Anda di halaman 1dari 33

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Diare

1. Pengertian

Menurut World Health Organization (WHO, 2017), penyakit diare

adalah suatu penyakit yang di tandai dengan perubahan bentuk dan

konsistensi tinja yang lembek sampai mencair dan bertambahnya frekuensi

buang air besar yang lebih dari biasanya, yaitu 3 kali atau lebih dalam sehari

yang mungkin dapat di sertai dengan muntah atau tinja yang berdarah.

Penyakit ini paling sering di jumpai pada anak balita,terutama pada 3 tahun

pertama kehidupan, dimana seorang anak bisa mengalami 1-3 episode diare

berat (Kemenkes RI, 2014). Menurut penelitian Barr & Smith (2014) diare

adalah perubahan bentuk tinja yang tidak seperti biasanya serta frekuensinya

lebih sering dibandingkan biasanya ibu lebih mudah mengenal diare.

2. Penyebab Diare

Menurut Brandt et al (2015), penyebab diare yaitu :

a. Faktor Infeksi : Bakteri, virus, parasit

b. Gangguan penyerapan makanan dan minuman di usus seperti penyerapan

karbohidrat, lemak dan protein

c. Faktor makanan seperti: makanan basi, beracun, alergi terhadap makanan

d. Faktor psikologis seperti : cemas, takut dan terkejut

10
3. Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Diare

Banyak faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya diare pada balita.

Cara penularan diare pada umumnya melalui cara fekal- oral yaitu melalui

makanan dan minuman yang tercemar oleh enteropatogen, atau kontak

langsung dengan tangan penderita atau barang- barang yang telah tercemar

tinja penderita atau tidak langsung melalui lalat (melalui 4 F = finger, flies,

fluid, field). Adapun faktor resiko terjadinya diare adalah :

a. Faktor Anak

Bayi dan anak balita merupakan kelompok usia yang paling banyak

menderita diare, kerentanan kelompok usia ini juga banyak dipengaruhi

oleh beberapa faktor yaitu :

1. Faktor umur

Menurut hasil Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (2014),

dilihat dari karakteristik umur balita diketahui kecendrungan terkena

penyakit diare yang besar karena semakin muda usia anak balita,

kecuali pada kelompok usia kurang dari enam bulan, yang disebabkan

makanan bayi masih tergantung pada ASI. Semakin rendah usia anak

balita, daya tahan tubuhnya terhadap infeksi penyakit terutama

penyakit diare semakin rendah sehingga tingginya angka diare pada

anak balita yang berusia semakin muda apalagi jika anak mengalami

status gizi kurang dan berada dalam lingkungan yang kurang

memadai.

11
2. Jenis kelamin

Penelitian Polipi (2014) menjelaskan lebih banyak pasien laki- laki

yang menderita diare dari pada perempuan dengan perbandingan 1,5 :

1 (dengan porsi pada anak laki- laki sebesar 60% dan anak perempuan

40%).

3. Status imunisasi

Penelitian yang dilakukan oleh Ragil dan Dyah (2017) menunjukkan

ada hubungan yang signifikan antara status imunisasi campak dengan

kejadian diare akut pada anak balita. Imunisasi campak dapat

menurunkan kejadian penyakit diare.

4. Status gizi

Pada balita penderita gizi kurang serangan diare lebih sering terjadi..

semakin buruk keadaan/ status gizi balita, semakin sering dan berat

diare yang dideritanya. Diduga bahwa mukosa penderita malnutrisi

sangat peka terhadap infeksi karena daya tahan tubuh yang kurang.

Berdasarkan penelitian Meliyanti (2016) menunjukkan bahwa ada

hubungan yang signifikan antara status gizi dengan kejadian diare.

b. Faktor orang tua

Peranan orang tua dalam pencegahan dan perawatan anak dengan diare

sangatlah penting. Faktor yang mempengaruhinya yaitu umur ibu, tingkat

pendidikan, tingkat pengetahuan ibu mengenai hidup sehat dan

pencegahan terhadap penyakit. Rendahnya tingkat pendidikan ibu dan

kurangnya pengetahuan ibu tentang pencegahan diare dan perawatan

anak dengan diare merupakan penyebab anak terlambat ditangani dan

12
terlambat mendapat pertolongan sehingga berisiko mengalami dehidrasi.

Hasil Survey yang dilakukan SDKI (2014) terhadap pengetahuan ibu

tentang diare didapatkan data bahwa pengetahuan ibu tentang

pengetahuan pemberian paket oralit lebih rendah pada wanita dengan

kelompok umur 15 – 19 tahun dibandingkan dengan wanita yang lebih

tua. Sementara itu pendidikan ibu mempunyai hubungan yang positif

dengan pengetahuan ibu tentang pemberian paket oralit.

c. Hygiene dan kebersihan diri

Perilaku hygiene dan kebersihan ibu dan anak mempunyai pengaruh

terhadap pencegahan terjadinya diare pada bayi dan balita, salah satu

perilaku hidup bersih yang sering dilakukan adalah mencuci tangan

sebelum dan sesudah makan pada anak dan juga setelah buang air besar

(Radlovic et al, 2015).

d. Sosial Ekonomi

Status ekonomi yang rendah akan mempengaruhi status gizi anggota

keluarga. Hal ini nampak dari ketidakmampuan ekonomi keluarga untuk

memenuhi kebutuhan gizi keluarga, kebutuhan gizi yang buruk

memudahkan balita mengalami diare. Menurut Wanto (2017), ada

beberapa hal yang mempengaruhi faktor sosial ekonomi yaitu jumlah

balita dalam keluarga, jenis pekerjaan, pendidikan ayah, pendapatan,

jumlah anak dalam keluarga dan faktor ekonomi.

13
4. Jenis-jenis Diare

Menurut WHO (2014) diare diklasifikasikan yaitu :

1) Diare akut,yaitu diare yang berlangsung kurang dari 14 hari

2) Diare kronik, yaitu diare yang berlangsung lebih dari 14 hari dengan

kehilangan berat badan atau berat badan tidak bertambah selama masa

diare

3) Diare persisten, yaitu diare yang berlangsung selama 14-30 hari atau

diare yang berkepanjangan. Masalah gizi pada anak-anak dan penyakit

lainnya seperti penyakit AIDS memungkinkan terjadinya diare

persisten.

4) Diare berdarah (disentri) ditandai adanya darah di feses yang

disebabkan kerusakan usus dan kurang gizi,penyebab paling umum

adalah shigella.

Berdasarkan derajat dehidrasi,di bagi menjadi 3 klasifikasi

1) Diare tanpa dehidrasi

Diare tanpa dehidrasi bila terdapat 2 tanda di bawah ini atau lebih :

a) Keadaan umum : baik

b) Mata : Normal

c) Rasa haus : Normal, minum biasa

d) Turgor kulit : kembali cepat

2) Diare dehidrasi ringan / sedang

Diare dengan dehidrasi Ringan / sedang bila terdapat 2 tanda di bawah

ini atau lebih :

a) Keadaan umum : Gelisah, rewel

14
b) Mata : Cekung

c) Rasa haus : Haus,ingin minum banyak

d) Turgor kulit : Kembali lambat

3) Diare dehidrasi berat

Diare dehidrasi berat, bila terdapat 2 tanda di bawah ini atau lebih :

a) Keadaan umum : Lesu, lunglai, atau tidak sadar

b) Mata : Cekung

c) Rasa haus : Tidak bisa minum atau malas minum

d) Turgor kulit : Kembali sangat lambat (lebih dari 3 detik)

5. Faktor Resiko Diare Pada Anak

a. Faktor Gizi

Pada balita yang menderita kurang gizi serangan diare dapat terjadi

lebih sering.Semakin buruk keadaan /status gizi balita, semakin sering

dan berat diare yang diderita.Diduga bahwa lapisan tipis mukosa

penderita malnutrisi sangat peka terhadap infeksi karena daya tahan

tubuh yang kurang.Berdasarkan penelitian Meliyanti (2016)

menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara status gizi

dengan kejadian diare (p<0,001). Hasil analisis didapatkan juga nilai OR

= 71,111.

b. Faktor sosial ekonomi

Faktor sosial ekonomi juga mempunyai pengaruh langsung

terhadap faktor-faktor penyebab diare.Keluarga dengan status ekonomi

yang rendah biasanya tinggal didaerah yang tidak memenuhi syarat

kesehatan sehingga mudah terserang diare.Kebanyakan anak yang mudah

15
menderita diare berasal dari keluarga yang besar dengan daya beli yang

rendah,jumlah balita dalam keluarga,kondisi rumah yang buruk, tidak

mempunyai sediaan air bersih yang memenuhi persyaratan

kesehatan,pendidikan orang tuanya yang rendah dan sikap serta

kebiasaan yang tidak menguntungkan. Hal ini menunjukkan rendahnya

status ekonomi keluarga merupakan salah satu faktor resiko penyebab

terjadinya diare terutama pada bayi dan balita (Wanto, 2017).

c. Faktor pendidikan

Hasil survey yang telah dilakukan SDKI (2014) terhadap

pengetahuan ibu tentang diare didapatkan data bahwa pengetahuan ibu

tentang pengetahuan pemberian paket oralit lebih rendah pada wanita

dengan kelompok umur 15-19 tahun dibandingkan dengan wanita yang

lebih tua.Sementara itu pendidikan ibu mempunyai hubungan yang

positif dengan pengetahuan ibu tentang pemberian paket oralit.Tingginya

angka kesakitan dan kematian (morbiditas dan mortalitas) karena diare di

Indonesia disebabkan oleh faktor kesehatan lingkungan yang belum

memadai, keadaan gizi,kependudukan, pendidikan keadaan sosial

ekonomi dan perilaku masyarakat yang secara langsung ataupun tidak

langsung mempengaruhi keadaan penyakit diare.

d. Faktor pekerjaan

Orang tua yang bekerja sebagai pegawai negeri atau swasta rata –

rata mempunyai pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan orang tua

yang bekerja sebagai buruh atau petani.Jenis pekerjaan umumnya

berkaitan dengan tingkat pendidikan dan pendapatan. Tetapi ibu yang

16
bekerja harus membiarkan anaknya diasuh oleh orang lain, sehingga

mempunyai resiko besar untuk terpapar dengan penyakit diare.

e. Faktor Umur Balita

Sebagian besar diare terjadi pada anak dibawah usia 2 tahun. Hasil

analisa lanjut SDKI (2014).Menurut karakteristik umur balita diketahui

kecenderungan terkena penyakit diare yang besar karena semakin muda

usia anak balita, kecuali pada kelompok usia kurang dari enam

bulan,yang disebabkan makanan bayi masih tergantung kepada ASI.

Semakin rendah usia anak balita daya tahan tubuhnya terhadap infeksi

penyakit terutama penyakit diare semakin rendah sehingga tingginya

angka diare pada anak balita yang berusia semakin muda apalagi jika

anak mengalami status gizinya kurang dan berada dalam lingkungan

yang kurang memadai.

f. Faktor ASI

ASI ekslusif adalah air susu ibu yang pemberiannya sejak bayi baru

lahir sampai berumur 6 bulan, tanpa diberikan makanan tambahan

lainnya.

g. Faktor Jamban

Resiko kejadian diare lebih besar pada keluarga yang tidak

mempunyai fasilitas jamban keluarga dan penyediaan sarana jamban

umum dapat menurunkan resiko kemungkinan terjadinya diare.Berkaitan

dengan personal hygiene dari masyarakat yang di tunjang dengan situasi

kebiasaan yang menimbulkan pencemaran lingkungan sekitarnya dan

17
terutama di daerah daerah di mana air merupakan masalah dan kebiasaan

buang air besar yang tidak sehat (Depkes RI, 2015).

h. Faktor sumber air

Sumber air adalah tempat mendapatkan air yang di gunakan. Air

baku tersebut sebelum di gunakan adalah yang diolah dulu, namun

adapula yang langsung digunakan oleh masyarakat. Kualitas air

bakupada umumnya tergantung dari mana sumber air tersebut di dapat.

Ada beberapa macam sumber air misalnya : Air hujan, air tanah (sumur

gali, sumur pompa), air permukaan (sungai, danau), dan mata air.

Apabila kualitas air dari sumber air tersebut telah memenuhi syarat

kesehatan sesuai dengan peraturan yang berlaku, daoat langsung

dipergunakan tetapi apabila belum memenuhi syarat, harus melalui

proses pengolahan air terlebih dahulu (Depkes RI, 2015).

6. Pencegahan dan Penanggulangan Diare

a. Pencegahan Diare

Menurut Radlovic et al (2015) pencegahan diare adalah :

1) Mencuci tangan

Ajarkan anak untuk mencuci tangan. Saat member makan pada anak

dan setelah memegang sesuatu yang kotor seperti setelah

membersihkan kotoran bayi atau anak, ibu harus sering mencuci

tangan.

2) Makanan ditutup dengan tudung saji.

3) Air minum dan makanan harus dimasak dengan matang.

18
4) Makanan dan Air minum dijaga kebersihannya, memberikan ASI

eklusif minimal 6 bulan. Botol susu selalu dicuci bersih dan

disterilkan dengan baik.

Diantara langkah-langkah yang dapat di lakukan oleh ibu dan

Anak, yang paling penting adalah menjaga higienis perorangan dengan

baik.Ini dapat di lakukan dengan melaksanakan perilaku sehat, yaitu

mencuci tangan dengan sabun sesudah membuang tinja anak dan setelah

buang air besar dan juga sebelum menyiapakan makanan kepada

anak.Ibu- ibu juga seharusnya melatih anak sejak awal lagi tentang

perilaku cuci tangan terutama sebelum makan dan sesudah bermain.Ini

dapat mencegah terjadinya penularan kuman yang dapat menyebabkan

diare.Selain itu, ibu balita juga seharusnya mengamalkan pemberian ASI

kepada anak mereka sejak lahir sehingga 4 -6 bulan pertama

kehidupan.ASI mengandung antibody yang berguna untuk menjaga

sistem kekebalan bayi agar tidak mudah terkena infeksi.ASI juga kaya

dengan zat- zat yang optimal untuk pertumbuhan anak.Pemberian ASI

sewaktu diare juga bisa mengurangi keparahan kejadian diare (Depkes

RI, 2015).

Berdasarkan banyak penelitian, keterjangkauan terhadap

penggunaan sarana air bersih sangat penting bagi mengurangkan resiko

kejadian diare.Oleh karena itu, masyarakat seharusnya memastikan air

yang di gunakan di rumah adalh benar- benar dan memenuhi syarat yaitu

tidak berwarna, bau, juga rasa sebelum digunakan untuk keperluan

sehari- hari.

19
b. Penanggulangan diare berdasarkan tingkat dehidrasi

1) Tanpa dehidrasi

Pada anak- anak yang berumur bawah dari 2 tahun boleh diberikan

larutan oralit 50 – 100 ml/ kali diare.Bagi mengelakkan dehidrasi ibu

– ibu harus meningkatkan pemberian minuman dan makanan dari

biasa pada anak mereka.Selain itu dapat juga di berikan Zink (10 – 20

mg/ hari) sebagai makanan tambahan.

2) Dehidrasi ringan

Pada keadaan ini di perlakukan oralit secara oral bersama larutan

kristaloid ringer laktat ataupun ringer asetat dengan formula lengkap

yang mengandung glukosa dan elektrolit dan di berikan sebanyak

mungkin sesuai dengan kemampuan anak serta dianjurkan ibu untuk

meneruskan pemberian ASI dan masih dapat ditangani sendiri oleh

keluarga dirumah. Berdasarkan WHO, larutan oralit seharusnnya

mengandung 90 mEq/l natrium, 20 mEq/l kalium klorida dan 111

mEq/ l glikosa.

3) Dehidrasi Sedang

Pada keadaan ini memerlukan perhatian yang lebih khusus dan

pemberian oralit hendaknya dilakukan oleh petugas disarana

kesehatan dan penderita perlu diawasi selama 3- 4 jam. Bila penderita

sudah lebih baik keadaannya, penderita dapat dibawa pulang untuk

dirawat dirumah dengan pemberian oralit. Dosis pemberian oralit

untuk umur kurang dari 1 tahun, setiap buang air besar diberikan 50-

100 ml,untuk 3 jam pertama 300 ml. Untuk anak umur 1 – 4 tahun

20
setiap buang air besar di berikan 100 – 200 ml, untuk 3 jam pertama

600 ml.

4) Dehidrasi Berat

Pada keadaan ini pasien akan diberikan larutan hidrasi secara

intravena (intravenous hydration) dengan kadar 100 ml/ kg BB/ 3- 6

jam. Dosis pemberian cairan untuk umur kurang dari 1 tahun adalah

300 ml / kg BB untuk 1 jam yang pertama dan seterusnya diberikan 75

ml / kg BB setiap 5 jam. Dosis pemberian cairan untuk anak 1 – 4

tahun adalah 30 ml / kg BB untuk ½ jam yang pertama dan

seterusnya di berikan 700 ml / kg BB setiap 2 ½ jam.

7. Tanda dan Gejala Dehidrasi Pada Balita

Menurut MTBS 2015, terdapat tanda umum pada dehidrasi, yaitu:

a. Lihat keadaan umum anak, apakah :

1) Letargis atau tidak sadar

2) Gelisah dan rewel/ tidak mudah marah

b. Lihat apakah matanya cekung

c. Beri anak minum, apakah :

1) Tidak bisa minum atau malas minum

2) Haus, minum dengan lahap

d. Cubit kulit perut untuk mengetahui turgor, apakah :

1) Sangat lambat (> 2 detik)

2) Lambat (masih terlihat lipatan kulit)

21
Menurut Kementerian Kesehatan RI 2015, tanda dan gejala dehidrasi akibat

diare :

a. Diare tanpa dehidrasi

1) Balita tetap aktif

2) Memiliki keinginan untuk minum seperti biasa

3) Mata tidak cekung

4) Turgor kembali segera

b. Dehidrasi ringan atau sedang

1) Gelisah, rewel/mudah marah

2) Mata cekung

3) Haus, minum dengan lahap

4) Cubitan kulit perut kembali lambat (MTBS, 2015).

c. Dehidrasi berat, terdapat 2 atau lebih tanda dan gejala seperti berikut:

1) Letargis atau tidak sadar

2) Mata cekung

3) Tidak bias minum atau malas minum

4) Cubitan kulit perut kembali sangat lambat > 2 detik (MTBS, 2015).

8. Cara Mendeteksi dehidrasi

Menurut Depkes dalam buku Manajemen Terpadu Balita Sakit

(MTBS) tahun 2015 cara mendeteksi dehidrasi yaitu:

1. lihat secara umum keadaan anak apakah:

a. Letargis (penurunan kesadaran) atau tidak sadar

b. Gelisah, rewel dan sering menangis

22
2. Lihat apakah mata anak cekung atau tidak

3. Beri anak minum:

a. Lihat apakah anak malas minum

b. Lihat apakah anak minum seperti kehausan dan minum

dengan lahap

c. Lakukan cubitan didaerah perut pada anak dengan

cubitan agak lebar (sekitar 3 Cm) tahan selama 30 detik,

kemudian lepas. Untuk mengetahui turgor kulit, yaitu:

c. Sangat lambat ≥ 2 detik atau lambat (masih sempat

terlihat lipatan kulit).

B. Manajemen Terpadu Balita Sakit

1. Pengertian

Merupakan suatu pendekatan keterpaduan dalam tatalaksana balita

sakit yang datang berobat ke fasilitas rawat jalan pelayanan kesehatan dasar.

Meliputi upaya kuratif terhadap penyakit pneumonia, diare, campak,

malaria, infeksi telinga, malnutrisi dan upaya promotif dan preventif yang

meliputi imunisasi dan pemberian vitamin A dan konseling pemberian

makan. Tujuan utama tatalaksana ini untuk menurunkan angka kematian

bayi dan anak balita dan menekan morbiditas karena penyakit tersebut

(Kemenkes RI, 2014).

Menurut Hidayat (2009), manajemen terpadu balita sakit merupakan

suatu bentuk pengelolaan balita yang mengalami sakit, yang bertujuan untuk

meningkatkan derajat kesehatan anak serta kualitas pelayanan kesehatan

23
anak. Bentuk ini sebagai salah satu cara efektif untuk menurunkan angka

kematian dan kesakitan pada bayi dan anak, mengingat pengelolaan ini

dapat dilakukan pada pelayanan tingkat pertama seperti di unit rawat jalan,

puskesmas, polindes, dan lain-lain.

Dalam menangani balita sakit, tenaga kesehatan (perawat,bidan/desa)

yang berada di pelayanan dasar dilatih untuk menerapkan pendekatan

MTBS secara aktif dan terstruktur, meliputi :

a. Melakukan penilaian adanya tanda-tanda atau gejala penyakit dengan

cara tanya, lihat,dengar,raba

b. Membuat klasifikasi dan menentukan tindakan serta pengobatan anak

c. Memberikan konseling dan tindak lanjut pada saat kunjungan ulang.

2. Strategi MTBS

MTBS memiliki 3 komponen khas yang menguntungkan seperti yang

dijelaskan dalam publikasi CORE & USAID (2009) yaitu:

a. Komponen I

Meningkatkan ketrampilan petugas kesehatan dalam tatalaksana kasus

balita sakit menggunakan pedoman MTBS yang telah diadaptasi di

negara-negara tersebut.

b. Komponen II

Memperbaiki sistem kesehatan melalui penguatan perencanaan dan

manajemen kesehatan di tingkat kabupaten/kota, melalui penyediaan

sarana/prasarana kesehatan dan obat-obatan esensial, pemberian

dukungan dan supervise, peningkatan system rujukan kasus dan system

24
informasi kesehatan, serta mengatur tata kerja yang efisien di fasilitas

kesehatan.

c. Komponen III

Meningkatkan praktek/peran keluarga dan masyarakat dalam perawatan

balita sakit dan sehat di rumah dan upaya pencarian pertolongan kasus

balita sakit.

Dari ketiga komponen diatas, komponen III sebenarnya memiliki potensi

terbesar dalam berkontribusi meningkatkan kelangsungan hidup,

pertumbuhan dan perkembangan anak. Komponen tersebut dikenal sebagai

MTBS Berbasis

3. Tanda dan bahaya umum pada anak usia 2 – 59 bulan

Tanda bahaya adalah kondisi dimana anak harus segera mendapatkan

penanganan di fasilitas kesehatan. Jika anda menemukan anak dengan satu

atau lebih tanda bahaya umum, rujuk SEGERA ke fasilitas kesehatan.

Empat tanda bahaya umum yang mungkin terjadi pada anak sakit :

a. Tidak bisa menyusu/ minum

b. Memuntah kan semua yang diminum/ dimakan

c. Kejang-kejang

d. Tidak sadar/ kesadaran menurun (Depkes RI, 2009)

4. Sasaran Manajemen Terpadu Balita Sakit

Adapun sasaran MTBS adalah anak umur 0-5 tahun dan dibagi

menjadi dua kelompok sasaran yaitu kelompok usia 1 hari- 2 bulan dan

kelompok usia 2 bulan- 5 tahun.

a. Pelaksanaan Manajemen Terpadu Balita Sakit di Puskesmas

25
Hal-hal yang dilaksanakan oleh petugas kesehatan dalam menangani

balita sakit sesuai dengan Protap MTBS, meliputi :

1) Melakukan Anamnesa

Wawancara terhadap orang tua bayi dan balita mengenai keluhan

utama, lamanya sakit, pengobatan yang telah diberikan dan riwayat

penyakit lainnya.

2) Pemeriksaan

a) Untuk bayi umur 1 hari- 2 bulan

Mengajari Pemeriksaan yang dilakukan meliputi: Pemeriksaan

kemungkinan kejang, gangguan nafas, suhu tubuh, adanya infeksi,

ikterus, gangguan pencernaan, BB dan status imunisasi

b) Untuk bayi 2 bulan- 5 tahun

c) Pemeriksaan yang dilakukan adalah: keadaan umum, respirasi,

derajat dehidrasi, suhu, pemeriksaan telinga, diare, status gizi,

anemia, imunisasi dan vitamin A, dan keluhan lain.

3) Menentukan klasifikasi, tindakan, penyuluhan/ konseling pada ibu dan

konsultasi dokter.

4) Pengobatan

Untuk balita sakit yang mendapatkan terapi rawat jalan, maka petugas

kesehatan dapat mengajari ibu cara pememberian obat oral dirumah,

obat-obat yang diberikan sesuai dengan diagnosa pasien seperti

(antibiotik oral, antimalaria oral, parasetamol, vitamin A, zat besi, dan

obat cacingan). Sedangkan anak dengan tanda bahaya umum

mempunyai masalah serius perlu dirujuk segera.

26
b. Tenaga kesehatan yang melaksanakan MTBS

Tenaga kesehatan pelaksana Manajemen Terpadu Balita Sakit di unit

rawat jalan tingkat dasar adalah Paramedis (bidan, perawat) dan dokter,

bukan untuk rawat inap dan bukan untuk kader. Adapun peran dokter

dalam MTBS, yaitu :

1) Melakukan SOP pelayanan balita dengan form MTBS

2) Membimbing paramedis (bidan, perawat) dalam melakukan SOP

pelayanan balita dengan form MTBS

3) Menerima rujukan internal dari Poli KIA

4) Memberikan contoh kepada semua petugas kesehatan dalam

penerapan pelayanan kuratif yang tidak meninggalkan upaya promotif

dan preventif

5) Menselaraskan integrasi antara program dan pelayanan kuratif

(UKM& UKP) di puskesmas

6) Cakupan Pelayanan Kesehatan Anak Balita Sakit yang dilayani

dengan MTBS.

Cakupan MTBS adalah cakupan anak balita (umur 12-59 bulan) yang

berobat ke puskesmas dan mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai

standar (MTBS) di suatu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu. Hal

ini dapat diukur dengan rumus berikut :

Rumus yang digunakan adalah : % Cakupan MTBS = Ʃ BS x 100%

Ʃ total

27
Ʃ BS = Jumlah anak balita sakit yang memperoleh pelayanan sesuai

tatalaksana MTBS di Puskesmas disuatu wilayah kerja pada kurun

waktu tertentu

Ʃ total = Jumlah seluruh anak balita sakit yang berkunjung ke

Puskesmas disuatu Wilayah kerja dalam 1 tahun

Jumlah anak balita sakit diperoleh dari kunjungan balita sakit yang

datang ke puskesmas (register rawat jalan di puskesmas). Jumlah anak

balita sakit yang mendapat pelayanan standar diperoleh dari format

pencatatan dan pelaporan MTBS (Kemenkes RI, 2014).

5. Faktor yang mempengaruhi MTBS

Berdasarkan Kemenkes RI (2014) keberhasilan penerapan MTBS di

Puskesmas tidak terlepas dari adanya pelatihan untuk meningkatkan

pengetahuan dan keterampilan tenaga kesehatan dalam melakukan MTBS,

monitoring pasca pelatihan serta bimbingan teknis bagi perawat dan bidan

yang dilakukan oleh kepala puskesmas atau Dinas kesehatan setempat, dan

kelengkapan sarana dan prasarana pendukung dalam pelaksanaan MTBS

termasuk ketersediaan obat-obatan di puskesmas.

a. Faktor Predisposisi (Predisposing factors)

Faktor predisposisi merupakan faktor yang mempermudah terjadinya

perubahan perilaku seseorang dalam hal ini orang yang dimaksud bisa

juga dilihat dari segi tenaga kesehatan, Faktor ini terwujud dalam umur,

pengetahuan, sikap, keyakinan, dan sebagainya. Dalam hal ini yang

dibahas pada faktor Predisposisi dalam pelaksanaan Manajemen Terpadu

Balita Sakit di puskesmas adalah pengetahuan dan pelatihan.

28
b. Faktor Pemungkin (Enabling Factors)

Faktor pemungkin yang dimaksud adalah faktor yang memungkinkan

seseorang untuk bertindak. Faktor pemungkin dapat terwujud dari adanya

sarana dan prasarana atau fasilitas yang mendukung pelaksanaan suatu

program kesehatan. Misalnya seorang tenaga kesehatan dalam

melaksanakan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) sangat

dipengaruhi dengan kelengkapan sarana dan prasarana penunjang, seperti

kelengkapan obat-obatan di puskesmas dan ketersediaan serta kondisi

alat yang digunakan untuk melaksanakan pelayanan Manajemen Terpadu

Balita Sakit (MTBS).

c. Faktor Penguat (Reinforcing Factors)

Faktor ini adalah faktor yang dapat memperkuat atau mendorong

terjadinya perilaku sehat. Terkadang meski seseorang telah memiliki

pengetahuan dan sikap positif serta sarana dan prasarana yang

mendukung. Masih dibutuhkan adanya dukungan dari orang- orang

disekitarnya seperti adanya dukungan dan komitmen kepemimpinan

(kepala puskesmas) yang melakukan monitoring, memberikan motivasi

pada stafnya dalam melaksanakan MTBS dipuskesmas wilayah kerjanya.

6. Manfaat MTBS

Manfaat dalam penerapan MTBS pada negara berkembang yakni

menurunkan angka kematian, karena dapat mengkombinasikan pemeriksaan

lima penyakit yang dominan diderita oleh balita, serta terdapat sembilan

penyakit yang harus dicegah pada balita. Dilakukan pemantauan status gizi

pada balita untuk mencegah terjadinya kekurangan gizi, pada balita yang

29
sudah terdiagnosis gizi buruk, maka pada bagan MTBS terdapat langkah

memperbaiki status gizi, kemudian konseling kepada ibu mengenai

pemberian makanan pada anak, pemberian ASI (Air Susu Ibu.

Meningkatkan pemanfaatan layanan kesehatan. Adanya buku bagan MTBS

dapat menurunkan tingkat kesalahan pemeriksaan oleh tenaga kesehatan

(Maryunani, 2014).

C. Pengetahuan

1. Pengertian

Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu

seseorang terhadap objek melalui indra yang dimilikinya (mata, hidung,

telinga, dan ebagainya). Dengan sendirinya pada waktu pengindraan sampai

menghasilkan pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas

perhatian dan persepsi terhadap objek (Notoatmodjo, 2012). Dalam hal ini

pengetahuan orang tua (ibu) tentang manajemen diare yang diperoleh

melalui penginderaan terhadap objek tertentu.

2. Cara Memperoleh Pengetahuan

Manusia pada dasarnya selalu ingin tahu yang benar. Untuk

memenuhi rasa ingin tahunya maka manusia selalu berusaha mengumpulkan

pengetahuan.Pengetahuan pada dasarnya terdiri dari sejumlah fakta dan

teori yanh memungkinkan seseorang untuk dapat memecahkan masalah

yang dihadapinya. Pengetahuan dapat diperoleh dari pengalaman orang

lain.Fakta yang dikumpulkan manusia disimpulkan menjadi berbagai teori

untuk memahami gejala-gejala alam dan kemasyarakatan yang semakin

berkembang baik kualitah maupun kuantitasnya (Notoatmodjo, 2012).

30
3. Tingkat pengetahuan

Tingkat pengetahuan bertujuan untuk mengelompokan tingkah laku

suatu masyarakat atau individu yang diinginkan sebagaimana individu itu

berfikir, berbuat sebagai hasil suatu unit pengetahuan yang telah

diberikan.Adapun tingkat tersebut adalah (Notoatmodjo, 2012) :

a. Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari

sebelumnya.Termasuk kedalamnya adalah mengingat kembali terhadap

suatu spesifik dari seluruh bahan dipelajari atau rangsangan yang telah

diterima.Misalnya seorang ibu dapat mengingat kembali pengetahuannya

tentang bagaimana manajemen diare pada balita.

b. Memahami (comprehention).

Memahami diartikan sebagai suatu kemapuan untuk menjelaskan secara

benar suatu objek yang diketahui dan dapat diinterprestasikan secara

benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat

menjelaskan, menyebut contoh, menyimpulkan ,meramalkan, dan

sebagainya terhadap objek yang dipelajari. Misalnya seorang ibu yang

mempunyai balita diare dapat menyimpulkan dan menjelaskan tentang

apa dan bagaimana sebaiknya tindakan yang tepat untuk dilakukan pada

anak yang diare agar tidak terjadi diare.

c. Aplikasi (application).

Aplikasi diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menggunakan materi

yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya). Aplikasi

disini diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus –

31
rumus, metode, prinsip dan sebagainya dalam situasi lain. Misalnya

seorang ibu yang telah paham tentang cara manajemen diare pada balita

maka dia dapat mengaplikasikannya pada saat anaknya mengalami diare.

d. Analisis (analysis)

Analisis adalah kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek

kedalam komponen komponen,tetapi masih ada kaitannya antara satu

dengan yang lainnya. Contoh : seorang ibu dapat membedakan antara

penatalaksanaan diare tanpa dehidrasi, diare dehidrasi ringan/sedang,

diare dehidrasi berat, dan sebagainya.

e. Sintetis (shynthesis)

Sintesis menunjukkna pada suatu kemampuan untuk melaksankan atau

menghubungkan bagian-bagian ke suatu bentuk keseluruhan yang baru.

Dengan kata lain sintetis ini adalah suatu kemampuan untuk menyusun

suatu formulasi yang ada. Misalnya dapat menyusun, merencanakan,

meringkas terhadap suatu teori atau rumusan yang telah ada.

f. Evaluasi (evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi

atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian – penilaian ini

berdasarkan suatu kriteria yang di tentukan sendiri atau menggunakan

kriteria yang telah ada. Misalnya : seorang ibu dapat menilai seorang

anak menderita dehidrasi atau tidak, dan sebagainya

4. Pengukuran Pengetahuan

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau

angket yang menanyakan isi materi yang ingin diukur dari objek penelitian

32
atau responden. Selanjutnya Notoatmojo (2012) menjelaskan tingkat

pengetahuan secara umum dibagi atas 3 bagian :

a. Tinggi

Pengetahuan tinggi diartikan seseorang sudah mampu mengetahui,

memahami, mengaplikasikan, menganalisa, dan menghubungkan antara

sutu materi dengan materi lainnya (sintesis) serta kemampuan untuk

melakukan penelitian terhadap suatu objek (evaluasi). Pengetahuan

dikatakan tinggi apabila nilai : 76 – 100 %.

b. Sedang

Pengetahuan sedang diartikan apabila individu kurang mampu untuk

mengetahui, memahami, mengaplikasikan, menganalisa, dan

menghubungkan antara suatu materi dengan materi lainnya (sintesis)

serta kemampuan untuk melakukan penelitian terhadap suatu objek

(evaluasi). Pengetahuan dikatakan sedang apabila nilai : 60 – 75%.

c. Rendah

Pengetahuan rendah diartikan apabila individu kurang mampu untuk

mengetahui, memahami, mengaplikasikan, mengevaluasi dan

menghubungkan antara suatu materi dengan dengan materi lainnya atau

objek. Pengetahuan rendah diartikan apabila nilai :< 60%.

5. Faktor – faktor yang mempengaruhi pengetahuan

1) Pengalaman

Pengalaman dapat diperoleh dari pengalaman sendiri atau orang lain.

Pengalaman yang sudah diperoleh dapat memperluas pengetahuan

seseorang.Pengalaman ibu sebelumnya dalam merawat anaknya yang

33
diare dapat memperluas pengetahuannya tentang bagaimana

penatalaksanaan diare pada anak yang benar dan tepat.

2) Umur

Menurut Elizabeth BH dan Nursalam didalam buku (Dewi dan

Wawan, 2010), usia adalah umur individu yang terhitung mulai saat

dilahirkan sampai berulang tahun.Makin tua umur seseorang maka

proses perkembangan mentalnya bertambah baik, akan tetapi pada

umur tertentu, bertambahnya proses perkembangan mental ini tidak

secepat seperti ketika berumur belasan tahun. Selain itu, daya ingat

seseorang dipengaruhi oleh umur. Dari uraian ini maka dapat kita

simpulkan bahwa bertambahnya umur seseorang dapat berpengaruh

pada pertambahan pengetahuan yang diperolehnya, akan tetapi pada

umur-umur tertentu mengingat atau menjelang usia lanjut kemampuan

penerimaan atau mengingat suatu pengetahuan akan berkurang.

Seorang ibu yang berumur 40 tahun pengetahuannya akan berbeda

dengan saat dia sudah berumur 60 tahun.

3) Pendidikan

Menurut Nursalam (2003) didalam buku (Dewi dan Wawan, 2010)

yaitu makin tinggi tingkat pendidikan seseorang makin mudah

menerima informasi sehingga semakin banyak pula pengetahuan yang

dimiliki. Pendidikan berarti bimbingan yang dberikan seseorang

terhadap perkembangan orang lain menunjukkan cita – cita tertentu

yang menentukan manusia untuk berbuat dan mengisi kehidupan

untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan (Dewi dan Wawan,

34
2010). Entjang (2012) mengemukakan bahwa Tingkat pendidikan

dapat mempengaruhi pola berfikir seseorang. Apabila tingkat

pendidikan seseorang tinggi, maka cara berfikir seseorang lebih luas,

hal ini ditunjukkan oleh berbagai kegiatan yang dilakukan sehari –

hari.Dengan pendidikan seseorang dapat meningkatkan kematangan

intelektual sehingga dapat memberikan keputusan yang tepat dalam

bertindak.Seorang ibu yang berpendidikan tinggi akan memiliki

pengetahuan yang lebih tentang penatalaksanaan diare pada balita

dibandingkan dengan ibu yang tingkat pendidikannya lebih rendah.

4) Sumber informasi

Meskipun seseorang memiliki pendidikan yang rendah tetapi jika ia

mendapatkan informasi yang baik maka pengetahuan seseorang akan

meningkat. Sumber informasi yang dapat mempengaruhi pengetahuan

seseorang misalnya radio, televise, majalah, koran dan buku.

Walaupun seorang ibu berpendidikan rendah tetapi jika dia

memperoleh informasi tentang penatalaksanaan diare pada balita

secara benar dan tepat maka itu akan menambah pengetahuannya.

5) Penghasilan

Penghasilan tidak berpengaruh langsung terhadap pengetahuan

seseorang. Namun bila seseorang berpenghasilan cukup besar maka

dia akan mampu untuk menyediakan atau membeli fasilitas-fasilitas

sumber informasi. Ibu yang keluarganya berpenghasilan rendah akan

sulit mendapatkan fasilitas sumber informasi. Tetapi apabila

35
berpenghasilan cukup maka dia mampu menyediakan fasilitas sumber

informasi sehingga pengetahuannya akan bertambah.

6) Sosial Budaya

Sistem sosial budaya yang ada pada masyarakat dapat mempengaruhi

dari sikap dalam menerima informasi. Menurut Notoatmojo (2012)

sosial budaya, kebudayaan setempat dan kebiasaan dalam keluarga

dapat mempengaruhi pengetahuan seseorang terhadap sesuatu.

Misalnya di daerah lain seorang ibu mempunyai persepsi lain tentang

cara merawat balita diare maka hal itu akan mempengaruhi

pengetahuannya tentang perawatan diare pada balita.

6. Pengetahuan ibu tentang mendeteksi diare dengan dehidrasi

Menurut Kementerian Kesehatan RI tahun 2015 Pengetahuan yang

harus diketahui ibu dalam mendeteksi dehidrasi yaitu:

1. Ibu tahu cara mendeteksi dehidrasi yaitu:

a. lihat secara umum keadaan anak apakah:

b. Letargis (penurunan kesadaran) atau tidak sadar

c. Gelisah,rewel dan sering menangis

d. Lihat apakah mata anak cekung atau tidak

e. Beri anak minum:

d. Lihat apakah anak malas minum

e. Lihat apakah anak minum seperti kehausan dan minum dengan

lahap

f. Lakukan cubitan didaerah perut pada anak dengan cubitan agak

lebar (sekitar 3 Cm) tahan selama 30 detik,kemudian lepas.

36
Untuk mengetahui turgor kulit, yaitu: Sangat lambat ≥ 2 detik

atau lambat (masih sempat terlihat lipatan kulit).

2. Ibu mampu mengklasifikasikan derajat dehidrasi

a. Dehidrasi ringan

Apabila terjadi penurunan berat badan 2,5 – 5% dengan tanda dan

gejala seperti gelisah, menjadi cengeng, mata cekung, merasa

haus dan selalu ingin minum, turgor kulit tidak elastis, dan suara

serak

b. Dehidrasi sedang

Apabila terjadi penurunan berat badan 5 – 10% dengan tanda dan

gejala yang sama seperti dehidrasi ringan.

c. Dehidrasi berat

Apabila terjadi penurunan berat badan > 10% dengan tanda dan

gejala tidak sadar, mata cekung, tidak meras haus, cubitan pada

kulit akan kembali sangat lambat. Selain itu, dehidrasi berat juga

terjadi syok hipovolemik yangakan menyebabkan penurunan

volume darah sehingga tekanan darah dan oksigen menurun yang

menyebabkan sianosis.

D. Pendidikan Kesehatan

1. Pengertian

Pendidikan kesehatan adalah proses perubahan perilaku yang dinamis,

proses perubahan tersebut bukan hanya transfer materi saja atau

penyampaian materi dari seseorang ke orang lain, tetapi perubahan atas

pendidikan kesehatan terjadi karena adanya kesadaran dari tiap individu

37
atau dari sekelompok masyarakat itu sendiri (Mubarak dan Chayatin, 2009).

Menurut Maulana (2009), pendidikan kesehatan membutuhkan pemahaman

yang mendalam, karena melibatkan berbagai istilah atau konsep seperti

perubahan perilaku dan proses pendidikan. Proses ini disarkan pada prinsip-

prinsip ilmu pengetahuan yang memberi kemudahan untuk belajar dan

perubahan perilaku, baik bagi tenaga kesehatan maupun bagi pemakai jasa

layanan, termasuk anak-anak remaja. Menurut Notoatmodjo (2012),

pendidikan kesehatan berorientasi pada pemberian informasi. Informasi

yang berulang akan lebih mudah diingat dan disimpan dalam ingatan

seseorang.

2. Tujuan Pendidikan Kesehatan

Tujuan utama pendidikan kesehatan yaitu agar seseorang mampu

(Mubarak, 2009):

a. Menetapkan masalah dan kebutuhan mereka sendiri

b. Memahami apa yang dapat mereka lakukan terhadap masalah, dengan

sumber daya yang ada pada mereka dengan dukungan dari luar

c. Memutuskan kegiatan yang paling tepat guna untuk meningkatkan syarat

hidup sehat dan kesejahteraan masyarakat.

Upaya agar masyarakat berperilaku atau mengadopsi perilaku

kesehatan dengan cara persuasi, bujukan, imbauan, ajakan, memberikan

informasi, memberikan informasi, memberikan kesadaran, dan sebagainya,

melalui kegiatan yang disebut pendidikan atau promosi kesehatan. Memang

dampak yang timbul dari cara ini terhadap perubahan perilaku masyarakat,

akan memakan waktu lama dibandingkan dengan cara koersi. Namun

38
demikian, bila perilaku tersebut berhasil diadopsi masyarakat, maka akan

langgeng, bahkan selama hidup dilakukan(Notoatmojo 2012).

3. Sasaran

Dalam pelaksanaan pendidikan kesehatan dikenal adanya 3 (tiga) jenis

sasaran, yaitu (a) sasaran primer, (b) sasaran sekunder dan (c) sasaran tersier

(Maulana, 2009).

a. Sasaran primer

Sasaran primer pendidikan kesehatan adalah pasien, individu sehat dan

keluarga (rumah tangga) yang merupakan bagian dari masyarakat.

b. Sasaran sekunder

Sasaran sekunder adalah para pemuka masyarakat, baik pemuka informal

(pemuka adat, agama dll) maupun pemuka formal (petugas kesehatan,

pejabat, dll), organisasi kemasyarakatan dan media massa.

c. Sasaran tersier

Sasaran tersier adalah para pembuat kebijakan publik di bidang

kesehatan serta dapat memfasilitasi atau menyediakan sumber daya.

4. Metode

Metode diartikan sebagai cara atau pendekatan tertentu. Untuk sasaran

kelompok maka metodenya harus berbeda dengan sasaran massa dan

sasaran individual. Ada 3 macam metode pendidikan kesehatan, yaitu (Jones

dan Bartlett, 2009).

39
a. Metode pendidikan massa

Metode pendidikan massa dilakukan untuk mengonsumsikan pesan

kesehatan yang ditujukan untuk masyarakat. Berikut ini ada beberapa

contoh metode untuk pendekatan massa, yaitu :

1) Ceramah umum.

2) Pidato/diskusi tentang kesehatan dapat dilakukan melalui media

elektronik, baik televisi maupun radio.

3) Simulasi contohnya seperti dialog antara pasien dengan perawat.

b. Metode pendidikan individual

Metode ini digunakan untuk membina perubahan perilaku baru, atau

membina seseorang. Bentuk pendekatan ini, antara lain:

1) Bimbingan dan penyuluhan (guidance and counceling)

2) Interview (wawancara)

c. Metode pendidikan kelompok

Ada beberapa macam metode kelompok tersebut, yaitu: (1) Kelompok

besar; (2) Kelompok kecil.

1) Kelompok besar

Apabila peserta lebih dari 15 orang.Menggunakan 2 metode untuk

kelompok besar, bisa menggunakan ceramah ataupun seminar.Untuk

metode ceramah cocok untuk masyarakat berpendidikan

tinggi.Metode seminar digunakan pada kelompok pendidikan

menengah keatas.

40
2) Kelompok kecil

Apabila peserta kurang dari 15 orang.Terdapat beberapa metode

khusus kelompok kecil seperti: diskusi kelompok, curah pendapat,

bermain peran (role play), bola salju (snow balling), dan permainan

simulasi (simulation game).

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode ceramah.

5. Media

Media pendidikan kesehatan pada hakikatnya adalah alat bantu

pendidikan. Berdasarkan fungsinya sebagai penyaluran pesan-pesan

kesehatan (media), media ini dibagi menjadi 3 yaitu: cetak, elektronik,

media papan (bill board) (Notoatmodjo, 2012).

a. Media cetak

1) Booklet : untuk menyampaikan pesan dalam bentuk buku, baik tulisan

maupun gambar.

2) Leaflet : melalui lembar yang dilipat, isi pesan bisa gambar/tulisan

atau keduanya.

3) Flyer (selebaran) ; seperti leaflet tetapi tidak dalam bentuk lipatan.

4) Flip chart (lembar Balik) ; pesan/informasi kesehatan dalam bentuk

lembar balik. Biasanya dalam bentuk buku, dimana tiap lembar

(halaman) berisi gambar peragaan dan di baliknya berisi kalimat

sebagai pesan/informasi berkaitan dengan gambar tersebut.

5) Rubrik/tulisan-tulisan pada surat kabar atau majalah, mengenai

bahasan suatu masalah kesehatan, atau hal-hal yang berkaitan dengan

kesehatan.

41
6) Poster ialah bentuk media cetak berisi pesan-pesan/informasi

kesehatan, yang biasanya ditempel di tembok-tembok, di tempat-

tempat umum, atau di kendaraan umum.

7) Foto, yang mengungkapkan informasi-informasi kesehatan.

b. Media elektronik

1) Televisi: dapat dalam bentuk sinetron, sandiwara, forum diskusi/tanya

jawab, pidato/ceramah, TV, Spot, quiz, atau cerdas cermat, dll.

2) Radio: bisa dalam bentuk obrolan/tanya jawab, sandiwara radio,

ceramah, radio spot, dll.

3) Video Compact Disc (VCD)

4) Slide: slide juga dapat digunakan untuk menyampaikan

pesan/informasi kesehatan.

5) Film strip juga dapat digunakan untuk menyampaikan pesan

kesehatan.

6) Media papan (bill board).

Papan/bill board yang dipasang di tempat-tempat umum dapat

digunakan sebagai media informasi kesehatan berisikan pesan-pesan

atau informasi-informasi kesehatan

42

Anda mungkin juga menyukai