Anda di halaman 1dari 27

PROPOSAL KARYA TULIS ILMIAH

PENGARUH PEMBERIAN MADU TERHADAP PENURUNAN


FREKUENSI DIARE PADA ANAK BALITA

Disusun oleh :

MELA MELAWATI AGUSTINA


NIM: E.1614401035

PROGRAM STUDI D-III KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH TASIKMALAYA
2019
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Anak adalah investasi bangsa karena mereka adalah generasi penerus

bangsa. Kualitas bangsa di masa depan ditentukan oleh kualitas anak-anak saat

ini. Anak yang sehat merupakan dambaan dari semua orang tua, namun tidak

semua anak dengan kondisi sehat. Gangguan kesehatan yang terjadi pada masa

anak-anak dapat mempengaruhi proses tumbuh kembang anak, khususnya jika

gangguan tersebut terjadi pada saluran pencernaan yang mempunyai peranan

penting dalam penyerapan nutrisi yang diperlukan untuk menunjang tumbuh

kembang anak. Salah satu gangguan pada saluran pencernaan yang sering

terjadi pada anak adalah diare. Diare adalah penyakit yang ditandai dengan

bertambahnya frekuensi defekasi lebih dari biasanya (>3 kali/hari) disertai

perubahan konsistensi tinja (menjadi cair), dengan/tanpa darah atau lendir

(Suraatmaja 2007 dalam Iswari 2011).

Penyakit diare merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan

perubahan bentuk dan konsistensi tinja yang lembek sampai mencair dan

bertambahnya frekuensi buang air besar yang lebih dari biasanya, yaitu 3 kali

atau lebih dalam sehari yang mungkin dapat disertai muntah atau tinja yang

berdarah. Penyakit ini paling sering dijumpai pada balita, terutama pada 3

tahun kehidupan, dimana seorang anak dapat mengalami 1-3 episode diare

berat (Simatupang 2004 dalam Rahmi 2014). Diare adalah pengeluaran feses

yang tidak normal dan cair. Bisa juga didefinisikan sebagai buang air besar
yang tidak normal dan berbentuk cair dengan frekuensi lebih banyak dari

biasanya. Bayi dikatakan diare bila sudah lebih dari 3 kali buang air besar,

sedangkan neonatus dikatakan diare bila sudah lebih dari 4 kali buang air

besar (Dewi, 2010).

Uji klinis dari pengobatan dengan madu pada anak-anak yang

menderita gastroenteritis telah dilaporkan oleh Haffejee dan Moosa, mereka

mendapatkan dengan mengganti glukoosa (111 mmol/I) yang terkandung

didalam cairan rehidrasi oral yang mengandung elektrolit standart seperti yang

direkomendasikan WHO/UNICEF, rata-rata waktu pemulihan dari pasien

(usia 8 hari sampai 11 tahun) mengalami penurunan yang signifikan (Jeffrey

1996 dan Haffejee 1985 dalam Cholid 2011).Madu adalah cairan kental yang

dihasilkan oleh lebah madu dari berbagai sumber nektar. Senyawa–senyawa

yang terkandung dalam madu bunga berasal dari nektar berbagai jenis bunga.

Nektar adalah suatu senyawa kompleks yang dihasilkan oleh kelenjar

“necterifier” tanaman dalam bentuk larutan gula yang bervariasi. Komponen

utama dari nektar adalah sukrosa, fruktosa, dan glukosa serta terdapat juga

dalam jumlah kecil sedikit zat–zat gula lainnya seperti maltosa, melibiosa,

rafinosa serta turunan karbohidrat lainnya (Suranto 2004 dalam Cholid 2010).

Dari studi laboratorium dan uji klinis, madu murni memiliki aktivitas

bakterisidal yang dapat melawan beberapa organisme enteropathogenic,

termasuk diantaranya spesies dari E.Coli (Puspita, 2014). Uji klinis pemberian

madu pada anak yang menderita gastroenteritis telah diteliti, Para peneliti

mengganti glukosa didalam cairan rehidrasi oral yang mengandung elektrolit


standar seperti yang direkomendasikan WHO/UNICEF, dan hasilnya diare

mengalami penurunan yang signifikan (Pediatri, 2011).

Peran perawat yang dapat dilakukan terkait pemberian terapi madu

terhadap penurunan diare akut pada anak yaitu mengembalikan cairan

elektrolit yang hilang akibat dari lebihnya BAB atau diare. Serta dapat

mempercepat lamanya perawatan di rumah sakit, menurunkan frekuensi diare,

dan meningkatkan berat badan pada anak diare akut.

B. Rumusan Masalah

Bagaimana asuhan keperawatan dengan pengaruh pemberian madu

terhadap penurunan frekuensi diare pada anak balita.

C. Tujuan Studi Kasus

Menggambarkan asuhan keperawatan dengan pengaruh pemberian

madu terhadap penurunan frekuensi diare pada anak balita.

D. Manfaat Studi Kasus

Manfaat studi kasus memuat uraian tentang implikasi temuan studi

kasus yang bersifat praktis terutama bagi:

1. Masyarakat:

Meningkatkan pengetahuan masyarakat dalam menurunkan frekuensi

dengan dengan madu untuk mengembalikan cairan elektrolit.

2. Bagi Pengembangan Ilmu dan Teknologi Keperawatan:

Menambah keluasan ilmu dan teknologi terapan bidang keperawatan

dalam pemberian madu terhadap penurunan frekuensi diare pada anak

balita.
3. Penulis:
Memperoleh pengalaman dalam mengimplementasikan prosedur pengaruh

pemberian madu terhadap penurunan frekuensi diare pada anak balita.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Asuhan Keperawatan Pasien Dengan Diare

II.1.1 Pengkajian

1. Identitas pasien/biodata

Meliputi nama lengkap, tempat tinggal. Jenis kelamin, tanggal lahir, umur,

tempat lahir, asal suku bangsa, nama orang tua, pekerjaan orang tua,

penghasilan. Untuk umur pada pasien diare akaut, sebagian besar adalah anak

dibawah dua tahun. Insiden paling tinggi umur 6-11 bulan karena pada masa

ini mulai diberikan makanan pendamping. Kejadian diare akut pada anak laki-

laki hampir sama dengan anak perempuan (Depkes RI, 1999:5).

2. Keluhan utama

Buang air besar (BAB) lebih tiga kali sehari. BAB kurang dari empat kali

dengan konsistensi cair (diare tanpa dehidrasi). BAB 4-10 kali dengan

konsistensi cair (dehidrasi ringan/sedang). BAB lebih dari sepuluh kali

(dehidrasi berat). Bila diare berlangsung kurang dari 14 hari adalah diare akut.

Bila berlangsung 14 hari atau lebih diare persisten.

3. Riwayat penyakit sekarang menurut Suharyono (1999:59) sebagai berikut.

a. Mula-mula bayi/anak menjadi cengeng, gelisah, suhu badan mungkin

meningkat, nafsu makan mungkin berkurang atau tidak, kemungkinan

timbul diare.

b. Tinja makin cair, mungkin disertai lendir atau lendir dan darah, warna

tinja berubah menadi kehijauan karena bercampur empedu.


c. Anus dan daerah sekitarnya timbul lecet karena sering defekasi dan

sifatnya makin lama makin asam.

d. Gejala muntah dapat terjadi sebelum atau sesudah diare

e. Bila pasien telah banyak kehilangan cairan dan elektrolit, gejala dehidrasi

mulai tampak.

f. Diuresis, yaitu terjadi oliguri (kurang 1 ml/kg/BB/jam) bila terjadi

dehidrasi. Urine normal pada diare tanpa dehidrasi. Urine sedikit gelap

pada dehidrasi ringan atau sedang. Tidak ada urine dalam waktu enam jam

(dehidrasi berat).

4. Riwayat kesehatan meliputi sebagai berikut.

a. Riwayat imunisasi terutama anak yang belum imunisasi campak. Diare

lebih sering terjadi dan berakibat berat pada anak-anak dengam campak

atau yang menderita campak dalam empat minggu terakhir, yaitu akibat

penurunan kekebalan pada pasien.

b. Riwayat alergi terhadap makanan atau obat-obatan (antibiotik) karena

faktor ini salah satu kemungkinan penyebab diare (Axton, 1993:83).

c. Riwayat penyakit yang sering pada anak dibawah dua tahun biasanya

batuk, panas, pilek dan kejang yang terjadi sebelum, selama atau setelah

diare. Hal ini untuk melihat tanda atau gejala infeksi lain yang

menyebabkan diare, seperti OMA, tonsilitis, faringitis, bronko pneumonia,

esefalitis (Suharyono, 1999:59).


5. Riwayat nutrisi (Depkes RI, 1999: 124-129)

Riwayat pemberian makanan sebelum sakit diare meliputi hal sebagai berikut.

a. Pemberian ASI penuh pada anak umur 4-6 bulan sangat mengurangi resiko

diare dan infeksi yang serius.

b. Pemberian susu formula, apakah menggunakan air masak, diberikan

dengan botol atau dot, karena botol yang tidak bersih akan mudah terjadi

pencemaran.

c. Perasaan haus. Anak yang diare tanpa dehidrasi tidak merasa haus (minum

biasa), pada dehidrasi ringan/sedang anak merasa haus, ingin minum

banyak, sedangkan pada dehidrasi berat anak malas minum atau tidak bisa

minum.

6. Pemeriksaan fisik

a. Keadaan umum

1) Baik, sadar (tanpa dehidrasi)

2) Gelisah, rewel (dehidrasi ringan atau sedang)

3) Lesu, lunglai, atau tidak sadar (dehidrasi berat)

b. Berat badan

Menurut S. Partono (1999), anak yang diare dengan dehidrasi biasanya

mengalami penurunan berat badan sebagai berikut.

Tabel 1. Penurunan berat badan anak diare dengan dehidrasi

Kehilangan Berat Badan (%)


Tingkat Dehidrasi
Bayi Anak Besar
Dehidrasi ringan 5% (50 ml/kg) 3% (30 ml/kg)
Dehidrasi sedang 5-10% (50-100 ml/kg) 6% (60 ml/kg)
Dehidrasi berat 10-15% (100-150 ml/kg) 9% (90 ml/kg)
Persentase penurunan berat badan tersebut dapat diperkirakan saat

anak dirawat dirumah sakit. Sedangkan di Puskesmas/fasilitas

pelayanan dasar dapat digunakan pedoman MTBS (2008),

sebagaimana telah disajikan pada bahasan macam diare diatas.

c. Kulit

Untuk mengetahui elastisitas kulit, kita dapat melakukan pemeriksaan

turgor, yaitu dengan cara mencubit daerah perut dengan kedua ujung jari

(bukan kedua kuku). Turgor kembali cepat kurang dari dua detik berarti

diare tanpa dehidrasi. Turgor kembali lambat bila cubitan kembali dalam

waktu dua detik dan ini berarti diare dengan dehidrasi ringan/sedang.

Turgor kembali sangat lambat bila cubitan kembali lebih dari dua detik

dan ini termasuk diare dengan dehidrasi berat.

d. Kepala

Anak dibawah dua tahun yang mengalami dehidrasi, ubun-ubunnya

biasanya cekung.

e. Mata

Anak yang diare tanoa dehidrasi, bentuk kelopak mata normal. Bila

dehidrasi ringan/sedang, kelopak mata cekung (cowong). Sedangkan

dehidrasi berat, kelopak mata sangat cekung.

f. Mulut dan lidah

1) Mulut dan lidah basah (tanpa dehidrasi)

2) Mulut dan lidah kering (dehidrasi ringan/sedang)

3) Mulut dan lidah sangat kering (dehidrasi berat).


g. Abdomen kemungkinan distensi, kram, bising usu meningkat

h. Anus, adakah iritasi pada kulitnya

i. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan laboratorium penting artinya dalam menegakkan diagnosis

(kausal) yang tepat, sehingga dapat memberikan terapi yang tepat pula

(Suharyono, 1999). Pemeriksaan yang perlu dilakukan pada anak diare

yaitu:

1) Pemeriksaan tinja, baik secara mikroskopi maupun mikroskopi dengan

kultur

2) Tes malabsorbsi yang meliputu karbohidrat (pH, clinic test), lemak dan

kultur urine.

Sebagaimana telah dibahas bahwa untuk menentukan terjadinya dehidrasi

pada anak, terdapat data-data penting yang harus dikaji. Data-data ini

selanjutnya untuk mengklasifikasikan diare. Klasifikasi ini bukan

diagnosis medis, tapi dapat digunakan untuk menentukan tindakan apa

yang harus diambil oleh petugas di lapangan. Adapun data dan klasifikasi

diare yang dimaksud telah disajikan pada bahasan macam diare

berdasarkan pedoman MTBS (2008).

II.1.2 Diagnosa

Masalah yang sering terjadi pada anak dengan diare adalah:

1. Kekurangan volume cairan

2. Perubahan pola pemenuhan nutrisi

3. Perubahan integritas kulit


4. Gangguan rasa nyaman

5. Kurangnya pengetahuan orang tua

II.1.3 Perencanaan/Intervensi

Untuk mengatasi diare, tidak selalu harus dirujuk. Hal ini disesuaikan dengan

klasifikasinya. Ada tindakan yang dapat dilakukan sendiri oleh petugas di

lapangan. Anak baru dirujuk apabila keadaan anak tidak membaik. Sesuai dengan

klasifikasi pada pedoman MTBS (2008), tindakan yang diperlukan adalah sebagai

berikut:

1) Diare tanpa dehidrasi (rencana terapi A)

a) Beri cairan tambahan sebanyak anak mau. Saat berobat, orang tua perlu

diberi oralit beberapa bungkus untuk diberikan pada anak di rumah. Juga

perlu penjelasan.

(1) Beri ASI lebih lama pada setiap kali pemberian (bila masih diberi ASI)

(2) Jika diberi ASI eksklusif, berikan oralit atau air matang sebagai

tambahan

(3) Jika tidak memperoleh ASI eksklusif, berikan salah satu cairan berikut

ini yaitu oralit, kuah sayur, air tajin, air matang.

(4) Ajarkan cara membuat dan memberikan oralit di rumah:

(a) Satu bungkus oralit masukkan ke dalam 200 ml (satu gelas) air

matang

(b) Usia sampai satu tahun berikan 50-100 ml oralit setiap habis berak

(c) Berikan oralit sedikit-sedikit dengan sendok. Bila muntah, tunggu

sepuluh menit, kemudian berikan lagi.


b) Lanjutkan pemberian makan sesuai usianya

c) Bila keadaan anak tidak membaik dalam lima hari atau bahkan memburuk,

maka anjurkan untuk dibawa ke Rumah Sakit. Selama perjalanan ke

Rumah Sakit, oralit tetap diberikan.

2) Diare dengan dehidrasi ringan/sedang (rencana terapi B)

a) Berikan oralit dan observasi di klinik selama tiga jam dengan jumlah

sekitar 75 ml/kg BB atau berdasar usia anak. Pemberian oralit pada bayi

sebaiknya dengan menggunakan sendok. Adapun jumlah pemberian oralit

berdasarkan usia atau berat badan dalam tiga jam pertama adalah sebagai

berikut.

Tabel 2 Pemberian Oralit berdasarkan Usia

Sampai 4 4-12 Bulan 12-24 Bulan 2-5 Tahun


Bulan (<6 kg) (6-<10 kg) (10-<12 kg) (12-19 kg)
200-400 ml 400-700 ml 700-900 ml 900-1400 ml

Bila anak menginginkan lebih, dapat diberikan. Anak dibawah enam bulan

yang sudah tidak minum ASI, berikan juga air matang sekitar 100-200 ml

selama periode ini.

b) Ajarkan pada ibu cara membuat dan memberikan oralit, yaitu satu

bungkus oralit dicampur dengan satu gelas (ukuran 200 ml) air matang

c) Lakukan penilaian setelah anak diobservasi tiga jam. Bila membaik,

pemberian oralit dapat diteruskan di rumah sesuai dengan penanganan

diare tanpa dehidrasi. Bila memburuk, segera pasang infus dan rujuk ke

Rumah Sakit untuk mendapatkan penanganan segera.


3) Diare dengan dehidrasi berat

a) Jika anak menderita penyakit berat lainnya, segera dirujuk. Selama dalam

perjalanan, mintalah ibu terus memberikan oralit sedikit demi sedikit dan

anjurkan tetap memberikan ASI.

b) Jika tidak ada penyakit berat lainnya, perlu tindakan sebagai berikut:

(1) Jika dapat memasang infus, segera berikan cairan RL atau NaCl

secepatnya secara intravena sebanyak 100 ml/BB dengan pedoman

sebagai berikut:

Tabel 3 Pemberian Infus Untuk Dehidrasi

Pemberian
Jumlah Pemberian, berikutnya,
Umur
30 ml/kg BB, selama 70 ml/kg BB,
selama
Bayi (<12 bulan) 1 jam pertama 5 jam berikutnya
anak (12 bulan-5 tahun) 30 menit pertama 2,5 jam berikutnya
Keterangan:

Periksa kembali setelah 1-2 jam, jika status hidrasi belum membaik (nadi

lemah atau tidak teraba), ulangi pemberian pertama. Jika kondisi

membaik, teruskan penanganan seperti pada dehidrasi ringan/sedang.

c) Jika tidak dapat memasang infus, tetapi dapat memasang sonde, berikan

oralit melalui nasogastrik dengan jumlah 20 ml/kg BB/jam selama enam

jam. Jika anak muntah terus menerus dan perut kembung, berikan oralit

lebih lambat. Jika keadaan membaik setelah enam jam, teruskan

penanganan seperti dehidrasi ringan/sedang. Jika keadaan memburuk,

segera lakukan rujukan.


d) Jika tidak dapat memasang infus maupun sonde, rujuk segera, jika anak

dapat minum, anjurkan ibu untuk memberikan oralit sedikit demi sedikit

selama dalam perjalanan.

Adapun untuk mengatasi permasalahan selanjutnya, perencanaan yang

diperlukan adalah sebagai berikut.

1. Kekurangan volume cairan

a. Pantau tanda dan gejala dehidrasi (kulit membran mukosa kering,

kenaikan berat jenis urine tiap tiap empat jam, rasa haus).

b. Pantau masukan dan keluaran dengan cermat meliputi frekuensi, warna

dan konsistensi.

c. Pantau ketidakseimbangan elektrolit (natrium klorida, kalium)

d. Timbang berat badan setiap hari

e. Monitor tanda-tanda vital (suhu, nadi) setiap empat jam

f. Monitor pemeriksaan laborat (elektrolit, berat jenis urine, nitrogen urea

darah)

g. Lakukan tindakan untuk mengurangi demam (ganti pakaian katun dan

kompres dingin)

h. Kolaborasi dengan dokter tentang dehidrasi terutama untuk dehidrasi berat

dan terdapatnya penyakit berat lainnya.

2. Perubahan nutrisi

a. Pelihara input dan output yang tepat dengan meneruskan nutrisi per oral

b. Observasi muntah dan berak tiap empat jam

c. Berikan makanan secara bertahap menaikkan dari diet lunak ke diet biasa
d. Timbang berat badan tiap hari

e. Nilai jumlah kalori bahan makanan 1000-2400 kal/hari sesuai dengan

berat badan

f. Kolaborasi dengan ahli gizi (Mayers Marlene, 1995:128).

g. Berikan penyuluhan pada orang tua tentang makanan/diet selama diare,

cara pembuatan oralit, tetap memberikan ASI.

3. Perubahan integritas kulit

a. Jaga daerah popok bersih dan kering

b. Periksa dan ganti popok tiap jam atau basah

c. Gunakan sarung tangan dan cuci tangan sebelum dan setelah mengganti

popok

d. Bersihkan daerah perineal dengan air dan sabun yang lembut setiap BAB

e. Bubuhi krim/salep/lotion pada daearah ruam di pantat

f. Hindari penggunaan bedak bila telah terjadi lecet

g. Gunkana popok kain yang terbuka daripada popok disposible

h. Yakinkan pemenuhan kebutuhan nutrisi sesegera mungkin untuk

mendukung penyembuhan jaringan

4. Gangguan rasa nyaman

a. Baringkan pasien dalam posisi terlentang dengan bantalan penghangat

diatas abdomen

b. Berikan input jumlah kecil dan sering dari cairan jernih dingin (tidak

terlalu dingin atau panas), misalnya, teh encer, agar-agar, 30-60 ml tiap

30-60 menit
c. Singkirkan pemandangan yang tidak menyenangkan dan bau tidak sedap

dari lingkungan klien

d. Beri penjelasan pada orang tua untuk menghindari beberapa hal, yaitu:

1) Pemberian cairan yang sangat dingin atau panas

2) Makanan yang mengandung lemak atau serat (misalnya, susu, buah)

3) Makanan yang mengandung kafein

5. Kurangnya pengetahuan orang tua

a. Bahas proses penyakit dengan istilah yang dapat dipahami jelaskan

tentang agen penyakit, tindakan pencegahan, dan pentingnya cuci tangan

sampai bersih.

b. Jelaskan pembatasan diet, yaitu makanan tinggi serat (buahsegar),

makanan tinggi lemak (susu), dan air yang sangat panas atau dingin

c. Ajarkan orang tua untuk melaporkan gejala, seperti urine coklat gelap

selama lebih12 jam dan tinja berdarah

d. Jelaskan tentang pentingnya mempertahankan keseimbangan antara

masukan dan kelurahan cairan, manfaat istirahat dan tindakan pencegahan

diare (misalnya, penyimpanan makanan yang tepat, cuci tangan sebelum

dan sesudah memegang makanan).

III.1.4 Implementasi

Melaksanakan tindakan kepera"atan sesuai dengan rencana tindakan yang

telahdirencanakan sebelumnya.
III.1.5 Evaluasi

Evaluasi merupakan pengukuran keberhasilan sejauhmana tujuan tersebut

tercapai. Bila ada yang belum tercapai maka dilakukan pengkajian ulang,

kemudian disusunrencana, kemudian dilaksanakan dalam implementasi

keperawatan lalau dievaluasi, bila dalam e6aluasi belum teratasi maka dilakukan

langkah awal lagi dan seterusnya sampai tujuan tercapai.

II.2 Pemberian Madu

II.2.1 Pengertian Madu

Madu adalah cairan alami yang umumnya mempunyai rasa manis,

dihasilkan oleh lebah madu dari sari bunga tanaman (flora nektar) atau bagian lain

dari tanaman (ekstra floral nektar) atau ekskresi serangga. Madu merupakan

cairan yang dihasilkan dari sari bunga tanaman maupun bahan lain dalam

tanaman. Sebenarnya madu gigunakan sebagai makanan oleh lebah itu sendiri.

Biasanya jumlah madu yang diproduksi melebihi kebutuhan lebah, sehingga madu

sering diambil manfaatnya oleh manusia karena madu merupakan zat berkhasiat

yang memiliki nilai gizi tinggi. Rasa madu kebanyakan manis, sehingga disukai

banyak orang dan dapt digunakan sebagai pengganti gula. Pada saat nektar

dikumpulkan oleh lebah, kadar air dan sukrosa di dalamnya masih tinggi. Di

sarang lebah, nektar ini akan dimatangkan, sehingga kadar airnya akan menurun

hingga sekitar 20% saja dari yang sebelumnya sekitar 85% (Yuliarti, 2015).

II.2.2 Komposisi dan produksi madu

Madu yang diproduksi lebah berasal dari nektar tanaman, sekresi tanaman

dan dari ekskresi tanaman (“honeydew”). he Food Standards Code


mendefinisikan madu sebagai eksudasi tanaman berupa nektar dan gula yang

dikumpulkan, dimodifikasi dan disimpan oleh lebah penghasil madu. Farmakope

Inggris (1993) mendefinisikan madu murni sebagai hasil purifikasi madu yang

berasal dari sarang 42 lebah, Apis mellifera , atau spesies Apis lainnya (Office of

Complementary Medicine 1998 dalam Cholid 2011). Rasa manis madu lenih

manis dibandingkan dengan gula (sakarosa) disebabkan adanya kandungan

fruktosa (gula buah), glukosa, dan sakarosa (Puspitasari 2007 dalam Cholid

2011).

II.2.3 Macam-macam Madu

Menurut Waluyo (2008), madu yang dihasilkan oleh tawon madu pada

saat-saat tertentu akan berlainan bentuk dan sifatnya. Hal yang demikian ini

ternyata dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain oleh jenis bunga atau

tanaman yang mana tawon tadi mengambil cairan manis untuk dibuat madu.

Sering pula dibedakan jenis madu yang diperoleh dengan cara-cara yang berbeda.

Kemudian dikenal beberapa jenis madu diantaranya :

1. Madu nektar flora, yaitu madu yang dihasilkan oleh tawon dari bunga satu

tanaman. Madu ini berwarna keruh dan baunya kuat.

2. Madu nektar ekstra flora, yaitu madu yang bukan golongan madu nectar flora.

Madu ini terjadi dari cairan manis dari bagian-bagian tanaman selain bunga,

atau dari hewan penghasil cairan manis (jenis-jenis serangga tertentu).

Adapun golongan madu sebagai berikut:

a. madu (ekstra) monoflora, yaitu madu yang terjadi dari cairan manis yang

diambil dari satu jenis tanaman.


b. madu (ekstra) polifera, yaitu madu yang terjadi dari cairan manis yang

dikeluarkan oleh hewan.

c. madu embun, yaitu madu yang terjadi dari cairan manis yang dikeluarkan

oleh hewan.

3. Madu ekstraksi, yaitu madu yang diperoleh dari sarang tawon yang tidaak

dirusak. Biasanya madu diambil dengan cara memusing (mengsentrifus) atau

dengan memberikan gaya gravitasi.

4. Madu paksa, yaitu madu yang diperoleh dari sarang tawon dengan cara

diperes atau dengan cara lain yang semacam.

5. Madu putih, yaitu madu yang terbuat dari cairan manis nektar bunga jeruk.

6. Madu gelap, yaitu madu yang terbuat dari cairan manis nektar bunga ester,

atau terbuat dari cairan yang dikeluarkan oleh serangga

II.2.4 Akivitas antimikroba madu

1. Osmolaritas

Banyak penelitian menyebutkan bahwa madu mempunyai efek

antimikroba, aktivitas mikroba tersebut akibat osmolaritas, kandungan

hidrogen peroksida serta bahan-bahan lainnya. Ketika madu diberikan secara

topikal pada luka, maka daya osmosis madu akan menyerap air dari luka

sehingga membantu mengeringkan jaringan yang terinfeksi serta mengurangi

pertumbuhan bakteri (Subrahmanyam dkk 2001 dalam Cholid 2011). Bakteri

ini masih dapat tumbuh dalam kulit terinfeksi yang dapat diobati dengan

konsentrat larutan gula murni, tetapi bakteri ini sensitif terhadap komponen
antimikroba lainnya yang terdapat dalam madu dengan besar aktivitas air yang

sama (Mohan 2008 dalam Cholid 2011).

2. Tingkat keasaman

Madu mempunyai pH sedikit rendah, yaitu antara 3,2 sampai 4,5.

Asam glukonik dalam madu dibentuk oleh enzim 43 glukosa oksidase yang

disekresi oleh lebah, enzim tersebut mengkatalisis proses oksidasi glukosa

menjadi asam glukonik. pH yang rendah sendiri sudah mampu menghambat

pertumbuhan berbagai bakteri patogen, terutama pada pemakaian topical .

Pada pemakaian per oral, efek pH yang rendah dalam madu akan hilang

karena mengalami perubahan tingkat keasaman didalam

lambung dan lumen usus (Mohan 2008 dalam Cholid 2011).

3. Aktivitas antimikroba madu dibandingkan dengan antibiotik

Penelitian lain telah membandingkan aktivitas antimikroba pada madu

yang berasal dari sejumlah lebah Sundanese dibandingkan dengan lima buah

antibiotik (30 μg/mL), yaitu ampisilin, sefradin, kloramfenikol, gentamicin

dan oksitetrasiklin. Madu yang tidak dilarutkan (0,2 mL) diuji dengan patogen

Bacillus subtilis, S. aureus, E. coli, Klebsiella aerogenes dan Psedomonas

aeruginosa. Madu yang diuji dapat menghambat pertumbuhan semua bakteri

tersebut, tetapi gentamicin merupakan satu-satunya antibiotik yang mampu

menghambat P. Aeruginosa secara efektif (Farouk 1988 dalam Cholid 2011).

Berdasarkan hasil penelitian seorang peneliti dari Departemen of

Biochemistry Faculty of Medicine Universiti of Malaya di Kuala Lumpur,

paling tidak ada empat faktor yang bertanggung jawab terhadap aktivitas
antibakteri pada madu. Pertama, kadar gula madu yang tinggi akan

menghambat 44 pertumbuhan bakteri sehingga bakteri tersebut tidak dapat

hidup dan berkembang. Kedua, tingkat keasaman madu yang tinggi (pH 3, 65)

akan mengurangi pertumbuhan dan daya hidupnya sehingga bakteri tersebut

mati. Ketiga, adanya senyawa radikal hidrogen peroksida yang bersifat dapat

membunuh mikroorganisme patogen. Dan faktor keempat, adanya senyawa

organik yang bersifat antibakteri. Senyawa organik tersebut tipenya

bermacam-macam, yang telah teridentifikasi antara lain seperti polyphenol,

flavonoid, dan glikosida (Harli 2008 dalam Cholid 2011).

II.2.5 Madu sebagai pengganti gula dalam oralit

Penelitian yang dilakukan oleh I. Sudigbia (1986), yang membandingkan

antara oralit WHO dengan oralit madu didapatkan perbedaan yang bermakna

dalam hal akseptabilitas diantara keduanya (P< 0.01), hal ini dimungkinkan oleh

karena rasa oralit madu yang lebih enak dibanding oralit WHO (Sudigbia dkk

1986 dalam Cholid 2011). Sedangkan untuk lamanya diare tidak dimasukkan

dalam penilaian pada penelitian ini. Uji klinis dari pengobatan dengan madu pada

anak-anak yang menderita gastroenteritis telah dilaporkan oleh Haffejee dan

Moosa, mereka mendapatkan dengan mengganti glukoosa (111 mmol/I) yang

terkandung didalam cairan rehidrasi oral yang mengandung elektrolit standart

seperti yang direkomendasikan WHO/UNICEF, rata-rata 45 waktu pemulihan dari

pasien (usia 8 hari sampai 11 tahun) mengalami penurunan yang signifikan

(Jeffrey 1996 dan Haffejee 1985 dalam Cholid 2011).


II.2.6 Manfaat madu

Menurut Cholid (2011) manfaat madu untuk diare sebagai berikut :

1. Untuk menilai pengaruh pemberian suplemen madu pada pasien diare akut,

dinilai untuk lama rawat, frekuensi diare, serta menilai kenaikan berat badan.

2. Madu dapat menggantikan komposisi glukosa dalam cairan rehidrasi oral.

Madu juga cepat diserap dalam organ pencernaan untuk sampai ke dalam

darah.
BAB III

METODOLOGI PENULISAN

A. Rancangan Studi Kasus

Jenis tugas akhir ini adalah deskriptif analitik dalam bentuk laporan

kasus untuk mengeksplorasi masalah asuhan keperawatan klien. Pendekatan

yang digunakan adalah pendekatan asuhan keperawatan yang meliputi

pengkajian, diagnosis keperawatan, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.

B. Subyek Studi Kasus

Subyek penelitian adalah subyek yang dituju untuk diteliti oleh peneliti

atau subyek yang menjadi pusat perhatian atau sasaran peneliti (Arikunto,

2013). Subyek tugas akhir ini adalah 2 pasien diare pada anak balita.

C. Fokus Studi Kasus

Fokus studi kasus adalah membahas tentang asuhan keperawatan

dengan pengaruh pemberian madu terhadap penurunan frekuensi diare pada

anak balita.

D. Definisi Operasional Fokus Studi Kasus

Pada bagian ini berisi tentang penjelasan/definisi yang dibuat oleh

peneliti tentang fokus studi yang dirumuskan secara operasional yang akan

digunakan pada studi kasus dan bukan merupakan definisi konseptual

berdasarkan literatur.
1. Pemberian madu

Madu adalah cairan kental yang dihasilkan oleh lebah madu dari berbagai

sumber nektar. Senyawa–senyawa yang terkandung dalam madu bunga

berasal dari nektar berbagai jenis bunga.

Peran perawat yang dapat dilakukan terkait pemberian terapi madu

terhadap penurunan diare akut pada anak yaitu mengembalikan cairan

elektrolit yang hilang akibat dari lebihnya BAB atau diare. Serta dapat

mempercepat lamanya perawatan di rumah sakit, menurunkan frekuensi

diare, dan meningkatkan berat badan pada anak diare akut.

2. Pasien diare

Diare adalah gangguan buang air besar (BAB) yang ditandai dengan BAB

lebih dari 3 kali sehari dengan konsistensi tinja cair, dapat disertai dengan

darah dan atau lendir.

E. Tempat dan Waktu

Tempat dilakukannya Karya Tulis Ilmiah ini di ..................... pada

Bulan April 2019.

F. Metode Pengumpulan Data

Prosedur pengumpulan data dan instrumen pengumpul data yang

digunakan dalam studi kasus, diuraikan pada bagian ini. Penyusunan bagian

awal instrumen dituliskan karakteristik responden: umur, pekerjaan, sosial

ekonomi, jenis kelamin, dll. Jenis instrumen yang sering digunakan pada ilmu

keperawatan diklasifikasikan menjadi 5 bagian (Nursalam, 2003), yaitu:


1. Biofisiologis (Pengukuran yang berorientasi pada dimensi fisiologi

manusia, baik invivo maupun invitro).

2. Observasi (terstruktur dan tidak terstruktu)

Observasi dapat dilaksanakan dengan menggunakan beberapa model

instrumen, antara lain:

a. Catatan Anecdotal: mencatat gejala-gejala khusus atau luar biasa

menurut urutan kejadian.

b. Catatan Berkala: mencatat gejala secara berurutan menurut waktu

namun tidak terus menerus.

c. Daftar Cek List: menggunakan daftar yang memuat nama observe

disertai jenis gejala yang diamati.

3. Wawancara (terstruktur dan tidak terstruktu)

4. Kuesioner (pengumpulan data secara formal untuk menjawab pertanyaan

tertulis)

5. Skala penilaian

G. Penyajian Data

Penyajian data disesuaikan dengan desain studi kasus deskriptif yang

dipilih. Untuk studi kasus, data disajikan secara tekstular/narasi dan dapat

disertai dengan cuplikan ungkapan verbal dari subyek studi kasus yang

merupakan data pendukungnya.


H. Etika Studi Kasus

Penelitian ini akan diajukan kepada tim program Karya Tulis Ilmiah

Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya, adapun etika yang harus ditaati

oleh peneliti dalam melaksanakan studi kasus yakni:

1. Klien memiliki otonomi dan hak untuk membuat keputusan secara sadar

dan dipahami dengan baik, bebas dari paksaan untuk berpartisipasi atau

tidak dalam penelitian ini untuk mengundurkan diri dari penelitian ini (self

determination)

2. Klien memiliki hak untuk dihargai tentang apa yang mereka lakukan dan

apa yang dilakukan terhadap mereka serta untuk mengontrol kapan dan

bagaimana informasi tentang mereka dibagi dengan orang lain (privacy

dan dignity)

3. Semua informasi yang didapatkan dari klien harus dijaga dengan

sedemikian rupa sehingga informasi individual tertentu tidak bisa langsung

dikaitkan dengan klien, dan klien juga harus dijaga kerahasiaan atas

keterlibatannya dalam penelitian ini (anonymity dan confidentialy)

4. Hak terhadap penanganan yang adil memberikan individu hak yang sama

untuk dipilih dalam penelitian tanpa diskriminasi dan diberikan hak yang

sama dengan menghormati seluruh persetujuan yang disepakati.

5. Hak untuk mendapatkan perlindungan dari ketidaknyamanan dan kerugian

mengharuskan agar klien dilindungi dan eksploitasi dan peneliti harus

menjamin bahwa semua usaha dilakukan untuk meminimalkan bahaya


atau kerugian dari suatu penelitian, serta memaksimalkan manfaat dari

penelitian (Macnee, 2004).

Anda mungkin juga menyukai