Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Secara global, diare merupakan penyebab kematian terbesar kedua pada anak-anak di
bawah lima tahun. Padahal, sebagian besar kematian karena diare bisa dicegah dengan intervensi
yang efektif dan efisien.1 Riskesdas 2007 menyebutkan bahwa diare merupakan penyebab
kematian pada 42% bayi dan 25.2% pada anak usia 1-4 tahun. Prevalensi diare di Provinsi Jawa
Timur yaitu 7.9% dan kelompok dengan prevalensi tertinggi yaitu kelompok bayi dan balita.
Diare lebih banyak mengenai masyarakat pedesaan dibandingkan perkotaan yaitu sebesar 10% di
pedesaan dan 7.4% di perkotaan. Diare cenderung lebih tinggi pada kelompok pendidikan rendah
dan bekerja sebagai petani, nelayan, dan buruh.2
Diare menyebabkan kematian dengan cara mendeplesi cairan tubuh yang dapat mengarah
ke dehidrasi berat. Di samping itu, diare berat dapat menyebabkan gangguan pada pertumbuhan
dan perkembangan kognitif anak. Sekitar 88% kematian karena diare diasosiasikan dengan
konsumsi air yang tidak aman, sanitasi yang kurang bersih serta higienitas yang masih kurang.
Patogen penyebab diare sebagian besar menular melalui tinja yang tercemar ke mulut orang lain
(penularan fecal-oral), yang biasanya menyebar melalui perantara air, makanan, atau benda yang
terkontaminasi.1
Mengingat tingginya mortalitas dan morbiditas yang disebabkan oleh diare, WHO
mengeluarkan pedoman tatalaksana diare. Pedoman ini mencakup rehidrasi, suplementasi zink,
dukungan nutrisi, pemberian antibiotik selektif sesuai indikasi, dan edukasi. 3 Dari kelima
langkah tersebut, faktor utama yang paling berkontribusi dalam mengurangi angka kematian
akibat diare adalah penggunaan cairan rehidrasi oral (CRO) sebagai terapi dan pencegahan
terjadinya dehidrasi. Hal ini sesuai anjuran American Academy of Pediatrics (AAP). Cairan
Rehidrasi Oral dianggap memiliki sediaan yang sederhana, murah, dan mudah didapat.4
Pada umumnya diare akut bersifat self limiting disease sehingga seringkali pasien tidak
memerlukan pengobatan spesifik.4 Penggunaan rutin antibiotik untuk diare akut pada anak
sebaiknya dihindari karena tidak memiliki efek bermakna serta diasosiasikan dengan resiko
resistensi antibiotik. Namun demikian, beberapa kasus diare tetap membutuhkan terapi antibiotik
jika ada indikasi, dengan pilihan antibiotik yang tepat.5
1
Mini project ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pola tatalaksana diare akut di
Puskesmas Kembangbahu. Hal ini dikarenakan penggunaan antibiotik masih ditemukan dalam
penanganan beberapa kasus diare pada anak. Makalah ini memaparkan bagaimana tatalaksana
diare pada anak serta penggunaan antibiotik yang rasional pada diare. Dengan demikian, dapat
diketahui efektivitas serta terapi yang diberikan oleh Puskesmas Kembangbahu dalam
menangani kasus diare pada anak, terutama rasionalitas penggunaan antibiotik.

1.2 Rumusan Masalah


Kurangnya pengetahuan tenaga kesehatan terhadap penggunaan antibiotik yang rasional
pada kasus diare anak di Poli KIA Puskesmas Kembangbahu.

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Menilai pola tatalaksana diare akut anak di poli KIA Puskesmas Kembangbahu

1.3.2 Tujuan Khusus


1. Memberikan penyegaran kepada tenaga kesehatan mengenai tatalaksana diare
terutama lima pilar terapi diare pada anak.
2. Meningkatkan pengetahuan tenaga kesehatan mengenai penggunaan antibiotik yang
rasional pada diare anak
3. Mengurangi dan mencegah kejadian resistensi antibiotik pada anak

1.4 Manfaat
1. Bagi Masyarakat
Memberikan informasi kepada masyarakat bahwa antibiotik bukanlah obat yang bisa
digunakan secara bebas. Penggunaan yang tidak sesuai indikasi dapat memicu timbulnya
resistensi

2. Bagi Puskesmas
Meningkatkan pengetahuan tenaga kesehatan mengenai tatalaksana diare anak.
Diharapkan ke depannya petugas kesehatan lebih berhati-hati dalam memberikan
antibiotik kepada anak

2
3. Bagi Dokter Internship
 Memperluas wawasan mengenai rasionalitas penggunaan antibiotik pada kasus
diare anak. Menambah pengetahuan mengenai indikasi serta alur pemberian
antibiotik jika memang dibutuhkan pada kasus diare anak.
 Memenuhi tugas sebagai syarat menyelesaikan program internsip
 Laporan dapat digunakan sebagai informasi untuk penelitian selanjutnya

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diare
Berdasarkan Pedoman Ikatan Dokter Anak Indonesia, diare akut adalah buang air besar
lebih dari 3 kali dalam 24 jam dengan konsistensi cair dan berlangsung kurang dari 1 minggu.
Sedangkan diare kronik adalah diare yang berlangsung lebih dari 14 hari. 6 Definisi lain
menyebutkan bahwa diare adalah buang air besar dengan konsistensi cair atau setengah cair,
3
kandungan air tinja lebih banyak daripada biasanya dengan jumlah lebih dari 200 gram atau 200
mL/24 jam.7
Diare dapat disebabkan oleh infeksi maupun noninfeksi. Penyebab diare yang terbanyak
disebabkan oleh infeksi virus, bakteri maupun parasit. Rotavirus merupakan penyebab terbesar
diare akut pada anak.1 Bakteri yang paling sering menyebabkan diare adalah Shigella,
Salmonella, Escherichia coli, Vibrio, Bacillus cereus, Clostridium perfringens, Campylobacter
jejuni. Sedangkan virus yang paling banyak menyebabkan diare yaitu Rotavirus, Adenovirus,
serta Coronavirus. Mikroorganisme terakhir yang juga banyak menyebabkan diare yaitu
golongan parasit seperti Entamoeba hystolitica, Giardia lamblia, Balantidium coli, Trichuris
trichiura, Strongyloides stercoralis. Selain karena invasi mikroorganisme, diare juga disebabkan
oleh malnutrisi, malabsorpsi, endokrinopati, keracunan makanan, alergi, imunodefisiensi sIgA
(secretory immunoglobulin A), neoplasma, serta ada pula diare yang disebabbkan penggunaan
antibiotik dan antasida yang menggandung magnesium.8 Berikut macam-macam bentuk klinis
diare,3

2.2 Dehidrasi pada Diare


Bahaya yang mengancam pada diare adalah dehidrasi. Selama periode diare, air dan
elektrolit (natrium, kalium, klorida, bicarbonat) hilang melalui tinja cair, muntah, demam,
keringat, urin, dan pernapasan yang makin cepat. Kematian dapat terjadi pada dehidrasi berat
jika cairan tubuh serta elektrolit yang hilang tidak segera diganti. 1 Oleh karena itu, penilaian
derajat dehidrasi cukup penting dalam penatalaksanaan kasus diare. Penilaian derajat dehidrasi
dilakukan sesuai kriteria berikut.3,6

4
 Tanpa dehidrasi (kehilangan cairan <5% berat badan)
1. Keadaan umum baik, pasien sadar
2. Ubun-ubun besar tidak cekung, mata tidak cekung, air mata ada, mukosa mulut dan
bibir basah
3. Turgor perut baik, bising usus normal
4. Akral hangat
 Dehidrasi ringan sedang (kehilangan cairan 5-10% berat badan)
1. Keadaan umum gelisah atau cengeng
2. Ubun-ubun besar sedikit cekung, mata sedikit cekung, air mata kurang, mukosa
mulut dan bibir sedikit kering
3. Turgor kulit kurang, cubitan kulit perut kembali agak melambat
4. Akral hangat
 Dehidrasi berat (kehilangan cairan >10% berat badan)
1. Keadaan umum lemah, letargi, atau koma
2. Ubun-ubun sangat cekung, mata sangat cekung, air mata tidak ada, mukosa mulut
dan bibir sangat kering
3. Turgor kulit sangat kurang, cubitan kulit perut kembali sangat lambat (> 2 detik)
4. Akral dingin
5. Tidak bisa minum atau malas minum

2.3 Terapi Diare Akut


Lima pilar penatalaksanaan diare akut pada anak yaitu (1) terapi rehidrasi, (2) pemberian
zink, (3) pemberian nutrisi adekuat, (4) antibiotik yang tepat, serta (5) edukasi. Dehidrasi dapat
terjadi jika hilangnya cairan dan elektrolit tidak segera diganti secara adekuat. Regimen rehidrasi
dipilih sesuai dengan derajat dehidrasi.3
Zink merupakan mikronutrien penting untuk kesehatan dan perkembangan anak. Zink
hilang dalam jumlah banyak selama diare. Penggantian zink yang hilang ini penting untuk
membantu kesembuhan anak dan menjaga anak tetap sehat di bulan-bulan berikutnya. 3 Zink
berperan menjaga integritas mukosa usus melalui fungsinya dalam regenerasi sel dan stabilitas
membran sel.9 Telah dibuktikan bahwa pemberian zink selama episode diare dapat mengurangi
durasi dan tingkat keparahan serta menurukan kejadian diare pada 2-3 bulan berikutnya.
Berdasarkan bukti ini, semua anak dengan diare harus diberi zink segera setelah anak tidak
muntah.3
Selama diare, penurunan asupan makanan dan penurunan penyerapan nutrisi secara
bersama-sama menyebabkan penurunan berat badan dan jika dibiarkan akan berlanjut ke gagal

5
tumbuh. Selain itu, gangguan gizi pada anak dapat menyebabkan diare menjadi lebih parah, lebih
lama, dan lebih sering terjadi dibandingkan kejadian diare pada anak tanpa gangguan gizi.
Lingkaran setan ini dapat diputus dengan memberikan makanan kaya nutrisi. 3 Bayi yang
diberikan ASI lebih terlindungi dari infeksi, terutama diare, karena banyaknya komponen penting
dalam ASI. Pemberian ASI akan menurunkan insiden diare karena adanya intestinal cell growth
promoting factor, sehingga vili usus cepat mengalami penyembuhan setelah rusak karena diare.9
Obat antibiotik tidak boleh digunakan secara rutin. Antibiotik hanya bermanfaat pada
anak dengan diare berdarah (kemungkinan shigellois), suspek kolera, dan diare yang disertai
infeksi berat lain seperti pneumonia. Obat anti protozoa jarang digunaka. Lebih jauh lagi, obat
antidiare tidak boleh digunakan pada anak kecil dengan diare akut atau diare persisten atau
disentri. Obat antidiare tidak mencegah dehidrasi maupun meningkatkan status gizi anak, justru
dapat menimbulkan efek samping berbahaya dan kadang malah berakibat fatal.3

2.4 Rehidrasi pada Diare Anak


Anak dengan dehidrasi berat memerlukan rehidrasi intravena secara cepat dengan pengawasan yang ketat, dilanjutkan dengan rehidrasi oral segera setelah

kondisi anak membaik. Larutan intravena terbaik adalah larutan Ringer Laktat (RL). Jika RL tidak tersedia, bisa digantikan Ringer Asetat atau larutan garam fisiologis

(NaCl 0.9%). Larutan glukosa 5% (dextrosa) tidak efektif dan jangan digunakan. Berikan 100 mL/kg larutan yang terbagi sesuai tabel berikut,3

Pertama, berikan 30 mL/kg dalam Selanjutnya, berikan 70 mL/kg dalam


Umur < 12 bulan 1 jam 5 jam
Umur > 12 bulan 30 menit 2.5 jam

Selanjutnya, periksa kembali anak setiap 15-30 menit. Jika status hidrasi belum membaik,
beri tetesan intravena lebih cepat. Berikan oralit dengan dosis 5 mL/kg/jam segera setelah anak
mau minum, biasanya sesudah 3-4 jam pada bayi atau 1-2 jam pada anak. Berikan tablet Zink
sesuai dosis dan jadwal yang sudah ditetapkan.3
Pada umumnya, anak dengan dehidrasi ringan sedang bisa diberikan larutan oralit dalam waktu 3 jam pertama di klinik saat anak berada dalam

pemantauan. Berikan oralit dengan perikiraan jumlah sesuai dengan berat badan anak. Tunjukkan pada ibu cara memberi larutan oralit pada anak, yaitu 1 sendok teh

setiap 1-2 menit jika anak berusia kurang dari 2 tahun, dan pada anak yang lebih besar, berikan minuman oralit lebih sering dengan menggunakan cangkir. Berikut

perkiraan jumlah oralit yang dibutuhkan oleh anak selama periode 3 jam pemantauan.3

Umur 0-4 bulan 4-12 bulan 12-24 bulan 2-5 tahun


BB < 6 kg 6-10 kg 10-12 kg 12-19 kg
Jumlah cairan 200-400 cc 400-700 cc 700-900 cc 900-1400cc

6
Selama pemberian oralit, nasihati ibu untuk terus menyusui anak kapanpun anaknya mau.
Jika memang tidak memungkinkan observasi dan evaluasi selama 3 jam di klinik, ajari ibu cara
menyiapkan larutan oralit dan berikan beberapa bungkus oralit supaya anak bisa direhidrasi
selama di rumah. Berikan tablet Zink sesuai dosis dan jadwal yang sudah ditetapkan.3
Meskipun belum terjadi dehidrasi berat, namun jika anak sama sekali tidak bisa minum oralit (karena muntah profus), dapat diberikan cairan intravena

secepatnya. Berikan sejumlah 70 mL/kgBB cairan RL atau RA atau NaCL 0.9% dengan pembagian sebagai berikut,3

Umur Pemberian 70 mL/kg selama


Bayi (<12 bulan) 5 jam
Anak (12 bulan-5 tahun) 2.5 jam

Terakhir, anak yang menderita diare tanpa dehidrasi tetap harus mendapatkan cairan
tambahan di rumah guna mencegah terjadinya dehidrasi. Anak tetap harus mendapatkan diet
yang sesuai dengan umur mereka, termasuk meneruskan pemberian ASI. Jika anak masih
mendapat ASI, nasihati ibu untuk menyusui anaknya lebih sering dan lebih lama pada setiap
pemberian ASI. Namun jika anak tidak mendapat ASI eksklusif, anak bisa diberikan tambahan
larutan oralit, cairan rumah tangga (sup, air tajin, kuah sayura), maupun air matang biasa.3
Sebagai tambahan, ibu dapat memberikan cairan tambahan tiap kali anak BAB cair. Pada
anak usia < 2 tahun, beri cairan tambahan 50-100 mL tiap kali anak BAB cair. Sedangkan anak
usia 2 tahun ke atas, beri cairan tambahan 100-200 mL tiap kali anak BAB cair.3
Edukasi lain yang harus disampaikan kepada ibu yaitu pemberian tablet zink. Anak di
bawah usia 6 bulan sebaiknya mendapat ½ tablet (10 mg) per hari. Anak usia 6 bulan ke atas
mendapatkan 1 tablet (20 mg) per hari. Zink dihabiskan hingga 10 hari. Selain itu sampaikan
pula cara menyiapkan larutan oralit, yaitu 1 bungkus oralit dicampurkan ke dalam 200 mL air
matang.3

2.5 Penggunaan Antibiotik pada Diare

Dalam suatu penelitian pada 80 anak berusia 3 hingga 11 tahun yang dirawat di rumah
sakit, didapatkan hasil bahwa penggunaan suspensi kaolin-pektin ternyata tidak bermanfaat
dalam mengurangi frekuensi diare maupun mempercepat konsistensi tinja menjadi lebih padat.
Penggunaan antidiare yang telah terbukti bermanfaat yaitu probiotik (lactobacillus) ataupun
preparat inhibitor enkefalinase yang berfungsi sebagai antisekretori. Pengobatan menggunakan

7
antibiotik pada umumnya tidak diperlukan pada kasus diare akut, karena sebagian besar
penyebab diare akut adalah Rotavirus yang sifatnya self limited. Penggunaan antibiotik pada
diare akut akan mengganggu ketahanan mikroflora usus sehingga akan menimbulkan gejala diare
(antibiotic associated diarrhea) yang dapat berlanjut bahkan menjadi kronik. Oleh karena itu,
pemberian antibiotik pada diare terkadang justru memperberat diare yang terjadi. Berat
ringannya bervariasi, mulai dari yang dapat sembuh sendiri dalam waktu singkat, hingga
manifestasi klinis yang berat disertai gangguan elektrolit, dehidrasi, nyeri perut,
pseudomembranous colitis, toxic megacolon, bahkan kematian.4 Di samping itu, antibiotik oral
juga memiliki efikasi yang rendah karena pada kondisi diare, motilitas usus meningkat dan
absorpsi usus terganggu (absorpsi obat ikut terganggu).5
Dalam sebuah penelitian uji kepekaan antibiotik di suatu Rumah Sakit di Manado pada
tahun 2011, didapatkan hasil yaitu beberapa jenis antibiotik telah resisten dalam mengatasi
bakteri pada diare. Antibiotik yang telah resisten yaitu trimethoprim sulphametoxazole (100%),
cefazolin (100%), chlorampenicol (96.7%), doxicycline (83.3%), ampicilin (100%), dan
ceftriaxone (60%). Sedangkan antibiotik yang masih menujukkan kepekaan diperlihatkan oleh
golongan meropenem dan amikacin.10
Tingginya angka resistensi dari beberapa jenis antibiotik ini mungkin disebabkan oleh
karena penggunaan antibiotik tersebut sangat bebas dan irasional. Resistensi mikroba merupakan
suatu kondisi di mana tidak terganggunya kehidupan mikroba oleh pemberian antimikroba
(antibiotik). Sifat ini merupakan mekanisme adaptasi alami bagi mikroba untuk tetap bertahan
hidup, yakni dengan memodifikasi komponen genetik sehingga mikroba yang sebelumnya peka
terhadap antimikroba dapat berubah sifat menjadi tidak atau kurang peka.10 Dengan demikian
dampak merugikan penggunaan antibiotik adalah munculnya resistensi antibiotik, terutama jika
antibiotik tersebut terlanjur diberikan pada kasus-kasus diare ringan, diare tanpa komplikasi, dan
diare yang dapat sembuh sendiri tanpa pemberian antibiotik. Oleh karena itu peran dokter dan
tenaga kesehatan penting dalam meresepkan obat-obatan bagi pasien diare rawat jalan, yakni
dalam mempertimbangkan apakah pasien diare yang dihadapi benar benar membutuhkan
antibiotik.5
Ampicilin dan Kotrimoxazole merupakan antibiotik terpilih yang biasa diberikan pada
pasien diare akut rawat jalan karena tingkat keamanannya, efikasinya, serta terjangkau. Namun
seiring berjalannya waktu, kemunculan wabah diare infeksi yang disebabkan oleh Shigella atau
8
Salmonella dilaporkan resisten terhadap kedua jenis antibiotik tersebut yang biasa diberikan
untuk kasus diare akut tanpa komplikasi.5
Penggunaan rutin antibiotik untuk diare memang sebaiknya dihindari karena tidak
memberikan perbedaan bermakna serta dapat meningkatkan resiko resistensi terhadap antibiotik.
Namun demikian, beberapa kasus yang diindikasikan tetap membutuhkan terapi antibiotik.
Pemilihan antibiotik pun harus dilakukan secara empirik. Dokter maupun tenaga medis yang
meresepkan antibiotik sebaiknya tidak hanya curiga terhadap jenis bakteri penyebab infeksi pada
diare, namun juga memiliki dugaan terhadap pola kepekaan antibiotik serta profil keamanan
antibiotik. Hasil laboraturium dapat dijadikan acuan untuk membantu memutuskan apakah diare
disebabkan oleh enteropatogen infasive (butuh antibiotik), parasit (butuh obat antiparasit), atau
virus (tidak membutuhkan antibiotik).5
Diare akut
Penggunaan antibiotik diperlukan pada kasus-kasus seperti kolera, shigellosis, dan diare
pada demam tifoid. Pada kasus tersebut, antibiotik dapat mempercepat resolusi diare, mencegah
Riwayat
progresi penyakit, dan mengurangi keparahan penyakit
gejala dandemam, nyeri
seperti Kemungkinan
perut, dan muntah. Di
pemeriksaan fisik noninfeksius
samping itu, penggunaan antibiotik bermanfaat dalam memutus rantai penularan patogen pada
diare yang sudah dipastikan disebabkan oleh bakteri.5
Kemungkinan Evaluasi dan terapi lima pilar
2.6 Pendekatan Diare dengan Kecurigaan Infeksi Bakteri tatalaksana diare akut
infeksi
Diagnosis pasien diare infeksi memerlukan pemeriksaan yang sistematik dan cermat.
Diare karena infeksi bisa disertai muntah, demam, tenesmus, hematochezia (BAB warna merah
Pemberian cairan dan elektrolit sesuai kebutuhan
darah segar), nyeri perut atau kejang perut. Evaluasi laboraturium pada pasien tersangka diare
infeksi dimulai dari pemeriksaan tinja. Pada normalnya, tidak ditemukan leukosit pada tinja.
Adanya leukosit pada tinja Demam
menunjukkan >38.50inflamasi
adanya C, diare berdarah,
kolon baik infeksi maupun non
Observasi dan
tinja leukosit, immunocompromised
Evaluasi
infeksi. Selanjutnya, biakan tinja dilakukan untuk mengetahui jenis patogen lebih lanjut.7

Studi mikrobiologi
Perbaikan Persisten
tinja

Ditemukannya
patogen

Tidak Ya

Terapi simptomatik Terapi antibiotik atau


dan evaluasi lebih antimikroba yang
lanjut spesifik sesuai
Beberapa patogen penyebab diare infeksi beserta gejala spesifiknya, dipaparkan dalam tabel di
bawah ini. Namun demikian, studi mikrobiologi tinja tetap diperlukan sebagai pemeriksaan
lanjutan untuk memastikan dugaan jenis bakteri penyebab diare infeksi.

Bakteri Gejala Antibiotik pilihan


Bacillus cereus Enterotoksin dari B. cereus menyebabkan gejala Antibiotik tidak begitu
muntah, nyeri abdomen dan diare dengan gejala diperlukan karena sifatnya self
muntah lebih dominan. limited disease. Jika diare
makin parah dapat diberikan
vancomycin dan clindamycin.11
Clostridium Patogen penyebab colitis pseudomembranous serta Penghentian antibiotik yang

10
difficile antibiotic associated diarrhea. Umumnya diare memicu infeksi, jika gejala
timbul sekitar 5-10 hari setelah pemberian yang timbul masih berat dapat
antibiotika secara oral maupun IV atau IM. Gejala digunakan metronidazole atau
berupa diare ringan hingga diare berat, kadang vancomicyn.11,12
disertai darah dan lendir. Gejala penyerta yakni
demam dan kram perut
Vibrio cholerae Toksin kolera dapat meningkatkan sekresi cairan Tetrasiklin, Doxycycline,
pada usus halus dan menghambat absropsi cairan Cotrimoxazole7,11
yang berujung pada dehidrasi berat bahkan
kematian. Gejala awal berupa distensi abdomen dan
muntah yang secara cepat berubah menjadi diare
berat dengan konsistensi tinja cair seperti air cucian
beras. Pasien kehilangan elektrolit dan volume
cairan dalam jumlah banyak. Kadang juga disertai
demam ringan.
Eschericia coli Ada beberapa jenis subtipe. Gejala berupa diare cair, Cotrimoxazole, Ceftriaxone7,11
mual, dan kram abdomen. Kadang disertai demam.
Feses berlendir tetapi sangat jarang ditemukan
eritrosit maupun leukosit dari feses. Leukositosis
jarang terjadi
Shigella Shigella menyebabkan disentri basiler dan Metronidazol13, Cotrimoxazole,
menghasilkan respons inflamasi pada kolon melalui Ceftriaxone.11,14
enterotoksin dan invasi bakteri. Gejala timbul
berupa nyeri abdomen, BAB berdarah, demam, dan
feses berlendir. Manifestasi ekstraintestinal
Shigellosis berupa gejala pernapasan, gejala
neurologis, dan hemolytic uremic syndrome.
Salmonella Merupakan mikroba penyebab demam tifoid, dengan Ampicilin, Cotrimoxazole,
typhi & karakteristik demam disertai nyeri abdomen. Ceftriaxone11
Salmonella Demam tifoid adalah penyakit sistemik dengan
paratyphi gejala primer berhubungan dengan traktus
gastrointestinal. Bentuk klasik demam tiphoid yaitu

11
4 minggu. Minggu pertama terjadi demam tinggi,
sakit kepala, nyeri abdomen. Minggu kedua
ditemukan splenomegali dan rash. Minggu ketiga
terdapat keterlibatan usus, biasanya pada minggu ini
terjadi diare dan ada kemungkinan terjadi perforasi
bahkan bisa terjadi penurunan kesadaran. Minggu
keempat mulai ada perbaikan klinis.
Campylobacter Manifestasi bervariasi, dari asimptomatis hingga Erythromycin11
jejuni disentri. Diare dan demam timbul pada 90% pasien,
nyeri abdomen dan BAB berdarah timbul pada 50-
70% pasien. Gejala penyerta lain berupa demam,
mual, muntah, malaise.
Enterohemo- Infeksi EHEC biasanya dimulai dengan gejala diare Cotrimoxazole, Ceftriaxone7,11
rrhagic E Coli sedang hingga berat. Awalnya tidak berdarah, namun
bisa berkembang menjadi diare berdarah. Nyeri
abdomen dan kejang bisa terjadi disertai mual,
muntah, dan distensi abdomen.

BAB III
METODE KEGIATAN

3.1 Sasaran Kegiatan


Seluruh tenaga kesehatan yang bertugas di Puskesmas Kembangbahu.

3.2 Lokasi dan Waktu Kegiatan


Pelaksanaan kegiatan ini yaitu di Puskesmas rawat jalan Kembangbahu, yang merupakan
fasilitas kesehatan primer terbesar di kecamatan Kembangbahu, kabupaten Lamongan. Waktu
pengambilan data yaitu tanggal 7-8 Oktober 2016.
12
3.3 Bentuk Kegiatan
Kegiatan ini diawali dengan mengambil data rekam medis dalam kurun waktu 3 bulan
yaitu bulan Juli hingga bulan September 2016. Data rekam medis berasal dari data registrasi
pasien anak dengan usia 0 hingga 5 tahun di poli rawat jalan KIA. Dilakukan pengambilan data
dengan metode total sampling, data seluruh anak dengan keluhan diare yang berobat di poli
rawat jalan KIA diikutsertakan dalam kegiatan ini.
Data yang dikumpulkan meliputi identitas pasien, gejala spesifik diare pada pasien, dan
informasi tatalaksana diare pada pasien, terutama pemberian cairan rehidrasi oral (CRO),
pemberian zink dan penggunaan antibiotik. Selanjutnya, data deskriptif mengenai karakteristik
pasien diare anak beserta pola tatalaksananya ditampilkan dalam presentasi mini project
Puskesmas Kembangbahu. Di samping presentasi, pada kegiatan mini project tersebut, akan
disebarkan selebaran berisikan informasi mengenai tatalaksana diare pada anak beserta
penggunaan antibiotik yang rasional pada diare anak.

3.4 Langkah Kegiatan


Berikut langkah kerja yang diambil dalam menyusun laporan kegiatan mini project
1. Identifikasi masalah
2. Penentuan judul mini project
3. Pengambilan data
4. Penyusunan data deskriptif mini project
5. Presentasi mengenai karakteristik pasien diare anak beserta pola tatalaksananya
6. Distribusi selebaran berisikan informasi mengenai tatalaksana pasien diare anak yang
benar dan penggunaan antibiotik yang rasional kepada seluruh tenaga kesehatan
Puskesmas Kembangbahu yang hadir dalam mini project
7. Evaluasi hasil kegiatan

13
BAB IV
HASIL

4.1 Karakteristik Pasien


Total pasien diare yang datang berobat ke poli rawat jalan KIA Puskesmas Kembangbahu
selama bulan Juli hingga September 2016 yakni sebanyak 16 kasus, terdiri dari 7 (43.75%) anak
laki-laki dan 9 (56.25%) anak perempuan, dengan rentang usia 1 bulan – 5 tahun.

14
Gambar 1 Sebaran jumlah pasien berdasarkan jenis kelamin

Usia kelompok 1-6 bulan ada 1 anak (6.25%), kelompok >6-12 bulan ada 3 anak (18.75%),
kelompok >12-24 bulan ada 4 anak (25%), dan terakhir kelompok 2-5 tahun ada 8 anak (50%).

Gambar 2 Sebaran jumlah pasien berdasarkan kelompok usia

Selama periode Juli-September, kasus terbanyak didapat pada bulan Agustus. Terdapat 4 kasus
(25%) selama bulan Juli, 10 kasus (62.5%) selama bulan Agustus, dan 2 kasus (12.5%) selama
bulan September.

15
Gambar 3 Sebaran jumlah pasien berdasarkan bulan

4.2 Penggunaan Zink dan Antibiotik pada Pasien


Dari keseluruhan pasien diare anak yang datang berobat, tidak ada yang datang dengan
keluhan diare lebih dari 7 hari. Oleh karena itu, semua pasien anak yang datang selama periode 3
bulan tersebut dikategorikan sebagai diare akut. Selain itu, tidak ada juga pasien yang datang
dengan keluhan BAB cair disertai darah atau lendir. Gejala penyerta yang umum ada antara lain
kembung, muntah, panas, dan tidak mau makan. Namun, dalam minipro ini, penulis tidak bisa
mengkatogerikan derajat dehidrasi pada pasien. Hal ini dikarenakan, data diambil melalui rekam
medis sehingga penulis tidak melihat kondisi pasien secara langsung dan melakukan
pemeriksaan fisik sebagai tolak ukur penilaian derajat dehidrasi.
Seluruh pasien yang datang diberikan edukasi untuk melanjutkan makan seperti biasa,
termasuk minum ASI. Ibu dianjurkan untuk menambah jumlah asupan ASI maupun jumlah
cairan untuk diberikan kepada anak selama di rumah. Selain itu, poli KIA juga rutin
menyampaikan informasi kepada ibu seputar pembuatan larutan oralit di rumah. Namun
demikian tidak semua pasien mendapatkan tablet zink. Terdapat 6 anak (37.5%) yang mendapat
terapi zink dan 10 (62.5%) anak tidak mendapat terapi zink. Hanya 4 anak (25%) yang mendapat
terapi antibiotik, semuanya berupa kotrimoksazol.

16
Gambar 4 Sebaran pasien yang mendapat zink Gambar 5 Sebaran pasien yang mendapat antibiotik

Secara keseluruhan, pasien diare yang datang ke poli KIA merupakan kasus diare akut
dan tidak membutuhkan antibiotik karena tidak ada indikasi. Dari 4 kasus diare yang diberikan
antibiotik, dua di antaranya merupakan pasien yang kontrol setelah rawat inap di IGD Puskesmas
Kembangbahu. Sedangkan 2 pasien lainnya merupakan pasien rawat jalan biasa dengan gejala
BAB cair kurang dari 7 hari tanpa lendir maupun darah, disertai muntah dan panas.

BAB V
PEMBAHASAN

17
Kegiatan mini project ini dilakukan untuk mengevaluasi tata laksana diare akut di tingkat
fasilitias layanan kesehatan primer. Pemilihan rentang usia 1 bulan-5 tahun sebagai kelompok
yang dievaluasi karena rentang usia tersebut merupakan rentang usia terbanyak terjadinya diare.
Berdasarkan Riskesdas 2007 prevalensi tertinggi diare terdapat pada anak kelompok rentang usia
1-4 tahun yaitu 16.7%, disusul anak kelompok rentang usia 1-12 bulan yaitu 16.5%. Hal tersebut
sesuai dengan data mini project ini, di mana insiden tertinggi didapat pada rentang usia 2-5
tahun.
Pada dua tahun pertama kehidupan, sistem pertahanan saluran cerna bayi belum matang,
barier mukosa belum berkembang, sekresi asam lambung belum sempurna saat lahir, bahkan
dibutuhkan waktu hingga beberapa bulan untuk mendapatkan nilai pH bakterisidal (pH < 4).
Selain itu, kurangnya kekebalan aktif pada bayi, pengenalan makanan baru yang kemungkinan
tercemar oleh virus atau bakteri juga merupakan faktor-faktor yang menjelaskan mengapa
prevalensi diare tinggi pada kelompok usia balita.
Cairan rehidrasi oral menjadi pilihan utama untuk menggantikan cairan dan elektrolit
yang hilang akibat diare pada anak. Idealnya anak diberikan cairan oralit formula baru yang
osmolaritasnya mendekati osmolaritas plasma sehingga diharapkan mengurangi kejadian
hipernatremia yang biasa terjadi pada pemberian oralit formula lama. Pemberian cairan rehidrasi
oral terbukti mengurangi kebutuhan penggunaan cairan intravena untuk rehidrasi. Pada
pengamatan mini project kali ini, tidak semua anak diare rutin diberikan cairan oralit. Namun
tenaga kesehatan di poli KIA rutin mengedukasi ibu pasien untuk tetap meningkatkan asupan
cairan anak selama di rumah.
Bayi yang diberi ASI lebih terlindungi dari infeksi termasuk diare. Pemberian ASI bisa
menurunkan insiden diare karena adanya intestinal cell growth promoting factor, sehingga vili
usus cepat mengalami penyembuhan setelah rusak karena diare. ASI juga merupakan faktor yang
memproteksi bayi dari infeksi Rotavirus. Oleh karena itu WHO maupun AAP sangat
merekomendasikan untuk tetap melanjutkan pemberian ASI sebagai upaya rehidrasi. Melalui
pengamatan penulis di poli KIA Puskesmas Kembangbahu, para tenaga kesehatan di poli KIA
sudah melaksanakan tugasnya dengan baik yaitu rutin mengedukasi ibu pasien diare untuk tetap
melanjutkan pemberian ASI kepada bayinya.

18
Zink berperan menjaga integritas mukosa usus melalui fungsinya dalam regenerasi sel
dan stabilitas membran sel.7 Telah dibuktikan bahwa pemberian zink selama episode diare dapat
mengurangi durasi dan tingkat keparahan serta menurukan kejadian diare pada 2-3 bulan
berikutnya. Berdasarkan bukti ini, semua anak dengan diare harus diberi zink segera setelah anak
tidak muntah. Pada pengamatan mini project kali ini, hanya sebanyak 37% pasien yang
mendapatkan terapi suplemen zink. Hal ini menunjukkan bahwa manfaat pemberian suplemen
zink belum dipahami dan dipraktekan secara luas. Dengan demikian, informasi mengenai
pemberian zink pada kasus diare anak perlu disampaikan kepada tenaga kesehatan supaya ke
depannya tenaga kesehatan tidak lupa untuk tetap menambahkan suplemen zink di samping
cairan rehidrasi oral.
Pemberian antibiotik kotrimoksazol masih dijumpai pada pengamatan kali ini. Terdapat 4
anak (25%) yang diresepkan kotrimoksazol. Pembeian antibiotik pada diare akut sebaiknya
dihindari, karena sebagian besar kasus diare akut disebabkan oleh rotavirus dan sifatnya self
limited. Begitu pula pada pengamatan ini, semua anak yang datang untuk berobat rawat jalan
dikategorikan sebagai diare akut dan tidak ada indikasi untuk diberikan antibotik. Sebaliknya,
untuk kasus diare akut, antibiotik dapat mengganggu ketahanan mikroflora usus sehingga
memperburuk diare (antibiotic associated diarrhea) dan lebih jauh lagi dapat meningkatkan
resiko resistensi.

DAFTAR PUSTAKA

19
1. Centers for Disease Control and Prevention. Diarrhea: Common Illness, Global Killer
[article from internet]. 2015 [cited October 2016]. Available from:
http://www.cdc.gov/healthywater/global/diarrhea-burden.html
2. Kementrian Kesehatan RI. Situasi Diare di Indonesia. Buletin Jendela Data dan Informasi
Kesehatan. Jakarta: Kemenkes RI, 2011
3. World Health Organization. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit.
Jakarta: Kemenkes RI, 2009
4. Dwipoerwantoro PG, Hegar B, Witjaksono PAW. Pola Tatalaksana Diare Akut di
Beberapa Rumah Sakit Swasta di Jakarta: apakah sesuai dengan protokol WHO? Sari
Pediatri 2005; 6(4): 182-187
5. Santos DRD, Silva LR, Silva N. Antibiotics for the Empirical Treatment of Acute
Infectious Diarrhea in Children. BIJD 2006; 10: 217-227
6. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pedoman Pelayanan Medis IDAI Jilid I. Jakarta: IDAI,
2009
7. Zein U, Sagala KH, Ginting J. Diare Akut Disebabkan Bakteri. Medan: Repository USU,
2004
8. Prescilla RP. Pediatric Gastroenteritis [article from internet]. 2016 [cited October 2016].
Available from: http://emedicine.medscape.com/article/964131
9. Halim, I. Pola Tatalaksana Diare Akut pada Anak Usia 1-24 Bulan di Poliklinik
Puskesmas Tanjung Pinang. Cermin Dunia Kedokteran, 2015; 2(4): 247-250
10. Buntuan V, Warouw SM. Pola Kuman Aerob Penyebab Diare pada Anak Balita dan Uji
Kepekaan Antibiotik di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUP Prof Dr RD Kandou Manado
Periode Maret 2011-September 2011. Jurnal Biomedik, 2012 4(3): 171-175
11. Bonheur JL. Bacterial Gastroenteritis [article from internet]. 2015 [cited October 2016].
Available from: http://emedicine.medscape.com/article/176400
12. Gerding DN, Muto CA, Owens RC, Jr. Treatment of Clostridium difficile infection. Clin
Infect Dis, 2008; 46: 32-42
13. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pedoman Pelayanan Medis IDAI Jilid II. Jakarta: IDAI,
2011
14. World Gastroenterology Organization Global Guidelines. Acute diarrhea in adults and
children: a global perspective. US, 2012

20

Anda mungkin juga menyukai