Anda di halaman 1dari 10

Ujian Tengah Semester Bioteknologi Pangan

Pengaruh Penambahan Ekstrak Daun Kelor (Moringa Oleifera L.) Terhadap Kualitas Yoghurt

Novita Aristha Anggreni 1610511063


Irvan Kurniawan Simatupang 1610511068
Marcelyna Lucia 1610511074

Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian

Universitas Udayana

2018
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanaman Kelor
Kelor (Moringa oleifera Lamk.) merupakan tanaman yang berasal dari dataran sepanjan
sub Himalaya yaitu India, Pakistan, Bangladesh, dan Afghanistan. Kelor termasuk jenis
tumbuhan perdu berumur panjang berupa semak atau pohon dengan ketinggian 7-12 meter.
Batangnya berkayu (lignosus), tegak, berwarna putih kotor, berkulit tipis dan mudah patah.
Cabangnya jarang dengan arah percabangan tegak atau miring serta cenderung tumbuh lurus
dan memanjang. Kelor berakar tunggang, berwarna putih, berbentuk seperti lobak, berbau
tajam dan berasa pedas (Tilong, 2012).

Tabel 1. Kedudukan Taksonomi Tanaman Kelor


Kerajaan Plantae
Sub kerajaan Tracheobionta
Superdivisi Spermatophyte
Divisi Magnoliophyte
Kelas Magnoliopsida
Subkelas Dilleniidae
Bangsa Capparales
Suku Moringacceae
Genus Moringa
Spesies Moringa oleifera Lamk.
Sumber : Tilong (2012)

Tanaman kelor mengandung 539 senyawa yang dikenal dalam pengobatan tradisional
Afrika dan India yaitu bertindak sebagai stimulant jantung dan peredaran darah, antitumor,
antipiretik, antiepilepsi, antiinflamasi, diuretic, antihipertensi, menurunkan kolestrol,
antioksidanm antidiabetic, antibakteri dan antijamur (Toripah dkk., 2014).

Tanaman kelor di daerah pedesaan biasanya digunakan sebagai tapal batas rumah atau
lading. Akar kelor dapat dimanfaatkan sebagai antilithic (pencegah terbentuknya batu urine),
rubefacient (obat kulit merah), vesicant (menghilangkan kutil), antifertilitas dan antiinflamasi
(peradangan). Batang kelor dimanfaatkan sebagai rubefacient, vesicant, menyembuhkan
penyakit mata, untuk pengobatan pasien mengigau, mencegah pembesaran limpa dan untuk
menyembuhkan bisul. Bunga kelor dapat digunakan untuk menyembuhkan radang, penyakit
otot, hysteria, tumor dan pembesaran limpa dan menurunkan kolestrol. Daun kelor secara
tradisional telah banyak dimanfaatkan untuk sayur hingga saat ini dikembangkan menjadi
produk pangan modern seperti tepung kelor, krupuk kelor, kue kelor, permen kelor dan teh
daun kelor. Selain itu ekstrak daun kelor dapat berfungsi sebagai antimikroba dan biji kelor
digunakan untuk menjernihkan air (Krisnadi, 2004).

2.1.1 Daun Kelor


Daun kelor berbentuk bulat telur, bersirip tak sempurna, beranak daun
gasal, tersusun majemuk dalam satu tangkai, dan hanya sebesar ujung jari.
Helaian daun kelor berwarna hijau, ujung daun tumpul, pangkal daun
membulat, tepi daun rata, susunan pertulangan menyirip serta memiliki ukuran
1-2 cm (Yulianti, 2008). Aroma yang dimiliki daun kelor agak langu, namun
aroma akan berkurang ketika dipetik dan dicuci bersih lalu disimpan pada suhu
ruang 30oC sampai 32oC (Kurniasih, 2013). Bau langu yang terdapar pada daun
kelor disebabkan oleh enzim yaitu enzim protease (Fatimah dan Wardani,
2004).
Kandungan kimia yang dimiliki daun kelor yakni asam amino yang
berbentuk asam aspartate, asam glutamat, alanin, valin, leusin, isoleusin,
histidine, lisin, arginin, venilalanin, triftopan, sistein, dan methionine. Daun
kelor juga mengandung makro elemen seperti potassium, kalsium, magnesium,
sodium, dan fosfor, serta mikro elemen seperti mangan, zine, dan besi. Daun
kelor merupakan sumber provitamin A, vitamin B, dan C, mineral terutama zat
besi (Simbolon et al., 2007). Menurun Fuglie (2001) kandungan kimia daun
kelor per 100 g dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Kandungan daun kelor per 100 g


Komponen Komposisi
Air 75 g
Energi 92 Kal
Protein 6.8 g
Lemak 1.7 g
Karbohidrat 12.5 g
Serat 0.9 g
Kalisum 440 mg
Potassium 259 mg
Fosfor 70 mg
Besi 7 mg
Zine 0.16 mg
Β-karoten 6.78 mg
Tiamin (vitamin B1) 0.06 mg
Riboflavin (vitamin B2) 0.05 mg
Niacin (vitamin B3) 0.8 mg
Vitamin C 220 mg
Sumber : Fuglie (2001)

Satu-satunya kelemahan dari daun kelor adalah adanya faktor flatulensi


yang dapat menyebabkan perut kembung. Hal ini disebabkan oleh adanya
kandungan rafinosa, sukrosa, dan stakiosa (Gupta et al., 1989). Untuk
mengurangi sifat flatulensi yaitu melalui proses fermentasi, diantaranya dengan
Lactobacillus plantarum (Roopashri & Varadaraj, 2014). Salah satu produk
minuman yang terbuat dari daun kelor melalui proses fermentasi L. plantarum
dan E. hirae dapat mengurangi flatulensi yang disebabkan oleh kandungan
rafinosa. Melalui proses fermentasi dapat memperpanjang masa simpan
minuman selama 30 hari pada penyimpanan suhu 4oC. Selain itu dilaporkan
bahwa daun kelor secara signifikan dapat memperpanjang masa simpan butter
(Siddhuraju & Becker, 2003) dan ekstrak daun kelor dapat mencegah terjadinya
ketengikan pad aroti daging kambing akibat reaksi oksidasi (Das et al., 2012).

2.2 Yoghurt
Yoghurt menurut SNI 01-2981-1992 adalah produk yang diperoleh dari susu
yang telah dipasteurisasi, kemudian difermentasi dengan bakteri tertentu sampai
diperoleh keasaman, bau dan rasa yang khas, dengan atau tanpa penambahan bahan lain
yang diizinkan (BSN, 1992). Yoghurt merupakan produk hasil fermentasi susu dengan
menggunakan bakteri sebagai starternya. Jenis bakteri yang digunakan adalah
Streptococcus sulvarius subso. thermophilus dan Lactobacillus delbrueckii subsp.
bulgaricus (Vedamuthu, 2006). Selain dari susu hewani, belakangan ini yoghurt juga
dapat dibuat dari campuran susu skim dengan susu nabati (susu kacang-kacangan)
(Sumantri, 2004).
Tabel 1. Standar Mutu Yoghurt
Kriteria Uji Persyaratan
Penampakan Cairan kental sampai semi padat
Bau Normal/khas
Keadaan Rasa Asam/khas
Konsentrasi Homogen
Lemak Maks. 3,8%, b/b
Bahan kering tanpa lemak Min. 8,2%, b/b
Protein (N x 6,37) Min. 3,5%, b/b
Abu Maks. 1,0
Jumlah asam 0,5-2,0%, b/b
Bakteri coliform Maks. 10 APM/g
Cemaran Mikroba E.coli <3 APM/g
Salmonella Negatif/100 g
Sumber : Dewan Standarisasi Nasional, 1992

Proses fermentasi yoghurt mengubah laktosa yang terdapat dalam susu menjadi asam
laktat dan dilakukan sampai diperoleh pH akhir berkisar antara 4,4-4,5 diikuti dengan
terbentuknya flavor khas karena terbentuknya asam laktat, asam asetat, asetaldehid, diasetil
dan senyawa volatile lain. (Widodo, 2003). Penggunaan kultur starter yogurt adalah sebanyak
2%-5% dari bahan yang digunakan (Surono, 2004). Menurut Rahman et al. (1992) kultur starter
merupakan bagian yang penting dalam pembuatan yoghurt. Beberapa aspek penting yang harus
diperhatikan untuk suatu kultur yaitu bebas dari kontaminasi, pertumbuhan yang cepat,
menghasilkan flavor yang khas, tekstur dan bentuk yang bagus, tahan terhadap bakteriofage
dan juga tahan terhadap antibiotik. Perbandingan jumlah Streptococcus thermopjillus dan
Lactobacillus bulgaricus sangat diperlukan dalam pembentukan flavor dan tekstur pada yogurt.
Streptococcus thermophilus dibedakan dari genus Streptococcus lainnya bedasarkan
pertumbuhan pada suhu 45°C dan tidak dapat tumbuh pada 10°C (Tamine dan Robinson,
1989). Karateristik S. thermophilus lainnya adalah menghasilkan konfigurasi L(+) asam laktat,
tidak memfermentasi maltosa (Salminen dan von Wright 1998).
Lactobacillus bulgaricus adalah bakteri Gram positif, membentuk koloni dengan
diameter 1-3µm, tumbuh pada suhu 45°C, tidak berspora, katalase negatif dan bersifat
termodurik (Kosikwski, 1982). L.bulgaricus termasuk Thermobacterium grup serologi E,
mampu memfermentasi laktosa dan selabiosa, tetapi tidak maltose dan manitol, serta
memerlukan beberapa vitamin dalam pertumbuhannya (Robinson, 1981).

2.3 Fermentasi
Fermentasi merupakan proses perubahan kimiawi, dari senyawa kompleks menjadi
lebih sederhana dengan bantuan enzim yang dihasilkan oleh mikroorganisme (Jay dkk., 2005).
Proses tersebut akan menyebabkan terjadinya penguraian senyawa-senyawa organik untuk
menghasilkan energi (Madigan dkk., 2011). Fermentasi dilakukan terhadap suatu bahan
makanan untuk mendapatkan produk makanan baru yang dapat memperpanjang daya simpan
(Farnworth, 2008). Aktifitas mikroorganisme pada fermentasi akan menyebabkan perubahan
kadar pH dan terbentuk senyawa penghambat seperti alkohol dan bakteriosin yang dapat
menghambat pertumbuhan mikroorganisme pembusuk (Waites dkk., 2001).
Mikroorganisme yang berperan dalam fermentasi sangat beraneka ragam, contohnya
adalah bakteri asam laktat pada produk susu dan khamir pada produk minuman beralkohol dan
roti (Bamforth, 2005). Substrat adalah bentuk materi organik yang dapat digunakan oleh
mikroorganisme sebagai sumber nutrien bagi kelangsungan hidup mikroorganisme (Ganjar
dkk., 2006). Substrat dapat berupa cair dan berupa padat. Syarat mutu yoghurt sesuai Badan
Standarisasi Nasional tahun 2009 untuk jumlah bakteri starter yoghurt adalah minimal 107
CFU/ml, sedangkan keasaman tertitrasi (sebagai asam laktat) (b/b) berkisar 0,5—2,0%.
keseimbangan mikroflora usus (Chairunnisa dkk., 2006). Menurut Susilorini dan Sawitri
(2007), tujuan utama fermentasi adalah untuk memperpanjang daya simpan susu karena
mikroorganisme sulit tumbuh pada suasana asam dan kondisi kental.
Salah satu jenis produk fermentasi susu adalah yoghurt. Yoghurt merupakan produk
hasil fermentasi susu oleh bakteri asam laktat dari genus Lactobacillus dan Streptococcus
(Farnworth, 2008). Menurut Yusmarini dan Efendi (2004) menyatakan bahwa yoghurt
merupakan salah satu produk makanan yang sangat populer. Yoghurt dapat membantu dalam
proses pencernaan, mencegah diare, mencegah peningkatan kadar kolesterol yang terlalu
tinggi, bahkan dapat membantu melawan kanker.
Fermentasi asam laktat dapat diartikan sebagai proses hidrolisis laktosa oleh bakteri
asam laktat menjadi asam piruvat, yang selanjutnya akan diubah menjadi asam laktat dan
semakin tinggi konsentrasi asam laktat tersebut menyebabkan pH semakin menurun (Koswara,
2005). Mula-mula laktosa dihidrolisa oleh biakan menjadi glukosa dan galaktosa atau
galaktosa-6-fosfat. Selanjutnya melalui rantai glikolisis, glukosa diubah menjadi asam laktat.
Fermentasi asam laktat terjadi pada kelompok bakteri pemecah gula susu (laktosa), sehingga
kelompok bakteri ini digunakan Asam Format HCOOH pengolahan susu untuk menghasilkan
produk fermentasi yaitu yoghurt (Rukmana, 2001).
Menurut Effendi (2004), proses fermentasi bakteri asam laktat dipengaruhi oleh
beberapa faktor antara lain:
a. Suhu
Suhu fermentasi pada pembuatan yoghurt maupun soyoghurt berkisar antara 37-
45oC, setelah terbentuk endapan segera dimasukkan dalam lemari es yang suhu
kira-kira 4oC agar bakteri terhambat perkembangannya.

b. Kondisi Lingkungan
Kondisi lingkungan dari fermentasi untuk pembuatan yoghurt maupun
soyoghurt harus mendukung untuk pembentukan asam, karena bakteri asam laktat
tersebut dalam kondisi dan susunan asam. Derajat keasaman (pH) pada fermentasi
pembuatan yoghurt adalah 4,5-5.

c. Nutrisi
Nutrisi yang diperlukan oleh kultur starter meliputi karbohidrat (gula), seperti
sukrosa (gula pasir), glukosa, laktosa, fruktosa atau susu bubuk skim sebagai
sumber energi, penyedia karbon dan nitrogen.
Daftar Pustaka

Badan Standarisasi Nasional. 1992. Yogurt. SNI 01-2981-1992. Badan Standarisasi


Nasional, Jakarta.

Bamforth, Charles W., 2005. Food, fermentation and micro-organisms. Blackwell Science
Ltd., p.24.

Chairunnisa, H., Roostita L. B. dan Gemilang L. U. S., (2006). Penggunaan Starter Bakteri
Asam Laktat pada Produk Susu Fermentasi “Lifihomi” (Utilization of Lactic Acid Bacteria in
Fermented Milk Product “Lifihome”). Jurnal Ilmu Ternak, Desember 2006, VOL. 6 NO. 2,
102 – 107.

Das, A. K., Rajkumar, V., Verma, A. K., & Swarup, D. (2012). Moringa oleifera leaves extract:
A natural antioxidant for retarding lipid peroxidation in cooked goat meat patties. International
Journal of Food Science and Technology, 47, 585–591.

Dewan Standardisasi Nasional. SNI 01-2891-1992. Cara Uji Makanan dan Minuman. Standar
Nasional Indonesia, Jakarta.

Farnworth, R. E. 2008. Handbook of Fermented Functional Foods. Second Ed. CRC Press.
USA.

Fuglie, Lowell J., ed. 2001. The Miracle Tree: The multiple attributes of moringa. Dakar,
Senegal: Church World Service.

Gandjar, I, dkk. 2006. Mikologi Dasar dan Terapan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Gupta, K., Barat, G.K., Wagle, D. S., & Chawla, H. K. L. (1989). Nutrient contents and
antinutrional factors in conventional and non-conventional leafy vegetables. Food Chemistry,
31, 105-116.

James M. Jay, Martin J. Loser, David A. Golden.2005. Modern food microbiology. New York:
Springer.

Kosikowski, F. V. (1982). Cheese and Fermented Milk Foods 2 nd edition . Cornell


University. Ithaca-New York.
Koswara, S., 2005. Susu dan Yoghurt Kedelai. http://www.ebookpangan.com. Diakses pada
tanggal 20 Mei 2018.

Krisnadi, D. 2015. Kelor Super Nutrisi. Blora: Pusat Informasi Dan Pengembangan Tanaman
Kelor Indonesia Lembaga Swadaya Masyarakat – Media Peduli Lingkungan (Lsm-Mepeling).

Kurniasih. 2013. Khasiat dan Manfaat Daun Kelor.Yogyakarta: Pustaka Baru Press.

Madigan M.T., Martinko J.M., Stahl D.A., Clark D.P. 2012. Biology of Microorganism. 13th
ed. San Francisco: Pearson. P. 140-141

Rahman A, Srikandi F, Winiati PR, Suliantari and C. C. Nurwitri. 1992. Teknologi Fermentasi
Susu. Bogor: Penerbit Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Robinson, R. K. 2002. Dairy Microbiology Handbook. 3th Edition. John wiley and Sons, inc.,
New York.

Roopashri, A. N., & Varadraj, M. C. (2014). Hydrolysis of flatulence causing oligosaccharides


by a-D-galactosidase of a probiotic Lactobacillus plantarum MTCC 5422 in selected legume
flours and elaboration of probiotic attributes in soybased fermented product. European Food
Research and Technology, 239, 99-115.

Rukmana, R. 2001. Yoghurt dan Karamel Susu. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Salminen S, von Wright A. 1998. Lactic Acid Bacteria: Microbiology and Functional Aspects.
2nd Ed. Revised and Expanded. New York: Marcel Dekker Inc.

Siddhuraju, P., & Becker, K. (2003). Antioxidant properties of various solvent extract of total
phenolic constituents from three different agroclimatic origins of drumstick tree (Moringa
oleifera Lam.) leaves. Journal of Agriculture and Food Chemistry, 51,2144-2155.

Simbolon JM, M Simbolan, N Katharina. 2007. Cegah Malnutrisi dengan Kelor. Yogyakarta:
Kanisius.

Sumantri, Indro. (2004). Pemanfaatan Mangga Lewat Masak Menjadi Fruitghurt dengan
Mikroorganisma Lactobacillus bulgaricus. Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Kimia dan
Proses. Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik UNDIP.

Surono IS. 2004. Probiotik : Susu dan Kesehatan. Jakarta: YAPMMI (Yayasan Pengusaha
Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia).
Susilorini, T. E. dan M. E. Sawitri, 2007. Produk Olahan Susu. Penebar Swadaya. Depok. Jawa
Barat.

Tamime, A. Y and R. K. Robinson. 1999. Yogurt : Science and Technology. 2nd Edition.
Woodhead Publishing Ltd., Cambridge.

Tilong AD. 2012. Ternyata, Kelor Penakluk Diabetes. Jogjakarta: DIVA Press.

Vedamuthu ER. 2006. Starter cultures for yogurt and fermented milks. In: Chandan RC, editor.
Manufacturing Yogurt and Fermented Milks. Oxford: Blackwell Publishing. hlm 89-115.

Waites, M. J, Morgan, N. L., Rockey, J. S., dan Higton, G. 2001. Industrial Microbiology:
An Introduction. Blackwell Science Ltd., London : 12-13.

Widodo, Soeparno dan E. Wahyuni. 2003. Bioenkapsulasi probiotik (Lactobacillus casei)


dengan pollard dan tepung terigu serta pengaruhnya terhadap viabilitasdan laju pengasaman. J.
Teknol. Ind. Pangan. 14(2) : 98-106.

Yulianti, R. (2008). Pembuatan Minuman Jeli Daun Kelor (Moringa oleifera lam) sebagai
Sumber Vitamin C dan Beta Karoten. (Skripsi yang tidak dipublikasikan). IPB, Bogor.

Yusmarini dan Raswen Efendi. (2004). “Evaluasi Mutu Soygurt yang dibuat dengan
Penambahan beberapa Jenis Gula” (online),
(http://www.unri.ac.id/jurnal/jurnal_natur/vol6%282%29/Yusmarini.pdf Diakses pada tanggal
20 Mei 2018.

Anda mungkin juga menyukai