Anda di halaman 1dari 20

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Tanaman

Moringa oleifera atau Moringa pterygosperma Gaertn yang biasa

kita sebut dengan kelor merupakan tanaman yang biasa dimanfaatkan

sebagai sayuran. Berdasarkan data, diketahui bahwa kelor merupakan

tanaman multiguna. Hampir semua bagaian dari tanaman kelor dapat

dijadikan sebagai sumber makanan sekaligus pakan ternak dan unggas.

Lebih dari itu, berdasarkan kandungan kimianya kelor mempunyai

manfaat yang luar biasa bagi pengobatan penyakit tertentu (Setyo

Kurniawan, 2013: 10&17).

Kelor termasuk jenis tanaman berkayu yang pertumbuhannya

relatif cepat. Pada umur setahun, tanaman ini bisa mencapai tinggi 4 m.

Pembungaan pertama terjadi pada umur 1,5 tahun dan dapat berbunga

sepanjang tahun. Tinggi maksimal pohon kelor bisa mencapai 11 – 12 m

dengan diameter batang 20-40 m (Anonim, 2011: 7).

2.1.1 Sistematika Tumbuhan

Adapun klasifikasi tanaman kelor adalah sebagai berikut :

o Kingdom : Plantae (tanaman)

o Subkingdom : Tracheobionta (tanaman berpembuluh)

o Superdivisi : Spermatophyta (menghasilkan biji)

7
8

o Divisi : Magnoliophyta (Tanaman berbunga)

o Kelas : Magnoliopsida (berkeping dua/dikotil)

o Subkelas : Dilleniidae

o Ordo : Capparales

o Famili : Moringaceae

o Genus : Moringa

o Spesies : Moringa oleifera

(Setyo Kurniawan, 2013: 11)

Gambar 2.1 Tanaman Kelor

2.1.2 Nama Daerah

Di Indonesia, tanaman kelor dikenal dengan berbagai nama.

Masyarakat Sulawesi menyebutnya kero, wori, atau keloro. Orang-orang

Madura menyebutnya maronggih. Di Sunda dan Melayu disebut kelor. Di

Aceh disebut murong. Di Ternate dikenal sebagai kelo. Di Sumba disebut


9

kawona. Sedangkan orang-orang Minang mengenalnya dengan nama

munggai (Okki Diana Putri, 2011: 11).

2.1.3 Morfologi Tumbuhan

Menurut Okki Diana Putri (2011: 13-15), berikut ini ciri-ciri dari

setiap bagian pada tanaman kelor :

1) Akar (radix)

Tanaman kelor mempunyai akar yang kuat. Akar ini berupa

akar tunggang yang berwarna putih dan membesar seperti lobak. Kulit

akar berasa dan berbau tajam serta pedas. Kulit ini bagian dalamnya

berwarna kuning pucat, bergaris halus, tetapi terang dan melintang.

2) Batang (caulis)

Tanaman kelor mempunyai batang yang berkayu (lignosus),

tegak, berwarna putih kotor, berkulit tipis, dan permukaan yang kasar.

Arah percabangan batang tegak atau miring, cenderung tumbuh lurus

dan memanjang.

3) Daun (folium)

Daun kelor yang berbentuk bulat telur (oval) memiliki

karakteristik bersirip tak sempurna, kecil, berbentuk telur, dan sebesar

ujung jari, namun bersusun majemuk dalam satu tangkai. Helaian anak

daun memiliki warna hijau sampai hijau kecoklatan. Panjang daun 1-3

cm, lebar 4 mm sampai 1 cm. Ujung daun tumpul, pangkal daun

membulat, sedangkan tepi daun rata.


10

4) Bunga

Bunganya berwarna putih kekuningan dan tudung pelepah

bunganya berwarna hijau. Bunga kelor keluar sepanjang tahun dengan

aroma bau semerbak. Bunga muncul di ketiak daun (axillaris),

bertangkai panjang, kelopak berwarna putih agak krem, menebar

aroma khas.

5) Buah atau Polong

Buah kelor berbentuk segitiga dengan panjang sekitar 20-50

cm. Di dalam buah kelor terdapat banyak biji yang dapat dimanfaatkan

sebagai bahan perkembangbiakan. Buah muda berwarna hijau, dan

setelah tua menjadi warna coklat.

6) Biji

Biji kelor berbentuk bulat dan berwarna coklat kehitaman. Biji

ini terdapat di dalam buah kelor yang dipanen setelah berumur 12-18

bulan.

2.1.4 Kandungan Daun Kelor

Tabel 2.1 Perbandingan jumlah zat/unsur pada daun kelor basah dan
kering

Jumlah pada daun Jumlah pada daun


Zat/unsur
kelor segar kelor kering
11

Protein 6,8 g 27,1 g

Lemak 1,7 g 2,3 g

Betakaroten (Vitamin A) 6,78 mg 18,9 mg

Thiamin (Vitamin B1) 0,06 mg 2,64 mg

Riboflavin (Vitamin B2) 0,05 mg 20,05 mg

Vitamin C 220 mg 17,83 mg

Kalsium 440 mg 2.003 mg

Kalori 92 kal 205 kal

Karbohidrat 12,5 g 38,2 g

Serat 0,9 g 19,2 g

Ferrum (zat besi) 0,85 mg 28,2 mg

Magnesium 42 mg 368 mg

Fosfor 70 mg 204 mg

Kalium 259 mg 1324 mg

Zinc (seng) 0,16 mg 3,29 mg

(Setyo Kurniawan, 2013: 13-14)

Tanaman kelor memiliki daun yang mengandung nutrisi paling

lengkap dibandingkan tanaman jenis apapun. Selain vitamin dan mineral,

daun kelor juga mengandung semua asam amino esensial (asam amino

yang tidak diproduksi sendiri oleh tubuh, sehingga harus disuplai dari luar

tubuh dalam bentuk jadi). Sumber lain menyebutkan bahwa daun kelor

mengandung zat kimia, seperti alkaloid moringin, moringinan, dan

pterigospermin. Pterigospermin merupakan kandungan kimia antibakteria,

memiliki efek antibiotik terhadap spesies Staphylococcus, dan anti jamur

(Adi D. Tilong, 2012: 19-21&167).


12

2.1.5 Manfaat Daun Kelor

Beberapa manfaat daun kelor diantaranya :

1) Menurut hasil penelitian Dr. Daoo Jayeshree di Jhunjhunwala

College, Mumbai, India, daun kelor terbukti dapat memberikan

efek signifikan untuk mengatasi diabetes melitus

2) Mengurangi kadar kolesterol yang berlebih

3) Mengurangi resiko terkena rabun senja

4) Mengobati sakit mata

5) Mengobati Biduran (Alergi)

6) Mengobati abses

7) Mengobati penyakit cacingan

8) Mengobati epilepsi

9) Mengobati sariawan

10) Sebagai obat kulit seperti kurap dengan cara digosokkan

(Setyo Kurniawan, 2013: 22-35).

2.2 Ekstraksi

2.2.1 Pengertian Ekstraksi


13

Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia dari

simplisia nabati atau hewani dengan pelarut yang sesuai sehingga terpisah

dari bahan yang tidak dapat larut (Ditjen POM, 2000).

Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair dibuat dengan

penyari simplisia menurut cara yang cocok, diluar pengaruh cahaya

matahari langsung. Ekstrak kering harus mudah digerus menjadi serbuk

(Direktorat OAI, 2010).

2.2.2 Metode Ekstraksi

1. Cara Dingin

a) Maserasi

Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan

menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau

pengadukan pada temperatur ruangan (kamar). Remaserasi berarti

dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan

penyaringan maserat pertama, dan seterusnya (Ditjen POM, 2000).

b) Perkolasi

Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru

sampai sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur

ruangan. Proses terdiri dari tahapan pengembangan bahan, antara

tahap maserasi dan tahap perkolasi sebenarnya

(penetesan/penampungan) yang terus menerus sampai ekstrak yang

diinginkan habis tersari (Ditjen POM, 2000).

2. Cara Panas
14

a) Refluks

Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur

titih didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas

yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik (Ditjen POM,

2000).

b) Sokletasi

Sokletasi adalah ekstraksi dengan menggunakan pelarut

yang selalu baru yang umumnya dilakukan dengan menggunakan

alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah

pelarut yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik (Ditjen

POM, 2000).

c) Digesti

Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan

kontinu) pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur

ruangan, yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40-50°C

(Ditjen POM, 2000).

d) Infusa

Infusa adalah proses penyarian yang umumnya digunakan

untuk menyari zat kandungan aktif yang larut dalam air dari bahan-

bahan nabati. Infus adalah sediaan cair yang dibuat dengan

menyari simplisia menggunakan air pada temperatur 96-98°C

selama 15-20 menit (Direktorat OAI, 2010).

e) Dekok
15

Dekok adalah sediaan cair yang dibuat dengan

mengekstraksi sediaan herbal dengan air pada suhu 90°C selama

30 menit (Direktorat OAI, 2010).

2.3 Alkohol

Gugus fungsional alkohol adalah gugus hidroksil (-OH). Dengan

demikian, alkohol mempunyai rumus umum ROH. Alkohol paling

sederhana dan yang paling umum dikenal adalah: metil alkohol (CH3OH)

atau metanol dan etil alkohol (CH3CH2OH) atau etanol (Sarker dan Nahar,

2009).

Metanol ( metil alkohol) Etanol (etil alkohol)

Gambar 2.2 Struktur metanol dan etanol

2.3.1 Tata Nama

Secara umum, nama alkohol berakhiran dengan –ol. Suatu alkohol

dapat dinamai dengan alkil alkohol, yang biasanya untuk gugus-gugus

alkil yang kecil, seperti metil alkohol dan etil alkohol. Rantai karbon

terpanjang yang mengikat gugus –OH digunakan sebagai induk, huruf –a

terakhir pada alkana diganti dengan –ol untuk memperoleh nama akhir.
16

Rantai terpanjang dinomori dengan karbon ujung terdekat dengan gugus –

OH dan dinomori sebagai C-1. Alkohol siklik mempunyai awalan siklo-

dan karbon yang mengikat gugus –OH selalu dianggap sebagai C-1

(Sarker dan Nahar, 2009).

2.3.2 Sifat – Sifat Fisik Alkohol

Alkohol dapat dianggap sebagai molekul organik yang analog

dengan air. Kedua ikatan C-O dan H-O bersifat polar karena

elektronegatifitas pada oksigen. Sifat ikatan O-H yang sangat polar

menghasilkan ikatan hidrogen dengan alkohol lain atau dengan sistem

ikatan hidrogen yang lain, misal alkohol dengan air dan dengan amina.

Jadi, alkohol mempunyai titik didih yang cukup tinggi disebabkan oleh

adanya ikatan hidrogen antar-molekul (ikatan hidrogen antar-molekul).

Alkohol lebih polar dibanding hidrokarbon, dan alkohol merupakan

pelarut yang baik untuk molekul-molekul polar (Sarker dan Nahar, 2009).

2.4 Bakteri

2.4.1 Pengertian Bakteri

Bakteri merupakan organisme uniseluler yang relatif sederhana.

Karena materi genetik tidak diselimuti oleh selaput membran inti sel, sel

bakteri disebut dengan sel prokariot (Maksum Radji, 2013: 7).


17

Bakteri merupakan organisme uniseluler, prokariot (nukleoid),

tidak berklorofil, saprofit atau parasit, pembelahan biner, termasuk protista

(Agnes Sri Harti, 2012: 9).

Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa bakteri adalah

organisme uniseluler dan tergolong prokariotik (tidak mempunyai

membrane inti sel atau nukleus yang jelas) dengan pembelahan biner.

Faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan bakteri

antara lain:

1) Suhu berperan penting dalam mengatur proses reaksi metabolisme

semua organisme.

2) Kelembaban sangat dibutuhkan dalam kehidupan bakteri.

Kebanyakan bakteri memerlukan kelembaban relative tinggi,

diperlukan sampai mencapai 85%.

3) Cahaya merupakan satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan

bakteri. Peningkatan intensitas cahaya justru berakibat buruk bagi

pertumbuhan. Cahaya hanya diperlukan untuk proses fotosintesis.

4) Manusia membuat bahan kimia yang dapat menghambat bakteri.

Zat yang menghambat perkembangbiakan bakteri tanpa membunuh

dinamakan antiseptic. Sedang zat kimia yang membunuh bakteri

dikenal sebagai desinfektan atau bakterisida (Yuli Atmaji, 2013:

37-38).

2.5 Bakteri Staphylococcus aureus


18

Gambar 2.3 Staphylococcus aureus

Klasifikasi Staphylococcus aureus sebagai berikut :

o Ordo : Eubacteriales

o Famili : Micrococcaceae

o Genus : Staphylococcus

o Species : Staphylococcus aureus

o Keterangan : Kedapatan pada kulit, selaput lender, bisul-bisul

dan luka-luka (Yuli Atmaji, 2013: 52).

Bakteri Staphylococcus aureus termasuk dalam famili

Micrococcaceae, bakteri ini berbentuk bulat bulat. Koloni mikroskopik

cenderung berbentuk menyerupai buah anggur. Menurut bahasa Yunani,

Staphyle berarti anggur dan coccus berarti bulat atau bola. Salah satu

spesies menghasilkan pigmen berwarna kuning emas sehingga dinamakan

aureus (berarti emas, seperti matahari). Bakteri ini dapat tumbuh dengan

atau tanpa bantuan oksigen (Maksum Radji, 2013: 179).


19

Staphylococcus aureus kebanyakan berkoloni di saluran hidung

dan dibagian tubuh lain. Staphylococcus aureus membentuk koloni

berwarna kuning pada media yang kaya nutrisi, sering kali bersifat

hemolitik pada media agar yang mengandung darah. Staphylococcus

aureus dapat tumbuh pada suhu 15-45°C dan dalam larutan NaCl

berkonsentrasi 15%. Bakteri ini termasuk bakteri yang memiliki daya

tahan paling kuat. Pada agar miring, Staphylococcus aureus dapat tetap

hidup berbulan-bulan, baik dalam lemari es maupun pada suhu kamar

(Maksum Radji, 2013: 180-181).

2.6 Antibakteri

2.6.1 Pengertian Antibakteri

Antibakteri adalah zat yang dapat mengganggu pertumbuhan atau

bahkan membunuh bakteri dengan cara mengganggu metabolisme

mikroba yang merugikan. Mikroorganisme dapat menyebabkan bahaya

karena kemampuan menginfeksi dan menimbulkan penyakit serta merusak

bahan pangan. Antibakteri termasuk ke dalam antimikroba yang

digunakan untuk menghambat pertumbuhan bakteri (Wikipedia, 2012).

2.6.2 Mekanisme Kerja Antibakteri

Mekanisme kerja senyawa antibakteri menurut Pelczar dan Chan

(2005), sebagai berikut :

a. Kerusakan pada dinding sel

Struktur dinding sel dapat dirusak dengan cara menghambat

pembentukannya atau mengubahnya setelah selesai terbentuk.


20

b. Perubahan permeabilitas sel

Membran sitoplasma mempertahankan bahan – bahan tertentu di

dalam sel serta mengatur aliran keluar-masuknya bahan – bahan lain.

Membran memelihara integritas komponen – komponen selular.

Kerusakan pada membran ini akan mengakibatkan terhambatnya

pertumbuhan sel atau matinya sel.

c. Perubahan molekul protein dan asam nukleat

Hidupnya suatu sel bergantung pada terpeliharanya molekul –

molekul protein dan asam nukleat dalam keadaan alamiahnya. Suatu

kondisi atau subtansi yang mengubah keadaan ini, yaitu

mendenaturasikan protein dan asam – asam nukleat dapat merusak sel

tanpa diperbaiki kembali.

d. Penghambatan kerja enzim

Setiap enzim dari beratus – ratus enzim berbeda – beda yang ada

di dalam sel merupakan sasaran potensial bagi bekerjanya suatu

penghambat. Banyak zat kimia telah diketahui dapat mengganggu

reaksi biokimiawi. Penghambatan ini dapat mengakibatkan

terganggunya metabolisme atau matinya sel.

e. Penghambatan sintesis asam nukleat dan protein

DNA, RNA dan protein memegang peranan amat penting di

dalam proses kehidupan normal sel. Hal itu berarti bahwa gangguan
21

apapun yang terjadi pada pembentukan sel atau pada fungsi zat – zat

tersebut dapat mengakibatkan kerusakan total pada sel.

2.6.3 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kerja Antibakteri

Menurut Pelczar dan Chan (2005), terdapat beberapa faktor yang

mempengaruhi kerja antibakteri, yaitu :

a. Konsentrasi atau intensitas zat

Semakin tinggi konsentrasi senyawa antibakteri, semakin tinggi

daya antibakterinya.

b. Jumlah mikroorganisme

Diperlukan banyak waktu untuk membunuh populasi, dan bila

jumlah selnya banyak, maka perlakuan harus diberikan lebih lama

supaya kita cukup yakin bahwa semua sel tersebut mati.

c. Suhu

Kenaikan suhu yang sedang secara besar dapat menaikkan

keefektifan suatu desinfektan atau bahan antimikrobial lain. Hal itu

dapat diterangkan dengan fakta – fakta berikut :

1) Zat kimia merusak mikroorganisme melalui reaksi – reaksi

kimiawi.

2) Laju reaksi kimiawi dipercepat dengan meningkatkan suhu.

d. Spesies mikroorganisme

Spesies mikroorganisme menunjukkan kerentanan yang berbeda–

beda tehadap sarana fisik dan bahan kimia. Spesies pembentuk spora,

sel vegetatif yang sedang tumbuh lebih mudah dibunuh dibandingkan


22

dengan sporanya. Spora bakteri adalah yang paling resisten di antara

semua organisme hidup dalam hal kemampuan untuk bertahan hidup

pada keadaan fisik dan kimiawi yang kurang baik.

e. Adanya bahan organik

Adanya bahan organik asing dapat menurunkan dengan nyata

keefektifan zat kimia antimikrobial dengan cara menginaktifkan bahan

– bahan tersebut atau melindungi mikroorganisme dari adanya bahan

organik. Sebagai contoh adanya bahan organik di dalam campuran

disinfektan mikroorganisme dapat mengakibatkan :

1. Penggabungan desinfektan dengan bahan organik membentuk

produk yang tidak bersifat mikrobisidal.

2. Penggabungan desinfektan dengan bahan organik menghasilkan

suatu endapan, sehingga desinfektan tidak mungkin lagi mengikat

mikroorganisme.

3. Akumulasi bahan organik pada permukaan sel mikroba, menjadi

suatu pelindung yang akan mengganggu kontak antara desinfektan

dan sel.

f. Keasaman atau kebasaan (pH)

Mikroorganisme yang terdapat pada bahan dengan pH asam dapat

dibasmi pada suhu yang lebih rendah dan dalam waktu yang lebih

singkat dibandingkan dengan mikrorganisme yang sama di dalam

lingkungan basa.

2.6.4 Penentuan Daya Hambat Antibakteri


23

Pada uji ini diukur respons pertumbuhan populasi mikroorganisme

terhadap agen antibakteri. Kegunaan uji antibakteri adalah diperolehnya

suatu sistem pengobatan yang efektif dan efisien. Metode uji antibakteri

antara lain :

1) Metode difusi

Metode disc diffusion (test Kirby & Bauer) untuk

menentukan aktivitas agen antibakteri. Piringan yang berisi agen

antibakteri diletakkan pada media agar yang telah ditanami

mikroorganisme yang akan berdifusi pada media agar tersebut.

Area jernih ini mengindikasikan adanya hambatan pertumbuhan

mikroorganisme oleh agen antibakteri pada permukaan media agar

(Sylvia T. Pratiwi, 2008: 188).

2) Metode dilusi

Metode dilusi dibedakan menjadi dua yaitu dilusi cair

(broth dilution) dan dilusi padat (solid dilution). Metode dilusi

cair/broth dilution test merupakan metode yang mengukur MIC

(Minimum Inhibitory Concentration atau Kadar Hambat Minimum,

KHM) dan MBC (Minimum Bactericidal Concentration atau Kadar

Bunuh Minimum, KBM). Cara yang dilakukan adalah dengan

membuat seri pengenceran agen antibakteri pada medium cair yang


24

ditambahkan dengan mikroba uji. Larutan uji agen antibakteri pada

kadar terkecil yang terlihat jernih tanpa adanya pertumbuhan

mikroba uji ditetapkan sebagai KHM, selanjutnya dikultur ulang

pada media cair tanpa penambahan mikroba uji ataupun agen

antibakteri, dan diinkubasi selama 18-24 jam. Media cair yang

tetap terlihat jernih setelah inkubasi di tetapkan sebagai KBM.

Sedangkan metode dilusi padat yaitu metode yang menggunakan

media padat (solid). Keuntungan metode ini adalah satu

konsentrasi agen antibakteri yang diuji dapat digunakan untuk

menguji beberapa mikroba uji (Sylvia T. Pratiwi, 2008: 190-191).

3) Uji bioautografi

Uji bioautografi merupakan metode spesifik untuk

mendeteksi bercak pada kromatogram hasil KLT (Kromatografi

Lapis Tipis) yang memiliki aktivitas antibakteri, antifungi, dan

antivirus, sehingga mendekatkan metode separasi dengan uji

biologis. Keuntungan metode ini adalah sifatnya yang efisien untuk

mendeteksi adanya senyawa antimikroba karena letak bercak dapat

ditentukan walaupun berada dalam campuran yang kompleks

sehingga memungkinkan untuk mengisolasi senyawa aktif tersebut.

Kerugiannya adalah metode ini tidak dapat digunakan untuk

menentukan KHM dan KBM (Sylvia T. Pratiwi, 2008: 191-192).

2.7 Antibiotik Vankomisin


25

Vankomisin merupakan antibiotikum golongan glikopeptida yang

dihasilkan oleh Streptomyces orientalis. Berkhasiat bakterisid terhadap

kuman Gram positif aerob dan anaerob (Tjay&Rahardja, 2002).

Vankomisin hanya aktif terhadap kuman gram positif, khususnya

golongan kokus. Indikasi utama vankomisin ialah septicemia dan

endokarditis yang disebabkan oleh stafilokokus, streptokokus atau

enterokokus bila pasien alergi terhadap penisilin dan sefalosporin.

Vankomisin merupakan obat terpilih untuk infeksi oleh kuman MRSa

(Methicillin-Resistant S. aureus) dan colitis oleh Clostridium difficile

akibat penggunaan antibiotik (Departemen Farmakologi dan Terapeutik,

2007).

Mekanisme kerja vankomisin yaitu menghambat sintesis dinding

sel bakteri dengan cara menghambat polimerasi glikopeptida melalui

ikatan yang kuat kepada D-alanyl-D-alanyn pada precursor dinding sel.

Sifat fisikokimia vankomisin berupa serbuk berwarna coklat, tidak berbau,

mudah larut dalam air, tidak larut dalam kloroform dan eter, 5% larutan

dalam air mempunyai pH 2,5-4,5 (PIO, 2009).

Sebanyak delapan antibiotika diujikan pada kuman Gram positif

Staphylococcus aureus, terdapat 3 antibiotika yang memiliki tingkat

kepekaan diatas 50% yaitu vankomisin (100%), siprofloksasin (75%),

gentamisin (68,75%), diikuti eritromisin, imipenem, dan sefotaksim

(50%). Kepekaan sempurna ditunjukkan oleh vankomisin (100%) yang


26

merupakan antibiotika pilihan terakhir untuk kuman Gram positif S.

aureus (Busyron Chudlori, et al, 2012: vol.13 (2)).

2.8 Hipotesis Penelitian

Adapun hipotesis dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Terdapat aktivitas antibakteri ekstrak etanol 96% daun kelor (Moringa

oleifera L.) pada kadar 25%, 30%, 35%, 40% terhadap Staphylococcus

aureus.

2. Terdapat zona hambat etanol 96% daun kelor (Moringa oleifera L.)

pada kadar 25%, 30%, 35%, 40% terhadap bakteri Staphylococcus

aureus.

3. Ekstrak etanol 96% daun kelor (Moringa oleifera L.) pada kadar 25%,

30%, 35%, 40% memiliki potensi antibakteri dibandingkan

vankomisin.

Anda mungkin juga menyukai