Anda di halaman 1dari 30

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kelor
1. Definisi Tanaman Kelor
Tanaman kelor (moringga oleifera,Lam) merupakan tanaman asli kaki
gunung himalaya bagian barat laut india, tanaman kelor merupakan tanaman
perdu yang memiliki ketinggian 7-11 m, tumbuh subur mulai dari dataran
rendah sampai ketinggian 700 mdpl, kelor dapat tumbuh pada daerah tropis
dan subtropis pada semua jenis tanah dan juga tahan terhadap musim kering
(Wulandari, 2021).
2. Klasifikasi Tanaman Kelor
Tanaman kelor (M. oleifera L.) adalah tanaman endemik negara India,
tepatnya dari kawasan Kaki Bukit Himalaya Asia Selatan dimana sering
ditemukan pada ketinggian 1.400 m. Tanaman biennial ini dapat tumbuh
didaerah tropis, sehingga tak heran jika tanaman ini banyak dibudidayakan
baik oleh hampir seluruh masyarakat di Indonesia. Cara perawatan tanaman
ini pun sangat mudah karena tidak perlu disirami air setiap hari (Arifin,
2021).
Gambar 2.1 a) Daun dan Tangkai Daun; b) Batang Pohon; c) Bunga; d) Buah
Tanaman Kelor (Moringa oleiferaL)

Tanaman kelor (M. oleifera Lam.) memiliki klasifikasi sebagai berikut


(Arifin, 2021):
Kingdom : Plantae
SubKingdom : Tracheobionta
Super Division : Spermatophyta
Division : Magnoliophyta
Class : Magnoliopsida
Sub Class : Dilleniidae
Order : Capparales
Family : Moringaceae
Genus : Moringa
Species : Moringa oleifera Lam.
3. Morfologi Tanaman Kelor
Struktur dan morfologi dari tanaman kelor terdiri atas akar, batang, daun,
bunga, buah, dan biji. Deskripsi dari struktur dan morfologi tanaman kelor
adalah sebagai berikut (Laras, 2018).
a. Akar
Tanaman kelor memiliki akar tunggang dengan warna putih.akar ini
dapat membesar seperti lobak. Kulit akar rasanya pedas dan berbau tajam.
Bagian dalam berwarna kuning pucat dan bergaris halus, tidak keras,
bentuknya tidak beraturan, permukaan luar kulit agak licin, dan
permukaan dalam agak berserabut. Bagian kayu berwarna cokelat muda
dan berserabut.
b. Batang
Batang tegak, berwarna putih kotor, kulit tipis, permukaan kasar, arah
cabang tegak atau miring, cenderung tumbuh lurus dan memanjang. Arah
percabangan tegak karena sudut antara batang dengan cabang amat kecil.
c. Daun
Daun majemuk bertangkai panjang, tersusun berseling, beranak daun
ganjil, helai daun saat masih muda berwarna hijau muda, Helain daun
berwarna hijau muda saat masih muda dan berwarna hijau tua setelah tua.
Bentuk helaian daun bulat telur, tipis lemas, ujung dan pangkal tumpul,
tepi rata, pertulangan menyirip, serta permukaan atas dan bawah halus.
Helaian daun kelor memiliki Panjang sekitar 1-2 cm dan lebarnya sekitar
1-2 cm.
d. Bunga
Bunga muncul di ketiak daun, bertangkai panjang, kelopak berwarna
putih agak krem, dan beraroma khas. Malai bunga kelor memiliki panjang
10-15 cm, dengan 5 kelopak yang mengelilingi 5 benang sari dan 5
stamidonia. Bunga kelor muncul sepanjang tahun
e. Buah dan Biji
Buah kelor panjang berbentuk bersegi tiga dengan panjang 20-60 cm.
Buah muda berwarna hijau dan buah yang sudah tua berwarna cokelat.
Buah kelor akan menghasilkan biji yang dapat dibuat tepung atau minyak
sebagai bahan baku pembuatan obat dan kosmetik bernilai tinggi. Biji di
dalam polong memiliki bentuk bulat dan berwarna cokelat kehitaman.
Dalam setiap polong berisi 12-35 biji. Dan setiap tanaman kelor dapat
menghasilkan 15.000-25.000 biji per tahun.
4. Kandungan Daun Kelor
Tanaman kelor atau pohon ajaib berdasarkan penelitian WHO
menemukan bahwa tanaman ini sangat bermanfaat bagi peningkatan taraf
kesehatan manusia. Tanaman ini diketahui mengandung > 90 jenis nutrisi
yang sangat bermanfaaat bagi kesehatan contohnya vitamin, mineral,
antipeuretik, antikorbut, anti inflamasi dan anti penuaan. Tanaman kelor (M.
oleifera) mengandung ±539 senyawa yang telah dikenal sebagai obat
tradisional untuh menyembuhkan berbagai macam penyakit seperti vitamin
A, B1, B2, C, myrosine, alkaloida dan emulsine. Di Pulau Jawa, tanaman ini
selain dimanfaatkan sebagai obat tradisional juga diolah sebagai sayur mayur
seperti “sayur bening” (Arifin, 2021). Bagian tanaman kelor yang banyak
sekali dimanfaatkan sebagai obat-obatan adalah daunnya, daun kelor (M.
oleifera Lam.) mengandung beberapa senyawa metabolit sekunder seperti
hasil penelitian tabel 1 (Veronika, 2017).
Tabel 1. Hasil Uji Fitokimia Maserasi Daun Kelor

Senyawa Hasil Positif Hasil Uji Keterangan


Flavonoid Warna kuning Baying-bayang +++
kuning
Saponin Busa stabil (<7 Busa stabil (<7 +
menit) menit)
Tannin Hijau kehitaman Hijau kehitaman ++++
Polifenol Warna hijau tua Warna hijau tua +++
Sumber : (Veronika, 2017)

Keterangan : + kurang jelas; ++ agak jelas; +++ jelas; ++++ sangat jelas

Berdasarkan data hasil uji Fitokimia pada tabel 1, maka terbukti ekstrak
daun kelor mengandung senyawa metabolit sekunder seperti flavonoid,
saponin, tanin, dan polifenol yang memiliki fungsi sebagai antimikroba,
antioksidan. Mekanisme senyawa metabolit sekunder sebagai antimikroba
yaitu dengan memperbesar permeabilitas dinding sel bakteri dan fungi yang
menyebabkan sel bakteri dan fungi lisis kemudian rusak (Arifin, 2021).
Ekstrak etanol daun kelor mengandung senyawa alkaloid, tanin, flavonoid,
steroid dan triterpenoid, kandungan total tanin pada daun kelor diketahui
lebih besar dibandingkan kandungan senyawa lainnya yaitu sebanyak 9,36%,
sedangkan kandungan terpenoid 4,84%, alkaloid 3,07%, steroid 3,21%,
flavonoid 3,56% (Laras, 2018). Ekstrak daun kelor dengan variasi pelarut n-
heksana, etanol serta etil asetat dapat mengandung kadar tanin 8,22%, fenol
0,19%, dan saponin sebanyak 1,75%. Ekstrak maserasi daun kelor dengan
pelarut air kadar total tanin sebesar 2% (Veronika, 2017).
Senyawa flavonoid yang memiliki kemampuan antimikroba (bakteri,
virus dan jamur) lebih baik daripada senyawa metabolit sekunder lainnya
memiliki mekanisme kerja dengan cara mendenaturasi sel protein mikroba
dan merusak membran sitoplasma mikroba tersebut. Kemampuan senyawa
tanin pada ekstrak daun kelor dalam menghambat pertumbuhan mikroba
dengan cara mengendapkan protein, menginaktivasi enzim, mengganggu
permeabilitas sel dengan mengerutkan dinding sel dan merusak fungsi materi
genetik. Saponin merupakan senyawa polar yang dapat merusak membran sel
mikroba sehingga substansi penting dalam sel keluar dan mencegah
masuknya bahan-bahan penting kedalam sel (Arifin, 2021). Mekanisme
senyawa polifenol pada ekstrak daun kelor menghambat pertumbuhan
mikroba ialah dengan menembus dan merusak dinding sel, sebagai toksin
protoplasma sehingga sel mengalami kebocoran karena protein sel
mengendap dalam konsentrasi tinggi jika konsentrasi rendah dapat
menghambat sintesis enzim (Veronika, 2017). Daun kelor juga mengandung
antioksidan yang dapat melindungi kulit dari radikal bebas serta
melembabkan permukaan kulit.
Daun kelor merupakan salah satu bagian dari tanaman kelor yang telah
banyak diteliti kandungan gizi dan kegunaannya. Daun kelor sangat kaya
akan nutrisi, diantaranya kalsium, besi, protein, vitamin A, vitamin B dan
vitamin C. Daun kelor mengandung zat besi lebih tinggi daripada sayuran
lainnya yaitu sebesar 17,2 mg/100 g. Perbandingan kandungan nilai gizi daun
kelor segar dan daun kelor kering dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2. Kandungan Gizi Daun Kelor Segar dan Daun Kelor Kering per 100 gram
Bahan

Kandungan Gizi Daun Kelor Segar Daun Kelor Kering


Kalori 92,0 cal 205 g
Protein 6,7 g 27,1 g
Lemak 1,7 g 2,3 g
Karbohidrat 13,4 g 38,2 g
Serat 0,9 g 19,2 g
Mineral 2,3 g -
Zinc 0,16 mg 2,29 mg
Vitamin A (β-karoten) 6,80 mg 16,3 mg
Vitamin B

1. β-Choline 423,00 mg -

2. Thiamine (Vit. B1) 0,21 mg 2.6 mg

3. Reboflavin (Vit. B2) 0,05 mg 20,5 mg

4. Nicotinic Acid (Vit. 0,80 mg 8,2 mg


B3)
Vitamin C (C-Ascorbic 220 mg 17,3 mg
Acid)
Vitamin E (Tocopherols - 113,0 mg
Acetate)
Kalsium (Ca) 440,0 mg 2003 mg
Magnesium (Mg) 24,0 mg 368 mg
Fosfor (P) 70,0 mg 204 mg
Potassium (K) 259,0 mg 1324,0 mg
Tembaga 1,1 mg 0,6 mg
Asam oksalat 101,0 mg -
Sulphur (S) 137,0 mg 870,0 mg
Zat besi 0,7 mg 28,2 mg
Kadar air 75,0% 4,09%
Sumber : (Nurjannah, 2021)

Daun kelor mengandung fenol banyak sebagai penangkal radikal bebas.


Fenol dalam daun segar sebesar 3,4% sedangkan pada daun kelor yang telah
diekstrak sebesar 1,6%. Penelitian lain menyatakan bahwa daun kelor
mengandung vitamin C setara vitamin C dalam jeruk, vitamin A setara
vitamin A pada wortel, kalsium setara dengan kalsium dalam 4 gelas susu,
potassium setara dengan yang terkandung dalam 3 pisang dan protein setara
dengan protein dalam 2 yoghurt, selain itu, telah diidentifikasi bahwa daun
kelor mengandung antioksidan tinggi dan antimikroba, hal ini disebabkan
oleh adanya kandungan asam askorbat, flavonoid, phenolic dan karatenoid
(Nurjannah, 2021).
5. Khasiat Dan Kegunaan
Manfaat dari daun kelor memiliki kandungan nutrisi yang melebihi dari
tanaman pada umumnya, kelor sangat penting untuk penyembuhan berbagai
penyakit. Berbagai bagian tanaman seperti daun, akar, biji, kulit kayu, buah,
bunga dan polong matang, bertindak sebagai stimulan jantung dan peredaran
darah, memiliki antitumor, antipiretik, antiepilepsin, antiinflamasi, antiulcer,
antispasmodic, diuretic, antihipertensi, penurunan kolesterol, antioksidan,
antidiabetik, aktivitas hepatoprotektif, antibakteri dan antijamur, dan saat ini
sedang digunakan untuk pengobatan penyakit yang berbeda dalam system
dunia kedokteran, khususnya di Asia Selatan (Nurjannah, 2021).
2.2 Pepaya
1. Definisi Tanaman Papaya
Pepaya (Carica papaya L.) merupakan tanaman yang berasal dari
Amerika tropika. Tanaman ini menyebar ke berbagai negara tropika dan sub-
tropika hangat seperti Karibia dan Asia Tenggara pada abad ke-16 selama
masa ekspansi Spanyol. Dalam klasifikasi tanaman, pepaya termasuk dalam
famili Caricaceae, genus Carica, dan spesies Carica papaya L (Seprizal,
2021).
2. Morfologi Tanaman Papaya
Adapun taksonomi tanaman pepapya diklasifikasikan sebagai berikut
(Restuwati, 2020):
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta (tumbuhan berbiji)
Subdivisi : Angiospermae (biji tertutup)
Kelas : Dicotyledone (biji berkeping dua/dikotil)
Ordo : Violales/Caricales
Famili : Caricaceae
Genus : Carica
Spesies : Carica papaya L.

Morfologi tanaman papaya dapat dilihat pada gambar 2.2:

a. Daun (folium)
Daun (folium) merupakan tumbuhan yang penting dan umumnya tiap
tumbuhan mempunyai sejumlah besar daun. Pepaya merupakan daun
tunggal, berukuran besar, menjari, bergerigi dan juga mempunyai bagian-
bagian tangkai daun dan helaian daun (lamina). Daun pepayamempunyai
bangun bulat atau bundar, ujung daun yang lancip, tangkai daun panjang
dan berongga. Permukaan daun licin sedikit mengkilat. Dilihat dari
susunan tulang daunnya, daun pepaya termasuk daun-daun yang
bertulang menjari.
b. Batang (caulis)
Batang (caulis) merupakan bagian yang penting untuk tempat tumbuh
tangkai daun dan tangkai buah. Bentuk batang pada tanaman pepaya yaitu
berbentuk bulat, dengan permukaan batang yang memperlihatkan berkas-
berkas tangkai daun. Arah tumbuh batang yaitu tegak lurus yaitu arahnya
lurus ke atas. Permukaan batang tanaman pepaya yaitu licin. Batangnya
berongga, umumnya tidak bercabang atau bercabang sedikit, dan
tingginya dapat mencapai 5-10 m.
c. Akar (radix)
Akar (radix) Akar pepaya merupakan akar dengan sistem akar
tunggang (radix primaria), karena akar lembaga tumbuh terus menjadi
akar pokok yang bercabang-cabang menjadi akar-akar yang lebih kecil.
Bentuk akar bulat dan berwarna putih kekuningan.
d. Bunga (flos)
Bunga (Flos) pepaya termasuk golongan tumbuhan poligam, karena
pada tumbuhan tersebut terdapat bunga jantan, bunga betina dan bunga
sempurna. Biasanya poligam dimaksud untuk menunjukkan sifat
tumbuhan berlainan dengan sifat bunga tadi yang memperlihatkan suatu
kombinasi bukan berumah satu dan juga bukan berumah dua. Bunga
pepaya termasuk bunga majemuk yang tersusun pada sebuah tangkai.
Tanaman pepaya memiliki 3 jenis bunga (Seprizal, 2021) yaitu :
1) Bunga jantan (masculus), adalah bunga yang hanya
memilikibenang sari saja (uniseksual). Bunga jantan biasanya
terdapat pada pohon jantan. Pohon jantan mudah dikenal karena
memiliki malai, bunga bercabang banyak yang mengantung dengan
bungabunga yang lebat. Jenis pohon ini tidak akan menghasilkan
buah karena bunganya tidak mempunyai bakal buah.
2) Bunga betina (pistilate) adalah bunga yang hanya memiliki putik
saja. Bunga betina biasanya terdapat pada pohon betina. Pohon
betina memiliki inflorensia dengan 3-5 bunga betina yang
bertangkai pendek. Bahkan sering hanya dengan sebuah bunga
betina yang duduk di ketiak daun. Ukuran bunganya cukup besar.
Tanpa adanya pohon jantan atau pohon sempurna, pohon betina ini
tidak dapat menghasilkan buah.
3) Bunga sempurna (hermaprodit), adalah bunga yang memiliki putik
dan benang sari (biseksual). Memiliki bunga yang sempurna
susunannya, dapat melakukan penyerbukan sendiri maka dapat
ditanam sendirian. Terdapat 3 jenis pepaya sempurna yaitu,
berbenang sari 5 dengan bakal buah bulat, berbenang sari 10
dengan bakal buah lonjong, dan berbenang sari 2–10 dengan bakal
buah mengkerut.
3. Kandungan Daun Papaya
Daun papaya merupakan daun tumbuhan berwarna hijau tua pada bagian
atas dengan tekstur halus dan berwarna muda pada bagian bawahnya, bentuk
daun papaya menjari dan bertulang (Palminervus). Daun papaya secara
tradisional digunakan sebagai obat karena dipercaya mengandung senyawa
antibakteri, vitamin C, dan vitamin E, senyawa-senyawa tersebut ada karena
hasil metabolit sekunder oleh tanamannya sendiri (Restuwati, 2020).
4. Khasiat Dan Kegunaan Daun Pepaya
Daun papaya memiliki senyawa aktif seperti antibakteri, antifungal,
antiinflamasi dan juga diketahui sebagai antiseptic. Senyawa aktif antibakteri
yang diketahui terdapat dalam daun papaya adalah flaconoid, alkaloid, tanin,
terpenoid dan saponin (tabel 3). Secara tradisional daun papaya telah sering
dijadikan sebagai obat, baik sebagai obat diare, obat untuk berbagai penyakit
kulit, dan beberapa penyakit lainnya. Terponin merupakan kandungan pada
daun papaya yang memiliki banyak fungsi seperti antibakteri, antijamur dan
beberapa fungsi lainnya. Terponin merupakan obat yang telah digunakan dari
dahulu, biasanya terdapat pada beberapa tumbuhan yang aromatic dan
berwarna kuning, peranannya terhadap bakteri salah satunya mengganggu
pembentukan membrane bakteri, karena pembentukannya tidak sempurna
sehingga mengganggu kehudupan bakteri (Restuwati, 2020).
Tabel 3. Analisis Fitokimia Daun Pepaya

Skrining Hasil Positif Hasil Yang Kesimpulan


Fitokimia Menurut Pustaka Diperoleh
Alkaloid Terbentuk endapan Terbentuk endapan Positif
merah jingga merah jingga
(Pereaksi
Dragendorff)
Terbentuk endapan Terbentuk endapan Positif
putih (Pereaksi putih
Mayer)
Terbentuk endapan Terbentuk endapan Positif
merah kecoklatan merah kecoklatan
(Pereaksi Wagner)
Triterpenoid Terbentuk warna Terbentuk warna Positif
kecoklatan atau kecoklatan
violet
Steroid Terbentuk warna Terbentuk warna Positif
biru kehijauan hijau kehijauan
Flavonoid Terbentuk warna Terbentuk warna Positif
merah tua merah kecoklatan
(magenta)
Saponin Terbentuk buih Terbentuk buih Positif
yang stabil
Tanin Terbentuk warna Terbentuk warna Positif
biru tua atau hitam hitam kehijauan
kehijauan

Senyawa kimia yang terkandung dalam daun pepaya (Carica papaya L.)
sebagai antibakteri yaitu tocophenol, alkaloid karpain, dan flavonoid
(Cahyani, 2020).
Tocophenol merupakan senyawa fenol yang ada di tanaman pepaya,
sedangkan alkaloid karpain termasuk golongan senyawa alkaloid. Mekanisme
kerja aktif sebagai antibakteri dengan cara meracuni protoplasma, merusak
dan menembus dinding sel bakteri, selain itu dapat mengendapkan protein sel
bakteri. Senyawa fenol mampu menginaktifkan enzim essensial di dalam sel
bakteri, walaupun dengan konsentrasi rendah. Senyawa fenol mampu
memutuskan ikatan peptidoglikan pada dinding sel, yaitu dengan cara
merusak ikatan hidrofobik komponen membran sel (seperti protein dan
fosfolipida) serta larutnya komponen-komponen yang berikatan secara
hidrofobik yang berakibat meningkatnya permeabilitas membran, hal ini
menyebabkan kebocoran sehingga keluarnya isi sel (Cahyani, 2020)
Alkaloid karpain memiliki gugus basa yang dapat bereaksi dengan DNA
bakteri. Reaksi ini akan merusak DNA bakteri sehingga menyebabkan
rusaknya inti sel bakteri. Kerusakan sel membuat bakteri tidak mampu
melakukan metabolisme sehingga mengalami lisis, dengan demikian bakteri
menjadi inaktif dan hancur (Cahyani, 2020).
Flavonoid bekerja sebagai inhibitor yang akan menghambat replikasi dan
transkripsi DNA bakteri. Flavonoid dapat berikatan dengan protein bakteri
ekstraseluler dan dapat melarutkan dinding sel (Cahyani, 2020).
2.3 Jahe
1. Definisi Tanaman Jahe
Jahe adalah salah satu jenis tanaman rempah yang sedang banyak
dikembangkan oleh petani. Jahe dapat diolah menjadi pemberi aroma, bumbu
masakan dan rasa pada makanan juga minuman, berbagai minuman dan
banyak bentuk olahan lainnya. Selain sebagai bahan minuman dan makanan,
jahe mempunyai banyak khasiat diantaranya adalah untuk menurunkan asam
urat, menurunkan kolestrol dan banyak khasiat yang bisa diperoleh dari
tanaman tersebut (Sebayang et al., 2020).
Jahe merah merupakan tanaman obat berupa tumbuhan rumpun berbatang
semu, termasuk keluarga Zingiberaceae. Jahe merah banyak dimanfaatkan
untuk mengobati berbagai macam penyakit seperti masuk angin, gangguan
pencernaan, antipiretik, antiinflamasi, dan juga analgesik (Herawati &
Saptarini, 2020).
2. Morfologi Tanaman Jahe
Jahe merupakan tumbuhan tahunan, berbatang semu atau lunak dengan
tinggi antara 30 cm-75 cm. berdaun sempit memanjang menyerupai pita,
dengan panjang 15 cm-23 cm, lebar lebih kurang 2,5 cm, tersusun teratur dua
baris berseling, berwarna hijau bunganya kuning kehijauan dengan bibir
bunga ungu gelap berbintik-bintik putih kekuningan dan kepala sarinya
berwarna ungu. Akarnya yang bercabang-cabang dan berbau harum,
berwarna kuning atau jingga dan berserat. Tanaman jahe hidup merumpun,
beranak-pinak, menghasilkan rimpang dan berbunga (Nirmala, 2018).
Klasifikasi jahe (Zingiber officinale) menurut (Plantamot (2016) dalam
(Nirmala, 2018)):
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Superdivisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Liliopsida
Subkelas : Commelinidae
Ordo : Zingiberales
Family : Zingiberaceae
Genus : Zingiber
Spesies : Zingiber officinale Rosc.
3. Kandungan Jahe
Dalam menu sehari-hari, jahe dan rempah-rempah lainnya merupakan
bahan penyedap rasa alami dengan kandungan zat gizi yang dapat
melengkapi nilai gizi menu utama. Jenis zat gizi dan nilai gizi rimpang jahe
mentah dapat dilihat pada Tabel 4 (Redi Aryanta, 2019).
Tabel 4. Jenis Zat Gizi dan Nilai Gizi Rimpang Jahe Mentah

Jenis Zat Gizi Nilai Gizi Per 100 g


Energi 79 kkal
Karbohidrat 17,86 g
Serat 3,60 g
Protein 3,57 g
Sodium 14 mg
Zat Besi 1,15 g
Potassium 33 mg
Vitamin C 7,7 mg
Sumber : (Redi Aryanta, 2019)

Jenis zat gizi lainnya dalam rimpang jahe dengan kuantitas rendah, adalah
magnesium, fosfor, zeng, folat, vitamin B6, vitamin A, riboflavin, dan niacin
(Redi Aryanta, 2019).
Rimpang jahe mengandung 2 komponen, yaitu volatile oil (minyak
menguap) dan nono-volatile oil (minyak tidak menguap). Volatile oil biasa
disebut minyak atsiri merupakan komponen pemberi aroma yang khas pada
jahe, umumnya larut dalam pelarut organic dan tidak larut dalam air. Minyak
atsiri merupakan salah satu dari dua komponen utama minyak jahe. Jahe
kering mengandung minyak atsiri 1-3%, sedangkan jahe segar yang tidak
dikuliti kandungan minyak atsiri lebih banyak dari jahe kering. Bagian tepi
dari umbi atau di bawah kulit pada jaringan epidermis jahe mengandung lebih
banyak minyak atsiri dari bagian tengah demikian pula dengan baunya.
Kandungan minyak atsiri juga ditentukan umur panen dan jenis jahe. Pada
umur panen muda, kangungan minyak atsiri tinggi. Sedangkan pada umur
tua, kangungannya pun makin menyusut walau baunya semakin menyengat
(Nirmala, 2018).
Non-volatile oil biasa disebut oleoresin salah satu ssenyawa kandungan
jahe yang sering diambil, dan komponen pemberi rasa pedas dan pahit. Sifat
pedas tergantung dari umur panen, semakin tua umurnya semakin terasa
pedas dan pahit. Oleoresin merupakan minyak berwarna coklat tua dan
mengandung minyak atsiri 15-35% yang diekstraksi dari bubuk jahe.
Kandungan oleoresin dapat menentukan jenis jahe. Jahe rasa pedasnya tinggi,
seperti jahe emprit, mengandung oleoresin yang tinggi dan jenis jahe badak
rasa pedas kurang karena kandungan oleoresin sedikit. Jenis pelarut yang
digunakan, pengulitan serta proses pengeringan dengan sinar matahari atau
dengan mesin mempengaruhu terhadap banyaknya oleoresin yang dihasilkan
(Nirmala, 2018).
Kandungan senyawa metabolik sekunder yang terdapat pada tanaman
jahe terutama golongan flavonoida, fenolik, terpenoida dan minyak atsiri.
Senyawa fenol jahe merupakan bagian dari komponen oleoresin, yang
berpengaruh dalam sifat pedas jahe, sedangkan senyawa terpenoida adalah
komponen-komponen tumbuhan yang mempunyai bau, dapat diisolasi dari
bahan nabati dengan penyulingan minyak atsiri. Monoterpenoid merupakan
biosintesa senyawa terpenoida, diseut juga senyawa “essence” dan memiliki
bau spesifik. Senyawa monoterpenoid banyak dimanfaatkan sebagai
antiseptic, ekstraktoran, spasmolitik, sedative, dan bahan pemberi aroma
makanan dan parfum. Senyawa-senyawa metabolic sekunder golongan
fenolik, flavonoid, terpenoida dan minyak atsiri yang terdapat pada ekstrak
jahe diduga merupakan golongan senyawa bioaktif yang dapat menghambat
pertumbuhan bakteri (Nirmala, 2018).
Kandungan gingerol dipengaruhi oleh umur tanaman dan agloklimat
tempat tumbuh tanaman jahe. Gingerol juga bersifat sebagai antioksidan
sehingga jahe bermafaat sebagai komponen bioaktif anti penuaan. Komponen
bioaktif jahe dapat berfungsi melindungi lemak atau membrane dari oksidasi,
menghambat oksidasi kolesterol dan meningkatkan kekebalan tubuh
(Nirmala, 2018).
4. Khasiat Dan Kegunaan
Jahe dimanfaatkan sebagai bahan obat herbal karena mengandung minyak
atsiri dengan senyawa kimia aktif, seperti: zingiberin, kamfer, lemonin,
borneol, shogaol, sineol, fellandren, zingiberol, gingerol, dan zingeron yang
berkhasiat dalam mencegah dan mengobati berbagai penyakit. Senyawa
kimia aktif yang juga terkandung dalam jahe yang bersifat anti-inflamasi dan
antioksidan, adalah gingerol, beta-caroten, capsaicin, asam cafeic, curcumin
dan salicilat. Jahe dapat dimanfaatkan untuk mengobati penyakit vertigo,
mual-mual, mabuk perjalanan, demam, batuk, gangguan saat menstruasi,
kanker, dan penyakit jantung (Redi Aryanta, 2019).
Jahe berkhasiat untuk mengatasi gangguan pencernaan yang berisiko
terhadap kanker usus besar dan sembelit, menyembuhkan penyakit flu,
meredakan mual-mual pada wanita yang sedang hamil, mengurangi rasa sakit
saat siklus menstruasi, mengurangi risiko serangan kanker colorectal, dan
membantu meningkatkan kesehatan jantung (Redi Aryanta, 2019).
Dari berbagai hasil penelitian, (Leach (2017) dalam Redi Aryanta, 2019)
menyimpulkan bahwa jahe sangat efektif untuk mencegah atau
menyembuhkan berbagai penyakit karena mengandung gingerol yang bersifat
antiinflamasi dan antioksidan yang sangat kuat. Lebih lanjut dinyatakan
bahwa jahe berkhasiat untuk mengatasi berbagai penyakit, seperti mual-mual
pada saat wanita sedang hamil, mengurangi rasa sakit dan nyeri otot,
membantu menyembuhkan penyakit osteoarthritis, menurunkan kadar gula
darah pada pasien yang menderita diabetes tipe 2 yang sekaligus menurunkan
risiko penyakit jantung, membantu mengatasi gangguan pencernaan kronis,
mengurangi rasa sakit saat wanita sedang menstruasi, menurunkan kadar
kolesterol jahat (LDL) dan trigliserida dalam darah, membantu mencegah
penyakit kanker (karena aktivitas 6-gingerol) terutama kanker pancreas,
payudara dan kanker ovarium, meningkatkan fungsi otak dan mengatasi
penyakit Alzheimer, dan membantu mengatasi risiko serangan berbagai
penyakit infeksi.
Sebagai bahan baku obat tradisional, jahe Sunti (jahe merah) banyak
dipilih karena kandungan minyak atsiri dengan zat gingerol dalam persentase
yang tinggi dan oleoresin yang memberikan rasa pahit dan pedas lebih tinggi
daripada jahe gajah dan jahe emprit. Jahe merah ini dimanfaatkan sebagai
pencahar, anthelmintik, dan peluruh masuk angin. Rimpang jahe merah
berkhasiat menghangatkan badan, penambah nafsu makan, peluruh keringat,
serta mencegah dan mengobati masuk angin. Di samping itu, jahe juga
berkhasiat mengatasi radang tenggorokan (bronchitis), rematik, sakit
pinggang, lemah syahwat, nyeri lambung, meningkatkan stamina tubuh,
meredakan asma, mengobati kepala pusing, nyeri otot, ejakulasi dini, dan
melancarkan air susu ibu (ASI) (Redi Aryanta, 2019).
Kandungan senyawa kimia aktif gingerol, zingeron, shogaol, gingerin dan
zingerberin dalam jahe merah menyebabkan jahe merah memiliki khasiat
yang besar untuk kesehatan, seperti: menurunkan berat badan, menjaga
kesehatan jantung, mengatasi mabuk kendaraan, mengatasi masalah
pencernaan, meredakan penyakit mual dan muntah pada wanita yang sedang
hamil, mencegah kanker usus, mengobati sakit kepala dan alergi,
memperbaiki sistem kekebalan tubuh, dan mengatasi penyakit terkait dengan
gangguan tenggorokan. Jahe merah merupakan bahan obat herbal yang
berkhasiat untuk meredakan batuk dan radang tenggorokan, menurunkan
kadar kolesterol jahat, meredakan sakit kepala, mengatasi rematik,
menurunkan berat badan, menjaga kesehatan jantung, mengatasi mual dan
masalah pencernaan, mencegah radang usus, meningkatkan sistem kekebalan
tubuh, dan menyembuhkan penyakit asma (Redi Aryanta, 2019).
2.4 ISPA
1. Definisi ISPA
Infeksi saluran pernapasan akut yang sering dikenal ISPA di adaptasi dari
istilah bahasa inggris Acute Respiratory Infections (ARI). Disebabkan oleh
virus dan bakteri yang masuk ke dalam tubuh dan berkembang biak sehingga
menimbulkan gejala penyakit. Infeksi akut berlangsung sampai 14 hari atau
lebih (Siburian, 2019).
Saluran napas yang terinfeksi meliputi pernapasan bagian atas sampai
parenkim paru. Infeksi primer atau infeksi saluran atas terjadi di atas laring,
sebaliknya infeksi pernapasan bawah terjadi di bawah laring. Infeksi saluran
atas terdiri dari Nasofaringitis akut (selesma), Faringitis akut (tonsillitis dan
faringositilitis) dan rhinitis. Sedangkan infeksi saluran pernapasan bawah
terdiri dari epilogngitis, croup (laringotrakeobronchitis), bronkitis,
bronkiolitis, dan pneumonia (Siburian, 2019).
2. Klasifikasi ISPA
ISPA atas meliputi sinusitis, faringitis, laringitis, epiglotitis, tonsilitis,
otitis. Infeksi saluran nafas bawah meliputi infeksi pada bronkus, alveoli
seperti bronkitis, bronkiolitis, pneumonia. Infeksi saluran nafas atas bila tidak
diatasi dengan baik dapat menyebabkan infeksi saluran nafas bawah (Bupu,
2020).
Infeksi saluran nafas atas yang paling banyak terjadi serta perlunya
penanganan dengan baik karena dampak komplikasinya yang membahayakan
adalah otitis, sinusitis, dan faringitis. ISPA diklasifikasikan menjadi ISPAatas
dan bawah (Bupu, 2020).
a. ISPA Atas
1) Batuk Pilek
Batuk pilek (common cold) adalah infeksi primer nasofaring dan
hidung yang sering mengenai bayi dan anak. Penyakit ini cenderung
berlangsung lebih berat karena infeksi mencakup daerah sinus
paranasal, telinga tengah, dan nasofaring disertai demam yang tinggi.
Faktor predisposisinya antara lain kelelahan, gizi buruk, anemia dan
kedinginan. Pada umumnya penyakit terjadi pada waktu pergantian
musim.
2) Sinusitis
Sinusitis merupakan peradangan pada mukosa sinus paranasal.
Peradangan ini banyak dijumpai pada anak dan dewasa yang biasanya
didahului oleh infeksi saluran napas atas. Sinusitis dibedakan menjadi
sinusitis akut, yaitu infeksi pada sinus paranasal selama 30 hari baik
dengan gejala yang menetap maupun berat. Gejala menetap yang
dimaksud adalah gejala seperti keluarnya cairan dari hidung, batuk di
siang hari yang akan bertambah parah pada malam hari yang
bertahan selama 10-14 hari, yang dimaksud dengan gejala yangberat
adalah disamping adanya sekret yang purulen juga disertai demam
(bisa sampai 39ºC) selama 3-4 hari. Sinusitis berikutnya adalah
sinusitis subakut dengan gejala yang menetap selama 30-90 hari.
Sinusitis berulang adalah sinusitis yang terjadi minimal sebanyak 3
episode dalam kurun waktu 6 bulan atau 4 episode dalam 12 bulan.
Sinusitis kronik didiagnosis bila gejala sinusitis terus berlanjut hingga
lebih dari 6 minggu.
Sinusitis bakteri dapat pula terjadi sepanjang tahun oleh karena itu
selain virus, yaitu adanya obstruksi oleh polip, alergi, benda asing,
tumor dan infeksi gigi. Penyebab lain adalah immunodefisiensi,
abnormalitas sel darah putih dan bibir sumbing
3) Otitis Media
Otitis media merupakan inflamasi pada telinga bagian tengah dan
terbagi menjadi otitis media akut, otitis media efusi, dan otitis media
kronik. Infeksi ini banyak menjadi problem pada bayi dan anak-anak.
Otitis media mempunyai puncak insiden pada anak usia 6 bulan - 3
tahun dan diduga penyebabnya adalah obstruksi tuba Eustachius dan
sebab sekunder yaitu menurunnya imunokompetensi pada anak.
Disfungsi tuba Eustachius berkaitan dengan adanya infeksi saluran
napas atas dan alergi. Beberapa anak yang memiliki kecenderungan
otitis akan mengalami 3-4 kali episode otitis pertahun atau otitis
media yang terus menerus selama>3 bulan (Otitis media kronik).
4) Tonsilitis
Tonsilitis merupakan inflamasi atau pembengkakan akut pada
tonsil atau amandel. Organisme penyebab utamanya meliputi
Streptokokus atau Stafilokokus. Infeksi terjadi pada hidung menyebar
melalui sistem limpa ke tonsil. Hiperthropi yang disebabkan infeksi,
bisa menyebabkan tonsil membengkak sehingga bisa menghambat
keluar masuknya udara. Manifestasi klinis yang ditimbulkan meliputi
pembengkakan tonsil yang mengalami edema dan berwarna merah,
sakit tenggorokan, sakit ketika menelan, demam tinggi dan eksudat
berwarna putih keabuan pada tonsil, selain itu juga muncul abses
pada tonsil.
5) Faringitis
Faringitis adalah peradangan pada mukosa faring dan sering
meluas ke jaringan sekitarnya. Faringitis biasanya timbul
bersamasama dengan tonsilitis, rhinitis dan laringitis. Faringitis
banyak diderita anak-anak usia 5-15 tahun di daerah dengan iklim
panas. Faringitis dijumpai pula pada dewasa yang masih memiliki
anak usia sekolah atau bekerja di lingkungan anak-anak.
6) Laringitis
Laringitis adalah proses peradangan dari membran mukosa yang
membentuk laring. Penyebab laringitis umumnya adalah
Streptococcus hemolyticus, Streptococcus viridans, Pneumokokus,
Staphylococcus hemolyticus dan Haemophilus influenzae. Tanda dan
gejalanya antara lain demam, batuk, pilek, nyeri menelan dan pada
waktu bicara, suara serak, sesak napas, stridor. Bila penyakit berlanjut
terus akan terdapat tanda obstruksi pernapasan, berupa gelisah, napas
tersengal-sengal, sesak dan napas bertambah berat.
b. ISPA Bawah
1) Bronchitis
Bronkitis merupakan ISPA bagian bawah, terjadi peradangan di
daerah laring, trakhea dan bronkus. Disebabkan oleh virus, yaitu:
rhinovirus, Respiratory Sincytial Virus (RSV), virus influenzae, virus
para influenzae, dan Coxsackie virus. Dengan faktor predisposisi
berupa alergi, perubahan cuaca, dan polusi udara. Dengan tanda dan
gejala batuk kering, suhu badan rendah atau tidak ada demam, kejang,
kehilangan nafsu makan, stridor, napas berbunyi, dan sakit di tengah
depan dada.
2) Bronkiolitis
Bronkiolitis adalah infeksi saluran pernapasan akut bawah yang
disebabkan oleh virus. Bronkiolitis disebabkan oleh RSV, yang
didahului oleh infeksi saluran bagian atas disertai dengan batuk pilek
beberapa hari, tanpa disertai kenaikan suhu, sesak napas, pernapasan
dangkal dan cepat, batuk dan gelisah. Gejala bronkiolitis pada bayi
biasanya berupa obstruksi saluran pernapasan dan wheezing.
3) Pneumonia
Pneumonia adalah ISPA bagian bawah yang mengenai parenkim
paru. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri, yaitu Streptococcus
pneumonia dan Haemophillus influenzae. Pada bayi dan anak kecil
ditemukan Staphylococcus aureus sebagai penyebab pneumonia yang
berat dan sangat progresif dengan mortalitas tinggi. Gejala pneumonia
bervariasi, tergantung umur penderita dan penyebab infeksinya.
Gejala-gejala yang sering didapatkan pada anak adalah napas cepat
dan sulit bernapas, mengi, batuk, demam, menggigil, sakit kepala, dan
nafsu makan hilang.
3. Etiologi ISPA
Etiologi penularan ISPA menurut Zul Dahlan dalam buku Ilmu Penyakit
Dalam Edisi Kelima sebagai berikut: bakteri Streptococcus pneumonia
penyebarannya melalui droplet, Staphylococcus aureus menyebar melalui
selang infus, sedangkan Enterobactor dan Pneucoccus aeruginosa menyebar
melalui darah. Dewasa ini perubahan mikroorganisme penyebab ISPA
mengakibatkan perubahan pada sistem imun penderita, polusi lingkungan,
dan pemakaian antibiotik yang tidak sesuai, hingga mengakibatkan
perubahan ciri bakteri. Sehingga peningkatan patogenitas bakteri, khususnya
Diplococcus pneumoniae, Streptococcus pyogenes, Haemophilus influenza,
Branhamella catarrhalis, dan Enterobacteriaceae. Virus antara lain
influenza, adenovirus, sitomegalvirus (Siburian, 2019).
4. Tanda Dan Gejala ISPA
Tanda dan gejala ISPA berdasarkan tingkat keparahannya menurut WHO
(2007) dalam (Bupu, 2020), dapat dilihat pada tabel 5 berikut.
Tabel 5. Tanda dan Gejala ISPA

No Tingkat Keparahan Gejala


1 ISPA ringan Batuk, pilek dan tanpa demam
Pernapasan cepat:
Umur 2 bulan - <12 bulan: 50 kali atau lebih permenit
Umur 12 bulan - <5 tahun: 40 kali atau lebih permenit
2 ISPA sedang
Sesak napas
Suhu tubuh lebih dari 38ºC
Wheezing yaitu napas bersuara
Sakit atau keluar cairan dari teling
3 ISPA berat Pernapasan cepat:
Umur 2 bulan - <12 bulan: 50 kali atau lebih permenit
Umur 12 bulan - <5 tahun: 40 kali atau lebih permenit
Sesak nafas
Suhu tubuh lebih dari 38° C
Wheezing yaitu napas bersuara
Sakit atau keluar cairan dari telinga
Lubang hidung kembang kempis (dengan cukup lebar)
saat bernapas
Kesadaran menurun
Bibir/kulit pucat kebiruan
Nadi cepat atau tidak teraba
Nafsu makan menurun
Gelisah
Batuk, pilek, dan tanpa demam

5. Faktor Resiko ISPA


Terdapat tiga faktor risiko penyebab terjadinya ISPA secara umum, yaitu
faktor lingkungan, faktor individu, serta faktor perilaku (Bupu, 2020).
a. Faktor Lingkungan
1) Pencemaran Udara
Pencemaran udara dalam rumah, asap rokok dan asap hasil
pembakaran bahan bakar untuk memasak dengan konsentrasi tinggi
dapat merusak mekanisme pertahanan paru sehingga akan
memudahkan timbulnya ISPA. Hal ini dapat terjadi pada rumah yang
keadaan ventilasinya kurang dan dapur terletak di dalam rumah,
bersatu dengan kamar tidur, ruang tempat bayi dan anak balita
bermain. Hal ini lebih dimungkinkan karena bayi dan anak balita
lebih lama berada di rumah bersama–sama ibunya sehingga dosis
pencemaran tentu akan lebih tinggi.
2) Ventilasi Rumah
Ventilasi yaitu proses penyediaan udara atau pengerahan udara ke
atau dari ruangan baik secara alami maupun secara mekanis.
b. Faktor Individu
1) Umur
Sejumlah studi yang beredar menunjukkan bahwa insiden
penyakit pernapasan oleh virus melonjak pada bayi, balita dan usia
dini anak-anak tetapi akan menurun ketika remaja.
2) Berat Badan Lahir
Berat badan lahir menentukan pertumbuhan dan perkembangan
fisik dan mental pada masa balita. Bayi dengan Berat Badan Lahir
Rendah (BBLR) mempunyai risiko kematian yang lebih besar
dibandingkan dengan berat badan lahir normal, terutama pada
bulanbulan pertama kelahiran karena pembentukan zat anti kekebalan
kurang sempurna sehingga lebih mudah terkena penyakit infeksi.
3) Status Imunisasi
Imunisasi adalah menyuntikkan virus atau bakteri yang sudah
dilemahkan atau dimatikan dengan dosis tertentu (kecuali untuk
vaksin polio, yang biasanya diberikan lewat mulut). Vaksin dirancang
untuk memicu tubuh agar membuat antibodi, tapi tidak cukup kuat
untuk bisa menimbulkan infeksi atau penularan dari penyakit itu
sendiri. Imunisasi dapat mencegah atau meminimalkan risiko terkena
beberapa penyakit menular yang sering menyerang bayi, balita dan
anak-anak seperti ISPA.
Sebagian besar kematian ISPA berasal dari jenis ISPA yang
berkembang dari penyakit yang dapat dicegah dalam imunisasi seperti
difteri, pertusis, dan campak sehingga peningkatan cakupan imunisasi
akan berperan besar dalam upaya pemberantasan ISPA. Untuk
menghindari faktor yang meningkatkan mortalitas ISPA, diupayakan
imunisasi lengkap bayi dan balita yang mempunyai status imunisasi
lengkap bila menderita ISPA dapat diharapkan perkembangan
penyakit tidak menjadi lebih berat.
c. Faktor Perilaku
Faktor perilaku dalam pencegahan dan penanggulangan ISPA pada
bayi dan balita, dalam hal ini adalah praktek penanganan ISPA di
keluarga baik yang dilakukan oleh ibu ataupun anggota keluarga lainnya.
Keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat tinggal dalam suatu
rumah tangga, satu dengan yang lainnya saling tergantung dan
berinteraksi. Bila salah satu atau beberapa anggota keluarga saling
mempunyai masalah kesehatan, maka akan berpengaruh terhadap anggota
keluarga lainnya (Bupu, 2020).
Peran aktif keluarga atau masyarakat dalam menangani ISPA sangat
penting, karena penyakit ISPA merupakan penyakit yang ada sehari – hari
di dalam masyarakat atau keluarga. Penyakit ini banyak menyerang balita,
sehingga ibu dan anggota keluarga yang sebagian besar dekat dengan
balita mengetahui dan terampil menangani ketika anaknya sakit.
Berdasarkan hal tersebut dapat diartikan dengan jelas bahwa peran
keluarga dalam praktek penanganan dini balita sakit ISPA sangatlah
penting, sebab bila praktek penanganan ISPA tingkat keluarga yang
kurang atau buruk akan berpengaruh pada perjalanan penyakit dari ringan
menjadi bertambah berat.
6. Cara Penularan ISPA
ISPA termasuk penyakit menular yang ditularkan melalui udara (air
borne desease). Penularan agen penyakit melalui droplet nuclei (partikel
kecil hasil saluran pernapasan dan ludah) yang tetap infeksius di udara pada
jarak jauh dan waktu yang lama. Cara penularan ISPA bisa melalui kontak
langsung maupun tidak. Kontak langsung terjadi antara permukaan tubuh,
dan perpindahan mikroorganisme terinfeksi ke tubuh penjamu yang rentan.
Penularan tidak langsung dapat terjadi dengan melibatkan kontak antara
penjamu yang rentan dengan benda perantara yang terkontaminasi yang
membawa dan memindahkan organisme tersebut (WHO, 2016 dalam
(Siburian, 2019)).
7. Penatalaksanaan Kasus ISPA
Penatalaksanaan terapi ISPA tidak hanya bergantung pada penggunaan
antibiotik, ISPA yang disebabkan oleh virus tidak memerlukan terapi
antibiotik, cukup didukung dengan terapi suportif. Terapi suportif berperan
dalam mendukung keberhasilan terapi antibiotik, karena dapat mengurangi
gejala dan meningkatkan performa pasien. Obat yang digunakan pada terapi
suportif umumnya merupakan obat bebas yang bisa didapat di apotek, dengan
berbagai macam variasi. Penggunaan antibiotik pada terapi penyakit infeksi
yang disebabkan oleh bakteri, sebaiknya sebelum memulai terapi dengan
antibiotik sangat penting untuk dipastikan apakah infeksi yang disebabkan
oleh bakteri benar-benar ada. Penggunaan antibiotik tanpa adanya landasan
atau bukti adanya infeksi dapatmenyebabkan resistensi terhadap suatu
antibiotik. Bukti infeksi dapat dilihat dari kondisi klinis pasien, yaitu demam,
leukositsis maupun hasil kultur (Bupu, 2020).
Terapi suportif merupakan terapi yang bertujuan untuk mendukung
pengobatan utama, dalam kasus ini yaitu pengobatan ISPA. Obat – obat yang
biasa digunakan sebagai terapi suportif dalam pengobatan ISPA, yaitu:
analgesik – antipiretik, mukolitik, bronkodilator, antihistamin, dekongestan,
kortikosteroid (Bupu, 2020).
8. Pencegahan Dan Pemberantasan ISPA
Pencegahan primer, menurut Kemenkes RI (2015) dalam (Siburian, 2019)
menjelaskan bahwa pencegahan tingkat pertama yang dapat dilaksanakan
untuk penyakit infeksi saluran pernapasan akut adalah dengan penemuan
kasus ISPA pada balita yang harus ditingkatkan. Penemuan kasus ISPA
merupakan hal penting yang dapat membantu tenaga kesehatan untuk
melakukan intervensi terkait pencegahan penyakit ini.
Berikut adalah beberapa langkah pencegahan primer yang dapat
dilakukan untuk mencegah penyakit ISPA pada balita :
a. Menghindarkan bayi/balita dari paparan asap rokok, polusi udara dan
tempat keramaian yang berpotensi penularaan.
b. Menghindarkan bayi/balita dari kontak dengan penderita ISPA.
c. Membiasakan pemberian ASI.
Pencegahan sekunder, upaya pencegahan penyakit ISPA pada balita dapat
dilakukan dengan pengobatan. Pengobatan ditujukan kepada pemberantasan
mikroorganisme penyebabnya. Walaupun adakalanya tidak diperlukan
antibiotika jika penyebabnya adalah virus. Antibiotika akan diberikan jika
penderita telah ditetapkan sebagai penderita Pneumonia/ISPA.
Menurut Kemenkes RI (2015) dalam (Siburian, 2019) pengobatan
penyakit ISPA dapat dilaksanakan sesuai dengan pola tatalaksana penderita
yang dipakai dalam pelaksanaan Pengendalian ISPA untuk penanggulangan
ISPA pada Balita didasarkan pada pola tatalaksana penderita ISPA yang
diterbitkan WHO tahun 1988 yang telah mengalami adaptasi sesuai kondisi
Indonesia. ISPA pada balita salah satu manifestasinya adalah ISPA.
Pencegahan tersier, tingkat pencegahan ini ditujukan kepada balita
penderita ISPA agar tidak bertambah parah dan mengakibatkan kematian
(Siburian, 2019).
a. ISPA Sangat Berat : jika anak semakin memburuk setelah pemberian
kloram fenikol selama 48 jam, periksa adanya komplikasi dan anti dengan
kloksasilin ditambah gentamisin jika diduga suatu ISPA stafilokokus.
b. ISPA Berat : jika anak tidak membaik setelah pemberian benzilpenisilin
dalam 48 jam atau kondisinya memburuk setelah pemberian benzil
penisilin kemudian periksa adanya komplikasi dan anti dengan
kloramfenikol. Jika anak masih menunjukkan tanda ISPA setelah 10 hari
pengobatan antibiotik maka cari penyebab ISPA persistensi.
c. ISPA : coba untuk melihat kembali anak setelah 2 hari dan periksa
adanya tanda-tanda perbaikan (pernapasan lebih lambat, demam
berkurang, nafsu makan membaik). Jika anak tidak membaik sama sekali
tetapi tidak terdapat tanda ISPA berat atau tanda lain penyakit sangat
berat, maka ganti antibiotik dan pantau secara ketat.
DAFTAR PUSTAKA

Arifin, S. (2021). Formulasi, uji stabilitas fisik dan aktivitas antimikroba gel hand
sanitizer dari kombinasi ekstrak daun sirih hijau (Piper betle) dan ekstrak daun
kelor (Moringa oleifera). http://digilib.uinsby.ac.id/45835/

Bupu, D. Y. (2020). Program studi sarjana farmasi universitas citra bangsa kupang
2020.

Cahyani, I. (2020). Uji Efektivitas Ekstrak Daun Pepaya (Carica papaya L.) dalam
Menghambat Pertumbuhan Bakteri Streptococcus mutans  Rongga Mulut secara
In Vitro. Repository USU.

Herawati, I. E., & Saptarini, N. M. (2020). Studi Fitokimia pada Jahe Merah
(Zingiber officinale Roscoe Var. Sunti Val). Majalah Farmasetika., 4(Suppl 1),
22–27. https://doi.org/10.24198/mfarmasetika.v4i0.25850

Laras. (2018). EFEKTIVITAS EKSTRAK DAUN KELOR (Moringa oleifera L.)


DALAM PENGENDALIAN ULAT KROP(Crocidolomia pavonana F.) PADA
TANAMAN KUBIS (Brassica oleracea L. var. capitata).

Nirmala, P. D. Y. (2018). PENGARUH PENAMBAHAN VARIASI SARI JAHE


(Zingiber officinale) TERHADAP KUALITAS YOGHURT SECARA UJI
ORGANOLEPTIK SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat.

Nurjannah, A. (2021). FORMULASI DAUN KELOR ( Moringa oliefera ) DAN


DAUN SIRSAK ( Annona muricata ) PADA PEMBUATAN TEH HERBAL.

Redi Aryanta, I. W. (2019). Manfaat Jahe Untuk Kesehatan. Widya Kesehatan, 1(2),
39–43. https://doi.org/10.32795/widyakesehatan.v1i2.463

Restuwati, A. F. (2020). Perbandingan efektivitas ekstrak daun dan biji pepaya


(Carica Papaya L) terhadap bakteri Methicilin Resisten Staphylococcus Aureus
(MRSA) secara In Vitro. http://etheses.uin-malang.ac.id/id/eprint/18997

Sebayang, H. T., Yurlisa, K., Widaryanto, E., Aini, N., & Azizah, N. (2020).
Penerapan Teknologi Budidaya Tanaman Jahe di Pekarangan Berbasis Pertanian
Sehat di Desa Bokor, Kabupaten Malang. Jurnal Pengabdian Pada Masyarakat,
5(1), 45–50. https://doi.org/10.30653/002.202051.254

Seprizal, M. H. (2021). SKRIPSI RESPON PERTUMBUHAN BIBIT PEPAYA


( Carica papaya L .) PADA PERBANDINGAN MEDIA TANAM RESPON
PERTUMBUHAN BIBIT PEPAYA ( Carica papaya L .) PADA
PERBANDINGAN MEDIA TANAM.

Siburian, Y. E. (2019). Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian Infeksi


Saluran Pernafasan Akut pada Balita Di Puskesmas Padang Bulan Kota Medan.
Universitas Sumatera Utara.

Veronika, M. (2017). EFEKTIVITAS EKSTRAK DAUN KELOR (Moringaoleifera)


SEBAGAI BIO-SANITIZER TANGAN DAN DAUN SELADA (Lactuca sativa). 4,
1–15.

Wulandari, S. Y. (2021). SKRIPSI SUBSTITUSI TEPUNG DAUN KELOR ( Moringa


oleifera Lam ) DALAM RANSUM BASAL TERHADAP PLASMA SUBSTITUSI
TEPUNG DAUN KELOR ( Moringa oleifera Lam ) DALAM RANSUM BASAL
TERHADAP PLASMA.

Anda mungkin juga menyukai