Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN

I. Konsep Penyakit Thypoid Fever


1.1 Definisi/deskripsi penyakit Thypoid Fever
Demam thypoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh
Salmonella thypi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang yang
terutama terletak di daerah tropis dan subtropis. Penyakit ini juga merupakan masalah
kesehatan masyarakat yang penting karena penyebarannya berkaitan erat dengan
urbanisasi, kepadatan penduduk, kesehatan lingkungan, sumber air dan sanitasi yang
buruk serta standar higiene industri pengolahan makanan yang masih rendah
(Simanjuntak, C. H, 2009. Demam Tifoid, Epidemiologi dan Perkembangan Penelitian.
Cermin Dunia Kedokteran No. 83).

Tifoid adalah penyakit infeksi sistemik akut yang disebabkan infeksi salmonella Thypi.
Organisme ini masuk melalui makanan dan minuman yang sudah terkontaminasi oleh
faeses dan urine dari orang yang terinfeksi kuman salmonella (Smeltzer & Bare. 2002.
Keperawatan Medikal Bedah II. Jakarta: EGC). Tifoid adalah penyakit infeksi akut usus
halus yang disebabkan oleh kuman salmonella Thypi (Mansjoer, Arif. 2009. Kapita
Selekta Kedokteran, Jakarta : Media Aesculapius.).

1.2 Etiologi
Etiologi demam thypoid adalah salmonella thypi (S.thypi) 90 % dan salmonella
parathypi (S. Parathypi Adan B serta C). Bakteri ini berbentuk batang, gram negatif,
mempunyai flagela, dapat hidup dalam air, sampah dan debu. Namun bakteri ini dapat
mati dengan pemanasan suhu 600 selama 15-20 menit. Akibat infeksi oleh salmonella
thypi, pasien membuat antibodi atau aglutinin yaitu :
1.2.1 Aglutinin O (antigen somatik) yang dibuat karena rangsangan antigen O (berasal
dari tubuh kuman).
1.2.2 Aglutinin H (antigen flagela) yang dibuat karena rangsangan antigen H (berasal
dari flagel kuman).
1.2.3 Aglutinin Vi (envelope) terletak pada kapsul yang dibuat karena rangsangan
antigen Vi (berasal dari simpai kuman)
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang ditentukan titernya untuk
diagnosa, makin tinggi titernya makin besar pasien menderita tifoid. (Aru W. Sudoyo.
Buku ajar ilmu penyakit dalam. 2009. Ed V.Jilid III. Jakarta: interna publishing)

1.3 Tanda gejala


Tanda dan gejala klinik demam thypoid fever:
Keluhan:
Nyeri kepala (frontal) 100%
Kurang enak di perut 50%
Nyeri tulang, persendian, dan otot 50%
Berak-berak 50%
Muntah 50%
Gejala:
Demam 100%
Nyeri tekan perut 75%
Bronkitis 75%
Toksik 60%
Letargik 60%
Lidah tifus (“kotor”) 40%
(Sjamsuhidayat. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi revisi. EGC. Jakarta. 1998.)
1.3.1 Pada kondisi demam, dapat berlangsung lebih dari 7 hari, febris reminten, suhu
tubuh berangsur meningkat.
1.3.2 Ada gangguan saluran pencernaan, bau nafaas tidak sedap,bibir kering pecah-pecah
(ragaden), lidah ditutpi selaput putih kotor (coated tongue, lidah limfoid) ujung dan
tepinya kemerahan, biasanya disertai konstipasi, kadang diare, mual muntah, dan
jarang kembung.
1.3.3 Gangguan kesadaran, kesadaran pasien cenderung turun, tidak seberapa dalam,
apatis sampai somnolen, jarang sopor, koma atau gelisah.
1.3.4 Relaps (kambung) berulangnya gejala tifus tapi berlangsung ringan dan lebih
singkat.

1.4 Patofisiologi
Bakteri Salmonella typhi bersama makanan atau minuman masuk ke dalam tubuh
melalui mulut. Pada saat melewati lambung dengan suasana asam (pH < 2) banyak
bakteri yang mati. Keadaan-keadaan seperti aklorhidiria, gastrektomi, pengobatan
dengan antagonis reseptor histamin H2, inhibitor pompa proton atau antasida dalam
jumlah besar, akan mengurangi dosis infeksi. Bakteri yang masih hidup akan mencapai
usus halus. Di usus halus, bakteri melekat pada sel-sel mukosa dan kemudian menginvasi
mukosa dan menembus dinding usus, tepatnya di ileum dan jejunum. Sel-sel M, sel
epitel khusus yang melapisi Peyer’s patch, merupakan tempat internalisasi Salmonella
typhi. Bakteri mencapai folikel limfe usus halus, mengikuti aliran ke kelenjar limfe
mesenterika bahkan ada yang melewati sirkulasi sistemik sampai ke jaringan RES di
organ hati dan limpa. Salmonella typhi mengalami multiplikasi di dalam sel fagosit
mononuklear di dalam folikel limfe, kelenjar limfe mesenterika, hati dan limfe
(Soedarmo, Sumarmo S Poorwo, dkk. 2012. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis.
Jakarta: IDAI).

Setelah melalui periode waktu tertentu (periode inkubasi) yang lamanya ditentukan oleh
jumlah dan virulensi kuman serta respons imun pejamu maka Salmonella typhi akan
keluar dari habitatnya dan melalui duktus torasikus masuk ke dalam sirkulasi sistemik.
Dengan cara ini organisme dapat mencapai organ manapun, akan tetapi tempat yang
disukai oeh Salmonella typhi adalah hati, limpa, sumsum tulang belakang, kandung
empedu dan Peyer’s patch dari ileum terminal. Invasi kandung empedu dapat terjadi baik
secara langsung dari darah atau penyebaran retrograd dari empedu. Ekskresi organisme
di empedu dapat menginvasi ulang dinding usus atau dikeluarkan melalui tinja. Peran
endotoksin dalam patogenesis demam tifoid tidak jelas, hal tersebut terbukti dengan
tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus.
Diduga endotoksin dari Salmonella typhi menstimulasi makrofag di dalam hati, limpa,
folikel limfoma usus halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin
dan zat-zat lain. Produk dari makrofag inilah yang dapat menimbulkan nekrosis sel,
sistem vaskular yang tidak stabil, demam, depresi sumsum tulang belakang, kelainan
pada darah dan juga menstimulasi sistem imunologik (Soedarmo, Sumarmo S Poorwo,
dkk. 2012. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis. Jakarta: IDAI).

1.5 Pemeriksaan penunjang


1.5.1 Pemeriksaan leukosit
Di dalam beberapa literatur dinyatakan bahwa demam typhoid terdapat leukopenia
dan limposistosis relatif tetapi kenyataannya leukopenia tidaklah sering dijumpai.
Pada kebanyakan kasus demam typhoid, jumlah leukosit pada sediaan darah tepi
berada pada batas-batas normal bahkan kadang-kadang terdapat leukosit walaupun
tidak ada komplikasi atau infeksi sekunder. Oleh karena itu pemeriksaan jumlah
leukosit tidak berguna untuk diagnosa demam typhoid.
1.5.2 Pemeriksaan SGOT Dan SGPT
SGOT Dan SGPT pada demam typhoid seringkali meningkat tetapi dapat kembali
normal setelah sembuhnya typhoid.
1.5.3 Biakan darah
Bila biakan darah positif hal itu menandakan demam typhoid, tetapi bila biakan
darah negatif tidak menutup kemungkinan akan terjadi demam typhoid. Hal ini
dikarenakan hasil biakan darah tergantung dari beberapa faktor :
a. Teknik pemeriksaan Laboratorium
Hasil pemeriksaan satu laboratorium berbeda dengan laboratorium yang lain,
hal ini disebabkan oleh perbedaan teknik dan media biakan yang digunakan.
Waktu pengambilan darah yang baik adalah pada saat demam tinggi yaitu pada
saat bakteremia berlangsung.
b. Saat pemeriksaan selama perjalanan Penyakit
Biakan darah terhadap salmonella thypi terutama positif pada minggu pertama
dan berkurang pada minggu-minggu berikutnya. Pada waktu kambuh biakan
darah dapat positif kembali.
c. Vaksinasi di masa lampau
Vaksinasi terhadap demam typhoid di masa lampau dapat menimbulkan
antibodi dalam darah klien, antibodi ini dapat menekan bakteremia sehingga
biakan darah negatif.
d. Pengobatan dengan obat anti mikroba
Bila klien sebelum pembiakan darah sudah mendapatkan obat anti mikroba
pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil biakan mungkin
negatif.
e. Uji Widal
Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin).
Aglutinin yang spesifik terhadap salmonella thypi terdapat dalam serum klien
dengan typhoid juga terdapat pada orang yang pernah divaksinasikan. Antigen
yang digunakan pada uji widal adalah suspensi salmonella yang sudah
dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan dari uji widal ini adalah untuk
menentukan adanya aglutinin dalam serum klien yang disangka menderita
tifoid.
Uji widal dilakukan untuk mendeteksi adanya antibody terhadap kuman
Salmonella typhi. Uji widal dikatakan bernilai bila terdapat kenaikan titer widal
4 kali lipat (pada pemeriksaan ulang 5-7 hari) atau titer widal O > 1/320, titer H
> 1/60 (dalam sekali pemeriksaan) Gall kultur dengan media carr empedu
merupakan diagnosa pasti demam tifoid bila hasilnya positif, namun demikian,
bila hasil kultur negatif belum menyingkirkan kemungkinan tifoid, karena
beberapa alasan, yaitu pengaruh pemberian antibiotika, sampel yang tidak
mencukupi. Sesuai dengan kemampuan SDM dan tingkat perjalanan penyakit
demam tifoid, maka diagnosis klinis demam tifoid diklasifikasikan atas:
1) Possible Case dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan gejala
demam,gangguan saluran cerna, gangguan pola buang air besar dan
hepato/splenomegali. Sindrom demam tifoid belum lengkap. Diagnosis ini
hanya dibuat pada pelayanan kesehatan dasar.
2) Probable Case telah didapatkan gejala klinis lengkap atau hampir lengkap,
serta didukung oleh gambaran laboraorium yang menyokong demam tifoid
(titer widal O > 1/160 atau H > 1/160 satu kali pemeriksaan).
3) Definite Case Diagnosis pasti, ditemukan S. Thypi pada pemeriksaan biakan
atau positif S.Thypi pada pemeriksaan PCR atau terdapat kenaikan titerWidal
4 kali lipat (pada pemeriksaan ulang 5-7 hari) atau titer widal O> 1/320, H >
1/640 (pada pemeriksaan sekali) (Widodo, D. 2007. Buku Ajar Keperawatan
Dalam. Jakarta: FKUI.

1.6 Komplikasi
1.6.1 Komplikasi intestinal :
a. Perdarahan usus
b. Perforasi usus
c. Ilius paralitik
1.6.2 Komplikasi ekstra intestinal
a. Komplikasi kardiovaskuler : kegagalan sirkulasi (renjatan sepsis), miokarditis,
trombosis, tromboplebitis.
b. Komplikasi darah : anemia hemolitik, trobositopenia, dan syndroma uremia
hemolitik.
c. Komplikasi paru : pneumonia, empiema, dan pleuritis.
d. Komplikasi pada hepar dan kandung empedu : hepatitis, kolesistitis.
e. Komplikasi ginjal : glomerulus nefritis, pyelonepritis dan perinepritis.
f. Komplikasi pada tulang : osteomyolitis, osteoporosis, spondilitis dan arthritis.
g. Komplikasi neuropsikiatrik : delirium, meningitis, polineuritis perifer.

1.7 Penatalaksanaan
a. Pencegahan
Cara pencegahan yang dilakukan pada demam typhoid adalah cuci tangan setelah
dari toilet dan khususnya sebelum makan atau mempersiapkan makanan, hindari
minum susu mentah (yang belum dipsteurisasi), hindari minum air mentah, rebus air
sampai mendidih dan hindari makanan pedas
b. Istirahat dan Perawatan
Bertujuan untuk mencegah komplikasi dan mempercepat penyembuhan. Tirah baring
dengan perawatan dilakukan sepenuhnya di tempat seperti makan, minum, mandi,
dan BAB/BAK. Posisi pasien diawasi untuk mencegah dukubitus dan pnemonia
orthostatik serta higiene perorangan tetap perlu diperhatikan dan dijaga.
c. Diet dan terapi Penunjang
1. Mempertahankan asupan kalori dan cairan yang adekuat.
2. Memberikan diet bebas yang rendah serat pada penderita tanpa gejala
meteorismus ( kembung perut), dan diet bubur saring pada penderita dengan
meteorismus. Hal ini dilakukan untuk menghindari komplikasi perdarahan
saluran cerna dan perforasi usus. Gizi penderita juga diperhatikan agar
meningkatkan keadaan umum dan mempercepat proses penyembuhan. Cairan
yang adequat untuk mencegah dehidrasi akibat muntah dan diare.
3. Primperan (metoclopramide) diberikan untuk mengurangi gejala mual muntah
dengan dosis 3 x 5 ml setiap sebelum makan dan dapat dihentikan kapan saja
penderita sudah tidak mengalami mual lagi.
4. Pemberian Antimikroba
Obat – obat antimikroba yang sering digunakan dalam melakukan tatalaksana
tifoid adalah:
1. Kloramfenikol. Dosis yang diberikan adalah 4 x 500 mg perhari, dapat
diberikan secara oral atau intravena, sampai 7 hari bebas panas.
2. Tiamfenikol. Dosis yang diberikan 4 x 500 mg per hari.
3. Kortimoksazol. Dosis 2 x 2 tablet (satu tablet mengandung 400 mg
sulfametoksazol dan 80 mg trimetoprim).
4. Ampisilin dan amoksilin. Dosis berkisar 50-150 mg/kg BB, selama 2 minggu.
5. Sefalosporin Generasi Ketiga. dosis 3-4 gram dalam dekstrosa 100 cc,
diberikan selama ½ jam per-infus sekali sehari, selama 3-5 hari.
6. Kombinasi obat antibiotik. Hanya diindikasikan pada keadaan tertentu
seperti: Tifoid toksik, peritonitis atau perforasi, syok septik, karena telah
terbukti sering ditemukan dua macam organisme dalam kultur darah selain
kuman Salmonella typhi. (Widiastuti S, 2001).
7. Vit B komplek dan Vit C sangat diperlukan untuk menjaga kesegaran dan
kekuatan badan serta berperan dalam kestabilan pembuluh kafiler.
1.8 Pathway
II. Rencana asuhan keperawatan klien dengan demam thypoid
2.1 Pengkajian
2.1.1 Riwayat keperawatan
Riwayat Kesehatan Sekarang
- Keluhan Utama : demam
- Riwayat Keluhan Utama : demam yang tidak terlalu tinggi dan
berlangsung selama 3 minggu
- Keluhan yang menyertai : anoreksia, nyeri perut, nyeri kepala,
jual, muntah, batuk, diare.
Riwayat Kesehatan Dahulu
1. Riwayat Kehamilan / Persalinan
Prenatal
 Kondisi ibu saat hamil
 Ada kelainan / tidak, pecahnya ketuban dini
 Nutrisi yang dikonsumsi / obat-obatan yang dipakai
 Berapa kali priksa kehamilan di RS / puskesmas
 Dapat diimunisasi / tidak
Natal
 Lahir premature / aterm atau posaterm
 Lahir spontan / dengan alat atau spontan
 Letak bokong atau sungsang atau normal
 Ditolong oleh siapa
 Ada cacat bawaan
Neonatal
 Kondisi bayi waktu lahir
 BB / PB apgar score
 Warna kulit waktu lahir
 Ada masalah / tidak setelah lahir / aspirasi
Post Natal
 Lamanya ibu dirawat di RS setelah persalinan
 Bagaimana produksi ASI setelah persalinan
 Apa bayi bisa menetek dengan baik
2. Riwayat Tumbuh Kembang
Bagaimana riwayat tumbuh kembang bayi
3. Riwayat Imunisasi
Pola Kebiasaan
1. Pola pernafasan : frekuensi nafas cepat dan dangkal
2. Makan dan minum : tidak ada nafsu makan
3. Eliminasi : BAK : tidak terganggu
4. BAB : > 5 x /hari, konsistensi encer, berbau
busuk
5. Pergerakan yang berhubungan dengan sikap : aktivitas terbatas
karena kelemahan
6. Istirahat dan tidur : mengalami gangguan karena sering defekasi
7. Memilih, mengenakan dan melepaskan pakaian : karena adanya
kelemahan tubuh maka pasien memerlukan bantuan dalam
mengenakan dan melepaskan pakaian
8. Suhu tubuh : terjadi peningkatan
9. Kebersihan dan kesegaran tubuh : perlu bantuan orang lain
dalam membersihkan tubuh
10. Mencegah dan menghindari bahaya : pasien rentang terhadap
bahaya karena kelemahan fisik
11. Beribadah sesuai keyakinan : umumnya pasien lebih
mendekatkan diri kepada Tuhan
12. Komunikasi dengan orang lain : komunikasi terbatas karena
adanya kelemahan, adanya keterbatasan dalam mengerjakan dan
melaksanakan sesuai dengan kemampuan pasien
13. Berpartisipasi dalam bentuk rekreasi : pasien kurang berminat
dalam melakukan rekreasi
14. Belajar memuaskan keingintahuan yang mengarah pada
perkembangan kesehatan : pasien banyak bertanya-tanya tentang
penyakitnya
2.1.2 Pemeriksaan fisik : data focus
 KU : lemah
 Kesadaran : kompos mentis
 TTV : - Tekanan darah : meningkat
 Nadi : cepat
 Respirasi : cepat dan dangkal
 Suhu : meningkat
 Kepala : nyeri tekan, simetris
 Mata : simetris
 Hidung : simetris
 Mulut : bibir kering dan lidah beslag
 Ekstremitas : pergerakan terbatas
 Thoraks : normal
 Kulit : pucat
 Abdomen : nyeri tekan, kembung
 Berat badan : terjadi penurunan berat badan
 Anus : kemerahan karena seringnya defekasi
 Neurology : ada gerak reflek
2.1.3 Pemeriksaan penunjang :
 uji serologis
 darah
 isolasi kreman

2.2 Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul


Diagnosa 1 : hipertermia (00007)
2.2.1 Definisi
Suhu tubuh diatas kisaran normal diurnal karena kegagalan
termoregulasi
2.2.2 Batasan karakteristik
1. Apnea
2. Bayi tidak dapat mempertahankan menyusu
3. Gelisah
4. Hipotensi
5. Kejang
6. Koma
7. Kulit kemerahan kulit terasa hangat
8. Letargi
9. Postur abnormal
10. Stupor takikardi
11. Takipnea
12. Vasodilatasi
2.2.3 Faktor yang berhubungan
1. Agen farmaseutikal
2. Aktivitas berlebihan
3. Dehidrasi
4. Iskemia
5. Pakaian yang tidak sesuai
6. Peningkatan laju metabolisme
7. Penurunan perspirasi
8. Penyakit
9. Sepsis
10. Suhu lingkungan tinggi
11. Trauma

Diagnosa 2 : ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh


(00002)
2.2.4 Definisi
Asupan nutrisi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolik
2.2.5 Batasan karakteristik
1. Berat badan 20% atau lebih di bawah rentang BB ideal.
2. Bising usus hiperaktif
3. Cepat kenyang setelah makan
4. Diare
5. Gangguan sensasi rasa
6. Kehilangan rambut berlebihan
7. Kelemahan otot pengunyah
8. Kelemahan otot untuk menelan
9. Kerapuhan kapiler
10. Kesalahan informasi
11. Kesalahan persepsi
12. Ketidakmampuan memakan makanan
13. Kram abdomen
14. Kurang informasi
15. Kurang minat pada makanan
16. Membrane mukosa pucat
17. Nyeri abdomen
18. Penurunan BB dengan asupan makanan adekuat
19. Sariawan rongga mulut
20. Tonus otot menurun
2.2.6 Faktor yang berhubungan
1. Faktor biologis
2. Faktor ekonomi
3. Gangguan psikososial
4. Ketidakmampuan makan
5. Ketidakmampuan mencerna makanan
6. Ketidakmampuan mengabsorbsi nutrient
7. Kurang asupan makanan

Diagnosa 3: Nyeri Akut


2.2.7 Definisi
Pengalaman sensori dan emosional tidak menyenangkan yang muncul
akibat kerusakkan jaringan aktual atau potensial atau yang
diganbarkan sebagai kerusakkan.
2.2.8 Batasan Karakteristik
Diaforesis
Dilatasi pupil
Ekspresi wajah
Fokus menyempit
Fokus pada diri sendiri
Keluhan tentang intensitas
Perubahan posisi
Putus asa
Sikap melindungi area nyeri
Sikap tubuh melindungi
2.2.9 Faktor yang berhubungan
Agens cidera biologis
Agens cidera fisik
Agens cidea kimiawai

2.3 Perencanaan
Diagnosa 1 : hipertermia (00007)
2.3.1 Tujuan dan kriteria hasil
1. Pasien akan menunjukkan termoregulasi, yang dibuktikan oleh
indicator gangguan sebagai berikut (1 – 5 : gangguan ekstrem,
berat, sedang, ringan, atau tidak ada gangguan) :
- Peningkatan suhu kulit
- Hipertermia
- Dehidrasi
- Mengantuk
2. Pasien akan menunjukkan termoregulasi, yang dibuktikan oleh
indicator sebagai berikut (1 – 5 : gangguan ekstrem, berat, sedang,
ringan, atau tidak ada gangguan):
- Berkeringat saat panas
- Denyut nadi radialis
- Frekuensi pernapasan
2.3.2 Intervensi keperawatan dan rasional
a. Terapi demam
Rasional : penatalaksaan pasien yang mengalamihiperpireksia
akibat faktor selain lingkungan
b. Regulasi suhu
Rasional : mencapai atau mempertahankan suhu tubuh dalam
rentang normal
c. Pemantauan TTV
Rasional : mengumpulkan dan menganalisis data kardiovaskular,
pernapasan, dan suhu tubuh untuk menentukan serta mencegah
komplikasi

Diagnosa 2 : ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh


(00002)
2.3.3 Tujuan dan kriteria hasil
Memperlihatkan status gizi: asupan makanan dan cairan, yang
dibuktikan oleh indicator sebagai berikut (1 – 5: tidak adekuat, sedikit
adekuat, cukup adekuat, adekuat, sangat adekuat)
- Makanan oral, pemberian makanan lewat slang, atau nutrisi
parenteral
- Asupan cairan oral atau IV
2.3.4 Intervensi keperawatan dan rasional
a. Manajemen gangguan makan
Rasional : mencegah dan menangani pembatasan diet yang sangat
ketat dan aktivitas berlebihan atau memasukkan makanan dan
minuman dalam jumlah banyak kemudian berusaha megeluarkan
semuanya
b. Manajemen elektrolit
Rasional : meningkatkan keseimbangan elektrolit dan pencegahan
komplikasi akibat dari kadar elektrolit serum yang tidak normal
atau diluar harapan
c. Pemantauan elektrolit
Rasional : mengumpulkan dan menganalisis data pasien untuk
mengatur keseimbangan elektrolit
d. Pemantauan cairan
Rasional : pengumpulan dan analisis data pasien untuk mengatur
keseimbangan cairan
e. Manajemen cairan/elektrolit
Rasional : mengatur dan mencegah komplikasi akibat perubahan
kadar cairan dan elektrolit
f. Manajemen nutrisi
Rasional : membantu atau menyediakan asupan makanan dan cairan
diet seimbang
g. Terapi nutrisi
Rasional : Pemerian makanan dan cairan untuk mendukung proses
metabolic pasien yang malnutrisi atau beresiko tinggi malnutrisi
h. Pemantauan nutrisi
Rasional : mengumpulkan dan menganalisis data pasien untuk
mencegah dan meminimalkan kurang gizi

Diagnosa 3: Nyeri akut


2.3.5 Tujuan dan kriteria hasil
Tujuan: Setelah dilakukan keperawatan diharapkan klien nyeri yang
dirasakan klien berkurang
Kriteria Hasil: Nyeri klien berkurang, klien tidak tampak mengeluh,
tekspresi wajah klien tidak menunjukkan neri, klien tidak gelisah.
2.3.6 Intervensi keperawatan dan rasional
Kaji secara konprehensif terhadap, nyeri termasuk lokasi
R: mengetahu tingkat nyeri pasien
Obsevasi reaksi ketidaknyamanan
R: Untuk mengetahui ketidaknyamanan dirasakan pasien
Berikan informasi tentang penyebab nyeri
R: untuk mengetahui apakah terjadi penggurangan rasa nyeri.
Ajarkan cara teknik distraksi dan relaksai
R: Agar klien mampu mengurangkan nyeri menggunakan teknik
relaksasi distraksi.
Kolaborasi pemberian analgesic
R: Untuk mengurangi rasa nyeri pasien.
III. Daftar Pustaka
Mansjoer, Arif, dkk. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3, jilid I. Media
Aesculapius : Jakarta. 1999.

Suriadi dan Yuliani, Rita. Asuhan Keperawatan pada anak. Cv Sagung Seto.
Jakarta : 2001.

Aru W. Sudoyo.(2009) Buku ajar ilmu penyakit dalam. Ed V.Jilid III. Jakarta:
Interna Publishing.

Departemen Kesehatan RI. (2009). Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2008.


Depkes RI, Jakarta.

Nugroho, Susilo, (2011). Pengobatan Demam Tifoid. Yogyakarta: Nuha Medika

Mansjoer, Arif. (2009). Kapita Selekta Kedokteran, Jakarta : Media Aesculapius.

Simanjuntak, C. H, (2009). Demam Tifoid, Epidemiologi dan Perkembangan


Penelitian. Cermin Dunia Kedokteran No. 83.)

Sjamsuhidayat. (1998). Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi revisi. EGC. Jakarta.

Smeltzer & Bare. (2002). Keperawatan Medikal Bedah II. Jakarta: EGC

Soedarmo, Sumarmo S Poorwo, dkk. (2012). Buku Ajar Infeksi & Pediatri
Tropis. Jakarta: IDAI)

T. Heather Hermand, Shigemi Kamitsuru. Diagnosis Keperawatan, Definisi dan


Klasifikasi 2015 – 2017. Edisi 10. Jakarta: EGC, 2015.

Widodo, D. (2007). Buku Ajar Keperawatan Dalam. Jakarta: FKUI

Banjarmasin, Mei 2018


Preseptor Akademik, Preseptor Klinik,

(……….……….….………....) (…..…………..….…………….)

Anda mungkin juga menyukai