BAB I
PENDAHULUAN
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas struktural tulang.Fraktur dapat bersifat total
ataupun parsial yang umumnya disebabkan oleh tekanan yang berlebihan, sering diikuti oleh
kerusakan jaringan lunak dengan berbagai macam derajat, mengenai pembuluh darah, otot
dan persarafan. Fraktur dapat berupa retakan, patah, atau serpihan dari korteks; sering
patahan terjadi sempurna dan bagian tulang bergeser.
Trauma yang menyebabkan tulang patah dapat berupa trauma langsung dan trauma
tidak langsung. Trauma langsung menyebabkan tekanan langsung pada tulang dan terjadi
fraktur pada daerah tekanan. Trauma tidak langsung, apabila trauma dihantarkan ke daerah
yang lebih jauh dari daerah fraktur.
FRAKTUR CRURIS
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2. 1 Anatomi
Fraktur cruris merupakan akibat terbanyak dari kecelakaan lalu lintas. Hal ini
diakibatkan susunan anatomi cruris dimana permukaan medial tibia hanya ditutupi
jaringan subkutan, sehingga menyebabkan mudahnya terjadi fraktur cruris terbuka yang
menimbulkan masalah dalam pengobatan.
Secara anatomi terdapat 4 grup otot yang penting di cruris:
1.otot ekstensor
2.otot abductor
3.otot triceps surae
4.otot fleksor
Keempat grup oto tersebut membentuk 3 kompartemen
Grup I
Grup II
Grup III+IV
kompartemen
:membentuk
dari
Arteri:
1.arteri tibialis anterior
2.arteri tibialis posterior
3.arteri peroneus
Saraf:
1.n.tibialis anterior dan n.peroneus mempersarafi otot ekstensor dan abductor
triceps
2.n.tibialis posterior dan n.poplitea untuk mempersarafi otot fleksor dan otot
surae.
FRAKTUR CRURIS
2. 2 Definisi Fraktur
Fraktur adalah hilangnya kontinuitas tulang, tulang rawan sendi, tulang rawan epifisis,
baik yang bersifat total maupun parsial.
Trauma langsung menyebabkan tekanan langsung pada tulang dan terjadi fraktur
pada daerah tekanan. Fraktur yang terjadi biasanya bersifat komunitif dan jaringan
lunak ikut mengalami kerusakan.
Trauma tidak langsung apabila trauma dihantarkan ke daerah yang lebih jauh dari
daerah fraktur, misalnya jatuh dengan tangan ekstensi dapat menyebabkan fraktur
pada klavikula. Pada keadaan ini biasanya jaringan lunak tetap utuh.
FRAKTUR CRURIS
tulang keluar menembus kulit sehingga akan menjadikan luka terbuka dan akan
menyebabkan peradangan dan memungkinkan untuk terjadinya infeksi. Keluarnya darah
dari luka terbuka dapat mempercepat pertumbuhan bakteri. Tertariknya segmen tulang
disebabkan karena adanya kejang otot pada daerah fraktur menyebabkan disposisi pada
tulang, sebab tulang berada pada posisi yang kaku.
Ekstrinsik meliputi kecepatan dan durasi trauma yang mengenai tulang, arah dan
kekuatan trauma.
Dengan tenaga langsung tulang patah pada titik kejadian; jaringan lunak juga
rusak. Pukulan langsung biasanya mematahkan tulang secara transversal atau
membengkokkan tulang melebihi titik tupunya sehingga terjadi patahan dengan
Kepanitraan Klinik Ilmu Bedah
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
RS Bhayangkara-Semarang[Type text]Page 4
FRAKTUR CRURIS
fragmen butterfly. Kerusakan pada kulit diluarnya sering terjadi; jika crush
injury terjadi, pola faktur dapat kominutif dengan kerusakan jaringan lunak
ekstensif.
Dengan tenaga tidak langsung, tulang patah jauh dari dimana tenaga
dierikan; kerusakan jaringan lunak pada tempat fraktur jarang terjadi. Walaupun
sebagian besar fraktur disebabkan oleh kombinasi tenaga (perputaran,
pembengkokkan, kompresi, atau tekanan), pola x-ray menunjukkan mekanisme
yang dominan:
FRAKTUR CRURIS
Cedera bertenaga rendah mengakibatkan cedera jaringan lunak yang
terbatas dan pola fraktur sederhana. Tenaga yang besar mengakibatkan absorpsi
energi yang lebih besar sehingga menyebabkan trauma jaringan lunak yang lebih
berat dan kominutif yang berat. Kombinasi kedua mekanisme ini dapat terjadi.4
Prognosisnya ditentukan oleh derajat keparahan cedera jaringan lunak,
jenis fraktur, yang keduanya bergantung pada jumlah tenaga yang ditangkap
ekstrimitas saat cedera.1
2. 6 Klasifikasi
Klasifikasi fraktur dapat sangat bervariasi, beberapa dibagi menjadi beberapa kelompok,
yaitu:
a.
Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera jaringan lunak
sekitarnya.
b. Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan
subkutan.
c. Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian
dalam dan pembengkakan.
d. Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata dan
ancaman sindroma kompartement.
Fraktur Terbuka (Open/Compound),
bila terdapat hubungan antara
hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan
kulit. Fraktur terbuka terbagi atas 3 derajat (menurut R.Gustilo), yaitu:
Derajat I:
Luka < 1cm.
Kerusakan jaringan sedikit, tidak ada tanda luka remuk.
Fraktur sederhana, transversal, oblik, atau komunitif ringan.
Kontaminasi minimal.
Derajat II:
Laserasi >1cm.
Kontaminasi sedang.
Kepanitraan Klinik Ilmu Bedah
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
RS Bhayangkara-Semarang[Type text]Page 6
FRAKTUR CRURIS
Derajat III:
Jaringan lunak yang menutupi fraktur tulang adekuat, meskipun
terdapat laserasi luas/falp/avulsi atau fraktur segmental yang
disebabkan oleh trauma berenergi tinggi tanpa melihat besarnya
ukuran luka.
Kehilangan jaringan lunak dengan fraktur yang terpapar atau
kontaminasi masif.
Luka pada pembuluh darah arteri/saraf perifer yang harus diperbaiki
tanpa melihat kerusakan jaringan lunak.
Fraktur tertutup
b.
Fraktur terbuka
FRAKTUR CRURIS
2).
c.
Fraktur Inkomplit, bila garis patah tidak melalui seluruh penampang tulang
seperti:
a. Hair Line Fraktur.
b. Buckle atau Torus Fraktur, bila terjadi lipatan dari satu korteks dengan
kompresi tulang spongiosa di bawahnya.
c. Green Stick Fraktur, mengenai satu korteks dengan angulasi korteks lainnya
yang terjadi pada tulang panjang.
FRAKTUR CRURIS
d.
e.
f.
g.
FRAKTUR CRURIS
2.7 Gambaran Klinis Fraktur3
Anamnesis
Biasanya pasien datang dengan suatu trauma, baik yang hebat maupun trauma ringan
dan diikuti dengan ketidakmampuan untuk menggunakan anggota gerak. Pasien
biasanya datang karena adanya nyeri yang terlokalisir dimana nyeri tersebut
bertambah bila digerakkan, pembengkakan, gangguan fungsi anggota gerak,
deformitas, kelainan gerak, krepitasi atau dengan gejala-gejala lain.
Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan awal pasien, perlu diperhatikan adanya :
1. Syok, anemia atau pendarahan
2. Kerusakan pada organ-organ lain, misalnya otak, sumsum tulang belakang atau
organ-organ dalam rongga toraks, panggul, dan abdomen
3. Faktor predisposisi misalnya pada fraktur patologis
Pemeriksaan lokal
1. Inspeksi (Look)
- Ekspresi wajah karena nyeri
- Bandingkan dengan bagian yang sehat
- Perhatikan posisi anggota gerak
- Perhatikan adanya deformitas berupa angulasi, rotasi, dan kependekan
- Perhatikan adanya pembengkakan
- Perhatikan adanya gerakan yang abnormal
- Apakah terdapat luka pada kulit dan jaringan lunak untuk membedakan fraktur
tertutup atau terbuka
- Ekstravasasi darah subkutan (ekimosis) dalam beberapa jam sampai beberapa hari
- Perhatikan keadaan vaskular
2. Palpasi (Feel)
Palpasi dilakukan secara hati-hati dikarenakan pasien biasanya mengeluh sangat
nyeri. Hal-hal yang perlu diperhatikan :
- Temperatur setempat yang meningkat
- Nyeri tekan nyeri tekan yang bersifat superfisial biasanya disebabkan oleh
kerusakan jaringan lunak yang dalam akibat fraktur pada tulang
- Krepitasi dapat diketahui dengan perabaan dan harus dilakukan secara hatihati
- Pemeriksaan vaskular pada daerah distal trauma berupa palpasi arteri radialis,
arteri dorsalis pedis, arteri tibialis posterior sesuai dengan anggota gerak yang
terkena. Dinilai juga refilling (pengisian) arteri pada kuku, warna kulit pada
bagian distal daerah trauma, dan temperatur kulit.
- Pengukuran tungkai terutama pada tungkai bawah untuk mengetahui adanya
perbedaan panjang tungkai
3. Pergerakan (Move)
Dilakukan dengan cara mengajak pasien untuk menggerakan secara aktif dan pasif
sendi proksimal dan distal dari daerah yang mengalami trauma. Pada pasien
dengan fraktur, setiap gerakan akan menyebabkan nyeri hebat sehingga uji
pergerakan tidak boleh dilakukan secara kasar, disamping itu juga dapat
menyebabkan kerusakan pada jaringan lunak seperti pembuluh darah dan saraf.
FRAKTUR CRURIS
4. Pemeriksaan neurologis
Pemeriksaan neurologis berupa pemeriksaan saraf secara sensoris dan motoris
serta gradasi kelainan neurologis yaitu neuropraksia, aksonotmesis, atau
neurotmesis.
5. Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan radiologis diperlukan untuk menentukan keadaan, lokasi, serta
ekstensi fraktur. Untuk menghindari nyeri serta kerusakan jaringan lunak
sebelumnya, maka sebaiknya mempergunakan bidai yang bersifat radiolusen
untuk imobilisasi sementara sebelum dilakukan pemeriksaan radiologis.
Tujuan pemeriksaan radiologis :
- Untuk mempelajari gambaran normal tulang dan sendi
- Untuk konfirmasi adanya fraktur
- Untuk melihat sejauh mana pergerakan dan konfigurasi fragmen serta
pergerakannya
- Untuk menentukan teknik pengobatan
- Untuk menentukan apakah fraktur itu baru atau tidak
- Untuk menentukan apakah fraktur intra-artikuler atau ekstra-artikuler
- Untuk melihat adanya keadaan patologis lain pada tulang
- Untuk melihat adanya benda asing, misalnya peluru
Pemeriksaan radiologis yang dapat dilakukan yakni foto polos, CT-Scan, MRI,
tomografi, dan radioisotop scanning. Umumnya dengan foto polos kita dapat
mendiagnosis fraktur.
Penatalaksanaan awal
Sebelum dilakukan pengobatan definitif pada satu fraktur, maka diperlukan :
1. Pertolongan pertama
Pada pasien dengan fraktur yang penting dilakukan adalah membersihkan jalan
nafas, menutup luka dengan verban yang bersih, dan imobilisasi fraktur pada
anggota gerak yang terkena agar pasien merasa nyaman dan mengurangi nyeri
sebelum diangkut dengan ambulans. Bila terdapat pendarahan dapat dilakukan
pertolongan dengan penekanan setempat.
2. Penilaian klinis
Sebelum menilai fraktur itu sendiri, perlu dilakukan penilaian klinis, apakah luka
itu luka tembus tulang, adakah trauma pembuluh darah/ saraf ataukah ada trauma
alat-alat dalam yang lain.
3. Resusitasi
Kebanyakan pasien dengan fraktur multipel tiba di rumah sakit dengan syok,
sehingga diperlukan resusitasi sebelum diberikan terapi pada frakturnya sendiri
berupa pemberian transfusi darah dan cairan lainnya serta obat-obat anti nyeri.
FRAKTUR CRURIS
FRAKTUR CRURIS
Jaringan muskuloskeletal bereaksi terhadap suatu fraktur sesuai dengan hukum
alami yang ada.
5. Bersifat realistik dan praktis dalam memilih jenis pengobatan
Dalam memilih pengobatan harus dipertimbangkan pengobatan yang realistik dan
praktis.
6. Seleksi pengobatan sesuai dengan pasien secara individual
Setiap fraktur memerlukan penilaian pengobatan yang sesuai, yaitu dengan
mempertimbangkan faktor umur, jenis fraktur, komplikasi yang terjadi, dan perlu
pula dipertimbangkan keadaan ekonomi pasien secara individual.
Sebelum mengambil keputusan untuk melakukan pengobatan definitif, prinsip
pengobatan ada empat (4R), yaitu :
FRAKTUR CRURIS
a. REPOSISI dengan tujuan mengembalikan fragmen keposisi anatomi. Teknik
reposisi terdiri dari reposisi tertutup dan terbuka. Reposisi tertutup dapat dilakukan
dengan fiksasi eksterna atau traksi kulit dan skeletal. Cara lain yaitu dengan reposisi
terbuka yang dilakukan pada pasien yang telah mengalami gagal reposisi tertutup,
fragmen bergeser, mobilisasi dini, fraktur multipel, dan fraktur patologis.
b. IMOBILISASI / FIKSASI dengan tujuan mempertahankan posisi fragmen post
reposisi sampai Union. Indikasi dilakukannya fiksasi yaitu pada pemendekan
(shortening), fraktur unstable serta kerusakan hebat pada kulit dan jaringan sekitar.
Jenis Fiksasi :
a. Eksternal / OREF (Open Reduction External Fixation)
Traksi
Jenis traksi :
Skin traksi
Tujuan menarik otot dari jaringan sekitar fraktur sehingga fragmen akan kembali
ke posisi semula. Beban maksimal 4-5 kg karena bila kelebihan kulit akan lepas
Indikasi OREF :
Fraktur Kominutif
FRAKTUR CRURIS
Fraktur Pelvis
Non Union
Trauma multipel
FRAKTUR CRURIS
Pada fase ini terjadi reaksi jaringan lunak sekitar fraktur sebagai suatu reaksi
penyembuhan. Penyembuhan fraktur terjadi karena adanya sel-sel osteogenik yang
berproliferasi dari periosteum untuk membentuk kalus eksterna serta pada daerah
endosteum membentuk kalus interna sebagai aktifitas seluler dalam kanalis medularis.
Apabila terjadi robekan yang hebat pada periosteum, maka penyembuhan sel berasal
dari diferensiasi sel-sel mesenkimal yang tidak berdiferensiasi ke dalam jaringan
lunak.
Pada tahap awal dari penyembuhan fraktur ini terjadi pertambahan jumlah
dari sel-sel osteogenik yang memberi pertumbuhan yang cepat pada jaringan
osteogenik yang sifatnya lebih cepat dari tumor ganas. Pembentukan jaringan seluler
tidak terbentuk dari organisasi pembekuan hematoma suatu daerah fraktur. Setelah
beberapa minggu, kalus dari fraktur akan membentuk suatu massa yang meliputi
jaringan osteogenik. Pada pemeriksaan radiologis kalus belum mengandung tulang
sehingga merupakan suatu daerah radiolusen.
FRAKTUR CRURIS
FRAKTUR CRURIS
Union secara radiologis dinilai dengan pemeriksaan rontgen pada daerah
fraktur dan dilihat adanya garis fraktur atau kalus dan mungkin dapat ditemukan
adanya trabekulasi yang sudah menyambung pada kedua fragmen. Pada tingkat lanjut
dapat dilihat adanya medulla atau ruangan dalam daerah fraktur.
Penelitian tentang perubahan densitas kalus pernah dilakukan oleh Siregar (1998,
Bandung) dengan membandingkan pertumbuhan kalus pada penderita paska operasi internal
fiksasi dengan menggunakan plate dan screw dengan K-nail pada pasien fraktur femur dan
peneliti ini melakukan kriteria penilaian gambaran radiologi serta membaginya menjadi:
FRAKTUR CRURIS
Grade 0 : Kalus belum / tidak terbentuk / non union
Grade 1+: Bintik-bintik radioopak pada daerah fraktur
Grade 2+ : Bintik-bintik atau garis radioopak dengan lusensi sama dengan lusensi
medulla.
Grade 3+: Bintik-bintik atau garis radioopak dengan lusensi antara medulla dengan
korteks.
Grade 4+: Densitas kalus sama dengan atau lebih radioopak dari pada korteks.
Pada penelitian berikut ini diamati proses pertumbuhan kalus pada penderita fraktur
tulang panjang Humerus, Radius, Ulna, Femur, Tibia, dan Fibula. Sampai saat ini belum
ditemukan data awal tentang pertumbuhan kalus pada masing masing tulang panjang
tersebut.6
FRAKTUR CRURIS
2. Osteomielitis dapat diakibatkan oleh fraktur terbuka atau tindakan
operasi pada fraktur tertutup. Keadaan ini dapat menimbulkan delayed
union atau bahkan non union
Komplikasi sendi dan tulang dapat berupa artritis supuratif yang sering
terjadi pada fraktur terbuka atau pasca operasi yang melibatkan sendi
sehingga terjadi kerusakan kartilago sendi dan berakhir dengan
degenerasi.
Pada Jaringan lunak
1. Lepuh , Kulit yang melepuh adalah akibat dari elevasi kulit
superfisial karena edema. Terapinya adalah dengan menutup kasa steril
kering dan melakukan pemasangan elastik.
2. Dekubitus. terjadi akibat penekanan jaringan lunak tulang oleh gips.
Oleh karena itu perlu diberikan bantalan yang tebal pada daerah-daerah
yang menonjol.
Pada Otot
Terputusnya serabut otot yang mengakibatkan gerakan aktif otot tersebut
terganggu. Hal ini terjadi karena serabut otot yang robek melekat pada
serabut yang utuh, kapsul sendi dan tulang. Kehancuran otot akibat trauma
dan terjepit dalam waktu cukup lama akan menimbulkan sindroma crush
atau thrombus.
Pada pembuluh darah
Pada robekan arteri inkomplit akan terjadi perdarahan terus menerus.
Sedangkan pada robekan yang komplit ujung pembuluh darah mengalami
retraksi dan perdarahan berhenti spontan.
Pada jaringan distal dari lesi akan mengalami iskemi bahkan
nekrosis. Trauma atau manipulasi sewaktu melakukan reposisi dapat
menimbulkan tarikan mendadak pada pembuluh darah sehingga dapat
menimbulkan spasme. Lapisan intima pembuluh darah tersebut terlepas dan
terjadi trombus. Pada kompresi arteri yang lama seperti pemasangan
torniquet dapat terjadi sindrome crush. Pembuluh vena yang putus perlu
dilakukan repair untuk mencegah kongesti bagian distal lesi.
Sindroma kompartemen terjadi akibat tekanan intra kompartemen
otot pada tungkai atas maupun tungkai bawah sehingga terjadi penekanan
neurovaskuler sekitarnya. Fenomena ini disebut Iskhemi Volkmann. Ini
dapat terjadi pada pemasangan gips yang terlalu ketat sehingga dapat
menggangu aliran darah dan terjadi edema dalam otot.
Kepanitraan Klinik Ilmu Bedah
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
RS Bhayangkara-Semarang[Type text]Page 20
FRAKTUR CRURIS
Apabila iskemi dalam 6 jam pertama tidak mendapat tindakan dapat
menimbulkan kematian/nekrosis otot yang nantinya akan diganti dengan
jaringan fibrus yang secara periahan-lahan menjadi pendek dan disebut
dengan kontraktur volkmann. Gejala klinisnya adalah 5 P yaitu Pain (nyeri),
Parestesia, Pallor (pucat), Pulseness (denyut nadi hilang) dan Paralisis
Pada saraf
Berupa kompresi, neuropraksi, neurometsis (saraf putus), aksonometsis
(kerusakan akson). Setiap trauma terbuka dilakukan eksplorasi dan
identifikasi nervus.1
Komplikasi lanjut1,2
Pada tulang dapat berupa malunion, delayed union atau non union. Pada pemeriksaan terlihat
deformitas berupa angulasi, rotasi, perpendekan atau perpanjangan.
Delayed union
Proses penyembuhan lambat dari waktu yang dibutuhkan secara normal. Pada
pemeriksaan radiografi, tidak akan terlihat bayangan sklerosis pada ujung-ujung
fraktur.
Terapi konservatif selama 6 bulan bila gagal dilakukan Osteotomi. Bila
lebih 20 minggu dilakukan cancellus grafting (12-16 minggu)
Non union
Dimana secara klinis dan radiologis tidak terjadi penyambungan.
Tipe I (hypertrophic non union) tidak akan terjadi proses penyembuhan fraktur
dan diantara fragmen fraktur tumbuh jaringan fibrus yang masih mempunyai
potensi untuk union dengan melakukan koreksi fiksasi dan bone grafting.
Tipe II (atrophic non union) disebut juga sendi palsu (pseudoartrosis) terdapat
jaringan sinovial sebagai kapsul sendi beserta rongga sinovial yang berisi cairan,
proses union tidak akan dicapai walaupun dilakukan imobilisasi lama.
FRAKTUR CRURIS
Penyambungan fraktur tidak normal sehingga menimbukan deformitas.
Tindakan refraktur atau osteotomi koreksi.
Osteomielitis
Osteomielitis kronis dapat terjadi pada fraktur terbuka atau tindakan operasi pada
fraktur tertutup sehingga dapat menimbulkan delayed union sampai non union
(infected non union). Imobilisasi anggota gerak yang mengalami osteomielitis
mengakibatkan terjadinya atropi tulang berupa osteoporosis dan atropi otot.
Kekakuan sendi
Kekakuan sendi baik sementara atau menetap dapat diakibatkan imobilisasi lama,
sehingga terjadi perlengketan peri artikuler, perlengketan intraartikuler,
perlengketan antara otot dan tendon. Pencegahannya berupa memperpendek waktu
imobilisasi dan melakukan latihan aktif dan pasif pada sendi. Pembebasan
periengketan secara pembedahan hanya dilakukan pada penderita dengan kekakuan
sendi menetap.
Mekanisme trauma
Fraktur kondilus lateralis terjadi karena adanya abduksi tibia terhadap femur dimana
kaki terfiksasi pada dasar, misalnya trauma sewaktu mengendarai mobil
-
FRAKTUR CRURIS
3. Fraktur oblik
-
Fraktur tidak bergeser apabila depresi kurang dari 4mm, sedangkan yang bergeser
apabila depresi melebihi 4mm
Gambaran Klinis
Pada anamnesis terdapat riwayat trauma pada lutut, pembengkakan dan nyeri
serta hemartosi. Terdapat gangguan dalam pergerakan sendi lutut.
Pemeriksaan radiologis
Dengan foto rontgen posisi AP dan lateral dapat diketahui jenis fraktur, tetapi
kadang-kadang diperlukan pula foto oblik dan pemeriksaan laminagram.
Pengobatan
1. Konservatif
Pada fraktur yang tidak bergeser dimana depresi kurang dari 4mm dapat
dilakukan beberapa pilihan pengobatan, antara lain:
Verban elastis
Traksi
Gips sirkuler
Prinsip pengobatan adalah mencegah bertambahnya depresi, tidak menahan
beban dan segera mobilisasi pada sendi lutus agar tidak terjadi kekauan sendi
2. Operatif
FRAKTUR CRURIS
Depresi yang lebih dari 4 mm dilakukan operasi mengangkat bagian depresi
dan ditopang dengan bone graft. Pada fraktur split dapat dilakukan
pemasangan screw atau kombinasi screw dan plate untuk menahan bagian
fragmen terhadap tibia.
-
Komplikasi
1. Genu valgium ; terjadi oleh karena depresi yang tidak direduksi dengan baik
2. Kekakuan lutut ; terjadi karena tidak dilakukan latihan lebih awal
3. Osteoartritis ; terjadi karena adanya kerusakan pada permukaan sendi
sehingga bersifat ireguler yang menyebabkan inkonkruensi sendi lutut
Mekanisme trauma
Fraktur diafisis tibia dan fibula terjadi karena adanya trauma angulasi yang akan
menimbulkan fraktur tipe transversal atau oblik pendek, sedangkan trauma rotasi
akan menimbulkan fraktur tipe spiral. Fraktur tibia biasanya terjadi pada batas
antara 1/3 bagian tengah dan 1/3 bagian distal sedangkan fraktur fibula pada batas
1/3 bagian tengah dengan 1/3 bagian proksimal, sehingga fraktur tidak terjadi
pada ketinggian yang sama. Tungkai bawah bagian depan sangat sedikit ditutupi
otot sehingga fraktur pada daerah tibia sering bersifat terbuka. Penyebab utama
terjadinya fraktur adalah akibat kecelakaan lalu lintas.
Gambaran klinis
Ditemukan gejala fraktur berupa pembengkakan, nyeri dan sering ditemukan
penonjolan tulang keluar kulut
Pemeriksaan radiologis
Dengan pemeriksaan radiologis dapat ditentukan lokasi fraktur, jenis fraktur,
apakah fraktur pada tibia dan fibula atau hanya pada tibia saja atau fibula saja.
Juga dapat ditentukan apakah fraktur bersifat segmental.
Pengobatan
FRAKTUR CRURIS
1. Konservatif
Pengobatan standar dengan cara konservatif berupa reduksi fraktur dengan
manipulasi tertutup dengan pembiusan umum. Pemasangan gips sirkuler untuk
imobilisasi, dipasang sampai di atas lutut.
Prinsip reposisi:
o
o
o
o
Fraktur tertutup
Ada kontak 70% atau lebih
Tidak ada angulasi
Tidak ada rotasi
Apabila ada angulasi, dapat dilakukan koreksi setelah 3 minggu (union secara
fibrosa). Pada fraktur oblik atau spiral imobilisasi dengan gips biasanya sulit
dipertahankan, sehingga mungkin diperlukan tindakan operasi.
Cast bracing adalah teknik pemasangan gips sirkuler dengan tumpuan pada tendo
patella (gips Sarmiento) yang biasanya dipergunakan setelah pembengkakan
mereda atau telah terjadi union secara fibrosa.
2. Operatif
Terapi operatif dilakukan pada:
o
o
o
o
Fraktur terbuka
Kegagalan dalam terapi konservatif
Fraktur tidak stabil
Adanya malunion
FRAKTUR CRURIS
3. Malunion
4. Kerusakan pembuluh darah (sindroma kompartemen anterior)
5. Trauma saraf terutama pada nervous peroneal komunis
6. Gangguan pergerakan sendi pergelangan kaki. Gangguan ini biasanya
disebabkan karena adanya adhesi pada otot-otot tungkai bawah.
BAB V
KESIMPULAN
Fraktur adalah hilangnya kontinuitas tulang, tulang rawan sendi, tulang rawan epifisis,
baik yang bersifat total maupun parsial.
Tulang cukup mudah patah, namun mempunyai kekuatan dan ketahanan untuk
menghadapi stress dengan kekuatan tertentu. Fraktur berasal dari: (1) cedera; (2) stress
berulang; (3) fraktur patologis.
Diagnosis fraktur berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang. Pasien biasanya datang karena adanya nyeri yang terlokalisir dimana nyeri
tersebut bertambah bila digerakkan, pembengkakan, gangguan fungsi anggota gerak,
deformitas, kelainan gerak, krepitasi atau dengan gejala-gejala lain. Pada pemeriksaan fisik,
perlu diperhatikan adanya syok, anemia atau pendarahan, kerusakan pada organ-organ lain,
misalnya otak, sumsum tulang belakang atau organ-organ dalam rongga toraks, panggul, dan
abdomen, dan faktor predisposisi misalnya pada fraktur patologis. Pada pemeriksaan lokal
dilakukan inspeksi (Look), palpasi (Feel), pergerakan (Move), pemeriksaan neurologis , dan
dilakukan pemeriksaan radiologis.
Prinsip Umum Tatalaksana Fraktur yaitu First, do no harm, tatalaksana dasar
berdasarkan diagnosis dan prognosis yang akurat, pemilihan tatalaksana dengan tujuan yang
spesifik yakni untuk mengurangi rasa nyeri, untuk memelihara posisi yang baik dari fragmen
fraktur, untuk mengusahakan terjadinya penyatuan tulang (union), untuk mengembalikan
Kepanitraan Klinik Ilmu Bedah
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
RS Bhayangkara-Semarang[Type text]Page 26
FRAKTUR CRURIS
fungsi secara optimal, mengingat hukum-hukum penyembuhan secara alami, bersifat realistik
dan praktis dalam memilih jenis pengobatan, dan seleksi pengobatan sesuai dengan pasien
secara individual.Sebelum mengambil keputusan untuk melakukan pengobatan definitif,
prinsip pengobatan ada empat (4R), yaitu :Recognition, Reduction, Retention, dan
Rehabilitation.
DAFTAR PUSTAKA
Fraktur.
Available
at:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/33107/5/Chapter%20I.pdf. Accessed
on January 4th, 2014.
7. Weissleder, R., Wittenberg, J., Harisinghani, Mukesh G., Musculoskeletal Imaging in
Primer of Diagnostic Imaging.4th Edition. United States: Mosby Elsevier; 2007.
8. Holmes, Erskin J., A-Z of Emergency Radiology. Cambridge University; 2004.
9. Sjamsuhidat. R., De Jong., Wim. Buku Ajar Ilmu Bedah.. Edisi 2. Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran; 2003.