Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PENDAHULUAN PADA PASIEN DENGAN

SKULL DEFECT DI RUANG RAWAT INAP GARDENA


RUMAH SAKIT DR. SOEBANDI JEMBER

Oleh:
Alviolita Nur Septiani, S.Kep.
NIM 192311101130

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


UNIVERSITAS JEMBER
JEMBER
2020
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Pendahuluan pada Pasien dengan Skull Defect di Ruang Rawat Inap
Gardena RSD dr. Soebandi Jember telah disetujui dan disahkan pada:
Hari, tanggal : ................, ..... Januari 2020

Tempat: Ruang Gardena

Jember, Januari 2020

Pembimbing Akademik Pembimbing klinik


Fakultas Keperawatan Ruang Gardena
Universitas Jember RSD dr. Soebandi Jember

NIP. NIP.

Kepala Ruang Gardena


RSD dr. Soebandi Jember

NIP.
A. Konsep Anatomi dan Fisiologi

Gambar 1. Anatomi kepala

Gambar 2. Fungsi otak


1) Tengkorak
Tulang tengkorak menurut Pearce (2008) merupakan struktur tulang yang
menutupi dan melindungi otak, terdiri dari tulang kranium dan tulang muka.
Tulang kranium terdiri dari 3 lapisan: lapisan luar, etmoid dan lapisan dalam.
Lapisan luar dan dalam merupakan struktur yang kuat sedangkan etmoid
merupakan struktur yang menyerupai busa. Lapisan dalam membentuk
rongga/fosa; fosa anterior di dalamnya terdapat lobus frontalis, fosa tengah berisi
lobus temporalis, parientalis, oksipitalis, fosa posterior berisi otak tengah dan
sereblum.

Gambar 2. Lapisan cranium


1. Meningen
Pearce (2008) mengatakan bahwa otak dan sumsum tulang belakang diselimuti
meningia yang melindungi struktur saraf yang halus itu, membawa pembuluh
darah dan dengan sekresi sejenis cairan, yaitu: cairan serebrospinal yang
memperkecil benturan atau goncangan. Selaput meningen menutupi terdiri dari 3
lapisan yaitu:
a) Dura mater
Dura mater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan endosteal
dan lapisan meningeal. Dura mater merupakan selaput yang keras, terdiri atas
jaringan ikat fibrisa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium.
Karena tidak melekat pada selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat
suatu ruang potensial ruang subdural yang terletak antara dura mater dan
arachnoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural. Pada cedera otak,
pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus
sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat mengalami
robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior
mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi
dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat. Hematoma
subdural yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala neurologis biasanya
dikeluarkan melalui pembedahan. Petunjuk dilakukannya pengaliran
perdarahan ini adalah: 1) sakit kepala yang menetap 2) rasa mengantuk
yang hilang-timbul 3) linglung 4) perubahan ingatan 5) kelumpuhan ringan
pada sisi tubuh yang berlawanan. Arteri-arteri meningea terletak antara dura
mater dan permukaan dalam dari kranium ruang epidural. Adanya fraktur dari
tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan
menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera
adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa media fosa temporalis.
b) Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang. Selaput
arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan duramater sebelah luar
yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari duramater oleh ruang potensial,
disebut spatium subdural dan dari piamater oleh spatium subarakhnoid yang
terisi oleh liquor serebrospinalis. Perdarahan subarakhnoid umumnya
disebabkan akibat cedera kepala.
c) Pia mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater adalah
membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan
masuk kedalam sulci yang paling dalam. Membrana ini membungkus saraf
otak dan menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk kedalam
substansi otak juga diliputi oleh pia mater.
2. Otak
Menurut Price (2005), otak terdiri dari 3 bagian, antara lain yaitu:
a) Cerebrum

Gambar 3. Lobus-lobus otak


Cerebrum atau otak besar terdiri dari dari 2 bagian, hemispherium serebri kanan
dan kiri. Setiap henispher dibagi dalam 4 lobus yang terdiri dari lobus frontal,
oksipital, temporal dan pariental. Yang masing-masing lobus memiliki fungsi
yang berbeda, yaitu:
1) Lobus frontalis
Lobus frontalis pada korteks serebri terutama mengendalikan keahlian
motorik misalnya menulis, memainkan alat musik atau mengikat tali sepatu.
Lobus frontalis juga mengatur ekspresi wajah dan isyarat tangan. daerah
tertentu pada lobus frontalis bertanggung jawab terhadap aktivitas motorik
tertentu pada sisi tubuh yang berlawanan. Efek perilaku dari kerusakan
lobus frontalis bervariasi, tergantung kepada ukuran dan lokasi kerusakan
fisik yang terjadi. Kerusakan yang kecil, jika hanya mengenai satu sisi otak,
biasanya tidak menyebabkan perubahan perilaku yang nyata, meskipun
kadang menyebabkan kejang. Kerusakan luas yang mengarah ke bagian
belakang lobus frontalis bisa menyebabkan apati, ceroboh, lalai dan kadang
inkontinensia. Kerusakan luas yang mengarah ke bagian depan atau
samping lobus frontalis menyebabkan perhatian penderita mudah
teralihkan, kegembiraan yang berlebihan, suka menentang, kasar dan kejam.
2) Lobus parietalis
Lobus parietalis pada korteks serebri menggabungkan kesan dari bentuk,
tekstur dan berat badan ke dalam persepsi umum. Sejumlah kecil
kemampuan matematikan dan bahasa berasal dari daerah ini. Lobus
parietalis juga membantu mengarahkan posisi pada ruang di sekitarnya dan
merasakan posisi dari bagian tubuhnya. Kerusakan kecil di bagian depan
lobus parietalis menyebabkan mati rasa pada sisi tubuh yang berlawanan.
Kerusakan yang agak luas bisa menyebabkan hilangnya kemampuan untuk
melakukan serangkaian pekerjaan keadaan ini disebut ataksia dan untuk
menentukan arah kiri-kanan. Kerusakan yang luas bisa mempengaruhi
kemampuan penderita dalam mengenali bagian tubuhnya atau ruang di
sekitarnya atau bahkan bisa mempengaruhi ingatan akan bentuk yang
sebelumnya dikenal dengan baik misalnya, bentuk kubus atau jam dinding.
Penderita bisa menjadi linglung atau mengigau dan tidak mampu
berpakaian maupun melakukan pekerjaan sehari-hari lainnya.
3) Lobus temporalis
Lobus temporalis mengolah kejadian yang baru saja terjadi menjadi dan
mengingatnya sebagai memori jangka panjang. Lobus temporalis juga
memahami suara dan gambaran, menyimpan memori dan mengingatnya
kembali serta menghasilkan jalur emosional. Kerusakan pada lobus
temporalis sebelah kanan menyebabkan terganggunya ingatan akan suara
dan bentuk. Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kiri menyebabkan
gangguan pemahaman bahasa yang berasal dari luar maupun dari dalam dan
menghambat penderita dalam mengekspresikan bahasanya. Penderita
dengan lobus temporalis sebelah kanan yang non-dominan, akan mengalami
perubahan kepribadian seperti tidak suka bercanda, tingkat kefanatikan
agama yang tidak biasa, obsesif dan kehilangan gairah seksual.
4) Lobus oksipital
Fungsinya untuk visual center. Kerusakan pada lobus ini otomatis akan
kehilangan fungsi dari lobus itu sendiri yaitu penglihatan.
b) Cerebellum
Terdapat dibagian belakang sophag menepati fosa serebri posterior dibawah
lapisan durameter. Cerebellum mempunyai aksi yaitu merangsang dan
menghambat serta mempunyai tanggunag jawab yang luas terhadap koordinasi
dan gerakan halus. Ditambah mengontrol gerakan yang benar, keseimbangan
posisi dan mengintegrasikan input sensori.
c) Brainstem
Batang otak terdiri dari otak tengah, pons dan sophag oblongata. Otak tengah
midbrain/ensefalon menghubungkan pons dan sereblum dengan hemisfer
sereblum. Bagian ini berisi jalur sensorik dan motorik, sebagai pusat reflek
pendengaran dan penglihatan. Pons terletak di depan serebelum antara otak
tengah dan sophag, serta merupakan jembatan antara 2 bagian sereblum dan
juga antara medulla dengan serebrum. Pons berisi jarak sensorik dan motorik.
Medula oblongata membentuk bagian inferior dari batang otak, terdapat pusat-
pusat otonom yang mengatur fungsi-fungsi vital seperti pernafasan, frekuensi
jantung, pusat muntah, tonus vasomotor, reflek batuk dan bersin.
3. Syaraf-Syaraf Otak
Smeltzer (2001) mengatakan bahwa nervus kranialis dapat terganggu bila trauma
kepala meluas sampai batang otak karena edema otak atau pendarahan otak.
Kerusakan nervus yaitu:
a) Nervus Olfaktorius (Nervus Kranialis I)
Saraf pembau yang keluar dari otak dibawa oleh dahi, membawa rangsangan
aroma (bau-bauan) dari rongga hidung ke otak.
b) Nervus Optikus (Nervus Kranialis II)
Mensarafi bola mata, membawa rangsangan penglihatan ke otak.
c) Nervus Okulomotorius (Nervus Kranialis III)
Bersifat motoris, mensarafi otot-otot orbital (otot pengerak bola mata)
menghantarkan serabut-serabut saraf para simpati untuk melayani otot siliaris
dan otot iris.
d) Nervus Trokhlearis (Nervus Kranialis IV)
Bersifat motoris, mensarafi otot-otot orbital. Saraf pemutar mata yang
pusatnya terletak dibelakang pusat saraf penggerak mata.
e) Nervus Trigeminus (Nervus Kranialis V)
Sifatnya majemuk (sensoris motoris) saraf ini mempunyaitiga buah cabang.
Fungsinya sebagai saraf kembar tiga, saraf ini merupakan saraf otak besar,
sarafnya yaitu:
1) Nervus oftalmikus: sifatnya sensorik, mensarafi kulit kepala bagian depan
kelopak mata atas, selaput sopha kelopak mata dan bola mata.
2) Nervus maksilaris: sifatnya sensoris, mensarafi gigi atas, bibir atas,
palatum, batang hidung, ronga hidung dan sinus maksilaris.
3) Nervus mandibula: sifatnya majemuk (sensori dan motoris) mensarafi otot-
otot pengunyah. Serabut-serabut sensorisnya mensarafi gigi bawah, kulit
daerah temporal dan dagu.
f) Nervus Abducens (Nervus Kranialis VI)
Sifatnya motoris, mensarafi otot-otot orbital. Fungsinya sebagai saraf
penggoyang sisi mata.
g) Nervus Fasialis (Nervus Kranialis VII)
Sifatnya majemuk (sensori dan motori) serabut-serabut motorisnya mensarafi
otot-otot lidah dan selaput sopha ronga mulut. Di dalam saraf ini terdapat
serabut-serabut saraf otonom (parasimpatis) untuk wajah dan kulit kepala
fungsinya sebagai soph wajah untuk menghantarkan rasa pengecap.
h) Nervus Akustikus (Nervus Kranialis VIII)
Sifatnya sensori, mensarafi alat pendengar, membawa rangsangan dari
pendengaran dan dari telinga ke otak. Fungsinya sebagai saraf pendengar.
i) Nervus Glosofaringeus (Nervus Kranialis IX)
Sifatnya majemuk (sensori dan motoris) mensarafi faring, tonsil dan lidah,
saraf ini dapat membawa rangsangan cita rasa ke otak.
j) Nervus Vagus (Nervus Kranialis X)
Sifatnya majemuk (sensoris dan motoris) mengandung saraf-saraf motorik,
sensorik dan parasimpatis faring, laring, paru-paru, sophagus, gaster
intestinum minor, kelenjar-kelenjar pencernaan dalam abdomen. Fungsinya
sebagai saraf perasa.
k) Nervus Aksesorius (Nervus Kranialis XI)
Saraf ini mensarafi muskulus sternokleidomastoid dan muskulus trapezium,
fungsinya sebagai saraf tambahan.
l) Nervus Hipoglosus (Nervus Kranialis XII)
Saraf ini mensarafi otot-otot lidah, fungsinya sebagai saraf lidah. Saraf
ini terdapat di dalam sumsum penyambung.

B. Pengertian
Skull defect menjadi suatu masalah sejak awal periode kehidupan manusia.
Skull defect sudah dapat ditemukan pada jaman neolitikum. Skull defect adalah
kelainan pada kepala dimana tidak adanya tulang cranium/tulang tengkorak. Skull
deffect adalah adanya pengikisan pada tulang cranium yang disebabkan oleh adanya
pengikisan yang disebabkan massa ekstrakranial atau intrakranial, atau juga bisa
berasal dari dalam tulang (Burgener & Kormano, 1997). Skull defect dapat terjadi dari
lahir atau kongenital pada bayi yang biasanya disebut dengan anenchephaly dan juga
skull defect yang dilakukan secara sengaja untuk membantu pengeluaran cairan atau
pendarahan atau massa yang ada di kepala atau otak.

C. Penyebab
Penyebab terjadinya skull defect adalah:
1) Fraktur kranium
2) Tumor
3) Penipisan tulang
4) Kelainan kongenital (enchephalocele)
5) Pengikisan massa ekstrakranial atau intrakranial
6) Post op trepanasi (Burgener & Kormano, 1997)
7) Trauma parah pada tengkorak dan tulang wajah
8) Reseksi tumor tengkorak
9) Hilangnya tulang akibat osteomyelitis (Ramamurthi, et al, 2007)

D. Patofisiologi
Berdasarkan patofisiologinya cedera kepala dapat digolongkan menjadi 2
proses yaitu cedera kepala primer dan cedera kepala sekunder. Cedera otak primer
adalah cedera yang terjadi saat atau bersamaan dengan kejadian trauma dan
merupakan suatu fenomena mekanik. Umumnya menimbulkan lesi permanen. Tidak
banyak yang bisa dilakukan kecuali membuat fungsi stabil, sehingga sel-sel yang
sedang sakit bisa mengalami proses penyembuhan yang optimal. Cedera primer, yang
terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar pada permukaan otak, laserasi
substansi alba, cedera robekan atau hemoragi karena terjatuh, dipukul, kecelakaan
dan trauma saat lahir yang bisa mengakibatkan terjadinya gangguan pada seluruh
sistem dalam tubuh.
Cedera otak sekunder merupakan hasil dari proses yang berkelanjutan sesudah
atau berkaitan dengan cedera primer dan lebih merupakan fenomena metabolik
sebagai akibat, cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi
serebral dikurangi atau tak ada pada area cedera. Cidera kepala terjadi karena
beberapa hal
diantanya, bila trauma ekstrakranial akan dapat menyebabkan adanya leserasi pada
kulit kepala selanjutnya bisa perdarahan karena mengenai pembuluh darah. Karena
perdarahan yang terjadi terus- menerus dapat menyebabkan hipoksia, hiperemi
peningkatan volume darah pada area peningkatan permeabilitas kapiler, serta
vasodilatasiarterial, semua menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya
peningkatan tekanan intrakranial (TIK), adapun, hipotensi namun bila trauma
mengenai tulang kepala akan menyebabkan robekan dan terjadi perdarahan juga.
Cidera kepala intrakranial dapat mengakibatkan laserasi, perdarahan dan kerusakan
jaringan otak bahkan bisa terjadi kerusakan susunan syaraf kranial terutama motorik
yang mengakibatkan terjadinya gangguan dalam mobilitas.
Mekanisme yang paling umum dari trauma tumpul dada yaitu kecelakaan mobil
atau jatuh dari sepeda motor sedangkan untuk trauma tembus dada yaitu luka tusuk
dan luka tembak. Cedera pada dada sering mengancam jiwa dan mengakibatkan satu
atau lebih mekanisme patologi seperti hipoksemia akibat gangguan jalan nafas,
cedera pada parenkim paru, sangkar iga, otot-otot pernapasan, kolaps paru, dan
pneumothoraks. Hipovolemia juga sering timbul akibat kehilangan cairan masif dari
pembuluh besar, ruptur jantung, atau hemothoraks. Gagal jantung akibat tamponade
jantung yaitu kompresi pada jantung sebagai akibat terdapatnya cairan di dalam sakus
perikardial. Mekanisme ini seringkali mengakibatkan kerusakan ventilasi dan perfusi
yang mengarah pada gagal napas akut, syok hipovolemia, dan kematian (Smeltzer,
2001).

E. Tanda dan Gejala


Gejala yang nampak pada pasien skull defect dapat berupa:
1) Bentuk kepala asimetris
2) Pada bagian yang tidak tertutup tulang teraba lunak
Pada bagian yang tidak tertutup tulang dapat dilihat adanya denyutan atau fontanela
Sedangkan manifestasi klinis dari cedera kepala tergantung dari berat
ringannya cedera kepala yaitu berupa:
1) Perubahan kesadaran adalah merupakan indicator yang paling sensitive yang dapat
dilihat dengan penggunaan GCS (Glasgow Coma Scale). Pada cedera kepala berat
nilai GCS nya 3-8
2) Peningkatan TIK yang mempunyai trias klasik seperti: nyeri kepala karena
regangan dura dan pembuluh darah; papil edema yang disebabkan oleh tekanan
dan pembengkakan diskus optikus; muntah seringkali proyektil.
3) Perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi), perubahan frekuensi jantung
(bradikardi, takikardia, yang diselingi dengan bradikardia disritmia).
4) Perubahan pola nafas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi), nafas berbunyi,
stridor, terdesak, ronchi, mengi positif (kemungkinan karena aspirasi), gurgling.

F. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan adanya skull defect yaitu dengan melakukan operasi
kraniotomi yang kemudian dilakukan cranioplasty. Cranioplasty adalah memperbaiki
kerusakan tulang kepala dengan menggunakan bahan plastik atau metal plate.
Cranioplasty adalah perbaikan defek kranial dengan menggunakan plat logam atau
plastik. Setelah dilakukan operasi cranioplasty perawatan selanjutnya adalah dengan
pemberian antibiotik selama 3 hingga 5 hari, dan memonitor drain untuk membantu
pengeluaran darah dan mencegah hematoma hingga cairan atau darah berkurang 2
hingga 3 cc. Instruksi penting selanjutnya adalah tidak melakukan dan tidak
memberikan tekanan pada area yang telah dioperasi selama 3 sampai 4 minggu.
Proses pembentukan dan penyambungan tulang akan terjadi selama 6 hingga satu
tahun (Ramamurthi, et al, 2007).
G. Pemeriksaan Penunjang
Selain dari gejala-gejala klinik, keluhan pasien maupun dari hasil pemeriksaan
fisik dan psikis, untuk keperluan skull defect perlu dilakukan pemeriksaan-
pemeriksaan penunjang yaitu:
1) CT-Scan
Fungsi CT Scan ini adalah untuk mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan,
determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak. Untuk mengetahui adanya
infark / iskemia jangan dilekukan pada 24 - 72 jam setelah injuri. Pada pasien
dnegan skull defect diperoleh hasil CT scan sebagai berikut:

Gambar 4. CT scan skull


defect 2) Foto polos kepala (X-ray)
Tidak semua penderita dengan cidera kepala diindikasikan untuk pemeriksaan
kepala karena masalah biaya dan kegunaan yang sekarang makin dittinggalkan.
Jadi indikasi pelaksanaan foto polos kepala meliputi jejas lebih dari 5 cm, luka
tembus (tembak/tajam), adanya corpus alineum, deformitas kepala (dari inspeksi
dan palpasi), nyeri kepala yang menetap, gejala fokal neurologis, gangguan
kesadaran. Hasil yag diperoleh pada foto kepala pasien dengan skull defect adalah
sebagai berikut:
Gambar 5. X-ray skull defect

3) MRI (Magnetik Resonance Imaging)


Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
4) EEG (Elektroensepalogram)
Digunakan untuk melihat perkembangan gelombang yang patologis

Gambar 6. EEG skull defect

H. Komplikasi
Komplikasi skull defect dapat meliputi:
a. Koma
Penderita tidak sadar dan tidak memberikan respon disebut coma. Pada situasi ini,
secara khas berlangsung hanya beberapa hari atau minggu, setelah masa ini penderita
akan terbangun, sedangkan beberapa kasus lainya memasuki vegetative state atau
mati penderita pada masa vegetative statesering membuka matanya dan
mengerakkannya, menjerit atau menjukan respon reflek. Walaupun demikian
penderita masih tidak sadar dan tidak menyadari lingkungan sekitarnya. Penderita
pada masa vegetative state lebih dari satu tahun jarang sembuh.
b. Seizure
Penderita yang mengalami cedera kepala akan mengalami sekurang-kurangnya sekali
seizure pada masa minggu pertama setelah cedera. Meskipun demikian, keadaan ini
berkembang menjadi epilepsy.
c. Infeksi
Faktur tengkorak atau luka terbuka dapat merobekan membran (meningen) sehingga
kuman dapat masuk. Infeksi meningen ini biasanya berbahaya karena keadaan ini
memiliki potensial untuk menyebar ke sistem saraf yang lain.
d. Kerusakan saraf
Cedera pada basis tengkorak dapat menyebabkan kerusakan pada nervus facialis.
Sehingga terjadi paralysis dari otot-otot facialis atau kerusakan dari saraf untuk
pergerakan bola mata yang menyebabkan terjadinya penglihatan ganda.
e. Hilangnya kemampuan kognitif
Berfikir, akal sehat, penyelesaian masalah, proses informasi dan memori merupakan
kemampuan kognitif. Banyak penderita dengan cedera kepala berat mengalami
masalah kesadaran.
J. Data yang Perlu Dikaji
1) Anamnesis
1) Identitas pasien

2) Riwayat penyakit sekarang


Umumnya pasien dengan skull defect yang terjadi sejak lahir
(enchephalocele) tidak memiliki keluhan apapun, kecuali pada skull defect
akibat trauma, tumor atau yang lainnya, biasanya pasien mengeluhkan nyeri
bagian kepala hingga diikuti penurunan kesadaran.
3) Riwayat penyakit dahulu
Merupakan riwayat penyakit yang pernah diderita pasien dan berhubungan
dengan sistem persarafan. Pasien dengan skull defect biasanya pernah
mengalami craniopasty, tumor otak, atau penyakit infeksi otak.
4) Keluhan utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus skull defect adalah penurunan
tingkat kesadaran (GCS 9-12), pusing, sakit kepala, gangguan motorik,
kejang, gangguan sensorik dan gangguan kesadaran. Format PQRST dapat
digunakan untuk mempermudah pengumpulan data, penjabaran dari PQRST
adalah:
P (provokatif/paliatif): Apa yang menjadi hal-hal yang meringankan dan
memperberat nyeri? Apa saja yang telah dilakukan untuk mengobati nyeri?
Q (quality/quantity): Seberapa berat keluhan, bagaimana rasanya? Seberapa
sering terjadinya?
R (egio/radiasi) : Dimanakah lokasi keluhan? Bagaimana penyebarannya?
S (skala/severity): Dengan menggunakan GCS untuk gangguan kesadaran,
skala nyeri untuk keluhan nyeri.
T (Timing) : Kapan keluhan itu terasa? Seberapa sering keluhan itu terasa?
5) Riwayat penyakit keluarga
Meliputi susunan anggota keluarga khususnya yang kemungkinan bisa
berpengaruh pada kesehatan anggota keluarga yang lain penyakit infeksi yang
pernah di derita ibu pasien ketika hamil, penyakit genetik seperti kanker.
2) Pemeriksaan fisik
Pada dasarnya dalam pemeriksaan fisik menggunakan pendekatan secara
sistematik yaitu: inspeksi, palpasi, auskultasi dan perkusi.
1) Keadaan umum
Pada pasien skull defect yang disertai dengan cedera kepela biasanya pasien
tidak sadar, apabila pasien sadar pasien akan mengeluhkan nyeri di bagian
kepalanya.
2) Kesadaran
Skala Koma Glasgow (Glasgow Coma Scale, GCS)
a) Respon membuka mata (E)
1. Membuka mata dengan spontan (4)
2. Membuka mata dengan perintah (3)
3. Membuka mat dengan rangsangan nyeri (2)
4. Tidak reaksi reaksi apapun (1)
b) Respon motorik (M)
1. Mengikuti perintah (6)
2. Melokalisir nyeri (5)
3. Menghindar nyeri (4)
4. Fleksi abnormal (3)
5. Ekstensi abnormal (2)
6. Tidak ada reaksi apapun (1)
c) Respon verbal (V)
1. Orientasi baik dan sesuai (5)
2. Disorienasi tempat dan waktu (4)
3. Bicara kacau (3)
4. Mengerang (2)
5. Tidak ada reaksi apapaun (1)

Kesadaran pasien dengan skull defect tergantung dari seberapa berat cedera
kepala yang dialaminya, GCS: 14-15 = CKR (Cidera kepala ringan), GCS: 9-13 =
CKS (Cidera kepala sedang) dan GCS: 3-8 = CKB (Cidera kepala berat)
3) Pemeriksaan head to toe
a) Kepala dan rambut
Kepala pasien tidak simetris, pada bagian kepala yang tidak tertutup oleh tulang
teraba lunak dan dapat dilihat adanya denyutan atau fontanel. Rambut bisa
berdistribusi tidak rata apabila pasien telah mengalami operasi/ cranioplasty.
b) Wajah
Wajah pasien dengan skull defect akibat trauma dapat tidak simetris dan bisa
terdapat lesi pada wajah.
c) Mata
Apabila skull defect dikarenakan trauma, maka akan terjadi odema pada papil,
rakun eyes, atau bahkan pupil anisokor.
d) Hidung
Pada skull defect dengan trauma bisa dijumpai perdarahan pada hidung,
e) Telinga
Tidak ada gangguan pada telinga pasien dengan skul defect
f) Mulut dan bibir
Mulut kering, bibir sianosis dikarenakan kekurangan cairan tubuh akibat
muntah proyektil.
g) Gigi
Tidak ada kelainan pada gigi pasien dengan skull defect
h) Leher
bisa terdapat jejas pada leher.
i) Integumen
Meliputi warna, kebersihan, turgor, tekstur kulit, dan kelembaban, perubahan
bentuk dan warna pada kulit. Pada pasien skull defect akibat trauma bisa
terdapat odema, atau lesi pada kulit yang terkena.
j) Thorax
Dikaji kesemetrisannya, ada tidaknya suara redup pada perkusi, kesemetrisan
ekspansi dada, ada tidaknya suara ronchi dan whezzing. Pada pasien dengan
skull defect dengan cedera kepala bisa terjadi penyumbatan jalan nafas oleh
sekret sehingga apabila dilakukan auskultasi terdengar suara ronchi.
k) Abdomen
Tidak ada lesi pada abdomen, dan terdapat rasa tidak nyaman pada bagian
perut, biasanya keinginan untuk muntah.
l) Ektremitas atas dan bawah
Ekstremitas bawah simetris, dan tidak ada kelainana pada pasien skull defect

K. Diagnosis Keperawatan
a. Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak berhubungan dengan
penurunan suplai darah ke otak
b. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan ketidak efektifan suplai
oksigen
c. Nyeri akut berhubungan dengan cidera fisik
d. Risiko infeksi berhubungan dengan pertahanan tubuh primer tidak adekuat
e. Risiko syok berhubungan dengan perdarahan
f. Kerusakan Integritas kulit berhubungan dengan proses pembedahan
L. Intervensi Keperawatan
No. Masalah Tujuan & Kriteria Hasil (NOC) Intervensi (NIC)
Keperawatan
1. Risiko Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 Manajemen Edema Serebral (2540)
ketidakseimba diharapkan perfusi jaringan otak klien adekuat dengan
ngan perfusi kriteria hasil: 1. Monitor status neurologi
jaringan otak 2. Monitor TTV
Perfusi Jaringan Serebral (0406) 3. Monitor status pernafasan
Awa Tujuan 4. Posisikan tinggi kepala 30º
Indikator 5. Kolaborasi pemberian diuretik
l 1 2 3 4 5
TIK 6. Hindari fleksi leher
TD sistole Monitor Tekanan Intra Kranial (2590)
TD diastole
Gelisah
Penurunan tingkat
kesadaran
Reflek neurologis
2. Ketidakefektif NOC NIC
an Pola Nafas Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 Monitor Pernafasan (3350)
diharapkan pola nafas klien efektif dengan kriteria hasil: 1. Monitor kecepatan, irama, kedalaman dan kesulitan nafas
2. Catat pergerakan dada, kesimetrisan, penggunaan otot bantu pernapasan, retraksi
Status Pernafasan (0415) pada otot supraclaviculas dan intercosta
Awa Tujuan 3. Monitor pola napas
Indikator 4. Monitor suara napas tambahan
l 1 2 3 4 5
Frekwensi pernapasan 5. Monitor saturasi oksigen
6. Palpasi kesimetrisa ekpansi dada
Irama pernapasan 7. Kaji perlunya suction pada jalan napas dengan auskultasi suara napas ronki
Kedalaman inspirasi 8. Monitor keluhan sesak termasuk kegitan yang memperburuk sesak apas tersebut
Kepatenan jalan napas 9. Monitor hasil foto thorax
Suara asukultasi napas
Manajemen Jalan Napas (3140)
Saturasi oksigen
1. Posisikan klien untuk memaksimalkan ventilasi
Pernapasan cuping hidung 2. Lakukan fisioterapi dada
3. Instruksikan bagaimana agar bisa untuk batuk efektif
4. Gunakan teknik menyenangkan untuk motivasi bernafas dalam (misalnya
meniup balon, peluit)
5. Auskultasi suara napas, catat area yang ventilasinya menurun atau tidak ada dan
adanya suara napas tambahan
6. Kolaborasi pemberian bronkodilator/nebulizer

Terapi Oksigen (3320)


1. Berikan oksigen seperti yang diperintahkan
2. Monitor aliran oksigen
3. Periksa perangkat (alat) pemberian oksigen secara berkala untuk memastikan
bahwa konsentrasi yang telah) ditentukan telah diberikan
4. Monitor peralatan oksigen untuk memastikan bahwa alat tersebut tidak
mengganggu upaya pasien untuk bernapas

3. Nyeri akut Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam, Manajemen nyeri (1400)
(00132) nyeri pasien berkurang serta dapat mengontrol nyeri dengan 1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif (lokasi, karakteristik, durasi,
kriteria hasil: faktor pncetus dan intensitas nyeri)
2. Observasi adanya petunjuk nonverbal nyeri
Kontrol Nyeri (1605) 3. Kendalikan faktor lingkungan (suara bising, suhu, pencahayaan)
Tujuan 4. Ajarkan mengenai teknik non farmakologi (hypnosis, relaksasi, dll)
Indikator Awal Terapi relaksasi (6040)
1 2 3 4 5
Mengunakan tindakan 5. Gambarkan rasional dan manfaat relaksasi seperti nafas dalam dan musik
pengurangan nyeri tanpa 6. Dorong pasien mengambil posisi nyaman
analgesik Pemberian analgesik (2210)
Mengenali kapan 7. Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan keparahan nyeri sebelum mengobati
terjadinya nyeri pasien
8. Cek perintah pengobatan meliputi obat, dosis, dan frekuensi obat analgesik yang
Menggambarkan faktor
diresepkan
penyebab nyeri
Melaporkan nyeri
terkontrol
4 Resiko infeksi Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam, Kontrol infeksi (6540)
tidak terjadi infeksi pada pasien dengan kriteria hasil: 1. Bersihkan lingkungan dengan baik setelah dipakai setiap pasien
Keparahan infeksi (0703) 2. Ganti perawatan peralatan setiap pasien sesuai SOP rumah sakit
Kontrol resiko (1902) 3. Batasi jumlah pengunjung
4. Ajarkan cara mencuci tangan
Perlindungan infeksi (6550)
5. Monitor adanya tanda dan gejala infeksi
6. Berikan perawatan kulit yang tepat
Tujuan Manajemen nutrisi (1100)
indikator Awal 7. Tentukan status gizi pasien
1 2 3 4 5 8. Identifikasi adanya alergi
Luka tidak berbau busuk Identifikasi resiko (6610)
9. Kaji ulang riwayat kesehatan masa lalu
Pasien tidak demam
10. Identifikasi strategi koping yang digunakan
(suhu stabil)
Tidak terdapat nanah
pada luka
Pasien dapat
mengidentifikasi faktor
resiko
Mengenali faktor resiko
individu
5 Risiko Syok Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam, Managemen cairan (4120)
(00205) diharapkan risiko syok tidak terjadi dengan kriteria hasil: 1. KIE keluarga mengenai terjadinya resiko syok dan pencegahan
Kaparahan kehilangan darah ( 0413) 2. Timbang berat badan diwaktu yang sama
Tujuan 3. Monitor status hemodinamik
indikator Awal 4. Monitor adanya tanda-tanda dehidrasi
1 2 3 4 5 5. Monitor adanya sumber kehilangan cairan
Kehilangan darah 6. Monitor asupan dan pengeluaran
7. Dukung asupan cairan oral
Penurunan hemoglobin
8. Berikan cairan IV isotonik yang diresepkan
Penurunan hematokrit
6 Kerusakan Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24. jam Perawatan Luka (3660)
integritas kulit Pasien dapat menunjukkan perubahan ditandai dengan 1. Monitor karakteristik luka termasuk drainase, warna, ukuran, dan bau.
Kulit dan membran mukosa (1101) 2. Ukur luas luka yang sesuai
Tujuan 3. Bersihkan dengan normal saline atau pembersih yang tidak beracun dengan
indikator Awal tepat.
1 2 3 4 5 4. Berikan perawatan ulkus pada kulit yang diperlukan,
Pigmentasi abnormal 5. Olehkan salep yang sesuai dengan jenis luka
6. Perhatikan teknik balutan steril ketika melakukan perawatan luka yang tepat
Lesi pada kulit
7. Ganti balutan sesuai dengan jumlah eksudat dan drainase
Nekrosis
8. Reposisi pasien setidaknya setiap 2 jam dengan tepat
9. Dorong cairan yang sesuai
10. rujuk pada ahli diet yang tepat
11. Anjurkan pada pasien dan keluarga untuk mengenali tanda dan gejala infeksi
G. Evaluasi
a. Peningkatan perfusi serebral
a. Tidak ada tanda peningkatan TIK
b. Pasien mampu bicara dengan jelas, menunjukkan konsentrasi, perhatian dan
orientasi baik
c. Peningkatan tingkat kesadaran (GCS 15, tidak ada gerakan involunter)
d. TTV dalam batas normal (TD: 120/80, RR 16-20x/mnt, Nadi 80-100x/mnt,
Suhu 36,5-37,5oC)
b. Keefektifan pola napas
1) Suara nafas yang bersih, tidak ada sianosis dan dyspneu
2) Irama nafas, frekuensi pernafasan dalam rentang normal (16-20x/menit)
3) TTV dalam batas normal (TD: 120/80, RR 16-20x/mnt, Nadi 80-100x/mnt,
Suhu 36,5-37,5oC)
c. Nyeri berkurang atu hilang
1. Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan
teknik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri)
2. Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri
3. Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri)
4. Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang
5. TTV dalam batas normal (TD: 120/80, RR 16-20x/mnt, Nadi 80-100x/mnt,
Suhu 36,5-37,5oC)
H. Discharge Planning
Selama dirawat di rumah sakit, pasien sudah dipersiapkan untuk
perawatan di rumah. Beberapa informasi penyuluhan pendidikan yang harus
sudah dipersiapkan/diberikan pada keluarga pasien ini adalah:
a. Pengertian dari penyakit skull defect
b. Penjelasan tentang penyebab skull defect
c. Manifestasi klinik yang dapat ditanggulangi/diketahui oleh keluarga
d. Pasien dan keluarga dapat pergi ke rumah sakit/puskesmas terdekat apabila ada
gejala yang memberatkan penyakitnya
e. Keluarga harus mendorong/memberikan dukungan pada pasien dalam menaati
program pemulihan kesehatan
DAFTAR PUSTAKA

Bulechek, dkk. 2015. Nursing Intervension Classification. Jakarta: EGC.

Burgener, Francis A & Kormano, Martti. 1997. Bone And Joint Disorder. New
York: Thieme.

Corwin, Elizabeth J. 2009. Patofisiologi: Buku Saku. Jakarta: EGC.

Heather, Herdman. 2015. Diagnosa Keperawatan. Jakarta: EGC

Moorhead, dkk. 2015. Nursing Outcomes Classification. Jakarta: EGC

Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan dengan Gangguan Sistem
Persyarafan. Jakarta: Salemba Medika.

Price, Sylvia A. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.


Jakarta:
EGC.

Ramamurthi, Ravi, et al. 2007. Textbook of Operative Neurosurgery. New Delhi:


BI Publications.

Smeltzer & Bare. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai