge Pradita
11.2016.014

Telah diterima dan disetujui oleh dr. Agoes Tino, Sp.B, FICS, FINACS
selaku dokter pembimbing Departemen Ilmu Bedah RSAU Dr. Esnawan Antariksa

Jakarta, 29 Desember 2017

....................................
dr. Agoes Tino, Sp.B, FICS, FINACS

3
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan petunjuknya
penyusun dapat menyelesaikan referat yang berjudul “Kolesistitis dan Kolelitiasis” ini tepat pada
waktunya.
Referat ini dibuat dalam rangka memenuhi tugas kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Bedah
di Rumah Sakit Angkatan Udara Dr. Esnawan Antariksa. Pada kesempatan ini penyusun
mengucapkan terima kasih kepada dr. Agoes Tino, Sp.B, FICS, FINACS selaku dokter
pembimbing dalam kepaniteraan klinik ini dan rekan-rekan koas yang ikut memberikan bantuan
dan semangat secara moril.
Penyusun menyadari bahwa referat ini masih terdapat kekurangan dan kesalahan, oleh
karena itu penyusun sangat mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak. Semoga referat ini
dapat bermanfaat dan menambah pengetahuan dalam bidang Ilmu Bedah khususnya dan dalam
bidang kedokteran pada umumnya.

Jakarta, 27 Desember 2017

Penyusun

Inge Pradita

4
DAFTAR ISI

LEMBAR PENILAIAN ………………………………………………………………..1

LEMBAR PENGESAHAN ..........................................................................…………..2

KATA PENGANTAR ...................................................................................…………..3

DAFTAR ISI .................................................................................................…………..4

PENDAHULUAN ............................................................................................................ 6

ANATOMI & FISIOLOGI ............................................................................................... 7

KOLESISTITIS & KOLELITIASIS ................................................................................ 12

KESIMPULAN ................................................................................................................. 37

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………38

5
PENDAHULUAN

Kolelitiasis atau batu saluran empedu merupakan penyakit yang umumnya lebih sering
ditemukan di negara maju dan jarang ditemukan di negara-negara berkembang. Namun, dengan
membaiknya keadaan sosial ekonomi, perubahan menu makanan ala “western” serta perbaikan
fasilitas penunjang diagnosis khususnya ultrasonografi, prevalensi penyakit kolelitiasis di negara
berkembang cenderung mengalami peningkatan.1

Kolelitiasis merupakan salah satu masalah gastrointestinal yang paling sering


menyebabkan dilakukannya intervensi bedah. Tiap tahun, dilakukan sekitar 500.000 prosedur
kolesistektomi di Amerika Serikat. Kolelitiasis terjadi pada sekitar 10% populasi usia dewasa di
Amerika Serikat, dimana batu empedu kolesterol ditemukan pada 70% dari semua kasus dan 30%
sisanya terdiri atas batu pigmen dan jenis batu dari sejumlah komposisi lain.2 Angka kejadian batu
saluran empedu ini nampak semaking meningkat seiring bertambahnya usia.3 Penelitian
menggunakan pemeriksaan ultrasonografi menunjukkan bahwa 60-80% pasien dengan batu
saluran empedu umumnya nampak asimtomatik.4,5,6

Faktor risiko untuk pembentukan batu empedu meliputi obesitas, diabetes melitus, estrogen
dan kehamilan, penyakit hemolitik, dan sirosis.3 Manifestasi klinik dari batu empedu dapat berupa
nyeri episodik (kolik bilier), inflamasi akut di kandung empedu (kolesistitis akut) atau inflamasi
di saluran empedu (kolangitis akut), komplikasi- komplikasi akibat migrasi batu empedu ke dalam
koledokus seperti pankreatitis, obstruksi saluran empedu yang dapat mengganggu fungsi hati yakni
ikterus obstruktif sampai sirosis bilier.6

Kolesistitis didefinisikan sebagai inflamasi kandung empedu yang paling sering


disebabkan oleh obstruksi duktus sistikus akibat adanya koleitiasis. Sembilan puluh persen kasus
kolesistitis terjadi akibat adanya batu duktus sistikus (kolesistitis kalkulosa), sementara 10%
sisanya merupakan kasus kolesistitis akalkulosa.7 Dari semua warga Amerika Serikat yang
menderita kolelitiasis, sekitar sepertiganya juga menderita kolesistitis akut.8

Faktor risiko kolesistitis umumnya serupa dengan kolelitiasis.9,10 Penyakit ini lebih sering
terjadi pada wanita wanita hamil dan yang mengkonsumsi obat – obat hormonal. Hal ini mungkin
berkaitan dengan kadar progesteron yang tinggi yang menyebabkan hambatan aliran empedu. Di

6
Indonesia, walaupun belum ada data epidemiologis penduduk, angka kejadian kolesistitis dan
kolelitiasis umumnya relatif lebih rendah dibandingkan dengan negara – negara barat.8

Pasien yang asimptomatik umumnya dapat ditangani secara konservatif. Akan tetapi
sekitar 35% pasien dengan kolelitiasis asimptomatik pada akhirnya dapat mengalami komplikasi
atau gejala berulang sehingga memerlukan terapi bedah. Selama dua dekade terakhir, prinsip
umum penanganan batu saluran empedu tidak banyak mengalami perubahan. Namun, metode
terapi yang digunakan sudah mulai banyak berkembang. Saat ini, kolesistektomi laparoskopik,
laparoskopi eksplorasi duktus biliaris komunis, dan terapi retrograde endoskopik untuk batu
duktus biliaris komunis (CBD) nampak memainkan peranan penting untuk terapi batu saluran
empedu. Namun, terapi pilihan yang utama untuk batu saluran empedu tetap menggunakan
prosedur kolesistektomi.3,9

ANATOMI FISIOLOGI

Anatomi1,4,11

Kandung empedu (Vesica fellea) adalah kantong berbentuk buah pear yang terletak pada
permukaan visceral hepar, panjangnya sekitar 7 – 10 cm. Kapasitasnya sekitar 30-50 cc dan dalam
keadaan terobstruksi dapat menggembung sampai 300 cc. Vesica fellea dibagi menjadi fundus,
corpus dan collum. Fundus berbentuk bulat dan biasanya menonjol dibawah pinggir inferior hepar
yang dimana fundus berhubungan dengan dinding anterior abdomen setinggi ujung rawan costa
IX kanan. Corpus bersentuhan dengan permukaan visceral hati dan arahnya keatas, belakang dan
kiri. Collum dilanjutkan sebagai duktus cysticus yang berjalan dalam omentum minus untuk
bersatu dengan sisi kanan ductus hepaticus comunis membentuk duktus koledokus. Peritoneum
mengelilingi fundus vesica fellea dengan sempurna menghubungkan corpus dan collum dengan
permukaan visceral hati.

7
Gambar 1. Anatomi vesica fellea dan organ sekitarnya.

Pembuluh arteri kandung empedu adalah arteri cystica, cabang arteri hepatica kanan. Vena
cystica mengalirkan darah lengsung kedalam vena porta. Sejumlah arteri yang sangat kecil dan
vena – vena juga berjalan antara hati dan kandung empedu.

Pembuluh limfe berjalan menuju ke nodi lymphatici cysticae yang terletak dekat collum
vesica fellea. Dari sini, pembuluh limfe berjalan melalui nodi lymphatici hepaticum sepanjang
perjalanan arteri hepatica menuju ke nodi lymphatici coeliacus. Saraf yang menuju kekandung
empedu berasal dari plexus coeliacus.

Gambar 2. Anatomi vesica fellea dan skema aliran saluran bilier.

8
Fisiologi1,2,4,12,13

Salah satu fungsi hati adalah untuk memproduksi cairan empedu, normalnya antara 600-
1200 ml/hari. Kandung empedu (vesica fellea) berperan sebagai reservoir empedu dan mampu
menyimpan sekitar 45-50 ml cairan empedu. Diluar waktu makan, empedu disimpan untuk
sementara di dalam kandung empedu, dan di sini akan mengalami proses pemekatan. Fungsi
primer dari kandung empedu adalah memekatkan empedu dengan absorpsi air dan natrium.
Kandung empedu mampu memekatkan zat terlarut yang kedap, yang terkandung dalam empedu
hepatik 5-10 kali dan mengurangi volumenya 80-90%. Untuk membantu proses pemekatan cairan
empedu ini, mukosa vesica fellea mempunyai lipatan-lipatan permanen yang satu sama lain saling
berhubungan. Sehingga permukaanya tampak seperti sarang tawon. Sel- sel thorak yang
membatasinya juga mempunyai banyak mikrovilli.

Empedu dibentuk oleh sel-sel hati dan ditampung di dalam kanalikuli. Cairan ini kemudian
disalurkan ke duktus biliaris terminalis yang terletak di dalam septum interlobaris. Saluran ini
kemudian keluar dari hati sebagai duktus hepatikus kanan dan kiri. Kemudian keduanya
membentuk duktus biliaris komunis. Pada saluran ini sebelum mencapai doudenum terdapat
cabang ke kandung empedu yaitu duktus sistikus yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan
empedu sebelum disalurkan ke duodenum.

Menurut Guyton & Hall, 1997 empedu memiliki dua fungsi penting:

 Empedu memainkan peranan penting dalam pencernaan dan absorpsi lemak, karena asam
empedu yang melakukan dua hal antara lain: asam empedu membantu mengemulsikan partikel-
partikel lemak yang besar menjadi partikel yang lebih kecil dengan bantuan enzim lipase yang
disekresikan dalam getah pankreas, Asam empedu membantu transpor dan absorpsi produk
akhir lemak yang dicerna menuju dan melalui membran mukosa intestinal.
 Empedu bekerja sebagai suatu alat untuk mengeluarkan beberapa produk buangan yang penting
dari darah, antara lain bilirubin, suatu produk akhir dari penghancuran hemoglobin, dan
kelebihan kolesterol yang di bentuk oleh sel- sel hati.

9
Pengosongan Cairan Empedu2,13

Kandung empedu mengosongkan simpanan empedu pekatnya ke dalam duodenum


terutama sebagai respon terhadap perangsangan kolesistokinin. Saat lemak tidak terdapat dalam
makanan, pengosongan kandung empedu berlangsung buruk, tetapi bila terdapat jumlah lemak
yang adekuat dalam makanan, normalnya kandung empedu kosong secara menyeluruh dalam
waktu sekitar 1 jam.

Empedu dialirkan sebagai akibat kontraksi dan pengosongan parsial kandung empedu.
Mekanisme ini diawali dengan masuknya makanan berlemak kedalam duodenum sekitar 30 menit
setelah makan. Dasar yang menyebabkan pengosongan adalah kontraksi ritmik dinding kandung
empedu, tetapi efektifitas pengosongan juga membutuhkan relaksasi yang bersamaan dari sfingter
oddi yang menjaga pintu keluar duktus biliaris komunis kedalam duodenum. Lemak menyebabkan
pengeluaran hormon kolesistokinin dari mukosa duodenum, hormon kemudian masuk kedalam
darah, menyebabkan kandung empedu berkontraksi. Pada saat yang sama, otot polos yang terletak
pada ujung distal duktus coledokus dan amp8ula relaksasi, sehingga memungkinkan masuknya
empedu yang kental ke dalam duodenum.

Selain kolesistokinin, kandung empedu juga dirangsang kuat oleh serat-serat saraf yang
menyekresi asetilkolin dari sistem saraf vagus dan enterik. Stimulasi vagal yang berhubungan
dengan fase Cephalik dari sekresi cairan lambung atau dengan refleks intestino-intestinal akan
menyebabkan kontraksi dari kandung empedu. Rangsangan langsung dari makanan yang masuk
sampai ke duodenum dan mengenai Sphincter Oddi. Sehingga pada keadaan dimana kandung
empedu lumpuh, cairan empedu akan tetap keluar walaupun sedikit.

Pengosongan empedu yang lambat akibat gangguan neurologis maupun hormonal


memegang peran penting dalam perkembangan inti batu.

Komposisi Cairan Empedu11,13

Garam – garam empedu dalam cairan empedu penting untuk emulsifikasi lemak dalam
usus halus dan membantu pencernaan dan absorbsi lemak. Garam empedu, lesitin, dan kolesterol
merupakan komponen terbesar (90%) cairan empedu. Sisanya adalah bilirubin, asam lemak, dan
garam anorganik. Garam empedu adalah steroid yang dibuat oleh hepatosit dan berasal dari

10
kolesterol. Pengaturan produksinya dipengaruhi mekanisme umpan balik yang dapat ditingkatkan
sampai 20 kali produksi normal kalau diperlukan.

Ada dua macam garam empedu dari hati, yaitu : Asam deoksikolat dan Asam kolat. Garam
empedu yang masuk ke dalam lumen usus oleh kerja kuman-kuman usus dirubah menjadi
deoxycholat dan lithocholat. Sebagian besar (90 %) garam empedu dalam lumen usus akan
diabsorbsi kembali oleh mukosa usus sedangkan sisanya akan dikeluarkan bersama feses dalam
bentuk lithocholat. Absorbsi garam empedu tersebut terjadi disegmen distal dari ilium. Sehingga
bila ada gangguan pada daerah tersebut misalnya oleh karena radang atau reseksi maka absorbsi
garam empedu akan terganggu.

Fungsi garam empedu adalah menurunkan tegangan permukaan dari partikel lemak yang
terdapat dalam makanan, sehingga partikel lemak yang besar dapat dipecah menjadi partikel-
partikel kecil untuk dapat dicerna lebih lanjut serta membantu absorbsi asam lemak, monoglycerid,
kolesterol dan vitamin yang larut dalam lemak.

Hemoglobin yang terlepas dari eritrosit akan pecah menjadi heme dan globin. Heme
bersatu membentuk rantai dengan empat inti pyrole menjadi bilverdin yang segera berubah
menjadi bilirubin bebas. Zat ini di dalam plasma terikat erat oleh albumin. Sebagian bilirubin bebas
diikat oleh zat lain (konjugasi) yaitu 80% oleh glukuronide. Bila terjadi pemecahan sel darah
merah berlebihan misalnya pada malaria maka bilirubin yang terbentuk sangat banyak.

Tabel 1. Komposisi cairan empedu13

Komponen Dari hepar Dari kandung empedu


Air 97,5 gr% 95 gr%
Garam empedu 1,1 gr% 6 gr%
Bilirubin 0,04 gr% 0,3 gr%
Kolesterol 0,1 gr% 0,3 – 0,9 gr%
Asam lemak 0,12 gr% 0,3 – 1,2 gr%
Lesitin 0,04 gr% 0,3 gr%
Elektrolit – –

11
KOLESISTITIS DAN KOLELITIASIS

Definisi9,10,14

Kolesistitis didefinisikan sebagai inflamasi pada dinding kandung empedu yang paling
sering disebabkan oleh obstruksi duktus sistikus akibat adanya kolelitiasis, yang umumnya disertai
keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri tekan dan demam.4,7

Kolelitiasis adalah istilah medis untuk penyakit batu saluran empedu. Kolelitiasis disebut
juga sebagai batu empedu, gallstone, atau kalkulus biliaris. Batu empedu merupakan gabungan
dari beberapa unsur yang membentuk suatu material mirip batu yang dapat ditemukan dalam
kandung empedu (kolesistolitiasis) atau di dalam saluran empedu (koledokolitiasis) atau pada
kedua-duanya. Koledokolitiasis biasanya terjadi saat batu empedu keluar dari kandung empedu
dan masuk ke duktus biliaris komunis.

Gambar 3. Batu di dalam kandung empedu dan saluran biliaris.

Etiologi9,10,15

Etiologi, faktor risiko dan patogenesis untuk kolesistitis umumnya akan berbeda-beda
menurut jenis batu empedu (batu kolesterol dan batu pigmen).

Berdasarkan etiologinya, kolesistitis dapat dibagi menjadi:

1. Kolesistitis kalkulus, yaitu kolesistitis yang disebabkan batu kandung empedu yang
berada di duktus sistikus.
2. Kolesistitis akalkulus, yaitu kolesistits tanpa adanya batu empedu.1

12
Berdasarkan onsetnya, kolesistitis dibagi menjadi kolesistitis akut dan kolesistitis kronik.
Pembagian ini juga berhubungan dengan gejala yang timbul pada kolesistitis akut dan kronik. Pada
kolesistitis akut, terjadi inflamasi akut pada kandung empedu dengan gejala yang lebih nyata
seperti nyeri perut kanan atas, nyeri tekan dan demam. Sedangkan, kolesistitis kronik merupakan
inflamasi pada kandung empedu yang timbul secara perlahan-lahan dan sangat erat hubugannya
dengan litiasis dan gejala yang ditimbulkan sangat minimal dan tidak menonjol.1

Batu kolesterol

Batu kolesterol berhubungan dengan sejumlah faktor risiko, antara lain adalah:

 Jenis kelamin
Batu empedu lebih sering terjadi pada wanita dari pada laki-laki dengan perbandingan 4 : 1.
Wanita mempunyai resiko 3 kali lipat untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan pria. Ini
dikarenakan oleh hormon esterogen berpengaruh terhadap peningkatan eskresi kolesterol oleh
kandung empedu.16
 Suku bangsa
Batu empedu memperlihatkan variasi genetik. Kecenderungan membentuk batu empedu bisa
berjalan dalam keluarga10. Di negara Barat penyakit ini sering dijumpai, di Amerika Serikat 10-
20 % laki-laki dewasa menderita batu kandung empedu. Batu empedu lebih sering ditemukaan
pada orang kulit putih dibandingkan kulit hitam. Batu empedu juga sering ditemukan di negara
lain selain AS, Chile dan Swedia.17
 Usia
Resiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya usia. Orang dengan
usia > 60 tahun lebih cenderung untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan orang degan
usia yang lebih muda. Usia rata-rata tersering terjadinya batu empedu adalah 40-50 tahun.11,18
 Obesitas
Sindroma metabolik terkait obesitas, resistensi insulin, diabetes mellitus tipe II, hipertensi, dan
hiperlipidemia berhubungan dengan peningkatan sekresi kolesterol hepar dan merupakan faktor
risiko utama untuk terbentuknya batu kolesterol.9

13
 Kehamilan
Batu kolesterol lebih sering ditemukan pada wanita yang sudah mengalami lebih dari satu kali
kehamilan. Faktor utama yang diperkirakan turut berperan pada risiko ini adalah tingginya
kadar progesteron selama kehamilan. Progesteron dapat mengurangi kontraktilitas kandung
empedu, sehingga menyebabkan terjadinya retensi yang lebih lama dan pembentukan cairan
empedu yang lebih pekat di dalam kandung empedu.9
 Stasis cairan empedu
Penyebab lain dari stasis kandung empedu yang berhubungan dengan peningkatan risiko batu
empedu meliputi cedera medula spinalis, puasa jangka panjang dengan pemberian nutrisi
parenteral total saja, serta penurunan berat badan cepat akibat restriksi kalori dan lemak yang
berat (seperti diet, operasi gastric bypass).9
 Obat-obatan
Terdapat sejumlah obat yang berhubungan dengan pembentukan batu kolesterol. Estrogen yang
diberikan untuk kontrasepsi atau terapi kanker prostat dapat meningkatkan risiko batu
kolesterol dengan meningkatkan sekresi kolesterol empedu. Clofibrate dan obat hipolipidemia
fibrat lain dapat meningkatkan eliminasi kolesterol hepar hepatik melalui sekresi biliaris dan
nampaknya dapat meningkatkan risiko terbentuknya batu kolesterol. Analog somatostatin
nampak menjadi predisposisi terbentuknya baru empedu dengan mengurangi proses
pengosongan batu empedu.9,10
 Faktor keturunan
Penelitian pada kembar identik dan fraternal menunjukkan bahwa sekitar 25% kasus batu
kolesterol memiliki predisposisi genetik. Terdapat sekurangnya satu lusin gen yang berperan
dalam menimbulkan risiko ini.19 Dapat terjadi suatu sindroma kolelitiasis terkait kadar
fosfolipid yang rendah pada individu dengan defisiensi protein transport bilier herediter yang
diperlukan untuk sekresi lecithin.15

Batu pigmen hitam dan coklat9

Batu pigmen hitam umumnya terbentuk pada individu dengan metabolisme heme yang
tinggi. Kelainan hemolisis yang berhubungan dengan batu pigmen meliputi anemia sel sabit,
sferositosis herediter, dan beta-thalassemia. Pada sirosis, hipertensi portal dapat menyebabkan
terjadinya splenomegali. Hal ini kemudian akan menyebabkan sekuestrasi sel darah merah, dan

14
menyebabkan terjadinya peningkatan metabolisme hemoglobin. Sekitar separuh dari semua pasien
sirosis nampak memiliki batu pigmen.

Batu pigmen coklat dapat terbentuk bila terjadi stasis intraduktal disertai kolonisasi bakteri
kronik cairan empedu. Di Amerika Serikat, kombinasi ini paling sering ditemukan pada pasien
dengan striktura biliaris paska-pembedahan atau kista koledokus. Di daerah pertanian Asia Timur,
infestasi cacing saluran empedu dapat menyebabkan striktura biliaris dan memicu terbentuknya
batu pigmen coklat di seluruh saluran bilier intrahepatik dan ekstrahepatik. Kelainan ini, yang
disebut sebagai hepatolithiasis, dapat menyebabkan kolangitis rekuren dan menjadi predisposisi
terjadinya sirosis biliaris dan kolangiosarkoma.

Seperti pada kolelitiasis, penyebab kolesistitis juga berbeda menurut jenisnya. Faktor risiko
untuk terjadinya kolesistitis kakulosa umumnya serupa dengan kolelitiasis dan meliputi jenis
kelamin wanita, kelompok etnik tertentu, obesitas atau penurunan berat badan yang cepat, obat-
obatan (terutama terapi hormonal pada wanita), kehamilan dan usia. Sementara itu, kolesistitis
akalkulosa berhubungan dengan penyakit yang berhubungan dengan stasis cairan empedu, seperti
penyakit kritis, operasi besar atau trauma/luka bakar berat, sepsis, pemberian nutrisi parenteral
total (TPN) jangka panjang, puasa jangka panjang, penyakit jantung (termasuk infark
miokardium), penyakit sel sabit, infeksi Salmonella, diabetes mellitus, pasien AIDS yang
terinfeksi cytomegalovirus, cryptosporidiosis, atau microsporidiosis. Pasien dengan
imunodefisiensi juga menunjukkan peningkatan risiko kolesistitis akibat berbagai sumber infeksi
lain. Dapat dijumpai sejumlah kasus kolesistitis idiopatik.10

Epidemiologi2,3,7,8

Kolelitiasis terjadi pada sekitar 10% populasi usia dewasa di Amerika Serikat, dimana batu
empedu kolesterol ditemukan pada 70% dari semua kasus dan 30% sisanya terdiri atas batu pigmen
dan jenis batu dari sejumlah komposisi lain. Angka kejadian batu saluran empedu ini nampak
semaking meningkat seiring bertambahnya usia. Diperkirakan bahwa sekitar 20% pasien dewasa
yang berusia lebih dari 40 tahun dan 30% yang berusia lebih dari 70 tahun menunjukkan adanya
pembentukan batu saluran empedu. Selama usia reproduksi, rasio wanita dibandingkan pria adalah
sekitar 4:1, sementara pada usia lanjut umumnya angka kejadian hampir sama pada kedua jenis
kelamin.

15
Sembilan puluh persen kasus kolesistitis terjadi akibat adanya batu duktus sistikus
(kolesistitis kalkulosa), sementara 10% sisanya merupakan kasus kolesistitis akalkulosa. Dari
semua warga Amerika Serikat yang menderita kolelitiasis, sekitar sepertiganya juga menderita
kolesistitis akut.

Patogenesis

Patogenesis Kolelitiasis

Batu empedu hampir selalu dibentuk dalam kandung empedu dan jarang pada saluran
empedu lainnya dan diklasifikasikan berdasarkan bahan pembentuknya. Etiologi batu empedu
masih belum diketahui dengan sempurna, akan tetapi, faktor predisposisi yang paling penting
tampaknya adalah gangguan metabolisme yang disebabkan oleh perubahan susunan empedu,
stasis empedu dan infeksi kandung empedu. Perubahan susunan empedu mungkin merupakan yang
paling penting pada pembentukan batu empedu, karena terjadi pengendapan kolesterol dalam
kandung empedu. Stasis empedu dalam kandung empedu dapat meningkatkan supersaturasi
progesif, perubahan susunan kimia, dan pengendapan unsur tersebut. Infeksi bakteri dalam saluran
empedu dapat berperan sebagian dalam pembentukan batu, melalui peningkatan dan deskuamasi
sel dan pembentukan mukus.

Sekresi kolesterol berhubungan dengan pembentukan batu empedu. Pada kondisi yang
abnormal, kolesterol dapat mengendap, menyebabkan pembentukan batu empedu. Berbagai
kondisi yang dapat menyebabkan pengendapan kolesterol adalah : terlalu banyak absorbsi air dari
empedu, terlalu banyak absorbsi garam-garam empedu dan lesitin dari empedu, terlalu banyak
sekresi kolesterol dalam empedu, Jumlah kolesterol dalam empedu sebagian ditentukan oleh
jumlah lemak yang dimakan karena sel-sel hepatik mensintesis kolesterol sebagai salah satu
produk metabolisme lemak dalam tubuh. Untuk alasan inilah, orang yang mendapat diet tinggi
lemak dalam waktu beberapa tahun, akan mudah mengalami perkembangan batu empedu.

Batu kandung empedu dapat berpindah kedalam duktus koledokus melalui duktus sistikus.
Didalam perjalanannya melalui duktus sistikus, batu tersebut dapat menimbulkan sumbatan aliran
empedu secara parsial atau komplet sehingga menimbulkan gejalah kolik empedu. Kalau batu
terhenti di dalam duktus sistikus karena diameternya terlalu besar atau tertahan oleh striktur, batu
akan tetap berada disana sebagai batu duktus sistikus.K3[7]

16
Patofisiologi pembentukan batu empedu

A. Batu Kolesterol9,14,20

Batu kolestrol murni merupakan hal yang jarang ditemui dan prevalensinya kurang dari
10%. Biasanya merupakan soliter, besar, dan permukaannya halus. Empedu yang di supersaturasi
dengan kolesterol bertanggung jawab bagi lebih dari 90 % kolelitiasis di negara Barat. Sebagian
besar empedu ini merupakan batu kolesterol campuran yang mengandung paling sedikit 75 %
kolesterol berdasarkan berat serta dalam variasi jumlah fosfolipid, pigmen empedu, senyawa
organik dan inorganik lain. Kolesterol dilarutkan di dalam empedu dalam daerah hidrofobik
micelle, sehingga kelarutannya tergantung pada jumlah relatif garam empedu dan lesitin. Ini dapat
dinyatakan oleh grafik segitiga, yang koordinatnya merupakan persentase konsentrasi molar garam
empedu, lesitin dan kolesterol.

Proses fisik pembentukan batu kolesterol terjadi dalam tiga tahap:

 Supersaturasi empedu dengan kolesterol


Kolesterol, phospolipid (lecithin) dan garam empedu adalah komponen yang tak larut
dalam air. Ketiga zat ini dalam perbandingan tertentu membentuk micelle yang mudah larut. Di
dalam kandung empedu ketiganya dikonsentrasikan menjadi lima sampai tujuh kali lipat.
Pelarutan kolesterol tergantung dari rasio kolesterol terhadap lecithin dan garam empedu, dalam
keadaan normal antara 1 : 20 sampai 1 : 30. Pada keadaan supersaturasi dimana kolesterol akan
relatif tinggi rasio ini bisa mencapai 1 : 13. Pada rasio seperti ini kolesterol akan mengendap.
Kadar kolesterol akan relatif tinggi pada keadaan sebagai berikut :
 Peradangan dinding kandung empedu, absorbsi air, garam empedu dan lecithin jauh lebih
banyak.
 Orang-orang gemuk dimana sekresi kolesterol lebih tinggi sehingga terjadi supersaturasi.
 Diet tinggi kalori dan tinggi kolesterol (western diet)
 Pemakaian obat anti kolesterol sehingga mobilitas kolesterol jaringan tinggi.
 Pool asam empedu dan sekresi asam empedu turun misalnya pada gangguan ileum terminale
akibat peradangan atau reseksi (gangguan sirkulasi enterohepatik).
 Pemakaian tablet KB (estrogen) sekresi kolesterol meningkat dan kadar chenodeoxycholat
rendah, padahal chenodeoxycholat efeknya melarutkan batu kolesterol dan menurunkan

17
saturasi kolesterol. Penelitian lain menyatakan bahwa tablet KB pengaruhnya hanya sampai
tiga tahun.
 Fase Pembentukan inti batu
Inti batu yang terjadi pada fase II bisa homogen atau heterogen. Inti batu heterogen bisa
berasal dari garam empedu, calcium bilirubinat atau sel-sel yang lepas pada peradangan. Inti
batu yang homogen berasal dari kristal kolesterol sendiri yang menghadap karena perubahan
rasio dengan asam empedu.
 Fase Pertumbuhan batu menjadi besar.
Untuk menjadi batu, inti batu yang sudah terbentuk harus cukup waktu untuk bisa
berkembang menjadi besar. Pada keadaan normal dimana kontraksi kandung empedu cukup
kuat dan sirkulasi empedu normal, inti batu yang sudah terbentuk akan dipompa keluar ke dalam
usus halus. Bila konstruksi kandung empedu lemah, kristal kolesterol yang terjadi akibat
supersaturasi akan melekat pada inti batu tersebut. Hal ini mudah terjadi pada penderita
Diabetes Mellitus, kehamilan, pada pemberian total parental nutrisi yang lama, setelah operasi
trunkal vagotomi, karena pada keadaan tersebut kontraksi kandung empedu kurang baik.
Sekresi mucus yang berlebihan dari mukosa kandung empedu akan mengikat kristal kolesterol
dan sukar dipompa keluar.

B. Batu pigmen2

Batu pigmen merupakan sekitar 10 % dari batu empedu di Amerika Serikat. Ada dua
bentuk yaitu batu pigmen murni yang lebih umum dan batu kalsium bilirubinat. Batu pigmen murni
lebih kecil (2 sampai 5 mm), multipel, sangat keras dan penampilan hijau sampai hitam. Batu-batu
tersebut mengandung dalam jumlah bervariasi kalsium bilirubinat, polimer bilirubin, asam empedu
dalam jumlah kecil kolesterol (3 sampai 26%) dan banyak senyawa organik lain. Didaerah Timur,
batu kalsium bilirubinat dominan dan merupakan 40 sampai 60 % dari semua batu empedu. Batu
ini lebih rapuh, berwarna kecoklatan sampai hitam. Bilirubin pigmen kuning yang berasal dari
pemecahan heme, aktif disekresikan ke empedu oleh sel liver. Kebanyakan bilirubin dalam
empedu dibentuk dari konjugat glukorinide yang larut air dan stabil. Tetapi ada sedikit yang terdiri
dari bilirubin tidak terkonjugasi yang tidak larut dengan kalsium.

Patogenesis batu pigmen berbeda dari batu kolesterol. Kemungkinan mencakup sekresi
pigmen dalam jumlah yang meningkat atau pembentukan pigmen abnormal yang mengendap

18
dalam empedu. Sirosis dan stasis biliaris merupakan predisposisi pembentukan batu pigmen.
Pasien dengan peningkatan beban bilirubin tak terkonjugasi (anemia hemolitik), lazim membentuk
batu pigmen murni. Di negara Timur, tingginya insiden batu kalsium bilirubinat bisa berhubungan
dengan invasi bakteri sekunder dalam batang saluran empedu yang di infeksi parasit Clonorchis
sinensis atau Ascaris Lumbricoides. E.coli membentuk B- glukoronidase yang dianggap
mendekonjugasikan bilirubin di dalam empedu, yang bisa menyokong pembentukan kalsium
bilirubinat yang tak dapat larut.

Pembentukan batu bilirubin terdiri dari 2 fase :

 Saturasi bilirubin
Pada keadaan non infeksi, saturasi bilirubin terjadi karena pemecahan eritrosit yang
berlebihan, misalnya pada malaria dan penyakit Sicklecell. Pada keadaan infeksi saturasi
bilirubin terjadi karena konversi konjugasi bilirubin menjadi unkonjugasi yang sukar larut.
Konversi terjadi karena adanya enzim b glukuronidase yang dihasilkan oleh Escherichia Coli.
Pada keadaan normal cairan empedu mengandung glokaro 1,4 lakton yang menghambat kerja
glukuronidase.
 Pembentukan inti batu
Pembentukan inti batu selain oleh garam-garam calcium dan sel bisa juga oleh bakteri,
bagian dari parasit dan telur cacing. Tatsuo Maki melaporkan bahwa 55 % batu pigmen dengan
inti telur atau bagian badan dari cacing ascaris lumbricoides. Sedangkan Tung dari Vietnam
mendapatkan 70 % inti batu adalah dari cacing tambang.

C. Batu campuran14,20

Merupakan batu campuran kolesterol yang mengandung kalsium. Batu ini sering
ditemukan hampir sekitar 90 % pada penderita kolelitiasis. batu ini bersifat majemuk, berwarna
coklat tua. Sebagian besar dari batu campuran mempunyai dasar metabolisme yang sama dengan
batu kolesterol.

Patogenesis Kolesistitis7,21,22

Faktor yang mempengaruhi timbulnya serangan kolesistitis akut adalah stasis cairan
empedu, infeksi kuman dan iskemia dinding kandung empedu. Penyebab utama kolesistitis akut

19
adalah batu kandung empedu (90%) sedangkan sebagian kecil kasus (10%) timbul tanpa adanya
batu empedu (kolesistitis akut akalkulus.

Batu biasanya menyumbat duktus sistikus yang menyebabkan stasis cairan empedu dan
terjadi distensi kandung empedu. Distensi kandung empedu menyebabkan aliran darah dan limfe
menjadi terganggu sehingga terjadi iskemia dan nekrosis dinding kandung empedu. Meskipun
begitu, mekanisme pasti bagaimana stasis di duktus sistikus dapat menyebabkan kolesistitis akut,
sampai saat ini masih belum jelas. Diperkirakan banyak faktor yang dapat mencetuskan respon
peradangan pada kolesistitis, seperti kepekatan cairan empedu, kolesterol, lisolesitin dan
prostaglandin yang merusak lapisan mukosa dinding kandung empedu yang diikuti oleh reaksi
inflamasi dan supurasi.21

Peradangan yang disebabkan oleh bakteri mungkin berperan pada 50 sampai 85 persen
pasien kolesistitis akut. Organisme yang paling sering dibiak dari kandung empedu para pasien ini
adalah E. Coli, spesies Klebsiella, Streptococcus grup D, spesies Staphylococcus dan spesies
Clostridium. Endotoxin yang dihasilkan oleh organisme – organisme tersebut dapat menyebabkan
hilangnya lapisan mukosa, perdarahan, perlekatan fibrin, yang akhirnya menyebabkan iskemia dan
selanjutnya nekrosis dinding kandung empedu.22

Gambar 3. Patofisiologi kolesistitis akut.

Kolesistitis akut akalkulus terdapat pada 10 % kasus. Peningkatan resiko terhadap


perkembangan kolesistitis akalkulus terutama berhubungan dengan trauma atau luka bakar yang

20
serius, dengan periode pascapersalinan yang menyertai persalinan yang memanjang dan dengan
operasi pembedahan besar nonbiliaris lainnya dalam periode pascaoperatif. Faktor lain yang
mempercepat termasuk vaskulitis, adenokarsinoma kandung empedu yang mengobstruksi,
diabetes mellitus, torsi kandung empedu, infeksi bakteri kandung empedu (misalnya Leptospira,
Streptococcus, Salmonella atau Vibrio cholera) dan infeksi parasit kandung empedu. Kolesistitis
akalkulus mungkin juga tampak bersama dengan berbagai penyakit sistemik lainnya (sarkoidosis,
penyakit kardiovaskuler, sifilis, tuberkulosis, aktinomises).4

Selain itu, dapat timbul juga pada pasien yang dirawat cukup lama yang mendapat nutrisi
secara parenteral. Hal ini dapat terjadi karena kandung empedu tidak mendapatkan stimulus dari
kolesistokinin (CCK) yang berfungsi untuk mengosongkan kantong empedu, sehingga terjadi
kondisi statis dari cairan empedu.23

Manifestasi Klinis

Manifestasi Batu Kandung Empedu (Kolesistolitiasis)

A. Asimtomatik

Batu yang terdapat dalam kandung empedu sering tidak memberikan gejala (asimtomatik).
Dapat memberikan gejala nyeri akut akibat kolesistitis, nyeri bilier, nyeri abdomen kronik
berulang ataupun dispepsia, mual. Studi perjalanan penyakit sampai 50 % dari semua pasien
dengan batu kandung empedu, tanpa mempertimbangkan jenisnya, adalah asimtomatik. Kurang
dari 25 % dari pasien yang benar-benar mempunyai batu empedu asimtomatik akan merasakan
gejalanya yang membutuhkan intervensi setelah periode waktu 5 tahun. Tidak ada data yang
merekomendasikan kolesistektomi rutin dalam semua pasien dengan batu empedu asimtomatik.2,5

B. Simtomatik

Keluhan utamanya berupa nyeri di daerah epigastrium, kuadran kanan atas. Rasa nyeri
lainnya adalah kolik bilier yang berlangsung lebih dari 15 menit, dan kadang baru menghilang
beberapa jam kemudian. Kolik biliaris, nyeri pascaprandial kuadran kanan atas, biasanya
dipresipitasi oleh makanan berlemak, terjadi 30-60 menit setelah makan, berakhir setelah beberapa
jam dan kemudian pulih, disebabkan oleh batu empedu, dirujuk sebagai kolik biliaris. Mual dan
muntah sering kali berkaitan dengan serangan kolik biliaris.14

21
C. Komplikasi

Kolesistitis akut merupakan komplikasi penyakit batu empedu yang paling umum dan
sering meyebabkan kedaruratan abdomen, khususnya diantara wanita usia pertengahan dan
manula. Peradangan akut dari kandung empedu, berkaitan dengan obstruksi duktus sistikus atau
dalam infundibulum. Massa yang dapat dipalpasi hanya ditemukan pada 20% kasus. Kebanyakan
pasien akhirnya akan memerlukan terapi berupa kolesistektomi terbuka atau laparoskopik.2,10

Manifestasi Batu Saluran Empedu (Koledokolitiasis)

Pada batu duktus koledokus, riwayat nyeri atau kolik di epigastrium dan perut kanan atas
disertai tanda sepsis, seperti demam dan menggigil bila terjadi kolangitis. Apabila timbul serangan
kolangitis yang umumnya disertai obstruksi, akan ditemukan gejala klinis yang sesuai dengan
beratnya kolangitis tersebut. Kolangitis akut yang ringan sampai sedang biasanya kolangitis
bakterial non piogenik yang ditandai dengan trias Charcot yaitu demam dan menggigil, nyeri
didaerah hati, dan ikterus. Apabila terjadi kolangiolitis, biasanya berupa kolangitis piogenik
intrahepatik, akan timbul 5 gejala pentade Reynold, berupa tiga gejala trias Charcot, ditambah
syok, dan kekacauan mental atau penurunan kesadaran sampai koma.2

Koledokolitiasis sering menimbulkan masalah yang sangat serius karena komplikasi


mekanik dan infeksi yang mungkin mengancam nyawa. Batu duktus koledokus disertai dengan
bakterobilia dalam 75% persen pasien serta dengan adanya obstruksi saluran empedu, dapat timbul
kolangitis akut. Episode parah kolangitis akut dapat menyebabkan abses hati. Migrasi batu empedu
kecil melalui ampula Vateri sewaktu ada saluran umum diantara duktus koledokus distal dan
duktus pankreatikus dapat menyebabkan pankreatitis batu empedu. Tersangkutnya batu empedu
dalam ampula akan menyebabkan ikterus obstruktif.20

Manifestasi Kolesistitis

Keluhan yang agak khas untuk serangan kolesistitis akut adalah kolik perut di sebelah
kanan atas epigastrium dan nyeri tekan, takikardia serta kenaikan suhu tubuh. Keluhan tersebut
dapat memburuk secara progresif. Kadang – kadang rasa sakit menjalar ke pundak atau skapula
kanan dan dapat berlangsung sampai 60 menit tanpa reda. Berat ringannya keluhan sangat
bervariasi tergantung dari adanya kelainan inflamasi yang ringan sampai dengan gangren atau

22
perforasi kandung empedu. Sekitar 60 – 70% pasien melaporkan adanya riwayat serangan yang
sembuh spontan.8

Tanda peradangan peritoneum seperti peningkatan nyeri dengan penggetaran atau pada
pernapasan dalam dapat ditemukan. Pasien mengalami anoreksia dan sering mual. Muntah relatif
sering terjadi dan dapat menimbulkan gejala dan tanda deplesi volume vaskuler dan ekstraseluler.
Pada pemeriksaan fisis, kuadran kanan atas abdomen hampir selalu nyeri bila dipalpasi. Pada
seperempat sampai separuh pasien dapat diraba kandung empedu yang tegang dan membesar.
Inspirasi dalam atau batuk sewaktu palpasi subkosta kudaran kanan atas biasanya menambah nyeri
dan menyebabkan inspirasi terhenti (tanda Murphy).8

Ketokan ringan pada daerah subkosta kanan dapat menyebabkan peningkatan nyeri secara
mencolok. Nyeri lepas lokal di kuadran kanan atas sering ditemukan, juga distensi abdomen dan
penurunan bising usus akibat ileus paralitik, tetapi tanda rangsangan peritoneum generalisata dan
rigiditas abdomen biasanya tidak ditemukan, asalkan tidak ada perforasi. Ikterus dijumpai pada
20% kasus, umumnya derajat ringan (bilirubin < 4,0 mg/dl). Apabila konsentrasi bilirubin tinggi,
perlu dipikirkan adanya batu di saluran empedu ekstra hepatik. Pada pasien – pasien yang sudah
tua dan dengan diabetes mellitus, tanda dan gejala yang ada tidak terlalu spesifik dan kadang hanya
berupa mual saja.8

Walaupun manifestasi klinis kolesistitis akalkulus tidak dapat dibedakan dengan


kolesistitis kalkulus, biasanya kolesistitis akalkulus terjadi pada pasien dengan keadaan inflamasi
kandung empedu akut yang sudah parah walaupun sebelumnya tidak terdapat tanda – tanda kolik
kandung empedu. Biasanya pasien sudah jatuh ke dalam kondisi sepsis tanpa terdapat tanda –
tanda kolesistitis akut yang jelas sebelumnya.15

Diagnosis 1-4

Diagnosis Kolelitiasis

A. Anamnesis

Setengah sampai duapertiga penderita kolelitiasis adalah asintomatis. Keluhan yang


mungkin timbul adalah dispepsia yang kadang disertai intoleran terhadap makanan berlemak. Pada
yang simtomatis, keluhan utama berupa nyeri di daerah epigastrium, kuadran kanan atas atau

23
perikomdrium. Rasa nyeri lainnya adalah kolik bilier yang mungkin berlangsung lebih dari 15
menit, dan kadang baru menghilang beberapa jam kemudian. Timbulnya nyeri kebanyakan
perlahan-lahan tetapi pada 30% kasus timbul tiba-tiba.

Penyebaran nyeri pada punggung bagian tengah, skapula, atau ke puncak bahu, disertai
mual dan muntah. Lebih kurang seperempat penderita melaporkan bahwa nyeri berkurang setelah
menggunakan antasida. Kalau terjadi kolelitiasis, keluhan nyeri menetap dan bertambah pada
waktu menarik nafas dalam.

B. Pemeriksaan Fisik9

 Batu kandung empedu


Apabila ditemukan kelainan, biasanya berhubungan dengan komplikasi, seperti kolesistitis akut
dengan peritonitis lokal atau umum, hidrop kandung empedu, empiema kandung empedu, atau
pangkretitis. Pada pemeriksaan ditemukan nyeri tekan dengan punktum maksimum didaerah
letak anatomis kandung empedu. Tanda Murphy positif apabila nyeri tekan bertambah sewaktu
penderita menarik nafas panjang karena kandung empedu yang meradang tersentuh ujung jari
tangan pemeriksa dan pasien berhenti menarik nafas.
 Batu saluran empedu
Baru saluran empedu tidak menimbulkan gejala dalam fase tenang. Kadang teraba hatidan
sklera ikterik. Perlu diktahui bahwa bila kadar bilirubin darah kurang dari 3 mg/dl, gejal ikterik
tidak jelas. Apabila sumbatan saluran empedu bertambah berat, akan timbul ikterus klinis.

C. Pemeriksaan Penunjang9

 Pemeriksaan laboratorium
Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak menunjukkan kelainan pada
pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi peradangan akut, dapat terjadi leukositosis. Apabila
terjadi sindroma mirizzi, akan ditemukan kenaikan ringan bilirubin serum akibat penekanan
duktus koledukus oleh batu. Kadar bilirubin serum yang tinggi mungkin disebabkan oleh batu
di dalam duktus koledukus. Kadar fosfatase alkali serum dan mungkin juga kadar amilase serum
biasanya meningkat sedang setiap setiap kali terjadi serangan akut.

24
 Pemeriksaan radiologis
 Foto polos Abdomen
Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas karena hanya sekitar
10-15% batu kandung empedu yang bersifat radioopak. Kadang kandung empedu yang
mengandung cairan empedu berkadar kalsium tinggi dapat dilihat dengan foto polos. Pada
peradangan akut dengan kandung empedu yang membesar atau hidrops, kandung empedu
kadang terlihat sebagai massa jaringan lunak di kuadran kanan atas yang menekan gambaran
udara dalam usus besar, di fleksura hepatica.

Gambar 4. Gambaran batu di dalam kandung empedu pada foto polos abdomen.

 Ultrasonografi (USG)
Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi untuk mendeteksi
batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu intrahepatik maupun ekstra hepatik.
Dengan USG juga dapat dilihat dinding kandung empedu yang menebal karena fibrosis atau
udem yang diakibatkan oleh peradangan maupun sebab lain. Batu yang terdapat pada duktus
koledukus distal kadang sulit dideteksi karena terhalang oleh udara di dalam usus. Dengan
USG punktum maksimum rasa nyeri pada batu kandung empedu yang ganggren lebih jelas
daripada dengan palpasi biasa.

25
 Kolesistografi
Untuk penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup baik karena relatif murah,
sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu radiolusen sehingga dapat dihitung jumlah
dan ukuran batu. Kolesistografi oral akan gagal pada keadaan ileus paralitik, muntah, kadar
bilirubun serum diatas 2 mg/dl, okstruksi pilorus, dan hepatitis karena pada keadaan-keadaan
tersebut kontras tidak dapat mencapai hati. Pemeriksaan kolesitografi oral lebih bermakna
pada penilaian fungsi kandung empedu.

Gambar 5. Hasil USG pada kolelitiasis (kiri); hasil kolesistografi pada kolesistitis (kanan).

Diagnosis Kolesistitis

Diagnosis kolesistitis akut biasanya dibuat beradasarkan riwayat yang khas dan
pemeriksaan fisis. Trias yang terdiri dari nyeri akut kuadran kanan atas, demam dan leukositosis
sangat sugestif. Biasanya terjadi leukositosis yang berkisar antara 10.000 sampai dengan 15.000
sel per mikroliter dengan pergeseran ke kiri pada hitung jenis. Bilirubin serum sedikit meningkat
[kurang dari 85,5 μmol/L (5mg/dl)] pada 45 % pasien, sementara 25 % pasien mengalami
peningkatan aminotransferase serum (biasanya kurang dari lima kali lipat). Pemeriksaan alkali
phospatase biasanya meningkat pada 25 % pasien dengan kolesistitis. Pemeriksaan enzim amilase
dan lipase diperlukan untuk menyingkirkan kemungkinan pankreatitis, namun amilase dapat
meningkat pada kolesistitis. Urinalisis diperlukan untuk menyingkirkan kemungkinan
pielonefritis. Apabila keluhan bertambah berat disertai suhu tinggi dan menggigil serta leukositosis
berat, kemungkinan terjadi empiema dan perforasi kandung empedu dipertimbangkan.15

26
Pemindaian saluran empedu dengan radionuklida (mis. HDA) dapat memberikan
konfirmasi bila pada pemeriksaan pencitraan hanya tampak duktus kandung empedu tanpa
visualisasi kandung empedu.15 Foto polos abdomen tidak dapat memperlihatkan gambaran
kolesistitis akut. Hanya pada 15 % pasien kemungkinan dapat terlihat batu tidak tembus pandang
(radiopak) oleh karena mengandung kalsium cukup banyak. Kolesistografi oral tidak dapat
memperlihatkan gambaran kandung empedu bila ada obstruksi sehingga pemeriksaan ini tidak
bermanfaat untuk kolesistitis akut. Gambaran adanya kalsifikasi diffus dari kandung empedu
(empedu porselain) menunjukkan adanya keganasan pada kandung empedu.10

Pada pemeriksaan ultrasonografi (USG) sebaiknya dikerjakan secara rutin dan sangat
bermanfaat untuk memprlihatkan besar, bentuk, penebalan dinding kandung empedu, batu dan
saluran empedu ekstra hepatik. Nilai kepekaan dan ketepatan USG mencapai 90 – 95%. Adapun
gambaran di USG yang pada kolesistitis akut diantaranya adalah cairan perikolestik, penebalan
dinding kandung empedu lebih dari 4 mm dan tanda sonographic Murphy. Adanya batu empedu
membantu penegakkan diagnosis.10

Sensitifitas dan spesifisitas pemeriksaan CT scan abdomen dan MRI dilaporkan lebih besar
dari 95%. Pada kolesistitis akut dapat ditemukan cairan perikolestik, penebalan dinding kandung
empedu lebih dari 4 mm, edema subserosa tanpa adanya ascites, gas intramural dan lapisan mukosa
yang terlepas. Pemeriksaan dengan CT – scan dapat memperlihatkan adanya abses perikolesistik
yang masih kecil yang mungkin tidak terlihat pada pemeriksaan USG.24

Gambar 6. CT Scan abdomen pada pasien kolesistitis akut menunjukkan adanya batu empedu dan penebalan
dinding kandung empedu.

27
Skintigrafi saluran empedu mempergunakan zat radioaktif HIDA atau 96n Tc6
Iminodiacetic acid mempunyai nilai sedikit lebih rendah dari USG tapi teknik ini tidak mudah.
Normalnya gambaran kandung empedu, duktus biliaris komunis dan duodenum terlihat dalam 30-
45 menit setelah penyuntikan zat warna. Terlihatnya gambaran duktus koledokus tanpa adanya
gambaran kandung empedu pada pemeriksaan kolesistografi oral atau scintigrafi sangat
menyokong kolesistitis akut.8

Gambar 7. Kiri: Scintigrafi normal, HIDA mengisi kandung empedu setelah 45 menit; Kanan: pada pasien
kolesistitis, HIDA tidak mengisi kandung empedu setelah 1 jam 30 menit

Endoscopic Retrogard Cholangiopancreatography (ERCP) dapat digunakan untuk melihat


struktur anatomi bila terdapat kecurigaan terdapat batu empedu di duktus biliaris komunis pada
pasien yang beresiko tinggi menjalani laparaskopi kolesistektomi.25

Pada pemeriksaan histologi, terdapat edema dan tanda – tanda kongesti pada jaringan.
Gambaran kolesistitis akut biasanya serupa dengan gambaran kolesistitis kronik dimana terdapat
fibrosis, pendataran mukosa dan sel – sel inflamasi seperti neutrofil. Terdapat gambaran herniasi
dari lapisan mukosa yang disebut dengan sinus Rokitansky-Aschoff. Pada kasus – kasus lanjut
dapat ditemukan gangren dan perforasi.

28
Diagnosis Banding

Diagnosis kolelitiasis dan kolesistitis harus dapat ditegakkan sesegera mungkin agar dapat
dilakukan penanganan sedini mungkin dan menghindari terjadinya peningkatan morbiditas dan
mortalitas pada pasien.

Untuk kolelitiasis, dapat dipertimbangkan kemungkinan adanya patologi intra-abdominal


maupun ekstra-abdominal yang menyebabkan nyeri abdomen bagian atas. Beberapa penyakit yang
perlu dipertimbangkan adalah penyakit ulkus peptik, pankreatitis (akut atau kronik), hepatitis,
dispepsia, gastroesophageal reflux disease (GERD), irritable bowel syndrome, spasme esofagus,
pneumonia, nyeri dada karena penyakit jantung, ketoasidosis diabetik, apendisitis, striktura duktus
biliaris, kolangiokarsinoma, kolesistitis, atau kanker pankreas.9

Untuk kolesistitis akut, dapat dipertimbangkan diagnosis banding untuk nyeri perut kanan
atas yang tiba – tiba, perlu dipikirkan seperti penjalaran nyeri saraf spinal, kelainan organ di bawah
diafragma seperti appendiks yang retrosekal, sumbatan usus, perforasi ulkus peptikum,
pankreatitis akut, pielonefritis dan infark miokard. Pada wanita hamil kemungkinannya dapat
preeklampsia, appendisitis dan kolelitiasis. Pemeriksaan lebih lanjut dan penanganan harus
dilakukan segera karena dapat mengancam nyawa ibu dan bayi. Penyakit lain yang dapat
dipertimbangkan antara lain adalah aneurisma aorta abdominal, iskemia mesenterik akut, dan kolik
biliaris.10

Penatalaksanaan3,9,10

Penatalaksanaan untuk Kolelitiasis

Saat ditemukan adanya batu empedu asimptomatik selama melakukan pemeriksaan pasien,
maka umumnya belum perlu dilakukan kolesistektomi profilaktik karena adanya beberapa faktor.
Hanya sekitar 30% pasien dengan kolelitiasis asimptomatik yang memerlukan operasi selama
masa hidup mereka, dan ini menunjukkan bahwa pada beberapa pasien, kolelitiasis merupakan
suatu kelainan yang relatif ringan dan tidak berbahaya. Pada beberapa pasien ini dapat dilakukan
penanganan konservatif.3,9 Namun, terdapat beberapa faktor yang menunjukkan kemungkinan
terjadinya perjalanan penyakit yang lebih berat pada pasien dengan batu empedu asimptomatik
sehingga perlu dilakukan kolesistektomi profilaksis. Beberapa faktor ini antara lain adalah pasien

29
dengan batu empedu yang berukuran besar (>2,5 cm), pasien dengan anemia hemolitik kongenital
atau kandung empedu yang tidak berfungsi, atau pasien yang menjalani operasi kolektomi.3

Pada batu empedu yang simptomatik, umumnya diindikasikan untuk melakukan intervensi
bedah definitif menggunakan kolesistektomi, meskipun pada beberapa kasus dapat
dipertimbangkan untuk meluruhkan batu menggunakan terapi medikamentosa. Pada kolelitiasis
non-komplikata dengan kolik biliaris, penanganan medikamentosa dapat menjadi alternatif untuk
beberapa pasien tertentu, terutama yang menunjukkan risiko tinggi bila menjalani operasi.9

A. Penatalaksanaan konservatif

Untuk penatalaksanaan konservatif dapat diberikan obat yang dapat menekan sintesis dan
sekresi kolesterol, serta menginhibisi absorbsi kolesterol di usus. Ursodiol merupakan jenis obat
yang paling sering digunakan. Ursodiol (asam ursodeoksikolat) diindikasikan untuk batu empedu
radiolusens yang berdiameter kurang dari 20 mm pada pasien yang tidak dapat menjalani
kolesistektomi. Obat ini memiliki sedikit efek inhibitorik pada sintesis dan sekresi asam empedu
endogen ke dalam cairan empedu dan nampaknya tidak mempengaruhi sekrresi fosfolipid ke
dalam cairan empedu. Setelah pemberian dosis berulang, obat akan mencapai kondisi seimbang
setelah kurang lebih 3 minggu. Dosis lazim yang digunakan ialah 8-10 mg/kgBB terbagi dalam 2-
3 dosis harian. Intervensi ini membutuhkan waktu 6-18 bulan dan umumnya berhasil bila batu
berukuran kecil dan murni merupakan batu kolesterol, serta memiliki angka kekambuhan sebesar
50 % dalam 5 tahun.1,9

Terapi lain yang dapat digunakan adalah Extarcorporal Shock Wave Lithotripsy (ESWL).
Litotripsi pernah sangat populer beberapa tahun yang lalu, namun saat ini hanya digunakna pada
pasien yang benar-benar dianggap perlu menjalani terapi ini karena biayanya yang mahal. Supaya
efektif, ESWL memerlukan terapi tambahan berupa asam ursodeoksilat.16

B. Penatalaksanaan Operatif

Sebaiknya tidak dilakukan terapi bedah untuk batu empedu asimptomatik. Risiko
komplikasi akibat intervensi pada penyakit asimptomatik nampak lebih tinggi dari risiko pada
penyakit simptomatik. Sekitar 25% pasien dengan batu empedu asimptomatik akan mengalami
gejala dalam waktu 10 tahun. Individu dengan diabetes dan wanita hamil perlu menjalani

30
pengawasan ketat untuk menentukan apakah mereka mulai mengalami gejala atau komplikasi.
Terdapat beberapa indikasi untuk melakukan kolesistektomi pada batu empedu asimpomatik,
antara lain adalah:

 Pasien dengan batu empedu besar yang berdiameter lebih dari 2 cm


 Pasien dengan kandung empedu yang nonfungsional atau nampak mengalami kalsifikasi
(porcelain gallbladder) pada pemeriksaan pencitraan dan pada pasien yang berisiko tinggi
mengalami karsinoma kandung empedu
 Pasien dengan cedera medula spinalis atau neuropati sensorik yang mempengaruhi abdomen
 Pasien dengan anemia sel sabit, dimana kita akan sulit membedakan antara krisis yang
menyebabkan nyeri dengan kolesistitis
Selain itu, terdapat sejumlah faktor risiko terjadinya komplikasi batu empedu yang dapat
menjadi indikasi untuk menawarkan kolesistektomi elektif pada pasien, meskipun masih
asimptomatik. Beberapa faktor tersebut antara lain adalah:

 Sirosis
 Hipertensi porta
 Anak-anak
 Kandidat transplantasi
 Diabetes dengan gejala minor
 Pasien dengan kalsifikasi kandung empedu

Pada pasien kolelitiasis yang diputuskan akan menjalani terapi operatif, terdapat beberapa
teknik pembedahan yang dapat digunakan:

 Kolesistektomi
Pengambilan kandung empedu (kolesistektomi) umumnya diindikasikan pada pasien yang
mengalami gejala atau komplikasi akibat adanya batu empedu, kecuali usia atau kondisi umum
pasien tidak memungkinkan dilakukannya operasi. Pada beberapa kasus empiema kandung
empedu, dapat dilakukan drainase pus sementara dari kandung empedu (kolesistostomi)
sehingga memungkinkan dilakukannya stabilisasi, untuk nantinya dilanjutkan dengan terapi
kolesistektomi elektif.

31
Pada pasien dengan batu empedu yang dicurigai juga memiliki batu di saluran empedu,
dokter bedah dapat melakukan kolangiografi intraoperatif pada saat operasi kolesistektomi.
Duktus biliaris komunis dapat dieksplorasi menggunakan koledokoskop. Bila ditemukan
adanya batu duktus biliaris komunis, maka biasanya akan dilakukan ekstraksi intraoperatif.
Alternatif lain yang dapat ditempuh, dokter bedah dapat membuat sebuah fistula antara bagian
distal duktus biliaris dan duodenum di sebelahnya (koledokoduodenostomi), sehingga batu
dapat masuk ke dalam usus dengan aman.
Kolesistektomi yang pertama dilakukan pada akhir tahun 1800an. Pendekatan operasi
terbuka yang dikembangkan oleh Langenbuch masih menjadi teknik standar sampai akhir tahun
1980an, dimana mulai diperkenalkan teknik baru berupa kolesistektomi laparoskopik.26,27
Kolesistektomi laparoskopik merupakan revolusi terapi minimal invasif, yang telah
mempengaruhi semua area praktek bedah modern. Saat ini, kolesistektomi terbuka hanya
dilakukan pada kondisi tertentu saja. pendekatan kolesistektomi terbuka dilakukan
menggunakan sebuah insisi subkostal kanan yang besar. Sebaliknya, kolesistektomi
laparoskopik menggunakan 4 insisi yang sangat kecil. Waktu pemulihan dan nyeri paskaoperasi
nampak jauh lebih rendah pada pendekatan laparoskopik.
Saat ini, kolesistektomi laparoskopik biasanya dilakukan di klinik rawat jalan. Dengan
mengurangi waktu rawat inap dan waktu yang terbuang selama pasien tidak dapat bekerja,
pendekatan laparoskopik juga dapat mengurangi biaya kolesistektomi.9
Pada pedoman penggunaan klinis operasi laparoskopik saluran biliaris yang dipublikasikan
tahun 2010, Society of American Gastrointestinal and Endoscopic Surgeons (SAGES)
menyatakan bahwa pasien dengan kolelitiasis simptomatik dianggap memenuhi syarat untuk
operasi laparoskopik. Pasien kolelitiasis dengan kolesistektomi laparoskopik tanpa komplikasi
dapat dipulangkan di hari yang sama bila nyeri dan mual paskaoperasi sudah terkendali dengan
baik. Pasien yang berusia lebih dari 50 tahun dapat menunjukkan risiko yang lebih besar untuk
kembali dirawat di rumah sakit.9
Selama melakukan kolesistektomi laparoskopik, seorang dokter bedah harus mengambil
semua batu yang tidak sengaja keluar melalui perforasi pada kandung empedu. Pada beberapa
kasus tertentu, mungkin perlu dilakukan perubahan menjadi operasi terbuka. Pada pasien
dengan batu empedu yang masuk dan hilang di cavum peritoneum, direkomendasikan untuk

32
melakukan pemeriksaan follow-up dengan USG selama 12 bulan. Sebagian besar kejadian
komplikasi (biasanya terbentuk abses di sekitar batu) akan terjadi dalam jangka waktu ini.
Komplikasi yang paling ditakuti dari kolesistektomi adalah kerusakan pada duktus biliaris
komunis. Kejadian cedera duktus biliaris nampak semakin meningkat sejak dikembangkannya
teknik kolesistektomi laparoskopik, namun kejadian dari komplikasi ini sudah mulai berkurang
seiring bertambahnya pengalaman dan pelatihan yang dilakukan oleh para dokter bedah dalam
bidang operasi minimal invasif.10
Kolangiografi rutin umumnya tidak banyak membantu untuk mencegah terjadinya cedera
duktus biliaris komunis. Namun, bukti menunjukkan bahwa teknik ini dapat membantu
mendeteksi cedera semacam ini pada masa intraoperasi.
 Kolesistostomi
Pada pasien yang berada dalam kondisi sakit kritis dengan empiema kandung empedu dan
sepsis, operasi kolesistektomi dapat berbahaya. Pada kondisi ini, dokter bedah dapat memilih
untuk melakukan kolesistostomi, suatu prosedur minimal invasif yang dilakukan dengan
memasang pipa drainase di kandung empedu. Teknik ini biasanya dapat memperbaiki kondisi
klinis pasien. saat pasien sudah stabil, dapat dilakukan kolesistektomi definitif secara elektif.
Pada beberapa kasus, kolesistostomi juga dapat dilakukan oleh spesialis radiologi invasif
menggunakan panduan dari CT-scan. Pendekatan ini tidak memerlukan anestesi dan nampak
bermanfaat untuk pasien dengan kondisi klinis yang tidak stabil.
 Spincterotomi endoskopik
Bila kita tidak dapat segera melakukan pengambilan batu dalam duktus biliaris komunis,
maka dapat digunakan spincterotomi retrograde endoskopik. Pada prosedur ini, dokter akan
melakukan kanulasi duktus biliaris melalui papilla Vater. Menggunakan spincterotome
elektrokauter, dokter akan membuat insisi dengan ukuran sekitar 1 cm melalui sphincter Oddi
dan bagian intraduodenal dari duktus biliaris komunis, sehingga menghasilkan suatu lubang
yang dapat digunakan untuk mengeksktraksi batu.
Spincterotomi retrograde endoskopik terutama bermanfaat pada pasien dengan kondisi
sakit berat yang mengalami kolangitis ascenderen akibat tersumbatnya ampulla Vater oleh batu
empedu. Indikasi lain untuk melakukan prosedur ini adalah sebagai berikut:
o Mengambil batu duktus biliaris komunis yang tertinggal selama dilakukannya prosedur
kolesistektomi sebelumnya

33
o Melakukan pembersihan batu preoperatif dari duktus biliaris komunis untuk mengeliminasi
kebutuhan akan eksplorasi duktus biliaris intraoperatif, terutama pada kondisi dimana
keahlian seorang dokter bedah dalam bidang eksplorasi laparoskopik duktus biliaris masih
terbatas atau pasien menunjukkan risiko tinggi untuk menggunakan anestesia
o Mencegah rekurensi pankreatitis akut akibat batu empedu atau komplikasi lain dari
koledokolitiasis pada pasien dengan keadaan umum yang terlalu buruk untuk menjalani
kolesistektomi elektif atua pada pasien dengan prognosis jangka panjang yang buruk
Spincterotomi endoskopik intraoperatif (IOES) selama dilakukannya kolesistektomi
laparoskopik dapat menjadi terapi alternatif untuk spincterotomi endoskopik preoperatif
(POES) dilanjutkan dengan kolesistektomi laparoskopik; hal ini disebabkan karena IOES
memiliki efektivitas dan tingkat keamanan yang sama dengan POES serta dapat mengurangi
lamanya perawatan di rumah sakit.9

C. Komplikasi Kolesistektomi

Komplikasi dini setelah kolesistektomi adalah atelektasis dan gangguan paru lainnya,
pembentukan abses (sering subfrenik), perdarahan eksterna dan interna, fistula biliaris-enterik dan
kebocoran empedu. Ikterus mungkin mengisyaratkan absorpsi empedu dari suatu sumber
intraabdomen akibat kebocoran empedu atau sumbatan mekanis duktus koledokus oleh batu,
bekuan darah intraduktus atau tekanan ekstrinsik. Untuk mengurangi insidensi komplikasi dini
tersebut secara rutin dilakukan kolangiografi intraoperatif sewaktu kolesistektomi.15

Secara keseluruhan, kolesistektomi merupakan operasi yang sangat berhasil yang


menghasilkan kesembuhan lengkap atau hampir lengkap atas gejala pada 75 sampai 90 persen
pasien. Penyebab paling sering pada gejala pascakolesistektomi yang menetap adalah adanya
gangguan ekstrabiliaris yang tidak diketahui (misalnya esofagitis refluks, ulkus peptikum, sindrom
pascagastrektomi, pankreatitis atau sindroma usus iritabel). Namun, pada sebagian kecil pasien
terdapat gangguan duktus kandung empedu ekstrahepatik yang menyebabkan gejala persisten.15

34
Penatalaksanaan untuk Kolesistitis

A. Terapi konservatif

Walaupun intervensi bedah tetap merupakan terapi utama untuk kolestasis akut dan
komplikasinya, mungkin diperlukan periode stabilisasi di rumah sakit sebelum kolesistektomi.
Pengobatan umum termasuk istirahat total, perbaiki status hidrasi pasien, pemberian nutrisi
parenteral, diet ringan, koreksi elektrolit, obat penghilang rasa nyeri seperti petidin dan
antispasmodik. Pemberian antibiotik pada fase awal sangat penting untuk mencegah komplikasi
seperti peritonitis, kolangitis dan septisemia. Golongan ampisilin, sefalosporin dan metronidazol
cukup memadai untuk mematikan kuman – kuman yang umum terdapat pada kolesistitis akut
seperti E. Coli, Strep. faecalis dan Klebsiela, namun pada pasien diabetes dan pada pasien yang
memperlihatkan tanda sepsis gram negatif, lebih dianjurkan pemberian antibiotik kombinasi.10,15

Berdasarkan rekomendasi Sanford, dapat diberikan ampisilin/sulbactam dengan dosis 3


gram / 6 jam, IV, cefalosporin generasi ketiga atau metronidazole dengan dosis awal 1 gram, lalu
diberikan 500 mg / 6 jam, IV. Pada kasus – kasus yang sudah lanjut dapat diberikan imipenem 500
mg / 6 jam, IV. Bila terdapat mual dan muntah dapat diberikan anti – emetik atau dipasang
nasogastrik tube. Pemberian CCK secara intravena dapat membantu merangsang pengosongan
kandung empedu dan mencegah statis aliran empedu lebih lanjut. Pasien – pasien dengan
kolesistitis akut tanpa komplikasi yang hendak dipulangkan harus dipastikan tidak demam dengan
tanda – tanda vital yang stabil, tidak terdapat tanda – tanda obstruksi pada hasil laboratorium dan
USG, penyakit – penyakit lain yang menyertai (seperti diabetes mellitus) telah terkontrol. Pada
saat pulang, pasien diberikan antibiotik yang sesuai seperti Levofloxasin 1 x 500 mg PO dan
Metronidazol 2 x 500 mg PO, anti-emetik dan analgesik yang sesuai.10,15

B. Terapi bedah

Saat kapan dilaksanakan tindakan kolesistektomi masih diperdebatkan, apakah sebaiknya


dilakukan secepatnya (3 hari) atau ditunggu 6 – 8 minggu setelah terapi konservatif dan keadaaan
umum pasien lebih baik. Sebanyak 50 % kasus akan membaik tanpa tindakan bedah. Ahli bedah
yang pro operasi dini menyatakan, timbul gangren dan komplikasi kegagalan terapi konservatif
dapat dihindarkan dan lama perawatan di rumah sakit menjadi lebih singkat dan biaya daat ditekan.
Sementara yang tidak setuju menyatakan, operasi dini akan menyebabkan penyebaran infeksi ke

35
rongga peritoneum dan teknik operasi lebih sulit karena proses infalamasi akut di sekitar duktus
akan mengaburkan anatomi.

Namun, kolesistostomi atau kolesistektomi darurat mungkin perlu dilakukan pada pasien
yang dicurigai atau terbukti mengalami komplikasi kolesistitis akut, misalnya empiema,
kolesistitis emfisematosa atau perforasi. Pada kasus kolesistitis akut nonkomplikata, hampir 30 %
pasien tidak berespons terhadap terapi medis dan perkembangan penyakit atau ancaman
komplikasi menyebabkan operasi perlu lebih dini dilakukan (dalam 24 sampai 72 jam).
Komplikasi teknis pembedahan tidak meningkat pada pasien yang menjalani kolesistektomi dini
dibanding kolesistektomi yang tertunda. Penundaan intervensi bedah mungkin sebaiknya
dicadangkan untuk (1) pasien yang kondisi medis keseluruhannya memiliki resiko besar bila
dilakukan operasi segera dan (2) pasien yang diagnosis kolesistitis akutnya masih meragukan.28

Kolesistektomi dini/segera merupakan terapi pilihan bagi sebagian besar pasien kolesistitis
akut. Di sebagian besar sentra kesehatan, angka mortalitas untuk kolesistektomi darurat mendekati
3 %, sementara resiko mortalitas untuk kolesistektomi elektif atau dini mendekati 0,5 % pada
pasien berusia kurang dari 60 tahun. Tentu saja, resiko operasi meningkat seiring dengan adanya
penyakit pada organ lain akibat usia dan dengan adanya komplikasi jangka pendek atau jangka
panjang penyakit kandung empedu. Pada pasien kolesistitis yang sakit berat atau keadaan
umumnya lemah dapat dilakukan kolesistektomi dan drainase selang terhadap kandung empedu.
Kolesistektomi elektif kemudian dapat dilakukan pada lain waktu.29

36
KESIMPULAN

Kolelitiasis adalah penyakit batu saluran empedu. Etiologi, faktor risiko dan patogenesis
untuk kolesistitis umumnya akan berbeda-beda menurut jenis batu empedu (batu kolesterol dan
batu pigmen). Faktor yang berhubungan dengan kejadian kolelitiasis adalah jenis kelamin, suku
bangsa, usia, obesitas, kehamilan, stasis cairan empedu, obat-obatan dan faktor keturunan.

Kolesistitis merupakan inflamasi pada dinding kandung empedu yang paling sering
disebabkan oleh obstruksi duktus sistikus akibat adanya kolelitiasis, yang umumnya disertai
keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri tekan dan demam. Faktor risiko kolesistitis umumnya serupa
dengan kolelitiasis.

Batu yang terdapat dalam kandung empedu sering tidak memberikan gejala (asimtomatik).
Dapat memberikan gejala nyeri akut akibat kolesistitis, nyeri bilier, nyeri abdomen kronik
berulang ataupun dispepsia, mual. Sementara keluhan yang agak khas untuk serangan kolesistitis
akut adalah kolik perut di sebelah kanan atas epigastrium dan nyeri tekan, takikardia serta kenaikan
suhu tubuh. Keluhan tersebut dapat memburuk secara progresif. Kadang – kadang rasa sakit
menjalar ke pundak atau skapula kanan dan dapat berlangsung sampai 60 menit tanpa reda.

Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan


penunjang. Kolelitiasis dapat ditangani secara konservatif maupun secara operatif. Pada batu
empedu yang simptomatik, umumnya diindikasikan untuk melakukan intervensi bedah definitif
menggunakan kolesistektomi, meskipun pada beberapa kasus dapat dipertimbangkan untuk
meluruhkan batu menggunakan terapi medikamentosa. Untuk kolesistitis, dapat diberikan terapi
simptomatik, terapi untuk kelainan yang mendasari serta antibiotik.

37
DAFTAR PUSTAKA

1. Lesmana L. Batu Empedu dalam Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid 1. Edisi 3. Jakarta: Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2000.380- 4.
2. Hunter JG. Gallstones Diseases. In : Schwart’s Principles of Surgery 8th edition. 2007. US
: McGraw-Hill Companies.826-42.
3. Schirmer BD, Winters KL, Edlich RF. Cholelithiasis and cholecystitis. J Long Term Eff
Med Implants. 2005;15(3):329-38.
4. Greenbergen N.J., Isselbacher K.J. Diseases of the Gallbladder and Bile Ducts, dari
Harrison’s Princi-ples of Internal Medicine, Edisi ke-14, hal.1725-1736, Editor Fauci dkk.
Mc Graw Hill, 1998
5. Jacobson I.M. Gallstones, dari Current Diagnosis and Treatment in Gastro- enterology,
Editor Grendell J.H., McQuaid K.R., Friedman S.L., hal. 668-678, Appleton & Lange ,
1996
6. Malet P.F. Complications of Chole- lithiasis, dari Liver and Biliary Diseases, Edisi II, hal
673-691, Editor Kaplowitz N., Williams & Wilkins, 1996
7. Huffman JL, Schenker S. Acute acalculous cholecystitis - a review. Clin Gastroenterol
Hepatol. Sep 9 2009
8. Sudoyo W. Aru, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Perhimpunan Dokter
Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I Edisi IV.
EGC. Jakarta. 2009.
9. Bloom AA, Katz J. Cholecystitis. Diunduh tanggal : 25 Juli 2013. Dari [online]
http://emedicine.medscape.com/article/171886-overview
10. Heuman DM, Katz J. Cholelithiasis. Diunduh tanggal : 25 Juli 2013. Dari [online]
http://emedicine.medscape.com/article/175667-overview
11. Sjamsuhidayat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC. 2005. 570-9.
12. Price SA, Wilson LM. Kolelitiasis dan Kolesistisis dalam : Patofisiologi. Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit, edisi 4. Jakarta : EGC. 1995. 430-44.

38
13. Guyton AC, Hall JE. Sistem Saluran Empedu dalam: Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.
Edisi ke-9. Jakarta: EGC, 1997. 1028-1029.
14. Doherty GM. Biliary Tract. In : Current Diagnosis & Treatment Surgery 13th edition. 2010.
US : McGraw-Hill Companies,p544-55.
15. Poupon R, Rosmorduc O, Boëlle PY, Chrétien Y, Corpechot C, Chazouillères O, et al.
Genotype- phenotype relationships in the low-phospholipid associated cholelithiasis
syndrome. A study of 156 consecutive patients. Hepatology. Mar 26 2013
16. Sarr MG, Cameron JL. Sistem empedu dalam : Buku Ajar Bedah. Esentials of Surgery,
edisis ke-2. Jakarta: EGC, 1996. 121-123
17. Garden Jet et al. Gallstone dalam: Principle and Practice of Surgery. China: Elseiver, 2007.
23.
18. Bateson M. Batu Empedu dan Penyakit Hati. Jakarta: Arcan, 1991. 35-41.
19. Portincasa P, Moschetta A, Palasciano G. Cholesterol gallstone disease. Lancet. Jul 15
2006;368(9531):230-9.
20. Townsend CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL. Biliary Tract. In : Sabiston
Textbook of Surgery 17th edition. 2004. Pennsylvania : Elsevier.
21. Donovan JM. Physical and metabolic factors in gallstone pathogenesis. Gastroenterol Clin
North Am. 2009;28(1):75-97.
22. Cullen JJ, Maes EB, Aggrawal S, et al. Effect of endotoxin on opossum gallbladder
motility: a model of acalculous cholecystitis. Ann Surg. 2009;232(2):202-7.
23. Sitzmann JV, Pitt HA, Steinborn PA, et al. Cholecystokinin prevents parenteral nutrition
induced biliary sludge in humans. Surg Gynecol Obstet. 2008;170(1):25-31.
24. Kim YK, Kwak HS, Kim CS, Han YM, Jeong TO, Kim IH, et al. CT findings of mild
forms or early manifestations of acute cholecystitis. Clin Imaging. 2009;33(4):274-80.
25. Sahai AV, Mauldin PD, Marsi V, et al. Bile duct stones and laparoscopic cholecystectomy:
a decision analysis to assess the roles of intraoperative cholangiography, EUS, and ERCP.
Gastrointest Endosc. 2009;49(3 Pt1):334-43.
26. Binenbaum SJ, Teixeira JA, Forrester GJ, Harvey EJ, Afthinos J, Kim GJ, et al. Single-
incision laparoscopic cholecystectomy using a flexible endoscope. Arch Surg.
2009;144(8):734-8.

39
27. Ghazal AH, Sorour MA, El-Riwini M, El-Bahrawy H. Single-step treatment of gall bladder
and bile duct stones: a combined endoscopic-laparoscopic technique. Int J Surg. Aug
2009;7(4):338-46.
28. Wilson E, Gurusamy K, Gluud C, Davidson BR. Cost-utility and value of information
analysis of early versus delayed laparoscopic cholecystectomy for acute cholecystitis. Br J
Surg. 2010;97(2):210-9.
29. Mutignani M, Iacopini F, Perri V, et al. Endoscopic gallbladder drainage for acute
cholecystitis: technical and clinical results. Endoscopy. 2009;41(6):539-46.

40

Anda mungkin juga menyukai