Anda di halaman 1dari 26

BAB I

SKENARIO 3
Diare adalah buang air besar yang tidak normal atau bentuk tinja yang
encer dengan frekuensi lebih banyak dari biasanya. Neonatus dinyatakan diare
bila frekuensi buang air besar sudah lebih dari 4 kali, sedangkan untuk bayi
berumur lebih dari 1 bulan dan anak, bila frekuensinya lebih dari 3 kali
(Hassan, 2005).
Diare masih merupakan masalah kesehatan pada anak terutama balita
di negara berkembang. Diare bersama dengan pneumonia merupakan penyakit
terbanyak yang menyebabkan kematian pada bayi dan balita. Sekitar 80%
kematian karena diare terjadi pada anak dibawah 2 tahun. Di Indonesia
terdapat kecenderungan yang meningkat , tahun 2003 diperkirakan 1,87 juta
anak kurang dari 5 tahun meninggal karena diare. Oleh karena itu,
permasalahan tentang diare ini perlu dibahas sampai tuntas.
Berikut ini adalah permasalahan pada skenario 2 :
Annakku berak cair dan lemas
Pasien laki-laki, usia 1,5 tahun dibawa ibunya ke IGD RS dengan
keluhan mencret sejak kemarin kurang lebih 4 kali/hari, tinja cair
kekuningan, disertai muntah (+) lebih dari 5 kali/hari sebanyak gelas aqua
berisi makanan dan minuman. Pasien tampak lemas, rewel. Pemeriksaan fisik
: mata cowong, air mata berkurang, mukosa mulut kering, turgor kembali
lambat, nadi: 110 kali/menit, pernafasan: 36 kali/menit, suhu: 37.2C
peraksila. Dokter kemudian member infuse dan memberikan pengawasan
agar kondisi pasien tidak memburuk.

BAB II
PEMBAHASAN
JUMP 1
1. Mata cowong : Mata cowong atau mata cekung adalah keadaan mata yang
masuk ke dalam, biasanya menandakan pasien mengalami dehidrasi (sedang
hingga berat).
2. Turgor
: Elastisitas kulit. Turgor dinilai dari waktu pengembalian kulit
ke bentuk semula setelah kulit ditekan.
3. Mencret
: Mencret atau diare merupakan peningkatan frekuensi defekasi
dengan konsistensi yang lebih cair atau lunak. Dikatakan diare jika frekuensi
defekasi lebih dari tiga kali dalam 24 jam.
4. Infus
: Pemberian sejumlah cairan ke dalam tubuh melalui jalur
intravena dengan laju konstan dan dalam periode tertentu
5. Muntah
: Muntah atau emesis adalah proses pengeluaran isi lambung
melalui mulut.

JUMP 2
1. Bagaimanakah hubungan antara usia dan jenis kelamin dengan kasus pada
skenario?
2. Bagaimana hasil interpretasi hasil pemerisaan fisik dan vital sign?
3. Bagaimana fisiologi defekasi dan patofisiologi terjadinya diare?
4. Mengapa keluhan pasien disertai dengan muntah? Bagaimanakah mekanisme
terjadinya muntah?
5. Apa penyebab pasien lemas dan rewel?
6. Apa saja indikasi pemberian infus? Apa saja macam cairan infus dan
bagaimana cara pemberiannya?
7. Apa saja jenis - jenis tinja?
8. Apa saja tingkatan dehidrasi dan bagaimana tatalaksananya?
9. Bagaimana tatalaksana kasus pada skenario?
10. Mengapa dokter melakukan pengawasan terhadap pasien?
11. Komplikasi apa yang mungkin terjadi bila pasien tidak segera diberi
tatalaksana yang tepat?

JUMP 3
1. LO
2. Interpretasi pemeriksaan fisik dan vital sign
Hasil pemeriksaan fisik didapatkan mata cowong, air mata berkurang, mukosa
mulut kering, turgor kembali lambat, nadi 110x/menit, pernafasan 36x/menit,
suhu 37,2C per aksila.

Newborn (0-1 Month)


Infant (1-12 Month)
3

Denyut

Respirator

Nadi/min
100 180
80 150

y Rate/min
30 60
30 60

Toddler (1-3 Years Old)


75 130
25 35
Pre-School Age (3-6 Years Old)
75 120
22 32
School Age (6-12 Years Old)
70 110
20 30
Adolescent (13-18 Years Old)
65 105
16 22
Adult (18+ Years Old)
50 90
12 - 20
Tabel 1. Normal Pediatric Vital Sign
Berdasarkan panduan mengenai tanda vital normal pada anak yang
terdapat dalam Pediatric Surge Pocket Guide (LA Department of Public
Health, 2009), dapat disimpulkan bahwa denyut nadi dan laju respirasi anak
berada dalam kondisi normal. Sedangkan suhu tubuh yang diukur per aksila
dikatakan demam jika berada diatas 37,5C, sehingga pada suhu tubuh anak
pada skenario masih berada dalam batas normal (Guyton, 2008).
Mata cowong, air mata berkurang, mukosa mulut kering, dan turgor
kembali lambat yang didapatkan pada pemeriksaan fisik merupakan tanda
tanda terjadinya dehidrasi pada anak tersebut. Dehidrasi adalah suatu kondisi
dimana keluaran cairan tubuh (output) melebihi masukan cairan ke dalam
tubuh (intake) sehingga terjadi kekurangan cairan pada tubuh. Meskipun yang
banyak mengalami pengeluaran adalah cairan, namun dehidrasi juga dapat
disertai dengan gangguan elektrolit. Komponen tunggal terbesar dalam tubuh
adalah air. Total Body Water (TBW) adalah presentase air dari berat tubuh
total. TBW jumlahnya bervariasi bergantung pada jenis kelamin, umur, dan
kandungan lemak dalam tubuh. Pada bayi dan anak anak, komposisi air
dalam tubuhnya lebih banyak, laju metabolik lebih tinggi, perbandingan luas
permukaan tubuh dibanding bera lebih besar dari pada dewasa sehingga
mudah terjadi penguapan panas. Kondisi ini menyebabkan anak anak dan
bayi membutuhkan air lebih banyak daripada dewasa. Pada anak anak dan
bayi yang mengalami penurunan cairan secara signifikan lebih mudah
mengalami dehidrasi lebih cepat dibandingkan dengan dewasa. Dehidrasi
pada anak-anak dan bayi sering disebabkan karena pengeluaran cairan
berlebihan yang terjadi karena diare. Dehidrasi dan gangguan elektrolit
mengganggu metabolisme pada tubuh anak anak dan bayi sehingga pada
4

anak anak dan bayi yang mengalami dehidrasi cenderung menjadi lebih
rewel dan lemas.
3. Diare adalah peningkatan pengeluaran tinja dengan konsistensi lebih lunak
atau lebih cair dari biasanya, dan terjadi paling sedikit 3 kali dalam 24 jam.
Sementara untuk bayi dan anak-anak, diare didefinisikan sebagai pengeluaran
tinja >10 g/kg/24 jam, sedangkan rata-rata pengeluaran tinja normal bayi
sebesar 5-10 g/kg/ 24 jam (Juffrie, 2010). Menurut Simadibrata (2006) diare
adalah buang air besar (defekasi) dengan tinja berbentuk cair atau setengah
cair (setengah padat), kandungan air tinja lebih banyak dari biasanya lebih
dari 200 gram atau 200 ml/24 jam.
Etiologi
Menurut World Gastroenterology Organization global guidelines
2005, etiologi diare akut dibagi atas empat penyebab:
a. Bakteri : Shigella, Salmonella, E. Coli, Gol. Vibrio, Bacillus
cereus,

Clostridium

perfringens,

Stafilokokus

aureus,

Campylobacter aeromonas
b. Virus : Rotavirus, Adenovirus, Norwalk virus, Coronavirus,
Astrovirus
c. Parasit : Protozoa, Entamoeba histolytica, Giardia lamblia,
Balantidium coli, Trichuris trichiura, Cryptosporidium parvum,
Strongyloides stercoralis
d. Non infeksi : malabsorpsi, keracunan makanan, alergi, gangguan
motilitas, imunodefisiensi, kesulitan makan, dll. (Simadibrata,
2006).
Secara umum, berikut ini beberapa penyebab diare, yaitu :
a. Infeksi oleh bakteri, virus (sebagian besar diare pada bayi dan anak
disebabkan oleh infeksi rotavirus) atau parasit
b. Alergi terhadap makanan atau obat tertentu terutama antibiotik
5

c. Infeksi oleh bakteri atau virus yang menyertai penyakit lain sperti :
Campak, infeksi telinga, infeksi tenggorokan, malaria, dll
d. Pemanis buatan
e. Pada bayi saat dikenalkan MP-ASI seringkali memiliki efek samping diare
karena perut kaget dengan makanan dan minuman yang baru dikenal
lambungnya
f. Diare juga bisa disebabkan oleh faktor kebersihan lingkungan tempat
tinggal. Lingkungan yang kumuh dan kotor menjadi tempat berkembang
bakteri (E.coli), virus dan parasite (jamur, cacing, protozoa), dan juga lalat
yang turut berperan dalam membantu penyebaran kuman penyakit diare

Cara Penularan dan Faktor Risiko


Cara penularan diare melalui cara faecal-oral yaitu melalui makanan atau
minuman yang tercemar kuman atau kontak langsung tangan penderita atau tidak
langsung melalui lalat ( melalui 5F = faeces, flies, food, fluid, finger).
Faktor risiko terjadinya diare adalah:
a. Faktor perilaku
b. Faktor lingkungan

Faktor perilaku antara lain:


-

Tidak memberikan Air Susu Ibu/ASI (ASI eksklusif), memberikan Makanan


Pendamping/MP ASI terlalu dini akan mempercepat bayi kontak terhadap
kuman

Menggunakan botol susu terbukti meningkatkan risiko terkena penyakit diare


karena sangat sulit untuk membersihkan botol susu
6

Tidak menerapkan Kebiasaaan Cuci Tangan pakai sabun sebelum member


ASI/makan, setelah Buang Air Besar (BAB), dan setelah membersihkan BAB
anak

Penyimpanan makanan yang tidak higienis

Faktor lingkungan antara lain:


-

Ketersediaan air bersih yang tidak memadai, kurangnya ketersediaan Mandi


Cuci Kakus (MCK)

Kebersihan lingkungan dan pribadi yang buruk

Disamping faktor risiko tersebut diatas ada beberapa faktor dari penderita yang
dapat meningkatkan kecenderungan untuk diare antara lain: kurang gizi/malnutrisi
terutama anak gizi buruk, penyakit imunodefisiensi/imunosupresi dan penderita
campak (Kemenkes RI, 2011).

Patofisiologi
Diare dapat disebabkan oleh satu atau lebih patofisiologi/patomekanisme dibawah
ini:
a. Diare sekretorik
Diare tipe ini disebabkan oleh meningkatnya sekresi air dan elektrolit
dari usus, menurunnya absorpsi. Yang khas pada diare ini yaitu secara klinis
ditemukan diare dengan volume tinja yang banyak sekali. Diare tipe ini akan
tetap berlangsung walaupun dilakukan puasa makan/minum (Simadibrata,
2006).
7

b. Diare osmotik
Diare tipe ini disebabkan meningkatnya tekanan osmotik intralumen dari usus
halus yang disebabkan oleh obat-obat/zat kimia yang hiperosmotik (antara
lain MgSO), Mg(OH) malabsorpsi umum dan defek dalam absorpsi mukosa
usus misal pada defisiensi disakaridase, malabsorpsi glukosa/galaktosa
(Simadibrata, 2006).
c. Malabsorpsi asam empedu dan lemak
Diare tipe ini didapatkan pada gangguan pembentukan/produksi
micelle empedu dan penyakit-penyakit saluran bilier dan hati (Simadibrata,
2006).
d. Defek sistem pertukaran anion/transport elektrolit aktif di enterosit
Diare tipe ini disebabkan adanya hambatan mekanisme transport aktif
+ +
+
Na K ATPase di enterosit dan absorpsi Na dan air yang abnormal
(Simadibrata, 2006).
e. Motilitas dan waktu transit usus yang abnormal
Diare tipe ini disebabkan hipermotilitas dan iregularitas motilitas usus
sehingga menyebabkan absorpsi yang abnormal di usus halus. Penyebabnya
antara lain: diabetes mellitus, pasca vagotomi, hipertiroid (Simadibrata, 2006).

f. Gangguan permeabilitas usus

Diare tipe ini disebabkan permeabilitas usus yang abnormal


disebabkan adanya kelainan morfologi membran epitel spesifik pada usus
halus (Simadibrata, 2006).
g. Diare inflamasi
Proses inflamasi di usus halus dan kolon menyebabkan diare pada
beberapa keadaan. Akibat kehilangan sel epitel dan kerusakan tight junction,
tekanan hidrostatik dalam pembuluh darah dan limfatik menyebabkan air,
elektrolit, mukus, protein dan seringkali sel darah merah dan sel darah putih
menumpuk dalam lumen. Biasanya diare akibat inflamasi ini berhubungan
dengan tipe diare lain seperti diare osmotik dan diare sekretorik (Juffrie,
2010).
h. Diare infeksi
Infeksi oleh bakteri merupakan penyebab tersering dari diare. Dari
sudut kelainan usus, diare oleh bakteri dibagi atas non-invasif dan invasif
(merusak mukosa).Bakteri non-invasif menyebabkan diare karena toksin yang
disekresikan oleh bakteri tersebut (Simadibrata, 2006).

Jenis diare
Istilah diare dibagi menjadi berbagai macam bentuk diantaranya :
a. Diare akut : kurang dari 2 minggu
b. Diare persisten : lebih dari 2 minggu
c. Diare disentri : diare disertai darah dengan ataupun tanpa lendir
d. Diare kholera : diare dimana tinjanya terdapat bakteri Cholera
Gejala diare

Buang air besar terus menerus disertai dengan rasa mulas yang

berkepanjangan
Tinja yang encer dengan frekuensi 4x atau lebih dalam sehari
Pegal pada punggung, dan perut sering berbunyi
Mengalami dehidrasi (kekurangan cairan tubuh)
Diare yang disebabkan oleh virus dapat menimbulkan mual dan muntah-

muntah
Badan lesu atau lemah
Panas
Tidak nafsu makan
Darah dan lendir dalam kotoran

4. Muntah merupakan suatu cara traktus gastrointestinal membersihkan dirinya


sendiri dari isinya ketika hampir semua bagian atas traktus gastrointestinal
teriritasi secara luas, sangat mengembang, atau bahkan terlalu terangsang.
Distensi atau iritasi yang berlebihan dari duodenum menyebabkan suatu
rangsangan khusus yang kuat untuk muntah.
Sinyal sensoris yang mencetuskan muntah terutama berasal dari faring,
esofagus, lambung, dan bagian atas usus halus. Impuls saraf kemudian
ditransmisikan, baik oleh serabut sraf aferen vegal maupun oleh saraf simpatis
ke berbagai nukleus yang tersebar di batang otak yang semuanya bersamasama disebut pusat muntah. Dari sini, impuls impuls motorik yan
menyebabkan muntah sesungguhnya ditransmisikan dari pusat muntah
melalui jalur saraf kranialis, V, VII, IX, X dan XII ke raktus gastrointestinal
bagian atas, melalui saraf vagus dari simpatis ke traktus yang lebih bawah,
dan melalui saraf spinalis ke diafragma otot abdomen.
Proses muntah dibagi menjadi 3 fase berbeda, yaitu : nausea, retching
dan emesis (ekspulsif).
a. Nausea, merupakan sensasi psikis yang dapat ditimbulkan akibat
rangsangan pada organ dalam, labirin, atau emosi dan tidak selalu
diikuti oleh retching atau muntah.
b. Retching, merupakan fase dimana terjadi gerak nafas spasmodik
dengan glotis tertutup, bersamaan dengan adanya usaha inspirasi dari
10

otot dada dan diafragma sehingga menimbulkan tekanan intratoraks


yang negatif
c. Emesis, terjadi bila fase retching mencapai puncaknya yang ditandai
dengan kontraksi kuat otot perut, diikuti dengan bertambah turunnya
diafragma, disertai dengan penekanan mekanisme antirefluks. Pada
fase ini, pilorus dan antrum berkontraksi, fundus dan esofagus
relaksasi dan mulut terbuka
5. LO
6. Indikasi pemberian obat melalui jalur intravena antara lain:
- Pada seseorang dengan penyakit berat, pemberian obat melalui intravena
langsung masuk ke dalam jalur peredaran darah. Misalnya pada kasus
infeksi bakteri dalam peredaran darah (sepsis). Sehingga memberikan
keuntungan lebih dibandingkan memberikan obat oral. Namun sering
terjadi, meskipun pemberian antibiotika intravena hanya diindikasikan
pada infeksi serius, rumah sakit memberikan antibiotika jenis ini tanpa
melihat derajat infeksi. Antibiotika oral (dimakan biasa melalui mulut)
pada kebanyakan pasien dirawat di RS dengan infeksi bakteri, sama
efektifnya dengan antibiotika intravena, dan lebih menguntungkan dari
segi kemudahan administrasi RS, biaya perawatan, dan lamanya
-

perawatan.
Obat tersebut memiliki bioavailabilitas oral (efektivitas dalam darah jika
dimasukkan melalui mulut) yang terbatas. Atau hanya tersedia dalam
sediaan intravena (sebagai obat suntik). Misalnya antibiotika golongan
aminoglikosida yang susunan kimiawinya polications dan sangat polar,
sehingga tidak dapat diserap melalui jalur gastrointestinal (di usus hingga
sampai masuk ke dalam darah). Maka harus dimasukkan ke dalam

pembuluh darah langsung.


Pasien tidak dapat minum obat karena muntah, atau memang tidak dapat
menelan obat (ada sumbatan di saluran cerna atas). Pada keadaan seperti
ini, perlu dipertimbangkan pemberian melalui jalur lain seperti rektal

11

(anus), sublingual (di bawah lidah), subkutan (di bawah kulit), dan
-

intramuskular (disuntikkan di otot).


Kesadaran menurun dan berisiko terjadi aspirasi (tersedakobat masuk

ke pernapasan), sehingga pemberian melalui jalur lain dipertimbangkan.


Kadar puncak obat dalam darah perlu segera dicapai, sehingga diberikan
melalui injeksi bolus (suntikan langsung ke pembuluh balik/vena).
Peningkatan cepat konsentrasi obat dalam darah tercapai. Misalnya pada
orang yang mengalami hipoglikemia berat dan mengancam nyawa, pada
penderita diabetes mellitus. Alasan ini juga sering digunakan untuk
pemberian antibiotika melalui infus/suntikan, namun perlu diingat bahwa
banyak antibiotika memiliki bioavalaibilitas oral yang baik, dan mampu
mencapai kadar adekuat dalam darah untuk membunuh bakteri.

Indikasi Pemasangan Infus melalui Jalur Pembuluh Darah Vena (Peripheral


Venous Cannulation)
-

Pemberian cairan intravena (intravenous fluids).


Pemberian nutrisi parenteral (langsung masuk ke dalam darah) dalam

jumlah terbatas.
Pemberian kantong darah dan produk darah.
Pemberian obat yang terus-menerus (kontinyu).
Upaya profilaksis (tindakan pencegahan) sebelum prosedur (misalnya
pada operasi besar dengan risiko perdarahan, dipasang jalur infus
intravena untuk persiapan jika terjadi syok, juga untuk memudahkan

pemberian obat)
Upaya profilaksis pada pasien-pasien yang tidak stabil, misalnya risiko
dehidrasi (kekurangan cairan) dan syok (mengancam nyawa), sebelum
pembuluh darah kolaps (tidak teraba), sehingga tidak dapat dipasang jalur
infus.

Kontraindikasi dan Peringatan pada Pemasangan Infus Melalui Jalur


Pembuluh Darah Vena

12

Inflamasi (bengkak, nyeri, demam) dan infeksi di lokasi pemasangan

infus.
Daerah lengan bawah pada pasien gagal ginjal, karena lokasi ini akan
digunakan untuk pemasangan fistula arteri-vena (A-V shunt) pada

tindakan hemodialisis (cuci darah).


Obat-obatan yang berpotensi iritan terhadap pembuluh vena kecil yang
aliran darahnya lambat (misalnya pembuluh vena di tungkai dan kaki).

Jenis Cairan Infus:


a. Cairan hipotonik: osmolaritasnya lebih rendah dibandingkan serum
(konsentrasi ion Na+ lebih rendah dibandingkan serum), sehingga larut dalam
serum, dan menurunkan osmolaritas serum. Maka cairan ditarik dari dalam
pembuluh darah keluar ke jaringan sekitarnya (prinsip cairan berpindah dari
osmolaritas rendah ke osmolaritas tinggi), sampai akhirnya mengisi sel-sel
yang dituju. Digunakan pada keadaan sel mengalami dehidrasi, misalnya
pada pasien cuci darah (dialisis) dalam terapi diuretik, juga pada pasien
hiperglikemia (kadar gula darah tinggi) dengan ketoasidosis diabetik.
Komplikasi yang membahayakan adalah perpindahan tiba-tiba cairan dari
dalam pembuluh darah ke sel, menyebabkan kolaps kardiovaskular dan
peningkatan tekanan intrakranial (dalam otak) pada beberapa orang.
Contohnya adalah NaCl 45% dan Dekstrosa 2,5%.
b. Cairan Isotonik: osmolaritas (tingkat kepekatan) cairannya mendekati serum
(bagian cair dari komponen darah), sehingga terus berada di dalam pembuluh
darah. Bermanfaat pada pasien yang mengalami hipovolemi (kekurangan
cairan tubuh, sehingga tekanan darah terus menurun). Memiliki risiko
terjadinya overload (kelebihan cairan), khususnya pada penyakit gagal jantung
kongestif dan hipertensi. Contohnya adalah cairan Ringer-Laktat (RL), dan
normal saline/larutan garam fisiologis (NaCl 0,9%).
c. Cairan hipertonik: osmolaritasnya lebih tinggi dibandingkan serum,
sehingga menarik cairan dan elektrolit dari jaringan dan sel ke dalam
13

pembuluh darah. Mampu menstabilkan tekanan darah, meningkatkan produksi


urin, dan mengurangi edema (bengkak). Penggunaannya kontradiktif dengan
cairan hipotonik. Misalnya Dextrose 5%, NaCl 45% hipertonik, Dextrose 5%
+Ringer-Lactate, Dextrose 5%+NaCl 0,9%, produk darah (darah), dan
albumin.
Pembagian cairan lain adalah berdasarkan kelompoknya:
a. Kristaloid: bersifat isotonik, maka efektif dalam mengisi sejumlah volume
cairan (volume expanders) ke dalam pembuluh darah dalam waktu yang
singkat, dan berguna pada pasien yang memerlukan cairan segera. Misalnya
Ringer-Laktat dan garam fisiologis.
b. Koloid: ukuran molekulnya (biasanya protein) cukup besar sehingga tidak
akan keluar dari membran kapiler, dan tetap berada dalam pembuluh darah,
maka sifatnya hipertonik, dan dapat menarik cairan dari luar pembuluh darah.
Contohnya adalah albumin dan steroid.

7. Jenis-jenis tinja
Warna Tinja

Penyebab

Hijau

Makanan

Kemungkinan Konsumsi
dapat

bergerak

Sayuran

berdaun

hijau,

melalui usus besar terlalu

pewarna

makanan

hijau,

cepat, seperti karena diare.

seperti

Akibatnya,

empedu

tidak

campuran

memiliki

waktu

untuk

muncul, suplemen zat besi.

dalam
rasa

minuman
atau

es

merombak sepenuhnya..
Putih, Warna Terang, atau

Kurangnya empedu dalam


14

Obat-obat

tertentu,

seperti

Pucat

tinja.

Ini

mungkin

dosis

menunjukkan

obstruksi

subsalicylate

saluran empedu.

besar

bismuth
(Kaopectate,

Pepto-Bismol) dan obat antidiare lainnya .

Kuning, Berminyak, Berbau

Kelebihan lemak dalam tinja,

Kadang-kadang

busuk

seperti

gangguan

protein, seperti dalam roti

misalnya,

dan sereal. Tapi menemui

karena

malabsorpsi,
penyakit celiac.
Hitam

Perdarahan
pencernaan

gluten

dokter untuk evaluasi.


di

bagian

saluran
atas,

seperti perut .

Suplemen

zat

subsalisilat

besi,

(Kaopectate,

Pepto-Bismol),

licorice

hitam.
Merah terang

Perdarahan di saluran usus

pewarna

yang lebih rendah, seperti

cranberry, jus tomat atau sup,

usus

gelatin merah atau minuman

besar

atau

rektum,

sering dari wasir

makanan,

campuran.

8. Tingkatan dehidrasi
TINGKATAN DEHIDRASI
Ringan
%Penurunan
<5

Sedang
5-10

Berat
>10

Berat Badan
Tampilan

Normal/tidak

Tidak

Mengantuk,lemas,letargi

sehat

tenang/agitasi,gelisah

Mata/ubun-ubun
Membran

Normal
Normal/kering

atau mengantuk
Cekung
Kering

Mukosa
Pengisian kapiler

Normal

Perfusi Kapiler

detik)
Normal

(<2 Normal/Memanjang
Menurun
15

Sangat Cekung
Sangat kering
Memanjang
Tangan dan kaki dingin

bit,

Tekanan Darah

Normal

Normal

9. LO
10. LO
11. LO

16

Rendah

JUMP 4

P
K
P
O
1
e
a
.b
l
m
su
e
ir
G
e
D
h
a
ri
e
n
k
jn
v
h
:
sia
a
sla
d
ria
n

a
F
s
i
i
s

i
k
:

17

JUMP 5
1. Bagaimanakah hubungan antara usia dan jenis kelamin dengan kasus pada
2.
3.
4.
5.
6.

skenario?
Bagaimana fisiologi defekasi?
Apa penyebab pasien lemas dan rewel?
Bagaimana tatalaksana kasus pada skenario?
Mengapa dokter melakukan pengawasan terhadap pasien?
Komplikasi apa yang mungkin terjadi bila pasien tidak segera diberi
tatalaksana yang tepat?

JUMP 6
Telah dilakukan langkah ke enam, yaitu belajar mandiri, untuk memenuhi Learning
Objective atau Tujuan Belajar pada skenario 3 Blok Pediatri

18

JUMP 7
1. Diare memang sering menyerang anak balita dan tidak memandang usia. Usia
balita yang rentan terkena diare adalah 12 hingga 24 bulan. Balita diare
disebabkan karena pencernaannya memang sedang beradaptasi dengan
berbagai makanan dan minuman yang masuk. Oleh sebab itu, makanan dan
minuman bisa menjadi salah satu penyebab diare. Makanan yang terlalu asam,
terlalu manis atau asin bisa menyebabkan anak balita terkena diare. Selain itu,
bisa saja anak memang memiliki alergi terhadap makanan tertentu seperti
telur dan ikan. Penyebab balita diare juga karena infeksi virus dan bakteri.
Virus yang sering menjadi penyebab diare bernama Rotavirus. Biasanya
Rotavirus menyerang anak balita usia 6 bulan hingga 1 tahun. Sedangkan
bakteri yang menyebabkan diare seperti vibrio cholera, salmonella dan
sebagainya. Virus dan bakteri ini ditularkan bisa melalui udara, air atau
makanan dan minuman.Di Indonesia kasus kematian pada anak dikarenakan
diare masih terbilang cukup tinggi, sehingga ada baiknya bila para ibu lebih
berhati-hati dalam menjaga anaknya agar bisa terhindar dari diare. Diare
menurut Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization), adalah buang
air besar dengan frekuensi lebih sering (lebih dari tiga kali sehari) dan bentuk
tinja lebih cair dari biasanya. Penyebab diare pada bayi dan balita bisa
bermacam-macam tapi umumnya dikarenakan infeksi virus (rotavirus),
bakteri yang masuk kedalam mulut melalui 4F (food, finger, feces, fly (lalat),
faktor lingkungan yang kurang bersih, alergi makanan tertentu.
2. Defekasi
Defekasi adalah pengeluaran feses dari anus dan rektum.Hal ini juga disebut
bowel movement. Frekuensi defekasi pada setiap orang sangat bervariasi dari
beberapa kali perhari sampai 2 atau 3 kali perminggu. Banyaknya feses juga
bervariasi setiap orang. Ketika gelombang peristaltik mendorong feses kedalam
kolon sigmoid dan rektum, saraf sensoris dalam rektum dirangsang dan individu
menjadi sadar terhadap kebutuhan untuk defekasi (Kozier, 2010).
19

Menurut Pearce (2002) proses dari defekasi yaitu :


a. Jenis gelombang peristaltik yang terlihat dalam usus halus jarang timbul
pada sebagian kolon, sebaliknya hampir semua dorongan ditimbulkan
oleh pergerakan lambat kearah anus oleh kontraksi haustrae dan gerakan
massa. Dorongan di dalam sekum dan kolon asenden dihasilkan oleh
kontraksi haustrae yang lambat tetapi berlangsung persisten yang
membutuhkan waktu 8 sampai 15 jam untuk menggerakkan kimus hanya
dari katup ileosekal ke kolon transversum, sementara kimusnya sendiri
menjadi berkualitas feses dan menjadi lumpur setengah padat bukan
setengah cair.

b. Pergerakan massa adalah jenis pristaltik yang termodifikasi yang


ditandai timbulnya sebuah cincin konstriksi pada titik yang teregang di
kolon transversum, kemudian dengan cepat kolon distal sepanjang 20 cm
atau lebih hingga ke tempat konstriksi tadi akan kehilangan haustrasinya
dan berkontraksi sebagai satu unit, mendorong materi feses dalam
segmen itu untuk menuruni kolon.
Kontraksi secara progresif menimbulkan tekanan yang lebih besar
selama kira-kira 30 detik, kemudian terjadi relaksasi selama 2 sampai 3
menit berikutnya sebelum terjadi pergerakan massa yang lain dan berjalan
lebih jauh sepanjang kolon. Seluruh rangkaian pergerakan massa biasanya
menetap hanya selama 10 sampai 30 menit, dan mungkin timbul kembali
setengah hari lagi atau bahkan satu hari berikutnya. Bila pergerakan sudah
mendorong massa feses ke dalam rektum, akan timbul keinginan untuk
defekasi.
Refleks dalam Proses Defekasi
Menurut Tarwoto dan Wartonah (2006) dalam proses defekasi terjadi dua refleks yaitu :
a. Refleks Defekasi Instrinsik
Refleks defekasi

instrinsik. Ketika

feses

masuk

kedalam

rektum,

pengembangan dinding rektum memberi suatu signal yang menyebar melalui pleksus
mesentrikus untuk memulai gelombang peristaltik pada kolon desenden, kolon
sigmoid, dan didalam rektum. Gelombang ini menekan feses kearah anus. Begitu
20

gelombang peristaltik mendekati anus, sfingter anal interna tidak menutup dan bila
sfingter eksternal tenang maka feses keluar.
b. Refleks Defekasi Parasimpatis
Ketika serat saraf dalam rektum dirangsang, signal diteruskan ke spinal cord
(sakral 2 4) dan kemudian kembali ke kolon desenden, kolon sigmoid dan
rektum.Sinyal-sinyal
melemaskan

sfingter

parasimpatis
anus

ini

internal

meningkatkan
dan

gelombang

meningkatkan

refleks

peristaltik,
defekasi

instrinsik.Sfingter anus eksternal tenang dengan sendirinya. Pengeluaran feses


dibantu oleh kontraksi otot-otot perut dan diaphragma yang akan meningkatkan
tekanan abdominal dan oleh kontraksi muskulus levator ani pada dasar panggul yang
menggerakkan feses melalui saluran anus. Defekasi normal dipermudah dengan
refleksi paha yang meningkatkan tekanan didalam perut dan posisi duduk yang
meningkatkan tekanan kebawah kearah rectum.

3. Dehidrasi dan gangguan elektrolit mengganggu metabolisme pada tubuh


anakanak dan bayi sehingga pada anakanak dan bayi yang mengalami
dehidrasi cenderung menjadi lebih rewel dan lemas.
4. Tatalaksana kasus pada skenario
Pada kasus dalam skenario, pasien menderita diare. Tatalaksana diare dapat
dibedakan berdasarkan derajat dehidrasi.
Tabel. Pedoman Tatalaksana diare akut berdasarkan derajat dehidrasi
Derajat

Rehidrasi

Penggantian cairan

Tidak perlu

10 ml/kg tiap diare


2-5
ml/kg
tiap

dehidrasi:
0 % Defisit
Tanpa Dehidrasi
(% <5% BB)

muntah
Ringan - sedang
(5-10% BB)

CRO 75 ml/kg/3 jam

10 ml/kg tiap diare


2-5
ml/kg
tiap
muntah

21

Berat
(>10% BB)

Cairan intravena :
<12
bulan

30ml/kg/ljam,
atau 70 ml/kg/5jam

10 ml/kg tiap diare


2-5
ml/kg
tiap
muntah

Rencana terapi untuk tatalaksana diare berdasarkan derajat dehidrasi yaitu:


a. Rencana Terapi A
Diberikan pada penderita diare tanpa dehidrasi, dengan kriteria bila
terdapat dua tanda atau lebih dari:
- Keadaan umum baik, sadar
- Mata tidak cekung
- Minum biasa, tidak haus
- Cubitan kulit perut/turgor kembali segera
b. Rencana Terapi B
Diberikan pada penderita diare dehidrasi ringan/sedang, dengan kriteria
bila terdapat dua tanda atau lebih dari:
- Gelisah, rewel
- Mata cekung
- Ingin minum terus, ada rasa haus
- Cubitan kulit perut/turgor kembali lambat
c. Rencana Terapi C
Diberikan pada penderita diare dehidrasi berat, dengan kriteria bila
terdapat dua tanda atau lebih dari:
- Lesu, lunglai/tidak sadar
- Mata cekung
- Malas minum
- Cubitan kulit perut/turgor kembali sangat lambat
Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik pada kasus dalam skenario,
didapatkan lemas, rewel, mata cowong, air mata berkurang, mukosa mulut
kering, turgor kembali lambat pada pasien. Hal tersebut menunjukan
terpenuhinya 3 tanda untuk diare dehidrasi ringan/sedang, sehingga
tatalaksana yang dapat diberikan yaitu:
RENCANA TERAPI B
UNTUK TERAPI DIARE DEHIDRASI RINGAN/SEDANG
JUMLAH ORALIT YANG DIBERIKAN DALAM 3 JAM PERTAMA DI
SARANA KESEHATAN
ORALIT yang diberikan = 75 ml x Berat Badan anak
22

Bila BB tidak diketahui berikan oralit sesuai tabel di bawah ini:

Bila anak menginginkan lebih banyak oralit, berikanlah.


Bujuk ibu untuk meneruskan ASI.
Untuk anak > 6 bulan, tunda pemberian makan selama 3 jam kecuali

ASI dan oralit.


Beri obat Zinc selama 10 hari berturut-turut.
AMATI ANAK

DENGAN

SEKSAMA DAN

BANTU

IBU

MEMBERIKAN ORALIT:
Tunjukkan jumlah cairan yang harus diberikan. Berikan sedikit demi

sedikit tapi sering dari gelas.


Eriksa dari waktu ke waktu bila ada masalah.
Bila kelopak mata anak bengkak, hentikan pemberian oralit dan
berikan air masak atau ASI.
SETELAH 3-4 JAM, NILAI KEMBALI ANAK MENGGUNAKAN
BAGAN PENILAIAN, KEMUDIAN PILIH RENCANA TERAPI A,

B ATAU C UNTUK MELANJUTKAN TERAPI


Bila tidak ada dehidrasi, ganti ke Rencana Terapi A. Bila dehidrasi

telah hilang, anak biasanya kencing kemudian mengantuk dan tidur.


Bila tanda menunjukkan dehidrasi ringan/sedang, ulangi Rencana

Terapi B.
Anak mulai diberi makanan, susu dan sari buah.
Bila tanda menunjukkan dehidrasi berat, ganti dengan Rencana Terapi
C
BILA IBU HARUS PUANG SEBELUM SELESAI RENCANA

TERAPI B
Tunjukkan jumlah oralit yang harus dihabiskan dalam terapi 3 jam di

rumah. Berikan oralit 6 bungkus untuk persediaan di rumah.


Jelaskan 5 langkah Rencana Terapi A untuk mengobati anak di rumah.

5. Perlunya pengawasan pasien dalam skenario

23

Pengawasan pada pasien anak yang menderita diare dengan dehidrasi


seperti pada kasus dalam skenario sangat perlu dilakukan. Bila tidak diawasi
dan tidak mendapatkan penanganan yang tepat dengan segera, penderita dapat
kehilangan lebih banyak cairan dan elektrolit akibat diare, sehingga gejala
dehidrasi semakin berat. Pada dehidrasi berat, volume darah berkurang
sehingga dapat menyebabkan terjadinya renjatan hipovolemik dengan gejalagejalanya yaitu denyut jantung menjadi cepat, denyut nadi cepat, kecil,
tekanan darah menurun, penderi menjadi lemah, kesadaran menurun (apatis,
somnolen dan kadang-kadang menjadi soporo komatous). Akibat dehidrasi,
diuresis menjadi berkurang (oliguria sampai anuria). Bila sudah menjadi
asidosis metabolik, penderita akan tampak pucat dengan pernafasan cepat dan
dalam (pernafasan Kusmaull). Selain itu, kehilangan cairan dan elektrolit juga
dapat menyebabkan hipokalemia, hipoglikemia, intoleransi laktosa sekunder,
kejang (terutama pada dehidrasi hipertonik), serta malnutrisi energi protein,
karena selain diare dan muntah, penderita juga mengalami kelaparan. Semua
kondisi tersebut dapat membahayakan anak, sehingga pengawasan yang baik
sangat diperlukan.
6. Komplikasi dan Prognosis
Komplikasi utama dari gastroenteritis akut adalah dehidrasi dan
gangguan fungsi kardiovaskular akibat hipovolemia berat. Kejang dapat
terjadi dengan adanya demam yang tinggi, terutama pada infeksi Shigella.
Abses intestin dapat terjadi pada infeksi Shigella dan Salmonella, terutama
pada demam tifoid, yang dapat memicu terjadinya perforasi usus, suatu
komplikasi yang dapat mengancam jiwa. Muntah hebat akibat gastroenteritis
dapat menyebabkan ruptur esofagus atau aspirasi.
Kematian akibat diare mencerminkan adanya masalah gangguan
system homeostatis cairan dan elektrolit, yang memicu terjadinya dehidrasi,
ketidakseimbangan dan instabilitas vaskular, serta syok. Diperkirakan 10%
pasien demam tifoid akan menjadi penyebar kuman S. typhi selama 3 bulan,
24

dan 4% akan menjadi karier kronik. Risiko menjadi karier kronik pada anak
cukup rendah.
Komplikasi
a. Dehidrasi
b. Renyatan Hiporomelik
c. Kejang
d. Bakterikimia
e. Malnutrisi
f. Hipoglikemia
g. Intoleransi sekunder akibat kerusakan mukosa usus
BAB III
KESIMPULAN & SARAN
A. Kesimpulan
1. Diagnosis pasien adalah diare yang disertai dehidrasi. Kami menetapkan
diagnosis ini karena diare pada bayi dan balita ditandai dengan buang air
besar >3 kali / hari dan terdapat tinja cair kekuningan yang seharusnya
berbentuk padat pada keadaan normal. Pasien ini juga mengalami
dehidrasi karena pada pemeriksaan fisik didapatkan mata cowong, air
mata berkurang, mukosa mulut kering serta turgor kulit kembali lambat
yang merupakan tanda-tanda dehidrasi pada tubuh.
2. Prinsip penatalaksanaan pasien diare dengan dehidrasi adalah dengan
beberapa tahap, yaitu :
a. Rehidrasi. Usaha ini meliputi pemberian cairan minum berupa oralit
untuk mencagah terjadinya dehidrasi.
b. Dukungan nutrisi. Anak yang diare tetap melanjutkan makan seperti
biasa, termasuk pemberian ASI atau cairan lain seperti susu, kuah sop,
sari buah atau minuman lain.
c. Suplementasi zinc.
d. Antibiotik selektif.
e. Edukasi. Usaha ini termasuk memberikan edukasi kepada ibu untuk
terus memberikan cairan oralit semau anak, mengenali tanda-tanda
dehidrasi dan kegawatan lain serta 5 lintas tata laksana diare.
B. Saran
Dari diskusi tutorial yang sudah dilakukan, diharapkan mahasiswa
lebih aktif dalam mengungkapkan pendapat dan curah analisis. Peran
25

ketua diskusi sangat penting untuk memacu anggota kelompok


berpendapat. Selain itu, dibutuhkan lebih lanjut pemahaman tentang seven
jumps sehingga diskusi tutorial dapat berjalan lebih efektif dan terarah.
Diharapkan mahasiswa mampu menggali dan membahas seluruh LO
(Learning

Objective)

dengan

pertemuan.

26

mempersiapkan

materi

sejak

awal

Anda mungkin juga menyukai