Anak sehat dengan asupan cairan normal, tanpa memperhitungkan kebutuhan cairan
yang masuk melalui mulut, membutuhkan sejumlah cairan yang disebut dengan
maintenance.
Cairan maintenance adalah volume (jumlah) asupan cairan harian yang menggantikan
insensible loss (kehilangan cairan tubuh yang tak terlihat, misalnya melalui keringat
yang menguap, uap air dari hembusan napas dalam hidung, dan dari feses/tinja),
ditambah ekskresi/pembuangan harian kelebihan zat terlarut (urea, kreatinin, elektrolit,
dll) dalam urin/air seni yang osmolaritasnya/kepekatannya sama dengan plasma darah.
Cairan yang digunakan untuk infus maintenance anak sehat dengan asupan cairan
normal adalah:
NaCl 0.45% dengan Dekstrosa 5% + 20mmol KCl/liter
Penyalahgunaan cairan infus yang banyak terjadi adalah dalam penanganan diare
(gastroenteritis) akut pada anak.
Pemberian cairan infus banyak disalahgunakan (overused) di Unit Gawat Darurat (UGD)
karena persepsi yang salah bahwa jenis rehidrasi ini lebih cepat menangani diare, dan
mengurangi lama perawatan di RS.5
Penyakit ini umumnya sembuh dengan sendirinya (self-limiting), namun jika tidak
ditangani dapat menyebabkan kehilangan cairan dan elektrolit yang bisa mengancam
nyawa. Dehidrasi yang diakibatkan sering membuat anak dirawat di RS.6
Tanpa Dehidrasi:
Dehidrasi Ringan (
Kotoran cair (watery diarrhea)
Mata cekung
Oligo-anuria (produksi urin sangat sedikit, kadang tidak ada), sampai koma
Terapi rehidrasi (pemberian cairan) oral (oral rehydration therapy) seperti oralit dan
Pedialyte terbukti sama efektifnya dengan cairan infus pada diare (gastroenteritis)
dengan dehidrasi sedang.4 Keuntungan tambahan lain adalah waktu yang dibutuhkan
untuk memberikan terapi CRO ini lebih cepat dibandingkan dengan harus memasang
infus terlebih dahulu di Unit Gawat Darurat (UGD) RS. Bahkan dalam analisis
penatalaksanaan, pasien yang diterapi dengan CRO sedikit yang masuk perawatan RS.
Hasil penelitian ini meyarankan cairan rehidrasi oral menjadi terapi pertama pada anak
diare di bawah 3 tahun dengan dehidrasi sedang.4
Pada anak dengan muntah dan diare akut, apakah pemberian cairan melalui
infus (intravenous fluids) mempercepat pemulihan dibandingkan dengan cairan
rehidrasi oral (oral rehydration therapy/solution/CRO/oralit)?
Ternyata pemberian cairan infus tidak mempersingkat lamanya penyakit, dan bahkan
mampu menimbulkan efek samping dibandingkan pemberian oralit.5
Sebuah penelitian meta analisis internasional yang membandingkan CRO (oralit) dengan
cairan intravena/infus pada anak dengan derajat dehidrasi ringan sampai berat
menunjukkan bahwa CRO mengurangi lamanya perawatan di RS sampai 29 jam.5
Sebuah studi lain juga menyimpulkan CRO menangani dehidrasi (kekurangan cairan
tubuh) dan asidosis (keasaman darah meningkat) lebih cepat dan aman dibandingkan
cairan infus.5 Penelitian lain menunjukkan keuntungan lain oralit pada diare dengan
dehidrasi ringan-sedang adalah mengurangi lamanya diare, meningkatkan
(mengembalikan) berat badan anak, dan efek samping lebih minimal dibandingkan
cairan infus.6
Pengawasan (Monitoring)
Semua anak yang mendapatkan cairan infus sebaiknya diukur berat badannya, 6
8 jam setelah pemberian cairan, dan kemudian sekali sehari.
Semua anak yang mendapatkan cairan infus sebaiknya diukur kadar elektrolit dan
glukosa serum sebelum pemasangan infus, dan 24 jam setelahnya.
Bagi anak yang tampak sakit, periksa kadar elektrolit dan glukosa 4 6 jam
setelah pemasangan, dan sekali sehari sesudahnya.
DAFTAR PUSTAKA
Spandorfer PR, Alessandrini EA, Joffe MD, Localio R, Shaw KN. Oral Versus
Intravenous Rehydration of Moderately Dehydrated Children: A Randomized,
Controlled Trial. Pediatrics Vol. 115 No. 2 February 2005. American Academy of
Pediatrics.
Demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan yang penting di negara berkembang.
Gambaran klinis demam tifoid seringkali tidak spesifik terutama pada anak sehingga dalam
penegakan diagnosis diperlukan konfirmasi pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan
penunjang ini meliputi pemeriksaan darah tepi, isolasi/biakan kuman, uji serologis dan
identifikasi secara molekuler. Berbagai metode diagnostik baru untuk pengganti uji Widal dan
kultur darah sebagai metode konvensional masih kontroversial dan memerlukan penelitian
lebih lanjut. Beberapa metode diagnostik yang cepat, mudah dilakukan dan terjangkau
harganya untuk negara berkembang dengan sensitivitas dan spesifisitas yang cukup baik,
seperti uji TUBEX, Typhidot-M dan dipstik mungkin dapat mulai dirintis penggunaannya
di Indonesia.
PENDAHULUAN
Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella typhi
yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang yang terutama terletak di daerah
tropis dan subtropis. Penyakit ini juga merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting karena
penyebarannya berkaitan erat dengan urbanisasi, kepadatan penduduk, kesehatan lingkungan, sumber
air dan sanitasi yang buruk serta standar higiene industri pengolahan makanan yang masih rendah.
Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena penyakit ini dikenal
mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas. Data World Health Organization (WHO)
tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan
insidensi 600.000 kasus kematian tiap tahun. Di negara berkembang, kasus demam tifoid dilaporkan
sebagai penyakit endemis dimana 95% merupakan kasus rawat jalan sehingga insidensi yang
sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di rumah sakit. Di Indonesia kasus
ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di daerah pedesaan 358/100.000
penduduk/tahun dan di daerah perkotaan 760/100.000 penduduk/tahun atau sekitar 600.000 dan 1.5
juta kasus per tahun. Umur penderita yang terkena di Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada
91% kasus.
Beberapa faktor penyebab demam tifoid masih terus menjadi masalah kesehatan penting di negara
berkembang meliputi pula keterlambatan penegakan diagnosis pasti. Penegakan diagnosis demam
tifoid saat ini dilakukan secara klinis dan melalui pemeriksaan laboratorium. Diagnosis demam tifoid
secara klinis seringkali tidak tepat karena tidak ditemukannya gejala klinis spesifik atau didapatkan
gejala yang sama pada beberapa penyakit lain pada anak, terutama pada minggu pertama sakit. Hal ini
menunjukkan perlunya pemeriksaan penunjang laboratorium untuk konfirmasi penegakan diagnosis
demam tifoid.
Berbagai metode diagnostik masih terus dikembangkan untuk mencari cara yang cepat, mudah
dilakukan dan murah biayanya dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi. Hal ini penting untuk
membantu usaha penatalaksanaan penderita secara menyeluruh yang juga meliputi penegakan
diagnosis sedini mungkin dimana pemberian terapi yang sesuai secara dini akan dapat menurunkan
ketidaknyamanan penderita, insidensi terjadinya komplikasi yang berat dan kematian serta
memungkinkan usaha kontrol penyebaran penyakit melalui identifikasi karier.
METODE DIAGNOSTIK
Penegakan diagnosis demam tifoid didasarkan pada manifestasi klinis yang diperkuat oleh
pemeriksaan laboratorium penunjang. Sampai saat ini masih dilakukan berbagai penelitian yang
menggunakan berbagai metode diagnostik untuk mendapatkan metode terbaik dalam usaha
penatalaksanaan penderita demam tifoid secara menyeluruh.
A. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis demam tifoid pada anak seringkali tidak khas dan sangat bervariasi yang sesuai
dengan patogenesis demam tifoid. Spektrum klinis demam tifoid tidak khas dan sangat lebar, dari
asimtomatik atau yang ringan berupa panas disertai diare yang mudah disembuhkan sampai dengan
bentuk klinis yang berat baik berupa gejala sistemik panas tinggi, gejala septik yang lain, ensefalopati
atau timbul komplikasi gastrointestinal berupa perforasi usus atau perdarahan. Hal ini mempersulit
penegakan diagnosis berdasarkan gambaran klinisnya saja.
Demam merupakan keluhan dan gejala klinis terpenting yang timbul pada semua penderita demam
tifoid. Demam dapat muncul secara tiba-tiba, dalam 1-2 hari menjadi parah dengan gejala yang
menyerupai septisemia oleh karena Streptococcus atau Pneumococcus daripada S. typhi. Menggigil
tidak biasa didapatkan pada demam tifoid tetapi pada penderita yang hidup di daerah endemis malaria,
menggigil lebih mungkin disebabkan oleh malaria.
Namun demikian demam tifoid dan malaria dapat timbul bersamaan pada satu penderita. Sakit kepala
hebat yang menyertai demam tinggi dapat menyerupai gejala meningitis, di sisi lain S. typhi juga
dapat menembus sawar darah otak dan menyebabkan meningitis. Manifestasi gejala mental kadang
mendominasi gambaran klinis, yaitu konfusi, stupor, psikotik atau koma. Nyeri perut kadang tak dapat
dibedakan dengan apendisitis. Pada tahap lanjut dapat muncul gambaran peritonitis akibat perforasi
usus.
Pengamatan selama 6 tahun (1987-1992) di Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK Unair/RSU
Dr.Soetomo Surabaya terhadap 434 anak berumur 1-12 tahun dengan diagnosis demam tifoid atas
dasar ditemukannya S.typhi dalam darah dan 85% telah mendapatkan terapi antibiotika sebelum
masuk rumah sakit serta tanpa memperhitungkan dimensi waktu sakit penderita, didapatkan keluhan
dan gejala klinis pada penderita sebagai berikut : panas (100%), anoreksia (88%), nyeri perut (49%),
muntah (46%), obstipasi (43%) dan diare (31%). Dari pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran
delirium (16%), somnolen (5%) dan sopor (1%) serta lidah kotor (54%), meteorismus (66%),
hepatomegali (67%) dan splenomegali (7%).10 Hal ini sesuai dengan penelitian di RS Karantina
Jakarta dengan diare (39,47%), sembelit (15,79%), sakit kepala (76,32%), nyeri perut (60,5%),
muntah (26,32%), mual (42,11%), gangguan kesadaran (34,21%), apatis (31,58%) dan delirium
(2,63%). Sedangkan tanda klinis yang lebih jarang dijumpai adalah disorientasi, bradikardi relatif,
ronki, sangat toksik, kaku
kuduk, penurunan pendengaran, stupor dan kelainan neurologis fokal.3 Angka kejadian komplikasi
adalah kejang (0.3%), ensefalopati (11%), syok (10%), karditis (0.2%), pneumonia (12%), ileus (3%),
melena (0.7%), ikterus (0.7%).
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi dalam empat
kelompok, yaitu :
(1) pemeriksaan darah tepi
(2) pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman
(3) uji serologis, dan
(4) pemeriksaan kuman secara molekuler.
Pada penderita demam tifoid bisa didapatkan anemia, jumlah leukosit normal, bisa menurun atau
meningkat, mungkin didapatkan trombositopenia dan hitung jenis biasanya normal atau sedikit
bergeser ke kiri, mungkin didapatkan aneosinofilia dan limfositosis relatif, terutama pada fase lanjut.
Penelitian oleh beberapa ilmuwan mendapatkan bahwa hitung jumlah dan jenis leukosit serta laju
endap darah tidak mempunyai nilai sensitivitas, spesifisitas dan nilai ramal yang cukup tinggi untuk
dipakai dalam membedakan antara penderita demam tifoid atau bukan, akan tetapi adanya leukopenia
dan limfositosis relatif menjadi dugaan kuat diagnosis demam tifoid.
Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak menyingkirkan
demam tifoid, karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi
hasil biakan meliputi
1. jumlah darah yang diambil
2. perbandingan volume darah dari media empedu; dan
3. waktu pengambilan darah.
Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar, sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 2-4
mL. Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 0.5-1 mL. Bakteri
dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri dalam darah.
Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil positifnya bila
dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit dan sudah
mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya. Media pembiakan yang direkomendasikan untuk S.typhi
adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media Gall ini dapat meningkatkan positivitas
hasil karena hanya S. typhi dan S. paratyphi yang dapat tumbuh pada media tersebut.
Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan
penyakit. Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80% atau 70-90% dari penderita pada
minggu pertama sakit dan positif 10-50% pada akhir minggu ketiga. Sensitivitasnya akan menurun
pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai dengan volume
darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai. Bakteri dalam feses ditemukan meningkat
dari minggu pertama (10-15%) hingga minggu ketiga (75%) dan turun secara perlahan. Biakan urine
positif setelah minggu pertama. Biakan sumsum tulang merupakan metode baku emas karena
mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada 80-95% kasus dan sering tetap
positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase penyembuhan. Metode ini terutama
bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan terapi atau dengan kultur darah negatif
sebelumnya. Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga tidak dipakai dalam praktek sehari-hari.
Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan
memberikan hasil yang cukup baik akan tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko
aspirasi terutama pada anak. Salah satu penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas
kombinasi kultur darah dan duodenum hampir sama dengan kultur sumsum tulang.
Kegagalan dalam isolasi/biakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang digunakan,
adanya penggunaan antibiotika, jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah, volume spesimen
yang tidak mencukupi, dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat.
Walaupun spesifisitasnya tinggi, pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan
adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih canggih
untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai metode
diagnosis baku dalam pelayanan penderita.
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan mendeteksi
antibodi spesifik terhadap komponen antigen S. typhi maupun mendeteksi antigen itu sendiri. Volume
darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang diinokulasikan ke dalam tabung
tanpa antikoagulan. Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi :
1. uji Widal
2. tes TUBEX
5. pemeriksaan dipstik.
Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting dalam
proses diagnostik demam tifoid. Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam
sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S. typhi oleh karena tergantung pada jenis
antigen, jenis spesimen yang diperiksa, teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut, jenis
antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan spesimen
(stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit).
Uji Widal merupakan suatu metode serologi baku dan rutin digunakan sejak tahun 1896. Prinsip uji
Widal adalah memeriksa reaksi antara antibodi aglutinin dalam serum penderita yang telah mengalami
pengenceran berbeda-beda terhadap antigen somatik (O) dan flagela (H) yang ditambahkan dalam
jumlah yang sama sehingga terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan
aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum.
Teknik aglutinasi ini dapat dilakukan dengan menggunakan uji hapusan (slide test) atau uji
tabung (tube test). Uji hapusan dapat dilakukan secara cepat dan digunakan dalam prosedur penapisan
sedangkan uji tabung membutuhkan teknik yang lebih rumit tetapi dapat digunakan untuk konfirmasi
hasil dari uji hapusan.
Penelitian pada anak oleh Choo dkk (1990) mendapatkan sensitivitas dan spesifisitas masing-
masing sebesar 89% pada titer O atau H >1/40 dengan nilai prediksi positif sebesar 34.2% dan nilai
prediksi negatif sebesar 99.2%. Beberapa penelitian pada kasus demam tifoid anak dengan hasil
biakan positif, ternyata hanya didapatkan sensitivitas uji Widal sebesar 64-74% dan spesifisitas
sebesar 76-83%.
Interpretasi dari uji Widal ini harus memperhatikan beberapa faktor antara lain sensitivitas,
spesifisitas, stadium penyakit; faktor penderita seperti status imunitas dan status gizi yang dapat
mempengaruhi pembentukan antibodi; gambaran imunologis dari masyarakat setempat (daerah
endemis atau non-endemis); faktor antigen; teknik serta reagen yang digunakan.
Kelemahan uji Widal yaitu rendahnya sensitivitas dan spesifisitas serta sulitnya melakukan
interpretasi hasil membatasi penggunaannya dalam penatalaksanaan penderita demam tifoid akan
tetapi hasil uji Widal yang positif akan memperkuat dugaan pada tersangka penderita demam tifoid
(penanda infeksi). Saat ini walaupun telah digunakan secara luas di seluruh dunia, manfaatnya masih
diperdebatkan dan sulit dijadikan pegangan karena belum ada kesepakatan akan nilai standar
aglutinasi (cut-off point). Untuk mencari standar titer uji Widal seharusnya ditentukan titer dasar
(baseline titer) pada anak sehat di populasi dimana pada daerah endemis seperti Indonesia akan
didapatkan peningkatan titer antibodi O dan H pada anak-anak sehat. Penelitian oleh Darmowandowo
di RSU Dr.Soetomo Surabaya (199 mendapatkan hasil uji Widal dengan titer >1/200 pada 89%
penderita.
Tes TUBEX merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan cepat (kurang
lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan sensitivitas.
Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik yang hanya
ditemukan pada Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena
hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam waktu beberapa
menit.
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEX ini, beberapa penelitian
pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik
daripada uji Widal. Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil sensitivitas 100% dan
spesifisitas 100%. Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78% dan spesifisitas sebesar 89%.
Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal, dapat digunakan untuk pemeriksaan secara rutin karena
cepat, mudah dan sederhana, terutama di negara berkembang.
Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG terhadap
antigen OMP 50 kD S. typhi. Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi pada demam
tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid pada fase
pertengahan infeksi. Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam tifoid yang
tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat membedakan antara kasus
akut, konvalesen dan reinfeksi. Pada metode Typhidot-M yang merupakan modifikasi dari metode
Typhidot telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga menghilangkan pengikatan kompetitif
dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M spesifik.
Penelitian oleh Purwaningsih dkk (2001) terhadap 207 kasus demam tifoid bahwa spesifisitas
uji ini sebesar 76.74% dengan sensitivitas sebesar 93.16%, nilai prediksi positif sebesar 85.06% dan
nilai prediksi negatif sebesar 91.66%. Sedangkan penelitian oleh Gopalakhrisnan dkk (2002) pada 144
kasus demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 98%, spesifisitas sebesar 76.6% dan
efisiensi uji sebesar 84%. Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 79% dan spesifisitas
sebesar 89%.
Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan salmonellosis non-tifoid bila
dibandingkan dengan Widal. Dengan demikian bila dibandingkan dengan uji Widal, sensitivitas uji
dot EIA lebih tinggi oleh karena kultur positif yang bermakna tidak selalu diikuti dengan uji Widal
positif. Dikatakan bahwa Typhidot-M ini dapat menggantikan uji Widal bila digunakan bersama
dengan kultur untuk mendapatkan diagnosis demam tifoid akut yang cepat dan akurat.
Beberapa keuntungan metode ini adalah memberikan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi
dengan kecil kemungkinan untuk terjadinya reaksi silang dengan penyakit demam lain, murah (karena
menggunakan antigen dan membran nitroselulosa sedikit), tidak menggunakan alat yang khusus
sehingga dapat digunakan secara luas di tempat yang hanya mempunyai fasilitas kesehatan sederhana
dan belum tersedia sarana biakan kuman. Keuntungan lain adalah bahwa antigen pada membran
lempengan nitroselulosa yang belum ditandai dan diblok dapat tetap stabil selama 6 bulan bila
disimpan pada suhu 4C dan bila hasil didapatkan dalam waktu 3 jam setelah penerimaan serum
pasien.
3.4 METODE ENZYME-LINKED IMMUNOSORBENT ASSAY (ELISA)
Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG, IgM dan
IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan antibodi terhadap
antigen Vi S. typhi. Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya antigen S. typhi dalam
spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA. Chaicumpa dkk (1992) mendapatkan
sensitivitas uji ini sebesar 95% pada sampel darah, 73% pada sampel feses dan 40% pada sampel
sumsum tulang. Pada penderita yang didapatkan S. typhi pada darahnya, uji ELISA pada sampel urine
didapatkan sensitivitas 65% pada satu kali pemeriksaan dan 95% pada pemeriksaan serial serta
spesifisitas 100%. Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap sampel urine penderita demam tifoid
mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100% pada deteksi antigen Vi serta masing-masing 44% pada
deteksi antigen O9 dan antigen Hd. Pemeriksaan terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan
penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya cukup menjanjikan, terutama bila dilakukan pada
minggu pertama sesudah panas timbul, namun juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga
pada kasus dengan Brucellosis.
3.5 PEMERIKSAAN DIPSTIK
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat mendeteksi
antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S. typhi dengan menggunakan membran nitroselulosa
yang mengandung antigen S. typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-human immobilized
sebagai reagen kontrol. Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang sudah distabilkan, tidak
memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak mempunyai fasilitas
laboratorium yang lengkap.
Penelitian oleh Gasem dkk (2002) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 69.8% bila dibandingkan
dengan kultur sumsum tulang dan 86.5% bila dibandingkan dengan kultur darah dengan spesifisitas
sebesar 88.9% dan nilai prediksi positif sebesar 94.6%. Penelitian lain oleh Ismail dkk (2002)
terhadap 30 penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 90% dan spesifisitas
sebesar 96%. Penelitian oleh Hatta dkk (2002) mendapatkan rerata sensitivitas sebesar 65.3% yang
makin meningkat pada pemeriksaan serial yang menunjukkan adanya serokonversi pada penderita
demam tifoid. Uji ini terbukti mudah dilakukan, hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin
lebih besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur
negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat pemeriksaan
kultur secara luas.
Metode lain untuk identifikasi bakteri S. typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam nukleat)
gen flagellin bakteri S. typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi
DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi yang spesifik
untuk S. typhi.
Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100% dengan sensitivitas
yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi 1-5 bakteri/mL
darah.24 Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas sebesar 63% bila
dibandingkan dengan kultur darah (13.7%) dan uji Widal (35.6%).
Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko kontaminasi yang
menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak dilakukan secara cermat,
adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses PCR (hemoglobin dan heparin
dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam spesimen feses), biaya yang cukup
tinggi dan teknis yang relatif rumit. Usaha untuk melacak DNA dari spesimen klinis masih belum
memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini penggunaannya masih terbatas dalam
laboratorium penelitian.
Campak (Morbili)
Campak (Morbili) adalah penyakit virus akut, menular yang ditandai dengan 3 stadium, yaitu
stadium prodormal ( kataral ), stadium erupsi dan stadium konvalisensi, yang
dimanifestasikan dengan demam, konjungtivitis dan bercak koplik.Morbili adalah penyakit
anak menular yang lazim biasanya ditandai dengan gejala-gejala utama ringan, ruam demam,
scarlet, pembesaran serta nyeri limpa nadi.
Morbili merupakan penyakit akut yang mudah sekali menular dan sering terjadi komplikasi
yang serius
Hampir semua anak di bawah 5 tahun di negara berkembang akan terserang penyakit ini,
sedangkan di negara maju biasanya menyerang anak usia remaja atau dewasa muda yang
tidak terlindung oleh imunisasi
Penyakit morbili sebetulnya tidak berakibat fatal apabila menyerang anak-anak yang sehat
dan bergizi baik. Tetapi apabila di negara di mana anak yang menderita kurang gizi sangat
banyak, morbili merupakan penyakit yang berakibat fatal
Anak-anak yang bergizi kurang dan terserang morbili, biasanya akan diikuti dengan keadaan
yang disebut kwashiorkor. Keadaan ini dapat diterangkan oleh karena meningkatnya
kebutuhan kalori dan protein semasa proses infeksi yang disertai dengan demam, nafsu
makan menurun dan gangguan pada mulut anak yang rnenyebabkan kesulitan menelan. Di
samping itu terjadi perubahan pada mukosa usus yang menyebabkan timbulnya protein losing
enteropathy
Untuk itu sangat perlu diadakan tindakan pencegahan. Salah satu tindakan yang dinilai paling
efektif adalah dengan cara imunisasi. Hal ini dapat memungkinkan basil yang diinginkan
sama dengan bila suatu infeksi alamiah terjadi, dan tanpa pengaruh berat seperti bila
terinfeksi dengan penyakit itu sendiri.
Di Indonesia sudah sejak tahun 1982 program imunisasi morbili dilaksanakan. adapun tujuan
imunisasi sendiri adalah untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian, bila mungkin
mengeradikasi penyakit tersebut. Untuk mengeradikasi penyakit menular yang
mikroorganismenya dapat menginfeksi lebih dari satu hospes, atau pun dapat hidup dalam
lingkungan yang kurang menguntungkan merupakan hal yang mustahil ?. Tetapi bila
mikroorganisme tersebut secara total bergantung kepada manusia, maka eradikasi penyakit
tersebut dapat dilakukan, sebab kedua virus tersebut banyak persamaannya antara lain :
- jika menginfeksi akan menimbulkan ruam yang khas dan menimbulkan kekebalan dalam
jangka waktu yang lama.
- kedua jenis virus ini tidak mempunyai hewan reservoir dan tidak menimbulkan keadaan
carrier kronik.
Dit.Jen. P2M & PLP sudah melaksanakan program imunisasi morbili secara massal. Untuk
mencapai efektifitas optimum, banyak faktor yang harus diperhatikan misal : potensi vaksin
itu sendiri, umur anak yang divaksinasi, luas jangkauan imunisasi dan lain-lain. Jangkauan
imunisasi ditentukan oleh beberapa faktor, antara lain : fasilitas vaksin, letak daerah yang
akan divaksinasi, kemampuan petugas dan lain-lain.
Sedang umur anak yang divaksinasi tiap negara berbeda-beda, tergantung keadaan negara
tersebut. Untuk potensi vaksin sangat dipengaruhi cara pengiriman, penyimpanan,
penanganan di lapangan dan jenis vaksin itu sendiri. Potensi vaksin morbili yang baik
menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO) adalah vaksin morbili yang mempunyai potensi
103,0/0,5 ml/dosis.
Campak hanya akan menulari sekali dalam seumur hidup. Bisa terjadi pada anak-anak yang
masih kecil maupun yang sudah besar. Bila daya tahan tubuh kuat, bisa saja anak tidak
terkena campak sama sekali.
PENYEBAB CAMPAK
Penyebab penyakit campak adalah virus campak atau morbili.Pada awalnya, gejala campak
agak sulit dideteksi. Namun, secara garis besar penyakit campak bisa dibagi menjadi 3 fase.
- Fase pertama disebut masa inkubasi yang berlangsung sekitar 10-12 hari. Pada fase ini, anak
sudah mulai terkena infeksi tapi pada dirinya belum tampak gejala apa pun. Bercak-bercak
merah yang merupakan ciri khas campak belum keluar.
- Pada fase kedua (fase prodormal) barulah timbul gejala yang mirip penyakit flu, seperti
batuk, pilek, dan demam. Mata tampak kemerah-merahan dan berair. Bila melihat sesuatu,
mata akan silau (photo phobia). Di sebelah dalam mulut muncul bintik-bintik putih yang akan
bertahan 3-4 hari. Terkadang anak juga mengalami diare. Satu-dua hari kemudian timbul
demam tinggi yang turun naik, berkisar 38-40,50c.
- Fase ketiga ditandai dengan keluarnya bercak merah seiring dengan demam tinggi yang
terjadi. Namun, bercak tak langsung muncul di seluruh tubuh, melainkan bertahap dan
merambat. Bermula dari belakang kuping, leher, dada, muka, tangan dan kaki. Warnanya pun
khas; merah dengan ukuran yang tidak terlalu besar tapi juga tidak terlalu kecil.
CARA PENULARAN
Yang patut diwaspadai, penularan penyakit campak berlangsung sangat cepat melalui
perantara udara atau semburan ludah (droplet) yang terisap lewat hidung atau mulut.
Penularan terjadi pada masa fase kedua hingga 1-2 hari setelah bercak merah timbul.
Sayangnya, masih ada anggapan yang salah dalam masyarakat akan penyakit campak.
Misalnya, bila satu anggota keluarga terkena campak, maka anggota keluarga lain sengaja
ditulari agar sekalian repot. Alasannya, bukankah campak hanya terjadi sekali seumur hidup?
Jadi kalau waktu kecil sudah pernah campak, setelah itu akan aman selamanya. Ini jelas
pendapat yang tidak benar karena penyakit bukanlah untuk ditularkan. Apalagi dampak
campak cukup berbahaya.
Anggapan lain yang patut diluruskan, yaitu bahwa bercak merah pada campak harus keluar
semua karena kalau tidak malah akan membahayakan penderita. Yang benar, justru jumlah
bercak menandakan ringan-beratnya campak. Semakin banyak jumlahnya berarti semakin
berat penyakitnya. Dokter justru akan mengusahakan agar campak pada anak tidak menjadi
semakin parah atau bercak merahnya tidak sampai muncul di sekujur tubuh.
Selain itu, masih banyak orang tua yang memperlakukan anak campak secara salah. Salah
satunya, anak tidak dimandikan. Dikhawatirkan, keringat yang melekat pada tubuh anak
menimbulkan rasa lengket dan gatal yang mendorongnya menggaruk kulit dengan tangan
yang tidak bersih sehingga terjadi infeksi berupa bisul-bisul kecil bernanah. Sebaliknya,
dengan mandi anak akan merasa nyaman.
PENGOBATAN GEJALA
Pengobatan campak dilakukan dengan mengobati gejala yang timbul. Demam yang terjadi
akan ditangani dengan obat penurun demam. Jika anak mengalami diare maka diberi obat
untuk mengatasi diarenya. Batuk akan diatasi dengan mengobati batuknya. Dokter pun akan
menyiapkan obat antikejang bila anak punya bakat kejang.
Intinya, segala gejala yang muncul harus diobati karena jika tidak, maka campak bisa
berbahaya. Dampaknya bisa bermacam-macam, bahkan bisa terjadi komplikasi. Perlu
diketahui, penyakit campak dikategorikan sebagai penyakit campak ringan dan yang berat.
Disebut ringan, bila setelah 1-2 hari pengobatan, gejala-gejala yang timbul membaik. Disebut
berat bila pengobatan yang diberikan sudah tak mempan karena mungkin sudah ada
komplikasi.
Komplikasi dapat terjadi karena virus campak menyebar melalui aliran darah ke jaringan
tubuh lainnya. Yang paling sering menimbulkan kematian pada anak adalah kompilkasi
radang paru-paru (broncho pneumonia) dan radang otak (ensefalitis). Komplikasi ini bisa
terjadi cepat selama berlangsung penyakitnya.
Gejala ensefalitis yaitu kejang satu kali atau berulang, kesadaran anak menurun, dan
panasnya susah turun karena sudah terjadi infeksi tumpangan yang sampai ke otak. Lain
halnya, komplikasi radang paru-paru ditandai dengan batuk berdahak, pilek, dan sesak napas.
Jadi, kematian yang ditimbulkan biasanya bukan karena penyakit campak itu sendiri,
melainkan karena komplikasi. Umumnya campak yang berat terjadi pada anak yang kurang
gizi.
Anjuran :
Bila campaknya ringan, anak cukup dirawat di rumah. Kalau campaknya berat atau sampai
terjadi komplikasi maka harus dirawat di rumah sakit.
Anak campak perlu dirawat di tempat tersendiri agar tidak menularkan penyakitnya kepada
yang lain. Apalagi bila ada bayi di rumah yang belum mendapat imunisasi campak.
Beri penderita asupan makanan bergizi seimbang dan cukup untuk meningkatkan daya
tahan tubuhnya. Makanannya harus mudah dicerna, karena anak campak rentan terjangkit
infeksi lain, seperti radang tenggorokan, flu, atau lainnya. Masa rentan ini masih berlangsung
sebulan setelah sembuh karena daya tahan tubuh penderita yang masih lemah.
Lakukan pengobatan yang tepat dengan berkonsultasi pada dokter.
Semua penyakit yang disebabkan virus bersifat endemis. Artinya bisa muncul kapan saja
sepanjang tahun, tidak mengenal musim. Campak pada anak perlu dicegah dengan imunisasi.
Apalagi campak banyak menyerang anak usia balita. Seharusnya, vaksin campak tak
memiliki efek samping, tapi karena vaksin dibuat dari virus yang dilemahkan, maka bisa saja
satu dari sekian juta virusnya menimbulkan efek samping. Umpamanya, setelah diimunisasi
campak, anak jadi panas atau diare.
Sebenarnya bayi mendapatkan antibodi dari ibunya melalui plasenta saat hamil. Namun,
antibodi dari ibu pada tubuh bayi itu akan semakin menurun pada usia kesembilan bulan.
Lantaran itu, pemberian imunisasi campak dilakukan di usia tersebut. Kemudian, karena
tubuh bayi di bawah 9 bulan belum bisa membentuk kekebalan tubuh dengan baik maka
pemberian vaksinasi campak diulang di usia 15 bulan dengan imunisasi MMR (Measles,
Mumps and Rubella). Dengan vaksinasi ini diharapkan bilapun anak terkena campak, maka
dampaknya tidak sampai berat atau fatal karena tubuh sudah memiliki antibodinya.
Hanya saja, karena saat ini terdapat kecurigaan bahwa bahan pengawet pada vaksin MMR
dapat memicu autisme, akhirnya pemberian imunisasi campak tidak diulang. kekhawatiran itu
tidak perlu ada lagi jika anak sudah mencapai usia tiga tahun dan mengalami proses tumbuh
kembang yang normal. Sebaiknya anak divaksinasi saja. Boleh ditunda tapi jangan sampai
ditiadakan. Sampai besar pun masih bisa divaksinasi. Lebih baik mencegah daripada
mengobati.
Campak Jerman atau rubela berbeda dari campak biasa. Pada anak, campak jerman jarang
terjadi dan dampaknya tak sampai fatal. Kalaupun ada biasanya terjadi pada anak yang lebih
besar, sekitar usia 5 sampai 14 tahun,.
Gejalanya hampir sama dengan campak biasa, seperti flu, batuk, pilek dan demam tinggi.
Namun, bercak merah yang timbul tidak akan sampai terlalu parah dan cepat menghilang
dalam waktu 3 hari. Nafsu makan penderita juga biasanya menurun karena terjadi
pembengkakan limpa.
Yang perlu dikhawatirkan jika campak jerman ini menyerang wanita hamil karena bisa
menular pada janin melalui plasenta (ari-ari). Akibatnya, anak yang dilahirkan akan
mengalami sindrom rubela kongenital. Mata bayi akan mengalami katarak begitu lahir, ada
ketulian, dan ada pengapuran di otak, sehingga anak bisa mengalami keterbelakangan
perkembangan.
Jadi, setiap anak perempuan sebaiknya mendapat vaksinasi rubela untuk melindungi janinnya
bila ia hamil kelak. Pada anak perempuan kekebalan ini nantinya akan diturunkan kepada
bayinya hingga berusia 9 bulan. Perlunya vaksinasi rubela pada pria, karena campak jerman
yang mungkin menjangkitinya bisa menulari sang istri yang tengah hamil.
Kelainan yang berdampak pada keterbelakangan pertumbuhan fisik dan mental anak ini
pertama kali dikenal pada tahun 1866 oleh Dr. John Longdon Down. Karena ciri-ciri yang
tampak aneh seperti tinggi badan yang relative pendek, kepala mengecil, hidung yang datar
menyerupai orang Mongolia maka sering juga dikenal dengan Mongoloid.
Pertumbuhan anak dengan sindroma down biasanya menunjukkan kecenderungan lebih
lambat dan lebih kecil dari teman sebayanya. Otot yang lemah tersebut juga kadang
menimbulkan masalah, seperti halnya sukar buang air besar dan permasalahan pencernaan
lainnya. Pada anak kecil yang belajar berjalan maupun yang sudah dewasa kadang
mengalami keterlambatan dalam berbicara dan kemampuan untuk melayani dirinya sendiri
seperti halnya kemampuan dalam hal menyiapkan makanannya sendiri, berpakaian, mandi,
buang air kecil dan buang air besar.
Sindroma down mempengaruh kemampuan anak untuk mempelajari sesuatu dalam beberapa
hal. Memang kebanyakan kecerdasannya agak lemah. Anak dengan sidroma down dapat
belajar dan sangat mungkin dalam kemampuannya dalam kehidupan ditingkatkan.
Anak dengan sindrom down cenderung menunjukkan gambaran fisik (symptop) seperti :
Seringkali mata menjadi sipit dengan sudut bagian tengah membentuk lipatan
(epicanthal folds).
Tanda klinis pada bagian tubuh lainnya berupa tangan yang pendek termasuk ruas
jari-jarinya serta jarak antara jari pertama dan kedua baik pada tangan maupun kaki
melebar
C. Penyebab
Penyebab terjadinya kwashiorkor adalah inadekuatnya intake protein yang berlansung kronis.
Faktor yang dapat menyebabkan hal tersbut diatas antara lain:
Pola makan
Protein (dan asam amino) adalah zat yang sangat dibutuhkan anak untuk tumbuh dan
berkembang. Meskipun intake makanan mengandung kalori yang cukup, tidak semua
makanan mengandung protein/ asam amino yang memadai. Bayi yang masih menyusui
umumnya mendapatkan protein dari ASI yang diberikan ibunya, namun bagi yang tidak
memperoleh ASI protein adri sumber-sumber lain (susu, telur, keju, tahu dan lain-lain)
sangatlah dibutuhkan. Kurangnya pengetahuan ibu mengenai keseimbangan nutrisi anak
berperan penting terhadap terjadi kwashiorkhor, terutama pada masa peralihan ASI ke
makanan pengganti ASI.
Faktor social
Hidup di negara dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi, keadaan sosial dan politik
tidak stabil, ataupun adanya pantangan untuk menggunakan makanan tertentu dan sudah
berlansung turun-turun dapat menjadi hal yang menyebabkan terjadinya kwashiorkor.
Faktor ekonomi
Kemiskinan keluarga/ penghasilan yang rendah yang tidak dapat memenuhi kebutuhan
berakibat pada keseimbangan nutrisi anak tidak terpenuhi, saat dimana ibunya pun tidak
dapat mencukupi kebutuhan proteinnya.
Faktor infeksi dan penyakit lain
Telah lama diketahui bahwa adanya interaksi sinergis antara MEP dan infeksi. Infeksi derajat
apapun dapat memperburuk keadaan gizi. Dan sebaliknya MEP, walaupun dalam derajat
ringan akan menurunkan imunitas tubuh terhadap infeksi.
D. Terapi
Penatalaksanaan kwashiorkor bervariasi tergantung pada beratnya kondisi anak. Keadaan
shock memerlukan tindakan secepat mungkin dengan restorasi volume darah dan
mengkontrol tekanan darah. Pada tahap awal, kalori diberikan dalam bentuk karbohidrat, gula
sederhana, dan lemak. Protein diberikan setelah semua sumber kalori lain telah dapat
menberikan tambahan energi. Vitamin dan mineral dapat juga diberikan. Dikarenan anak
telah tidak mendapatkan makanan dalam jangka waktu yang lama, memberikan makanan per
oral dapat menimbulkan masalah, khususnya apabila pemberian makanan dengan densitas
kalori yang tinggi. Makanan harus diberikan secara bertahap/ perlahan. Banyak dari anak
penderita malnutrisi menjadi intoleran terhadap susu (lactose intolerance) dan diperlukan
untuk memberikan suplemen yang mengandung enzim lactas. Penatalaksaan gizi buruk
menurut standar pelayanan medis kesehatan anak IDAI (ikatan dokter anak Indonesia) :
E. Komplikasi
Anak dengan kwashiorkor akan lebih mudah untuk terkena infeksi dikarenakan lemahnya
sistem imun. Tinggi maksimal dan kempuan potensial untuk tumbuh tidak akan pernah dapat
dicapai oleh anak dengan riwayat kwashiorkor. Bukti secara statistik mengemukakan bahwa
kwashiorkor yang terjadi pada awal kehidupan (bayi dan anak-anak) dapat menurunkan IQ
secara permanen.
F. Pencegahan
Untuk menghindari terjadinya gizi buruk dapat dilakukan dengan memperbaiki beberapa hal
sbb:
Pola makan
Faktor social
Faktor ekonomi
Faktor infeksi dan penyakit lain
G. Sumber referensi
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). Malnutrisi energi protein. Dalam : Standar Pelayanan
Medis Kesehatan Anak. Edisi I. Jakarta : 2004 ; 217-222.
Health-cares Foundation. Kwashiorkor (kwash&180;eorkor). Avaliable from :
http://health.allrefer.com/health/kwashiorkor-info.htlm. Last update January 2006
Kumar SP. WHO Global Database on Child Growth and Malnutrition World Health
Organization. Avaliable from : http://www.Who.int//nutgrowthdb>. Last update January 2007
H. Tempat Berobat
Semua Rumah sakit yang memiliki dokter spesialis anak
Diposkan oleh Dr. Aryo di 07:53 0 komentar
HiperBilirubinemia
A. Definisi
1. Ikterus
Adalah perubahan warna kuning pada kulit, membrane mukosa, sclera dan organ
lain yang disebabkan oleh peningkatan kadar bilirubin di dalam darah dan ikterus
sinonim dengan jaundice.
2. Ikterus Fisiologis
Ikterus fisiologis menurut Tarigan (2003) dan Callhon (1996) dalam Schwats
(2005) adalah ikterus yang memiliki karakteristik sebagai berikut:
pada neonatus cukup bulan dan 10 mg % per hari pada kurang bulan
Suatu keadaan dimana kadar bilirubin dalam darah mencapai suatu nilai yang
mempunyai potensi untuk menimbulkan Kern Ikterus kalau tidak
ditanggulangi dengan baik, atau mempunyai hubungan dengan keadaan yang
patologis. Brown menetapkan hiperbilirubinemia bila kadar bilirubin mencapai
12 mg % pada cukup bulan, dan 15 mg % pada bayi yang kurang bulan.
Utelly menetapkan 10 mg % dan 15 mg %.
4. Kern Ikterus
Adalah suatu kerusakan otak akibat perlengketan bilirubin indirek pada otak. Kern
Ikterus ialah ensefalopati bilirubin yang biasanya ditemukan pada neonatus cukup
bulan dengan ikterus berat (bilirubin lebih dari 20 mg %) dan disertai penyakit
hemolitik berat dan pada autopsy ditemukan bercak bilirubin pada otak. Kern
ikterus secara klinis berbentuk kelainan syaraf spatis yang terjadi secara kronik.
B. Jenis Bilirubin
Menuru Klous dan Fanaraft (1998) bilirubin dibedakan menjad dua jenis yaitu:
1. Bilirubin tidak terkonjugasi atau bilirubin indirek atau bilirubin bebas yaitu bilirubin
tidak larut dalam air, berikatan dengan albumin untuk transport dan komponen
bebas larut dalam lemak serta bersifat toksik untuk otak karena bisa melewati
sawar darah otak.
2. bilirubin terkonjugasi atau bilirubin direk atau bilirubin terikat yaitu bilirubin larut
dalam air dan tidak toksik untuk otak.
C. Etiologi
diol (steroid)
Kelainan congenital
3. Gangguan fungsi hati yang disebabkan oleh beberapa mikroorganisme atau toksin
yang dapat langsung merusak sel hati dan darah merah seperti infeksi,
toksoplasmasiss, syphilis.
D. Patofisiologi
Peningkatan kadar bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan.
Keadaan yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban bilirubin
pada sel hepar yang berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan
penghancuran eritrosit, polisitemia.
Pada derajat tertentu bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak jaringan
tubuh. Toksisitas terutama ditemukan ada bilirubin indirek yang bersifat sukar larut
dalam air tapi mudah larut dalam lemak. Sifat ini memungkinkan terjadinya efek
patologis pada sel otak apabila bilirubin tadi dapat menembus darah otak. Kelainan
yang terjadi pada otak disebut Kernikterus. Pada umumnya dianggap bahwa kelainan
pada syaraf pusat tersebut mungkin akan timbul apabila kadar bilirubin indirek lebih
dari 20 mg/dl.
Mudah tidaknya kadar bilirubin melewati darah otak ternyata tidak hanya
tergantung pada keadaan neonatus. Bilirubin indirek akan mudak melewati darah
otak apabila bayi terdapat keadaan Berat Badan Lahir Rendah, hipoksia, dan
hipolikemia.
a. Gejala akut : gejala yang dianggap sebagai fase pertama kernikterus pada
neonatus adalah letargi, tidak mau minum dan hipotoni.
b. Gejala kronik : tangisan yang melengking (high pitch cry) meliputi hipertonus dan
opistonus (bayi yang selamat biasanya menderita gejala sisa berupa paralysis
serebral dengan atetosis, gengguan pendengaran, paralysis sebagian otot mata
dan displasia dentalis
Sedangkan menurut Handoko (2003) gejalanya adalah warna kuning (ikterik) pada
kulit, membrane mukosa dan bagian putih (sclera) mata terlihat saat kadar bilirubin
darah mencapai sekitar 40 mol/l.
F. Komplikasi
Terjadi kern ikterus yaitu keruskan otak akibat perlangketan bilirubin indirek pada
otak. Pada kern ikterus gejala klinik pada permulaan tidak jelas antara lain : bayi
tidak mau menghisap, letargi, mata berputar-putar, gerakan tidak menentu
(involuntary movements), kejang tonus otot meninggi, leher kaku, dn akhirnya
opistotonus.
G. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan golongan darah ibu pada saat kehamilan dan bayi pada saat
kelahiran
Bila ibu mempunyai golongan darah O dianjurkan untuk menyimpan darah tali
pusat pada
Kadar bilirubin serum total diperlukan bila ditemukan ikterus pada 24 jam
pertama kelahiran
Ikterus dimulai dari kepala, leher dan seterusnya. Dan membagi tubuh bayi baru
lahir dalam lima bagian bawah sampai tumut, tumit-pergelangan kaki dan bahu
pergelanagn tangan dan kaki seta tangan termasuk telapak kaki dan telapak tangan.
Cara pemeriksaannya ialah dengan menekan jari telunjuk ditempat yang tulangnya
menonjol seperti tulang hidung, tulang dada, lutut dan lain-lain. Kemudian penilaian
kadar bilirubin dari tiap-tiap nomor disesuaikan dengan angka rata-rata didalam
gambar di bawah ini :
Aterm Prematur
-
1 Kepala sampai leher 5,4
Riwayat ibu
hamil
ke2
Ensefalopati
timbul
pada hari ke
3-7
usia 2 minggu
Timbul hari
ke2 atau lebih
Bayi berat
lahir rendah
J. Penatalaksanaan
Berdasarkan pada penyebabnya maka manajemen bayi dengan hiperbilirubinemia
diarahkan untuk mencegah anemia dan membatasi efek dari hiperbilirubinemia.
Pengobatan mempunyai tujuan :
1. Menghilangkan anemia
a. Fototherapi
Secara umum fototerapi harus diberikan pada kadar bilirubin indirek 4-5 mg/dl.
Noenatus yang sakit dengan berat badan kurang dari 1000 gram harus difototerapi
dengan konsentrasi bilirubin 5 mg/dl. Beberapa ilmuwan mengarahkan untuk
memberikan fototerapi profilaksasi pada 24 jam pertama pada bayi resiko tinggi dan
berat badan lahir rendah.
Tabel Terapi
Berikut tabel yang menggambarkan kapan bayi perlu menjalani fototerapi dan
penanganan medis lainnya, sesuai The American Academy of Pediaatrics (AAP) tahun
1994
<24
3. Penyakit hemolisis pada bayi saat lahir perdarahan atau 24 jam pertama
1. Mengatasi anemia sel darah merah yang tidak susceptible (rentan) terhadap
sel darah merah terhadap antibody maternal
c. Therapi Obat