Anda di halaman 1dari 33

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Meningitis
Meningitis adalah inflamasi pada meninges yang melapisi otak dan
medula spinalis. Hal ini paling sering disebabkan oleh infeksi (bakteri,
virus, atau jamur) tetapi dapat juga terjadi karena iritasi kimia, perdarahan
subarachnoid, kanker atau kondisi lainnya.5
Definisi lain menyebutkan meningitis adalah sindrom klinis yang ditandai
dengan peradangan pada meninges, yaitu lapisan membran yang melapisi
otak dan sumsum tulang belakang. Membran yang melapisi otak dan
sumsum belakang ini terdiri dari tiga lapisan yaitu:2
1. Dura mater, merupakan lapisan terluar dan keras.
2. Arachnoid, merupakan lapisan tengah membentuk trabekula yang
mirip sarang laba-laba.
3. Pia mater, merupakan lapisan meninges yang melekat erat pada otak
yang mengikuti alur otak membentuk gyrus & sulcus.

Gabungan antara lapisan arachnoid dan pia mater disebut leptomeninges.


Ruang-ruang potensial pada meninges dilewati oleh banyak pembuluh
darah yang berperan penting dalam penyebaran infeksi pada meninges.

B. Faktor Resiko
Faktor resiko terjadinya meningitis :2
1. Usia, biasanya pada usia < 5 tahun dan > 60 tahun
2. Imunosupresi atau penurunan kekebalan tubuh
3. Diabetes melitus, insufisiensi renal atau kelenjar adrenal
4. Infeksi HIV
5. Anemia sel sabit dan splenektomi
6. Alkoholisme, sirosis hepatis
7. Talasemia mayor
8. Riwayat kontak yang baru terjadi dengan pasien meningitis
9. Defek dural baik karena trauma, kongenital maupun operasi
10. Ventriculoperitoneal shunt

C. Etiologi dan Klasifikasi Meningitis


Meningitis dibagi menjadi dua golongan berdasarkan perubahan yang
terjadi pada cairan otak yaitu meningitis serosa dan meningitis purulenta.
Meningitis serosa ditandai dengan jumlah sel dan protein yang meninggi
disertai cairan serebrospinal yang jernih. Penyebab yang paling sering

1
dijumpai adalah kuman Tuberculosis dan virus. Meningitis purulenta atau
meningitis bakteri adalah meningitis yang bersifat akut dan menghasilkan
eksudat berupa pus serta bukan disebabkan oleh bakteri spesifik maupun
virus. Meningitis Meningococcus merupakan meningitis purulenta yang
6
paling sering terjadi.

Klasifikasi meningitis berdasarkan etiologi menurut jenis kuman


mencakup sekaligus kausa meningitis, yaitu :1

1. Meningtis virus
2. Meningitis bakteri
3. Meningitis spiroketa
4. Meningitis fungus
5. Meningitis protozoa dan
6. Meningitis metazoa

Meningitis yang disebabkan oleh bakteri berakibat lebih fatal


dibandingkan meningitis penyebab lain karena mekanisme kerusakan
dan gangguan otak yang disebabkan oleh bakteri maupun produk bakteri
lebih berat.7 Agen infeksi meningitis purulenta mempunyai
kecenderungan pada golongan umur tertentu, yaitu golongan neonatus
paling banyak disebabkan oleh Escherichia Coli, Streptococcus beta
haemolyticus dan Listeria monocytogenes. Golongan umur dibawah 5
tahun (balita) disebabkan oleh H.influenzae, Meningococcus dan
Pneumococcus. Golongan umur 5-20 tahun disebabkan oleh
Haemophilus influenzae, Neisseria meningitidis dan Streptococcus
Pneumococcus, dan pada usia dewasa (>20 tahun) disebabkan oleh
Meningococcus, Pneumococcus, Staphylocccus, Streptococcus dan
Listeria. Penyebab meningitis serosa yang paling banyak ditemukan
adalah kuman Tuberculosis dan virus.7 Meningitis yang disebabkan
oleh virus mempunyai prognosis yang lebih baik, cenderung jinak dan
bisa sembuh sendiri. Penyebab meningitis virus yang paling sering
ditemukan yaitu Mumpsvirus, Echovirus, dan Coxsackie virus,
sedangkan Herpes simplex, Herpes zoster, dan enterovirus jarang

2
10
menjadi penyebab meningitis aseptik (viral).

D. Epidemiologi
1. Orang/Manusia
Umur dan daya tahan tubuh sangat mempengaruhi terjadinya
meningitis. Penyakit ini lebih banyak ditemukan pada laki-laki
dibandingkan perempuan dan distribusi terlihat lebih nyata pada bayi.
Meningitis purulenta lebih sering terjadi pada bayi dan anak-anak
karena sistem kekebalan tubuh belum terbentuk sempurna.10
Puncak insidensi kasus meningitis karena Haemophilus influenzae di
negara berkembang adalah pada anak usia kurang dari 6 bulan,
sedangkan di Amerika Serikat terjadi pada anak usia 6-12 bulan.
Sebelum tahun 1990 atau sebelum adanya vaksin untuk Haemophilus
influenzae tipe b di Amerika Serikat, kira-kira 12.000 kasus
meningitis Hib dilaporkan terjadi pada umur < 5 tahun.11 Insidens
12
Rate pada usia < 5 tahun sebesar 40-100 per 100.000. Setelah 10
11
tahun penggunaan vaksin, Insidens Rate menjadi 2,2 per 100.000.
2. Tempat
Risiko penularan meningitis umumnya terjadi pada keadaan sosio-
ekonomi rendah, lingkungan yang padat (seperti asrama, kamp-kamp
6
tentara dan jemaah haji), dan penyakit ISPA. Penyakit meningitis
banyak terjadi pada negara yang sedang berkembang dibandingkan
10
pada negara maju.
Insidensi tertinggi terjadi di daerah yang disebut dengan the
African Meningitis belt, yang luas wilayahnya membentang dari
Senegal sampai ke Ethiopia meliputi 21 negara. Kejadian penyakit
ini terjadi secara sporadis dengan Insidens Rate 1-20 per 100.000
penduduk dan diselingi dengan KLB besar secara periodik.11 Di
daerah Malawi, Afrika pada tahun 2002 Insidens Rate meningitis yang
disebabkan oleh Haemophilus influenzae 20-40 per 100.000
penduduk.13
3. Waktu

3
Kejadian meningitis lebih sering terjadi pada musim panas dimana
kasus- kasus infeksi saluran pernafasan juga meningkat. Di Eropa dan
Amerika utara insidensi infeksi Meningococcus lebih tinggi pada
musim dingin dan musim semi sedangkan di daerah Sub-Sahara
puncaknya terjadi pada musim panas.14
Meningitis karena virus berhubungan dengan musim, di Amerika
sering terjadi selama musim panas karena pada saat itu orang lebih
9
sering terpapar agen pengantar virus.
4. Agen Infeksi

Penyebab meningitis secara umum adalah bakteri dan virus.


Meningitis purulenta paling sering disebabkan oleh
Meningococcus, Pneumococcus dan Haemophilus influenzae
sedangkan meningitis serosa disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosa dan virus.15
Meningitis Meningococcus yang sering mewabah di kalangan
jemaah haji dan dapat menyebabkan karier disebabkan oleh
Neisseria meningitidis serogrup A, B, C, X, Y, Z dan W 135. Grup
A,B dan C sebagai penyebab 90% dari penderita. Di Eropa dan
Amerika Latin, grup B dan C sebagai penyebab utama
sedangkan di Afrika dan Asia penyebabnya adalah grup A.
Wabah meningitis Meningococcus yang terjadi di Arab Saudi
selama ibadah haji tahun 2000 menunjukkan bahwa 64%
merupakan serogroup W135 dan 36% serogroup A. Hal ini
merupakan wabah meningitis Meningococcus terbesar pertama di
dunia yang disebabkan oleh serogroup W135. Secara epidemiologi
serogrup A, B, dan C paling banyak menimbulkan penyakit.
Meningitis karena virus termasuk penyakit yang ringan. Gejalanya
mirip sakit flu biasa dan umumnya penderita dapat sembuh sendiri.
Pada waktu terjadi KLB Mumps, virus ini diketahui sebagai
penyebab dari 25 % kasus meningitis aseptik pada orang yang
tidak diimunisasi. Virus Coxsackie grup B merupakan penyebab

4
dari 33% kasus meningitis aseptik, Echovirus dan Enterovirus
merupakan penyebab dari 50% kasus.11
E. Anatomi dan Fisiologi
1. Meninges
Meninges merupakan selaput atau membran yang terdiri dari jaringan
ikat yang membungkus susunan syaraf pusat, dan tersusun atas 3 lapis
yaitu :

Gambar 1. Struktur Meninges (diambil dari kepustakaan 17)

a. Dura Mater
Dura mater adalah meninges luar, terdiri atas jaringan ikat padat
yang berhubungan langsung dengan periosteum tengkorak. Dura
mater yang membungkus medulla spinalis dipisahkan dari
periosteum vertebra oleh ruang epidural, yang mengandung vena
berdinding tipis, jaringan ikat longgar, dan jaringan lemak. Dura
mater selalu dipisahkan dari arachnoid oleh celah sempit, ruang
subdural. Permukaan dalam dura mater, juga permukaan luarnya

5
pada medulla spinalis, dilapisi epitel selapis gepeng yang asalnya
dari mesenkim.18
b. Arachnoid
Arachnoid mempunyai 2 komponen: lapisan yang berkontak
dengan dura mater dan sebuah sistem trabekel yang
menghubungkan lapisan itu dengan piamater. Rongga diantara
trabekel membentuk ruang subarachnoid, yang berisi cairan
serebrospinal dan terpisah sempurna dari ruang subdural. Ruang ini
membentuk bantalan hidrolik yang melindungi syaraf pusat dari
trauma. Ruang subarachnoid berhubungan dengan ventrikel otak.
Arachnoid terdiri atas jaringan ikat tanpa pembuluh darah.
Permukaannya dilapisi oleh epitel selapis gepeng seperti dura
mater. Karena medulla spinalis araknoid itu lebih sedikit
trabekelnya, maka lebih mudah dibedakan dari piamater. Pada
beberapa daerah, araknoid menerobos dura mater membentuk
juluran-juluran yang berakhir pada sinus venosus dalam dura
mater. Juluran ini, yang dilapisi oleh sel-sel endotel dari vena
disebut Vili Araknoid. Fungsinya ialah untuk menyerap cairan
serebrospinal ke dalam darah dari sinus venosus.18
c. Pia Mater
Pia mater terdiri atas jaringan ikat longgar yang mengandung
banyak pembuluh darah. Meskipun letaknya cukup dekat dengan
jaringan saraf, ia tidak berkontak dengan sel atau serat saraf. Di
antara pia mater dan elemen neural terdapat lapisan tipis cabang-
cabang neuroglia, melekat erat pada pia mater dan membentuk
barier fisik pada bagian tepi dari susunan saraf pusat yang
memisahkan SSP dari cairan serebrospinal. Piamater menyusuri
seluruh lekuk permukaan susunan saraf pusaf dan menyusup
kedalamnya untuk jarak tertentu bersama pembuluh darah. pia
mater di lapisi oleh sel-sel gepeng yang berasal dari mesenkim.
Pembuluh darah menembus susunan saraf pusat melalui
torowongan yang dilapisi oleh piamater ruang perivaskuler. Pia

6
mater lenyap sebelum pembuluh darah ditransportasi menjadi
kapiler. Dalam susunan syaraf pusat, kapiler darah seluruhnya
dibungkus oleh perluasan cabang neuroglia.18

Gambar 2. Hubungan Meninges dan Jaringan Sekitarnya (diambil dari


kepustakaan 19)

2. Sawar Darah Otak


Sawar darah otak merupakan barier fungsional yang mencegah
masuknya beberapa substansi, seperti antibiotik dan bahan kimia dan
toksin bakteri dari darah ke jaringan syaraf. Sawar darah otak ini
terjadi akibat kurangnya permeabilitas yang menjadi ciri kapiler darah
jaringan saraf. Taut kedap, yang menyatukan sel-sel endotel kapiler ini
secara sempurna merupakan unsur utama dari sawar ini. Sitoplasma
sel-sel andotel ini tidak bertingkap, dan terlihat sangat sedikit vesikel
pinositotik di sini. Perluasan cabang sel neuroglia yang melingkari
kapiler ikut mengurangi permeabilitasnya.18
Sawar ini terletak antara darah dan cairan serebrospinal serta cairan
otak. Sawar juga terdapat pada plexus koroideus dan membran kapiler
jaringan, pada dasarnya di seluruh parenkim otak kecuali di beberapa
daerah di hipotalamus, kelenjar pineal dan area postrema, tempat zat
berdifusi dengan lebih mudah ke dalam ruang jaringan. Sawar darah

7
otak pada umumnya sangat permeabel terhadap air, karbondioksida,
oksigen, dan sebagian besar zat larut lipid, seperti alkohol dan zat
anestesi; sedikit permeabel terhadap elektrolit, seperti natrium, klorida,
dan kalium; dan hampir tidak permeabel terhadap protein plasma dan
banyak molekul organik berukuran besar yang tidak larut lipid.20

Gambar 3. Potongan Melintang Susunan Sawar Darah Otak (diambil dari


Kepustakaan 21)

Dengan menggunakan mikroskop elektron memperlihatkan bahwa


lumen kapiler darah dipisahkan dari ruang ekstraseluler oleh :21
a. Sel endotelial di dinding kapiler (cerebral endothelial cell),
disatukan oleh tight juction.
b. Membran basalis di luar sel endotel berisi sel perisit
c. Kaki-kaki astrosit yang menempel pada lapisan luar dinding
kapiler.

8
Gambar 4. Struktur Penyusun Sawar Darah Otak (diambil dari
kepustakaan 21)

3. Plexus Koroid dan Cairan Cerebrospinal


Pleksus koroid terdiri atas lipatan-lipatan ke dalam dari pia mater yang
menyusup ke bagian dalam ventrikel. Dapat ditemukan pada atap
ventrikel ketiga dan keempat dan sebagian pada dinding ventrikel
lateral. Plexus koroid merupakan struktur vaskular yang terbuat dari
kapiler fenestra yang berdilatasi. Pleksus koroid terdiri atas jaringan
ikat longgar dari pia mater, dibungkus oleh epitel selapis kuboid atau
silindris, yang memiliki karakteristik sitologi dari sel pengangkut ion.
Fungsi utama pleksus koroid adalah membentuk cairan serebrospinal,
yang hanya mengandung sedikit bahan padat dan mengisi penuh
ventrikel, kanal sentral dari medula spinalis, ruang subarachnoid, dan
ruang perivasikular. Ia penting untuk metabolisme susunan saraf pusat
dan merupakan alat pelindung, berupa bantalan cairan dalam ruang
subarachnoid. Cairan itu jernih, memiliki densitas rendah (1.004-1.008
gr/ml), dan kandungan proteinnya sangat rendah. Juga terdapat
beberapa sel deskuamasi dan dua sampai lima limfosit per milliliter.
Cairan serebrospinal mengalir melalui ventrikel, dari sana ia memasuki
ruang subarachnoid. Disini vili araknoid merupakan jalur utama untuk
absorbsi CSS ke dalam sirkulasi vena.

9
Menurunnya proses absorsi cairan serebrospinal atau penghambatan
aliran keluar cairan dari ventrikel menimbulkan keadaan yang disebut
hidrosefalus, yang mengakibatkan pembesaran progresif dari kepala
dan disertai dengan gangguan mental dan kelemahan otot.18

Gambar 5. Fisiologi Cairan Serebrospinal (diambil dari kepustakaan 22)

F. Patofisiologi
1. Meningeal Invasion
Mekanime masuknya kuman ke dalam lapisan meninges masih belum
diketahui sepenuhnya. Hal ini dipengaruhi oleh keadaan pejamu, agen
infeksi dan faktor lingkungan. Pada bayi yang belum menghasilkan

10
antibody spesifik dapat mudah terkena meningitis oleh bakteri gram
negatif, sedangkan pada bayi yang agak besar telah kehilangan IgG
yang diperolehnya melalui plasenta dan mudah terkena infeksi
meningokokus dan H. Influenzae.1,8 Pada orang dewasa dengan
gangguan sistem imun seperti pada keganasan sistem
retikuloendotelial dapat mempermudah infeksi susunan syaraf pusat. 1
Konsentrasi kuman yang tinggi didalam darah akibat suatu infeksi
dibagian lain tubuh atau karena proses transmisi kuman karena kontak
antar individu dapat menyebabkan invasi kuman pada meninges.1
Virus setelah melakukan perlekatan dan invasi terhadap sel pejamu
dapat bereplikasi dan menyebar yang kemudian menyebabkan
destruksi sel pejamu.23
Meningitis pada umumnya terjadi sebagai akibat dari penyebaran
penyakit di organ atau jaringan tubuh yang lain. Virus / bakteri
menyebar secara hematogen sampai ke selaput otak, misalnya pada
penyakit Faringitis, Tonsilitis, Pneumonia, Bronchopneumonia dan
Endokarditis. Penyebaran bakteri/virus dapat pula secara
perkontinuitatum dari peradangan organ atau jaringan yang ada di
dekat selaput otak, misalnya Abses otak, Otitis Media, Mastoiditis,
Trombosis sinus kavernosus dan Sinusitis. Penyebaran kuman bisa
juga terjadi akibat trauma kepala dengan fraktur terbuka atau
komplikasi bedah otak.24 Invasi kuman-kuman ke dalam ruang
subaraknoid menyebabkan reaksi radang pada pia dan araknoid, CSS
(Cairan Serebrospinal) dan sistem ventrikulus.25
2. Induksi Inflamasi
Antigen kuman penyebab infeksi meninges dapat menginduksi proses
inflamasi melalui mediator yang berperan seperti interleukin, tumor
necrosis factor-α (TNF-α), interferon, prostaglandin, nitrit oksida,
platelet activation factor (PAF) dan mediator lainnya. Mula-mula
pembuluh darah meningeal yang kecil dan sedang mengalami
hiperemi; dalam waktu yang sangat singkat terjadi penyebaran sel-sel
leukosit polimorfonuklear ke dalam ruang subarakhnoid, kemudian

11
terbentuk eksudat. Dalam beberapa hari terjadi pembentukan limfosit
dan histiosit dan dalam minggu kedua sel- sel plasma. Eksudat yang
terbentuk terdiri dari dua lapisan, bagian luar mengandung leukosit
polimorfonuklear dan fibrin sedangkan di lapisan dalam
terdapat makrofag.2,25
3. Perubahan Sawar Darah Otak
Sawar darah otak, menjaga susunan syaraf pusat terhadap bahaya yang
datang dari lintasan hematogen. Proses radang juga menyebabkan
terjadinya perubahan permeabilitas dari kapiler otak yang sebelumnya
kedap dan selektif terhadap berbagai macam zat, menjadi permeabel
sehingga terjadi kebocoran plasma dan dapat menyebabkan kuman
masuk kedalam cairan serebrospinal dan ruang subarachnoid. Dengan
demikian peradangan akan terus terjadi tidak hanya pada pembuluh
darah. Selain itu Proses radang yang mengenai vena-vena di korteks
dapat menyebabkan trombosis, infark otak, edema otak dan degenerasi
neuron- neuron. Trombosis serta organisasi eksudat perineural yang
fibrino-purulen menyebabkan kelainan kranialis. Pada meningitis yang
disebabkan oleh virus, cairan serebrospinal tampak jernih
dibandingkan Meningitis yang disebabkan oleh bakteri.8,25
4. Perubahan Aliran Serebrospinal dan Tekanan Intrakranial
Aliran cairan serebrospinal dapat terhambat oleh karena terjadi
trombosis atau perlekatan vili vena pada sinus akibat peradangan yang
berperan dalam absorbsi cairan serebrospinal sehingga menimbulkan
hidrosefalus. Selain itu, plexus koroideus yang berfungsi untuk
memproduksi cairan serebrospinal jika terkena radang akan
meningkatkan produksinya sehingga timbul hidrosefalus komunikans.
Jika terus berlanjut akan menyebabkan edema otak dan peningkatan
tekanan intrakranial sehingga terjadi kompresi pada otak dan
pembuluh darah, menurunkan aliran suplai nutrisi dan oksigen. Jika
proses ini tidak dicegah dapat menimbulkan atrofi jaringan otak, defisit
neurologis, berupa parese nervus kranialis dan hemiparese, penurunan
kesadaran dan bahkan kematian.1, ,20

12
Bagan 1. Patofisiologi Meningitis

Gambar 6. Gambaran Kapiler pada Edema Otak (diambil dari kepustakaan)


G. Manifestasi Klinis
Gejala klasik berupa trias meningitis mengenai kurang lebih 44%
penderita meningitis bakteri dewasa. Trias meningitis tersebut sebagai
berikut :2
1. Demam
2. Nyeri kepala
3. Kaku kuduk.

13
Selain itu meningitis ditandai dengan adanya gejala-gejala seperti panas
mendadak, letargi, mual muntah, penurunan nafsu makan, nyeri otot,
fotofobia, mudah mengantuk, bingung, gelisah, parese nervus kranialis dan
kejang. Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan cairan
serebrospinal (CSS) melalui pungsi lumbal.2, ,27

Meningitis karena virus ditandai dengan cairan serebrospinal yang jernih


serta rasa sakit penderita tidak terlalu berat. Pada umumnya, meningitis
yang disebabkan oleh Mumpsvirus ditandai dengan gejala anoreksia
dan malaise, kemudian diikuti oleh pembesaran kelenjer parotid sebelum
invasi kuman ke susunan saraf pusat. Pada meningitis yang disebabkan
oleh Echovirus ditandai dengan keluhan sakit kepala, muntah, sakit
tenggorok, nyeri otot, demam, dan disertai dengan timbulnya ruam
makopapular yang tidak gatal di daerah wajah, leher, dada, badan, dan
ekstremitas. Gejala yang tampak pada meningitis Coxsackie virus yaitu
tampak lesi vaskuler pada palatum, uvula, tonsil, dan lidah dan pada tahap
lanjut timbul keluhan berupa sakit kepala, muntah, demam, kaku kuduk,
9
dan nyeri punggung.
Meningitis bakteri biasanya didahului oleh gejala gangguan alat
pernafasan dan gastrointestinal. Meningitis bakteri pada neonatus
terjadi secara akut dengan gejala panas tinggi, mual, muntah, gangguan
pernafasan, kejang, nafsu makan berkurang, dehidrasi dan konstipasi,
biasanya selalu ditandai dengan fontanella yang mencembung. Kejang
dialami lebih kurang 44 % anak dengan penyebab Haemophilus
influenzae, 25 % oleh Streptococcus pneumoniae, 21 % oleh
Streptococcus, dan 10 % oleh infeksi Meningococcus. Pada anak-anak dan
dewasa biasanya dimulai dengan gangguan saluran pernafasan bagian
atas, penyakit juga bersifat akut dengan gejala panas tinggi, nyeri
kepala hebat, malaise, nyeri otot dan nyeri punggung. Cairan
25
serebrospinal tampak kabur, keruh atau purulen.
Meningitis Tuberkulosa terdiri dari tiga stadium, yaitu stadium I atau
stadium prodormal selama 2-3 minggu dengan gejala ringan dan nampak

14
seperti gejala infeksi biasa. Pada anak-anak, permulaan penyakit bersifat
subakut, sering tanpa demam, muntah-muntah, nafsu makan berkurang,
murung, berat badan turun, mudah tersinggung, cengeng, opstipasi, pola
tidur terganggu dan gangguan kesadaran berupa apatis. Pada orang
dewasa terdapat panas yang hilang timbul, nyeri kepala, konstipasi,
kurang nafsu makan, fotofobia, nyeri punggung, halusinasi, dan sangat
25
gelisah.
Stadium II atau stadium transisi berlangsung selama 1 – 3 minggu dengan
gejala penyakit lebih berat dimana penderita mengalami nyeri kepala yang
hebat, gangguan kesadaran dan kadang disertai kejang terutama pada bayi
dan anak-anak. Tanda-tanda rangsangan meningeal mulai nyata, terjadi
parese nervus kranialis, hemiparese atau quadripare, seluruh tubuh dapat
menjadi kaku, terdapat tanda-tanda peningkatan intrakranial, ubun-ubun
menonjol dan muntah lebih hebat.
Stadium III atau stadium terminal ditandai dengan kelumpuhan semakin
parah dan gangguan kesadaran lebih berat sampai koma. Pada stadium ini
penderita dapat meninggal dunia dalam waktu tiga minggu bila tidak
25
mendapat pengobatan sebagaimana mestinya.
H. Penegakan Diagnosis
Penegakan diagnosis dapat diketahui dari anamnesa, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.
1. Anamnesa
Pada anamnesa dapat diketahui adanya trias meningitis seperti demam,
nyeri kepala dan kaku kuduk. Gejala lain seperti mual muntah,
penurunan nafsu makan, mudah mengantuk, fotofobia, gelisah, kejang
dan penurunan kesadaran.2,27 Anamnesa dapat dilakukan pada keluarga
pasien yang dapat dipercaya jika tidak memungkinkan untuk
autoanamnesa.
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dapat mendukung diagnosis meningitis
biasanya dilakukan pemeriksaan rangsang meningeal. Yaitu sebagai
berikut :28
a. Pemeriksaan Kaku Kuduk

15
Pasien berbaring terlentang dan dilakukan pergerakan pasif berupa
fleksi kepala. Tanda kaku kuduk positif (+) bila didapatkan
kekakuan dan tahanan pada pergerakan fleksi kepala disertai rasa
nyeri dan spasme otot.
b. Pemeriksaan Kernig
Pasien berbaring terlentang, dilakukan fleksi pada sendi panggul
kemudian ekstensi tungkai bawah pada sendi lutut sejauh mengkin
tanpa rasa nyeri. Tanda Kernig positif (+) bila ekstensi sendi lutut
tidak mencapai sudut 135° (kaki tidak dapat di ekstensikan
sempurna) disertai spasme otot paha biasanya diikuti rasa nyeri.

c. Pemeriksaan Brudzinski I (Brudzinski leher)


Pasien berbaring dalam sikap terlentang, tangan kanan
ditempatkan dibawah kepala pasien yang sedang berbaring ,
tangan pemeriksa yang satu lagi ditempatkan didada pasien
untuk mencegah diangkatnya badan kemudian kepala pasien
difleksikan sehingga dagu menyentuh dada. Brudzinski I positif
(+) bila gerakan fleksi kepala disusul dengan gerakan fleksi di
sendi lutut dan panggul kedua tungkai secara reflektorik.

d. Pemeriksaan Brudzinski II (Brudzinski Kontralateral tungkai)


Pasien berbaring terlentang dan dilakukan fleksi pasif paha
pada sendi panggul (seperti pada pemeriksaan Kernig). Tanda
Brudzinski II positif (+) bila pada pemeriksaan terjadi fleksi
involunter pada sendi panggul dan lutut kontralateral.

e. Pemeriksaan Brudzinski III (Brudzinski Pipi)

16
Pasien tidur terlentang tekan pipi kiri kanan dengan kedua
ibu jari pemeriksa tepat di bawah os ozygomaticum.Tanda
Brudzinski III positif (+) jika terdapat flexi involunter extremitas
superior.
f. Pemeriksaan Brudzinski IV (Brudzinski Simfisis)
Pasien tidur terlentang tekan simpisis pubis dengan kedua ibu
jari tangan pemeriksaan. Pemeriksaan Budzinski IV positif (+)
bila terjadi flexi involunter extremitas inferior.
g. Pemeriksaan Lasegue
Pasien tidur terlentang, kemudian diextensikan kedua tungkainya.
Salah satu tungkai diangkat lurus. Tungkai satunya lagi dalam
keadaan lurus. Tanda lasegue positif (+) jika terdapat tahanan
sebelum mencapai sudut 70° pada dewasa dan kurang dari 60°
pada lansia.

3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Pungsi Lumbal15
Lumbal pungsi biasanya dilakukan untuk menganalisa jumlah sel
dan protein cairan cerebrospinal, dengan syarat tidak ditemukan
adanya peningkatan tekanan intrakranial.
1) Pada Meningitis Serosa terdapat tekanan yang bervariasi,
cairan jernih, sel darah putih meningkat, glukosa dan protein
normal, kultur negatif.
2) Pada Meningitis Purulenta terdapat tekanan meningkat, cairan
keruh, jumlah sel darah putih meningkat (pleositosis lebih dari
1000 mm3), protein meningkat, glukosa menurun, kultur (+)
beberapa jenis bakteri.

Dibawah ini tabel yang menampilkan berbagai kemungkinan agen


infeksi pada cairan serebrospinal, yaitu :

17
Agent Opening WBC count Glucose Protein Microbiology
Pressure (cells/µL) (mg/dL) (mg/dL)
(mm H2 O)
Bacterial 200-300 100-5000; < 40 >100 Specific pathogen
meningitis >80% PMNs demonstrated in 60%
of Gram stains and
80% of cultures
Viral 90-200 10-300; Normal, Normal but Viral isolation, PCR
meningitis lymphocytes reduced in may be assays
LCM and slightly
mumps elevated
Tuberculous 180-300 100-500; Reduced, < Elevated, Acid-fast bacillus
meningitis lymphocytes 40 >100 stain, culture, PCR
Cryptococcal 180-300 10-200; Reduced 50-200 India ink, cryptococcal
meningitis lymphocytes antigen, culture
Aseptic 90-200 10-300; Normal Normal but Negative findings on
meningitis lymphocytes may be workup
slightly
elevated
Normal values 80-200 0-5; 50-75 15-40 Negative findings on
lymphocytes workup
LCM = lymphocytic choriomeningitis; PCR = polymerase chain reaction; PMN =
polymorphonuclear leukocyte; WBC = white blood cell.
Tabel 1. Penilaian Cairan Serebrospinal Berdasarkan Agen Infeksi
(diambil dari kepustakaan 2)

b. Pemeriksaan Darah2
Dilakukan pemeriksaan darah rutin, Laju Endap Darah (LED),
kadar glukosa, kadar ureum dan kreatinin, fungsi hati, elektrolit.
1) Pemeriksaan LED meningkat pada meningitis TB
2) Pada meningitis bakteri didapatkan peningkatan leukosit
polimorfonuklear dengan shift ke kiri.
3) Elektrolit diperiksa untuk menilai dehidrasi.
4) Glukosa serum digunakan sebagai perbandingan terhadap
glukosa pada cairan serebrospinal.
5) Ureum, kreatinin dan fungsi hati penting untuk menilai fungsi
organ dan penyesuaian dosis terapi.
6) Tes serum untuk sipilis jika diduga akibat neurosipilis.
c. Kultur 2

18
Kultur bakteri dapat membantu diagnosis sebelum dilakukan
lumbal pungsi atau jika tidak dapat dilakukan oleh karena suatu
sebab seperti adanya hernia otak. Sampel kultur dapat diambil
dari :
1) Darah, 50% sensitif jika disebabkan oleh bakteri H. Influenzae,
S. Pneumoniae, N. Meningitidis.
2) Nasofaring
3) Sputum
4) Urin
5) Lesi kulit
d. Pemeriksaan Radiologis2
Pemeriksaan radiologis meliputi pemeriksaan foto thorax, foto
kepala, CT-Scan dan MRI. Foto thorax untuk melihat adanya
infeksi sebelumnya pada paru-paru misalnya pada pneumonia dan
tuberkulosis, foto kepala kemungkinan adanya penyakit pada
mastoid dan sinus paranasal.
Pemeriksaan CT-Scan dan MRI tidak dapat dijadikan pemeriksaan
diagnosis pasti meningitis. Beberapa pasien dapat ditemukan
adanya enhancemen meningeal, namun jika tidak ditemukan bukan
berarti meningitis dapat disingkirkan.
Berdasarkan pedoman pada Infectious Diseases Sosiety of America
(IDSA), berikut ini adalah indikasi CT-Scan kepala sebelum
dilakukan lumbal pungsi yaitu :
1) Dalam keadaan Immunocompromised
2) Riwayat penyakit pada sistem syaraf pusat (tumor, stroke,
infeksi fokal)
3) Terdapat kejang dalam satu minggu sebelumnya
4) Papiledema
5) Gangguan kesadaran
6) Defisit neurologis fokal

Temuan pada CT-Scan dan MRI dapat normal, penipisan sulcus,


enhancement kontras yang lebih konveks. Pada fase lanjut dapat
pula ditemukan infark vena dan hidrosefalus komunikans.

19
Gambar 7. CT-Scan pada Meningitis Bakteri. Didapatkan ependimal
enhancement dan ventrikulitis (diambil dari kepustakaan 29)

Gambar 8. MRI pada meningitis bakterial akut. Contrast-enhanced,


didapatkan leptomeningeal enhancement (diambil dari kepustakaan 2)

I. Penatalaksanaan

20
Penatalaksanaan meningitis mencakup penatalaksanaan kausatif,
komplikatif dan suportif.2
1. Meningitis Virus
Sebagian besar kasus meningitis dapat sembuh sendiri.
Penatalaksanaan umum meningitis virus adalah terapi suportif seperti
pemberian analgesik, antpiretik, nutrisi yang adekuat dan hidrasi.
Meningitis enteroviral dapat sembuh sendiri dan tidak ada obat yang
spesifik, kecuali jika terdapat hipogamaglobulinemia dapat diberikan
imunoglonbulin. Pemberian asiklovir masih kontroversial, namun
dapat diberikan sesegera mungkin jika kemungkinan besar meningitis
disebabkan oleh virus herpes. Beberapa ahli tidak menganjurkan
pemberian asiklovir untuk herpes kecuali jika terdapat ensefalitis.
Dosis asiklovir intravena adalah (10mg/kgBB/8jam).2
Gansiklovir efektif untuk infeksi Cytomegalovirus (CMV), namun
karena toksisitasnya hanya diberikan pada kasus berat dengan kultur
CMV positif atau pada pasien dengan imunokompromise. Dosis
induksi selama 3 minggu 5 mg/kgBB IV/ 12 jam, dilanjutkan dosis
maintenans 5 mg/kgBB IV/24 jam.2
2. Meningitis Bakteri
Meningitis bakterial adalah suatu kegawatan dibidang neurologi
karena dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang signifikan.
Oleh karena itu pemberian antibiotik empirik yang segera dapat
memberikan hasil yang baik.

Age or Predisposing Feature Antibiotics


Age 0-4 wk Amoxicillin or ampicillin plus either cefotaxime or
an aminoglycoside
Age 1 mo-50 y Vancomycin plus cefotaxime or ceftriaxone*
Age >50 y Vancomycin plus ampicillin plus ceftriaxone or
cefotaxime plus vancomycin*
Impaired cellular immunity Vancomycin plus ampicillin plus either cefepime
or meropenem
Recurrent meningitis Vancomycin plus cefotaxime or ceftriaxone
Basilar skull fracture Vancomycin plus cefotaxime or ceftriaxone
Head trauma, neurosurgery, or Vancomycin plus ceftazidime, cefepime, or
CSF shunt meropenem

21
CSF = cerebrospinal fluid.
*Add amoxicillin or ampicillin if Listeria monocytogenes is a suspected pathogen.

Tabel 2. Rekomendasi Terapi Empirik dengan Meningitis Suspek Bateri


(diambil dari kepustakaan 2)
a. Neonatus-1 bulan
1) Usia 0-7 hari, Ampicillin 50 mg/kgBB IV/ 8 jam atau dengan
tambahan gentamicin 2.5 mg/kgBB IV/ 12 jam.
2) Usia 8-30 hari, 50-100 mg/kgBB IV/ 6 jam atau dengan
tambahan gentamicin 2.5 mg/kgBB IV/ 12 jam.

b. Bayi usia 1-3 bulan


1) Cefotaxim (50 mg/kgBB IV/ 6 jam)
2) Ceftriaxone (induksi 75 mg/kg, lalu 50 mg/kgBB/ 12 jam)
Ditambah ampicillin (50-100 mg/kgBB IV/ 6 jam)

Alternatif lain diberikan Kloramfenikol (25 mg/kgBB oral atau IV/


12 jam) ditambah gentamicin (2.5 mg/kgBB IV or IM / 8 hours).

c. Bayi usia 3 bulan sampai anak usia 7 tahun


1) Cefotaxime (50 mg/kgBB IV/ 6 jam, maksimal 12 g/hari)
2) Ceftriaxone (induksi 75 mg/kg, lalu 50 mg/kgBB IV/ 12 jam,
maksimal 4 g/hari)
d. Anak usia 7 tahun sampai dewassa usia 50 tahun
1) Dosis anak
Cefotaxime (50 mg/kgBB IV/ 6 jam, maksimal 12 g/hari)
Ceftriaxone (induksi 75 mg/kg, lalu 50 mg/kgBB IV/ 12 jam,
maksimal 4 g/hari)
Vancomycin – 15 mg/kgBB IV/ 8 jam
2) Dosis dewasa
Cefotaxime – 2 g IV/ 4 jam
Ceftriaxone – 2 g IV/ 12 jam
Vancomycin – 750-1000 mg IV/ 12 jam atau 10-15 mg/kgBB
IV/ 12 jam

Beberapa pengalaman juga diberikan rifampisin (dosis anak-anak,


20 mg/kgBB/hari IV; dosis dewasa, 600 mg/hari oral). Jika
dicurigai infeksi listeria ditambahkan ampicillin (50 mg/kgBB IV/
6 jam).

22
e. Usia lebih dari atau sama dengan 50 tahun
1) Cefotaxime – 2 g IV/ 4 jam
2) Ceftriaxone – 2 g IV/ 12 jam

Dapat ditambahkan dengan Vancomycin – 750-1000 mg IV/ 12


jam atau 10-15 mg/kgBB IV/ 12 jam atau ampicillin (50 mg/kgBB
IV/ 6 jam). Jika dicurigai basil gram negatif diberikan ceftazidime
(2 g IV/ 8 jam).

Selain antibiotik, pada infeksi bakteri dapat pula diberikan


kortikosteroid (biasanya digunakan dexamethason 0,25 mg/kgBB/ 6
jam selama 2-4 hari). meskipun pemberian kortikosteroid masih
kontroversial, namun telah terbukti dapat meningkatkan hasil
keseluruhan pengobatan pada meningitis akibat H. Influenzae,
tuberkulosis, dan meningitis pneumokokus. Dalam suatu penelitian
yang dilakukan oleh Brouwer dkk., pemberian kortikosteroid dapat
mengurangi gejala gangguan pendengaran dan gejala neurologis sisa

23
tetapi secara umum tidak dapat mengurangi mortalitas.

Bagan 2. Algoritma Tatalaksana Meningitis Suspek Bakteri pada Orang


Dewasa (diambil dari kepustakaan 30)

3. Meningitis Sifilitika
Terapi pilihan pada meningitis sifilitika adalah penisilin G kristal aqua
dengan dosis 2-4 juta unit/hari setiap 4 jam selama 10-14 hari, sering
pula diikuti pemberian penisilin G benzatin IM dengan dosis 2.4 juta
unit. Pilihan alternatif adalah penisilin G prokain dosis 2.4 juta
unit/hari IM dan probenesid dosis 500 mg oral setiap 6 jam selama 14

24
hari, diikuti pemberian penisilin G benzatin IM dengan dosis 2.4 juta
unit. Pasien dengan meningitis sifilitika disertai HIV dapat diberikan
yang serupa. Oleh karena penisilin G merupakan obat pilihan, pasien
dengan alergi penisilin harus menjalani penisilin desensitisasi. Setelah
dilakukan pengobatan, pemeriksaan cairan serebrospinal harus
dilakukan secara teratur setiap 6 bulan sekali, hal ini penting dilakukan
untuk melihat keberhasilan terapi.
4. Meningitis Fungal
Pada meningitis akibat kandida dapat diberikan terapi inisial
amphotericin B (0.7 mg/kgBB/hari), biasanya ditambahkan
Flucytosine (25 mg/kgBB/ 6 jam) untuk mempertahankan kadar dalam
serum (40-60 µg/ml) selama 4 minggu. Setelah terjadi resolusi,
sebaiknya terapi dilanjutkan selama minimal 4 minggu. Dapat pula
diberikan sebagai follow-up golongan azol seperti flukonazol dan
itrakonazol.2
5. Meningitis Tuberkulosa
Pengobatan meningitis tuberkulosa dengan obat anti tuberkulosis sama
dengan tuberkulosis paru-paru. Dosis pemberian adalah sebagai
berikut :
a. Isoniazid 300 mg/hari
b. Rifampin 600 mg/hari
c. Pyrazinamide 15-30 mg/kgBB/hari
d. Ethambutol 15-25 mg/kgBB/hari
e. Streptomycin 7.5 mg/kgBB/ 12 jam

Atau dapat menggunakan acuan dosis sebagai berikut :

Tabel 3. Dosis Obat Antituberkulosis (diambil dari kepustakaan 31)

25
Pengobatan dilakukan selama 9-12 bulan. Jika sebelumnya telah
mendapat obat antituberkulosis, pengobatan tetap dilanjutkan
tergantung kategori. Pemberian kortikosteroid diindikasikan pada
meningitis stadium 2 atau 3. Hal ini dapat mengurangi inflamasi pada
proses lisis bakteri karena obat anti tuberkulosis. Biasanya dipilih
dexamethason dengan dosis 60-80 mg/hari yang diturunkan secara
bertahap selama 6 minggu.2

6. Meningitis Parasitik
Meningitis karena cacing ditatalaksana dengan terapi suportif seperti
analgesia yang adekuat, terapi aspirasi cairan serebrospinal dan
antiinflamasi seperti kortikosteroid. Pemberian obat antihelmintic
dapat menjadi kontraindikasi karena dapat memperparah gejala klinis
dan bahkan menyebabkan kematian sebagai akibat dari peradangan
hebat yang merupakan respon terhadap proses penghancuran cacing.
Meningitis amuba yang diakibatkan oleh Naegleria fowleri adalah
fatal. Diagnosis dini dan pemberian dosis tinggi IV amfoterisin B atau
mikonazol dan rifampisin dapat memberikan manfaat terapi.2
J. Diagnosis Banding
Meningitis dapat didiagnosis banding dengann penyakit dibawah ini :2
1. Abses serebral
2. Ensefalitis
3. Neoplasma serebral
4. Perdarahan Subarachnoid

K. Komplikasi Meningitis
Komplikasi meningitis pada onset akut dapat berupa perubahan status
mental, edema serebri dan peningkatan tekanan intrakranial, kejang,
empiema atau efusi subdural, parese nervus kranialis, hidrosefalus, defisit
sensorineural, hemiparesis atau quadriparesis, kebutaan. Pada onset lanjut
dapat terjadi epilepsi, ataxia, abnormalitas serebrovaskular, intelektual
yang menurun dan lain sebagainya. Komplikasi sistemik dari meningitis
adalah syok septik, disseminated intravascular coagulaton (DIC),
gangguan fungsi hipotalamus atau disfungsi endokrin, kolaps vasomotor
dan bahkan dapat menyebabkan kematian.32

26
L. Prognosis
Prognosis meningitis tergantung kepada umur, mikroorganisme spesifik
yang menimbulkan penyakit, banyaknya organisme dalam selaput otak,
jenis meningitis dan lama penyakit sebelum diberikan antibiotik.
Penderita usia neonatus, anak-anak dan dewasa tua mempunyai prognosis
33
yang semakin jelek, yaitu dapat menimbulkan cacat berat dan kematian.
Pengobatan antibiotika yang adekuat dapat menurunkan mortalitas
meningitis purulenta, tetapi 50% dari penderita yang selamat akan
mengalami sequelle (akibat sisa). Lima puluh persen meningitis purulenta
mengakibatkan kecacatan seperti ketulian, keterlambatan berbicara dan
gangguan perkembangan mental, dan 5 – 10% penderita mengalami
34
kematian.
Pada meningitis Tuberkulosa, angka kecacatan dan kematian pada
umumnya tinggi. Prognosa jelek pada bayi dan orang tua. Angka kematian
meningitis TBC dipengaruhi oleh umur dan pada stadium berapa penderita
mencari pengobatan. Penderita dapat meninggal dalam waktu 6-8
15
minggu.
Penderita meningitis karena virus biasanya menunjukkan gejala klinis
yang lebih ringan,penurunan kesadaran jarang ditemukan. Meningitis viral
memiliki prognosis yang jauh lebih baik. Sebagian penderita sembuh
dalam 1 – 2 minggu dan dengan pengobatan yang tepat penyembuhan total
34
bisa terjadi.
M. Pencegahan Meningitis
1. Pencegahan Primer
Tujuan pencegahan primer adalah mencegah timbulnya faktor
resiko meningitis bagi individu yang belum mempunyai faktor resiko
35
dengan melaksanakan pola hidup sehat.
Pencegahan dapat dilakukan dengan memberikan imunisasi
meningitis pada bayi agar dapat membentuk kekebalan tubuh. Vaksin
yang dapat diberikan seperti Haemophilus influenzae type b (Hib),
Pneumococcal conjugate vaccine (PCV7), Pneumococcal
polysaccaharide vaccine (PPV), Meningococcal conjugate vaccine

27
(MCV4), dan MMR (Measles dan Rubella).14 Imunisasi Hib Conjugate
vaccine (Hb- OC atau PRP-OMP) dimulai sejak usia 2 bulan dan dapat
digunakan bersamaan dengan jadwal imunisasi lain seperti DPT,
Polio dan MMR. Vaksinasi Hib dapat melindungi bayi dari
kemungkinan terkena meningitis Hib hingga 97%. Pemberian
imunisasi vaksin Hib yang telah direkomendasikan oleh WHO, pada
bayi 2-6 bulan sebanyak 3 dosis dengan interval satu bulan, bayi
7-12 bulan di berikan 2 dosis dengan interval waktu satu bulan,
anak 1-5 tahun cukup diberikan satu dosis. Jenis imunisasi ini tidak
dianjurkan diberikan pada bayi di bawah 2 bulan karena dinilai belum
36
dapat membentuk antibodi.
Meningitis Meningococcus dapat dicegah dengan pemberian
kemoprofilaksis (antibiotik) kepada orang yang kontak dekat atau
11
hidup serumah dengan penderita. Vaksin yang dianjurkan adalah
34
jenis vaksin tetravalen A, C, W135 dan Y.
Meningitis TBC dapat dicegah dengan meningkatkan sistem kekebalan
tubuh dengan cara memenuhi kebutuhan gizi dan pemberian imunisasi
BCG. Hunian sebaiknya memenuhi syarat kesehatan, seperti tidak over
2
crowded (luas lantai > 4,5 m /orang), ventilasi 10 – 20% dari luas
lantai dan pencahayaan yang cukup.
Pencegahan juga dapat dilakukan dengan cara mengurangi kontak
langsung dengan penderita dan mengurangi tingkat kepadatan di
lingkungan perumahan dan di lingkungan seperti barak, sekolah, tenda
dan kapal. Meningitis juga dapat dicegah dengan cara meningkatkan
personal hygiene seperti mencuci tangan yang bersih sebelum makan
dan setelah dari toilet.
2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder bertujuan untuk menemukan penyakit sejak
awal, saat masih tanpa gejala (asimptomatik) dan saat pengobatan awal
dapat menghentikan perjalanan penyakit. Pencegahan sekunder dapat
dilakukan dengan diagnosis dini dan pengobatan segera. Deteksi dini

28
juga dapat ditingkatan dengan mendidik petugas kesehatan serta
38
keluarga untuk mengenali gejala awal meningitis.
Dalam mendiagnosa penyakit dapat dilakukan dengan pemeriksaan
fisik, pemeriksaan cairan otak, pemeriksaan laboratorium yang
24
meliputi test darah dan pemeriksaan X-ray (rontgen) paru . Selain
itu juga dapat dilakukan surveilans ketat terhadap anggota keluarga
penderita, rumah penitipan anak dan kontak dekat lainnya untuk
14
menemukan penderita secara dini.
3. Pencegahan Tertier
Pencegahan tertier merupakan aktifitas klinik yang mencegah
kerusakan lanjut atau mengurangi komplikasi setelah penyakit
berhenti. Pada tingkat pencegahan ini bertujuan untuk menurunkan
kelemahan dan kecacatan akibat meningitis, dan membantu penderita
untuk melakukan penyesuaian terhadap kondisi-kondisi yang tidak
diobati lagi, dan mengurangi kemungkinan untuk mengalami dampak
neurologis jangka panjang misalnya tuli atau ketidakmampuan
38
untuk belajar. Fisioterapi dan rehabilitasi juga diberikan untuk
39
mencegah dan mengurangi cacat.

I. KESIMPULAN
Meningitis merupakan suatu penyakit akibat inflamasi yang terjadi
pada selaput otak yaitu meninges. Meningitis dapat terjadi karena adanya
faktor resiko tertentu seperti pada usia yang kurang dari 5 tahun atau lebih
dari 60 tahun, kekebalan tubuh yang menurun, adanya penyakit sistemik
atau penyakit lain sebelumnya seperti tuberkulosis, mastoiditis dan sinusitis,
atau adanya riwayat kontak dengan penderita meningitis. Kejadian
meningitis berhubungan dengan suatu wilayah dan musim tertentu.
Misalnya pada afrika ada suatu istilah yang disebut the african meningitis
belt, yang menunjukkan kecenderungan meningitis pada wilayah-wilayah
tertentu.
Meningitis terjadi karena berbagai penyebab, pada umumnya karena
infeksi berbagai macam mikroorganisme, dimana penyebab infeksi

29
terbanyak adalah virus dan bakteri. Meningitis akibat virus biasanya dapat
sembuh dengan sendirinya, sementara meningitis karena bakteri dapat
menyebabkan berbagai macam komplikasi, morbiditas yang lama akibat
gejala sisa neurologis atau bahkan menyebabkan kematian. Pembuatan
diagnosis yang segera dan manajemen terapi yang sesuai dapat
menghentikan perjalanan penyakit dan mencegah timbulnya komplikasi.
Prognosis meningitis tergantung pada usia, tingkat keparahan penyakit, agen
penyebab infeksi dan respon pengobatan.
Pencegahan meningitis adalah suatu upaya untuk mencegah
terjadinya meningitis (primer), upaya untuk menghentikan perjalanan
penyakit dengan pengenalan dan pengobatan dini (sekunder), dan untuk
mengurangi komplikasi dan gejala sisa (tertier), sehingga diharapkan pasien
dapat tetap menjalani aktivitas sehari-harinya secara mandiri. Jika upaya
pencegahan-pencegahan ini dilakukan secara maksimal dalam ruang lingkup
yang luas, kematian dan kecacatan akibat meningitis dapat diturunkan
secara signifikan.

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Mahar M & Priguna S, 2008. Neurologi Klinis Dasar. Cetakan ke-12. PT.
Dian Rakyat, Jakarta.
2. Hasbu, Rodrigo, May 7, 2013. Meningitis. Article. Available at
http://emedicine.medscape.com/article/232915-overview#showall

3. Swierzewski, S., 2002. Meningitis, Insidens and Prevalence.


Available at
http://www.healthcommunities.com/meningitis/incidence.shtml
4. Laporan Nasional, 2007. Riset Kesehatan Dasar.
5. WHO, 2013. Meningitis. Article. Available at
http://www.who.int/topics/meningitis/en/
6. Markam, S., 1992. Penuntun Neurologi, Cetakan Pertama. Binarupa
Aksara, Jakarta.
7. Jellife, D., 1994. Kesehatan Anak di Daerah Tropis, Edisi Keempat.
Bumi Aksara, Jakarta.
8. Soedarto, 2004. Sinopsis Virologi Kedokteran. Airlangga University
Press, Surabaya.
9. Nelson, 1996. Ilmu Kesehatan Anak, Bagian 2. EGC, Jakarta.
10. Kandun, I., 2006. Manual Pemberantasan Penyakit Menular.
Infomedika, Jakarta.
11. Muliawan, S., 2008. Haemophilus Influenzae As a Cause of
Bacterial Meningitis in Children. Majalah Kedokteran Indonesia, Vol58,
No.11, Hal 438-443, Jakarta.
12. Devarajan, V., Jan 10, 2012. Haemophilus Influenzae Infection. Article.
Available at http://emedicine.medscape.com/article/218271-overview#a0199

31
13. Isbagia, D., 2003. Kemajuan Dalam Pengembangan Vaksin Terhadap
Infeksi Saluran Pernapasan dan Meningitis. Buletin Penelitian
dan Pengembangan Kesehatan, Vol.XIII, No.4, Hal 32-37, Jakarta
14. Harsono, 2003. Kapita Selekta Neurologi, Edisi Kedua. GadjahMada
University Press, Yogyakarta.
15. Junqueira & Carneiro, 2005. Basic Histology Text & Atlas. 11 edition.
McGraw-Hill Companies, New York.
16. Junqueira, dkk., 1998. Histologi Dasar. Edisi ke-8. EGC, Jakarta.
17. R. Putz & R. Pabst, 2007. Sobotta. Jilid 1. Jakarta : EGC. Hal : 261.
18. Guyton & Hall, 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. EGC,
Jakarta.
19. Yuliana, 2013. Tinjauan Histologi Sawar Darah Otak. Vol. 9. Jurnal
Kedokteran. Bagian Histologi Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas
Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat.
20. Mackenna & Callander, 1997. Ilustrated Physiology. Sixth Edition.
Churchill Livingstone.
21. Jawetz, dkk., 2008. Mikrobiologi Kedokteran. Edisi 23. EGC, Jakarta.
22. Soegijanto, S., 2002. Ilmu Penyakit Anak: Diagnosa dan
Penatalaksanaan, Edisi Pertama. Salemba Medika, Jakarta.
23. Harsono, 1996. Buku Ajar Neurologi Klinis, Edisi Pertama. Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta.
24. Juwono, T., 1993. Penatalaksanaan Kasus-kasus Darurat
Neurologi. Widya Medika, Jakarta.
25. Lutfi, et all., 2013. Imaging in Bacterial Meningitis. Article. Available at
http://emedicine.medscape.com/article/341971-overview#showall
26. Allan, dkk., 2004. Practice Guidelines for the Management of Bacterial
Meningitis. Journal. Infectious Diseases of America (IDSA).
27. Pedoman Nasional, 2006. Penanggulangan Tuberkulosis. Edisi 2.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
28. Emad, 2012. Neurologic Complications of Bacterial Meningitis. Journal. In
tech. Available at http://cdn.intechopen.com/pdfs/34319/InTech-
Neurologic_complications_of_bacterial_meningitis.pdf
29. Nelson, 1995. Ilmu Kesehatan Anak. Kedokteran EGC, Jakarta.
30. Hasan, R., Alatas, H., 2002. Ilmu Kesehatan Anak, Buku Kuliah
Infomedika, Jakarta.
31. Beaglehole, R., dkk., 1997. Dasar-dasar Epidemiologi. Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta.

32
32. Djauzi, S., Sundaru, H., 2003. Imunisasi Dewasa. Penerbit FK UI, Jakarta.
33. Fletcher, Robert H., dkk., 1992. Sari Epidemiologi Klinik. Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta.
34. Mansjoer, A.,dkk., 2000. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi Ketiga.
Media Aesculapius, Jakarta.

33

Anda mungkin juga menyukai