Oleh:
Alviolita Nur Septiani, S.Kep.
NIM 192311101130
Laporan Pendahuluan pada Pasien dengan Skull Defect di Ruang Rawat Inap
Gardena RSD dr. Soebandi Jember telah disetujui dan disahkan pada:
Hari, tanggal : ................, ..... Januari 2020
NIP. NIP.
NIP.
A. Konsep Anatomi dan Fisiologi
B. Pengertian
Skull defect menjadi suatu masalah sejak awal periode kehidupan manusia.
Skull defect sudah dapat ditemukan pada jaman neolitikum. Skull defect adalah
kelainan pada kepala dimana tidak adanya tulang cranium/tulang tengkorak. Skull
deffect adalah adanya pengikisan pada tulang cranium yang disebabkan oleh adanya
pengikisan yang disebabkan massa ekstrakranial atau intrakranial, atau juga bisa
berasal dari dalam tulang (Burgener & Kormano, 1997). Skull defect dapat terjadi dari
lahir atau kongenital pada bayi yang biasanya disebut dengan anenchephaly dan juga
skull defect yang dilakukan secara sengaja untuk membantu pengeluaran cairan atau
pendarahan atau massa yang ada di kepala atau otak.
C. Penyebab
Penyebab terjadinya skull defect adalah:
1) Fraktur kranium
2) Tumor
3) Penipisan tulang
4) Kelainan kongenital (enchephalocele)
5) Pengikisan massa ekstrakranial atau intrakranial
6) Post op trepanasi (Burgener & Kormano, 1997)
7) Trauma parah pada tengkorak dan tulang wajah
8) Reseksi tumor tengkorak
9) Hilangnya tulang akibat osteomyelitis (Ramamurthi, et al, 2007)
D. Patofisiologi
Berdasarkan patofisiologinya cedera kepala dapat digolongkan menjadi 2
proses yaitu cedera kepala primer dan cedera kepala sekunder. Cedera otak primer
adalah cedera yang terjadi saat atau bersamaan dengan kejadian trauma dan
merupakan suatu fenomena mekanik. Umumnya menimbulkan lesi permanen. Tidak
banyak yang bisa dilakukan kecuali membuat fungsi stabil, sehingga sel-sel yang
sedang sakit bisa mengalami proses penyembuhan yang optimal. Cedera primer, yang
terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar pada permukaan otak, laserasi
substansi alba, cedera robekan atau hemoragi karena terjatuh, dipukul, kecelakaan
dan trauma saat lahir yang bisa mengakibatkan terjadinya gangguan pada seluruh
sistem dalam tubuh.
Cedera otak sekunder merupakan hasil dari proses yang berkelanjutan sesudah
atau berkaitan dengan cedera primer dan lebih merupakan fenomena metabolik
sebagai akibat, cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi
serebral dikurangi atau tak ada pada area cedera. Cidera kepala terjadi karena
beberapa hal
diantanya, bila trauma ekstrakranial akan dapat menyebabkan adanya leserasi pada
kulit kepala selanjutnya bisa perdarahan karena mengenai pembuluh darah. Karena
perdarahan yang terjadi terus- menerus dapat menyebabkan hipoksia, hiperemi
peningkatan volume darah pada area peningkatan permeabilitas kapiler, serta
vasodilatasiarterial, semua menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya
peningkatan tekanan intrakranial (TIK), adapun, hipotensi namun bila trauma
mengenai tulang kepala akan menyebabkan robekan dan terjadi perdarahan juga.
Cidera kepala intrakranial dapat mengakibatkan laserasi, perdarahan dan kerusakan
jaringan otak bahkan bisa terjadi kerusakan susunan syaraf kranial terutama motorik
yang mengakibatkan terjadinya gangguan dalam mobilitas.
Mekanisme yang paling umum dari trauma tumpul dada yaitu kecelakaan mobil
atau jatuh dari sepeda motor sedangkan untuk trauma tembus dada yaitu luka tusuk
dan luka tembak. Cedera pada dada sering mengancam jiwa dan mengakibatkan satu
atau lebih mekanisme patologi seperti hipoksemia akibat gangguan jalan nafas,
cedera pada parenkim paru, sangkar iga, otot-otot pernapasan, kolaps paru, dan
pneumothoraks. Hipovolemia juga sering timbul akibat kehilangan cairan masif dari
pembuluh besar, ruptur jantung, atau hemothoraks. Gagal jantung akibat tamponade
jantung yaitu kompresi pada jantung sebagai akibat terdapatnya cairan di dalam sakus
perikardial. Mekanisme ini seringkali mengakibatkan kerusakan ventilasi dan perfusi
yang mengarah pada gagal napas akut, syok hipovolemia, dan kematian (Smeltzer,
2001).
F. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan adanya skull defect yaitu dengan melakukan operasi
kraniotomi yang kemudian dilakukan cranioplasty. Cranioplasty adalah memperbaiki
kerusakan tulang kepala dengan menggunakan bahan plastik atau metal plate.
Cranioplasty adalah perbaikan defek kranial dengan menggunakan plat logam atau
plastik. Setelah dilakukan operasi cranioplasty perawatan selanjutnya adalah dengan
pemberian antibiotik selama 3 hingga 5 hari, dan memonitor drain untuk membantu
pengeluaran darah dan mencegah hematoma hingga cairan atau darah berkurang 2
hingga 3 cc. Instruksi penting selanjutnya adalah tidak melakukan dan tidak
memberikan tekanan pada area yang telah dioperasi selama 3 sampai 4 minggu.
Proses pembentukan dan penyambungan tulang akan terjadi selama 6 hingga satu
tahun (Ramamurthi, et al, 2007).
G. Pemeriksaan Penunjang
Selain dari gejala-gejala klinik, keluhan pasien maupun dari hasil pemeriksaan
fisik dan psikis, untuk keperluan skull defect perlu dilakukan pemeriksaan-
pemeriksaan penunjang yaitu:
1) CT-Scan
Fungsi CT Scan ini adalah untuk mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan,
determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak. Untuk mengetahui adanya
infark / iskemia jangan dilekukan pada 24 - 72 jam setelah injuri. Pada pasien
dnegan skull defect diperoleh hasil CT scan sebagai berikut:
H. Komplikasi
Komplikasi skull defect dapat meliputi:
a. Koma
Penderita tidak sadar dan tidak memberikan respon disebut coma. Pada situasi ini,
secara khas berlangsung hanya beberapa hari atau minggu, setelah masa ini penderita
akan terbangun, sedangkan beberapa kasus lainya memasuki vegetative state atau
mati penderita pada masa vegetative statesering membuka matanya dan
mengerakkannya, menjerit atau menjukan respon reflek. Walaupun demikian
penderita masih tidak sadar dan tidak menyadari lingkungan sekitarnya. Penderita
pada masa vegetative state lebih dari satu tahun jarang sembuh.
b. Seizure
Penderita yang mengalami cedera kepala akan mengalami sekurang-kurangnya sekali
seizure pada masa minggu pertama setelah cedera. Meskipun demikian, keadaan ini
berkembang menjadi epilepsy.
c. Infeksi
Faktur tengkorak atau luka terbuka dapat merobekan membran (meningen) sehingga
kuman dapat masuk. Infeksi meningen ini biasanya berbahaya karena keadaan ini
memiliki potensial untuk menyebar ke sistem saraf yang lain.
d. Kerusakan saraf
Cedera pada basis tengkorak dapat menyebabkan kerusakan pada nervus facialis.
Sehingga terjadi paralysis dari otot-otot facialis atau kerusakan dari saraf untuk
pergerakan bola mata yang menyebabkan terjadinya penglihatan ganda.
e. Hilangnya kemampuan kognitif
Berfikir, akal sehat, penyelesaian masalah, proses informasi dan memori merupakan
kemampuan kognitif. Banyak penderita dengan cedera kepala berat mengalami
masalah kesadaran.
J. Data yang Perlu Dikaji
1) Anamnesis
1) Identitas pasien
Kesadaran pasien dengan skull defect tergantung dari seberapa berat cedera
kepala yang dialaminya, GCS: 14-15 = CKR (Cidera kepala ringan), GCS: 9-13 =
CKS (Cidera kepala sedang) dan GCS: 3-8 = CKB (Cidera kepala berat)
3) Pemeriksaan head to toe
a) Kepala dan rambut
Kepala pasien tidak simetris, pada bagian kepala yang tidak tertutup oleh tulang
teraba lunak dan dapat dilihat adanya denyutan atau fontanel. Rambut bisa
berdistribusi tidak rata apabila pasien telah mengalami operasi/ cranioplasty.
b) Wajah
Wajah pasien dengan skull defect akibat trauma dapat tidak simetris dan bisa
terdapat lesi pada wajah.
c) Mata
Apabila skull defect dikarenakan trauma, maka akan terjadi odema pada papil,
rakun eyes, atau bahkan pupil anisokor.
d) Hidung
Pada skull defect dengan trauma bisa dijumpai perdarahan pada hidung,
e) Telinga
Tidak ada gangguan pada telinga pasien dengan skul defect
f) Mulut dan bibir
Mulut kering, bibir sianosis dikarenakan kekurangan cairan tubuh akibat
muntah proyektil.
g) Gigi
Tidak ada kelainan pada gigi pasien dengan skull defect
h) Leher
bisa terdapat jejas pada leher.
i) Integumen
Meliputi warna, kebersihan, turgor, tekstur kulit, dan kelembaban, perubahan
bentuk dan warna pada kulit. Pada pasien skull defect akibat trauma bisa
terdapat odema, atau lesi pada kulit yang terkena.
j) Thorax
Dikaji kesemetrisannya, ada tidaknya suara redup pada perkusi, kesemetrisan
ekspansi dada, ada tidaknya suara ronchi dan whezzing. Pada pasien dengan
skull defect dengan cedera kepala bisa terjadi penyumbatan jalan nafas oleh
sekret sehingga apabila dilakukan auskultasi terdengar suara ronchi.
k) Abdomen
Tidak ada lesi pada abdomen, dan terdapat rasa tidak nyaman pada bagian
perut, biasanya keinginan untuk muntah.
l) Ektremitas atas dan bawah
Ekstremitas bawah simetris, dan tidak ada kelainana pada pasien skull defect
K. Diagnosis Keperawatan
a. Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak berhubungan dengan
penurunan suplai darah ke otak
b. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan ketidak efektifan suplai
oksigen
c. Nyeri akut berhubungan dengan cidera fisik
d. Risiko infeksi berhubungan dengan pertahanan tubuh primer tidak adekuat
e. Risiko syok berhubungan dengan perdarahan
f. Kerusakan Integritas kulit berhubungan dengan proses pembedahan
L. Intervensi Keperawatan
No. Masalah Tujuan & Kriteria Hasil (NOC) Intervensi (NIC)
Keperawatan
1. Risiko Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 Manajemen Edema Serebral (2540)
ketidakseimba diharapkan perfusi jaringan otak klien adekuat dengan
ngan perfusi kriteria hasil: 1. Monitor status neurologi
jaringan otak 2. Monitor TTV
Perfusi Jaringan Serebral (0406) 3. Monitor status pernafasan
Awa Tujuan 4. Posisikan tinggi kepala 30º
Indikator 5. Kolaborasi pemberian diuretik
l 1 2 3 4 5
TIK 6. Hindari fleksi leher
TD sistole Monitor Tekanan Intra Kranial (2590)
TD diastole
Gelisah
Penurunan tingkat
kesadaran
Reflek neurologis
2. Ketidakefektif NOC NIC
an Pola Nafas Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 Monitor Pernafasan (3350)
diharapkan pola nafas klien efektif dengan kriteria hasil: 1. Monitor kecepatan, irama, kedalaman dan kesulitan nafas
2. Catat pergerakan dada, kesimetrisan, penggunaan otot bantu pernapasan, retraksi
Status Pernafasan (0415) pada otot supraclaviculas dan intercosta
Awa Tujuan 3. Monitor pola napas
Indikator 4. Monitor suara napas tambahan
l 1 2 3 4 5
Frekwensi pernapasan 5. Monitor saturasi oksigen
6. Palpasi kesimetrisa ekpansi dada
Irama pernapasan 7. Kaji perlunya suction pada jalan napas dengan auskultasi suara napas ronki
Kedalaman inspirasi 8. Monitor keluhan sesak termasuk kegitan yang memperburuk sesak apas tersebut
Kepatenan jalan napas 9. Monitor hasil foto thorax
Suara asukultasi napas
Manajemen Jalan Napas (3140)
Saturasi oksigen
1. Posisikan klien untuk memaksimalkan ventilasi
Pernapasan cuping hidung 2. Lakukan fisioterapi dada
3. Instruksikan bagaimana agar bisa untuk batuk efektif
4. Gunakan teknik menyenangkan untuk motivasi bernafas dalam (misalnya
meniup balon, peluit)
5. Auskultasi suara napas, catat area yang ventilasinya menurun atau tidak ada dan
adanya suara napas tambahan
6. Kolaborasi pemberian bronkodilator/nebulizer
3. Nyeri akut Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam, Manajemen nyeri (1400)
(00132) nyeri pasien berkurang serta dapat mengontrol nyeri dengan 1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif (lokasi, karakteristik, durasi,
kriteria hasil: faktor pncetus dan intensitas nyeri)
2. Observasi adanya petunjuk nonverbal nyeri
Kontrol Nyeri (1605) 3. Kendalikan faktor lingkungan (suara bising, suhu, pencahayaan)
Tujuan 4. Ajarkan mengenai teknik non farmakologi (hypnosis, relaksasi, dll)
Indikator Awal Terapi relaksasi (6040)
1 2 3 4 5
Mengunakan tindakan 5. Gambarkan rasional dan manfaat relaksasi seperti nafas dalam dan musik
pengurangan nyeri tanpa 6. Dorong pasien mengambil posisi nyaman
analgesik Pemberian analgesik (2210)
Mengenali kapan 7. Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan keparahan nyeri sebelum mengobati
terjadinya nyeri pasien
8. Cek perintah pengobatan meliputi obat, dosis, dan frekuensi obat analgesik yang
Menggambarkan faktor
diresepkan
penyebab nyeri
Melaporkan nyeri
terkontrol
4 Resiko infeksi Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam, Kontrol infeksi (6540)
tidak terjadi infeksi pada pasien dengan kriteria hasil: 1. Bersihkan lingkungan dengan baik setelah dipakai setiap pasien
Keparahan infeksi (0703) 2. Ganti perawatan peralatan setiap pasien sesuai SOP rumah sakit
Kontrol resiko (1902) 3. Batasi jumlah pengunjung
4. Ajarkan cara mencuci tangan
Perlindungan infeksi (6550)
5. Monitor adanya tanda dan gejala infeksi
6. Berikan perawatan kulit yang tepat
Tujuan Manajemen nutrisi (1100)
indikator Awal 7. Tentukan status gizi pasien
1 2 3 4 5 8. Identifikasi adanya alergi
Luka tidak berbau busuk Identifikasi resiko (6610)
9. Kaji ulang riwayat kesehatan masa lalu
Pasien tidak demam
10. Identifikasi strategi koping yang digunakan
(suhu stabil)
Tidak terdapat nanah
pada luka
Pasien dapat
mengidentifikasi faktor
resiko
Mengenali faktor resiko
individu
5 Risiko Syok Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam, Managemen cairan (4120)
(00205) diharapkan risiko syok tidak terjadi dengan kriteria hasil: 1. KIE keluarga mengenai terjadinya resiko syok dan pencegahan
Kaparahan kehilangan darah ( 0413) 2. Timbang berat badan diwaktu yang sama
Tujuan 3. Monitor status hemodinamik
indikator Awal 4. Monitor adanya tanda-tanda dehidrasi
1 2 3 4 5 5. Monitor adanya sumber kehilangan cairan
Kehilangan darah 6. Monitor asupan dan pengeluaran
7. Dukung asupan cairan oral
Penurunan hemoglobin
8. Berikan cairan IV isotonik yang diresepkan
Penurunan hematokrit
6 Kerusakan Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24. jam Perawatan Luka (3660)
integritas kulit Pasien dapat menunjukkan perubahan ditandai dengan 1. Monitor karakteristik luka termasuk drainase, warna, ukuran, dan bau.
Kulit dan membran mukosa (1101) 2. Ukur luas luka yang sesuai
Tujuan 3. Bersihkan dengan normal saline atau pembersih yang tidak beracun dengan
indikator Awal tepat.
1 2 3 4 5 4. Berikan perawatan ulkus pada kulit yang diperlukan,
Pigmentasi abnormal 5. Olehkan salep yang sesuai dengan jenis luka
6. Perhatikan teknik balutan steril ketika melakukan perawatan luka yang tepat
Lesi pada kulit
7. Ganti balutan sesuai dengan jumlah eksudat dan drainase
Nekrosis
8. Reposisi pasien setidaknya setiap 2 jam dengan tepat
9. Dorong cairan yang sesuai
10. rujuk pada ahli diet yang tepat
11. Anjurkan pada pasien dan keluarga untuk mengenali tanda dan gejala infeksi
G. Evaluasi
a. Peningkatan perfusi serebral
a. Tidak ada tanda peningkatan TIK
b. Pasien mampu bicara dengan jelas, menunjukkan konsentrasi, perhatian dan
orientasi baik
c. Peningkatan tingkat kesadaran (GCS 15, tidak ada gerakan involunter)
d. TTV dalam batas normal (TD: 120/80, RR 16-20x/mnt, Nadi 80-100x/mnt,
Suhu 36,5-37,5oC)
b. Keefektifan pola napas
1) Suara nafas yang bersih, tidak ada sianosis dan dyspneu
2) Irama nafas, frekuensi pernafasan dalam rentang normal (16-20x/menit)
3) TTV dalam batas normal (TD: 120/80, RR 16-20x/mnt, Nadi 80-100x/mnt,
Suhu 36,5-37,5oC)
c. Nyeri berkurang atu hilang
1. Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan
teknik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri)
2. Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri
3. Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri)
4. Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang
5. TTV dalam batas normal (TD: 120/80, RR 16-20x/mnt, Nadi 80-100x/mnt,
Suhu 36,5-37,5oC)
H. Discharge Planning
Selama dirawat di rumah sakit, pasien sudah dipersiapkan untuk
perawatan di rumah. Beberapa informasi penyuluhan pendidikan yang harus
sudah dipersiapkan/diberikan pada keluarga pasien ini adalah:
a. Pengertian dari penyakit skull defect
b. Penjelasan tentang penyebab skull defect
c. Manifestasi klinik yang dapat ditanggulangi/diketahui oleh keluarga
d. Pasien dan keluarga dapat pergi ke rumah sakit/puskesmas terdekat apabila ada
gejala yang memberatkan penyakitnya
e. Keluarga harus mendorong/memberikan dukungan pada pasien dalam menaati
program pemulihan kesehatan
DAFTAR PUSTAKA
Burgener, Francis A & Kormano, Martti. 1997. Bone And Joint Disorder. New
York: Thieme.
Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan dengan Gangguan Sistem
Persyarafan. Jakarta: Salemba Medika.
Smeltzer & Bare. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.