Anda di halaman 1dari 15

DIARE AKUT

Disusun oleh :
Nelly Muslimah
19360123

Perseptor :
dr. Aspri Sulanto, M.Sc., Sp.A

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN UMUM


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MALAHAYTI
BANDAR LAMPUNG
2020
6

1.1 Definisi dan Etiologi Diare Akut pada Anak

Berdasarkan World Gastroenterology Organization Global Guidelines

2005, diare akut merupakan pengeluaran tinja yang lembek/cair dengan jumlah

yang lebih banyak dari normal dan berlangsung kurang dari 14 hari (Farthing et

al, 2012). Diare akut dapat disebabkan oleh berbagai macam hal baik infeksi

mapun non-infeksi. Perubahan cairan maupun elektrolit dalam lumen usus dapat

menyebabkan diare (Simadibrata & Daldiyono, 2009). Pada anak-anak, infeksi

ekstraintestinal seperti otitis media dan infeksi saluran kencing juga dapat

menyebabkan diare. Diantara berbagai macam hal yang menyebabkan diare,

terdapat dua penyebab utama diare akut pada anak-anak yaitu infeksi usus dan

alergi makanan (Thapar & Sinderson, 2004).

Patogen usus yang paling sering menyebabkan diare adalah rotavirus dan

Eschericia coli. Rotavirus merupakan penyebab diare yang paling banyak pada

anak berumur 6-24 bulan. Rotavirus grup A, dan serotipe G1, G2, G3, G4, dan G9

menyebabkan sebagian besar infeksi usus. Gejala klinis diare akibat rotavirus

biasanya bersifat ringan, namun dehidrasi berat yang berujung pada kematian

dapat terjadi (Thapar & Sinderson, 2004). Diare akibat bakteri E.coli pada anak-

anak paling banyak disebabkan oleh tipe Enteroaggregative E.coli (EaggEC),

Enterotoxigenic E.coli (ETEC),dan Enteropathogenic E.coli (EPEC). EPEC lebih

sering menyebabkan diare pada anak-anak dibawah dua tahun dan penyebab dari

diare persisten (Farthing et al, 2012). Patogen lain yang turut berperan dalam
menyebabkan diare adalah Campylobacter spp, Salmonella spp, Shigella spp, dan

Yersinia spp merupakan penyebab terpenting dari diare akut dengan darah. Selain

itu, Vibrio cholerae menyebabkan epidemi diare khususnya pada daerah dengan

sanitasi buruk (Thapar & Sinderson, 2004).

Enteropati akibat sensitifitas terhadap makanan sering mengikuti

terjadinya diare akut. Antigen pada makanan yang biasanya menyebabkan respon

alergi adalah susu sapi, soya, dan protein telur. Enteropati biasanya memiliki

gejala muntah dan diare yang ditandai dengan malabsorpsi dan gagal tumbuh

(Thapar & Sinderson, 2004).

1.2 Patofisiologi Diare Akut pada Anak

Pada dasarnya diare terjadi ketika terdapat gangguan transportasi air dan

elektrolit dalam lumen usus. Mekanisme patofisiologi dari diare dapat berupa

osmosis, sekretori, inflamasi, dan perubahan motilitas (Sweetser, 2012). Diare

osmosis terjadi pada malabsorpsi, penggunaan obat-obat seperti magnesium

sulfat, magnesium hidroksida, defek dalam absorpsi mukosa usus misal pada

defisiensi disakaridase, malabsorpsi glukosa/galaktosa. Adanya substansi yang

tidak terserap menarik air dari plasma menuju ke lumen usus mengikuti gradien

konsentrasi. Sedangkan pada diare sekretori terjadi akibat peningkatan sekresi

secara langsung atau yang lebih dominan akibat penurunan absorbsi. Secara

klinis, yang khas pada diare ini adalah ditemukannya diare dengan jumlah yang

sangat banyak. Selain itu, diare tipe ini akan tetap berlangsung walaupun

dilakukan puasa makan/minum. Diare sekretori biasanya disebabkan karena

enterotoksin pada infeksi Vibrio cholerae, atau Eschericia coli, penyakit yang
menghasilkan horon (VIPoma), reseksi ileum (gangguan absorpsi garam empedu),

efek obat laxatif diotyl sodium sulfosuksinat dll). Inflamasi pada dinding usus

mengakibatkan terjadinya kerusakan mukosa usus. Hal ini menyebabkan

terjadinya produksi mukus berlebihan, eksudasi air dan elektrolit ke dalam lumen,

serta gangguan absorpsi air elektrolit sehingga terjadilah diare inflamasi.

Inflamasi mukosa usus halus terjadi pada infeksi sepertinya disentri Shigella atau

bukan infeksi (kolitis ulseratif dan penyakit Chron). Gangguan motilitas usus

yang terjadi pada diabetes mellitus, pasca vagotomi, hipertiroid juga dapat

menyebabkan diare. Selain itu beberapa kondisi fisiologis seperti kecemasan,

obat-obatan, dan toksin dapat berefek langsung pada enteric nervous system

(ENS) yang menyebabkan gangguan motilitas usus (Simadibrata & Daldiyono,

2009). Motilitas usus yang meningkat, penurunan waktu transit, ataupun paparan

isi lumen terhadap permukaan absorpsi usus berperan terhadap terjadinya diare

ini. Diare dapat terjadi akibat satu atau lebih patofisiologi tersebut (Sweetser,

2012).

Rotavirus sebagai penyebab peningkatan rawat inap bahkan kematian anak-

anak akibat diare, memiliki lebih dari satu mekanisme dalam proses terjadinya

diare. Target dari virus ini adalah enterosit absortif matang yang sedang

melakukan regenerasi dan munculnya sel kripta sekretori yang belum matang. Hal

ini menyebabkan penurunan absorpsi dan peningkatan sekresi pada usus. Selain

itu rotavirus juga menyebabkan hilangnya enzim pencernaan pada brush border

sehingga menimbulkan malabsorpsi. Peningkatan isi lumen akan memicu

peningkatan aktivitas peristaltis usus, yang juga berkontribusi terhadap terjadinya

diare (Thapar & Sinderson, 2004).


1.3 Manifestasi Klinis Diare Akut pada Anak

Sesuai dengan definisi diare akut, diare ini ditandai dengan pengeluaran

tinja cair atau lembek yang berlangsung dalam 24 jam selama kurang dari 14 hari.

Selain itu terdapat berbagai macam manifestasi klinis dari diare tergantung dari

penyebabnya. Gejala panas biasanya dialami akibat adanya patogen yang invasif

misalnya disebabkan oleh enterohemorrhagic E.coli (ECEC). Namun, pada anak-

anak biasanya panas mengawali terjadinya diare akibat dari rotavirus. Diare

bercampur darah disebabkan oleh adanya patogen yang bersifat invasif dan

sitotoksik tetapi tidak disebabkan oleh enterotoksin dan virus. Biasanya diare

berdarah dikaitkan dengan kecurigaan diare akibat Enterohemorrhagic E. Coli

(EHEC) tanpa adanya leukosit di dalam feses. Diare yang disertai dengan muntah

paling sering dijumpai pada penderita kolera. Muntah juga sering terjadi pada

diare akibat virus dan akibat keracunan makanan contohnya akibat racun bakteri

Staphylococcus aureus (Farthing et al, 2012).

Dehidrasi dapat timbul pada anak-anak ketika terjadi diare berat dan

asupan oral terbatas akibat mual dan muntah. Dehidrasi pada anak-anak

bermanifestasi sebagai menurunnya aktivitas anak, sensitif, rasa haus, mata

cekung, bibir kering, nadi menurun atau hilang, penurunan turgor kulit, tidak

mampu berkeringat, dan penurunan jumlah buang air kecil dengan warna gelap

(Simadibrata & Daldiyono, 2009).


1.4 Managemen Diare Akut pada Anak

A. Rehidrasi

Penanganan diare utama pada anak adalah dengan memberikan Oral

Rehydration Therapy (ORT). Oral Rehydration Salts (ORS) yang digunakan

dalam ORT, mengandung komponen spesifik baik air maupun elektrolit yang

hilang dari tubuh saat terjadinya diare. Saat ini, WHO dan UNICEF mengeluarkan

rekomendasi baru untuk ORT yaitu ORS dengan osmolaritas lebih rendah untuk

menghindari efek samping hipertonis pada saat absorpsi cairan. Pada cairan ini

dilakukan penurunan konsentrasi garam (NaCl) dan glukosa. Hal ini bermanfaat

dalam menurunkan muntah, menurunkan tinja yang keluar, menurunkan

kemungkinan hipernatremia dan menurunkan keperluan infus intravena

dibandingkan dengan standar ORS yang sebelumnya. Formulasi ini

direkomendasikan untuk berbagai umur dan tipe diare termasuk kolera.

(WHO,2005)

Pemilihan penanganan terapi ORT pada anak dengan diare dilakukan

berdasarkan derajat dehidrasi anak.

1)Tanpa dehidrasi

Penanganan diare tanpa dehidrasi lebih sering dilakukan di rumah

dibandingkan dengan di instansi kesehatan kecuali terdapat komplikasi seperti

anak tidak mau minum, muntah terus menerus, diare frekuen dan profus.

Rehidrasi dilakukan dengan memberikan cairan rehidrasi oralit berupa NEW

ORALIT diberikan 5-10 mL/kgBB setiap diare cair atau berdasarkan usia, yaitu

umur < 1 tahun sebanyak 50-100 mL, 1-5 tahun sebanyak 100-200 mL, dan jika

berumur diatas 5 tahun diberikan cairan selama anak mau minum. Selain itu dapat
diberikan cairan rumah tangga sesuai kemauan anak dan jika masih menyusui,ASI

harus terus diberikan. Terdapat berbagai cairan yang direkomendasikan untuk

diberikan di rumah (WHO,2005; IDAI, 2009).

2)Dehidrasi Ringan-Sedang

Anak-anak dengan diare yang menunjukkan gejala dehidrasi ringan harus

menerima ORT dalam bentuk ORS pada fasilitas kesehatan. Pasien pasien dengan

dehidrasi ringan-sedang cairan rehidrasi oral (CRO) hipoosmolar diberikan

sebanyak 75mL/kgBB dalam 3 jam untuk mengganti kehilangan cairan yang telah

terjadi dan sebanyak 5-10 mL/kgBB setiap diare cair. Rehidrasi parenteral

(intravena) diberikan bila anak muntah setiap diberi minum walaupun telah

diberikan dengan cara sedikit demi sedikit atau melalui pipa nasogastrik. Jenis

cairan intravena yang dapat diberikan berupa ringer laktat, KaEN 3B atau NaCl

dengan jumlah cairan dihitung secara berkala. Status hidrasi harus dievaluasi

secara berkala. Overhydration ditandai dengan edema kelopak mata sehingga

pemberian ORS harus dihentikan sedangkan ASI, air mineral dan makanan tetap

diberikan (WHO,2005; IDAI, 2009).

3)Dehidrasi Berat

Pada dehidrasi berat, cairan per oral diberikan bila pasien sudah dapat dan mau

minum dimana dimulai 5 mL/kgBB selama proses rehidrasi (IDAI, 2009). Cairan

parenteral dengan ringer laktat atau ringer asetat 100 mL/kgBB dengan cara

pemberian seperti pada table 2.1.


Tabel 2.1 Pemberian cairan parenteral pada dehidrasi berat (IDAI, 2009)
Umur Cara pemberian
Kurang dari 12 bulan 30 mL/kgBB dalam 1 jam pertama, dilanjutkan 70
mL/kgBB dalam 5 jam berikutnya
Diatas 12 bulan 30 mL/kgBB dalam ½ jam pertama , dilanjutkan 70
mL/kgBB dalam 2,5 jam berikutnya.

B. Zinc

Zinc merupakan salah satu trace elements yang diperlukan dalam tubuh

untuk metabolisme dan memfasilitasi proses katalisis, fungsi regulator dan

fungsional dari beberapa enzim (Chiabi et al, 2010). Pemberian zinc sebagai

terapi tambahan dalam penatalaksanaan diare terbukti mampu menurunkan

keparahan dan episode diare pada anak di negara berkembang sehingga dapat

menurunkan resiko diare (Farthing et al, 2012). Berdasarkan rekomendasi WHO,

untuk mengganti zinc yang keluar pada saat diare, anak-anak dengan diare

diberikan suplementasi zinc sebanyak 10 mg pada bayi berumur 2 bulan atau

kurang dan 20 mg pada semua anak diatas 2 bulan selama 10-14 hari (WHO,

2005).

Dalam diare, berdasarkan penelitian in vitro yang terbaru pada ileum tikus

menunjukan bahwa zinc mampu menghambat CAMP-induced chloride secretion

dengan menghambat saluran kalium pada basolateral membran. Kerja zinc

spesifik pada saluran kalium yang diaktifkan oleh CAMP tanpa berefek pada Ca-

mediated K channel. Selain itu zinc juga mampu meningkatkan absorpsi air dan

elektrolit, meningkatkan regenerasi epitelium intestinal, meningkatkan jumlah

enzim pada brush border dan meningkatkan respon imun sehingga dapat terjadi

peningkatan kemampuan untuk menghilangkan patogen dalam usus. Peran zinc


dalam meningkatkan resistensi host terhadap agen infeksi mampu menurunkan

resiko, keparahan, dan durasi dari penyakit diare.

2.1.1 Nutrisi

Pada anak dengan diare akut tanpa gejala dehidrasi, pemberian makanan

tetap dilakukan seperti biasa. Jika pasien memiliki gejala dehidrasi ringan ataupun

parah, pemberian makan segera dilakukan setelah gejala dehidrasi membaik (2-4

jam) dengan rehidrasi ORS maupun intravena. Jika pasien yang mengalami

dehidrasi masih menyusui, lanjutkan pemberian ASI selama fase rehidrasi.

Pemberian ASI dan susu formula pada bayi dengan diare harus lebih sering,

namun tidak ada formula atau larutan khusus yang dibutuhkan. Namun, jika tidak

menyusui, rehidrasi merupakan prioritas utama untuk memulihkan kondisi akibat

dehidrasi. Pola makan pada anak dengan diare sebaiknya lebih sering yaitu 6 kali

tiap hari. Selain itu makanan yang diberikan harus menghasilkan energi dan kaya

akan mikronutrien. Sehingga makanan yang variatif seperti biji-bijian, telur,

daging, buah, dan sayuran direkomendasikan untuk diberikan dalam penanganan

diare. Nutrisi yang baik sangat penting pada penanganan diare anak untuk

menggantikan energi yang keluar pada saat diare maupun untuk mencapai

pertumbuhan yang normal (Farthing et al, 2012).

2.1.2 Antimikroba

Antibiotik bekerja dalam mengeliminasi patogen dan membatasi kerja

patogen dalam menghancurkan sistem di dalam tubuh. Namun, pada sebagian

besar penyakit diare, antibiotik tidak berpengaruh besar terhadap diare dan bahkan

dapat memperburuk penyakit misalnya pada infeksi yang disebabkan oleh E.coli

O157:H7 (Thapar & Sinderson, 2004). Selain itu sebagian besar penyakit diare
bersifat ringan atau self limiting disease karena disebabkan oleh virus atau bakteri

non invasif. Oleh karena itu, pengobatan empirik pada diare tidak dianjurkan pada

semua kasus (Simadibrata & Daldiyono, 2009). Pemilihan antibiotik harus

didasarkan atas pola kerentanan atau sensitifitas strain patogen tertentu pada suatu

daerah atau kelompok. Antimikroba biasanya digunakan secara rutin dalam

pengobatan : (Farthing et al, 2012)

- Kolera, shigellosis, typoid dan parathypoid fever

- Gejala disentri akibat dari campylobacteriosis dan salmonelliosis non

thypoidal yang menyebabkan diare persisten dan penurunan imunitas

misalnya pada penderita malnutrisi berat, penyakit hati kronik, atau kelainan

lymphoproliferatif.

- Invasive intestinal amebiasis

- Giardiasis dengan gejala anoreksia, penurunan berat badan, diare persisten,

dan gagal tumbuh.

Pada anak-anak biasanya penggunaan antibiotik sering dipertimbangkan

untuk diare persisten akibat Shigella, Salmonella, Campylobacter yang berbentuk

disentri dan juga nonthypoidal salmonellosis pada bayi (Farthing et al, 2012).

Berdasarkan pedoman Ikatan Dokter Indonesia (IDAI), pada anak dengan disentri

cotrimoxazole menjadi lini pertama dan kedua, sedangkan cefixime menjadi lini

ketiga. Metronidazole digunakan untuk terapi amuba vegetatif. (IDAI, 2009)

Cotrimoxazole merupakan golongan dari kombinasi trimethoprim-

sulfamethoxazole. Golongan ini menjadi obat pilihan dalam terapi empiris infeksi

diare akut pada anak khususnya yang disebabkan oleh Shigella, Salmonella, dan

Enterotoxigenic serta enteropathogenic E. coli (ETEC dan EPEC). TMP-SMX


juga menjadi pilihan yang baik untuk terapi kolera pada anak dibawah 8 tahun.

Namun penggunaan secara luas sebagai terapi empiris tidak lagi

direkomendasikan karena peningkatan resistensi terhadap antibiotik ini kecuali

terdapat informasi terkait pola sensitifitas jenis pathogen terhadap antibiotik ini.

Kombinasi trimethoprim-sulfamethoxazole dapat menimbulkan semua reaksi

merugikan akibat sulfonamide. Efek samping berupa mual dan mutah, demam

obat, vaskulitis, kerusakan ginjal, dan gangguan system saraf pusat terkadang juga

terjadi.

Cefixime merupakan salah satu golongan cephalosporin generasi ketiga.

Contoh obat cephalosporin generasi ketiga yang lain adalah cefoperazon,

cefotaxime, ceftazidin, ceftizoksim, ceftriaxon, cefpodoksim proksetil, cefdinir,

cefditoren pivoksil, ceftibuten, dan moksalaktam. Golongan ini biasanya

digunakan untuk menangani infeksi berat yang disebabkan oleh organism yang

resisten terhadap kebanyakan obat lain. Karena golongan ini memiliki aktivitas

antimikroba yang luas terutama untuk golongan bakteri gram negatif dan memilki

efek samping yang lebih sedikit dibandingkan dengan fluoroquinolone sehingga

golongan ini menjadi obat terbaik dalam terapi empiris infeksi diare berat pada

anak-anak. Efek samping yang ditimbulkan berupa reaksi alergi seperti reaksi

hipersensitivitas penisilin (anafilaksis, demam, ruam kulit, nefritis,

graulositopenia dan anemia hemolitik) dan toksisitas berupa iritasi lokal pasca

injeksi dan toksisitas ginjal.

Metronidazole merupakan suatu nitroimidazol yang menjadi obat pilihan

dalam terapi amebiasis ekstramural. Obat ini membunuh trofozoit tapi tidak
membunuh kista E. histolytica dan efektif mengeradikasi infeks jaringan usus dan

di luar usus. Selain itu, metronidazole juga menjadi obat pilihan untuk

mengeradikasi Clostridium difficille. Efek samping yang umum terjadi adalah

mual, nyeri kepala, mulut kering atau rasa logam di mulut. Muntah, diare,

insomnia, kelemahan, pusing, thrush, ruam, disuria, urin berwarna gelap, vertigo,

parastesia, dan neutropenia jarang terjadi.

C. Antidiare

Obat-obatan antidiare yang tidak spesifik merupakan obat-obatan yang

tidak dibuat untuk mengatasi penyebab dasar dan efek dari diare (hilangnya air,

elektrolit, dan nutrisi). Secara umum, penggunaan antidiare pada anak-anak

dengan diare akut dan persisten tidak menunjukkan secara klinis. Beberapa

golongan yang termasuk obat-obatan antidiare yang tidak spesifik adalah

antimotilitas (Loperamide), antisekretori (Racecadotril), diosmectite (adsorbents),

dan antiemetik. Antiemetik biasanya tidak dibutuhkan karena memiliki efek

sedatif sehingga menghambat pemberian ORT (Farthing et al, 2012).

Loperamid merupakan salah satu agonis opioid yang mengaktifkan

reseptor μ pada pleksus mienterik di usus besar. Aktivasi dari reseptor ini akan

menghambat pelepasan asetilkolin sehingga terjadi relaksasi tonus otot di dinding

usus. Hal ini berakibat pada peningkatan waktu transit dalam kolon dan

peningkatan penyerapan air dalam feses. Selain itu loperamide juga memiliki efek

antisekretori melalui penghambatan pada reseptor muskarinik asetilkolin pada sel

epitel sekretori di dinding usus. Meskipun loperamide merupakan agonis dari

opiat, loperamide tidak menembus sistem saraf pusat sehingga tidak memiliki

efek sedatif. Akan tetapi, berdasarkan beberapa penelitian menunjukkan bahwa


loperamide menyebabkan efek samping serius berupa ileus, lesu (lethargy), dan

kematian pada anak-anak dibawah 3 tahun. Oleh karena itu, WHO dan American

Academy of Pediatrics melarang penggunaan loperamide pada anak-anak dibawah

12 tahun. Loperamid juga tidak dapat diberikan pada diare inflamasi yang

ditunjukkan dengan gejala berak darah, disentri, dan kolitis akut (Faure, 2013).

Racedotril berguna untuk penanganan diare pada anak-anak. Berdasarkan

penelitian analisis yang baru dilakukan menunjukkan bahwa racedotril bermanfaat

klinis dalam menurunkan durasi diare, buang air besar, dan jumlah tinja yang

keluar (Faure, 2013). Pada beberapa negara di dunia mulai menggunakan

racedotril pada anak-anak (Farthing et al, 2012). Racedotril memiliki efek

antisekretori melalui penghambatan terhadap enzim neutral endopeptidase 24.11

yang berperan dalam degradasi peptida dari opioid endogenous yaitu Met- dan

Leu enkephalin. Dengan adanya hambatan terhadap degradasi enkephalin,

enkephalin dapat mengaktifkan reseptor δ opiat yang ditemukan dalam jumlah

banyak pada sel epitel sekretori sehingga terjadi penurunan sekresi air dan

elektrolit melalui penurunan cAMP seluler (Faure, 2013).

Kaolin dan pektin merupakan contoh dari golongan adsorben. Keduanya

bekerja untuk mengabsorpsi bakteri, toksin, dan cairan sehingga menurunkan

keenceran dan jumlah feses . Banyak penelitian menunjukkan bahwa obat-obatan

ini efektif digunakan dalam menurunkan durasi diare pada anak-anak dan bayi

dengan diare akut (Faure, 2013). Akan tetapi obat-obatan ini jarang digunakan

dalam waktu yang lama. Sediaan dari kaolin-pektin tidak diserap sehingga efek

samping yang terjadi hanya konstipasi. Obat ini tidak boleh


dipergunakan bersama obat lain dalam waktu 2 jam karena dapat diikat oleh

kaolin-pektin .

D. Probiotik

Probiotik adalah mikroorganisme hidup yang jika dikonsumsi dalam

jumlah cukup akan bermanfaat pada kesehatan tubuh. (Guarner, 2008)

Berdasarkan beberapa penelitian meta-analisis menunjukkan probiotik aman dan

efektif digunakan dalam pengobatan dan pencegahan diare akut akibat infeksi

pada anak-anak. Bukti pada beberapa penelitian menunjukkan manfaat probiotik

dalam gastroenteritis akibat virus lebih baik dibandingkan dengan infeksi akibat

bakteri dan parasit. Beberapa stain probiotik yang direkomendasikan untuk

menurunkan keparahan dan durasi diare akut akibat infeksi pada anak-anak adalah

L.uteri ATCC 55730, L. Rhamnosus GG, L. Casei DN-114001, dan

Saccharomyces cereviciae. Konsumsi oral dari probiotik ini dapat memperpendek

durasi dari diare akut pada anak-anak kurang lebih selama 1 hari. Mekanisme

kerja dari masing-masing strain sangat spesifik. (Farthing et al, 2012) Namun

secara umum, probiotik mempengaruhi ekosistem usus melalui mekanisme

immunologis dan non-immunologis. Hal ini yang memfasilitasi penurunan insiden

dan keparahan dari diare. (Guarner et al, 2008)


DAFTAR PUSTAKA

Faure, C. (2013). Role of Antidiarrhoeal Drugs as Adjunctive Therapies for


Acute Diarrhoea in Children. International Journal of Pediatrics, 2013,
1–14. https://doi.org/10.1155/2013/612403

Farthing, M. et al. 2012. Acute Diarrhea in Adults and Children: A Global


Perspective. World Gastroenterology organization
http://www.worldgastroenterology.org/assets/export/userfiles/Acute
%20Diarrhea_long_FINAL_120604.pdf

Guarner, A. G., A. G. Khan, J. Garisch, R. Eliakim, A. Gangl, A. Thomson, J.


Krabshuis, and T. L. Mair., 2008, Probiotics and Prebiotics, World
Gastreoenterology Organisation Practice Guideline. Milwaukee. USA. 22p

IDAI, 2009. Diare Pada Anak. www.idai.or.id

Rilley M.R., Bass D., 2007.Infectious diarrhea in Pediatric Gastroenterology.


UnitedStates of America. Pp. 123-131

Simadibrata, M., Daldiyono. 2006. Diare Akut. In: Sudoyo, Aru W, et al, ed. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi VI. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 408-413.

Sweetser, S. (2012). Evaluating the Patient With Diarrhea: A Case-Based


Approach. US National Library of Medicine National Institutes of Health,
87(6): 596–602.

Thapar N, Sanderson IR (2004). Diarrhoea in children: an interface between


developing and developed countries. The Lancet, 363: 641-53.

WHO, 2009. Diarrhoea. Available from :


http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs330/en/index.html

Anda mungkin juga menyukai