Anda di halaman 1dari 108

GAMBARAN POST TRAUMATIC STRESS DISORDER

KORBAN BENCANA TANAH LONGSOR DI DUSUN


JEMBLUNG KABUPATEN BANJARNEGARA

SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat
Mencapai Derajat Sarjana

Oleh:
NOVI ISNAINI HIDAYAH
1411020025

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN S1


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
2018
HALAMAN PERSETUJUAN

GAMBARAN POST TRAUMATIC STRESS DISORDER KORBAN


BENCANA TANAH LONGSOR DI DUSUN JEMBLUNG
KABUPATEN BANJARNEGARA

NOVI ISNAINI HIDAYAH


1411020025

Diperiksa dan disetujui :

Pembimbing

Ns. Endiyono, S. Kep, M. Kep


NIK: 2160385

ii
HALAMAN PENGESAHAN

GAMBARAN POST TRAUMATIC STRESS DISORDER


KORBAN BENCANA TANAH LONGSOR DI DUSUN
JEMBLUNG KABUPATEN BANJARNEGARA

NOVI ISNAINI HIDAYAH


1411020025

Telah dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Ujian Skripsi Pada Hari Senin,
tanggal 30 April 2018

SUSUNAN DEWAN PENGUJI

Penguji I Ns. Asiandi S.Kep., M.Sc …………….


NIK. 2160219

Penguji II Ns. Sri Suparti S.Kep., M.Kep …………….


NIK. 2160531

Penguji III Ns. Endiyono S.Kep., M.Kep …………….


NIK. 2160385

Mengetahui:

Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan


Universitas Muhammadiyah Purwokerto

Drs. H. Ikhsan Mujahid, M. Si


NIP. 19650309 199403 1 002

iii
SURAT PERNYATAAN

Bertandatangan dibawah ini, saya:

Nama : Novi isnaini hidayah

NIM : 1411020025

Program Studi : Keperawatan S1

Fakultas/ Universitas : Ilmu Kesehatan / Universitas Muhammadiyah Purwokerto

Menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi ini adalah hasil karya dan

bukan hasil penjiplakan hasil karya orang lain.

Demikian pernyataan ini, dan apabila kelak dikemudian hari terbukti ada

unsur penjiplakan, maka saya bersedia mempertanggung jawabkan sesuai dengan

ketentuan yang berlaku.

Purwokerto, 2 April 2018

Yang menyatakan,

NOVI ISNAINI HIDAYAH


1411020025

iv
MOTTO

“La Tahzan Innallaha Ma’ana”

(Jangan Bersedih Sesungguhnya ALLAH Bersama Kita)

(At-Taubah; 40)

“Wahai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan

hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam

Rombongan hamba-hamba-Ku, dan kemudian masuklah ke

dalam surga-Ku”

(QS Al-Fajr [89]: 27-30)

“Everybody Is Unique, Nobody Is Perfect”

“Problem Is Problem If You Think Is Problem”

v
HALAMAN PERSEMBAHAN

Alhamdulillah, alhamdulillahirobbil’alamin…
Yang utama dari segalanya…
Sembah sujud serta syukur kepada Allah SWT. Taburan cinta dan kasih
sayang-Mu telah memberikanku kekuatan, membelaiku dengan ilmu
serta memperkenalkanku dengan cinta. Atas karunia serta kemudahan
yang Engkau berikan akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan. Sholawat
dan salam selalu terlimpahkan kehariban Rasulullah Muhammad SAW.
Kupersembahkan karya sederhana ini kepada orang yang sangat
kukasihi dan kusayangi.
Mama dan Abah tercinta
Sebagai tanda bakti, hormat, dan rasa terimakasih yang tiada terhingga
kupersembahkan karya kecil ini kepada Mama dan Abah yang telah
memberikanku kasih sayang, segala dukungan, dan cinta kasih yang
tiada terhingga yang tidak mungkin dapat kubalas hanya dengan
selembar kertas yang bertuliskan kata cinta dan persembahan. Semoga
ini menjadi langkah awal untuk membuat Mama dan Abah bahagia
karena kusadar, selama ini belum bisa berbuat yang lebih untuk Mama
dan Abah yang selalu membuatku termotivasi dan selalu memberikan
kasih sayang, selalu mendoakanku, selalu menasehatiku menjadi lebih
baik,
Terimakasih Mama… Terimakasih Abah…
Kakak dan Adikku
Untuk kakak ku mas Aan dan Adikku Deswa tiada yang paling
mengharukan saat kumpul Bersama kalian, walaupun sering bertengkar
tapi hal itu selalu menjadi warna yang tak akan bisa tergantikan,
terimakasih atas doa dan bantuan kalian selama ini, maaf belum bisa
menjadi panutan seutuhnya, tapi aku akan selalu menjadi yang terbaik
untuk kalian semua.
Sahabat-sahabat terbaikku
Untuk sahabat-sahabatku Brian, Deana, Rista, Zanna, Uung, Ade tias,
dan Anita terimakasih atas bantuan doa, nasehat, hiburan dan semangat
yang diberikan selama ini. Teman-teman keperawatan S1 kelas A
angkatan 2014 senasib seperjuangan dan sepenanggungan terimakasih
atas gelak tawa dan solidaritas yang luar biasa kurang lebih 4 tahun
kebersamaan. Tidak terasa kita akan mengenakan toga diatas kepala.
Semoga kita semua selalu dalam lindungan-Nya dan meraih cita-cita
yang kita inginkan, Aamiin…

vi
GAMBARAN POST TRAUMATIC STRESS DISORDER KORBAN

BENCANA TANAH LONGSOR DI DUSUN JEMBLUNG KABUPATEN

BANJARNEGARA

Novi isnaini hidayah1, Endiyono2

ABSTRAK

Latar Belakang: Bencana tanah longsor merupakan bencana alam yang dapat
memberikan dampak yang negatif bagi penyintas bencana tanah longsor. Dampak
yang ditimbulkan baik berupa dampak fisik, sosial, lingkungan maupun dampak
psikologis. Dampak psikologis yang ditimbulkan setelah bencana yaitu Post
Traumatic Stress Disorder (PTSD) yang menunjukkan beberapa gejala berupa Re-
experiencing, Avoidance, Negative alteration in mood and cognition, dan
Hyperarousal.
Tujuan: mengetahui gambaran Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) pada
korban bencana tanah longsor.
Metode: Jenis penelitian ini menggunakan penelitian kuantitatif dan rancangan
penelitian yang digunakan adalah deskripsi kuantitatif dengan pendekatan Cross
sectional. Teknik sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik total
sampling, sampel dalam penelitian ini berjumlah 38 responden. Analisa data
menggunakan analisis univariat untuk mengetahui karakteristik responden yang
meliputi umur, pekerjaan, jenis kelamin, agama, suku, Pendidikan, usia saat
terjadi bencana dan gambaran gejala Post Traumatic Stress Disorder (PTSD).
Hasil Penelitian: mayoritas responden yang mengalami PTSD berusia 26-45
tahun (dewasa) sebanyak 42,1% dan berjenis kelamin perempuan sebanyak
60,5%. 100% responden beragama islam dan bersuku jawa, responden yang
berpendidikan setingkat SD mendominasi status pendidikan responden yang
berjumlah 68,4% dan mayoritas responden berprofesi sebagai petani/buruh tani
sebanyak 34,2%. Dewasa yang mengalami semua tanda dan gejala PTSD
sebanyak 78,9 %. Dari pengelompokkan tanda dan gejala di dominasi oleh gejala
Negartive alteration in mood and cognition sebanyak 100%, Re-experiencing
sebanyak 97,4% dan Avoidance sebanyak 97,4%
Kesimpulan: sebagian besar responden mengalami Post Traumatic Stress
Disorder (PTSD).
Kata kunci: Post Traumatic Stress Disorder (PTSD), Bencana tanah longsor

1
Mahasiswa Program Studi Keperawatan S1 Universitas Muhammadiyah
Purwokerto
2
Dosen Pembimbing Studi Keperawatan S1 Universitas Muhammadiyah
Purwokerto

vii
DESCRIBING TRAUMATIC STRESS DISORDER OF LANDSLIDE
DISASTER VICTIMS IN JEMBLUNG VILLAGE OF
BANJARNEGARA REGENCY

Novi isnaini hidayah1, Endiyono2

ABSTRACT

Background: Landslide is a natural disaster that can have physical, social,


environmental and psychological negative impacts on landslide survivors. The
psychological impact of Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD) shows some
symptoms of Re-experiencing, Avoidance, Negative alteration in mood and
cognition, and Hyperarousal.
Objective: To figure out Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD) description of
the landslide disaster victims.
Method: This study was a quantitative research with Cross sectional approach.
Samples of study were 38 respondents taken by using total sampling technique.
Data of this study were analysed by using univariate analysis to know the
characteristics of respondents covering age, occupation, gender, religion,
ethnicity, education, age when disaster happened and description of Post-
Traumatic Stress Disorder (PTSD) symptoms.
Result: Majority of the respondents having PTSD were 26-45 years old (adults).
There were 42,1 % male and 60,5% female. All the respondents were moslem and
Javanese.68,4% of them studied in primary level and 34,2% of them work as
farmers/farm labourers. There were 78,9% having all signs and symptoms of
PTSD dominated by simptoms of Negative alteration in mood and cognition
(100%), Re-experiencing (97,4%), avoidance (97,4%) and hyperarousal (84,2%).
Conclusion: Most respondents having Post Traumatic Stress Disorder (PTSD).
Keywords: Post Traumatic Stress Disorder (PTSD), Lanslide disaster

1
Student of Nursing Science Program Faculty of Health Sciences University of
Muhammadiyah Purwokerto
2
Lecturer at the Faculty of Health Sciences University of Muhammadiyah
Purwokerto

KATA PENGANTAR

viii
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, berkat rahmat

dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Gambaran

Post Traumatic Stress Disorder Korban Bencana Tanah Longsor di Dusun

Jemblung Kabupaten Banjarnegara”. Skripsi ini disusun untuk memenuhi sebagai

syarat memperoleh gelar sarjana, Program Studi S1 Ilmu Kesehatan, Universitas

Muhammadiyah Purwokerto.

Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai

pihak, skripsi ini tidak mungkin dapat terselesaikan dengan baik. Oleh karena itu,

penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Drs. Samsuhadi Irsyad, S. H., M.Hum, Rektor Universitas Muhammadiyah

Purwokerto yang telah membuat keputusan dalam penulisan skripsi ini.

2. Drs. Ikhsan Mujahid, M.Si, Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas

Muhammadiyah Purwokerto yang telah menyetujui penulisan skripsi ini.

3. Ns. Sri Suparti, S.Kep, M.Kep selaku Ketua Program Studi Ilmu Keperawatan

S1 dan dosen penguji II.

4. Ns. Endiyono, S.Kep, M.Kep selaku pembimbing skripsi di Fakultas Ilmu

Kesehatan Universitas Muhammadiyah Purwokerto.

5. Ns. Asiandi, S.Kep, M.Sc selaku penguji I

6. Seluruh dosen dan staf akademik Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas

Muhammadiyah Purwokerto, terima kasih atas ilmu pengetahuan yang telah

disalurkan selama ini.

ix
7. Dusun Rata Suren Desa Ngambal Kec. Karangkobar Kabupaten Banjarnegara

yang telah bersedia berpartisipasi selama proses studi pendahuluan serta ikut

mendukung penelitian ini.

8. Kedua orang tua yaitu Bapak dan Ibu, Kakak dan adikku. Mereka adalah

keluargaku yang tak henti-hentinya memberikan dukungan baik moril maupun

materil dan Do’a yang selalu dipanjatkan kepada Allah SWT demi kelancaran

penulis selama di Fakultas Ilmu Kesehatan Keperawatan S1 Universitas

Muammadiyah Purwokerto.

9. Semua sahabat seperjuangan yang saya banggakan dan almamaterku, terima

kasih atas dukungan tiada henti sampai terselesaikannya skripsi ini.

10. Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan yang turut membantu

terselesaikannya skripsi ini.

Semoga Allah SWT memberikan limpahan rahmat-Nya kepada mereka, dan

kelak mendapatkan balasan yang lebih baik dan lebih banyak dari-Nya.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna karena

faktor keterbatasan yang ada dalam diri penulis. Maka dengan kerendahan hati,

kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan untuk

kesempurnaan skripsi ini.

Purwokerto, 4 April 2018

Penulis

x
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i


HALAMAN PERSETUJUAN .................................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................... iii
SURAT PERNYATAAN ............................................................................ iv
MOTTO ........................................................................................................ v
HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................. vi
ABSTRAK .................................................................................................. vii
KATA PENGANTAR ................................................................................. ix
DAFTAR ISI ................................................................................................ xi
DAFTAR TABEL ...................................................................................... xii
DAFTAR BAGAN..................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................. xv
BAB 1 PENDAHULUAN ............................................................................ 1
A. Latar Belakang ................................................................................... 1
B. Perumusan Masalah............................................................................ 6
C. Tujuan Penelitian................................................................................ 7
D. Manfaat Penelitian ............................................................................. 8
E. Keaslian Penelitian ............................................................................. 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................ 17
A. Bencana ........................................................................................... 17
B. Respon Stress .................................................................................. 19
C. Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) ........................................ 21
D. Kerangka Teori ............................................................................... 35
E. Kerangka Konsep ............................................................................ 39
BAB III METODE PENELITIAN ........................................................... 40
A. Desain Penelitian ............................................................................ 40
B. Lokasi dan Waktu Penelitian .......................................................... 40
C. Populasi dan Sampel ....................................................................... 40
D. Variabel dan Definisi Operasional .................................................. 41

xi
E. Instrumen Penelitian ....................................................................... 42
F. Uji Validitas dan Uji Reliabilitas .................................................... 44
G. Prosedur Penelitian ......................................................................... 44
H. Analisis Data ................................................................................... 47
I. Etika Penelilitian ............................................................................. 47
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN.......................... 49
A. Hasil Penelitian ............................................................................... 49
B. Pembahasan ..................................................................................... 54
C. Keterbatasan dalam Penelitian ........................................................ 67
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................... 68
A. Kesimpulan ...................................................................................... 68
B. Saran ................................................................................................. 69
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

xii
DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Definisi Operasional ........................................................................ 41

Tabel 3.2 Kisi-kisi Kuisioner ........................................................................... 43

Tabel 4.1 Distribusi frekuensi data demografi ................................................. 49

Tabel 4.2 Distribusi frekuensi dan persentase tanda gejala PTSD karakteristik

responden ......................................................................................... 50

Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi dan Persentase gambaran gejala PTSD .......... 53

xiii
DAFTAR BAGAN

Gambar 2.1 Kerangka Teori ............................................................................. 38

Gambar 2.2 Kerangka Konsep ......................................................................... 39

xiv
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Lembar Konsultasi Proposal Skripsi

Lampiran 2 Surat Permohonan ijin pengambilan data awal (BPBD Banjarnegara)

Lampiran 3 Surat Permohonan Ijin Penelitian

Lampiran 4 Surat Rekomendasi Penelitian (BAPEDA Kabupaten Banjarnegara)

Lampiran 5 Surat Permohonan Menjadi Responden

Lampiran 6 Surat Pengesahan Terjemahan Judul Skripsi

Lampiran 7 Lembar Informed Consent

Lampiran 8 Kuesioner Data Demografi

Lampiran 9 Kuesioner Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)

Lampiran 10 Hasil Penelitian Data Demografi

Lampiran 11 Hasil Penelitian Post Traumatic Stres Disorder (PTSD)

Lampiran 12 Lembar Persetujuan Perbaikan Ujian Proposal

Lampiran 13 Lembar Persetujuan Perbaikan Ujian Hasil

Lampiran 14 Foto Dokumentasi Penelitian

xv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan

mengganggu kehidupan serta penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik

oleh faktor alam dan/ atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga

mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan,

kerugian harta benda, dan dampak psikologis (Undang-undang No.24 tahun

2007 tentang penanggulan bencana).

Letak geografis dan geologis wilayah kepulauan Indonesia berada pada

daerah yang mempunyai aktivitas gempa yang cukup tinggi. Oleh karena

letak geografis dan geologi menjadikan Indonesia sebagai wilayah yang

rawan akan ancaman bermacam-macam bencana alam seperti banjir, gempa

bumi, tsunami, tanah longsor dan erupsi gunung berapi (Pratiwi, 2010).

Badan Nasioanl Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat ada 2.341

bencana sepanjang tahun 2017. Dari 2.341 kejadian tersebut, telah merenggut

sebanyak 377 nyawa manusia. Dari sebaran bencana, daerah yang paling

banyak terjadi bencana adalah di Jawa Tengah (600 kejadian), Jawa Timur

(419), Jawa Barat (316), Aceh (89) dan Kalimantan Selatan (57). Sedangkan

untuk Kabutapen/ Kota, daerah yang paling banyak terjadi bencana adalah

Kabupaten Bogor (79), Cilacap (72), Ponorogo (50), Temanggung (46),

Banyumas (45). Kejadian bencana tersebut terdiri dari 787 banjir, 716 puting

beliung, 614 tanah longsor, dan 96 kebakaran hutan dan lahan, bencana-

1
2

bencana tersebut 99% adalah bencana hidrometeorologi, yaitu bencana yang

dipengaruhi oleh cuaca dan aliran permukaan. BNPB juga mencatat 377

orang meninggal dan hilang, 1.005 orang luka-luka dan 3.494.319 orang

mengungsi dan menderita (Firmansyah, 2017).

Sejak 2014 hingga 2017, bencana tanah longsor adalah bencana yang

paling mematikan dan banyak menimbulkan korban jiwa bahkan seringkali

longsor kecil pun dapat menyebabkan satu keluarga meninggal dunia. Hal ini

disebabkan lantaran jutaan masyarakat tinggal di daerah-daerah yang rawan

longsor ditambah kemampuan mitigasi yang belum memadai (Firmansyah,

2017).

Menurut Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang

Penanggulangan Bencana menyebutkan, tanah longsor merupakan salah satu

jenis gerakan massa tanah atau batuan, ataupun percampuran keduanya,

menuruni atau keluar lereng akibat terganggunya kestabilan tanah atau batuan

penyusun lereng.

Dampak yang ditimbulkan dari tanah longsor adalah kerugian pada

kehidupan manusia dan memburuknya derajat kesehatan baik dari segi fisik

maupun non-fisik. Bentuk kerugian yang secara non-fisik seperti trauma

terhadap peristiwa yang pernah dialami merupakan salah satu dampak

psikologis yang sering ditemui pada masyarakat korban bencana alam

adalah Post Traumatic Stress Disorder (PTSD).

Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) sebenarnya muncul sebagai

manifestasi dari pengalaman mengerikan. Penderitanya adalah mereka yang


3

merupakan korban hidup yang secara fisik selamat, tetapi secara mental

masih berada dalam tekanan psikologis dan terus-menerus berada dalam

keadaan tersebut (Hartuti, 2009). Individu dengan Post Traumatic Stress

Disorder (PTSD) akan mengalami ansietas dan selalu teringat trauma melalui

memori, mimpi atau reaksi terhadap isyarat internal tentang peristiwa yang

terkait dengan trauma. Gangguan ini dapat terjadi pada semua usia, termasuk

anak-anak, remaja, dewasa dan lansia (Videback, 2008).

Parkinson (2000) menjelaskan bahwa peristiwa traumatis dapat terjadi

pada saat bencana terjadi hingga bencana telah berlalu, dalam kondisi

terakhir ini yang disebut dengan PTSD, artinya bahwa peristiwa

berkepanjangan yang dialami dari bencana tanah longsor dan dampak yang

diakibatkan yang saat ini dirasakan para penyintas tentu saja

meninggalkan kesan yang mendalam pada ingatan para penyintas dan

kesan tersebut akan menimbulkan persoalan baru dengan munculnya

berbagai macam gangguan psikologis. Kenyataan yang ada di lapangan

menunjukkan masih banyak terdapat penyintas bencana tanah longsor yang

mengalami trauma berkepanjangan setelah peristiwa bencana tersebut.

Trauma yang ditinggalkan akan terus hidup dalam diri penyintas yang

mengalami langsung peristiwa mengerikan tersebut, tanpa penanganan

kejiwaan secara terpadu maka akan muncul kecenderungan PTSD.

PTSD merupakan suatu sindrom yang dialami oleh seseorang yang

mengalami kejadian traumatik. Kondisi demikian akan menimbulkan

dampak psikologis berupa gangguan perilaku mulai dari cemas yang


4

berlebihan, mudah tersinggung, tidak bisa tidur, tegang, dan berbagai reaksi

lainnya. Gangguan stress pasca trauma (PTSD) kemungkinan berlangsung

berbulan-bulan, bertahun-tahun atau sampai beberapa dekade dan mungkin

baru muncul setelah beberapa bulan atau tahun setelah adanya pemaparan

terhadap peristiwa traumatik (Durand & Barlow, 2006).

Dalam DSM-IV-TR dinyatakan bahwa gejala PTSD yang ditemukan

menggambarkan suatu stress yang terjadi berbulan-bulan bahkan bertahun-

tahun (APA, 2000). Gajala-gejala PTSD dapat mulai muncul satu minggu

hingga tiga puluh tahun setelah peristiwa traumatik ekstrem. Gejala- gejala

tersebut dapat hilang timbul sepanjang hidup penderita, sehingga

mengganggu fungsi kerja dan keefektifan hidup. Meskipun tidak diobati dan

ditangani dengan benar, ada sekitar 30% pasien Post Traumatic Stress

Disorder (PTSD) yang sembuh sendiri. Namun, ada sekitar 40% yang terus-

menerus bahkan mengalami berbagai gejala dalam tingkat sedang dan 10%

akan terus-menerus mengalami berbagai gejala dalam tingkat berat (Sadock

& sadock, 2007). Hal serupa dinyatakan oleh badan kesehatan dunia (WHO)

yang memperkirakan bahwa dalam setiap bencana, sebanyak 50% korban

selamat akan mengalami Post Traumatic Stress Disorder (PTSD). Diantara

mereka yang mengalami, sebanyak 5-10% akan mengalam manifestasi yang

berat, Bahkan ada pakar yang menyebutkan angka ini mencapai 10-20%

(Hartuti, 2009).

Navarro-Mateu (2017) pada penelitian yang dilakukan di Spain

menunjukkan Sejumlah 412 peserta (tingkat tanggapan: 71%) diwawancarai.


5

Perbedaan signifikan dalam prevalensi mental 12 bulan ditemukan

dibandingkan dengan jumlah lainnya untuk setiap (12,8% vs 16,8%), PTSD

(3,6% vs 0,5%) dan gangguan kecemasan lainnya (5,3% vs 9,2%). Hal ini

menunjukkan bahwa walaupun sudah beberapa tahun setelah terjadinya

bencana, tetapi masalah gangguan mental masih dialami oleh masyarakat

lorca maupun Murcia.

Begitu pula hasil penelitian yang dilakukan oleh Sonpaveerawong (2017)

di Thailand dalam penelitiannya tentang korban selamat dari bencana tanah

longsor. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa tingkat prevalensi

kemungkinan Post Traumatic Stress Disorder (PTSD), kemungkinan depresi

dan tekanan psikologis, dan risiko bunuh diri masing-masing adalah 44,48%,

31,29%, 29,45%, dan 17,18%. Dari hasil tersebut dapat menunjukkan bahwa

kemungkinan terjadinya PTSD pada korban selamat setelah bencana sangat

tinggi.

Hasil penelitian dari Groome dan Soureti (2004) menunjukkan Lima

bulan setelah gempa bumi di Athena gejala PTSD dan kecemasan

berhubungan secara signifikan dengan kedekatan dengan pusat gempa,

keterpaparan terhadap ancaman dan jenis kelamin perempuan. Usia tidak

memiliki efek utama yang signifikan terhadap kecemasan atau gejala PTSD,

namun ada interaksi yang signifikan antara usia dan variabel utama lainnya.

Di wilayah yang paling dekat dengan pusat gempa, anak-anak termuda

melaporkan nilai gejala PTSD dan kegelisahan tertinggi, namun pada


6

kelompok yang paling jauh dari episenter, anak-anak yang lebih tua

melaporkan nilai gejala PTSD dan kegelisahan tertinggi.

Bencana tanah longsor yang melanda Dusun Jemblung, Desa Sampang,

Kecamatan Karangkobar, Kabupaten Banjarnegara pada Hari Jumat, 12

Desember 2014 menimbun sekitar 35 rumah, mengakibatkan kerugian harta

benda dan korban jiwa. Setelah dilakukan studi pendahuluan pada tanggal 22

desember 2017 terkait data korban bencana tanah longsor menurut Badan

Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Banjarnegara (BPBD)

menyebutkan bahwa jumlah korban bencana tanah longsor yang mengalami

trauma fisik atau tidak berjumlah 117 jiwa, korban meninggal dunia

berjumlah 125 jiwa, dan 20 korban tidak ditemukan (BPBD, 2017). Hal ini

tentu saja menimbulkan dampak psikologis yang tidak ringan bagi warga di

daerah bencana.

Berdasarkan hal-hal yang telah dipaparkan dan data-data korban bencana

tanah longsor yang telah disebutkan diatas mendorong peneliti untuk

melakukan penelitian tentang bagaimanakah gambaran Post Traumatic Stress

Disorder (PTSD) korban bencana tanah longsor di dusun jemblung

banjarnegara yang dalam hal ini PTSD with delyed onset, yaitu tanda dan

gejala PTSD yang muncul setelah 4 tahun setelah bencana tanah longsor di

Dusun Jemblung.

B. Perumusan Masalah

Dalam setiap bencana pasti akan menimbulkan dampak, baik dampak

fisik, dampak sosial maupun dampak psikologi. Bencana yang besar


7

merupakan salah satu faktor risiko yang dapat menyebabkan terjadinya Post

Traumatic Stress Disorder (PTSD) bagi korban bencana tersebut, baik anak-

anak, remaja, dewasa maupun lansia.

Bencana tanah longsor yang terjadi di Dusun Jemblung Kabupaten

Banjarnegara merupakan bencana tanah longsor yang paling besar di

Banjarnegara yang memakan banyak korban sehingga tidak menutup

kemungkinan korban tersebut akan mengalami gejala Post Traumatic Stress

Disorder (PTSD).

Berdasarkan penjelasan masalah yang dijelaskan dalam latar belakang di

atas, tentang dampak yang terjadi pada korban pasca tanah longsor, maka

rumusan masalah pada penelitian ini adalah “Bagaimanakah gambaran Post

Traumatic Stress Disorder (PTSD) korban tanah longsor di Dusun Jemblung

Kabupaten Banjarnegara?”

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran Post Traumatic Stress

Disorder (PTSD) pada korban tanah longsor di Dusun Jemblung

Banjarnegara.

2. Tujuan Khusus

a. Mengidentifikasi Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) berdasarkan

karakteristik demografi pada korban tanah longsor di Dusun Jemblung

Banjarnegara.
8

b. Mengetahui tanda gejala yang timbul pada Korban Post Trauma Stress

Disorder (PTSD) pada korban bencana tanah longsor di Dusun Jemblung

Banjarnegara.

c. Mengidentifikasi korelasi faktor risiko terjadinya PTSD pada korban

bencana tanah longsor di Dusun Jemblung Kabupaten Banjarnegara.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Peneliti

Menambah pengetahuan dan wawasan peneliti tentang gambaran Post

Traumatic Stress Disorder (PTSD) pada korban bencana tanah longsor di

Dusun Jemblung Banjarnegara.

2. Bagi Responden

Peneliti berharap penelitian ini dapat bermanfaat bagi responden sebagai

informasi mengenai gambaran Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) pada

korban tanah longsor di Dusun Jemblung Banjarnegara.

3. Bagi Ilmu Pengetahuan

Diharapkan dapat berguna sebagai referensi bagi yang hendak meneliti lebih

lanjut mengenai gambaran Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) pada

korban tanah longsor di Dusun Jemblung Banjarnegara.

4. Bagi Instansi Terkait

Diharapkan hasil penelitian ini dijadikan pengambilan kebijakan bagi badan

penanggulangan bencana daerah untuk dapat memperhatikan dampak

psikologis yang dapat timbul akibat bencana.


9

E. Keaslian Penelitian

Penelitian dengan judul “Gambaran Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)

Pada Korban Tanah Longsor di Dusun Jemblung Kabupaten Banjarnegara”

belum pernah dilakukan sebelumnya. Akan tetapi, ada penelitian sejenis yang

relevan dengan penelitian ini, yaitu:

1. Sonpaveerawong (2017)

Dengan judul penelitian “Prevalence of Psychological Distress ang Mental

Health Problems Among the Survivors in The Flash Floods and Landslide

in Southern Thailand”. Jumlah sampel korban selamat di provinsi Nakhon

Si Thammarat yang berjumlah 326 orang. Berdasarkan uji statistic

deskriptif, analisis korelasi dan model regresi logistic biner diterapkan

pada data yang mewakili demografi, kerusakan fisik, dampak kesehatan

mental. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat pravelensi

kemumgkinan Post Traumatic Stress Disorder (PTSD), kemungkinan

depresi dan tekanan psikologis, risiko bunuh diri, dan masalah alkohol

masing-masing adalah 44,48%, 31,29%, 29,45%, 17,18%, dan 4,60%.

Hasil ini menunjukkan bahwa kemungkinan terjadinya PTSD pada korban

selamat setelah bencana sangat tinggi.

2. Catapano et al. (2001)

Dengan judul penelitian “Psychological Consequences of the 1998

Landslide in Sarno, Italy: A Community Study”. Jumlah sampel yang

berasal dari populasi yang tinggal di daerah risiko tertinggi di Sarno, dan

kleompok kontrol yang direkrut di sebuah kota kecil yang terletak di dekat
10

daerah bencana. Hasil penelitian menunjukkan dari sampel yang direkrut

di Sarno, 27,6 % memenuhi kriteria DSM- IV untuk PTSD. Dari penelitian

tersebut menunjukkan bahwa tanah longsor menimbulkan dampak

negative terhadap kesehatan mental, dan kebutuhan akan intervensi

preventif.

3. Navarro-Mateu et al. (2017)

dengan judul penelitian “Post-traumatic stress disorder and other mental

disorders in the general population after Lorca’s earthquakes, 2011

(murcia, spain): A cross-sectional study”. Temuan ini menunjukkan

Sejumlah 412 peserta (tingkat tanggapan: 71%) diwawancarai. Perbedaan

signifikan dalam prevalensi mental 12 bulan ditemukan di Lorca

dibandingkan dengan jumlah lainnya di Murcia untuk setiap (12,8% vs

16,8%), PTSD (3,6% vs 0,5%) dan gangguan kecemasan lainnya (5,3% vs

9,2%) p≤ 0,05 untuk semua). Tidak ada perbedaan yang ditemukan untuk

prevalensi 12 bulan dari setiap suasana hati atau kelainan zat apapun. Dua

prediktor utama untuk mengembangkan gangguan mental pasca gempa 12

bulan adalah gangguan mental sebelumnya dan tingkat keterpaparan.

Faktor risiko lainnya termasuk jenis kelamin perempuan dan pendapatan

rata-rata rendah.

4. Groome dan Sureti (2004)

Dengan judul penelitian “Post-traumatic stress disorder and anxiety

symptoms in children exposed to the 1999 greek earthquake” temuan ini

menunjukkan Lima bulan setelah gempa bumi di Athena pada bulan


11

September 1999, 178 anak-anak dari tiga distrik di Athena dengan jarak

yang jauh dari pusat gempa diberi kuesioner untuk mengidentifikasi gejala

gangguan stres pasca trauma (PTSD), kecemasan dan tingkat ancaman

pribadi yang dialami. Ditemukan bahwa gejala PTSD dan kecemasan

berhubungan secara signifikan dengan kedekatan dengan pusat gempa,

keterpaparan terhadap ancaman dan jenis kelamin perempuan. Usia tidak

memiliki efek utama yang signifikan terhadap kecemasan atau gejala

PTSD, namun ada interaksi yang signifikan antara usia dan variabel utama

lainnya. Di wilayah yang paling dekat dengan pusat gempa, anak-anak

termuda melaporkan nilai gejala PTSD dan kegelisahan tertinggi, namun

pada kelompok yang paling jauh dari episenter, anak-anak yang lebih tua

melaporkan nilai gejala PTSD dan kegelisahan tertinggi. Temuan ini

dibahas sehubungan dengan keterpaparan langsung dan media terhadap

gempa.

5. Dai et al. (2017)

Dengan judul penelitian “Long-term psychological outcomes of

flood survivors of hard-hit areas of the 1998 dongting lake flood in china:

Prevalence and risk factors” temuan ini menunjukkan Meskipun banyak

penelitian telah menunjukkan bahwa paparan terhadap bencana alam dapat

meningkatkan risiko orang-orang yang selamat dari gangguan stres pasca-

trauma (PTSD) dan kecemasan, penelitian yang berfokus pada hasil

psikologis jangka panjang korban banjir terbatas. Dengan demikian,

penelitian ini bertujuan untuk memperkirakan prevalensi PTSD dan


12

kecemasan di antara korban banjir 17 tahun setelah banjir danau Dongting

pada tahun 1998 dan untuk mengidentifikasi faktor risiko PTSD dan

kegelisahan.

Penelitian cross-sectional ini dilakukan pada bulan Desember

2015, 17 tahun setelah banjir Danau Dongting tahun 1998. Korban selamat

di daerah yang terkena dampak bencana banjir dilibatkan dalam penelitian

ini dengan menggunakan metode sampling acak terstratifikasi dan

sistematis. Penyelidik yang memenuhi syarat dengan baik melakukan

wawancara tatap muka dengan para peserta yang menggunakan daftar

PTSD Checklist-Civilian, Zinc Self-Rating Anxiety Scale, Skala Penilaian

Nilai Dukungan Sosial China dan Kuesioner Kepribadian Eysenck yang

Direvisi - Bahasa China untuk menilai PTSD, kecemasan, dukungan sosial

dan ciri kepribadian masing-masing. Analisis regresi logistik digunakan

untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang terkait dengan PTSD dan

kecemasan. Sebanyak 325 peserta direkrut dalam penelitian ini, dan

prevalensi PTSD dan kecemasan masing-masing 9,5% dan 9,2%. Analisis

regresi logistik multivariabel menunjukkan bahwa jenis kelamin

perempuan, yang mengalami setidaknya tiga penyebab stres akibat banjir,

memiliki tingkat dukungan sosial yang rendah, dan memiliki sifat

ketidakstabilan emosional adalah faktor risiko untuk dampak psikologis

jangka panjang di antara korban banjir setelah bencana. PTSD dan

kecemasan merupakan hasil psikologis jangka panjang yang merugikan

antara korban banjir. Intervensi psikologis dini dan efektif untuk korban
13

banjir diperlukan untuk mencegah pengembangan PTSD dan kegelisahan

dalam jangka panjang setelah banjir, terutama bagi individu yang

perempuan, mengalami setidaknya tiga penyebab stres akibat banjir,

memiliki tingkat dukungan sosial yang rendah dan memiliki sifat

ketidakstabilan emosional.

6. Zhang, Wang, Shi, Wang, dan Zhang (2012)

Dengan judul penelitian “Mental health problems among the

survivors in the hard-hit areas of the yushu earthquake” temuan ini

menunjukkan Pada tanggal 14 April 2010, sebuah gempa bumi yang

mencatat 7.1 skala Richter mengguncang Provinsi Qinghai di Cina barat

daya. Gempa tersebut menyebabkan banyak korban jiwa dan banyak

kerusakan. Pusat gempa, Yushu County, mengalami kerusakan paling

parah. Sebagai bagian dari pekerjaan bantuan psikologis, penelitian ini

mengevaluasi status kesehatan mental orang-orang yang terkena dampak

dan mengidentifikasi faktor risiko gangguan jiwa yang terkait dengan

gempa bumi. Lima ratus lima korban selamat tinggal di Kabupaten Yushu

diselidiki 3-4 bulan setelah gempa.

Data demografis peserta meliputi jenis kelamin, usia, status

perkawinan, etnisitas, tingkat pendidikan, dan kepercayaan agama

dikumpulkan. Indikator Eksposur Trauma Gempa Spesifik menilai

intensitas terpaan trauma selama gempa. The PTSD Checklist-versi Sipil

(PCL-C) dan Hopkins Gejala Daftar-25 (HSCL-25) menilai gejala dan

tingkat prevalensi Kemungkinan Posttraumatic Stress Disorder (PTSD)


14

serta kecemasan dan depresi, masing-masing. Skala Dukungan Sosial

Perceived (PSSS) mengevaluasi dukungan sosial subjektif. Tingkat

prevalensi kemungkinan PTSD, kecemasan, dan depresi masing-masing

adalah 33,7%, 43,8% dan 38,6%. Sekitar seperlima peserta menderita dari

ketiga kondisi tersebut. Individu yang menjadi perempuan, merasakan

ketakutan awal saat terjadi gempa, dan dukungan sosialnya kurang

cenderung memiliki kesehatan mental yang buruk. Studi ini

mengungkapkan bahwa ada masalah mental yang serius di antara korban

selamat gempa Yushu. Korban selamat yang berisiko tinggi mengalami

gangguan jiwa harus dipertimbangkan secara spesifik. Penelitian ini

memberikan informasi yang berguna untuk membangun kembali dan

memberi bantuan.

7. Subagyo (2016)

Dengan judul penelitian “Pemulihan PTSD dengan play therapy pada anak-

anak korban bencana tanah longsor di kabupaten Banjarnegara” temuan ini

menunjukkan Anak sebagai korban bencana yang rentan mengalami Post

Traumatic Stress Disorder (PTSD) perlu mendapat penanganan yang serius

agar akibat yang ditimbulkan tidak berkepanjangan dan dapat menghambat

perkembangannya. Salah satu bentuk intervensi yang dapat diterapkan

yaitu terapi bermain (play therapy). Penelitian ini bertujuan mengetahui

gejala PTSD dan pengaruh play therapy terhadap PTSD pada anak-anak

korban bencana tanah longsor di Kabupaten Banjarnegara. Desain

penelitian menggunakan quasy experiment preposttest with control group.


15

Sampel penelitian ini adalah pada anak anak korban bencana tanah longsor

usia 4-12 tahun yang mengalami gangguan psikologis pasca bencana.

Metode sampling yang digunakan adalah total sampling. Analisis data

dengan pair t test. Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan

signifikan kelompok intervensi dengan skor PTSD sebelum dan sesudah

play therapy (p 0,001). Pada kelompok kontrol tidak terdapat perbedaan

signifikan skor PTSD sebelum dan sesudah play therapy (p 0,163). Saran

penelitian adalah terapi bermain dapat dijadikan sebagai salah satu program

penanganan dampak psikologis anak korban bencana, dan lingkungan

tempat tinggal anak perlu menyediakan sarana permainan untuk anak yang

disesuaikan budaya setempat.

8. Purborini (2017)

Dengan judul penelitaian “gambaran kondisi psikososial masyarakat lereng

merapi pasca 6 tahun erupsi gunung merapi” temuan ini menunjukkan

gambaran kondisi psikososial di masyarakat yangtinggal di dekat Gunung

Merapi. Metode yang digunakan dalam Penelitian ini bersifat deskriptif

dengan menggunakan metode cross-sectional. Penelitian ini dilakukan

dengan menggunakan kuesioner untuk mengumpulkan data psikososial.

Responden dalam penelitian ini berjumlah 50 orang. Berdasarkan

hasil,74% responden mengalami trauma ringan dan 58% responden berada

wanita. Sekitar 12 responden (24%) berusia lanjut. Dalam Pengalaman

trauma, wanita memiliki angka lebih tinggi dibanding pria. Kesimpulan

dari penelitian ini adalah dalam 6 tahun setelah letusan Gunung Merapi,
16

masih ada beberapa masalah psikososial yang terjadi di masyarakat yang

hidup dekat Gunung Merapi.

9. Gulo (2015)

Dengan judul penelitian “Gambaran Post Traumatic Stress Disorder

(PTSD) Remaja Teluk Dalam Pasca 8 Tahun Bencana Gempa Bumi Pulau

Nias” dalam penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi PTSD pada

remaja Teluk Dalam Nias pasca 8 tahun bencana gempa bumi di Pulau

Nias. Penelitian in menggunakan desain deskriptif analitik, dengan jumlah

sampel sebanyak 396 orang, dengan metode sampling yaitu purposive

sampling. Instrument penelitian yang digunakan berupa kuesioner data

demografi dan kuesioner PTSD screening (PCL). Hasil penelitian tersebut

menunjukkan 67,4% remaja tidak mengalami PTSD dan 32,6% remaja

dengan PTSD. Pada pengelompokkan tanda dan gejala PTSD, gejala

Hyperarousal 50,39%, gejala re-experiencing 30,23% dan gejala Avoidance

19,38%.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Bencana

1. Pengertian bencana

Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang

mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang

disebabkan, baik oleh faktor alam dan/ atau faktor nonalam maupun faktor

manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia,

kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis

(Undang-undang No.24 tahun 2007 tentang penanggulan bencana).

2. Jenis-jenis bencana

Jenis-jenis bencana menurut Undang-undang No 24 tahun 2007,

antara lain: (1) bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh

peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam, antara

lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung Meletus, banjir, kekeringan,

angin topan dan tanah longsor; (2) Bencana non-alam adalah bencana yang

diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa non-alam, berupa

gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi dan wabah penyakit; (3)

bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa yang

diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antar-kelompok

atau antar-komunitas masyarakat dan teror, (BNPB) konflik sosial antar-

kelompok atau antar-komunitas masyarakat dan teror (BNPB,2012)

17
18

Menurut Undang-undang Nomor 24 tahun 2007 tentang

penanggulangan bencana menyebutkan tanah longsor adalah salah satu

jenis gerakan massa tanah atau batuan, ataupun pencampuran keduanya,

menuruni atau keluar lereng akibat dari tergangguanya kestabilan tanah

atau batuan penyusunan lereng tersebut.

3. Dampak yang ditimbulkan akibat bencana tanah longsor

Menurut Agustin (2010) dampak yang ditimbulkan antara lain

adalah dampak fisik, sosial dan psikologis. Dampak fisik yang dialami

oleh korban antara lain adalah adanya kelelahan fisik yang sangat,

kesulitan untuk tidur serta adanya gangguan tidur, selera makan yang

terganggu, sangat muda tersentuh ingatan dan perasaannya, munculnya

keluhan-keluhan yang berhubungan dengan gangguan syaraf dan sakit

kepala, adanya reaksi-reaksi yang menggambarkan adanya kegagalan

dalam sistem kekebalan tubuh, seringnya buang air kecil, dan menurun

atau meningkatnya libido secara drastis.

Dampak sosial yang dialami korban bencana antara lain membatasi

dan menarik diri dari pergaulan, menghindar dari relasi-relasi sosial yang

ada, meningkatnya konflik dalam berhubungan dengan orang lain,

penurunan keterlibatan dan prestasi dalam bekerja atau disekolah.

Dampak atau kerugian ketiga yang dialami oleh korban bencana

adalah dampak psikologis yang dapat dibagi menjadi dua yakni dampak

emosional dan dampak kognitif. Dampak emosional yang sering dirasakan

korban antara lain adalah adanya perasaan yang campur aduk seperti rasa
19

marah, malu, sedih, kaget, dan bersalah, merasa dihantui dan tidak

berdaya, adanya duka yang mendalam, terlalu sensitif atau justru

sebaliknya menjadi bebal dan mati rasa dalam aktifitas sehari-harinya,

serta adanya disosiasi yakni berulangan pikiran pada kejadian bencana

atau keterpakuan terhadap bencana. Sedangkan dampak kognitif yang

dialami adalah kesulitan dalam berkonsentrasi dan adanya gangguan

mengingat, kebingungan, sulit mempercayai informasi, ketidakmampuan

membuat keputusan, menurunnya penilaian terhadap keadaan dan

kemampuan diri, perhatian mudah dialihkan atau terpecah, khawatir atau

cemas, menyalahkan diri sendiri, dan adanya perasaan mudah terganggu

oleh pikiran dan ingatan peristiwa bencana tersebut.

B. Respon Individu Terhadap Bencana

Perilaku yang diperlihatkan individu yang mengalami bencana sangat

bervariasi. Hal ini dipengaruhi oleh persepsi terhadap kejadian, sistem

pendukung yang dimiliki dan mekanisme koping yang digunakan. Terdapat

tiga tahapan reaksi emosi yang dapat terjadi setelah bencana, yaitu: (1) Reaksi

individu segera (24 jam pertama) setelah bencana dapat berupa tegang, cemas,

panik, terpaku, linglung, syok, tidak percaya, gembira atau euphoria, tidak

terlalu merasa bersalah. Reaksi ini masih termasuk reaksi normal terhadap

situasi yang abnormal dan memerlukan upaya pencegahan primer; (2) Minggu

pertama sampai ketiga setelah bencana. Reaksi yang diperlihatkan: ketakutan,

waspada, sensitif, mudah marah, kesulitan tidur, khawatir, sangat sedih. Reaksi

positif yang masih dimiliki: berharap atau berpikir tentang masa depan, terlibat
20

dalam kegiatan tolong menolong dan menyalamatkan, menerima bencana

sebagai takdir. Kondisi ini masih termasuk respon normal yang membutuhkan

tindakan psikososial minimal; (3) lebih dari tiga minggu setelah bencana.

Reaksi yang diperlihatkan dapat menetap dan dimanifestasikan dengan

kelelahan, merasa panik, kesedihan terus berlanjut, pesimis, menarik diri,

berpikir tidak realistis, tidak beraktivitas, isolasi kecemasan yang

dimanifestasikan dengan palpitasi, pusing, letih, mual, sakit kepala (Keliet,

Akemat, Helena, Nurhaeni, 2011).

Terdapat tiga periode bencana secara umum, yaitu: (1) periode impak

(impact periode) biasanya berlangsung selama kejadian bencana. pada periode

ini, korban selalu diliputi perasaan tidak percaya dengan apa yang dialami.

Periode ini berlangsung singkat; (2) periode penyejukan suasana (recoil

periode) biasanya berlangsung beberapa hari setelah kejadian. Pada periode ini,

tampak bahwa para korban mulai merasakan diri mereka lapar dan mencari

bekal makanan untuk dimakan. Mereka tidak memahami bagaimana mereka

harus memulihkan keadaan dan mengganti harta benda mereka yang hilang; (3)

periode post traumatik (post-trauma period) biasanya berlangsung lama,

bahkan sepanjang hayat. Periode ini berlangsung tatkala korban bencana

berjuang untuk melupakan pengalaman yang berupa tekanan, gangguan

fisiologi, dan psikologi akibat bencana yang mereka alami. Hal ini berarti

bencana selalu menyisakan masalah, bahkan untuk jangka waktu yang lama.
21

C. Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)

1. Pengertian

Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) merupakan sindrom

kecemasan, labilitas otonomik, dan mengalami kilas balik dari pengalaman

yang amat pedih setelah stress fisik maupun emosi yang melampaui batas

ketahanan orang biasa. Selain itu, PTSD dapat pula di definisikan sebagai

keadaan yang melemahkan fisik dan mental secara ekstrem yang timbul

stelah seseorang melihat, mendengar, atau mengalami suatu kejadian trauma

yag hebat dan atau kejadian yang mengancam kehidupannya (Sadock, B.J.

& Sadock, V.A., 2007).

Dalam Diagnostic and statistical manual of mental disorder, (DSM-

IV-TR), PTSD didefinisikan sebagai suatu kejadian atau beberapa kejadian

trauma yang dialami atau disaksiakan secara langsung oleh seseorang

berupa kematian atau ancaman kematian, cidera serius, ancaman terhadap

integritas fisik atas diri seseorang. Kejadian tersebut harus menciptakan

ketakutan yang ekstrem, horror, rasa tidak berdaya (Sadock, B.J. & Sadock,

V.A., 2010).

PTSD merupakan suatu sindrom yang dialami oleh seseorang yang

mengalami kejadian traumatik. Kondisi demikian akan menimbulkan

dampak psikologis berupa gangguan perilaku mulai dari cemas yang

berlebihan, mudah tersinggung, tidak bisa tidur, tegang, dan berbagai reaksi

lainnya. Gangguan stres pasca trauma (PTSD) kemungkinan berlangsung


22

berbulan-bulan, bertahun-tahun atau sampai beberapa dekade dan mungkin

baru muncul setelah beberapa bulan atau tahun setelah adanya pemaparan

terhadap peristiwa traumatik (Zlotnick dalam Durand & Barlow, 2006).

Menurut Michael Scott dan Stephen Palmer dalam bukunya Trauma and

Post-Traumatic Stress Disorder (2000) Post traumatic Stress Disorder

(PTSD) adalah efek psikologis dari jangka Panjang dan kejadian traumatis

ekstrem yang dialami seseorang.

Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan bahwa Post Traumatic

Stress Disorder (PTSD) merupakan gangguan psikologi yang diakibatkan

satu atau lebih kejadian traumatik yang dialami atau disaksikan oleh

seseorang baik ancaman kematian, cidera fisik yang mengakibatkan

ketakutan ekstrem, horror, rasa tidak berdaya hingga berdampak

mengganggu kualitas hidup individu dan apabila tidak ditangani dengan

benar dapat berlangsung kronis dan berkembang menjadi gangguan stress

pasca trauma yang kompleks dan gangguan kepribadian.

b. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya Post Trauma Stress Disorder

(PTSD)

stresor atau kejadian trauma merupakan penyebab utama dalam

perkembangan PTSD. Ketika dalam keadaan takut dan terancam, tubuh

akan mengaktifkan respon Fight or flight. Dalam reaksi ini tubuh akan

mengeluarkan hormon adrenalin yang menyebabkan peningkatan tekanan

darah, denyut jantung, dan glikogenolisis. Setelah ancaman bahaya mulai

hilang makna tubuh akan memulai proses inaktivasi respon stress dan
23

proses ini menyebabkan pelepasan hormon kortisol. Apabila tubuh tidak

melepaskan kortisol yang cukup untuk menginaktivasi reaksi stress maka

kemungkinan tubuh masih akan merasakan efek stres dan adrenalin. Pada

korban trauma yang berkembang menjadi PTSD seringkali memiliki

hormone stimulasi (Ketokolamin) yang lebih tinggi bahkan pada saat

kondisi normal. Hal ini mengakibatkan tubuh terus berespon seakan

bahaya itu masih ada. Setelah sebulan dalam kondisi ini, dimana hormone

stres meningkat dan pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya

perubahan fisik (Paige, 2005).

Stresor dapat berasal dari bencana alam, bencana yang diakibatkan

oleh ulah manusia, ataupun akibat kecelakaan. Stresor akibat bencana alam

antara lain: menjadi korban yang selamat dari tsunami, gempa bumi, tanah

longsor, badai. Kejadian trauma akibat ulah manusia antara lain: menjadi

korban banjir, penculikan, perkosaan, kekerasan fisik, melihat

pembunuhan, perang, dan kejahatan kriminal lainnya. Kejadian trauma

juga dapat terjadi akibat kecelakaan, baik yang menyebabkan cidera fisik

maupun yang tidak. Akan tetapi tidak semua orang akan mengalami PTSD

setelah suatu peristiwa traumatic, karena walaupun stresor diperlukan,

namun stresor sendiri tidaklah cukup untuk menyebabkan suatu gangguan.

Maka dari itu, menurut Kaplan & Sadock (2007), terdapat beberapa faktor

lain yang harus dipertimabangkan, diantaranya:

a. Faktor biologis
24

Teori biologis pada PTSD telah dikembangkan dari penelitian

praklinik model stress pada binatang yang didapatkan dari pengukuran

variabel biologis populasi klinis dengan PTSD. Banyak sistem

neurotransmitter telah dilibatkan dalam kumpulan data tersebut. Model

praklinik pada binatang tentang ketidakberdayaan, pembangkitan, dan

sensitisasi yang dipelajari telah menimbulkan teori tentang norepinefrin,

dopamine, opiate endogen, dan reseptor benzodiazepine dan sumbu

hipotalamus-hipofisis-adrenal. Pada populasi klinis, data telah

mendukung hipotesis bahwa noradrenergic dan opiate endogen, dan juga

sumbu hipotalamus-hipofisis-adrenal, adalah hiperaktif pada beberapa

pasien dengan gangguan stress pasca traumatic.

b. Faktor psikologi

Classical dan operant conditioning dapat diimplikasikan pada

perkembangan terjadinya PTSD. Stresor yang ekstrem secara tipikal

menimbulkan emosi yang negatif (sedih, marah, takut) sebagai bagian

dari gejala hyperarousal akibat aktivasi dari sistem saraf simpatis (fight

or flight respone). Classical conditioning terjadi pada saat seseorang

yang mengalami peristiwa trauma kembali ke tempat terjadinya trauma

maka akan timbul reaksi psikologi yang tidak disadari dan merupakan

respon reflek yang spesifik. Misalnya, pada anak yang mengalami

kecelakaan mobil yang serius akan timbul respon berupa ketakutan,

berkeringat, takikardi setiap kali melewati tempat kejadian tersebut.

Operant conditioning terjadi sebagai hasil dari pengalaman kejadian


25

trauma yang dialami sehingga didapatkan tingkah laku yang tidak

disukai dan tidak akan diulangi. Misalnya, pada anak yang mengalami

kecelakaan mobil Ia akan berusaha untuk menghindari berada didalam

mobil. Modelling meupakan mekanisme psikologikal lainnya yang turut

berperan dalam pekembangan gejala PTSD. Respon emosional orang

tua terhadap pengalaman traumatik anak merupakan prediksi terhadap

keparahan gelaja PTSD.

c. Faktor sosial

Dukungan sosial yang tidak adekuat dari keluarga dan lingkungan

meningkatakan risiko perkembangan PTSD setelah mengalami kejadian

traumatik. Penyebab gangguan bervariasi, tetapi stresor harus

sedemikian berat sehingga cenderung menimbulkan trauma psikologis

pada kebanyakan orang normal, walaupun tidak berarti bahwa semua

orang harus mengalami gangguan akibat trauma ini. macam-macam

stresor tarumatik:

1) Menyaksikan peristiwa yang berakibat luka fisik atau kematian

yang menakutkan seperti korban tergulung ombak, tertimpa tanah

longsor, terlindas kendaraan, penganiayaan, terkena granat atau

bom, kepala terpancung, tertembak, pembunuhan masal atau

tindakan brutal di luar batas kemanusiaan.

2) Pengalaman berada dalam situasi terancam kematian atau

keselamatan jiwanya, misalnya huru-hara kerusuhan, bencana,

tsunami, air bah atau gunung Meletus, peperangan, berbagai tindak


26

kekerasan, usaha pembunuhan, penganiayaan fisik dan mental-

emosional, penyenderaan, penculikan tindak kekerasan ataupun

kecelakaan.

3) Mengalami tindak kekerasan dalam keluarga.

4) Mengalami secara aktual dan atau terancam mengalami perkosaan,

pelecehan, seksual yang mengancam integritas fisik dan harga diri.

5) Dipaksa atau terpaksa melakukan tindak kekerasan.

6) Kematian mendadak/ berpisah dari anggota keluarga/ orang yang

dikasihi.

7) Berhasil selamat dari tindak kekerasan, bencana alam/ kecelakaan

hebat.

8) Terpaksa pindah atau terusir dari kampung halaman.

9) Mendadak berada dalam keadaan terasing, tercabut dari lingkungan

fisik, budaya, kerabat, teman sebaya yang dikenal.

10) Terputusnya hubungan dengan dunia luar, dilarang melakukan

berbagai adat istiadat atau kebiasaan.

11) Kehilangan harta benda, sumber penghidupan, privasi (hak

pribadi).

12) Berada dalam kondisi serba kekurangan pangan, tempat tinggal,

kesehatan.

d. faktor risiko PTSD


27

menurut Weems, et al (2007) terdapat beberapa faktor yang

berperan dalam meningkatkan risiko seseorang mengalami PTSD,

antara lain:

1. Berat dan dekatnya trauma yang dialami. Semakin berat trauma

yang dialami dan semkakin dekat posisi seseorang dengan suatu

kejadian, maka semakin meningkatkan mengalami PTSD.

2. Durasi trauma dan banyaknya trauma yang dialami. Semakin

lama/ kronik seseorang mngalami kejadian trauma semakin

berisiko berkembang menjadi PTSD. Trauma yang multiple lebih

berisiko menjadi PTSD.

3. Pelaku kejadian trauma. Semakin dekat hubungan antara pelaku

dan korban semakin berisiko menjadi PTSD. Selain itu, kejadian

trauma yang sangat interpersonal seperti kasus pemerkosaan juga

salah satu faktor yang dapat meneyebabkan PTSD.

4. Jenis kelamin, Breslau, et al (1997) dalam penelitiannya bahwa

perempuan dua kali lipat lebih memungkinkan untuk mengalmai

PTSD. Hal ini disebabkan oleh rendahnya sintesa serotonin pada

perempuan (Connor & Butterfield, 2003).

5. Status pekerjaan

Status pekerjaan dapat mempengaruhi timbulnya stress dan lebih

lanjut akan mencetuskan terjadinya perasaan tidak nyaman,

sehingga lebih berisiko untuk menderita PTSD (Tarwoto &

Wartonah, 2003).
28

6. Usia

PTSD dapat terjadi pada semua golongan usia tetapi anak-anak

dan usia tua (>60 tahun) merupakan kelompok usia yang lebih

rentan mengalami PTSD. Anak- anak memiliki kebutuhan dan

kerentanan khusus jika dibandingkan dengan orang dewasa,

karena masih adanya rasa ketergantungan dengan orang lain,

kemampuan fisik dan intelektual yang sedang berkembang, serta

kurangnya pengalaman hidup dalam memecahkan bernagai

persoalan sehingga dapat memepengaruhi perkembangan

kepribadian seseorang.

7. Tingkat Pendidikan

Minimnya tingkat Pendidikan seseorang akan mempengaruhi

tingginya angka kejadian PTSD (Connor & Butterfield, 2003).

8. Seseorang yang memiliki gangguan psikiatri lainnya seperti:

depresi, fobia sosial, gangguan kecemasan. Seseorang yang hidup

ditempat pengungsian (misalnya sedang berada di lokasi

peperangan/ konflik di daerahnya) dan kurangnya dukungan

sosial baik dari keluarga maupun lingkungan juga dapat

memepengaruhi terjadinya PTSD.

e. Gejala Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)

Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder

(DSM-V, 2013) ada tiga klasifikasi gejala PTSD, yaitu:

1) Intrusive Re-Experiencing
29

Intrusive Re-Experiencing adalah selalu kembalinya peristiwa

traumatic dalam ingatan penderita. Gejalanya adalah sebagai berikut:

(1) Perasaan, pikiran dan persepsi mengenai peristiwa muncul

berulang-ulang;

(2) Mimpi-mimpi buruk tentang peristiwa:

(3) Pikiran-pikiran mengenai traumatic selalu muncul dalam bentuk

ilusi, halusinasi dan mengalami Flashback mengenai peristiwa:

(4) Gangguan psikologis yang amat kuat ketika menyaksikan

sesuatu yang mengingatkan tentang peristiwa traumatic;

(5) Terjadi reaktifitas fisik, seperti menggigil, jantung berdebar

kencang, atau panik ketika bertemu yang mengingatkan

peristiwa.

2) Avoidance

Yaitu selalu menghindari sesuatu yang berhubungan dengan

trauma yang berhubungan dengan trauma dan perasaan terpecah.

Gejala-gejalanya sebagai berikut:

(1)Berusaha menghindari situasi, pikiran-pikiran atau aktivitas yang

berhubungan dengan peristiwa traumatic;

(2)Kurangnya perhatian atau partisipasi dalam kegiatan sehari-hai;

(3)Merasa terasing dari orang lain;

(4) Membatasi perasaan-perasaan termasuk perasaan kasih sayang;


30

(5) Perasaan menyerah dan takut pada masa depan, termasuk tidak

mempunyai harapan terhadap karir, pernikahan, anak-anak atau

hidup normal.

3) Negative aterations in mood and cognition

Yaitu suatu penyimpangan secara persisten diantara lain

menyalahkan diri sendiri atau orang lain, berkurangnya minat

melakukan aktivitas, dan ketidakmampuan untuk mengingat aspek-

aspek yang menjadi kunci dari kejadian tersebut.

4) Arousal

Yaitu kesadaran secara berlebihan, gejalanya antara lain sebagai

berikut:

(1) Mengalami gangguan tidur, atau bertahan untuk selalu tidur;

(2) Mudah marah dan meledak-ledak;

(3) Sulit untuk berkonsentrasi;

(4) Kesadraan berlebih (hyper-arousal);

(5) Penggugup dan mudah terkejut.

f. Kriteria diagnosis Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) Menurut

DSM-V

Diagnosis yang menyatakan seseorang mengalami Post

Traumatic Stress Disorder (PTSD) diberikan oleh Dokter Spesialis

Jiwa ataupun mental health professional (National Center for PTSD,

2016). Diagnose baru dapat ditegakkan apabila gangguan ini timbul


31

dalam kurun waktu 6 bulan setelah kejadian traumatik berat (masa laten

berkisar antara beberapa minggu sampai beberapa bulan, jarang sampai

melampaui 6 bulan). Namun kemungkinan diagnosis masih dapat

ditegakkan apabila tertundanya waktu mulai saat kejadian dan onset

gangguan melebihi waktu 6 bulan dengan manifestasi klinisnya adalah

khas dan tidak didapat dari alternatif kategori gangguan lainnya.

Kriteria ini digunakan untuk dewasa, remaja dan anak-anak di

atas 6 tahun:

1. Paparan terhadap ancaman atau kejadian kematian, cedera serius,

atau kekerasan seksual, dari satu (atau lebih) kriteria dibawah ini:

a) Langsung mengalami kejadian traumatis.

b) Menjadi saksi mata, peristiwa tersebut terjadi pada orang lain.

c) Menghadapi paparan berulang atau ekstrim kejadian traumatis

yang tidak diinginkan. Tidak termasuk paparan lewat media

elektronik, televise, film atau gambar yang berhubungan dnegan

pekerjaan.

2. Adanya satu atau lebih gejala intrusi yang berhubungan dengan

kejadian traumatis (Re-experiencing), dimulai setelah kejadian

traumatis terjadi:

a) Kejadian traumatis yang berulang, tidak disadari, dan menjadi

ingatan yang terganggu.

b) Mimpi distress yang berulang berhubungan denan kejadian

traumatis.
32

c) Reaksi disosiatif dengan berperilaku atau berperasaan seolah

kejadian traumatis terjadi kembali. (reaksi dapat terjadi berlanjut,

dengan ekspresi paling ekstrim dari kehilangan total kesadaran

akan kondisi disekelilingnya).

d) Distress psikologis yang terjadi secara intens atau berkepanjangan

jika berhadapan dengan hal atau symbol yang berkaitan dengan

aspek peristiwa traumatic baik sebagian atau seluruhnya secara

internal atau eksternal.

e) Reaksi fisiologis yang berhadapan dengan hal atau symbol yang

berkaitan dengan aspek peristiwa traumatik baik sebagian atau

seluruhnya secara internal atau eksternal.

3. Perilaku penghindaran yang menetap terhadap stimulus yang

berkaitan dengan peristiwa traumatik (Avoidance), yang dialami dan

disertai dengan satu atau kedua gejala dibawah ini:

a) Usaha menghindari ingatan, pikiran, atau perasaan yang

berhubungan dengan kejadian traumatis.

b) Usaha untuk menghindari atau secara langsung menghindari

pengingat eksternal (orang, tempat, pembicaraan, aktivitas, objek,

situasi) yang menghidupkan ingatan, pikiran, atau perasaan yang

berhubungan dengan kejadian traumatis.

4. Perubahan negatif pada kognitif dan mood yang berhubungan

dengan kejadian traumatis (Negative alterations in mood and


33

cognition), diawali atau bertambah parah setelah kejadian traumatis

terjadi, yang ditunjukkan dengan dua atu lebih gejala dibawah ini:

a) Ketidakmampuan untuk mengingat aspek penting kejadian

traumatis (bisa berhubungan dengan amnesia disosiatif dan tidak

dipengaruhi faktor lain seperti cedera kepala, alkohol, atau obat-

obatan).

b) Kepercayaan yang persisten atau berlebihan atau ekspektasi

tentang seseorang, orang lain, atau dunia (contoh: “Saya buruk”,”

Tidak ada orang mempercayai saya”,” Dunia sangat berbahaya”,

“seluruh sisitem sarah saya tidak bekerja permanen”).

c) Gangguan kesadaran menetap tentang penyebab atau hasil dari

kejadian traumatis yang menyebabka individu menyalahkan diri

sendiri atau orang lain.

d) Emosi negatif yang menetap (contoh: ketakutan, horror,

kemarahan, perasaan bersalah, rasa malu).

e) Penurunan jelas akan ketertarikan atau partisipasi dalam aktivitas.

f) Merasa asing atau terpisah dari sekitarnya.

g) Ketidakmampuan untuk mengekspresikan emosi positif (contoh:

tidak dapat merasakan kebahagiaan, kepuasan atau rasa sayang).

5. Perubahan yang jelas pada kewaspadaan dan reaksi yang

berhubungan dengan kejadian traumatis (Hyperarousal), diawali

atau bertambah parah setelah kejadian traumatis terjadi, yang

ditandai dengan dua atau lebih gejala dibawah ini:


34

a) Perilaku gelisah dan mudah mengalami ledakan kemarahan

(dengan sedikit atau tanpa provokasi) yang ditandai dengan

perkataan maupun perbuatan pada orang lain atau objek tertentu.

b) Perilaku sembrono atau merusak diri sendiri.

c) Hypervigilance (peningkaan kewaspadaan).

d) Respon terkejut yang berlebihan.

e) Kesulitan berkonsentrasi.

f) Gangguan tidur.

6. Durasi dari gangguan (kriteria 1, 2, 3, 4, dan 5) terjadi lebih dari satu

bulan.

7. Gangguan menyebabkan penderitaan atau kerusakan dalm fungsi

sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya.

8. Gangguan tidak disebabkan efek fisiologis dari zat (obat-obatan,

alkohol) atau kondisi medik umum lainnya.

Spesifikasi:

1. Dengan gejala disosiatif: gejala individu memenuhi kriteria PTSD

dan sebagai respon terhadap stressor, individu juga mengalami

gejala menetap atau berulang seperti dibawah ini:

a) Depersonalisasi: pengalaman menetap atau berulang yang

bersifat subjektif bahwa dirinya terasa tidak nyata, asing, atau

tidak familiar.

b) Derealisasi: pengalaman menetap atau berulang yang bersifat

subjektif terhadap lingkungan yang tidak nyata.


35

g. Jenis-Jenis Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)

Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) terbagi atas tiga jenis,

yaitu: (1) PTSD akut, yaitu dimana tanda dan gejalanya terjadi pada

rentang waktu 1-3 bulan. Namun, biasanya berakhir dalam kurun waktu

satu bulan. Jika dalam waktu lebih dari satu bulan, individu tersebut

harus segera menghubungi pelayanan kesehatan terdekat; (2) PTSD

kronik, yaitu dimana tanda dan gejalanya berlangsung lebih dari tiga

bulan dan jika tidak ada treatment yang dilakukan maka dapat

bertambah berat sehingga akan mengganggu kehidupan sehari-hari

orang tersebut; (3) PTSD with delayed onset, walaupun sebenarnya

tanda dan gejala PTSD muncul pada saat setelah trauma, ada kalanya

tanda dan gejalanya baru muncul minimal enam bulan bahkan bertahun-

tahun setelah peristiwa traumatic itu terjadi. Hal ini timbul pada saat

memperingati hari kejadian traumatis tersebut atau bisa juga karena

individu mengalami kejadian traumatis lain yang akan mengingatkan

terhadap peristiwa traumatasi masa lalunya (Sadock & Sadock, 2007)

C. Kerangka Teori

Theory of Goal Attainment merupakan sebuah teori yang diperkenalkan oleh

Imogene M. King pada tahun 1971. King mengidentifikasi kerangka kerja

konseptual (Conceptual Framework) sebagai sebuah kerangka kerja sistem

terbuka, dan teori ini sebagai suatu pencapaian tujuan. Kerangka kerja

konseptual (Conceptual Framework) terdiri dari tiga sistem interaksi yang

dikenal dengan Dynamic Interacting System, meliputi: Personal systems


36

(individualis), interpersonal system (groups) dan social system (keluarga,

sekolah, industri, organisasi sosial, sistem pelayanan kesehatan, dan

sebagainya).

Asumsi dasar King tentang manusia seutuhnya (Human Being) meliputi

sosial, perasaan, rasional, reaksi, kontrol, tujuan, orientasi kegiatan dan

orientasi pada waktu. Dalam interaksi pada interpersonal system terjadi

aktivitas-aktivitas yang dijelaskan sebagai Sembilan konsep utama, dimana

konsep-konsep tersebut saling berhubungan dalam setiap situasi praktik

keperawatan, yang meliputi:

1. Interaksi, King mendefiniskan interaksi sebagai suatu proses dari persepsi

dan komunikasi antara individu dengan individu, individu dengan

kelompok, individu dengan lingkungan yang dimanifestasikan sebagai

perilaku verbal dan nonverbal dalam mencapai tujuan.

2. Persepsi diartikan sebagai gambaran seseorang tentang realita, persepsi

berhubungan dengan pengalaman yang lalu, konsep diri, sosial ekonomi,

genetika dan latarbelakang Pendidikan.

3. Komunikasi diartikan sebagai suatu proses penyampaian informasi dari

seseorang kepada orang lain secara langsung mauapun tidak langsung.

4. Transaksi diartikan sebagai interaksi yang mempunyai maksud tertentu

dalam pencapaian tujuan. Yang termasuk dalam transaksi adalah

pengamatan perilaku dari interaksi manusia dengan lingkungannya.


37

5. Peran merupakan serangkaian perilaku yang diharapkan dari posisi

pekerjaannya dalam sistem sosial. Tolok ukurnya adalah hak dan kewajiban

sesuai dengan posisinya.

6. Stress diartikan sebagai suatu keadaan dinamis yang terjadi akibat interaksi

manusia dengan lingkungannya. Stress melibatkan pertukaran energi dan

informasi antara manusia dengan lingkungannya untuk keseimbangan dan

mengontrol stressor.

7. Tumbuh kembang adalah perubahan yang continue dalam diri individu.

Tumbuh kembang mencakup sel, molekul dan tingkat aktivitas perilaku

yang kondusif untuk membantu individu mencapai kematangan.

8. Waktu diartikan sebagai urutan dari kejadian/ peristiwa kemasa yang akan

datang. Waktu adalah perputaran antara satu peristiwa dengan peristiwa

yang lain sebagai pengalaman unik dari setiap manusia.

9. Ruang adalah sebagai suatu hal yang ada dimanapun sama


38

Kerangka teori dalam penelitian ini adalah Dynamic Interacting


System:
1. Personal system
2. Interpersonal system
3. Social system konsep interaksi
interpersonal system:
Bencana tanah Dampak yang
longsor Respon individu: 1. Interaksi
ditimbulkan:
1. Segera (24 jam 2. Persepsi
(Undang-undang 1. Dampak fisik
pertama) 3. Komunikasi
No.24 tahun 2007 2. Dampak sosial
2. Minggu 1-3 4. Transaksi
tentang 3. Dampak emosional
3. > 3 minggu 5. Peran
penanggulangan dan kognitif
(Akemat, Helena, 6. Stress
bencana) (Agustin, 2010)
Nurhaeni, 2011) 7. Tumbuh kembang
8. Waktu
9. Ruang
Faktor risiko terjadinya PTSD:
1. Berat dan dekatnya trauma
2. Durasi dan banyaknya trauama yang dialami Post Traumatic
3. Pelaku kejadian trauma Stress Disorder
4. Jenis kelamin (PTSD)
5. Status pekerjaan
6. Usia (sadock, B.J. &
7. Tingkat Pendidikan Sadock V.A., 2010)
8. Seseorang yang memiliki gangguan psikiatri lainnya.
(Weems, et al, 2007)

Gambar 2.1 Kerangka Teori


Modifikasi: Undang-undang No.24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana, Akemat, Helena, Nurhaeni (2011): Agustin, (2010),
Sadock, B.J. & Sadock,V.A (2010), Weems, et al, (2007)
39

D. Kerangka Konsep
Kerangka konsep dalam penelitian ini adalah:

Gambaran Post Traumatic Stress Disorder


Bencana tanah longsor
(PTSD)

Keterangan:
: yang diteliti

: Arah penelitian

Gambar 2.2 Kerangka Konsep


BAB III
METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini mendeskripsikan bagaimana gambaran Post traumatic stress

disorder (PTSD) pada korban bencana tanah longsor di Dusun Jemblung

Kabupaten Banjarnegara.

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

1. Lokasi penelitian

Penelitian ini dilaksankan di Dusun Rata Suren Desa Ngambal Kec.

Karangkobar Kabupaten Banjarnegara.

2. Waktu penelitian

Penelitian di mulai pada Bulan Februari 2018, meliputi persiapan,

pelaksanaan dan penyusunan laporan.

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah korban selamat tanah longsor dusun

jemblung Banjarnegara tahun 2014 yang berjumlah 38 jiwa.

2. Sampel

Responden yang menjadi sampel dalam penelitian ini harus memenuhi

kriteria inklusi dan eksklusi, kriteria tersebut antara lain:

Kriteria inklusi antara lain:

a. Bersedia menjadi responden

b. Mengalami sendiri peristiwa bencana tanah longsor

40
41

c. Berada ditempat saat dilakukan penelitian

d. Responden yang berusia minimal 12 tahun

Kriteria eksklusi antara lain:

a. Tidak bersedia menjadi responden

b. Tidak mengalami sendiri peristiwa bencana tanah longsor

c. Tidak berada ditempat sat dilakukan penelitian

d. Responden yang berusia kurang dari 12 tahun

3. Teknik pengambilan sampel

Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah total sampling,

Sehingga sampel dalam penelitian ini berjumlah 38 responden.

D. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

1. Variabel penelitian

Variabel dalam penelitian ini adalah gambaran diagnostic PTSD

yang berada di Dusun Rata Suren Desa Ngambal Kec. Karangkobar

Banjarnegara.

2. Definisi Operasional

Adapun definisi operasional dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Tabel 3.1 Definisi Operasional

Variabel Definisi variabel Instrument Hasil ukur Skala


Tingkat PTSD adalah Kuesioner ini 1. Menunjukkan Nominal
post suatu kejadian merupakan simtom Re-
traumatic atau beberapa adopsi dari experiencing, minimal
stress kejadian trauma Gulo, 2015 1 simtom.
disorder yang dialami atau yang telah 2. Menunjukkan
(PTSD) disaksiakan memodifikasi simtom avoidance,
secara langsung kuesioner dari minimal 1 simtom.
oleh seseorang kuisioner Post 3. Menunjukkan
42

berupa kematian Traumatic simtom negative


atau ancaman Stress Disorder alterations in mood
kematian, cidera (PTSD) cognition, minimal 2
serius, ancaman screening simtom.
terhadap (PCL) yang 4. Menunjukkan
integritas fisik bersumber dari simtom hyperarousal,
atas diri National Center minimal 2 simtom.
seseorang. for PTSD (Sumber: DSM-v,
Kejadian tersebut (NCPTSD) 2013; NCPTSD, 2013)
harus dengan jumlah
menciptakan pertanyaan
ketakutan yang sebanyak 17
ekstrem, horror, item. Pilihan
rasa tidak berdaya jawaban:
1= tidak pernah
2= jarang
3= kadang-
kadang
4= sering
5= selalu

C. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari 2

bagian yaitu: kuesioner data demografi dan kuesioner tanda dan gejala

gangguan stres pascatrauma atau Post Traumatic Stress Disorder (PTSD).

Kuesioner demografi terdiri dari usia, jenis kelamin, agama, pendidikan, status

keluarga berupa ada tidaknya orang tua, jumlah saudara, pekerjaan orang tua,

dan suku. Kuesioner yang mengukur tanda dan gejala gangguan stres

pasctrauma yang digunakan peneliti dalam penelitian ini merupakan instrumen

Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) Screening (PCL) yang bersumber dari

National Center for PTSD (NCPTSD), dimana kuesioner diterjemahkan

terlebih dahulu ke dalam Bahasa Indonesia. Kuesioner terdiri dari 17

pertanyaan yang terdiri dari 4 kelompok. Pertanyaan nomor 1-5 merupakan


43

kelompok simtom re-experiencing, pertanyaan nomor 6,7,10,11,12 merupakan

kelompok simtom avoidance, pertanyaan nomor 8 dan 9 merupakan kelompok

simtom negative alterations in mood and cognition, dan pertanyaan nomor 13-

17 merupakan kelompok hyperarousal. Dalam penentuan skoring diberi

pilihan jawaban Selalu (SL) = 5, Sering (SR) = 4, Kadang-kadang (KD) = 3,

Jarang (JR) = 2, Tidak Pernah (TP) = 1. Jawaban responden untuk kategori 3-5

dianggap memiliki salah satu simtom PTSD, sedangkan jawaban untuk

kategori 1-2 dianggap tidak memiliki salah satu simtom PTSD, dengan

mengikuti ketentuan kriteria diagnostik PTSD dari DSM-V-TR:

- Minimal memiliki 1 simtom re-experiencing (pernyataan 1-5)

- Minimal memiliki 1 simtom avoidance (pernyataan 6,7,10,11,12)

- Minimal memiliki 2 simtom negative alterations in mood and

cognition (pernyataan 8 dan 9)

- Minimal memiliki 2 simtom hyperarousal (pernyataan 13-17)

Tabel 3.2 kisi-kisi kuisioner

Variabel Sub variabel dan indicator pernyataan jumlah

Post a. Mengalami kembali (re- Unfavorabel 5


Traumatic experiencing) Favorable 5
Stress b. Penghindaran (avoidance) Unfavorable 2
Disorder c. Negative alterations in mood
(PTSD) and cognition Favorable 5
d. Peningkatan kesadaran
(hyperarousal)
Jumlah aitem 17
44

D. Uji Validitas dan Reliabilitas

Instrument yang akan digunakan dalam penelitian ini sudah pernah di

gunakan oleh Gulo pada tahun 2015 dan sudah di uji validitas dengan hasil

CVI 1. Hal ini berarti instrument penelitian yang digunakan dalam penelitian

tersebut telah valid, ini dibuktikan berdasarkan teori, bahwa nilai validitas CVI

adalah 0,86 -1 (Polit & Beck, 2012).

Selain uji validitas peneliti sebelumnya pun sudah melakukan uji

reliabilitas menggunakan rumus Crombach Alpha dan diperoleh hasil 0,875.

Hal ini menunjukkan bahwa instrument tersebut telah reliabel, ini dibuktikan

berdasarkan teori bahwa kuisioner atau angket dikatakan reliabel jika memiliki

nilai alpha minimal 0,7 (Riwidikdo, 2007).

E. Prosedur Penelitian

1. Tahap Persiapan

a) Peneliti mengajukan surat permohonan izin kepada Badan Pengelolaan

Daerah (BAPEDA) Kabupaten Banjarnegara untuk melaksanakan

penelitian.

b) Peneliti melakukan pendekatan kepada Kepala Dusun Rata Suren Desa

Ngambal Kecamatan Karangkobar Kabupaten Banjarnegara.

c) Peneliti melakukan pendekatan kepada klien untuk mendapatkan

persetujuan dari klien sebagai responden penelitian.

d) Peneliti menerangkan tujuan penelitian kepada responden.

e) Peneliti memberikan lembar persetujuan responden untuk

ditandatangani.
45

f) Peneliti memberikan kuisioner kepada responden untuk mempelajari

terlebih dahulu, bila ada pertanyaan yang sulit dimengerti.

g) Peneliti mempersilahkan responden untuk mengisi kusioner.

h) Peneliti melakukan pengolahan dan analisis data.

i) Peneliti menarik kesimpulan atau generalisasi.

j) Peneliti menyusun dan mempublikasikan laporan penelitian.

2. Tahap pengolahan data

a. Editing

Editing dilakukan untuk meneliti kembali kuisioner yang sudah diisi.

Editing meliputi kelengkapan pengisian dan kesalahan pengisian.

b. Coding Data

Setelah data diteliti, langkah berikutnya yang dilakukan adalah

memberi kode pada hasil kuesioner. Penentuan skor kuisioner pada

setiap aspek, sebagai berikut:

(1) Minimal memiliki 1 simtom (re- experiencing)

(a) Iya, diberi kode 1

(b) Tidak, diberi kode 2

(2) Minimal memiliki 1 simstom Penghindaran (avoidance)

(a) Iya, diberi kode 1

(b) Tidak, diberi kode 2

(3) Minimal memiliki 2 simtom Negative Aterations In Mood

Cognition

(a) Iya, diberi kode 1


46

(b) Tidak, diberi kode 2

(4) Minimal memiliki 2 simtom Peningkatan Kesadaran

(hyperarousal)

(a) Iya, diberi kode 1

(b) Tidak, diberi kode 2

c. Scoring

dilakukan setelah coding hasil observasi responden sebagai berikut:

1) untuk pernyataan Favorable

1. Selalu (S) skor 1

2. Sering (SR) skor 2

3. Kadang-kadang (KK) skor 3

4. Jarang (J) skor 4

5. Tidak Pernah (TP) skor 5

2) untuk pernyataan Unfavorable

1. Selalu (S) skor 5

2. Sering (SR) skor 4

3. Kadang-kadang (KK) skor 3

4. Jarang (J) skor 2

5. Tidak Pernah (TP) skor 1

d. Entry Data

setelah dilakukan pengkodean, kemudian dilakukan pemasukan data

ke dalam software computer dengan SPSS.

e. Tabulating Data
47

Tabulasi data merupakan kelanjutan dari entry data dan disajikan

dalam bentuk grafik dan tabel.

F. Analisis data

Analisis data menggunakan analisis univariat adalah analisis yang

menggambarkan karakteristik setiap variabel (Sugiyono, 2014). Sub variabel

karakteristik responden (Re-experince, avoidance, simtom negative alterations

in mood and cognition dan hyperarousal). Variabel dalam penelitian ini adalah

gambaran Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) pada korban bencana tanah

longsor di dusun jemblung Bnajarnegara tahun 2014.

Hasil analisisnya disajikan dengan menggunakan distribusi frekuensi

relatif dan presentase data demografi serta data gambaran tingkat Post

Traumatic Stress Disorder (PTSD) dengan rumus sebagai berikut:


𝐹
𝑃= 𝑁
𝑋 100%

Keterangan:

P = Proporsi

F = Frekuensi kategori

N = Jumlah seluruh responden, (Budiarto, 2001).

G. Etika Penelitian

Penelitian keperawatan merupakan masalah yang sangat penting dalam

penelitian, mengingat penelitian keperawatan berhubungan langsung dengan

manusia (Nazir, 2005). Menurut Hidayat (2009), beberapa hal yang berkaitan

dengan etika penelitian yaitu sebgai berikut:


48

1) Lembar persetujuan (Informed Consent)

Lembar persetujuan merupakan bentuk persetujuan antara peneliti dan

responden penelitian dengan memberikan lembar persetujuan. Lembar

persetujuan tersebut diberikan sebelum penelitian dilakukan dengan

memberikan lembar persetujuan untuk menjadi responden. Tujuan lembar

persetujuan adalah agar subyek mengerti maksud dan tujuan penelitian,

serta mengetahui dampaknya.

2) Tanpa nama (Anomimity)

Masalah etika keperawatan merupaakn masalah yang memberikan jaminan

dalam penggunaan subyek penelitian dengan cara tidak memberikan atau

mencantumkan nama responden pada lembar alat ukur dan hanya

menuliskan kode pada lembar pengumpulan data atau hasil penelitianyang

disajikan.

3) Kerahasiaan (Confidentialy)

Masalah ini merupakan masalah etika dengan memberikan jaminan

keberhasilan hasil penelitian, baik informasi maupun masalah-masalah

lainnya. Semua informasi yang telah dikumpulkan dijamin kerahasiaannya

oleh peneliti, hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporkan pada

hasil riset.

4) Pengunduran diri

Jika responden yang mengundurkan diri sebagai responden, maka hal itu

adalah suatu kelaziman dan tidak ada yang boleh melarang termasuk

peneliti sendiri.
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Setelah dilakukan penelitian tentang “Gambaran Post Traumatic Stress

Disorder (PTSD) Korban Bencana Tanah Longsor di Dusun Jemblung

Kabupaten Banjarnegara” yang dilakukan pada bulan Maret 2018 dengan

jumlah sampel 38 responden didapatkan hasil sebagai berikut:

Tabel 4.1 Distribusi frekuensi karakteristik, Umur, Jenis Kelamin, Agama,


Pendidikan, Pekerjaan, Suku, dan Usia saat mengalami kejadian longsor di
Dusun Jemblung Kabupaten Banjarnegara tahun 2018.

Karakteristik Frekuensi (f) Persentase (%)


Jenis Kelamin
Laki-laki 15 39,5
Perempuan 23 60,5
Usia
12-25 tahun 10 26,3
26-45 tahun 16 42,1
46-65 tahun 12 31,6
Agama
Islam 38 100
Pendidikan
SD 26 68,4
SMP 9 23,7
SMA/SMK 2 5,3
Lain-lain 1 2,6
Pekerjaan
Pelajar 6 15,8
Wiraswasta 12 31,6
Tidak bekerja 7 18,4
Lain-lain 13 34,2
Suku
Jawa 38 100

Berdasarkan tabel 4.1 diatas diketahui bahwa Sebagian besar jenis kelamin

responden adalah perempuan sebanyak 23 responden (60,5%) dan yang

49
50

berjenis kelamin laki-laki sebanyak 15 responden (39,5%), mayoritas

responden berusia 26-45 tahun sebanyak 16 responden (42,1%), usia terbanyak

kedua adalah rentang usia 46-65 tahun sebanyak 12 responden (31,6%) dan

paling sedikit responden yang berusia 12-25 tahun adalah sebanyak 10

responden (26,3%). Seluruh responden dalam penelitian ini beragama islam

(100%), mayoritas pendidikan responden adalah sekolah dasar (SD) sebanyak

26 responden (68,4%), Pendidikan terbanyak kedua adalah SMP sebanyak 9

responden (23,7%), responden yang berpendidikan SMA/SMK sebanyak 2

responden (5,3%) dan pendidikan lain-lain (tidak bersekolah) sebanyak 1

responden (2,6%). Sebagian besar pekerjaan responden adalah sebagai petani

dan buruh (lain-lain) sebanyak 13 responden (34,2%), pekerjaan terbanyak

kedua dari responden adalah wiraswasta sebanyak 12 responden (31,6%),

responden yang tidak bekerja berjumlah 7 responden (18,4%) dan yang masih

berstatus sebgai pelajar berjumlah 6 responden (15,8%) dan semua responden

bersuku jawa (100%).

Tabel 4.2 distribusi frekuensi dan persentase tanda dan gejala Post Traumatic

Stress Disorder (PTSD) berdasarkan karakteristik responden di Dusun

Jemblung Kabupaten Banjarnegara

Data Re- Avoidance Negative Hyperarousal


demografi experiencing alteration in
mood and
cognition

(f) (%) (f) (%) (f) (%) (f) (%)


Jenis kelamin
Laki-laki 15 39,5 15 39,5 15 39,5 12 31,6
Perempuan 22 57,9 22 57,9 23 60,5 20 52,6
Umur
51

12-25 tahun 10 26,3 10 26,3 10 26,3 9 28,1


26-45 tahun 15 40,5 15 40,5 16 42,1 12 37,5
46-65 tahun 12 32,4 12 32,4 12 31,6 11 28,9
Agama
Islam 37 97,4 37 97,4 38 100 32 84,2
Pendidikan
SD 25 67,6 67,6 26 68,4 21 65,6
SMP 9 24,3 25 24,3 9 23,7 8 25
SMA/SMK 2 5,4 9 5,4 2 5,3 2 6.3
Lain-lain 1 2,7 2 2,7 1 2,7 1 3,1

Pekerjaan
Pelajar 6 16,2 6 16,2 6 16,2 6 18,8
Wiraswasta 11 29,7 12 32,4 12 32,4 12 37,5
Tidak bekerja 7 18,9 6 16,2 7 18,4 5 15,6
Lain-lain 13 34,2 13 34,2 13 34,2 9 28,1
Suku
Jawa 37 97,4 37 97,4 38 100 32 84,2

Berdasarkan pengelompokkan keempat gejala Post Traumatic Stress

Disorder (PTSD), ditemukan mayoritas responden yang mengalami gejala

PTSD adalah yang berjenis kelamin peremuan, yaitu sebanyak 60,5%

mengalami gejala Negative alteration in mood and cognition, 57,9 %

mengalami gejala re-experiencing dan Avoidance serta hyperarousal sebanyak

52,6%. Sedangkan laki-laki yang mengalami gejala PTSD lebih sedikit

dibandingkan perempuan yaitu 39,5% mengalami gejala Re-experiencing,

Avoidance dan Negative alteration in mood and cognition serta sebanyak

31,6% mengalami gejala Hyperarousal.

Mayoritas responden yang mengalami gejala PTSD adalah pada rentang

usia 26-45 tahun yaitu sebanyak 42,1% mengalami gejala Negative alteration

in mood and cognition, 40,5% mengalai gejala Re-experiencing dan Avoidance

serta hyperarousal sebanyak 37,5%. Pada rentang usia 46-65 tahun sebagian

besar responden mengalami gejala Re-experiencing, Avoidance dan Negative


52

alteration in mood and cognition sebanyak 32,4% serta yang mengalami gejala

Hyperarousal sebanyak 28,9%.

Seluruh responden beragama islam dengan gejala terbanyak yaitu negative

alteration in mood and cognition sebanyak 100%, gejala Re-experiencing

sebanyak 97,4%, gejala Avoidance sebanyak 97,4 % dan gejala hyperarousal

sebanyak 84,2%. Mayoritas responden berpendidikan SD dengan gejala re-

experiencing sebanyak 67,6%, gejala avoidance sebanyak 67,6%, gejala

negative alteration in mood cognition sebnayak 68,4 % dan gejala

hyperarousal sebanyak 65,6%. Pendidikan terbanyak kedua adalah tingkat

SMP yaitu dengan gejala re-experiencing sebanyak 24,3%, avoidance

sebanyak 24,3 %, negative alteration in mood and cognition sebanyak 23,7%

dan gejala hyperarousal sebanyak 25%. Pendidikan terbanyak ketiga adalah

SMA/SMK dengan gejala re-experiencing sebnayak 5,4%, gejala avoidance

sebanyak 5,4%, gejala negative alteration in mood and cognition sebanyak

5,3% dan hyperarousal sebanyak 6,3%. Sedangkan responden yang tidak

memiliki Pendidikan dengan gejala re-experiencing sebnayak 2,7%, gejala

avoidance sebanyak 2,7%, gejala negative alteration in mood and cognition

sebanyak 2,7% dan gejala hyperarousal sebanyak 3,1%.

Mayoritas responden berprofesi sebagai petani/buruh tani dengan gejala

Re-experiencing sebanyak 34,2%, gejala avoidance sebanyak 34,2%, gejala

negative alteration in mood and cognition sebanyak 34,2% dan gejala

hyperarousal sebanyak 28,1%. Profesi terbanyak kedua adalah sebagai

wiraswasta dengan gejala re-experiencing sebanyak 29,7%, gejala avoidance


53

sebanyak 32,4%, gejala negative alteration in mood and cognition sebanyak

32,4 dan gejala hyperarousal sebanyak 37,5%. Responden yang berprofesi

sebagai pelajar dan mengalami gejala re-experiencing sebnayak 16,2%, dengan

gejala avoidance sebanyak 16,2%, gejala negative alteration in mood and

cognition sebanyak 16,2% dan gejala hyperarousal sebanyak 18,8%. Ada pula

responden yang tidak bekerja dengan gejala re-experiencing sebanyak 16,9%,

dengan gejala avoidance sebanyak 18,2%, gejala negative alteration in mood

and cognition sebnayak 18,4% dan gejala hyperarousal sebanyak 15,6%.

Seluruh responden bersuku jawa (100%) dengan gejala re-experiencing

sebanyak 97,4%, gejala avoidance sebanyak 97,4%, gejala negative alteration

in mood and cognition sebanyak 100% dan gejala hyperarousal sebanyak

84,2%.

Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi dan Persentase gambaran gejala Post Traumatic

Stress Disorder (PTSD) Korban Bnecana Tanah Longsor di Dusun Jemblung

Kabupaten Banjarnegara (n=38)

Gambaran Gejala PTSD Frekuensi (f) Persentase (%)


Korban Tanah Longsor Dusun
Jemblung Kabupaten
Banjarnegara
PTSD 30 78,9
Tidak PTSD 8 21,1
Total 38 100

Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang mengalami keempat

gejala Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) sebanyak 30 responden


54

(78,9%), sedangkan responden yang tidak mengalami keempat gejala PTSD

sebanyak 8 responden (21,1%).

B. Pembahasan

1. Gambaran karakteristik, umur, jenis kelamin, agama, Pendidikan, pekerjaan,

suku, dan usia ketika mengalami kejadian tanah longsor di Dusun Jemblung

Kabupaten Banjarnegara

Hasil dari penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa

sebanyak 78,9% responden mengalami keempat tanda gejala Post

Traumatic Stress Disorder (PTSD). Jika dilihat dari data demografi,

mayoritas responden yang mengalami tanda dan gejala Post Traumatic

Stress Disorder (PTSD) berada pada rentang usia 26-45 tahun rentang usia

ini dikategorikan sebagai usia dewasa awal sampai dewasa akhir (Depkes,

2009). Dimana masa dewasa merupakan puncak dari perkembangan sosial

tahap perkembangannya.

Depkes (2009) mengkategorikan usia sebagai berikut: usia 0-5 tahun

adalah masa balita, usia 5-11 tahun adalah masa anak-anak, usia 12-25

tahun adalah remaja, usia 26-45 tahun adalah masa dewasa, usia 46-65

adalah masa dewasa dan usia 65 keatas adalah masa lansia. Dewasa dan

perkembangannya memiliki tugas yang harus diselesaikan dengan sebaik-

baiknya agar mampu secara optimal memasuki tahap perkembangan

selanjutnya (Havigurst, 1991 dalam pratiwi, 2012), adapun yaitu: menikah

atau membangun suatu keluarga, mengelola rumah tangga, mendidik atau


55

mengasuh anak, memikul tanggung jawab sebagai warga negara, membuat

hubungan suatu kelompok tertentu, dan melakukan suatu pekerjaan.

Pada masa dewasa, individu tidak mempunyai penyaluran emosi seperti

halnya pada anak maupun remaja. Hal inilah yang menyebabkan orang

dewasa kurang mampu untuk melakukan pendekatan yang fleksibel untuk

mengatasi efek trauma (Kaplan dan Sadock, 1997). Gejala-gejala gangguan

psikologis yang umumnya ditemukan pada orang dewasa yang menderita

PTSD antara lain penggambaran rasa bersalah atau malu atas peristiwa

traumatik, sering merasa terasing dan sendirian dengan perasaan

ketidakpercayaan dan pengkhianatan (Jie dalam pratiwi, 2012). Hal tersebut

didukung oleh pernyataan bahwa reaksi terhadap peristiwa traumatis yang

muncul terkait dengan PTSD termasuk perasaan menyalahkan diri sendiri

(Self-blame) dan adanya penilaian negative sebagai bentuk kemarahan

(Denson, dkk dalam pratiwi, dkk; 2012). Selain itu, ada beberapa gejala

gangguan fisik yang dialami mereka seperti tekanan darah tinggi penyakit

pembuluh darah, energi yang lebih rendah, peningkatan sensitifitas terhadap

rasa sakit, dan masalah pencernaan. Jangka Panjang gejala PTSD dapat

mencakup dan penyakit jantung rematik yang disebabkan oleh peningkatan

hormone stress (dalam pratiwi, dkk; 2012).

Responden perempuan adalah yang terbanyak (60,5%) mengalami

tanda dan gejala Post Traumatik Stress Disorder (PTSD) dibandingkan laki-

laki (39,5%). Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh

National Institute of Mental Health (NIMH) pada tahun 2010 yang


56

mengemukakan bahwa prevalensi terjadinya PTSD lebih tinggi pada

populasi perempuan, yaitu berkisar 10-20% sedangkan laki-laki berkisar 5-

6%. Jenis kelamin berperan terhadap terjadinya gangguan psikologis,

menurut penelitian yang dilakukan oleh Wang (2007) ada perbedaan respon

antara laki-laki dan perempuan saat menghadapi konflik. Otak perempuan

memiliki kewaspadaan yang negative terhadap adanya konflik dan stress,

pada perempuan konflik memicu menimbulkan stress, gelisah, dan rasa

takut. Sedangkan laki-laki umumnya menikmati adanya konflik dan

persaingan, bahkan menganggap bahwa konflik dapat memberikan

dorongan yang positif. Dengan kata lain, ketika perempuan mendapat

tekanan, maka umumnya akan lebih mudah mengalami gangguan

psikologis. Oleh karena itu responden perempuan lebih banyak yang

mengalami Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) dalam penelitian ini.

Kepercayaan terhadap Tuhan juga berperan dalam membentuk

penerimaan masyarakat terhadap kondisi pasca bencana yang dialami.

Seluruh responden dalam penelitian ini beragama islam (100%) umat islam

memiliki pemahaman mengenai “takdir” yang mana merupakan bentuk

kekuasaan tuhan yang harus mereka terima sebagai konsekuensi dari

perbuatan mereka. Kepercayaan akan takdir atau nasib ini juga ditemukan

dalam penelitian yang dilakukan oleh Ikeno (2000) terhadap korban gempa

di Kobe jepang. Kepercayaan tersebut kemudian membuat mereka

melakukan koping berupa usaha untuk sabar dan usaha untuk patuh

terhadap takdir yang telah terjadi. Selain itu, terdapat banyak penelitian
57

terdahulu yang membuktikan bahwa agama atau kepercayaan berperan

dalam membentuk perilaku koping seseorang serta interpretasi seseorang

atas peristiwa. Salah satunya adalah penelitian Ai (2003) tentang pengaruh

koping religiusitas pada sikap positif para pengungsi muslim dewasa di

Bosnia dan Cosovo menunjukkan pula bahwa optimis para pengungsi dalam

memandang situasi yang menekan, ternyata secara positif berhubungan

dengan koping religius yang positif. Ajaran agama islam merupakan salah

satu faktor yang dapat menjauhkan manusia dari perasaan cemas, tegang,

depresi, yaitu dengan memohon kepada Allah SWT agar dalam kehidupan

diberi ketenangan dan keselamatan baik di dunia maupun di akhirat

(Hawari, 2006). Peneliti mendukung hasil penelitian tersebut karena dari

hasil penelitian yang telah penliti lakukan bahwa responden dapat tetap

survive dalam melanjutkan kehidupannya pasca bencana tanah longsor.

Mayoritas pekerjaan responden pada penelitian ini adalah petani dan

buruh tani yaitu sebanyak 34,2%. Sesuai dengan salah satu teori penyebab

Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) yaitu dinamika keluarga. Dimana

tipe Pendidikan formal, kehidupan keluarga dan gaya hidup merupakan

perkiraan yang signifikan terjadinya Post Traumatic Stress Disorder

(PTSD). Pendidikan yang dibawah rata-rata, perilaku orang tua yang

negative, dan kemiskinan merupakan predictor perkembangan Post

Traumatik Stress Disorder (PTSD) (Yosep, 2011).

Menurut Malou, dkk. Dalam Davidson (2006;227) memiliki intelegensi

tinggi tampakmya menjadi faktor protektif, karena hal itu diasosiasikan


58

dengan keterampilan koping yang baik. Menurut peneliti, seseorang yang

memiliki Pendidikan rendah sedikit mendapatkan informasi tentang strategi

koping/ketahanan jika terdapat bencana tanah longsor dusun jemblung. Dari

data diatas (68,4%) masyarakat dengan pendidikan terakhir sekolah dasar

yang mengalami PTSD. Hal ini disebabkan kurang terampilnya

menggunakan mekanisme koping, saat terjadi kehilangan dan berduka

akibat terjadinya bencana tanah longsor.

Menurut (Jose, 2005 dalam Anam, 2016) faktor etnik dan sosioekonomi

merupakan faktor risiko yang penting. Faktor sosioekonomi sulit untuk

dikaji pada beberapa penelitian, karena dampak komunitas yang relatif

homogen. Walaupun demikian, sebagian besar penelitian menyatakan

bahwa penghasilan yang rendah merupakan faktor risiko terdampak

morbiditas psikososial. Individu dapat menanggulangi stress dan kecemasan

dengan menggunakan baik dari sosial, interpersonal dan intrapersonal.

Sumber koping diantaranya adalah aset ekonomi, kemampuan memecahkan

masalah, dukungan sosial budaya yang diyakini (suliswati, 2005: 116).

Menurut asumsi peneliti, Pekerjaan sebagai seorang petani dan

lingkungan keluarga yang berada cukup jauh dari perkotaan menyebabkan

kurangnya pengetahuan tentang permasalahan psikologi yang mungkin

dialami. Selain itu bencana tanah longsor tentu masih menghantui karena

tempat relokasi yang sekarang menjadi hunian tetap masih berada di sekitar

lereng. Para petani yang tidak lain adalah menjadi profesi utama responden

yang mengalami PTSD banyak mengalami kerugian karena dampak longsor


59

yang telah terjadi tiga tahun lalu. Perekonomian yang sulit merupakan salah

satu predictor berkembangnya gangguan Post Traumatic Stress Disorder

(PTSD).

Penelitian ini dilakukan di Desa Rata Suren Kecamatan Ngambal

Kabupaten Banjarnegara. Dimana Desa ini merupakan tempat relokasi bagi

27 kepala keluarga yang mendapat bantuan dari pemerintah berupa hunian

tetap karena rumah yang terdampak rusak parah dan atau terdapat salah satu

anggota keluarga yang menjadi korban jiwa dalam bencana tanah longsor

tersebut. Sehingga korban yang masih selamat harus beradaptasi dengan

lingkungan yang baru dan memulai dari nol untuk melanjutkan

kehidupannya karena lingkungan merupakan faktor yang mempengaruhi

dewasa dalam menjalankan tugas perkembangannya.

2. Gambaran Tanda Gejala Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) pada

individu

Pada penelitian ini ditemukan sebanyak 78,9% responden yang

memenuhi kriteria diagnostic PTSD. Hal ini sesuai dengan yang

dikemukakan oleh American Psychiatric Association (APA) dan Sadock &

Sadock (2007) bahwa gejala PTSD dapat muncul pada 6 bulan pertama

setelah peristiwa trauma dan dapat juga bersifat delay yaitu muncul

bertahun-tahun setelah peristiwa trauma. Gejala-gejala dari gangguan relatif

di dominasi oleh gejala seperti mengalami kembali peristiwa traumatic (Re-

experiencing), gejala menghindar (Avoidance), perubahan negative pada

kognitif dan mood yang berhubungan dengan kejadian traumatis (Negatif


60

alteration in mood and cognition), dan gejala hyperarousal (hyperarousal)

yang dapat bervariasi dari waktu ke waktu. Reaktivasi gejala tersebut dapat

terjadi sebagai respon terhadap adanya pengingat (reminders) terhadap

trauma yang dialami, kehidupan yang penuh tekanan atau individu

mengalami kejadian traumatis lain yang akan mengingatkan pada peristiwa

di masa lalunya.

Dari keempat pengelompokkan tanda dan gejala tersebut didapatkan

sebanyak 100% responden mengalami gejala Negative alteration in mood

and cognition, 97,4% penderita Post Traumatic Stres Disorder (PTSD)

dengan tanda gejala Re-experiencing dan Avoidance serta 84,2% mengalami

gejala hyperarousal. Gejala Negative alteration in mood and cognition

(perubahan negative pada kognitif dan mood yang berhubungan dengan

kejadian traumatis) dapat bermanifestasi penyimpangan secara persisten

diantara lain menyalahkan diri sendiri atau orang lain, berkurangnya minat

melakukan aktivitas, dan ketidakmampuan untuk mengingat aspek-aspek

yang menjadi kunci dari kejadian tersebut. Adapun gejala yang sering

ditemukan antara lain: 1) Ketidakmampuan untuk mengingat aspek penting

kejadian traumatis (bisa berhubungan dengan amnesia disosiatif dan tidak

dipengaruhi faktor lain seperti cedera kepala, alkohol, atau obat-obatan), 2)

Kepercayaan yang persisten atau berlebihan atau ekspektasi tentang

seseorang, orang lain, atau dunia (contoh: “Saya buruk”,” Tidak ada orang

mempercayai saya”,” Dunia sangat berbahaya”, “seluruh sisitem sarah saya

tidak bekerja permanen”), 3) Gangguan kesadaran menetap tentang


61

penyebab atau hasil dari kejadian traumatis yang menyebabka individu

menyalahkan diri sendiri atau orang lain, 4) Emosi negatif yang menetap

(contoh: ketakutan, horror, kemarahan, perasaan bersalah, rasa malu), 5)

Penurunan jelas akan ketertarikan atau partisipasi dalam aktivitas, 6) Merasa

asing atau terpisah dari sekitarnya, 7) Ketidakmampuan untuk

mengekspresikan emosi positif (contoh: tidak dapat merasakan kebahagiaan,

kepuasan atau rasa sayang).

Gejala-gejala PTSD bisa hilang timbul sepanjang hidup penderita,

sehingga dapat megganggu fungsi kerja dan keefektifan hidup penderita

PTSD. Dari hasil penelitian yang dilakukan, responden mengalami gejala

berupa kesulitan dalam mengingat bagian-bagian penting dari pengalaman

mengenai kejadian tanah longsor sebanyak 87,2%, gejala kurangnya minat

dalam melakukan aktivitas yan dulunya disenangi sebanyak 89,7%,

mengalami gejala merasa jauh atau dikucilkan oleh orang-orang sekitar

sebanyak 79,5%, mengalami gejala tidak mampu merasakan kasih sayang

dari orang-orang sekitar sebanyak 87,2%, sebanyak 41 % tidak merasa

masa depan suram, mengalami sulit tidur sebanyak 76,9%, mengalami

kesulitan mengontrol marah 6,7%. Semua responden mengalami gejala

negative alteration in mood and cognition sebanyak 100% dimana

responden tidak dapat mengingat hal-hal penting dari kejadian yang

mereka alami, diduga responden mengalami amnesia disosiatif yaitu

ketika individu tidak mampu mengingat detail personal atau hal-hal

penting dan pengalaman yang sering kali berhubungan dengan kejadian


62

traumatis atau sangat menekan. Pada kondisi ini responden mengalami

amnesia disosiatif berupa selective amnesia dimana individu gagal

mengingat kembali beberapa hal, tetapi tida semua hal, detail kejadian-

kejadian yang terjadi selama periode waktu tersebut (Halgin, dkk, 2009)

Gejala terbanyak kedua, sebanyak 97,4% responden mengalami gejala

Re-experiencing. Menurut APA (2000), individu memiliki gejala

kecemasan yang persisten atau meningkat yang tidak ada sebelum trauma.

Gejala Re-experiencing ini dapat seperti penderita seakan-akan mengalami

kembali peristiwa traumatic tersebut, individu seringkali teringat pada

kejadian tersebut dan mengalami mimpi buruk tentang hal itu. Penderitaan

emosional yang mendalam ditimbulkan oleh stimuli yang menyimbolkan

kejadian tersebut. Beberapa teori tentang PTSD menjadikan simtom ini

sebagai ciri utama tersebut pada ketidakmampuan mengintegrasikan

kejadian traumatik kedalam skema yang ada pada saat ini (Ardani, 2011).

Bradshaw (2008) menjelaskan penelitiannya bahwa hanya sebagian

kecil dari otak yang menampung pembicaraan serta pemahaman kata,

sedangkan sebagian lain dari otak justru lebih banyak merespon gejala

panik, flashback, respon terkejut perasaan kaku di leher dan tenggorokan.

perasaan-perasaan tesebut sulit dijelaskan dalam bentuk kata-kata.

Peristiwa traumatis mengirim sinyal pada amygdala (bagian otak yang

berperan dalam melakukan pengolahan dan ingatan terhadap reaksi emosi)

yang direspon dengan persepsi adanya ancamn (Fernandez & Solomom,

2001). Pengaktifan amygdala meningkatkan ingatan yang dimediasi oleh


63

Hippocampus. Peningkatan yang ekstrim mengganggu fungsi hippocampal

(bagian otak yang menyimpan ingatan). Peningkatan yang berlebihan di

amygda dalam menyebabkan respon emosional dan impresi sensorik yang

terjadi karena berdasarkan penggalan informasi, daripada persepsi yang

utuh pada objek. Ingatan dari peristiwa traumatis ini kemudian disimpan

namun tidak diintegrasikan ke dalam ingatan semantic. Oleh sebab itu,

informasi disimpan pada bentuk keadaan yang spesifik serta tidak dapat

sepenuhnya diproses dan diintegrasikan (Fernendez & Solomom, 2001).

Peningkatan tersebut menyebabkan terganggunya integrase pemrosesan

informasi. Ini merupakan penyebab mengapa seseorang yang terdiagnosis

Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) kerap kali mengalami gejala Re-

experiencing.

Gejala Re-experiencing dimanifestasikan menjadi seperti: 1) kejadian

traumatis yang berulang, tidak disadari, dan menjadi ingatan yang

mengganggu, 2) mimpi distress yang berulang yang mana isinya dan/atau

mempengaruhi mimpi yangberhubungan dengan kejadian traumatis, 3)

reaksi disosiatif (misalnya: kilas balik) dengan berperilaku atau

berperasaan seolah kejadian traumatis terjadi kembali (reaksi dapat terjadi

berlanjut, dengan ekspresi paling ekstrim dari kehilangan total kesadaran

akan keberadaan sekelilingnya), 4) distress psikologis yang terjadi secara

intens atau berkepanjangan jika berhadapan dengan hal atau symbol yang

berkaitan dengan aspek peristiwa traumatic baik sebagian atau seluruhnya

secara internal atau eksternal, 5) reaksi fisiologis yang berhadapan dengan


64

hal atau symbol yang berkaitan dengan aspek peristiwa traumatic baik

sebagian atau seluruhnya secara internal atau eksternal.

Dapat dilihat dari hasil penelitian yan telah dilakukan, responden

mengalami gejala berupa berkali-kali terganggu dengan kenangan atau

bayang-bayang tentang kejadian tanah longsor di Dusun Jemblung

sebanyak 55,3%, berulang-ulang mimpi tentang kejadian tanah longsor

sehingga menimbulkan stress sebanyak 81%, sering merasa seakan

kejadian longsor muncul kembali sebanayak 84,2 %, merasa mudah

tersinggung ketika ada seseorang yang mengingatkan kembali pada

kejadian tanah longsor sebanyak 86,8% dan selalu merasakan keluhan fisik

yang mengganggu jika mengingat kembali kejadian tanah longsor tersebut

sebanyak 100%. Ini menunjukkan responden masih belum mampu

mengintegrasikan kejadian traumatic yan dialami berupa tanah longsor di

Dusun Jemblung kedalam skema kehidupan yang dijalani saat ini.

Gejala Avoidance juga menunjukkan hasil yang sama banyaknya

dengan gejala Re-experiencing yaitu sebanyak 97,4%. Gejala ini

dimanivestasikan dengan berusaha keras untuk menghindari pikiran,

perasaan, atau pembicaraan, mengenai peristiwa traumatic yang pernah

dialami. Mengalami trauma yang berlangsung cepat tetapi mengancam

nyawa membuat individu lebih sensitive terhadap berbagai hal yang

mengingatkan nya tentang trauma yang pernah dialaminya. Seperti teori

yang dikemukakan oleh (Foa & Rigs, 1994) tentang pengolahan trauma

kognitif sangat sulit dilakukan oleh orang yang mengalami PTSD, hal ini
65

dikarenakan dalam mengaktifkan struktur ketakutan berati mengaktifkan

unsur respon, sehingga ketika individu merasakan emosi yang luar biasa

seseorang kemudian mencoba untuk berhenti berpikir tentang kejadian

masa lalu. Kemudian berkembang antara upaya untuk mengasimilasi (yang

mengarah ke pengalan yang diulang), dan upaya untuk menghindari

ingatan dan emosi negative. Oleh karena itu seseorang yang mengalami

PTSD akan menghindari stimuli yang mengingatkan tentang pengalaman

trauma yang pernah dialami.

Gejala hyperarousal dapat bemanifestasi sebagai kesulitan untuk

memulai tidur atau mempertahankannya akibat mimpi buruk berulang

mengenai peristiwa traumatic, hypervigilance atau sikap waspada

berlebihan. Individu yang telah mengalami trauma akan bersikap waspada

terhadap memori yang mengganggu. Mereka juga cenderung berhati-hati

untuk memastikan bahwa cedera lebih lanjut tidak terjadi. Hypervigilance

ditunjukkan sebagai perasaan rentan, takut kehilangan akan sesuatu hal,

tidak dapat merasa tenang di temapat-tempat yang aman, ketakutan

terhadap pengulangan kejadia, selalu mngantisipasi bencana, menjadi

overprotective atau over controlling. Gejala hyperarousal juga

dimanifestasikan dengan adanya peningkatan respon kejut yang

berlebihan, iritabilitas atau ledaka kemarahan serta sulit berkonsentrasi

atau menyelesaikan tugas-tugas. Adapun gejala yang sering ditemukan

anatara lain: 1) perilaku sembrono atau merusak diri sendiri, 2) respon

terkejut yang berlebihan, 3) kesulitan berkonsentrasi, 4) gangguan tidur.


66

Dalam penelitian ini responden yang mengaami gejala hyperarousal yaitu

sebanyak 84,2% jumlah yang paling rendah disbanding gejala negative

alteration in mood and cognition, Re-experiencing, dan avoidance. Hal ini

dimungkinkan karena trauma sudah berlangsung cukup lama sehingga

individu sudah beraktivitas seperti biasa.

Gejala-gejala PTSD bisa hilang timbul sepanjang hidup penderita,

sehingga dapat mengganggu fungsi kerja dan keefektifan hidup. Hasil

penelitia yang dilakukan oleh Giacco, dkk (2013) menyatakan bahwa

gangguan PTSD berkaitan erat dengan penurunan kualitas hidup

seseorang. Analisis hasil penelitian terhadap pengaruh ketiga kelompok

gejala PTSD terhadp perubahan kualitas hidup menunjukkan adanya

pengaruh yang signifikan antara perubahan gejala hyperarousal dengan

perubahan kualitas hidup. Hubungan antara gejala hypersarousal dan

kualitas hidup menunjukkan hubungan yang berekesinambungan. Ini

artinya penurunan gejala hyperarousal dapat mengakibatkan peningkatan

kualitas hidup. Sesuai dengan hasil penelitian bahwa jumlah respoden

yang mengalami gejala hyperarousal lebih rendah dibanding gejala

lainnya sehingga kualitas hidup responden juga meningkat.

Responden dewasa yang terdiagnosis Post Traumatic Stress Disorder

(PTSD) di Dusun Jemblung Kabupaten Banjarnegra dengan mengalami

gejala terbanyak berupa Negative alteration in mood and cognition, Re-

experiencing, dan Avoidance. Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab

mengapa gejala ini masih saja dialami oleh orang dewasa tersebut adalah
67

lingkungan yang baru, harus memulai kehidupan dari nol karena harta

benda yang hilang serta tempat relokasi yang berada tidak jauh dari lokasi

kejadian longsor sehingga responden yang terdiagnosa PTSD terus

terpapar oleh stimulasi dan tempat relokasi masih berada di area rawan

longsor yang tidak dapat ditebak kapan akan terjadi longsor, ini

menyebabkan bertambahnya beban psikologis yang dialami responden

dewasa di Desa Rata Suren Dusun Ngambal Kabupaten Banjarnegara.

C. Keterbatasan dan Hambatan Penelitian

Dalam penelitian ini penulis memiliki beberapa keterbatasan yaitu

metode yang digunakan adalah kuantitatif sehingga hanya berorientasi

terbatas pada nilai dan jumlah akan lebih baik apabila menggunakan metode

kualitatif. Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian adalah total

sampling sehingga tidak dapat digeneralisasikan alangkah baiknya apabila

peneliti selanjutnya mengguunakan teknik random sampling.


BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Setelah dilakukan penelitian dengan judul “Gambaran Post Traumatic

Stress Disorder Korban Tanah Longsor di Dusun Jeblung Kabupaten

Banjarnegara” yang dilakukan pada bulan Maret 2018 didapatkan hasil sebagai

berikut:

1. Diketahui dari data demografi responden mayoritas berusia 26-45 tahun

sebanyak (42,1%), berjenis kelamin perempuan (60,5%), dengan tingkat

Pendidikan sekolah dasar (SD) sebanyak (68,4%), pekerjaan adalah petani

dan buruh tani sebanyak (34,2%), serta seluruh responden beragama islam

sebanyak (100%) dan bersuku jawa sebanyak (100%)

2. Dewasa pada umumnya mengalami tanda dan gejala serta memenuhi

kritersia diagnostic Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) korban

bencana tanah longsor di Dusun Jemblung Kabupaten Banjarnegara,

dengan jumlah data sebanyak 78,9%.

3. Dilihat dari pengelompokkan tanda dan gejala, di dominasi oleh gejala

Negative alteration in mood and cognition sebanyak 100%, gejala Re-

experiencing sebanyak 97,4 %, Avoidance sebanyak 97,4% dan

hyperarousal sebanyak (84,2%) Responden yang mengalami gejala

tersebut mayoritas berusia 26-45 tahun dan berjenis kelamin perempuan.

68
69

B. SARAN

1. Bagi Praktik Keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan maupun

wawasan tentang pelaksanaan standar asuhan keperawatan untuk

mendukung upaya dalam peningkatan kesehatan psikologis khususnya pada

responden yang mengalami gangguan Post Traumatic Stress Disorder

(PTSD).

2. Bagi Pendidikan Keperawatan

Melalui institusi pendidikan penting untuk memberikan materi tentang

tindakan-tindakan psikososial yang dapat dilakukan oleh peserta didik

kepada penyintas bencana alam untuk meminimalkan gangguan psikologis

mengingat wilayah Indonesia termasuk wilayah yang rawan terjadinya

bencana alam. Materi ini dapat diberikan melalui perkuliahan elektif

Nursing Disaster.

3. Bagi Peneliti Selanjutnya

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai data awal bagi peneliti

yang ingin melakukan penelitian dalam ruang lingkup yang sama atau

terhadap gangguan psikologis lainnya. Penggunaan instrumen penelitian

bisa menggunakan instrumen yang sudah ada ataupun dapat menggunakan

instrumen lain yang mengakomodasi kriteria PTSD dengan

mempertimbangkan tahap perkembangan.


DAFTAR PUSTAKA

Ai, A. L.2003. The Effect of Religious‐ Spiritual Coping on Positive Attitude of


Adult Muslim Refugees from Kosovo and Bosnia. International Journal for
Psychology of Religion,13.

Alimul Hidayat, Aziz. 2009. Metode Penelitian Keperawatan dan Tekhnik


Analisis Data. Jakarta: Salemba Medika.

Anam, A. K., Martiningsih, W., & Ilus, I. (2016). Post-Traumatic Stress Dissorder
of Kelud Mountain's Survivor Based on Impact of Event Scale–Revised
(IES-R) in Kali Bladak Nglegok District Blitar Regency. Jurnal Ners dan
Kebidanan, 3(1), 46-52.

APA. (2000). DSM V-TR (Diagnostic and Statistical Manual of Mental


Disorders
IV Text Revision). Washington, DC: American Psychiantric Association
Press.

Ardani, Tristriadi. 2011. Psikologi Abnormal. Bandung: CV. Lubuk Agung.

Catapano, F., Malafronte, R., Lepre, F., Cozzolino, P., Arnone, R., Lorenzo, E., ...
& Maj, M. (2001). Psychological consequences of the 1998 landslide in
Sarno, Italy: a community study. Acta Psychiatrica Scandinavica, 104(6),
438-442.

Dai, W., Kaminga, A. C., Tan, H., Wang, J., Lai, Z., Wu, X., & Liu, A. (2017).
Long-term psychological outcomes of flood survivors of hard-hit areas of
the 1998 dongting lake flood in china: Prevalence and risk factors. PLoS
One, 12(2) diakses pad http://bit.ly/2iye17Z pukul 09.02 tanggal 7
desember 2017

Davison, G.C & Neale J.M. (2006). Psikologi Abnormal. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.

Departemen Kesehatan RI. 2009. Kategori Usia. Dalam http://kategori-


umurmenurut-Depkes.html. Diakses pukul 23.11 wib tanggal 3 april 2018

Durand, V.M., Barlow, D.H., 2006. Intisari Psikologi Abnormal. Edisi IV.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar pp. 295-297

Fatimah, f. n., & rokhman, m. a. (2016). post-traumatic stress disorder


experienced by charlie in stephen chbosky’ s the perks of being a
wallflower (Doctoral dissertation, Universitas Gadjah Mada). Diakses
pada http://bit.ly/2BaElRm pukul 03.13 tanggal 19 desember 2017
Firmansyah, T. (2017, Desember 30). Republika.co.id diakses pada
http://bit.ly/2GxORRJ pukul 19.32 WIB

Fitriadi, M. W., Kumalawati, R., & Arisanty, D. (2017). Tingkat Kesiapsiagaan


Masyarakat Terhadap Bencana Tanah Longsor Di Desa Jaro Kecamatan
Jaro Kabupaten Tabalong. JPG (Jurnal Pendidikan Geografi), 4(4).
Diakses pada http://bit.ly/2pNGQ6N pukul 10.59wib tanggal 28 desember
2017

Gulo, Frida Nov Kristina (2015) Gambaran Post Traumatic Stress Disorder
(Ptsd) pada Remaja Teluk Dalam Pasca 8 Tahun Bencana Gempa Bumi di
Pulau Nias diakses pada http://bit.ly/2FLYICL tanggal 17 januari 2018
pukul 23:27 WIB

Groome, D., & Soureti, A. (2004). Post-traumatic stress disorder and anxiety
symptoms in children exposed to the 1999 greek earthquake. British
Journal of Psychology, 95, 387-97. diakses pada http://bit.ly/2A0heVu
pukul 21.41 tanggal 21 novemver 2017

Halgin, P, Richard; Whitbourne, Krauss, Susan. 2009. Abnormal Psychology


Clinical Perspective on Psychological Disorder. 6th Edition. Mc.Graw
Hill. New York diakses pukul 24.16 wib tanggal 4 april 2018

Hawari, D.2006. Manajemen Stress & Depresi, FK UI, Jakarta.

Ikeno, S. 2000. Cultural Roles and Coping Prosesses Among the Survivors of the
Hanshin Awaji (Kobe) Earthquake, January, 1995: An Ethnographic
Approach. Diakses16, 5, 2007 dari www.soc.kwansei.ac.jp

John, R. Freedy, Maria M. Steenkamp, Kathryn M. Magruder, Derik E. Yeager.


James S. Zoller, William J. Hueston, Peter J. Carek; Post-Traumatic Stress
Disorder Screening Test Performance in Civilian Primary Care, Family
Practice, volume 27, Issue 6, 1 Desember 2010, Pages 615-624
(https://doi.org/10.1093/fampra/cmq049

Kaplan H.I, Sadock B.J, Grebb J.A. 1997. Sinopsis Psikiatri Jilid 1. Edisi ke-7.
Terjemahan Widjaja Kusuma. Jakarta: Binarupa Aksara. p. 86-108.

Keliat, B.A, Akemat, Helena Novy, dan Nurhaeni Heni. 2011. Keperawatan
Kesehatan Jiwa Komunitas CMHN (Basic Course). Jakart: EGC

Liu, M., Wang, L., Shi, Z., Zhang, Z., Zhang, K., & Shen, J. (2011).
Mental health problems among children one-year after sichuan
earthquake in china: A follow-up study. PLoS One, 6(2)
doi:http://dx.doi.org/10.1371/journal.pone.0014706 diakses pada
http://bit.ly/2jms1SK pukul 09.19 wib tanggal 7 desember 2017
Masril, M. (2017). Konseling Post Traumatic Stress Disorder Dengan Pendekatan
“Terapi Realitas”. Proceeding Iain Batusangkar, 1(1), 184-192. Diakses
pada http://bit.ly/2BIxY6U pukul 03.17 wib tanggal 19 desember 2017

Navarro-Mateu, F., Salmerón, D., Vilagut, G., Tormo, M. J., Ruíz-Merino, G.,
Escámez, T., . . . Kessler, R. C. (2017). Post-Traumatic Stress Disorder
And Other Mental Disorders In The General Population After Lorca’s
Earthquakes, 2011 (Murcia, Spain): A Cross-Sectional Study. PLoS One,
12(7) doi:http://dx.doi.org/10.1371/journal.pone.0179690 diakses pada
http://bit.ly/2z92GSo pukul 21.29 tanggal 21 november 2017

National Institute of Mental Health. 2010. Depression and College Students.


NIMH:1-8. diakses pada 23.11 wib tanggal 3 april 2018

Nazir, Moh. 2005. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Nurcahyani, F., Dewi, E. I., & Rondhianto, R. (2016). Pengaruh Terapi Suportif
Kelompok terhadap Kecemasan pada Klien Pasca Bencana Banjir
Bandang di Perumahan Relokasi Desa Suci Kecamatan Panti Kabupaten
Jember (The Effect of Supportive Group Therapy toward the Client’s
Anxiety after Flash Flood Disaster. Pustaka Kesehatan, 4(2), 293-299.
Diakses pada http://bit.ly/2jJjdJS pukul 22.17 wib tanggal 21 november
2017.

Parkinson, F. (2000). Post-trauma Stress: Reduce long-term effects and hidden


emotional damage caused by violence and disaster. Da Capo Press.

Polit, D.F. and Beck, C.T. (2012) Nursing Research: Generating and Assessing
Evidence for Nursing Practice. 9th Edition, Lippincott, Williams &
Wilkins, Philadelphia.

Pratiwi, C. A., Karini, S. M., & Agustin, R. W. (2012). Perbedaan Tingkat Post-
Traumatic Stress Disorder Ditinjau Dari Bentuk Dukungan Emosi pada
Penyintas Erupsi Merapi Usia Remaja dan Dewasa Di Sleman,
Yogyakarta. Wacana, 4(8).

Purborini, N. (2017). Gambaran Kondisi Psikososial Masyarakat Lereng Merapi


Pasca 6 Tahun Erupsi Gunung Merapi. Jurnal Keperawatan
Muhammadiyah, 1(1). Diakses pada http://bit.ly/2BbtAdE Pukul 07.58
tanggal 22 november 2017.

Riwidikdo. 2007. Metodelogi Penelitian Kesehatan. Jakarta. Bina Pustaka.


Sadock, Benjamin James; Sadock, Virginia Alcott. 2007.Anxiety Disorder in :
Kaplan Sadock’s Synopsis of Psychiatry : Behavioral Sciences / Clinical
Psychiatry, 10th Edition.New York: Lippincott Williams & Wilkin. Hal
580IV Text Revision). Washington, DC: American Psychiantric
Association Press

Sonpaveerawong, J. (2017). Prevalence of Psychological Distress and Mental


Health Problems among the survivors in the Flash Floods and Landslide
in Southern Thailand. Walailak Journal of Science and Technology
(WJST), 15(1).

Subagyo, W. (2016). Pemulihan PTSD Dengan Play Therapy Pada Anak-Anak


Korban Bencana Tanah Longsor Di Kabupaten Banjarnegara. Jurnal
Keperawatan Soedirman, 11(1), 62-68. Diakses pada
http://bit.ly/2BaDJXU pukul 22.11 wib tanggal 21 november 2017.

Sugiyono. 2014. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif


Dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Suliswati. (2005). Konsep Dasar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: EGC.

Tarwoto dan Wartonah. 2003. Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses


Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.

Videbeck, Sheila L, (2008). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC.

Wang J, Korczykowski M, Rao H, Fan Y, Pluta J, Gur RC, McEwen BS, Detre
JA. Gender difference in neural response to psychological stres. SCAN.
2007; 2: 227–239 diakses pukul 23.19 wib tanggal 3 april 2018

Yosep, I. (2011). Keperawatan Jiwa (Edisi Revisi). Bandung: Refika Medika.

Zhang, Z., Wang, W., Shi, Z., Wang, L., & Zhang, J. (2012). Mental health
problems among the survivors in the hard-hit areas of the yushu
earthquake. PLoS One,
7(10)doi:http://dx.doi.org/10.1371/journal.pone.0046449.
Kepada Yth.

Saudara/i……….

Di Tempat

Dengan hormat,

Saya yang bertandatangan di bawah ini adalah Mahasiswa Program Studi


Keperawatan S1 Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah
Purwokerto:

Nama : Novi isnaini hidayah

Nim : 1411020025

Akan melakukan penelitian yang berjudul “Gambaran Post Traumatic Stress


Disorder (PTSD) pada Korban Bencana Tanah Longsor di Dusun Jemblung
Banjarnegara”. Untuk maksud tersebut, saya akan mengumpulkan data dari
Bapak/Ibu dan dengan kerendahan hati, saya meminta kesediaannya untuk
menjadi responden.

Penelitian ini tidak akan menimbulkan akibat yang merugikan,


kerahasiaan semua informasi akan dijaga dan digunakan untuk kepentingan
penelitian. Jika saudara/I tidak bersedia menjadi responden, maka tidak ada
paksaan bagi responden, namun jika bersedia, mohon saudara/i menandatangani
pernyataan persetujuan menjadi responden.

Atas perhatian dan kesediannya saya ucapkan terimakasih.

Peneliti,

(Novi isnaini hidayah)


LEMBAR PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN (PSP)

(INFORMED CONSENT)

Saya yang bertandatangan dibawah ini:

Nama :

Umur :

Alamat :

Bersedia untuk menjadi responden dalam penelitian dengan judul

“Gambaran Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) pada Korban Bencana Tanah

Longsor di Dusun Jemblung Banjarnegara” dan saya akan memberikan jawaban

yang jujur demi kepentingan penelitian ini.

Demikian pernyataan ini saya buat secara sukarela dan tidak ada paksaan

dari pihak siapapun.

Banjarnegara, 2018

Responden

(……………………………)
INSTRUMEN PENELITIAN

Kode :

Tanggal :

Petunjuk Umum Pengisian

1. Isilah dengan lengkap.

2.Untuk data yang dipilih, beri tanda (√) pada kotak yang tersedia dan atu isi

sesuai jawaban.

3. Setiap pertanyaan harus diisi dengan satu jawaban.

A. Data Demografi

1. Inisial :

2. Usia : tahun

3. Jenis kelamin: laki-laki perempuan

4. Agama : islam katolik Budha

kristen Hindu

5. Pendidikan : SD SMP SMA/SMK

Perguruan Tinggi Lain-lain, sebutkan_____

6. pekerjaan : Pelajar wiraswasta

PNS tidak bekerja

Lain-lain, sebutkan_____

7. Suku : jawa padang

Batak Nias

Lain-lain, sebutkan_____
8. Usia ketika mengalami kejadian tanah longsor 12 Desember 2014 :_____

tahun

B. Kuesioner untuk PTSD

Tuliskan Tanda chek list (√) pada kolom yang tersedia untuk pilihan jawaban

yang tepat menurut saudara.

 SL : Selalu

*Tanda/gejala terjadi berulang- ulang dan pasti secara periodik.

 SR : Sering

*Tanda/gejala tidak selalu berulang secara periodik tetapi

frekuensinya lebih banyak terjadi bila dibandingkan dengan

kadang-kadang.

 KD : Kadang- kadang

*Contoh: sekitar 2-3 kali setahun

 JR : Jarang

* Contoh: sekitar 1 kali setahun

 TP : Tidak Pernah

Pernyataan:

1. Berkali- kali terganggu dengan kenangan atau bayang-bayang tentang

kejadian tanah longsor 12 Desember 2014.

Tidak pernah jarang kadang-kadang sering

selalu
2. Mimpi yang mengganggu berulang-ulang tentang kejadian tanah longsor

tersebut

Tidak pernah jarang kadang-kadang sering

selalu

3. Seringkali merasa seakan kejadian tersebut muncul kembali.

Tidak pernah jarang kadang-kadang sering

selalu

4. Mudah tersinggung ketika ada seseorang yang mengingatkan kembali

pada kejadian tanah longsor tersebut.

Tidak pernah jarang kadang-kadang sering

selalu

5. Merasakan jantung berdebar/ berkeringat dingin ketika ada sesuatu yang

mengingatkan kembali pada kejadian tanah longsor tersebut.

Tidak pernah jarang kadang-kadang sering

selalu

6. Tidak menghindari memikirkan/membicarakan segala sesuatu yang

berhubungan dengan kejadian tanah longsor tersebut.

Tidak pernah jarang kadang-kadang sering

selalu

7. Menghindari aktivitas yang mengingatkan kembali pada kejadian tanah

longsor tersebut.

Tidak pernah jarang kadang-kadang sering

selalu
8. Mengalami kesulitan dalam mengingat bagian-bagian penting dari

pengalaman mengenai kejadian tanah longsor tersebut.

Tidak pernah jarang kadang-kadang sering

selalu

9. Kurangnya minat dalam melakukan hal-hal yang dulunya disenangi.

Tidak pernah jarang kadang-kadang sering

selalu

10. Tidak merasa jauh ataupun dikucilkan orang-orang sekitar.

Tidak pernah jarang kadang-kadang sering

selalu

11. Mampu merasakan kasih sayang dari orang-orang sekitar.

Tidak pernah jarang kadang-kadang sering

selalu

12. Saya tidak merasa masa depan suram.

Tidak pernah jarang kadang-kadang sering

selalu

13. Tidak mengalami sulit tidur ataupun sering terjaga di malam hari.

Tidak pernah jarang kadang-kadang sering

selalu

14. mampu mengontrol marah.

Tidak pernah jarang kadang-kadang sering

selalu
15. Mudah berkonsentrasi.

Tidak pernah jarang kadang-kadang sering

selalu

16. Tidak waspada atau berjaga-jaga secara berlebihan

Tidak pernah jarang kadang-kadang sering

selalu

17. Tidak gugup atau gampang merasa khawatir.

Tidak pernah jarang kadang-kadang sering

selalu
Tabel 4.1 Gambaran karakteristik, Umur, Jenis Kelamin, Agama, Pendidikan,

Pekerjaan, Suku, dan Usia saat mengalami kejadian longsor di Dusun Jemblung

Kabupaten Banjarnegara tahun 2018

Statistics

usia saat
jenis kelamin umur kejadian agama pendidikan pekerjaan suku
N Valid 38 38 38 38 38 38 38
Missing 0 0 0 0 0 0 0

Frequency Table
jenis kelamin

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid laki-laki 15 39.5 39.5 39.5
perempuan 23 60.5 60.5 100.0
Total 38 100.0 100.0

umur

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid 12-25 10 26.3 26.3 26.3
26-45 16 42.1 42.1 68.4
46-65 12 31.6 31.6 100.0
Total 38 100.0 100.0

usia saat kejadian

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid 12-25 12 31.6 31.6 31.6
26-45 18 47.4 47.4 78.9
46-65 8 21.1 21.1 100.0
Total 38 100.0 100.0
agama

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Islam 38 100.0 100.0 100.0

pendidikan

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid SD 26 68.4 68.4 68.4
SMP 9 23.7 23.7 92.1
SMA/SMK 2 5.3 5.3 97.4
lain-lain 1 2.6 2.6 100.0
Total 38 100.0 100.0

pekerjaan

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid pelajar 6 15.8 15.8 15.8
wiraswasta 12 31.6 31.6 47.4
tidak bekerja 7 18.4 18.4 65.8
lain-lain 13 34.2 34.2 100.0
Total 38 100.0 100.0

suku

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Jawa 38 100.0 100.0 100.0

Tabel 4.4 distribui frekuensi dan persentase tanda dan gejala Post Traumatic
Stress Disorder (PTSD) berdasarkan karakteristik responden di Dusun Jemblung
Kabupaten Banjarnegara
Crosstabs

Case Processing Summary

Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
jenis kelamin * Re-experiencing
38 100.0% 0 .0% 38 100.0%
jenis kelamin * avoidance 38 100.0% 0 .0% 38 100.0%
jenis kelamin * negative alteration in mood
and cognition 38 100.0% 0 .0% 38 100.0%

jenis kelamin * hyperarousal


38 100.0% 0 .0% 38 100.0%
umur * Re-experiencing 38 100.0% 0 .0% 38 100.0%
umur * avoidance 38 100.0% 0 .0% 38 100.0%
umur * negative alteration in mood and
cognition 38 100.0% 0 .0% 38 100.0%
umur * hyperarousal 38 100.0% 0 .0% 38 100.0%

jenis kelamin * Re-experiencing


Crosstab

Re-experiencing Total
tidak
mengalami mengalami mengalami
jenis kelamin laki-laki Count 15 0 15
% within jenis kelamin 100.0% .0% 100.0%
% within Re-experiencing 40.5% .0% 39.5%
% of Total 39.5% .0% 39.5%
perempuan Count 22 1 23
% within jenis kelamin 95.7% 4.3% 100.0%
% within Re-experiencing 59.5% 100.0% 60.5%
% of Total 57.9% 2.6% 60.5%
Total Count 37 1 38
% within jenis kelamin 97.4% 2.6% 100.0%
% within Re-experiencing 100.0% 100.0% 100.0%
% of Total 97.4% 2.6% 100.0%
jenis kelamin * avoidance
Crosstab

avoidance Total
tidak
mengalami mengalami mengalami
jenis kelamin laki-laki Count 15 0 15
% within jenis kelamin 100.0% .0% 100.0%
% within avoidance 40.5% .0% 39.5%
% of Total 39.5% .0% 39.5%
perempuan Count 22 1 23
% within jenis kelamin 95.7% 4.3% 100.0%
% within avoidance 59.5% 100.0% 60.5%
% of Total 57.9% 2.6% 60.5%
Total Count 37 1 38
% within jenis kelamin 97.4% 2.6% 100.0%
% within avoidance 100.0% 100.0% 100.0%
% of Total 97.4% 2.6% 100.0%

jenis kelamin * negative alteration in mood and cognition


Crosstab
negative
alteration in
mood and
cognition Total

mengalami mengalami
jenis kelamin laki-laki Count 15 15
% within jenis kelamin 100.0% 100.0%
% within negative
alteration in mood and 39.5% 39.5%
cognition
% of Total 39.5% 39.5%
perempuan Count 23 23
% within jenis kelamin 100.0% 100.0%
% within negative
alteration in mood and 60.5% 60.5%
cognition
% of Total 60.5% 60.5%
Total Count 38 38
% within jenis kelamin 100.0% 100.0%
% within negative
alteration in mood and 100.0% 100.0%
cognition
% of Total 100.0% 100.0%
jenis kelamin * hyperarousal
Crosstab

hyperarousal Total
tidak
mengalami mengalami mengalami
jenis kelamin laki-laki Count 12 3 15
% within jenis kelamin 80.0% 20.0% 100.0%
% within hyperarousal 37.5% 50.0% 39.5%
% of Total 31.6% 7.9% 39.5%
perempuan Count 20 3 23
% within jenis kelamin 87.0% 13.0% 100.0%
% within hyperarousal 62.5% 50.0% 60.5%
% of Total 52.6% 7.9% 60.5%
Total Count 32 6 38
% within jenis kelamin 84.2% 15.8% 100.0%
% within hyperarousal 100.0% 100.0% 100.0%
% of Total 84.2% 15.8% 100.0%

umur * Re-experiencing
Crosstab

Re-experiencing Total
tidak
mengalami mengalami mengalami
umur 12-25 Count 10 0 10
% within umur 100.0% .0% 100.0%
% within Re-experiencing 27.0% .0% 26.3%
% of Total 26.3% .0% 26.3%
26-45 Count 15 1 16
% within umur 93.8% 6.3% 100.0%
% within Re-experiencing 40.5% 100.0% 42.1%
% of Total 39.5% 2.6% 42.1%
46-65 Count 12 0 12
% within umur 100.0% .0% 100.0%
% within Re-experiencing 32.4% .0% 31.6%
% of Total 31.6% .0% 31.6%
Total Count 37 1 38
% within umur 97.4% 2.6% 100.0%
% within Re-experiencing 100.0% 100.0% 100.0%
% of Total 97.4% 2.6% 100.0%
umur * avoidance
Crosstab

avoidance Total
tidak
mengalami mengalami mengalami
umur 12-25 Count 10 0 10
% within umur 100.0% .0% 100.0%
% within avoidance 27.0% .0% 26.3%
% of Total 26.3% .0% 26.3%
26-45 Count 15 1 16
% within umur 93.8% 6.3% 100.0%
% within avoidance 40.5% 100.0% 42.1%
% of Total 39.5% 2.6% 42.1%
46-65 Count 12 0 12
% within umur 100.0% .0% 100.0%
% within avoidance 32.4% .0% 31.6%
% of Total 31.6% .0% 31.6%
Total Count 37 1 38
% within umur 97.4% 2.6% 100.0%
% within avoidance 100.0% 100.0% 100.0%
% of Total 97.4% 2.6% 100.0%

umur * negative alteration in mood and cognition


Crosstab

negative
alteration in
mood and
cognition Total

mengalami mengalami
umur 12-25 Count 10 10
% within umur 100.0% 100.0%
% within negative
alteration in mood 26.3% 26.3%
and cognition
% of Total 26.3% 26.3%
26-45 Count 16 16
% within umur 100.0% 100.0%
% within negative
alteration in mood 42.1% 42.1%
and cognition
% of Total 42.1% 42.1%
46-65 Count 12 12
% within umur 100.0% 100.0%
% within negative
alteration in mood 31.6% 31.6%
and cognition
% of Total 31.6% 31.6%
Total Count 38 38
% within umur 100.0% 100.0%
% within negative
alteration in mood 100.0% 100.0%
and cognition
% of Total 100.0% 100.0%

umur * hyperarousal
Crosstab

hyperarousal Total
tidak
mengalami mengalami mengalami
Umur 12-25 Count 9 1 10
% within umur 90.0% 10.0% 100.0%
% within hyperarousal 28.1% 16.7% 26.3%
% of Total 23.7% 2.6% 26.3%
26-45 Count 12 4 16
% within umur 75.0% 25.0% 100.0%
% within hyperarousal 37.5% 66.7% 42.1%
% of Total 31.6% 10.5% 42.1%
46-65 Count 11 1 12
% within umur 91.7% 8.3% 100.0%
% within hyperarousal 34.4% 16.7% 31.6%
% of Total 28.9% 2.6% 31.6%
Total Count 32 6 38
% within umur 84.2% 15.8% 100.0%
% within hyperarousal 100.0% 100.0% 100.0%
% of Total 84.2% 15.8% 100.0%
Case Processing Summary

Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
agama * re-experience 38 100.0% 0 .0% 38 100.0%
agama * avoidance 38 100.0% 0 .0% 38 100.0%
agama * negative alteration in mood and
cognition 38 100.0% 0 .0% 38 100.0%

agama * hyperarousal 38 100.0% 0 .0% 38 100.0%


pendidikan * re-experience
38 100.0% 0 .0% 38 100.0%
pendidikan * avoidance 38 100.0% 0 .0% 38 100.0%
pendidikan * negative alteration in mood and
cognition 38 100.0% 0 .0% 38 100.0%

pendidikan * hyperarousal
38 100.0% 0 .0% 38 100.0%
pekerjaan * re-experience 38 100.0% 0 .0% 38 100.0%
pekerjaan * avoidance 38 100.0% 0 .0% 38 100.0%
pekerjaan * negative alteration in mood and
cognition 38 100.0% 0 .0% 38 100.0%

pekerjaan * hyperarousal 38 100.0% 0 .0% 38 100.0%


suku * re-experience 38 100.0% 0 .0% 38 100.0%
suku * avoidance 38 100.0% 0 .0% 38 100.0%
suku * negative alteration in mood and cognition
38 100.0% 0 .0% 38 100.0%
suku * hyperarousal 38 100.0% 0 .0% 38 100.0%

agama * re-experience Crosstabulation

Count

re-experience Total
tidak
mengalami
mengalami gejala mengalami
agama islam 37 1 38
Total 37 1 38

agama * avoidance Crosstabulation

Count

avoidance Total
tidak
mengalami mengalami mengalami
gejala gejala gejala
agama islam 37 1 38
Total 37 1 38

agama * negative alteration in mood and cognition Crosstabulation

Count
negative alteration in
mood and cognition Total

mengalami gejala mengalami gejala


agama islam 38 38
Total 38 38
agama * hyperarousal Crosstabulation

Count

hyperarousal Total
tidak
mengalami mengalami mengalami
gejala gejala gejala
agama islam 32 6 38
Total 32 6 38

pendidikan * re-experience Crosstabulation

Count
re-experience Total
tidak
mengalami
mengalami gejala mengalami
pendidikan SD 25 1 26
SMP 9 0 9
SMA/SMK 2 0 2
lain-lain 1 0 1
Total 37 1 38

pendidikan * avoidance Crosstabulation

Count

avoidance Total
tidak
mengalami mengalami mengalami
gejala gejala gejala
pendidikan SD 25 1 26
SMP 9 0 9
SMA/SMK 2 0 2
lain-lain 1 0 1
Total 37 1 38

pendidikan * negative alteration in mood and cognition Crosstabulation

Count
negative alteration in
mood and cognition Total

mengalami gejala mengalami gejala


pendidikan SD 26 26
SMP 9 9
SMA/SMK 2 2
lain-lain 1 1
Total 38 38
pendidikan * hyperarousal Crosstabulation

Count

hyperarousal Total
tidak
mengalami mengalami mengalami
gejala gejala gejala
pendidikan SD 21 5 26
SMP 8 1 9
SMA/SMK 2 0 2
lain-lain 1 0 1
Total 32 6 38

pekerjaan * re-experience Crosstabulation

Count

re-experience Total
tidak
mengalami
mengalami gejala mengalami
pekerjaan pelajar 6 0 6
wiraswasta 11 1 12
tidak bekerja 7 0 7
lain-lain 13 0 13
Total 37 1 38

pekerjaan * avoidance Crosstabulation

Count

avoidance Total
tidak
mengalami mengalami mengalami
gejala gejala gejala
pekerjaan pelajar 6 0 6
wiraswasta 12 0 12
tidak bekerja 6 1 7
lain-lain 13 0 13
Total 37 1 38
pekerjaan * negative alteration in mood and cognition Crosstabulation

Count
negative alteration in
mood and cognition Total

mengalami gejala mengalami gejala


pekerjaan pelajar 6 6
wiraswasta 12 12
tidak bekerja 7 7
lain-lain 13 13
Total 38 38

pekerjaan * hyperarousal Crosstabulation

Count

hyperarousal Total
tidak
mengalami mengalami mengalami
gejala gejala gejala
pekerjaan pelajar 6 0 6
wiraswasta 12 0 12
tidak bekerja 5 2 7
lain-lain 9 4 13
Total 32 6 38

suku * re-experience Crosstabulation

Count
re-experience Total
tidak mengalami
mengalami gejala mengalami
suku jawa 37 1 38
Total 37 1 38

suku * avoidance Crosstabulation

Count

avoidance Total
tidak
mengalami mengalami mengalami
gejala gejala gejala
suku jawa 37 1 38
Total 37 1 38
suku * negative alteration in mood and cognition Crosstabulation

Count
negative alteration in mood and
cognition Total
mengalami gejala mengalami gejala
suku jawa 38 38
Total 38 38

suku * hyperarousal Crosstabulation

Count

hyperarousal Total
mengalami tidak mengalami
gejala gejala mengalami gejala
suku jawa 32 6 38
Total 32 6 38

Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi dan Persentase gambaran gejala Post Traumatic

Stress Disorder (PTSD) Korban Bnecana Tanah Longsor di Dusun Jemblung

Kabupaten Banjarnegara (n=38)

Frequency Table
mengalami gejala

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid mengalami semua gejala 30 78.9 78.9 78.9
tidak menglami semua
gejala 8 21.1 21.1 100.0
Total 38 100.0 100.0
Foto dokumentasi penelitian

Anda mungkin juga menyukai