Anda di halaman 1dari 24

REFERAT

ILMU KESEHATAN JIWA


PSIKOTERAPI

Disusun oleh:
Amalia Maulida
1102015019

Pembimbing:
dr. Witri Narhadiningsih, Sp. KJ

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN JIWA


RUMAH SAKIT BHAYANGKARA TK. I RADEN SAID SUKANTO
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
PERIODE 13 MEI-22 JUNI 2019
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 PENDAHULUAN

Dalam perspektif bahasa, psikoterapi berasal dari kata psyche dan therapy. Kata
psyche berarti jiwa, sedangkan therapy yang berarti penyembuhan. Jika digabungkan
psikoterapi mempunyai arti penyembuhan jiwa. Psikoterapi merupakan salah satu
modalitas terapi yang terandalkan dalam tatalaksana pasien psikiatri disamping
psikofarmaka dan terapi fisik. Sebetulnya dalam kehidupan sehari-hari, prinsip-
prinsip dan beberapa kaidah yang ada dalam psikoterapi ternyata juga digunakan,
antara lain dalam konseling, pendidikan dan pengajaran, atau pun pemasaran.
Dalam praktek, psikoterapi dilakukan dengan percakapan dan observasi.
Percakapan dengan seseorang dapat mengubah pandangan, keyakinan serta
perilakunya secara mendalam, dan hal ini sering tidak kita sadari. Beberapa
contohnya, antara lain seorang penakut, dapat berubah menjadi berani, atau, dua
orang yang saling bermusuhan satu sama lain, kemudian dapat menjadi saling
bermaafan, atau, seseorang yang sedih dapat menjadi gembira setelah menjalani
percakapan dengan seseorang yang dipercayainya. Bila kita amati contoh-contoh itu,
akan timbul pertanyaan, apakah sebenarnya yang telah dilakukan terhadap mereka
sehingga dapat terjadi perubahan tersebut. Pada hakekatnya yang dilakukan ialah
pembujukan atau persuasi. Caranya dapat bermacam-macam, antara lain dengan
memberi nasehat, memberi contoh, memberikan pengertian, melakukan otoritas untuk
mengajarkan sesuatu, memacu imajinasi, melatih, dsb. Pembujukan ini dapat efektif
asal dilakukan pada saat yang tepat, dengan cara yang tepat, oleh orang yang
mempunyai cukup pengalaman. Pada prinsipnya pembujukan ini terjadi dalam
kehidupan sehari-hari, dalam berbagai bidang, dan dapat dilakukan oleh banyak
orang.
Dalam dunia kedokteran, komunikasi antara dokter dengan pasien merupakan
hal yang penting oleh karena percakapan atau pembicaraan merupakan hal yang selalu
terjadi diantara mereka. Komunikasi berlangsung dari saat perjumpaan pertama, yaitu
sewaktu diagnosis belum ditegakkan hingga saat akhir pemberian terapi. Apa pun
hasil pengobatan, berhasil atau pun tidak, dokter akan mengkomunikasikannya
dengan pasien atau keluarganya; hal itu pun dilakukan melalui pembicaraan. Dalam
keseluruhan proses tatalaksana pasien, hubungan dokter-pasien merupakan hal yang
penting dan sangat menentukan, dan untuk dapat membentuk dan membina hubungan
dokter-pasien tersebut, seorang dokter dapat mempelajarinya melalui prinsip-prinsip
psikoterapi.

1.2 TUJUAN PENULISAN


1. Agar pembaca dapat mengetahui dan memahami tentang definisi, tujuan,
klasifikasi serta penggunaan berbagai jenis psikoterapi.

2. Untuk memenuhi tugas referat di bagian kepaniteraan Ilmu Jiwa RS. Polri
Sukanto.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI
Psikoterapi adalah terapi atau pengobatan yang menggunakan cara-cara
psikologik, dilakukan oleh seseorang yang terlatih khusus, yang menjalin hubungan
kerjasama secara profesional dengan seorang pasien dengan tujuan untuk
menghilangkan, mengubah atau menghambat gejala-gejala dan penderitaan akibat
penyakit. Definisi yang lain yaitu psikoterapi adalah cara pengobatan dengan ilmu
kedokteran terhadap gangguan mental emosional dengan mengubah pola pikiran,
perasaan, dan perilaku agar terjadi keseimbangan dalam diri individu tersebut.1
Psikoterapi sering disalahartikan sebagai konseling, padahal keduanya
merupakan jenis intervensi yang berbeda, karena konseling merupakan proses dimana
pasien dapat mengeksplorasi diri yang berfokus pada masalah yang dimiliki pasien
yaitu dengan peningkatan kesadaran dapat memilih dan menyingkirkan hal-hal yang
bersifat negatif. Konseling berjangka waktu singkat serta hanya berfokus mengatasi
krisis yang dihadapi oleh pasien. Sedangkan psikoterapi memusatkan pada proses-
proses dalam diri pasien yang terjadi di dalam alam bawah sadar yang dapat
mengubah struktur kepribadian pasien. Psikoterapi lebih berusaha untuk meraih
pemahaman diri yang intensif tentang dinamika-dinamika yang bertanggung jawab
atas terjadinya krisis kehidupan klien.2

2.2 TUJUAN PSIKOTERAPI


1. Menguatkan daya tahan mental yang telah dimiliki atau membuat seseorang
merasa bahagia dan sejahtera.
2. Mengembangkan mekanisme daya tahan mental yang baru dan lebih baik
untuk mempertahankan fungsi pengontrolan diri, ataupun membuat seseorang
lebih mengenal dan mengerti tentang dirinya sendiri.
3. Meningkatkan kemampuan adaptasi terhadap lingkungannya.1

2.3 PRINSIP PRINSIP UMUM PSIKOTERAPI


Psikoterapi dilakukan dengan cara percakapan atau wawancara (interview).
Dalam suatu wawancara, tidak dapat dipisahkan antara sifat terapeutik dan penegakan
diagnosis. Biasanya, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan mengandung kedua aspek
tersebut, yaitu untuk mengoptimalkan hubungan interpersonal dengan pasien (sifat
terapeutik), dan untuk melengkapi data dalam usaha menegakkan diagnosis. Dalam
melakukan psikoterapi, wawancara harus lebih mengutamakan aspek terapeutiknya,
data yang diperlukan akan berangsur terkumpul dengan kian membaiknya hubungan
interpersonal yang terjalin antara dokter dengan pasiennya, sehingga berartinya suatu
wawancara tergantung dari sifat hubungan terapis dengan pasiennya tersebut. 3
Dalam melakukan wawancara, hendaknya kita juga melakukan observasi secara
menyeluruh dengan teliti. Sambil mengajukan pertanyaan, kita juga mengamati dan
turut serta (sebagai participant observer) dalam proses yang sedang berlangsung pada
saat dan situasi tersebut (“the here and now”). Yang kita amati yaitu : apa yang terjadi
pada pasien, apa yang terjadi pada pewawancara atau terapis sendiri, serta apa yang
terjadi di antara terapis dan pasiennya. Dalam berhadapan dengan pasien, dokter atau
terapis mempengaruhi pasien dengan sikap dan perkataannya, dari menit ke menit, saat
ke saat. Dalam hal ini, yang perlu diperhatikan sebetulnya bukan hanya apa yang kita
bicarakan, tetapi juga bagaimana cara kita melakukannya, kapan (saat atau waktu yang
tepat) kita mengungkapkan hal tertentu yang ingin kita sampaikan,dan bagaimana
hubungan antara si penolong (dokter atau terapis) dan yang ditolong (pasien) tersebut.
Hal-hal tersebut dapat membuat pasien menjadi lebih tenang atau sebaliknya menjadi
tegang, lebih terbuka atau tertutup, lebih percaya atau pun curiga, sehingga dapat
disimpulkan bahwa selalu ada pengaruh terapeutik maupun kontraterapeutik, dan tidak
pernah netral sama sekali, karena setiap orang mempunyai latar belakang kepribadian
dan pengalaman hidup yang berbeda-beda, yang mempengaruhi cara pandang, cara
berpikir dan menghayati segala sesuatu. 3
Hal yang sebaliknya juga perlu diingat, bahwa wawancara bukan hanya
menghasilkan pengaruh dokter atau terapis atas pasien, namun juga pengaruh pasien
terhadap dokternya. Sang dokter, sadar atau tidak, akan terpengaruh oleh sikap dan
perkataan pasien, yang akan tercermin dalam sikap, perasaan dan perilakunya sendiri.
Dipacu oleh sikap dan perilaku pasien terhadapnya (ditambah lagi dengan kehidupan
fantasinya sendiri), dokter atau terapis dapat menjadi tenang, tegang, santai, kuatir,
terbuka, tertutup, bosan, sedih, kesal, malu, terangsang, dll. Perasaan-perasaan
tersebut turut menentukan apa yang dikatakannya kepada pasien (atau tidak
dikatakannya) dan bagaimana ia mengatakannya. Untuk dapat mengatasi hal ini
seorang dokter atau terapis perlu belajar untuk memantau perasaan-perasaan reaktifnya
tersebut, agar ucapan-ucapan dan sikapnya terhadap pasien sedapat-dapatnya beralasan
profesional dan sedikit mungkin tercampur dengan unsur-unsur yang berasal dari
respons emosional subyektifnya sendiri. Agar tujuan terapeutik tercapai, hendaknya
senantiasa diusahakan agar dokter dapat menciptakan dan memelihara hubungan yang
optimal antara dokter dan pasien. Dalam mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada
pasien, senantiasa harus dipertimbangkan bilamana dan bagaimana kita akan
menanyakan hal tersebut. Bila konteksnya kurang tepat, misalnya : pasien justru dapat
merasa tersinggung atau dipermalukan oleh pertanyaan kita (nyata atau tidak nyata),
pasien mungkin akan menolak atau menyangkal, atau akan membuat-buat
jawabannya.3

2.4 TAHAP-TAHAP PSIKOTERAPI


1. Fase Awal:
Tujuannya membentuk hubungan kerja dengan pasien. Tugas Terapeutik :
1. Memotivasi pasien untuk menerima terapi,
2. Menjelaskan dan menjernihkan salah pengertian mengenai terapi
3. Meyakinkan pasien bahwa terapis mengerti penderitaannya dan bahwa
terapis mampu membantunya,
4. Menetapkan secara tentatif mengenai tujuan terapi.

Resistensi pada pasien dapat tampil dalam bentuk:


1. Tidak ada motivasi terapi dan tidak dapat menerima fakta bahwa ia
dapat dibantu,
2.Penolakan terhadap arti dan situasi terapi,
3. Tidak dapat dipengaruhi, terdapat hostilitas dan agresi, dependensi
yang mendalam, dan
4. Berbagai resistensi lain yang menghambat terjalinnya hubungan yang
sehat dan hangat.

Masalah kontratransferensi dalam diri terapis, antara lain:


1. Tidak mampu bersimpati, berkomunikasi dan saling mengerti secara
timbal balik,
2. Timbul iritabilitas terhadap penolakan pasien untuk terapi dan terhadap
terapis,
3. Tidak mampu memberi kehangatan kepada pasien, dan
4. Tidak dapat menunjukkan penerimaan dan pengertian terhadap pasien
dan masalahnya.

2. Fase Pertengahan:
Tujuannya: menentukan perkiraan sebab dan dinamik gangguan yang
dialami pasien, menerjemahkan tilikan dan pengertian (bila telah ada),
menentukan langkah korektif. Tugas terapeutik:
1.Mengeksplorasi berbagai frustrasi terhadap lingkungan dan hubungan
interpersonal yang menimbulkan ansietas. Bila melakukan psikoterapi
dinamik, gunakan asosiasi, analsisi karakter, analisis transferensi,
interpretasi mimpi. Pada terapi perilaku, kita menilai faktor-faktor yang
perlu diperkuat dan gejala-gejala yang perlu dihilangkan.
2. Membantu pasien dalam mengatasi ansietas yang berhubungan dengan
problem kehidupan.

Resistensi pada pasien dapat tampil dalam bentuk:


1. Rasa bersalah terhadap pernyataan dan pengakuan adanya gangguan
dan kesulitan dalam hubungan interpersonal dengan lingkungan,
2. Tidak mau, atau tidak mampu (bila ego lemah), menghadapi dan
mengatasi ansietas yang berhubungan dengan konflik, keinginan dan
ketakutan

Masalah kontratransferensi dalam diri terapis dapat berupa:


1.Terapis mengelak dari problem pasien yang menimbulkan ansietas
dalam diri terapis;
2. Ingin menyelidiki terlalu dalam dan cepat pada fase permulaan,
3. Merasa jengkel terhadap resistensi pasien.

3. Fase akhir:
Tujuannya yaitu: terminasi terapi. Tugas terapeutiknya antara lain:
1. Menganalisis elemen-elemen dependensi hubungan terapis – pasien;
2. Mendefinisikan kembali situasi terapi untuk mendorong pasien
membuat keputusan, menentukan nilai dan cita-cita sendiri.
3. Membantu pasien mencapai kemandirian dan ketegasan diri yang
setinggi-tingginya.

Resistensi pada pasien dapat berupa:


1. Penolakan untuk melepaskan dependensi;
2. Ketakutan untuk mandiri dan asertif
Masalah kontratransferensi pada terapis:
1. Kecenderungan untuk mendominasi dan terlalu melindungi pasien;
2. Tidak mampu mengambil sikap/peran yang non direktif sebagai terapis.

2.5 PENGGOLONGAN PSIKOTERAPI


a. Berdasarkan tujuan yang ingin dicapai
Wolberg menjelaskan terdapat tiga tingkatan psikoterapi berdasarkan tujuan yang
ingin dicapai, tiga tingkatan yaitu:
1. Tingkat Support (Memulihkan Keseimbangan Pasien)
Pada terapi suportif, psikoterapi bertujuan untuk memulihkan keseimbangan
pasien secara cepat dan menghilangkan masalah-masalah neurotik yang ada.
Terapi suportif dilakukan pada pasien yang sebenarnya memiliki penyesuaian diri
yang baik, namun memiliki masalah akibat tekanan lingkungan yang terlalu
berlebihan dan tidak mampu mengatasi kecemasan serta kurang memiliki
motivasi atau intelegensia. Terapi ini dapat memperkuat mekanisme defense dan
mekanisme pengendalian menjadi baru dan lebih baik sehingga menuju kearah
perbaikan pada keadaan keseimbangan yang lebih adaptif.
Cara atau pendekatan: bimbingan, reassurance, katarsis emosional, hipnosis,
desensitisasi, eksternalisasi minat, manipulasi lingkungan, terapi kelompok.

2. Tingkat Insight (Tujuan Reedukatif)


Terapi tingkatan insight dengan tujuan reedukatif untuk membantu pasien
mencapai insight. Menurut Gelso dkk (dalam Kivlighan dkk, 2000). Istilah
insight, menunjukkan derajat pemahaman pasien mengenai hal-hal yang digali
selama proses terapi, yang bisa berupa pemahaman mengenai hubungan di dalam
proses terapi, keberfungsian individu diluar terapi, atau aspek-aspek dinamika
dan perilaku pasien. Secara teoritis, insight dialami pasien diduga akan
meningkat selama proses psikoterapi dan gejala-gejala akan berkurang seiring
dengan peningkatan tersebut. Individu yang mencapai insight selama proses
terapi menunjukkan penurunan keluhan yang berkaitan dengan tekanan yang
dirasakan. Terapi diharapkan dapat mengubah pola perilaku dengan meniadakan
kebiasaan (habits) tertentu dan membentuk kebiasaan yang lebih
menguntungkan.
Cara atau pendekatan: Terapi perilaku, terapi kelompok, terapi keluarga,
psikodrama, dll.
3. Tingkat Insight Therapy (Tujuan Rekonstruktif)
Level ini bertujuan sebagai rekonstruktif. Level ini mengupayakan tercapainya
kesadaran atas konflik-konflik yang tidak disadari dan dengannya dengan
mekanisme pertahanan tertentu. Tujuan utamanya adalah merasakan emosional
yang berawal dari pemahaman total melalui rekonstruksi kepribadian.
Diharapkan dengan usaha mencapai perubahan luas struktur kepribadian
seseorang maka dapat diperoleh pemahaman total dan mencapai tilikan (insight)
akan konflik-konflik nirsadar.
Cara atau pendekatan: Psikoanalisis klasik dan Neo-Freudian (Adler, Jung,
Sullivan, Horney, Reich, Fromm, Kohut, dll.), psikoterapi berorientasi
psikoanalitik atau dinamik.
b. menurut “dalamnya“, psikoterapi terdiri atas:
1.Superfisial yaitu yang menyentuh hanya kondisi atau proses pada “permukaan”,
yang tidak menyentuh hal-hal yang nirsadar atau materi yang direpresi.
2. Mendalam (deep), yaitu yang menangani hal atau proses yang tersimpan dalam
alam nirsadar atau materi yang direpresi.
c. Menurut teknik yang terutama digunakan (teknik perubahan), antara lain:
psikoterapi ventilatif, sugestif, katarsis, ekspresif, operant conditioning,
modeling, asosiasi bebas, interpretatif, dll.
d. Konsep teoritis mengenai motivasi dan perilaku
- psikoterapi perilaku atau behavioral (kelainan mental-emosional dianggap
teratasi bila deviasi perilaku telah dikoreksi)
- psikoterapi kognitif (problem diatasi dengan mengkoreksi sambungan kognitif
automatis yang “keliru”)
- psikoterapi evokatif, analitik, dinamik (membawa ingatan, keinginan, dorongan,
ketakutan, dll. yang nirsadar ke dalam kesadaran).
Psikoterapi kognitif dan perilaku banyak bersandar pada teori belajar, sedangkan
psikoterapi dinamik berdasar pada konsep-konsep psikoanalitik Freud dan pasca-
Freud.
e. Menurut setting anggota terapi: psikoterapi terdiri atas psikoterapi individual
dan kelompok (terdiri atas terapi marital/pasangan, terapi keluarga, kelompok).
- Terapi marital atau pasangan diindikasikan bila ada problem di antara pasangan,
misalnya komunikasi, persepsi,dll.
- Terapi keluarga, dilakukan bila struktur dan fungsi dalam suatu keluarga tidak
berjalan sebagaimana mestinya. Bila salah satu anggota keluarga mengalami
gangguan jiwa, akan mempengaruhi keadaan dan interaksi dalam keluarga dan
sebaliknya, keadaan keluarga akan mempengaruhi gangguan serta prognosis
pasien. Untuk itu seluruh anggota keluarga diwajibkan hadir pada setiap sesi
terapi.
- Terapi kelompok, dilakukan terhadap sekelompok pasien (misalnya enam atau
delapan orang), oleh satu atau dua orang terapis. Metode dan caranya bervariasi;
ada yang suportif dan bersifat edukasi, ada yang interpretatif dan analitik.
Kelompok ini dapat terdiri atas pasien-pasien dengan gangguan yang berbeda,
atau dengan problem yang sama, misalnya gangguan makan, penyalahgunaan zat,
dll. Diharapkan mereka dapat saling memberikan dukungan dan harapan serta
dapat belajar tentang cara baru mengatasi problem yang dihadapi.
f. Teknik tambahan khusus yang digabung dengan psikoterapi, misalnya
narkoterapi, hypnoterapi, terapi musik, psikodrama, terapi permainan dan
peragaan (play therapy), psikoterapi religius, dan latihan meditasi.

2.6 JENIS JENIS PSIKOTERAPI


Menurut konsep teoretis tentang motivasi dan perilaku, psikoterapi dapat
dibedakan menjadi: psikoterapi perilaku atau behavioral (kelainan mental-emosional
dianggap teratasi bila deviasi perilaku telah dikoreksi), psikoterapi kognitif,
psikoterapi analitik, dinamik,intrapersonal,dan humanistik . Psikoterapi kognitif dan
perilaku banyak bersandar pada teori belajar, sedangkan psikoterapi dinamik berdasar
pada konsep-konsep psikoanalitik Freud dan pasca-Freud.

1. Psikoterapi suportif
Psikoterapi suportif (juga disebut psikoterapi berorientasi hubungan) ini
memiliki tujuan untuk memulihkan dan memperkuat pertahanan pasien dan
mengintegrasikan kapasitas yang telah terganggu. Cara ini memberikan suatu periode
penerimaan dan ketergantungan bagi pasien yang membutuhkan bantuan untuk
menghadapi rasa bersalah, malu dan kecemasan dan dalam menghadapi frustasi atau
tekanan eksternal yang mungkin terlalu kuat untuk dihadapi.
Terapi suportif menggunakan sejumlah metoda, baik sendiri-sendiri atau kombinasi,
termasuk:
 Kepemimpinan yang kuat, hangat, dan ramah
 Pemuasan kebutuhan tergantungan
 Mendukung perkembangan kemandirian yang sah pada akhirnya
 Membantu mengembangkan sublimasi yang menyenangkan
(sebagai contohnya, hobi)
 Istirahat dan penghiburan yang adekuat
 Menghilangkan ketegangan eksternal yang berlebihan.
 Perawatan di rumah sakit jika diindikasikan
 Medikasi untuk menghilangkan gejala
 Bimbingan dan nasehat dalam menghadapi masalah sekarang. Cara
ini rnenggunakan teknik yang membantu pasien merasa aman,
diterima, terlindungi, terdorong dan tidak merasa cemas.

Psikoterapi suportif cocok untuk berbagai penyakit psikogenik. Terapi ini


dapat dipilih jika penilaian diagnostik menyatakan bahwa proses kematangan
yang bertahap didasarkan pada perluasan sasaran baru untuk identifikasi, adalah
jalan yang paling menjanjikan untuk perbaikan.
Semua dokter kiranya harus dapat melakukan psikoterapi suportif jenis :
katarsis, persusi, sugesti, penjaminan kembali, bimbingan dan penyuluhan
(konseling). Oleh karena itu, hal ini akan dibicarakan secara singkat di bawah ini.
1. Ventilasi atau katarsis ialah membiarkan pasien mengeluarkan isi hati
sesukanya. Sesudahnya biasanya ia merasa lega dan kecemasannya
(tentang penyakitnya) berkurang, karena ia lalu dapat melihat masalahnya
dalam proporsi yang sebenarnya. Hal ini dibantu oleh dokter dengan sikap
yang penuh pengertian (empati) dan dengan anjuran. Jangan terlalu banyak
memotong bicaranya (menginterupsi). Yang dibicarakan ialah
kekhawatiran, impuls-impuls, kecemasan, masalah keluarga, perasaan
salah atau berdosa.
2. Persuasi ialah menerangkan secara masuk akal tentang gejala-gejala
penyakitnya yang timbul akibat cara berpikir, perasaan, dan sikapnya
terhadap masalah yang dihadapinya. Kritik diri sendiri oleh pasien penting
untuk dilakukan. Dengan demikian maka impuls-impuls yang tertentu
dibangkitkan, diubah atau diperkuat dan impuls-impuls yang lain
dihilangkan atau dikurangi, serta pasien dibebaskan dari impuls-impuls
yang sangat menganggu. Pasien pelan-pelan menjadi yakin bahwa gejala-
gejalanya akan hilang. Hal ini dibantu dokter dengan sikap membangun,
mengubah dan menguatkan impuls tertentu serta membebaskan dari
impuls yang menggangu secara masuk akal dan sesuai hati nurani.
Berusaha meyakinkan pasien dengan alasan yang masuk akal bahwa
gejalanya akan hilang.
3. Sugesti ialah secara halus dan tidak langsung menanamkan pikiran pada
pasien atau membangkitkan kepercayaan padanya bahwa gejala-gejala
akan hilang. Dokter sendiri harus mempunyai sikap yang meyakinkan dan
otoritas profesional serta menunjukkan empati. Pasien percaya pada dokter
sehingga kritiknya berkurang dan emosinya terpengaruh serta perhatiannya
menjadi sempit. Ia mengharap-harapkan sesuatu dan ia mulai percaya. Bila
tidak terdapat gangguan kepribadian yang mendalam, maka sugesti akan
efektif, umpamanya pada reaksi konversi yang baru dan dengan konflik
yang dangkal atau pada neurosa cemas sesudah kecelakaan.
Sugesti dengan aliran listrik (faradisasi) atau dengan masasi kadang-
kadang juga menolong, tetapi perbaikan itu cenderung untuk tidak
menjadi tetap, karena pasien menganggap pengobatan itu datang dari luar
dirinya. Jadi sugesti harus diikuti dengan reeduksi. Anak-anak dan orang
dengan inteligensi yang sedikit kurang serta pasien yang berkepribadian
tak matang atau histerik lebih mudah disugesti. Jangan memaksa-maksa
pasien dan jangan memberikan kesan bahwa dokter menganggap ia
membesar-besarkan gejalanya. Jangan menganggu rasa harga diri pasien.
Pasien harus percaya bahwa gejala-gejalanya akan hilang dan bahwa tidak
terdapat kerusakan organik sebagai penyebab gejala-gejala itu. Ia harus
diyakinkan bahwa bila gejala-gejala itu hilang, hal itu terjadi karena ia
sendiri mengenal maksud gejala-gejala itu dan bahwa timbulnya gejala itu
tidak logis.
4. Penjaminan kembali atau reassurance dilakukan melalui komentar yang
halus atau sambil lalu dan pertanyaan yang hati-hati, bahwa pasien mampu
berfungsi secara adekuat (cukup, memadai). Dapat juga diberi secara tegas
berdasarkan kenyataan atau dengan menekankan pada apa yang telah
dicapai oleh pasien. 2
5. Bimbingan ialah memberi nasehat-nasehat yang praktis dan khusus
(spesifik) yang berhubungan dengan masalah kesehatan (jiwa) pasien agar
ia lebih sanggup mengatasinya, umpamanya tentang cara mengadakan
hubungan antar manusia, cara berkomunikasi, bekerja dan belajar, dan
sebagainya.
6. Penyuluhan atau konseling (counseling) ialah suatu bentuk wawancara
untuk membantu pasien mengerti dirinya sendiri lebih baik, agar ia dapat
mengatasi suatu masalah lingkungan atau dapat menyesuaikan diri.
Konseling biasanya dilakukan sekitar masalah pendidikan, pekerjaan,
pernikahan dan pribadi.
7. Kerja kasus sosial (social casework) secara tradisional didefinisikan
sebagai suatu proses bantuan oleh seorang yang terlatih (pekerja sosial
atau social worker) kepada seorang pasien yang memerlukan satu atau
lebih pelayanan sosial khusus. Fokusnya ialah pada masalah luar atau
keadaan sosial dan tidak (seperti pada psikoterapi) pada gangguan dalam
individu itu sendiri. Tidak diadakan usaha untuk mengubah pola dasar
kepribadian, tujuannya ialah hanya hendak menangani masalah situasi
pada tingkat realistik (nyata).
8. Terapi kerja dapat berupa sekedar memberi kesibukan kepada pasien,
ataupun berupa latihan kerja tertentu agar ia terampil dalam hal itu dan
berguna baginya untuk mencari nafkah kelak.
b. Beberapa contoh penerapan
- Gangguan psikotik
Sikap terapis : berusaha menjadi orang yang dapat dipercaya pasien,
misalnya dengan bicara penuh keakraban, ingat akan hari ulang tahunnya,
makanan kesukaannya dan kesenangannya yang lain, serta penuh
pengertian lainnya.
Pelaksanaan terapi :
o Terapi ventilasi bila pasien mengalami banyak keluhan yang realistik,
seperti makanan yang tidak enak, tidak diberi uang jajan, dilarang
keluar rumah dan tidak boleh sering mandi.
o Memberikan terapi reassurance bila pasien meragukan masa depannya
setelah sembuh nanti
o Memberikan bimbingan dan penyuluhan sehingga pasien lebih dapat
menyesuaikan diri dengan lingkungan setelah sembuh nanti
- Gangguan somatisasi
Sikap terapis : dapat menerima keluhan fisik pasien dan tidak langsung
menentangnya, tetapi terapis tidak melakukan eksplorasi keluhan fisik terlalu
jauh.

Pelaksanaan terapi :
o Memberikan bimbingan agar pasien dapat menghadapi gejala-
gejalanya.
o Terapi ventilasi agar pasien dapat mengemukakan semua perasaannya
yang menjadi latar belakang gejala fisik tersebut.
o Terapi penyuluhan agar pasien dapat menemukan strategi alternative
dalam mengekspresikan perasaannya.
- Gangguan penyesuaian
Sikap terapis : terapis memberikan perhatian, empati, dan memahami pasien
secara berhati-hati agar tidak timbul keuntungan sekunder dalam proses
psikoterapi tersebut.
Pelaksanaan terapi :
o Terapi ventilasi agar pasien dapat mengemukakan semua keluhan
cemas dan depresinya.
o Bimbingan agar pasien dapat menghadapi gejalanya.
o Memberikan penyuluhan agar pasien dapat mengatasi permasalahan
yang mungin akan dihadapinya lagi.

1. Psikodinamik (psikoanalitik) psikoterapi adalah di mana seorang terapis


psikoanalisis akan mendorong klien untuk mengatakan apa pun yang terjadi
melalui pikirannya. Hal Ini akan membantu klien untuk menyadari makna
tersembunyi atau pola dalam apa yang klien lakukan atau katakan yang
mungkin berkontribusi terhadap masalahnya. Klien akan diberikan waktu
untuk berpikir dan berbicara tentang perasaannya tentang diri sendiri dan
orang lain (terutama keluarga dan orang-orang terdekat). Biasanya klien akan
membahas apa yang terjadi dalam hidup klien saat ini, apa yang telah terjadi
di masa lalu, bagaimana masa lalu dapat mempengaruhi bagaimana Anda
merasa, berpikir dan berperilaku sekarang.
Pada psikoterapi psikoanalitik pasien dan ahli terapi biasanya saling
bertatap-tatapan satu sama lainnya, yang membuat ahli terapi terlihat nyata
dan bukan merupakan kumpulan khayalan yang diproyeksikan. Tipe terapi ini
jauh lebih fleksibel dibandingkan psikoanalisis, dan dapat lebih sering
digunakan bersarna-sama dengan medikasi psikotropik dibandingkan
psikoanalisis.5
Psikoterapi psikoanalitik dapat terentang dari wawancara suportif
tunggal, memusatkan pada masalah yang sekarang dan menekan, sampai
terapi selama bertahun-tahun, dengan satu sampai tiga wawancara dalam
seminggu dengan lama yang bervariasi. Berbeda dengan psikoanalisis,
psikoterapi psikoanalitik mengobati sebagian besar gangguan yang dalam
bidang psikopatologi.5

2. Psikoanalisis
Tujuan utama psikoanalitik adalah membentuk kembali struktur karakter
individual dengan jalan membuat kesadaran yang tak disadari di dalam diri
klien. Proses terapeutik difokuskan pada upaya mengalami kembali
pengalaman kanak-kanak. Pengalaman-pengalaman masa lampau
direkonstruksi, dibahas, dianalisis, dan ditafsirkan dengan sasaran
merekonstruksi kepribadian. Terapi psikoanalitik menekankan dimensi afektif
dari upaya menjadikan ketaksadaran diketahui. Pemahaman dan pengertian
intelektual memiliki arti penting, tetapi perasaan-perasaan dan ingatan-ingatan
yang berkaitan dengan pemahaman siri lebih penting lagi.4
Indikasi utama psikoanalisis adalah konflik psikologis yang
berlangsung lama yang telah menimbulkan gejala atau gangguan yang
signifikan sehingga pasien termotivasi secara waktu dan finansial untuk
menjalani terapi. Sebelum menjalani terapi pasien harus mengerti bahwa terapi
yang akan dijalani adalah suatu proses agar pasien lebih memahami. Pasien
juga harus mempunyai pengertian bahwa terapi ini bertujuan agar mereka
lebih mengerti diri mereka sendiri sehingga proses terapi ini bukan merupakan
suatu usaha yang terburu-buru untuk mencapai kesembuhan.
Hubungan antara konflik dan gejala mungkin langsung atau tidak
langsung. Psikoanalisis dianggap efektif dalam mengobati gangguan
kecemasan tertentu, seperti fobia dan gangguan obsesif-kompulsif, gangguan
depresif ringan (gangguan distimik), beberapa gangguan kepribadian, dan
beberapa gangguan pengendalian impuls dan gangguan seksual. Tetapi, lebih
penting dari diagnosis adalah kemampuan pasien untuk membentuk
persetujuan analitik dan mempertahankan komitmen terhadap proses analitik
yang semakin dalam yang membawa perubahan internal melalui peningkatkan
kesadaran terhadap diri sendiri. Freud percaya bahwa pasien juga mampu
membentuk perlekatan transferensi yang kuat kepada ahli analisis (dinamakan
neurosis transferensi), tanpanya analisis tidak dimungkinkan. Hal tersebut
mengecualikan sebagian besar pasien psikotik karena kesulitan mereka dalam
membentuk ikatan afektif dan realistik yang penting untuk perkembangan dan
resolusi neurosis transferensi. Ego pasien dalam analisis harus mampu
mentoleransi frustrasi tanpa berespon dengan suatu bentuk penentangan
(acting out) yang serius atau pindah dan satu pola patologis ke pola lain. Hal
tersebut mengecualikan sebagian besar pasien ketergantungan obat, yang
dianggap tidak mampu karena ego mereka tidak mampu menoleransi frustrasi
dan kebutuhan emosional dan psikoanalisis.5
Analisis terutama berurusan dengan usaha membantu klien dalam
mencapai kesadaran diri, kejujuran keefektifan dalam melakukan hubungan
personal, dalam menangani kecemasan secara realistis serta dalam
memperoleh kendali atas tingkah laku yang impulsive dan interpersonal.4
Lingkungan analisis yang biasanya adalah pasien berbaring pada dipan atau
sofa dan ahli analisis duduk di sebelahnya, sebagian atau sama sekali di luar
lapangan pandang pasien. Dipan membantu ahli analisis menimbulkan regresi
terkendali yang mempermudah timbulnya material yang rerepresi. Posisi
pasien yang berbaring dengan kehadiran ahli analisis yang penuh perhatian,
pada saat berbaring klien melaporkan perasaan-perasaan, pengalaman-
pengalaman, asosiasi-asosiasi, ingatan-ingatan dan fantasi-fantasinya. Posisi
juga membantu pasien memusatkan perhatian pada pikiran, perasaan, dan
khayalan dalam, yang selanjutnya dapat menjadi pusat asosiasi bebas. 5

Kontraindikasi Terapi
Berbagai kontraindikasi untuk psikoanalisis adalah relatif, tetapi masing-
masingnya harus dipertimbangkan sebelum melakukan terapi.
 Usia. Biasanya, banyak ahli analisis percaya bahwa sebagian besar
orang dewasa yang berusia di atas 40 tahun tidak memiliki fleksibilitas
yang cukup untuk perubahan. Tetapi yang lebih penting dari usia
adalah kapasitas pasien individual untuk introspeksi secara bijaksana
dan keinginan untuk berubah. Calon ideal adalah biasanya dewasa
muda, anak – anak tidak mampu mengikuti aturan asosiasi bebas.
 Pasien juga harus cukup cerdas untuk mengerti prosedur dan untuk
bekerja sama dalam proses.
 Klinisi dan peneliti percaya bahwa pasien dengan gangguan
kepribadian anti sosial adalah prediktor paling negatif dari respon
psikoterapi.
 Pada pasien dengan keterbatasan waktu dapat dipertimbangkan terapi
lain.
 Psikoanalisis pada pasien psikotik tidak disarankan karena pasien-
pasien psikotik sulit membentuk ikatan afektif dan realistik yang
penting dalam transferensi. Selain pada pasien psikotik, pasien dengan
ketergantungan obat juga sulit dilakukan karena mereka dianggap tidak
mampu menoleransi frustasi dan kebutuhan emosional dari
psikoanalisis.
 Analisis dengan sifat hubungan teman, saudara dan kenalan di
kontraindikasikan karena mengganggu transferensi dan objektifitas
ahli analisis.

3. Terapi perilaku kognitif (Cognitive Behavior Therapy)


Suatu bentuk psikoterapi dengan cara membantu klien dalam
mengatasi masalah yaitu dengan mengubah cara klien berperilaku. Sebagai
contoh, klien mungkin perlu untuk mengatasi rasa takut, atau fobia. Terapis
akan membantu klien secara bertahap, dengan menggunakan lebih banyak
waktu untuk situasi yang sedang klien rasakan, seperti rasa takut, penggunaan
waktu yang lebih lama akan membantu klien merasa lebih nyaman dan santai
dalam terapi ini.
Terapi kognitif adalah terapi terstruktur jangka pendek yang
menggunakan kerjasama aktif antara pasien dan ahli terapi untuk mencapai
tujuan terapetik. Terapi ini berorientasi terhadap masalah sekarang dan
pemecahannya. Terapi biasanya dilakukan atas dasar individual, walaupun
metoda kelompok juga digunakan. Terapi juga dapat digunakan bersama-sama
dengan obat.
Terapi kognitif telah diterapkan terutama untuk gangguan depresif
(dengan atau tanpa gagasan bunuh diri) tetapi, terapi ini juga telah digunakan
pada kondisi lain, seperti gangguan panik, gangguan obsesif-kompulsif, dan
gangguan kepribadian paranoid, dan gangguan somatoform. Terapi depresi
dapat berperan sebagai paradigma pendekatan kognitif.5

Sesi inisial dalam CBT biasanya ditujukan untuk membangun relasi


dengan klien, menggali informasi penting, dan mengidentifikasi keluhan yang
muncul. Dalam membangun relasi dengan klien, terapis dapat mengawali
dengan menanyakan perasaan dan pemikiran klien mengenai harapan klien
dari terapi. Selain itu, terapis juga dapat menjelaskan mengenai hubungan
antara kognisi dan afek dari sudut pandang CBT. Terapis juga mulai dapat
membiasakan klien terhadap CBT dan membangun hubungan yang kolaboratif
serta meluruskan konsepsi yang salah mengenai terapi. Pada awal sesi, klien
sudah harus dijelaskan bahwa tujuan utama terapi adalah untuk membuat klien
belajar menjadi terapis bagi dirinya sendiri.
Informasi yang seharusnya dapat digali oleh terapis pada sesi-sesi awal
adalah diagnosis, pengalaman masa lalu, situasi hidup saat ini, masalah
psikologis yang ada, sikap terhadap treatment, dan motivasi untuk mengikuti
treatment. Pada sesi pertama, terapis juga dapat mulai mendefinisikan masalah
dan membantu klien melakukan symptom relief. Identifikasi masalah dan
pengumpulan informasi mengenai latar belakang munculnya masalah dapat
dilakukan dalam beberapa sesi. Walaupun demikian, pada sesi pertama terapis
harus dapat fokus dalam mengidentifikasi masalah secara spesifik dan
menyediakan kelegaan yang cepat bagi klien.
Dalam identifikasi masalah, terapis menganalisa dari dua aspek yaitu
aspek fungsional dan aspek kognitif. Analisa fungsional bertujuan untuk
mengidentifikasi elemen masalah seperti manifestasi dari masalah, situasi
dimana masalah itu biasanya muncul, frekuensi, intensitas, dan durasi
kemunculan masalah, serta konsekuensi dari masalah. Analisa kognitif sendiri
bertujuan untuk mengidentifikasi pemikiran dan visualisasi yang muncul saat
adanya pencetus emosional. Hal in juga mencakup identifikasi sejauh apa
seseorang merasa dapat mengontrol pemikiran dan visualisasi tersebut,
visualisasi mengenai apa yang akan terjadi saat berada dalam situasi yang
menimbulkan distres, dan kemungkinan munculnya hal yang divisualisasikan
tersebut dalam kejadian nyata.
Pada sesi awal, terapis juga membuat problem list yang mencakup
simptom spesifik, perilaku, dan masalah yang menetap. Daftar ini kemudian
dibuat prioritasnya sebagai target intervensi. Problem list dibuat secara
eksplisit untuk melihat apa yang ingin dicapai dalam treatment. Penentuan
prioritas didasarkan pada besarnya distres yang dialami, kemungkinan
kemajuan yang terjadi, keparahan simptom, dan topik ataupun tema yang terus
menerus muncul. Selain hal di atas, pada sesi pertama terapis juga sudah mulai
dapat memberikan tugas rumah kepada klien. Tugas rumah pada sesi awal
biasanya diarahkan untuk mengenali hubungan antara pemikiran, perasaan,
dan perilaku.
Pada sesi pertengahan, penekanan terapi bergeser dari simptom yang
dialami pasien kepada pola berpikir pasien. Koneksi antara pemikiran, emosi,
dan perilaku didemonstrasikan melalui pemeriksaan automatic thoughts. Saat
klien dapat menantang pemikiran maladaptif, klien mulai dapat
mempertimbangkan asumsi dasar yang memunculkan pemikiran tersebut.
Seringkali asumsi dasar tersebut tidak disadari oleh klien dan didapat setelah
klien melihat tema dari automatic thoughts yang dimilikinya. Setelah asumsi
dasar ini dikenali, terapi bertujuan untuk memodifikasi asumsi tersebut dengan
mempertimbangkan validitas, sifat adaptif, dan fungsinya bagi klien. Pada
sesi-sesi selanjutnya, klien diberikan tanggung jawab lebih untuk
mengidentifikasi masalah serta solusi dan menciptakan tugas rumah. Peran
terapis berubah menjadi penasihat dan bukan guru saat klien sudah mulai
dapat menggunakan teknikteknik yang ada untuk menyelesaikan maslaah.
Frekuensi pertemuan dapat dikurangi apabila klien menjadi lebih mampu
dalam menyelesaikan masalah.
Terapi diterminasi saat tujuan sudah dicapai dan klien merasa dapat
mempraktikkan perspektif dan kemampuan baru mereka secara mandiri. Saat
mendekati terminasi, klien dapat diingatkan bahwa kemunduran itu sesuatu
yang normal dan seharusnya dapat diatasi karena kemunduran sebelumnya
juga dapat diatasi. Terapis dapat meminta kepada klien untuk mendeksripsikan
bagimana masalah sebelumnya diatasi selama treatment. Terapis juga dapat
menggunakan cognitive rehearsal untuk memabntu klien memperkirakan
kesulitan yang mungkin akan ditemuinya dan bagaimana mereka akan
mengatasi kesulitan tersebut.

4. Terapi kognitif analitis adalah suatu bentuk pengobatan di mana seorang


terapis membantu pasien untuk memahami hal-hal yang tidak beres di masa
lalunya dan mengeksplorasi bagaimana untuk memastikan bahwa mereka
tidak bersalah pada waktu yang akan datang.

Trias kognitif dan depresi terdiri atas

 Persepsi diri yang negatif yang melihat seseorang sebagai tidak mampu,
tidak adekuat, kekurangan, tidak berguna, dan tidak diharapkan
 Memiliki kecenderungan untuk merasakan dunia sebagai tempat yang
negatif, menuntut, mengalahkan diri sendiri serta mengharapkan
kegagalan dan hukuman
 Memiliki dugaan bahwa kesulitan, penderitaan, kekurangan, dan
kegagalan akan terus menerus terjadi.

Tujuan terapi adalah untuk menghilangkan depresi dan mencegah


rekurensinya dengan membantu pasien:

 Mengidentifikasi dan menguji kognisi negatif


 Mengembangkan skema alternatif dan lebih fleksibel
 Mengulangi respon kognitif yang baru dan respon perilaku yang baru.
Tujuannya adalah untuk mengubah cara seseorang berpikir dan
selanjutnya untuk memperbaiki gangguan depresif.
5. Terapi interpersonal
Terapi ini merupakan terapi jangka pendek spesifik yang biasa digunakan
pada gangguan depresi. Jangka waktu terapi yaitu selama 3-4 bulan yang
terdiri dari sesi selama 45-50 menit setiap minggu. Dikatakan bahwa penyebab
depresi sekaligus metode penyembuhannya adalah perilaku interpersonal,
sehingga pasien diajak untuk melihat secara realistis bagaimana interaksi
mereka dengan orang lain. Hal ini dilakukan agar mereka dapat menyadari
bahwa tindakan diri sendiri dengan mengisolasi diri adalah hal yang
menyebabkan dan memperberat kondisi depresi. Dengan nasihat yang
diberikan selama terapi maka terapis dapat membantu pasien untuk
memperjelas area konflik serta membantu dalam mengambil keputusan. Di
sini sangat diperlukan sikap yang penuh empati, fleksibel dan suportif dari
terapis.

6. Terapi humanistik adalah suatu bentuk psikoterapi yang berfokus untuk


mengenali kemampuan manusia dalam bidang-bidang seperti kreativitas,
pertumbuhan pribadi, dan pilihan. Tujuan utamanya adalah untuk mencari
tahu bagaimana individu memandang diri mereka sendiri dan untuk mengenali
pertumbuhan, pengarahan diri sendiri, dan tanggung jawab. Metode ini
membantu klien dalam upaya untuk mengenali kekuatan mereka dengan
pengalaman dan pemahaman.
BAB III
KESIMPULAN

Dasar-dasar psikoterapi telah diuraikan secara singkat dan terbatas, yaitu


merupakan suatu cara pengobatan terhadap masalah emosional seorang pasien yang
dilakukan oleh seorang yang terlatih dalam hubungan professional secara sukarela,
dengan maksud menghilangkan, mengubah atau menghambat gejala – gejala yang
ada, mengoreksi prilaku yang terganggu dan mengembangkan pertumbuhan
kepribadian secara positif.
Psikoterapi merupakan ilmu dan ketrampilan tersendiri yang bermanfaat untuk
pasien-pasien dengan problem kejiwaan khususnya dan problem kesehatan pada
umumnya. Ilmu dan ketrampilan ini dapat diajarkan dan dipelajari namun
memerlukan waktu yang tidak sedikit, ketekunan serta kepribadian terapis juga
merupakan faktor terpenting dalam keberhasilan terapi.
Dalam melakukan wawancara dengan pasien dalam praktek sehari-hari,
beberapa hal yang perlu diingat antara lain bahwa wawancara mengandung makna
terapeutik selain untuk pengambilan data dalam upaya penegakan diagnosis.
Komunikasi antara dokter-pasien sangatlah penting. Ketika berhadapan dengan
pasien, kita harus senantiasa membina hubungan interpersonal dengan optimal,
mengerti dan sadar apa yang kita bicarakan, bagaimana cara penyampaiannya,
bilamana, serta dalam konteks apa kita menyampaikan pernyataan atau pertanyaan-
pertanyaan kita yang tentunya harus bersifat profesional dan tidak terkait dari respon
emosional yang subyektif.
Di sini hubungan perasaan dokter - pasien bersifat empati (simpati netral),
tanpa perasaan sentimental atau simpati berlebihan. Maka penting seorang dokter
memiliki kemampuan dalam memberikan empati, yaitu dengan merasakan dengan
penuh pengertian emosi dan pengertian perilaku orang lain. Hal ini harus terlihat dari
segala gerak – gerak, ucapan – ucapan dan ajuk (mimik) dari seorang dokter.
Ketrampilan yang perlu dilatih terus-menerus ialah dalam mendengarkan
dengan cermat (empathic listening), disertai observasi yang cermat, serta didasari oleh
pengetahuan yang memadai tentang psikologi, psikopatologi dan proses-proses
kejiwaan, kita akan mendapat gambaran yang tepat dan menyeluruh tentang pasien.
Setelah wawancara, hendaknya kita dapat membuat konklusi tentang keadaan
mental pasien seberapa cemas, apakah ia dalam keadaan depresi, bingung (confuse),
marah, atau bahkan tidak mengerti harus berbuat apa}; setelah itu tentunya kita harus
mengetahui langkah apa yang harus kita perbuat untuk menolongnya.
TINJAUAN PUSTAKA

1. Mansjoer, Arif, et al. Kapita selekta kedokteran. Media Aesculapius. 2001


2. Kaplan, Sadock’s ; Psikoterapi, Sinopsis Psikiatri, Edisi Ketujuh, Jilid 2, hal
383 – 442.
3. Elvira, Sylvia D. 2017. Buku Ajar Psikiatri. Badan Penerbit FKUI: Jakarta
4. Tomb, David A: Buku Saku Psikiatri, ed-6, EGC, 2004
5. Kaplan, Sadock’s ; Psikoterapi, Sinopsis Psikiatri, Edisi Ketujuh, Jilid 2, hal
383 – 442.

Anda mungkin juga menyukai