Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN PENDAHULUAN TUBERKULOSIS MILIER

DISUSUN OLEH:

SYAIFUL FADHLAN ABRIANSYAH

1811040110

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO

2018/2019
LAPORAN PENDAHULUAN TUBERKULOSIS MILIER

A. PENGERTIAN
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit akibat infeksi kuman Mycobacterium
sistem sehingga dapat mengenai hampir semua organ tubuh, dengan lokasi
terbanyak diparu yang biasanya merupakan lokasi infeksi primer (Arief,
2001:459).
Menurut Crofton (2002) Tuberculosis Milier disebabkan penyebaran TB
dalam jumlah besar melalui aliran darah karena daya tahan pasien lemah untuk
membunuh kuman-kuman tersebut (disebut “milier) karena luka-luka kecil pada
paru tampak sebagai butiran gandum.
Tuberkulosis Milier adalah suatu bentuk tuberkulosa paru dengan terbentuknya
granuloma. Granuloma yang merupakan perkembangan penyakit dengan ukuran
kurang lebih sama kelihatan s eperti biji “Milet” (sejenis gandum) berdiameter
1-2 mm. (Adwin, 2008).
Tuberkulosis Milier adalah jenis tuberculosis yang bervariasi dari infeksi
kronis, progresif lambat sehingga penyakit fulminan akut, ini disebabkan oleh
penyebaran hematogen atau limfogen dari bahan kaseosa terinfeksi kedalam
aliran darah dan mengenai banyak organ dengan tuberkel-tuberkel mirip benih
padi. (Diane,2000).

B. ETIOLOGI
Diperkirakan Tuberkulosis Milier yang terjadi pada orang dewasa
merupakan komplikasi infeksi primer atau TB primer dan TB kronis atau TB
post primer ( Crofton ,2002 :114 ).
• Infeksi Primer
Tuberkulosis primer adalah infeksi bakteri TB dari penderita yang belum
mempunyai reaksi spesifik terhadap bakteri TB. Infeksi primer terjadi saat
seseorang terpapar pertama kali dengan kuman TB. Droplet yang terhirup
sangat kecil ukurannya, sehingga dapat melewati sistem pertahanan
mukosillier bronkus, dan terus berjalan sehinga sampai di alveolus dan
menetap disana. Infeksi dimulai saat kuman TB berhasil berkembang biak
dengan cara pembelahan diri di paru, yang mengakibatkan peradangan di
dalam paru, saluran limfe akan membawa kuman TB ke kelenjar limfe
disekitar hilus paru, dan ini disebut sebagai kompleks primer. Waktu antara
terjadinya infeksi sampai pembentukan kompleks primer adalah 4-6
minggu. Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan terjadinya perubahan
reaksi 3anjang3os dari 3anjang3 menjadi positif. Kelanjutan setelah infeksi
primer tergantung kuman yang masuk dan besarnya respon daya tahan tubuh
(imunitas seluler). Pada umumnya reaksi daya tahan tubuh tersebut dapat
menghentikan perkembangan kuman TB. Meskipun demikian, ada beberapa
kuman akan menetap sebagai kuman persister atau dormant (tidur). Kadang-
kadang daya tahan tubuh tidak mampu mengehentikan perkembangan
kuman, akibatnya dalam beberapa bulan, yang bersangkutan akan menjadi
penderita Tuberkulosis. Masa inkubasi, yaitu waktu yang diperlukan mulai
terinfeksi sampai menjadi sakit, diperkirakan sekitar 6 bulan.
• Tuberkulosis Pasca Primer (Post Primary TB)
Tuberkulosis pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau
tahun sesudah infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh menurun
akibat terinfeksi HIV atau status gizi yang buruk. Ciri khas dari
3anjang3osis pasca primer adalah kerusakan paru yang luas dengan
terjadinya kavitas atau efusi pleura.

C. PATOFISIOLOGI
Infeksi awal karena seorang menghirup basil Mycobacterium. Tuberculosis.
Bakteri menyebar melalui jalan napas menuju alveoli lalu berkembang biak dan
terlihat bertumpuk. Perkembangan Mycobacterium tuberculosis juga dapat
menjangkau sampai ke area lain dari paru-paru (lobus atas). Basil juga menyebar
melalui sistem limfe dan aliran darah ke bagian tubuh lain (ginjal, tulang dan
korteks serebri) dan area lain dari paru-paru (lobus atas). Selanjutnya sistem
kekebalan tubuh memberikan respons dengan melakukan reaksi inflamasi.
Neutrofil dan makrofag melakukan aksi fagositosis (menelan bakteri),
sementara limfosit spesifik tuberculosis menghancurkan (melisiskan) basil dan
jaringan normal. Reaksi jaringan ini mengakibatkan terakumulasinya eksudat
dalam alveoli yang menyebabkan bronkopneumonia. Infeksi awal biasanya
timbul dalam waktu 2 sampai 10 minggu setelah terpapar bakteri. Interaksi
Mycobacterium. Tuberculosis dan sistem kekebalan tubuh pada masa awal
infeksi membentuk sebuah massa jaringan baru yang disebut granuloma.
Granuloma terdiri atas gumpalan basil hidup dan mati yang dikelilingi olah
makrofag seperti dinding. Granuloma selanjutnya berubah bentuk menjadi
massa jaringan fibrosa. Bagian tengah dari massa tersebut disebut ghon tubercle.
Materi yang terdiri atas makrofag dan bakteri menjadi nekrotik yang selanjutnya
membentuk materi yang penampakannya seperti keju (necrotizing caseosa). Hal
ini akan menjadi klasifikasi dan akhirnya membentuk jaringan kolagen,
kemudian bakteri menjadi nonaktif. Setelah infeksi awal, jika respons sistem
imun tidak adekuat maka penyakit akan menjadi lebih parah. Penyakit yang kian
parah dapat timbul akibat infeksi ulang atau bakteri yang sebelumnya tidak
aktif kembali menjadi aktif.
Pada kasus ini, ghon tubercle mengalami ulserasi sehingga menghasilkan
necrotizing caseosa di dalam bronchus. Tuberkel yang ulserasi selanjutnya
menjadi sembuh dan membentuk jaringan parut. Paru-paru yang terinfeksi
kemudian meradang mengakibatkan timbulnya bronkopneumonia, membentuk
tuberkel, dan seterusnya. Pneumonia seluler ini dapat sembuh dengan
sendirinya. Proses ini berjalan terus dan basil terus difagosit atau berkembang
biak di dalam sel. Makrofag yang mengadakan infiltrasi menjadi lebih 4anjang
dan sebagian bersatu membentuk sel tuberkel epiteloid yang dikelilingi oleh
limfosit (membutuhkan 10-120 hari). Daerah yang akan mengalami nekrosis
dan menyebar ke limfa hematogen lama kelamaan akan menyebabkan
Tuberculosis Milier (Mukty, 2000).
D. PATHWAY

Mycobacterium tuberculosis

Terhirup

Saluran pernafasan dan jaringan → mucus berlebih
↓ ↓
Poliferasi kuman bakteri dalam makrofag bersihan jaan nafas tidak efektiv
↓ ↓
Jaringan darah di kaki ← Migrasi ke aliran darah limfatik pola nafas tidak efektif
↓ ↓
Peradangan Antigen M tuberculosis

Nyeri
E. MANIFESTASI KLINIS
Gejala TBC Milier timbul perlahan-lahan dan sifatnya tidak spesifik.
Umumnya Tuberkulosis Milier terjadi dalam waktu 1 tahun setelah infeksi
primer. Adapun gejala TBC Milier berupa: febris, letargi, keringat malam, nafsu
makan berkurang dan berat badan menurun. Febris yang bersifat turun naik
sampai 400C dan berlangsung lama.
Menurut Somantri (2008: 61) secara umum manifestasi klinis pada penderita
tuberkulosis paru:
a. Demam : Sub febris-febris (400 – 410C) hilang timbul
b. Batuk : Terjadi karena adanya iritasi pada bronkus; batuk ini membuang /
mengeluarkan produksi radang, dimulai dari batuk kering sampai batuk purulent
( menghasilkan sputum ).
c. Sesak nafas :Terjadi bila sudah lanjut dimana infiltrasi radang sampai
setengah paru.
d. Malaise : Ditemukan berupa anoreksia, berat badan menurun, sakit kepala,
nyeri otot dan keringat malam hari.

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Laboratorium darah rutin laju endapan darah (LED) normal atau meningkat
b. Foto thorax posterior anterior (PA) menunjukkan adanya gambar badai salju,
bercak granuler milier pada kedua lapangan paru
c. Pemeriksaan sputum bakteri tahan asam (BTA) untuk memastikan diagnosis
TBC milier
d. Pemeriksaan cairan cerebrospinal untuk menunjukkan TBC milier disertai
dengan meningitis.
e. Pemeriksaan biopsi untuk menunjukkan granuloma pada paru

G. KOMPLIKASI
Penyakit TB Paru bila tidak ditangani dengan benar akan menimbulkan
komplikasi, diantaranya :
1. Komplikasi dini : pleuritis, efusi pleura, empiema, faringitis.
2. Komplikasi lanjut :
• Obstruksi jalan nafas, seperti SOPT ( Sindrom Obstruksi Pasca
Tubercolosis)
• Kerusakan parenkim berat, seperti SOPT atau fibrosis paru, Cor pulmonal,
amiloidosis, karsinoma paru, ARDS.

H. PENATALAKSANAAN
Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi dua fase yaitu
1. Fase intensif (2-3 bulan) :
Tujuan tahapan awal adalah membunuh kuman yang aktif membelah
sebanyak-banyaknya dan secepat-cepatnya dengan obat yang bersifat
bakterisidal. Selama fase intensif yang biasanya terdiri dari 4 obat, terjadi
pengurangan jumlah kuman disertai perbaikan klinis. Pasien yang infeksi
menjadi noninfeksi dalam waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien dengan
sputum BTA positif akan menjadi negatif dalam waktu 2 bulan. Menurut The
Joint Tuberculosis Committee of the British Thoracic Society, fase awal
diberikan selama 2 bulan yaitu INH 5 mg/kgBB, Rifampisin 10 mg/kgBB,
Pirazinamid 35 mg/kgBB dan Etambutol 15 mg/kgBB.
2. Fase lanjutan (4-7 bulan).
Selama fase lanjutan diperlukan lebih sedikit obat, tapi dalam waktu yang
lebih panjang. Penggunaan 4 obat selama fase awal dan 2 obat selama fase
lanjutan akan mengurangi resiko terjadinya resistensi selektif. Menurut The
Joint Tuberculosis Committee of the British Thoracic Society fase lanjutan
selama 4 bulan dengan INH dan Rifampisin untuk tuberkulosis paru dan
ekstra paru. Etambutol dapat diberikan pada pasien dengan resistensi terhadap
INH.
Pada pasien yang pernah diobati ada resiko terjadinya resistensi. Paduan
pengobatan ulang terdiri dari 5 obat untuk fase awal dan 3 obat untuk fase
lanjutan. Selama fase awal sekurang-kurangnya 2 di antara obat yang
diberikan haruslah yang masih efektif.
Paduan obat yang digunakan terdiri atas obat utama dan obat tambahan. Jenis
obat utama yang digunakan sesuai dengan rekomendasi WHO adalah
Rifampisin, Isoniazid, Pirazinamid, Streptomisin, dan Etambutol (Depkes RI,
2004).
Untuk program nasional pemberantasan TB paru, WHO menganjurkan
panduan obat sesuai dengan kategori penyakit. Kategori didasarkan pada
urutan kebutuhan pengobatan dalam program. Untuk itu, penderita dibagi
dalam empat kategori sebagai berikut:
1. Kategori I (2HRZE/4H3R3)
Kategori I adalah kasus baru dengan sputum positif dan penderita dengan
keadaan yang berat seperti meningitis, TB milier, perikarditis, peritonitis,
pleuritis massif atau bilateral, spondiolitis dengan gangguan neurologis,
dan penderita dengan sputum negatif tetapi kelainan parunya luas, TB
usus, TB saluran perkemihan, dan sebagainya. Selama 2 bulan minum obat
INH, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol setiap hari (tahap intensif),
dan 4 bulan selanjutnya minum obat INH dan rifampisin tiga kali dalam
seminggu ( tahap lanjutan ).

2. Kategori II ( HRZE/5H3R3E3 )

Kategori II adalah kasus kambuh atau gagal dengan sputum tetap positif.
diberikan kepada :
Penderita kambuh
Penderita gagal terapi
Penderita dengan pengobatan setelah lalai minun obat
3. Kategori III ( 2HRZ/4H3R3 )
Kategori III adalah kasus sputum negatif tetapi kelainan parunya tidak
luas dan kasus TB di luar paru selain yang disebut dalam kategori I.
4. Kategori IV
Kategori IV adalah tuberkulosis kronis. Prioritas pengobatan rendah
karena kemungkinan keberhasilan rendah sekali.
Mekanisme kerja obat anti-tuberkulosis (OAT) :
Aktivitas bakterisidal, untuk bakteri yang membelah cepat
Aktivitas sterilisasi, terhadap the pesisters (bakteri semidormant)
Aktivitas bakteriostatis, obat-obatan yang mempunyai aktivitas
bakteriostatis terhadap bakteri tahan asam.
Menurut Somantri (2008 : 63) jenis dan dosis obat :

a) Isoniazid ( INH)
Bersifat bakterisid dapat membunuh 90% kuman populasi kuman
dalam beberapa hari pertama pengobatan. Obat ini sangat efektif
terhadap kuman dalam metabolik aktif, yaitu kuman yang sedang
berkembang. Dosis harian yang dianjurkan 5 mg/kh BB, efek samping
kejang, anoreksia, malaise, demam, nyeri epigastrik dan
trombositopenik.
b) Rifamfisin
Bersifat bakterisid dapat membunuh kuman semidormant (persistent)
yang tidak dapat dibunuh oleh Isoniazid. Dosis 10 mg/kg BB
diberikan sama untuk pengobatan harian maupun intermitten 3x
seminggu. Efek samping demam, menggigil, anemia hemolitik,
terdapat kerusakan hati yang berat, dan supresi imunitas.
c) Pirazinomid
Bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman yang berada dalam sel
dengan suasana asam. Dosis harian yang dianjurkan 25 mg/kgBB.
Sedangkan untuk pengobatan intermitten 3x seminggu diberikan
dengan dosis 3,5 mg/kgBB. Efek samping gangguan hari, gout
anoreksia, mual-muntah, malaise dan demam.
d) Streptomicin
Bersifat bakterisid, dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kgBB.
Sedangkan untuk pengobatan intermitten 3x seminggu digunakan
dosisi yang sama. Efek samping vertigo, sempoyongan dan dapat
menurunkan fungsi ginjal
e) Etambutol
Bersifat sebagai bakterisiostatik. Dosis harian yang dianjurkan 15
mg/kgBB. Sedangkan untuk pengobatan intermitten 3x seminggu
digunakan dosis 30 mg/kgBB. Efek samping penurunan ketajaman
penglihatan, gout, gatal, nyeri sendi, sakit kepala dan nyeri perut.
Obat harus diberikan dalam kombinasi sedikitnya dua obat yang
bersifat bakterisid dengan atau tanpa obat ketiga. Pengawasan ketat
dalam tahap intensif sangat penting untuk mencegah terjadinya
ketebalan obat, memberikan makanan yang bergizi yaitu makanan
tinggi kalori tinggi protein (TKTP ) agar nutrisi klien terpenuhi.

I. PENCEGAHAN PENYAKIT TBC


Agar orang yang sehat tidak tertular penyakit TBC, ada dua jalan, yaitu
tindakan dari orang yang sehat dan tindakan dari penderita TBC itu sendiri.
Usahakanlah penderita TBC tidak membuang ludah, batuk dan bersin di
sembarang tempat. Ada baiknya dilakukan di tempat yang terkena sinar matahari
langsung. Jadi, seperti yang dikatakan di atas, kamar penderita TBC harus
mendapatkan sinar matahari langsung. Sinar matahari akan membunuh bakteri-
bakteri TBC yang tersebar.
Ada baiknya bagi seorang yang sehat menghindari kontak bicara pada jarak
yang dekat dengan penderita TBC. Atau Anda bisa menggunakan masker, namun
hal ini masih tetap rentan. Bila penderita TBC batuk atau bersin, sebaiknya orang
yang sehat menutup mulut. Satu hal yang perlu diperhatikan, yaitu arah angin.
Jangan sampai angin berhembus mengarah ke orang yang sehat setelah
sebelumnya melalui orang yang menderita TBC. Bukan mencegah arah anginnya,
namun kita yang harus menghindari angin tersebut yang bisa merupakan angin
karena alam atau angin karena kipas angin dll. Ingat, bakteri TBC bisa terbawa
oleh angin.
Jemur tempat tidur penderita TBC di panas matahari langsung, ini untuk
menghindari hidupnya bakteri di tempat tidur tersebut. Pada bayi, jangan pernah
melewatkan imunisasi BCG, ini penting untuk mencegah dari terserangnya
penyakit TBC di kemudian hari.
Dari semua hal-hal diatas, daya tahan tubuh orang yang sehat sangat
berperan dalam mencegah penularan TBC. Karena rasanya sulit untuk
menghindari terhirupnya bakteri TBC di saat tinggal serumah dengan penderita
TBC. Bila seseorang itu memiliki daya tahan tubuh yang kuat, walaupun bakteri
TBC masuk, sistem pertahanan tubuhnya akan memusnahkannya. Apa saja yang
harus dilakukan untuk memiliki daya tahan tubuh yang kuat ini? Tidak lain adalah
rajin berolahraga, konsumsi cukup makanan yang seimbang, terapkan pola hidup
sehat seperti tidur yang cukup dan tidak merokok.

J. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Beberapa diagnosa yang bisa diangkat :
1.Bersihan jalan nafas tak efektif, berhubungkan dengan sekret kental / sekret
darah, upaya batuk buruk, dapat ditandai dengan:
- Frekuensi pernafasan, irama, kedalaman tak normal.
- Bunyi nafas tak normal, ( ronchi, mengi ) stridor.
- Dispnoe.
2 .Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan penurunan permukaan
efektif, atelektasis, kerusakan membran alveolar kapiler, sekret kental, tebal,
dan edema bronchial.
3. Resiko tinggi infeksi ( penyebaran / aktivitas ulang ) berhubungan dengan
pertahanan primer tak adekuat, penurunan kerja silia / statis sekret, penurunan
pertahanan / penekanan proses imflamasi, malnutrisi, kurang pengetahuan
untuk menghindari pemajanan patogen.
4. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan proses peradangan ditandai
dengan peningkatan suhu tubuh (hypertermi).
5. .Resiko regimen terapi berhubungan dengan banyaknya kombinasi obat yang
harus diminum.
DAFTAR PUSTAKA

Sudoyo, Aruw. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid 2 Edisi IV. Jakarta:
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Soeparman dan sarwono Waspadji. 1990. Ilmu Penyakit Dalam jilid 2. Jakarta :
Balai Penerbit FKUI.
http://www.rajawana.com/artikel/kesehatan/264-tuberculosis-paru-tb-paru.html
diakses pada tanggal 16 November 2010
http://jarumsuntik.com/asuhan-keperawatan-dengan-tb-paru diakses pada tanggal
16 November 2010
Somantri, Irma. 2009. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem
Pernapasan.Edisi 2. Jakarta: Salemba Medika William,2008.

Anda mungkin juga menyukai