Anda di halaman 1dari 14

BAB.

2 PEMBAHASAN

2.1 Definisi

Menurut WHO (2017) diare berasal dari bahasa Yunani yaitu diappora.
Diare terdiri dari dua kata yaitu dia (melalui) dan rheo (aliran). Secara harfiah
berarti mengalir melalui. Diare merupakan suatu kondisi dimana individu
mengalami buang air dengan frekuensi sebanyak 3 atau lebih per hari dengan
konsistensi tinja dalam bentuk cair.

Diare adalah suatu kondisi dimana seseorang buang air besar dengan
konsistensi lembek atau cair, bahkan dapat berupa air saja dan frekuensinya lebih
dari tiga kali dalam satu hari (Departemen Kesehatan RI, 2011).

Diare adalah suatu penyakit dengan berak encer (biasanya 4 kali atau lebih
dalam sehari) kadang-kadang disertai muntah, badan lesu/lemah, tidak nafsu
makan, lendir dan darah dalam kotoran (Safrudin dkk, 2009).

Dari beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa diare adalah suatu
kondisi seseorang yang buang air besar lebih dari tiga kali dalam sehari dengan
konsistensi tinja lembek atau cair dan kadang disertai gejala lain seperti muntah,
badan lesu/lemah dan tidak nafsu makan.

2.2 Penyebab

Menurut Sumampouw (2017) penyebab diare terbagi menjadi dua kelompok,


yaitu infeksi dan non infeksi.

a. Infeksi

1. Diare umum yang disebabkan oleh virus (rotavirus, adenovirus, dll),


bakteri (E.coli, Salmonella, Campylobacter) dan protozoa (Entamoeba,
Gardia, dan lainnya)
2. Diare akut yang disebabkan oleh Enterotoksik E. coli (ETEC), parasit
diinduksi diare dari Gardia dan Cryptosporidium sp., dan dalam kasus
keracunan makanan oleh B. Cereus dan S. aureus
3. Peradangan mukosa usus disebabkan oleh Enteropatologeik E. coli
(EPEC) dan virus
4. Menelan racun yang disebabkan oleh Bacillus careus, Staphylococcus
aureus, Clostridium perfringens.

b. Non infeksi : Diare eksudatif yang terjadi karena luka yang luas dari usus kecil
atau mukosa usus akibat peradangan atau ulserasi. Selain itu, adanya inflamasi
usus, sindrom iritasi usus, penyakit usus iskemik, konsumsi susu dan lainnya bisa
menjadi penyebab diare

2.3 Karakteristik

Karakteristik bergantung pada lokasi anatomis dan agen penyebab. Infeksi di


usus halus biasanya tidak invasif, sementara infeksi di kolon bersifat invasif.
Diare karena kelainan usus halus biasanya banyak, cair, sering berhubungan
dengan malabsorpsi dan sering ditemukan dehidrasi, gejala dehidrasi meliputi
perasaan haus, berat badan turun, mata cekung, bibir kering dan turgor kulit
menurun. Diare akut karena infeksi dapat disertai mual, muntah, demam, diare
bercampur darah segar, nyeri perut dan atau kejang perut (Juffrie, 2010).

2.4 Beban Penyakit dan Pengukurannya

Prevalensi diare klinis berdasarkan riset kesehatan dasar (riskesdas) tahun


2007 adalah 9,0% (rentang: 4,2% - 18,9%), tertinggi di Provinsi NAD (18,9%)
dan terendah di DI Yogyakarta (4,2%). Beberapa provinsi mempunyai prevalensi
diare klinis >9% (NAD, Sumatera Barat, Riau, Jawa Barat, Jawa Tengah, Banten,
Nusa Tenggara Barat, Nusa Tengara Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi
Tengah, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Papua Barat dan Papua). Bila dilihat per
kelompok umur diare tersebar di semua kelompok umur dengan prevalensi
tertinggi terdeteksi pada anak balita (1-4 tahun) yaitu 16,7%. Prevalensi diare
lebih banyak di perdesaan dibandingkan perkotaan, yaitu sebesar 10% di
perdesaan dan 7,4 % di perkotaan. Diare cenderung lebih tinggi pada kelompok
pendidikan rendah dan bekerja sebagai petani/nelayan dan buruh. Berdasarkan
pola penyebab kematian semua umur, diare merupakan penyebab kematian
peringkat ke-13 dengan proporsi 3,5%. Juga didapatkan bahwa penyebab
kematian bayi (usia 29 hari-11 bulan) yang terbanyak adalah diare (31,4%) dan
pneumonia (23,8%). Demikian pula penyebab kematian anak balita (usia 12-59
bulan), terbanyak adalah diare (25,2%) dan pnemonia (15,5%).

Dari hasil SDKI 2007 didapatkan 13,7% balita mengalami diare dalam
waktu dua minggu sebelum survei, 3% lebih tinggi dari temuan SDKI 2002-2003
(11 persen). Prevalensi diare tertinggi adalah pada anak umur 12-23 bulan, diikuti
umur 6-11 bulan dan umur 23-45 bulan seperti pada Gambar 5. Dengan demikian
seperti yang diprediksi, diare banyak diderita oleh kelompok umur 6-35 bulan
karena anak mulai aktif bermain dan berisiko terkena infeksi. Prevalensi diare
sedikit lebih tinggi pada anak laki-laki (14,8%) dibandingkan dengan anak
perempuan (12,5%) dan lebih tinggi pada balita di perdesaan (14,9%)
dibandingkan dengan perkotaan (12,0%).

Frekuensi KLB diare pada tahun 2010, lebih banyak terjadi di provinsi
Sulawesi Tengah (27 kali) dan Jawa Timur (21 kali). Hal ini berbeda dengan
tahun 2009 dimana KLB diare lebih banyak terjadi di provinsi Jawa Barat (33
kali) dan Jawa TImur (5 kali). Jumlah kasus KLB Diare pada tahun 2010
sebanyak 2.580 dengan kematian sebesar 77 kasus (CFR 2.98%). Hasil ini
berbeda dengan tahun 2009 dimana kasus pada KLB diare sebanyak 3.037 kasus,
kematian sebanyak 21 kasus (CFR 0.69%).

2.5 Kebijakan Penanganan, Tatalaksana, Pencegahan, dan Pengendalian


Penyakit

2.5.1 Kebijakan penanganan diare

2.5.2 Kebijakan tatalaksana diare

Menurut Depkes RI (2010), dalam menurunkan angka kesakitan dan kematian


akibat diare pada anak, pemerintah melakukan tatalaksana diare dengan lintas
diare, yaitu dengan :

a. Memberikan oralit
Untuk mencegah terjadinya dehidrasi dan mengganti cairan yang hilang,
dapat diberikan oralit. Jika tidak tersedia oralit dapat diberikan cairan rumah
tangga seperti air matang, tajin atau kuah sayur. Oralit adalah cairan khusus yang
dikembangkan untuk rehidrasi oral. Oralit baru yang dikembangkan lebih efektif
daripada oralit standar karena oralit baru mengandung osmolaritas rendah, dengan
mengurangi konsentrasi sodium dan glukosa, sehingga dapat mengurangi muntah,
mengurangi diare, dan dapat mengurangi kebutuhan cairan infus.

Menurut WHO (2009), dalam tatalaksana diare akut berkaitan dengan


pemberian cairan tambahan dibagi menjadi 3 rencana terapi, yaitu rencana terapi
A, rencana terapi B dan rencana terapi C. Masing-masing rencana terapi tersebut
dibagi menjadi lintas diare, yaitu pemberian cairan rehidrasi, pemberian zink,
lanjutkan pemberian ASI dan makan, antibiotik diberikan pada diare dengan ada
darah dalam tinja dan pemberian nasehat. Hal yang membedakan dalam
tatalaksana diare pada rencana terapi A, B dan C adalah Pada pemberian cairan
rehidrasi, yang disesuaikan dengan tingkat dehidrasi anak. Pemberian cairan
rehidrasi sesuai dengan tingkat dehidrasi anak adalah sebagai berikut:

a) Rencana terapi A pada rehidrasi diare tanpa dehidrasi

Pada rencana terapi A untuk diare tanpa dehidrasi adalah dengan


memberikan oralit, dengan dosis sebagai berikut : 1) Anak usia kurang dari 1
tahun diberikan oralit sebanyak ¼ sampai ½ gelas setiap kali mencret. 2) Anak
usia 1 sampai dengan 4 tahun diberikan oralit sebanyak ½ sampai 1 gelas
setiap kali mencret. 3) Anak usia di atas 5 Tahun pemberian oralit sebanyak 1
sampai 1½ gelas setiap kali mencret. Dari hal di atas ajarkan kepada Ibu
tentang dosis dan cara pembuatan larutan oralit, dan berikan Ibu 6 bungkus
oralit atau 200 ml untuk dilanjutkan di rumah. Rencana selanjutnya jelaskan
kepada Ibu supaya meminumkan oralit dari mangkuk atau gelas sedikit demi
sedikit tetapi sering. Jika anak muntah, jelaskan kepada Ibu untuk menunggu
10 menit, kemudian dilanjutkan kembali secara lambat. Pemberian cairan
dilanjutkan sampai diare berhenti.
b) Rencana terapi B pada pemberian rehidrasi dengan dehidrasi ringan atau
sedang
Pada dehidrasi ringan atau sedang diberikan rehidrasi dengan
oralit. Untuk dosis pemberiannya adalah sebanyak 75 ml per kilogram Berat
Badan (BB) dalam 3 jam pertama, setelah itu dilanjutkan pemberian oralit
dengan dosis sama seperti pemberian pada diare tanpa dehidrasi. Kemudian
ajarkan kepada Ibu cara pemberian oralit, yaitu berikan oralit pada anak yang
berumur di bawah 2 tahun sebanyak 1 sendok teh setiap 1-2 menit. Jika anak
muntah, tunggu 10 menit, kemudian dilanjutkan pemberian oralit dengan
lebih lambat. Pada anak yang lebih besar gunakan cangkir dalam memberikan
oralit dengan sering. Jika Ibu memaksa pulang sebelum pengobatan selesai,
maka ajarkan kepada Ibu cara menyiapkan larutan oralit di rumah, untuk
menyelesaikan 3 jam pertama pengobatan, ajarkan kepada Ibu berapa banyak
larutan oralit yang harus diberikan di rumah, berikan kepada Ibu persediaan
oralit yang cukup untuk rehidrasi dengan menambah 6 bungkus oralit.
Kemudian jelaskan kepada Ibu aturan perawatan di rumah, yaitu dengan beri
cairan tambahan, lanjutkan pemberian makan, beri tablet zink 10 hari dan
jelaskan kepada Ibu kapan harus kembali ke rumah sakit (WHO, 2009).
c) Rancana terapi C pada pemberian rehidrasi dengan diare dehidrasi berat
Beri anak cairan intravena secepatnya Menurut WHO (2009)
dalam pelayanan kesehatan anak di rumah sakit, pada anak diare dengan
dehidrasi berat dapat diberikan cairan intravena sebanyak 100 m l/ kgBB.
Pada bayi di bawah usia 12 bulan, pemberian pertama cairan intravena adalah
30 ml/kg BB selama 1 jam, dan selanjutnya 70 ml/kg BB selama 5 jam.
Sedangkan pada anak usia 12 bulan sampai dengan 5 tahun diberikan cairan
sebanyak 30 ml/kg BB dalam 30 menit pertama, untuk selanjutnya 70
ml/kgBB selama 2,5 jam. 2) Periksa kembali anak Setelah diberikan cairan
intravena, anak dilakukan pemerikasaan kembali setiap 15 sampai 30 menit.
Jika status hidrasi anak belum menunjukan perbaikan, berikan tetesan
intravena dengan lebih cepat. 3) Berikan oralit Selain pemberian cairan
intravena, jika anak sudah mau minum, segera berikan oralit pada anak
dengan dosis 5 ml/kg/jam. Pada bayi, setelah 3 sampai 4 jam dan pada anak,
setelah 1 sampai 2 jam, berikan tablet zink sesuai dosis. 4) Periksa kembali
anak Setelah 6 jam pada bayi atau setelah 3 jam pada anak, lakukan
pemeriksaan kembali pada anak dan klasifikasikan kembali tingkat dehidrasi
anak. Untuk selanjutnya pilih rencana terapi yang sesuai untuk melanjutkan
penanganan. (WHO, 2009).

b. Pemberian Zink

Sejak tahun 2004, WHO dan UNICEF menyusun kebijakan bersama


dalam pengobatan diare, yaitu dengan pemberian oralit dan zink. Hal itu
didasarkan pada penelitian yang sudah dilakukan selama 20 tahun yang
menunjukan bahwa pengobatan diare dengan oralit disertai zink efektif dan
terbukti menurunkan angka kematian pada anak sampai dengan 40%. Zink
merupakan mikronutrien ya ng sangat penting bagi tubuh. Pada saat diare, anak
akan kehilangan zinc dalam tubuhnya. Dengan pemberian Zinc mampu
menggantikan kandungan Zinc alami tubuh yang hilang dan dapat mempercepat
penyembuhan diare (Depkes, 2011). Dalam kondisi diare, terjadi peningkatan
eksresi enzim INOS (Inducible Nitric Oxide Synthase), yang akan berakibat
hipereksresi epitel usus. Dengan pemberian zink, akan menghambat peningkatan
enzim INOS tersebut dan akan mendukung epitelisasi dinding usus yang
mengalami kerusakan selam a terjadi diare (Kemenkes, 2011).

Dosis pemberian zink untuk anak di bawah usia 6 bulan adalah 10 mg atau
½ tablet dalam sehari. Untuk anak usia di atas 6 bulan dosis zink yang diberikan
adalah 20 mg atau 1 tablet sehari dan diberikan selama 10 hari (Juffrie, 2012).
WHO merekomendasikan pemberian suplemen zink untuk anak-anak dengan
diare. Karena dengan pemberian suplemen 20 mg per hari sampai diare berhenti
dapat mengurangi durasi dan tingkat keparahan diare pada anak-anak di negara
berkembang. Kemudian dengan pemberian zink dilanjutkan sampai 10 hari dapat
mengurangi kejadian diare selama 2-3 bulan. Hal itu akan membantu dalam
mengurangi kematian anak akibat diare (WGO, 2008).
Menurut Lazzerini dan Ronfani (2008) dalam systematic reviews dengan
judul Oral zinc for treating diarrhoea in children in the developing world,
disampaikan bahwa suplementasi zink dapat mengurangi durasi dan keparahan
diare pada anak-anak yang menderita diare. Hasil systematic review lain terkait
pemberian suplemen zink adalah oleh Patel (2010) dalam publikasi jurnal yang
berjudul Therapeutic Value of Zinc Supplementation in Acute and Persistent
Diarrhea: A Systematic Review, disebutkan bahwa dengan memberikan suplemen
zink pada anak-anak dengan diare terbukti mengurangi durasi diare sebesar
19,7%. Menurut WHO (2009), orang tua harus diberi penjelasan mengenai
pemberian zink, termasuk dosis dan caranya.

d. Pemberian antibiotik dengan indikasi dan antidiare tidak diberikan

Antibiotik tidak perlu diberikan pada anak diare akut, kecuali dengan
indikasi, seperti diare berdarah atau kolera. Pemberian antibiotik yang tidak
rasional akan mengganggu keseimbangan 28 flora usus dan clostridium difficile,
sehingga akan menyebabkan diare sulit sembuh dan akan memperpanjang
lamanya diare. Dengan pemberian antibiotik tanpa indikasi, kuman akan resisten
terhadap antibiotik secara lebih cepat dan akan menambah biaya pengobatan
(Juffrie, 2011).

e. Nasehat

Nasehat harus diberikan kepada Ibu atau pengasuh yang berhubungan erat
dengan anak. Nasehat yang diberikan yaitu mengenai cara pemberian cairan dan
obat di rumah dan nasehat tentang kapan orang tua harus membawa anaknya
kembali ke Rumah Sakit atau petugas kesehatan. Menurut Kemenkes (2011),
orang tua harus segera membawa anak ke pelayanan kesehatan jika ditemukan
gejala sebagai berikut: a) Diare lebih sering, b) Muntah berulang, c) Sangat haus,
d) Makan atau minum sedikit, e) Timbul demam, f) Tinja berdarah dan tidak
membaik dalam 3 hari.
2.5.3 Kebijakan pencegahan diare di Indonesia

Berdasarkan buletin situasi diare di Indonesia (Kemenkes RI,2011) kebijakan


pencegahan diare di Indonesia menerapkan perilaku sehat dan penyehatan
lingkungan

Perilaku sehat

1. Pemberian ASI

ASI adalah makanan paling baik untuk bayi. Komponen zat makanan tersedia
dalam bentuk yang ideal dan seimbang untuk dicerna dan diserap secara optimal
oleh bayi. ASI saja sudah cukup untuk menjaga pertumbuhan sampai umur 6
bulan. Tidak ada makanan lain yang dibutuhkan selama masa ini.

2. Makanan Pendamping ASI

Pemberian makanan pendamping ASI adalah saat bayi secara bertahap mulai
dibiasakan dengan makanan orang dewasa. Perilaku pemberian makanan
pendamping ASI yang baik meliputi perhatian terhadap kapan, apa, dan
bagaimana makanan pendamping ASI diberikan.

3. Menggunakan Air Bersih Yang Cukup

Penularan kuman infeksius penyebab diare ditularkan melalui Face-Oral


kuman tersebut dapat ditularkan bila masuk ke dalam mulut melalui makanan,
minuman atau benda yang tercemar dengan tinja, misalnya jari-jari tangan,
makanan yang wadah atau tempat makan-minum yang dicuci dengan air tercemar.

Masyarakat yang terjangkau oleh penyediaan air yang benar-benar bersih


mempunyai risiko menderita diare lebih kecil dibanding dengan masyarakat yang
tidak mendapatkan air bersih.

4. Mencuci Tangan

Kebiasaan yang berhubungan dengan kebersihan perorangan yang penting


dalam penularan kuman diare adalah mencuci tangan. Mencuci tangan dengan
sabun, terutama sesudah buang air besar, sesudah membuang tinja anak, sebelum
menyiapkan makanan, sebelum menyuapi makan anak dan sebelum makan,
mempunyai dampak dalam kejadian diare ( Menurunkan angka kejadian diare
sebesar 47%).

5. Menggunakan Jamban

Pengalaman di beberapa negara membuktikan bahwa upaya penggunaan


jamban mempunyai dampak yang besar dalam penurunan risiko terhadap penyakit
diare. Keluarga yang tidak mempunyai jamban harus membuat jamban dan
keluarga harus buang air besar di jamban.

6. Membuang Tinja Bayi Yang Benar

Banyak orang beranggapan bahwa tinja bayi itu tidak berbahaya. Hal ini tidak
benar karena tinja bayi dapat pula menularkan penyakit pada anak-anak dan orang
tuanya. Tinja bayi harus dibuang secara benar.

7. Pemberian Imunisasi Campak

Pemberian imunisasi campak pada bayi sangat penting untuk mencegah agar bayi
tidak terkena penyakit campak. Anak yang sakit campak sering disertai diare,
sehingga pemberian imunisasi campak juga dapat mencegah diare. Oleh karena itu
berilah imunisasi campak segera setelah bayi berumur 9 bulan.

Penyehatan Lingkungan

1. Penyediaan Air Bersih

Mengingat bahwa ada beberapa penyakit yang dapat ditularkan melalui air antara
lain adalah diare, kolera, disentri, hepatitis, penyakit kulit, penyakit mata, dan
berbagai penyakit lainnya, maka penyediaan air bersih baik secara kuantitas dan
kualitas mutlak diperlukan dalam memenuhi kebutuhan air sehari-hari termasuk
untuk menjaga kebersihan diri dan lingkungan. Untuk mencegah terjadinya
penyakit tersebut, penyediaan air bersih yang cukup disetiap rumah tangga harus
tersedia. Disamping itu perilaku hidup bersih harus tetap dilaksanakan.
2. Pengelolaan Sampah

Sampah merupakan sumber penyakit dan tempat berkembang biaknya vektor


penyakit seperti lalat, nyamuk, tikus, kecoa dsb. Selain itu sampah dapat
mencemari tanah dan menimbulkan gangguan kenyamanan dan estetika seperti
bau yang tidak sedap dan pemandangan yang tidak enak dilihat. Oleh karena itu
pengelolaan sampah sangat penting, untuk mencegah penularan penyakit tersebut.
Tempat sampah harus disediakan, sampah harus dikumpulkan setiap hari dan
dibuang ke tempat penampungan sementara. Bila tidak terjangkau oleh pelayanan
pembuangan sampah ke tempat pembuangan akhir dapat dilakukan pemusnahan
sampah dengan cara ditimbun atau dibakar.

3. Sarana Pembuangan Air Limbah

Air limbah baik limbah pabrik atau limbah rumah tangga harus dikelola
sedemikian rupa agar tidak menjadi sumber penularan penyakit.

2.5.4 Kebijakan pengendalian penyakit diare di Indonesia

Berdasarkan buletin situasi diare di Indonesia (Kemenkes RI,2011) kebijakan


pengendalian diare di Indonesia bertujuan untuk menurunkan angka kesakitan dan
angka kematian karena diare bersama lintas program dan lintas sektor terkait.
Kebijakan yang ditetapkan pemerintah dalam menurunkan angka kesakitan dan
kematian karena diare adalah sebagai berikut :

a. Melaksanakan tata laksana penderita diare yang sesuai standar, baik di


sarana kesehatan maupun di rumah tangga
b. Melaksanakan surveilans epidemiologi & Penanggulan Kejadian Luar
Biasa
c. Mengembangkan Pedoman Pengendalian Penyakit Diare
d. Meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan petugas dalam pengelolaan
program yang meliputi aspek manejerial dan teknis medis.
e. Mengembangkan jejaring lintas sektor dan lintas program
f. Pembinaan teknis dan monitoring pelaksanaan pengendalian penyakit
diare.
g. Melaksanakan evaluasi sabagai dasar perencanaan selanjutnya.

Strategi pengendalian penyakit diare yang dilaksanakan pemerintah adalah :

a. Melaksanakan tatalaksana penderita diare yang standar di sarana


kesehatan melalui lima langkah tuntaskan diare ( LINTAS Diare).
b. Meningkatkan tata laksana penderita diare di rumah tangga yang tepat
dan benar.
c. Meningkatkan SKD dan penanggulangan KLB diare.
d. Melaksanakan upaya kegiatan pencegahan yang efektif.
e. Melaksanakan monitoring dan evaluasi.

Program pengendalian diare di Indonesia disebut dengan LINTAS Diare


( Lima Langkah Tuntaskan Diare ) yang meliputi :

1. Berikan Oralit

Untuk mencegah terjadinya dehidrasi dapat dilakukan mulai dari rumah tangga
dengan memberikan oralit osmolaritas rendah, dan bila tidak tersedia berikan
cairan rumah tangga seperti air tajin, kuah sayur, air matang. Oralit saat ini yang
beredar di pasaran sudah oralit yang baru dengan osmolaritas yang rendah, yang
dapat mengurangi rasa mual dan muntah. Oralit merupakan cairan yang terbaik
bagi penderita diare untuk mengganti cairan yang hilang. Bila penderita tidak bisa
minum harus segera di bawa ke sarana kesehatan untuk mendapat pertolongan
cairan melalui infus.

2. Berikan obat Zinc

Zinc merupakan salah satu mikronutrien yang penting dalam tubuh. Zinc dapat
menghambat enzim INOS (Inducible Nitric Oxide Synthase), dimana ekskresi
enzim ini meningkat selama diare dan mengakibatkan hipersekresi epitel usus.
Zinc juga berperan dalam epitelisasi dinding usus yang mengalami kerusakan
morfologi dan fungsi selama kejadian diare. Pemberian Zinc selama diare terbukti
mampu mengurangi lama dan tingkat keparahan diare, mengurangi frekuensi
buang air besar, mengurangi volume tinja, serta menurunkan kekambuhan
kejadian diare pada 3 bulan berikutnya.

3. Pemberian ASI / makanan

Pemberian makanan selama diare bertujuan untuk memberikan gizi pada penderita
terutama pada anak agar tetap kuat dan tumbuh serta mencegah berkurangnya
berat badan. Anak yang masih minum Asi harus lebih sering di beri ASI. Anak
yang minum susu formula juga diberikan lebih sering dari biasanya. Anak uis 6
bulan atau lebih termasuk bayi yang telah mendapatkan makanan padat harus
diberikan makanan yang mudah dicerna dan diberikan sedikit lebih sedikit dan
lebih sering. Setelah diare berhenti, pemberian makanan ekstra diteruskan selama
2 minggu untuk membantu pemulihan berat badan.

4. Pemberian Antibiotika hanya atas indikasi

Antibiotika tidak boleh digunakan secara rutin karena kecilnya kejadian diare
pada balita yang disebabkan oleh bakteri. Antibiotika hanya bermanfaat pada
penderita diare dengan darah (sebagian besar karena shigellosis), suspek kolera.
Obat-obatan Anti diare juga tidak boleh diberikan pada anak yang menderita diare
karena terbukti tidak bermanfaat. Obat anti muntah tidak di anjurkan kecuali
muntah berat. Obat-obatan ini tidak mencegah dehidrasi ataupun meningkatkan
status gizi anak, bahkan sebagian besar menimbulkan efek samping yang
bebahaya dan bisa berakibat fatal. Obat anti protozoa digunakan bila terbukti diare
disebabkan oleh parasit (amuba, giardia).

5. Pemberian nasehat

Ibu atau pengasuh yang berhubungan erat dengan balita harus diberi nasehat
tentang :

1. Cara memberikan cairan dan obat di rumah

2. Kapan harus membawa kembali balita ke petugas kesehatan bila :


- Diare lebih sering

- Muntah berulang

- Sangat haus

- Makan/minum sedikit

- Timbul demam

- Tinja berdarah

- Tidak membaik dalam 3 hari.

2.6 Masalah Etik dalam Penanganan Penyakit

Dapus :

Sumampouw, O.J dkk. 2017. Diare Balita Suatu Tinjauan Dari Bidang
Kesehatan Masyarakat. Yogyakarta : Deepublish

WHO. 2017. Diarrhoeal Disease. Dapat diakses pada http://www.who.int/news-


room/fact-sheets/detail/diarrhoeal-disease

Depkes RI. 2011. Lima Langkah Tuntaskan Diare. Jakarta: Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan

Safrudin, A dkk. 2009. Analisis Faktor-Faktor Resiko Yang Mempengaruhi


Kejadian Diare Pada Balita Di Puskesmas Ambal 1 Kecamatan Ambal Kabupaten
Kebumen. Jurnal Ilmiah Kesehatan Keperawatan. 5 (2)

Juffrie, M. 2010. Gastroenterologi-hepatologi Jilid 1. Jakarta : Ikatan Dokter


Anak Indonesia
Kementerian Kesehatan RI. 2011. Situasi Diare di Indonesia. Buletin Jendela
Data dan Informasi Kesehatan. 2(1). Dapat diakses pada
http://www.depkes.go.id/download.php?file=download/pusdatin/buletin/buletin-
diare.pdf [26 Juni 2018]

Amin, L.Z. 2015. Tatalaksana Diare Akut. Continuing Medical Education. 42(7)

Anda mungkin juga menyukai