Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tempe merupakan bahan makanan hasil fermentasi kacang kedelai atau
jenis kacang-kacangan lainnya menggunakan jamur Rhizopus oligosporus dan
Rhizopus oryzae. Tempe umumnya dibuat secara tradisional dan merupakan
sumber protein nabati. Di Indonesia pembuatan tempe sudah menjadi industri
rakyat (Francis F. J., 2000 dalam Dwinaningsih, 2010). Tempe mengandung
berbagai nutrisi yang diperlukan oleh tubuh seperti protein, lemak,
karbohidrat, dan mineral. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa zat gizi
tempe lebih mudah dicerna, diserap, dan dimanfaatkan tubuh. Hal ini
dikarenakan kapang yang tumbuh pada kedelai menghidrolisis senyawa-
senyawa kompleks menjadi senyawa sederhana yang mudah dicerna oleh
manusia (Kasmidjo, 1990 dalam Dwinaningsih, 2010).
Menurut Hidayat, dkk., 2008 dalam Dwinaningsih, 2010, selain tempe
kedelai, adapula tempe leguminosa non kedelai dan tempe non leguminosa.
Tempe leguminosa non kedelai diantaranya adalah tempe koro, tempe kecipir,
tempe kedelai hitam, tempe lamtoro, tempe kacang hijau, tempe kacang merah,
dan lain-lain. Sedangkan jenis tempe non leguminosa diantaranya tempe
gandum, tempe sorghum, tempe campuran beras dan kedelai, tempe ampas tahu,
tempe bongkrek, tempe ampas kacang, dan tempe tela.
Proses utama dalam pembuatan tempe adalah fermentasi. Dalam proses
fermentasi tempe kedelai, substrat yang digunakan adalah keping – keping biji
kedelai yang telah direbus, mikroorganismenya berupa kapang tempe R.
oligosporus, R. oryzae, R. stolonifer (dapat kombinasi dua spesies atau tiga -
tiganya), dan lingkungan pendukung yang terdiri dari suhu 30oC, pH awal 6,8
serta kelembaban nisbi 70 – 80 % (Sarwono, 2005 dalam Astuti, 2009).

1.2 Rumusan Masalah


Secara umum tempe dibuat dari bahan baku kedelai. Sekitar 80% kedelai
dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan industri tempe, sedangkan sisanya
digunakan oleh berbagai macam industri seperti kecap, susu kedelai, makanan
ringan dan sebagainya. Dalam beberapa tahun terakhir produksi kedelai di
Indonesia terus berkurang dan tidak mampu memenuhi kebutuhan (Haliza dkk,
2007). Pada percobaan ini akan diteliti bagaimana cara membuat tempe dari
variabel bahan kacang kedelai dan kacang merah dan bagaimana pengaruh

1
bahan dasar, media pembungkus, dan lama perendaman terhadap tempe yang
dihasilkan.

1.3 Tujuan Praktikum


1. Membuat tempe dari kacang kedelai dan kacang merah
2. Mengetahui pengaruh bahan dasar, media pembungkus, dan lama
perendaman terhadap kualitas tempe
3. Mengevaluasi pengaruh kondisi proses terhadap kualitas tempe

1.4 Manfaat Praktikum


1. Mahasiswa dapat membuat tempe dari kacang kedelai dan kacang merah
2. Mahasiswa dapat mengetahui pengaruh bahan dasar, media pembungkus,
dan lama perendaman terhadap kualitas tempe
3. Mengevaluasi pengaruh kondisi proses terhadap kualitas tempe

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Tempe


Tempe adalah salah satu produk fermentasi yang umumnya berbahan baku
kedelai yang difermentasi dan mempunyai nilai gizi yang baik. Fermentasi pada
pembuatan tempe terjadi karena aktivitas kapang Rhizopus oligosporus.
Fermentasi pada tempe dapat menghilangkan bau langu dari kedelai yang
disebabkan oleh aktivitas dari enzim lipoksigenase. Fermentasi kedelai menjadi
tempe akan meningkatkan kandungan fosfor. Hal ini disebabkan oleh hasil kerja
enzim fitase yang dihasilkan kapang Rhizopus oligosporus yang mampu
menghidrolisis asam fitat menjadi inositol dan fhosfat yang bebas. Jenis kapang
yang terlibat dalam fermentasi tempe tidak memproduksi toksin, bahkan mampu
melindungi tempe dari aflatoksin. Tempe mengandung senyawa antibakteri yang
diproduksi oleh kapang tempe selama proses fermentasi (Koswara, 1995 dalam
Istiyanto, 2012).
Menurut Kasmidjo (1990) dalam Prasetyo (2018), tempe yang baik harus
memenuhi syarat mutu secara fisik dan kimiawi. Tempe dikatakan memiliki
mutu fisik jika tempe itu sudah memenuhi ciri-ciri tertentu. Ciri-ciri tersebut
adalah sebagai berikut :
a. Warna Putih
Warna putih ini disebabkan adanya miselia kapang yang tumbuh pada
permukaan biji kedelai.
b. Tekstur Tempe Kompak
Tempe yang baik mempunyai bentuk kompak yang terikat oleh miselium
sehingga terlihat berwarna putih dan bila diiris terlihat keeping kedelainya.
c. Aroma dan rasa khas tempe
Terbentuk aroma dan rasa yang khas pada tempe disebabkan terjadinya
degradasi komponen-komponen dalam tempe selama berlangsungnya proses
fermentasi.
Badan Standar Nasional telah mengeluarkan syarat mutu tempe kedelai
yaitu SNI 3144:2015. Sesuai dengan standar tersebut syarat mutu tempe kedelai
dapat dilihat pada Tabel 2.1.

3
Tabel 2.1 Syarat mutu tempe kedelai
No. Kriteria uji Satuan Persyaratan
1. Keadaan
1.1 Tekstur - kompak, jika diiris tetap utuh
(tidak mudah rontok)
1.2 Warna - putih merata pada seluruh
permukaan
1.3 Bau - bau khas tempe tanpa adanya
bau amoniak
2. Kadar air Fraksi massa, % maks. 65
3. Kadar lemak Fraksi massa, % min. 7
4. Kadar protein (Nx5,71) Fraksi massa, % min. 15
5. Kadar serat kasar Fraksi massa, % maks. 2,5
6. Cemaran logam
6.1 Kadmium (Cd) mg/kg maks. 0,2
6.2 Timbal (Pb) mg/kg maks. 0,25
6.3 Timah (Sn) mg/kg maks. 40
6.4 Merkuri (Hg) mg/kg maks. 0,03
7. Cemaran Arsen (As) mg/kg maks. 0,25
8. Cemaran mikroba
8.1 Coliform APM/g maks. 10
8.2 Salmonella sp. negatif/25 g
Sumber : Badan Standar Nasional

2.2 Manfaat Tempe


Tempe memiliki manfaat baik dari segi nutrisi maupun manfaat kesehatan.
Sebagai sumber nutrisi, tempe berperan sebagai sumber protein dan mineral
besi. Sebagai obat dan penunjang kesehatan, tempe berperan sebagai anti diare
(misalnya dalam pembuatan super oralit dari 40-50 g tempe) dan anti bakteri
(Syarief dkk., 1999 dalam Istiyanto, 2012). Rhizopus oligosporus bahkan dapat
mencegah akumulasi aflatoksin yang ada pada kedelai dengan melakukan
hidrolisis (Wang dan Hesseltine, 1981 dalam Istiyanto, 2012).
Tempe memiliki senyawa bioaktif seperti isoflavon dan vitamin B12.
Senyawa isoflavon yaitu daidzein dan genistein dapat mengalami transformasi
lebih lanjut selama fermentasi membentuk senyawa baru, yaitu faktor-2
(Pawiroharsono, 2001 dalam Kusumawardhani, 2015). Faktor-2 dipandang
sebagai senyawa yang sangat prospektif sebagai senyawa antioksidan (10

4
kali aktivitas dari vitamin A dan sekitar 3 kali dari senyawa isoflavon
aglikon lainnya pada tempe) serta memiliki aktivitas antihemolitik. Faktor-2
pada tempe, terbukti berpotensi sebagai anti-kontriksi pembuluh darah dan juga
berpotensi menghambat pembentukan LDL (low density lipoprotein).
Dengan demikian, isoflavon dapat mengurangi terjadinya arteriosclerosis pada
pembuluh darah (Istiani, 2010 dalam Kusumawardhani, 2015).
Tempe juga mengandung superoksida desmutase yang dapat menghambat
kerusakan sel dan proses penuaan. Dalam sepotong tempe, terkandung berbagai
unsur yang bermanfaat, seperti protein, lemak, hidrat arang, serat, vitamin,
enzim, daidzein, genestein serta komponen antibakteri dan zat antioksidan yang
berkhasiat sebagai obat (Cahyadi, 2006 dalam Dwinaningsih, 2010).

2.3 Jenis-Jenis Tempe


Menurut Feng, dkk. (2005) dalam Kusumawardhani (2015), berdasarkan
jenisnya, terdapat tiga jenis tempe yaitu tempe leguminosa, tempe non
leguminosa dan tempe campuran. Tempe leguminosa adalah tempe yang terbuat
dari kacang-kacangan, misalnya tempe kedelai dan tempe koro pedang. Tempe
non leguminosa adalah tempe yang terbuat dari bahan selain kacang, misalnya
tempe beras, tempe barley. Sedangkan menurut Chutrtong (2013) dalam
Kusumawardhani (2015), tempe campuran adalah tempe yang terbuat dari
campuran beberapa bahan, misalnya tempe kedelai dengan kacang tanah, kedelai
dengan kacang merah dan wijen dengan berbagai perbandingan.

2.4 Nilai Gizi Tempe


Cahyadi (2006) dalam Dwinaningsih (2010), melaporkan bahwa dalam
tempe, kadar nitrogen totalnya sedikit bertambah, kadar abu meningkat, tetapi
kadar lemak dan kadar nitrogen asal proteinnya berkurang. Komposisi kimia
tempe adalah sebagai berikut :
Tabel 2.2. Komposisi Kimia Tempe
Komposisi Jumlah
Air (wb) 61,2%
Protein kasar (db) 41,5%
Minyak kasar (db) 22,2%
Karbohidrat (db) 29,6%
Abu (db) 4,3%
Serat kasar (db) 3,4%

5
Nitrogen (db) 7,5%

Tempe memiliki kandungan vitamin B12 yang sangat tinggi, yaitu 3,9-
5,0 g/100g. Selain vitamin B12, tempe juga mengandung vitamin B
lainnya, yaitu niasin dan riboflavin (Vitamin B2). Tempe juga mampu
mencukupi kebutuhan kalsium sebanyak 20% dan zat besi 56% dari standar
gizi yang dianjurkan (Romadoni, 2015).

2.5 Teori Fermentasi


Fermenasi berasal dari kata fervere (Latin), yang berarti mendidih,
menggambarkan aksi ragi pada ekstrak buah selama pembuatan minuman
beralkohol. Pengertian fermentasi dikembangkan oleh ahli biokimia yaitu proses
yang menghasilkan energi dengan perombakan senyawa organik. Ahli
mikrobiologi industri memperluas pengertian fermentasi menjadi segala proses
untuk menghasilkan suatu produk dari kultur mikroorganisme. Fermentasi juga
dapat diartikan sebagai suatu disimilasi senyawa-senyawa organik yang
disebabkan oleh aktivitas mikroorganisme. Disimilasi merupakan reaksi kimia
yang membebaskan energi melalui perombakan nutrien. Pada proses disimilasi,
senyawa substrat yang merupakan sumber energi diubah menjadi senyawa yang
lebih sederhana atau tingkat energinya lebih rendah. Mikroba yang banyak
digunakan dalam proses fermentasi antara lain khamir, kapang dan bakteri
(Sulistyaningrum, 2008).
Fermentasi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu spontan dan tidak spontan.
Fermentasi spontan adalah yang tidak ditambahkan mikroorganisme dalam
bentuk starter atau ragi dalam proses pembuatannya, sedangkan fermentasi tidak
spontan adalah yang ditambahkan starter atau ragi dalam proses pembuatannya.
Mikroorganisme tumbuh dan berkembang secara aktif merubah bahan yang
difermentasi menjadi produk yang diinginkan pada proses fermentasi
(Suprihatin, 2010 dalam Nurhalimah, 2015).
Menurut Sulistyaningrum (2008), secara umum ada empat kelompok
fermentasi yang penting secara ekonomi, yaitu :
1. Fermentasi yang memproduksi sel mikroba (biomass)
Produk komersial dan biomass dapat dibedakan menjadi produksi
yeast untuk industri roti dan produksi sel mikroba untuk digunkan sebagai
makanan manusia dan hewan.
2. Fermentasi yang menghasilkan enzim dari mikroba

6
Secara komersil, enzim dapat diproduksi oleh tanaman, hewan dan
mikroba, namun enzim yang diproduksi oleh mikroba memiliki beberapa
keunggulan yaitu, mampu dihasilkan dalam jumlah besar dan mudah untuk
meningkatkan produktivitas bila dibandingkan dengan tanaman atau hewan.
3. Fermentasi yang menghasilkan metabolit mikroba
Metabolit mikroba dapat dibedakan menjadi metabolit primer dan
metabolit sekunder. Produk metabolisme primer yang dianggap penting
contohnya etanol, asam sitrat, polisakarida, aseton, butanol dan vitamin.
Sedangkan metabolit sekunder yang dihasilkan mikroba contohnya antibiotik,
pemacu pertumbuhan, inhibitor enzim dan lain-lain.
4. Proses transformasi
Sel mikroba dapat digunakan untuk mengubah suatu senyawa menjadi
senyawa lain yang masih memiliki kemiripan struktur namun memiliki nilai
komersial yang lebih tinggi. Proses transformasi dengan menggunkan
mikroba ini lebih baik bila dibandingkan dengan proses kimia, berkaitan
dengan reagen kimia yang lebih sedikit.
Berdasarkan kebutuhan oksigen, proses fermentasi dibagi menjadi
dua, yaitu proses aerobik (proses yang membutuhkan oksigen) dan anaerobik
(proses yang tidak membutuhkan oksigen). Salah satu contoh fermentasi
aerobik adalah pembuatan asam sitrat oleh Aspergillus niger. Sedangkan
contoh fermentasi anaerobik adalah pembuatan yoghurt (Chisti, 1999).
Fermentasi tempe berlangsung secara aerob karena kapang merupakan
mikroorganisme yang bersifat aerob obligat. Kapang membutuhkan oksigen
untuk metabolisme dan membentuk biomassa berupa miselia yang
membentuk tekstur kompak pada tempe. Selama fermentasi, kapang akan
menghidrolisis senyawa-senyawa kompleks dalam kedelai menjadi senyawa
yang lebih mudah dicerna (Surya dan Rahayu, 2011).

2.6 Hal-Hal yang Mempengaruhi Fermentasi


Menurut Romadoni (2015), hal-hal yang mempengaruhi fermentasi pada
pembuatan tempe, yaitu :
1. pH
Derajat keasaman (pH) mempengaruhi keberhasilan fermentasi. Kondisi
pH optimum selain berfungsi sebagai syarat kapang untuk tumbuh, juga
diperlukan untuk mencegah tumbuhnya mikroba lain selama fermentasi.
Adapun kondisi pH optimum untuk pertumbuhan kapang ialah 4-5 (Nout,
dkk., 1987 dalam Istiyanto, 2012).

7
2. Inkubasi
Inkubasi dikerjakan pada suatu tempat yang mempunyai suhu sekitar
40oC dengan kelembaban sekitar 90%. Cara inkubasi yang tepat akan
menjamin fermentasi dalam waktu yang cepat, kurang dari 24 jam.
3. Oksigen
Oksigen memang diperlukan untuk pertumbuhan kapang, tetapi bila
berlebihan dan tidak seimbang dengan lubang pada bungkusan (panas yang
ditimbulkannya menjadi lebih besar dari pada panas yang dibuang dari
bungkusan). Bila hal ini terjadi suhu kacang kedelai yang sedang mengalami
fermentasi menjadi tinggi dan akan mengakibatkan kapang mati. Sebaliknya
jika oksigen yang diperlukan untuk pertumbuhan kapang kurang, maka
pertumbuhan kapang akan terhambat.
4. Suhu
Kapang tempe bersifat mesofilik, yaitu untuk tumbuhnya memerlukan
suhu antara 25o-30o C atau suhu kamar, oleh sebab itu suhu ruangan tempat
pemeraman perlu diperhatikan dengan memberikan ventilasi cukup baik.
5. Jenis ragi
Untuk mendapatkan tempe yang baik maka laru tempe harus dalam
keadaan aktif, artinya kapang tempe mampu tumbuh dengan baik.
Menggunakan laru yang masih baru akan berpeluang menghasilkan tempe
yang baik, laru sangat berpengaruh terhadap pembentukan rasa, aroma tempe
yang dihasilkan.
Tempe dengan kualitas baik mempunyai ciri-ciri berwarna putih bersih yang
merata pada permukaannya memiliki struktur yang homogen dan kompak serta
berasa berbau dan beraroma khas tempe. Tempe dengan kualitas buruk ditandai
dengan permukaannya yang basah struktur tidak kompak adanya bercak bercak
hitam, adanya bau amoniak dan alkohol serta beracun (Astawan, 2004 dalam
Prasetyo, 2018).

2.7 Rhizopus oryzae


Rhizopus termasuk jamur berfilamen. Jamur berfilamen sering disebut
kapang. Rhizopus merupakan anggota Zygomycetes. Rhizopus oryzae memiliki
karakteristik, yaitu miselia berwarna putih, ketika dewasa maka miselia putih
akan tertutup oleh sporangium yang berwarna abu-abu kecoklatan. Hifa kapang
terspesialisasi menjadi 3 bentuk, yaitu rhizoid, sporangiofor, dan sporangium.
Rhizoid merupakan bentuk hifa yang menyerupai akar (tumbuh ke bawah).
Sporangiofor adalah hifa yang menyerupai batang (tumbuh ke atas). Sporangium

8
adalah hifa pembentuk spora dan berbentuk bulat. Suhu pertumbuhan optimum
adalah 30°C (Rahmi, 2008 dalam Putri, 2011)
Koloni Rhizopus oryzae yang ditumbuhkan pada Sabouraud's dextrose agar
tumbuh cepat pada suhu 25°C, panjang 5-8 mm, berbentuk seperti kapas putih
awalnya, kemudian menjadi abu-abu kecoklatan dan abu-abu kehitaman
tergantung pada jumlah sporulasi. Menurut Atlas (1984) dalam Putri (2011),
klasifikasi Rhizopus oryzae adalah sebagai berikut:
Divisi : Zygomycota
Kelas : Zygomycetes
Bangsa : Mucorales
Suku : Mucoraceae
Marga : Rhizopus
Jenis : Rhizopus oryzae
Rhizopus oryzae memproduksi enzim pendegradasi karbohidrat seperti
amilase, selulase, xylanase, glukoamilase dan sebagainya. Selama fermentasi,
karbohidrat akan berkurang karena dirombak menjadi gula-gula sederhana (Nur,
2006 dalam Putri, 2011).

2.8 Fermentasi pada Tempe


Proses fermentasi tempe dibagi menjadi tiga tahap, yaitu:
a. Tahap pertumbuhan cepat (0 – 30 jam fermentasi), terjadi kenaikan jumlah
asam lemak bebas, kenaikan suhu, pertumbuhan jamur cepat, dengan terlihat
terbentuknya miselia pada permukaan biji makin lama makin lebat, sehingga
menunjukkan masa yang lebih kompak.
b. Tahap transisi (30 – 50 jam fermentasi), merupakan tahap optimal fermentasi
dan siap dipasarkan. Pada tahap ini terjadi penurunan suhu, jumlah asam
lemak yang dibebaskan dan pertumbuhan jamur hampir tetap atau bertambah
sedikit, flavor spesifik tempe optimal dan tekstur lebih kompak.
c. Tahap pembusukan atau fermentsi lanjut (50 – 90 jam fermentasi), terjadi
kenaikan jumlah bakteri dan jumlah asam lemak bebas, pertumbuhan jamur
menurun dan pada kadar air tertentu pertumbuhan jamur terhenti, terjadi
perubahan flavor karena degradasi protein lanjut sehingga terbentuk amonia.
(Romadoni, 2015)
2.9 Fungsi Reagen
1. Kacang kedelai dan kacang merah : sebagai medium fermentasi sekaligus
sebagai bahan dasar tempe.

9
2. Ragi : mengandung Rhizopus sp. sebagai inokulum berfungsi untuk
menghidrolisis senyawa komplek menjadi senyawa sederhana.
3. Air : digunakan untuk proses perendaman dan pengukusan bahan dasar
tempe.

2.10 Evaluasi Sensori


Evaluasi sensori adalah metode ilmiah yang digunakan untuk menimbulkan,
mengukur, menganalisis dan menafsirkan respon yang dirasakan dari suatu
produk melalui indra manusia. Evaluasi sensori dapat dibagi ke dalam dua
kategori yaitu pengujian objektif dan subjektif. Dalam pengujian objektif atribut
sensori produk dievaluasi oleh panelis terlatih. Sedangkan pada pengujian
subjektif atribut sensori produk diukur oleh panelis konsumen (Kemp et al.,
2009 dalam Tarwendah, 2017).
Pengujian sensori (uji panel) berperan penting dalam pengembangan produk
dengan meminimalkan resiko dalam pengambilan keputusan. Panelis dapat
mengidentifikasi sifat-sifat sensori yang akan membantu untuk mendeskripsikan
produk. Evaluasi sensori dapat digunakan untuk menilai adanya perubahan yang
dikehendaki atau tidak dikehendaki dalam produk atau bahan-bahan formulasi,
mengidentifikasi area untuk pengembangan, menentukan apakah optimasi telah
diperoleh, mengevaluasi produk pesaing, mengamati perubahan yang terjadi
selama proses atau penyimpanan, dan memberikan data yang diperlukan bagi
promosi produk. Penerimaan dan kesukaan atau preferensi konsumen, serta
korelasi antara pengukuran sensori dan kimia atau fisik dapat juga diperoleh
dengan eveluasi sensori (Setyaningsih dkk, 2010 dalam Tarwendah, 2017).
Pengujian organoleptik dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu uji
pembedaan (discriminative test), uji deskripsi (descriptive test), uji
pemilihan/penerimaan (preference/acceptance test), dan uji skalar. Uji
pembedaan dan uji penerimaan biasa digunakan dalam penelitian analisa proses
dan penilaian hasil akhir. Sedangkan uji skalar dan uji deskripsi biasa digunakan
dalam pengawasan mutu (Quality Control). Dalam uji penerimaan dan uji skalar
diperlukan sampel pembanding. Sampel pembanding yang digunakan adalah
komoditi baku, komoditi yang sudah dipasarkan, atau bahan yang telah diketahui
sifatnya. Yang perlu diperhatikan bahwa yang dijadikan faktor pembanding
adalah satu atau lebih sifat sensorik dari bahan pembanding itu. Jadi sifat lain
yang tidak dijadikan faktor pembanding harus diusahakan sama dengan contoh
yang diujikan (Susiwi, 2009 dalam Tarwendah, 2017).

10
2.11 Asam Fitat
Asam fitat adalah suatu mio-inositol 1,2,3,4,5,6-heksafosfat (dihidrogen
fosfat) (Oberleas, 1973 dalam Suwarto, 2011) yang memiliki fosfor bermuatan
negatif yang besar sehingga asam fitat mampu berikatan dengan banyak kation
divalen, protein, dan pati. Asam fitat ditemukan dalam konsentrasi yang tinggi
pada serealia, kacang-kacangan, dan minyak biji-bijian. Pada tanaman serealia
dan minyak biji-bijian, asam fitat terdapat dalam jumlah 1-5% dari berat total
dan menjadi bentuk penyimpanan utama dari fosfor pada tanaman serealia
(Liener, 1989 dalam Suwarto, 2011).
Asam fitat dapat juga bereaksi dengan protein membentuk senyawa
kompleks. Senyawa kompleks ini dapat mempengaruhi kecepatan hidrolisis
protein oleh enzim-enzim proteolitik karena terjadi perubahan konformasi
protein. Hal ini menyebabkan ketersediaan biologis dari zat gizi tersebut
menurun. Fitat sulit dicerna karena kurangnya sistem kerja enzim endogenous
yang mampu mengkatalisis hidrolisis fitat menjadi inositol dan fosfor organik.
Oleh karena itu, asam fitat dianggap sebagai senyawa antinutrisi (Muchtadi,
1989 dalam Suwarto, 2011).
Asam fitat dapat membentuk ikatan komplek dengan Fe atau mineral lain
seperti Zn, Mg, dan Ca menjadi bentuk yang tidak larut dan sulit diabsorpsi
tubuh. Proses perendaman dalam air panas dan fermentasi selama proses
pembuatan tempe dapat menurunkan kandungan asam fitat sehingga mineral
dapat lebih mudah diserap tubuh (Koswara, 1992 dalam Suwarto, 2011). Kapang
tempe dapat menghasilkan enzim fitase yang akan menguraikan asam fitat
menjadi fosfor dan inositol. Asam fitat berkurang sekitar 30% dari kedelai
sebelum fermentasi. Asam fitat dapat menyebabkan defisiensi fosfat, kalsium,
dan gangguan penyerapan zat besi (Karyadi, 1985 dalam Suwarto, 2011).

11
BAB III
METODE PERCOBAAN

3.1 Rancangan Praktikum


3.1.1 Skema Rancangan Percobaan

Pencucian

Perendaman

Pengupasan kulit

Pengukusan

Pengeringan

Penimbangan

Penambahan ragi

Pembungkusan

Inkubasi

Gambar 3.1 Skema Percobaan


3.1.2 Variabel Operasi
a. Variabel Tetap
1. Ragi 2%W
2. Basis 70 gram
3. Waktu fermentasi ; 0, 24, 48, 72 jam
b. Variabel Berubah
1. Jenis bahan dasar : kacang kedelai, kacang merah
2. Lama perendaman : 5 jam, 10 jam
3. Jenis pembungkus : daun pisang, plastik dilubangi, plastik tidak
dilubangi

3.2 Bahan dan Alat


3.2.1 Bahan yang digunakan
1. Kacang kedelai 140 gram
2. Kacang merah 140 gram

12
3. Ragi tempe 16,8 gram
4. Air secukupnya
5. Daun pisang
6. Plastik
3.2.2 Alat yang digunakan
1. Panci
2. Kain
3. Kompor
4. Timbangan
5. Batang Pengaduk
6. Sendok

3.3 Gambar Alat

Panci Kompor
Kain

Timbangan Batang Pengaduk


Sendok
Gambar 3.2 Gambar alat

3.4 Prosedur Praktikum


1. Bersihkan kacang kedelai dan kacang merah dari batu kerikil dan kotoran
lainnya.

13
2. Cuci kacang kedelai dan kacang merah kemudian rendam setengah bagian
dari kacang kedelai dan setengah bagian kacang merah selama 5 jam dan
sisanya rendam selama 10 jam, lalu tiriskan.
3. Kupas kulit kacang sampai bersih, lalu cuci kembali agar kulit arinya hilang
semua.
4. Kukus kacang selama ±30 menit menggunakan air secukupnya.
5. Keringkan kacang, kemudian sebar dengan ketebalan (1-2 cm) agar
mempercepat pengeringan.
6. Kacang akan mendingin jika tampak kering (tidak basah lagi) maka
sudah bisa diinokulasi.
7. Timbang kacang lalu tambahkan ragi 2%W pada setiap variabel.
8. Campur kacang dan ragi hingga rata.
9. Bungkus dengan pembungkus daun pisang, plastik yang dilubangi, dan
plastik yang tidak dilubangi, kemudian inkubasi selama 3 hari.
10. Amati perubahan setiap harinya: berat, warna, aroma, tekstur miselium pada
tempe.
11. Melakukan skoring atau penilaian sebagai berikut
Untuk parameter warna, aroma, dan tekstur miselium menggunakan skala 1-
5.
Skala 1 = sangat buruk atau hasil pengamatan mendekati bahan baku
Skala 2 = buruk
Skala 3 = cukup
Skala 4 = baik
Skala 5 = sangat baik atau hasil pengamatan mendekati tempe yang telah jadi.

14
P2

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Pengaruh Waktu Fermentasi terhadap Berat Tempe yang Dihasilkan

1.02
1 Var 1
0.98 Var 2
0.96 Var 3
Wn/W0

0.94
Var 4
0.92
Var 5
0.9
0.88 Var 6
0.86 Var 7
0.84 Var 8
0 1 2 3 4
Var 9
Waktu fermentasi (Hari ke-)

Gambar 4.1 Pengaruh waktu fermentasi terhadap berat tempe yang dihasilkan
Gambar 4.1 menunjukkan hubungan waktu fermentasi terhadap berat
tempe yang dihasilkan (Wn/W0). Berdasarkan gambar 4.1, dapat dilihat bahwa
hubungan waktu fermentasi dengan berat tempe yaitu berbanding terbalik.
Semakin lama waktu fermentasi maka berat tempe akan semakin ringan.
Menurut Muthmainna (2016), penurunan berat tempe disebabkan oleh
degradasi protein yang terkandung dalam tempe. Jamur yang tumbuh pada
tempe (Rhizopus sp.) menghasilkan enzim-enzim pemecah senyawa-senyawa
kompleks. Selama proses fermentasi terdapat sejumlah protein yang digunakan
oleh jamur Rhizopus oligosporus sebagai sumber nitrogen untuk
pertumbuhannya (Sayudi, dkk., 2015 dalam Muthmainna, 2016). Jamur
Rhizopus oligosporus bersifat proteolitik dan ini penting dalam pemutusan
protein menjadi senyawa yang lebih sederhana. Jamur ini akan mendegradasi
protein selama fermentasi menjadi dipeptida dan seterusnya menjadi senyawa
NH3 atau NH2 yang hilang melalui penguapan. Dengan semakin lama fermentasi
berarti semakin lama kesempatan jamur mendegradasi protein, sehingga protein
yang terdegradasi pun semakin banyak (Deliani, 2008 dalam Muthmainna,
2016). Akibat semakin banyak protein yang terdegradasi maka senyawa yang
hilang melalui pengupan akan semakin banyak pula, sehingga berat tempe
semakin lama akan semakin menurun.
Hasil percobaan yang diperoleh sesuai dengan teori yang ada. Dimana
berat tempe yang dihasilkan semakin menurun seiring dengan lamanya waktu

2
P2

fermentasi. Penurunan berat tempe disebabkan karena jamur tempe (Rhizopus


oligosporus) mendegradasi protein selama fermentasi menjadi dipeptida dan
seterusnya menjadi senyawa NH3 atau NH2 yang hilang melalui penguapan.

4.2 Pengaruh Perbedaan Bahan Baku terhadap Kualitas Tempe yang


dihasilkan

Gambar 4.2 Variabel 4 tempe Gambar 4.3 Variabel 10 tempe


dengan bahan baku kacang kedelai dengan bahan baku kacang merah

Berdasarkan gambar 4.2 dan 4.3, dapat dilihat bahwa kualitas fisik tempe
dengan bahan baku kacang kedelai lebih baik daripada tempe yang berbahan
baku kacang merah. Kualitas tempe pada variabel 4 dengan bahan baku kacang
kedelai memiliki tekstur yang lebih kompak daripada tekstur tempe pada
variabel 10 dengan bahan baku kacang merah. Kekompakan teksturnya dapat
dilihat dari susunan miseliumnya yang putih, dan mengikat erat kacang-
kacangnya menjadi satu. Namun pada variabel 4, terdapat kacang kedelai yang
miselium putihnya tidak sepenuhnya tumbuh. Sedangkan, pada variabel 10
tekstur tempe dengan bahan baku kacang merah sudah kompak, tetapi warna
tempe tidak putih. Ditinjau dari aromanya, variabel 4 menghasilkan aroma khas
tempe, sedangkan variabel 10 menghasilkan aroma bahan baku kacang merah.
Menurut Supriyono (2003), tempe yang baik dicirikan oleh permukaan
tempe yang ditutupi oleh miselium kapang (benang-benang halus) secara merata,
kompak dan berwarna putih. Antar butiran kacang kedelai dipenuhi oleh
miselium dengan ikatan yang kuat dan merata, sehingga bila diiris tempe
tersebut tidak hancur. Namun, sering kali didapatkan tempe yang pecah-pecah,
pertumbuhan kapang yang tidak merata atau bahkan tidak tumbuh sama sekali,
kedelai menjadi busuk dan berbau amoniak atau alkohol bahkan kedelai menjadi
berlendir, asam dan penyimpangan lainnya. Beberapa penyebab yang dapat
menyebabkan tempe tidak kompak yaitu kapang tidak aktif atau sudah mati, laru

2
P2

terlalu sedikit, laru terlalu tua, pengadukan laru tidak merata, waktu fermentasi
yang kurang lama, dan suhu fermentasi yang terlalu rendah. Menurut Bestari dan
Pujonarti (2013), kacang kedelai mengandung lemak sebesar 16,7% dan kadar
protein sebesar 40,4%. Sedangkan kacang merah memiliki kandungan lemak
sebesar 1,1% dan kadar protein sebesar 22,1%. Kandungan lemak dan protein
pada bahan baku digunakan kapang tempe sebgai sumber nutrisi. R. oligosporus
dan R. oryzae menghasilkan enzim lipase yang akan mengubah lemak menjadi
trigliserida dan asam lemak bebas selama fermentasi (Asp , dkk., 1983 dalam
Radiati dan Sumarto, 2016). Kapang menggunakan asam lemak bebas tersebut
sebagai sumber karbon (de Reu, dkk., 1993 dalam Radiati dan Sumarto, 2016).
Selain itu, kapang juga membutuhkan asam-asam amino (albumin, globulin)
dan basa terlarut untuk pertumbuhannya (Handoyo dan Morita, 2006 dalam
Radiati dan Sumarto, 2016).
Dapat disimpulkan bahwa, pertumbuhan miselium yang belum merata
pada variabel 4 dengan bahan baku kacang kedelai disebabkan oleh pengadukan
laru yang tidak merata. Sedangkan pada variabel 10, kualitas tempe yang kurang
baik dari segi warna dan aroma disebabkan karena kandungan lemak dan protein
yang rendah pada kacang merah. Hal ini menyebabkan kapang cepat rusak
karena ketersediaan nutrisi yang sedikit.

4.3 Pengaruh Perbedaan Pembungkus terhadap Kualitas Tempe yang


Dihasilkan

Gambar 4.4 Tempe Gambar 4.5 Tempe Gambar 4.6 Tempe


kedelai dengan kedelai dengan kedelai dengan
pembungkus daun pembungkus plastik pembungkus plastik
pisang yang dilubangi

Pada gambar diatas, dapat dilihat bahwa pembungkus yang digunakan


pada praktikum ini adalah daun pisang, plastik, plastik yang dilubangi. Penilaian
panelis untuk variabel 4 (pembungkus daun pisang) yaitu 5 (sangat baik) dari

2
P2

segi warna dan aroma, serta nilai 4 (baik) dari segi tekstur. Variabel 5
(pembungkus plastik yang dilubangi) bernilai 3 (cukup) dari segi aroma dan 2
(buruk) dari segi warna dan tekstur. Sedangkan variabel 6 (pembungkus plastik)
bernilai 1 (mendekati bahan baku) untuk segi warna, tekstur, dan aroma. Hal ini
mengindikasikan bahwa kualitas tempe yang paling baik yaitu dengan
pembungkus daun pisang dan kualitas tempe yang paling buruk yaitu dengan
pembungkus plastik yang tidak dilubangi.
Menurut Hidayat, dkk. (2006) dalam Sayuti (2015), faktor utama yang
menentukan bahwa pembungkus dapat menghasilkan tempe yang baik ialah
aerasi dan kelembaban. Tempat pengemasan yang baik dapat menjamin aerasi
yang merata secara terus menerus dan sekaligus dapat menjaga agar kelembaban
tetap tinggi tanpa menimbulkan pengembunan. Menurut Suprapti (2003) dalam
Sayuti (2015), pembungkusan tempe menggunakan daun samahalnya dengan
menyimpannya dalam ruang gelap (salah satu syarat ruang fermentasi),
mengingat daun yang tidak tembus pandang. Disamping itu, aerasi (sirkulasi
udara) dapat tetap berlangsung melalui celah-celah pembungkus yang ada.
Kantong plastik juga dapat digunakan untuk membungkus tempe. Namun
karena bersifat kedap udara maka permukaan plastik harus dilubangi agar
supaya aerasi dapat terjadi. Kemasan plastik memiliki kelemahan dimana
kemasan plastik tidak kedap cahaya, sirkulasi udara tergantung pada jumlah
lubang yang diberikan, begitu juga kelembaban tergantung pada sirkulasi udara
akibat dari pemberian lubang pada kemasan (Sayuti, 2015). Kapang tempe
(Rhizopus sp.) bersifat aerob obligat artinya membutuhkan oksigen untuk
pertumbuhannya, sehingga apabila dalam proses fermentasi itu kurang oksigen
maka pertumbuhan kapang akan terhambat dan proses fermentasinya pun tidak
berjalan lancar. Oleh karena itu, pada pembungkus tempe biasanya dilakukan
penusukan dengan lidi yang bertujuan agar oksigen dapat masuk dalam bahan
tempe. Sebaliknya jika dalam proses fermentasinya kelebihan oksigen, dapat
menyebabkan proses metabolismenya terlalu cepat sehingga suhu naik dan
pertumbuhan kapang terhambat (Kusharyanto dan Budiyanto, 1995 dalam
Astuti, 2009).
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa hasil yang diperoleh
sesuai dengan teori. Kualitas tempe yang paling baik yaitu pada tempe dengan
pembungkus daun pisang. Hal ini dikarenakan pembungkusan tempe
menggunakan daun samahalnya dengan menyimpannya dalam ruang gelap
(salah satu syarat ruang fermentasi), disamping itu aerasi (sirkulasi udara)
berlangsung merata secara terus-menerus sehingga kelembaban dapat terjaga.

18
P2

Sedangkan pada tempe dengan pembungkus plastik yang tidak dilubangi


memiliki kualitas yang paling buruk. Hal ini karena tidak adanya aerasi
(sirkulasi udara).

4.4 Pengaruh Perbedaan Lama Perendaman terhadap Kualitas Tempe yang


Dihasilkan

Gambar 4.7 Tempe kedelai Gambar 4.8 Tempe kedelai dengan


dengan lama perendaman 5 jam lama perendaman 10 jam
Berdasarkan gambar 4.7 dan gambar 4.8, dapat dilihat bahwa tempe
dengan bahan baku kedelai yang direndam selama 5 jam memiliki kualitas yang
lebih baik daripada tempe dengan lama perendaman 10 jam. Hal ini terlihat dari
struktur tempe yang dihasilkan pada variabel 1 terlihat lebih kompak (menyatu)
daripada variabel 4. Penilaian dari panelis untuk variabel 1 yaitu 5 (sangat baik)
dari segi warna, tekstur miselium, dan aroma. Sedangkan variabel 4 memperoleh
nilai 5 (sangat baik) dari segi warna dan aroma dan nilai 4 (baik) dari segi
tekstur miselium.
Menurut Sarwono (2004) dalam Winanti, dkk. (2014) dalam proses
pembuatan tempe meliputi pencucian kedelai, perebusan, perendaman,
pengupasan kulit kedelai, inokulasi, pembungkusan dan fermentasi. Menurut
Anglemier dan Montgomery (1976) dalam Lumowo dan Nurani (2014), kadar
protein akan semakin turun dengan semakin lamanya perendaman disebabkan
lepasnya ikatan struktur protein sehingga komponen protein terlarut dalam air.
Perendaman yang semakin lama juga mengakibatkan lunaknya struktur biji
kedelai sehingga air lebih mudah masuk kedalam struktur selnya sehingga kadar
air biji kedelai semakin tinggi. Menurut Kasmidjo (1990) dalam Winanti, dkk.
(2014), apabila kadar air tinggi maka kelembaban juga tinggi dan bakteri
kontaminan akan meningkat sehingga air yang berlebihan dalam inokulasi dan
penirisan yang kurang sempurna dapat memacu tumbuhnya bakteri-bakteri
kontaminan dan menyebabkan pembusukan sehingga mempengaruhi produk

19
P2

tempe. Hal ini didukung oleh Nurrahman, dkk. (2012) dalam Winanti, dkk.
(2014), dimana adanya air yang berlebihan dalam pembuatan tempe dapat
mengakibatkan terhambatnya kebutuhan oksigen ke dalam kedelai, dimana dapat
menghambat pertumbuhan jamur tempe sehingga menyebabkan miselia jamur
yang menghubungkan biji kedelai satu dengan yang lain tidak merata dan
tekstur tempe tidak padat.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa semakin lama proses
perendaman bahan baku maka kadar air dalam bahan baku akan semakin
meningkat. Kadar air yang tinggi dapat menyebabkan terganggunya proses
fermentasi, karena terhambatnya pertumbuhan kapang dalam membentuk
miselium. Hal inilah yang meyebabkan tekstur miselium pada tempe dengan
lama perendaman 10 jam menjadi kurang kompak.

20
P2

BAB V
PENUTUP

4. 1 Kesimpulan
1. Tempe dapat dibuat dari bahan baku kacang kedelai maupun kacang merah.
Semakin lama waktu fermentasi maka berat tempe yang dihasilkan akan
semakin kecil.
2. Tempe dari kacang kedelai memiliki penilaian warna dan aroma yang lebih
baik daripada tempe dari kacang merah. Tempe kedelai dengan pembungkus
daun pisang memiliki kualitas yang paling baik, diikuti dengan plastik yang
dilubangi, dan kualitas yang paling buruk pada tempe dengan pembungkus
plastik yang tidak dilubangi.
3. Tempe kedelai dengan lama perendaman bahan baku selama 5 jam memiliki
penilaian tekstur yang lebih baik daripada tempe dengan lama perendaman 10
jam.

4.2 Saran
1. Sebaiknya preparasi sampel tidak dilakukan terlalu dini agar bahan baku
masih segar dan tidak menjadi kering.
2. Pastikan kulit ari dari kacang kedelai dan kacang merah sudah hilang semua
agar kapang dapat tumbuh dengan baik.
3. Sebaiknya pembungkusan tempe menggunakan daun pisang yang masih
muda (lebih lentur) agar daun tidak mudah sobek saat pembungkusan.

21
P2

DAFTAR PUSTAKA

Bestari, Dwi Melia dan Siti Arifah Pujonarti. 2013. Pengaruh Substitusi Kacang
Merah terhadap Kandungan Gizi dan Uji Hedonik pada Tortilla Chips. FKM
UI
Chisti, Yusuf. 1999. Fermentation (Industrial). London.
Dwinaningsih, Erna Ayu. 2010. Karakteristik Kimia dan Sensori Tempe dengan
Variasi Bahan Baku Kedelai/Beraas dan Penambahan Angkak serta Variasi
Lama Fermentasi.
Istiyanto, Rika. 2012. Penyusun Draft Standard Operating Procedure (SOP)
Pengolahan Tempe (Studi Kasus di Salah Satu Industri Pengolahan Tempe
Gunung Sulah Bandar Lampung).
Kusumawardhani, Prajna Cahyaning. 2015. Pemaanfaaatan Kacang Koro Pedang
sebagai Bahan Substitusi dalam Pembuatan Tempe Kedelai.
Lumowo, Sonja V. T. dan Ima Nurani. 2014. Pengaruh Perendaman Biji Kedelai
dalam Media Perasan Kulit Nanas terhadap Kadar Protein pada Pembuatan
Tempe. Jurnal EduBio Tropika Vol. 2(2).
Muthmainna, dkk. 2016. Pengaruh Waktu Fermentasi terhadap Kadar protein dari
Tempe Biji Buah Lamtoro Gung. Jurnal Akademika Kimia 5(1).
Nurhalimah, Neneng. 2015. Kandungan Bakteri Asam Laktat dan Bakteri Selulolitik
pada Pollard yang Difermentasi. Semarang : UNDIP.
Prasetyo, Rizky Eko. 2018. Analisis Kepuasan dan Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Permintaan Tempe oleh Konsumen Rumah Tangga di Kota
Bandar Lampung. Bandar Lampung.
Putri, Angelia Iskandar. 2011. Produksi Bioetanol oleh Saccharomyces cerevisiae
dari Biji Durian dengan Variasi Jenis Jamur dan Kadar Pati. Yogyakarta.
Radiati, Ani dan Sumarto. 2016. Analisis Sifat Fisik, Sifat Organoleptik, dan
Kandungan Gizi pada Produk Tempe dari Kacang Non-Kedelai. Jurnal
Aplikasi Teknologi Pangan 5(1).
Romadoni, Ahmad. 2015. Pengaruh Media Perasan Kulit Nanas dan Lama
Fermentasi terhadap Kualitas Fisik Tempe Kedelai. Palangkaraya.
Sayuti. 2015. Pengaruh Bahan Kemasan dan Lama Inkubasiterhadap Kualitas
Tempe sebagai Sumber Belajar IPA. Jurnal Pendidikan Biologi.
Supriyono. 2003. Memproduksi Tempe. Jakarta : Direktorat Pendidikan Menengah
Kejuruan.

22
P2

Surya, Reggie, dan Rahayu. 2011. Pengolahan Sari Tempe dalam Kaleng sebagai
Upaya Diversifikasi Pangan Berbasis Tempe. Bogor : IPB.
Suwarto, Abdi Tunggal Cahyo. 2011. Kinetika Perubahan Asam Fitat pada Tempe
Selama Proses Pemanasan. Bogor : IPB.
Tarwendah, Ivan Putri. Jurnal Review : Studi Komparasi Atribut Sensoris dan
Kesadaran Merek Produk Pangan.
Winanti, dkk. 2014. Studi Observasi Higienitas Produk Tempe Berdasarkan
Perbedaan Metode Inokulasi. Unnes Journal of Life Science.

23

Anda mungkin juga menyukai