PENDAHULUAN
1
bahan dasar, media pembungkus, dan lama perendaman terhadap tempe yang
dihasilkan.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
Tabel 2.1 Syarat mutu tempe kedelai
No. Kriteria uji Satuan Persyaratan
1. Keadaan
1.1 Tekstur - kompak, jika diiris tetap utuh
(tidak mudah rontok)
1.2 Warna - putih merata pada seluruh
permukaan
1.3 Bau - bau khas tempe tanpa adanya
bau amoniak
2. Kadar air Fraksi massa, % maks. 65
3. Kadar lemak Fraksi massa, % min. 7
4. Kadar protein (Nx5,71) Fraksi massa, % min. 15
5. Kadar serat kasar Fraksi massa, % maks. 2,5
6. Cemaran logam
6.1 Kadmium (Cd) mg/kg maks. 0,2
6.2 Timbal (Pb) mg/kg maks. 0,25
6.3 Timah (Sn) mg/kg maks. 40
6.4 Merkuri (Hg) mg/kg maks. 0,03
7. Cemaran Arsen (As) mg/kg maks. 0,25
8. Cemaran mikroba
8.1 Coliform APM/g maks. 10
8.2 Salmonella sp. negatif/25 g
Sumber : Badan Standar Nasional
4
kali aktivitas dari vitamin A dan sekitar 3 kali dari senyawa isoflavon aglikon
lainnya pada tempe) serta memiliki aktivitas antihemolitik. Faktor-2 pada tempe,
terbukti berpotensi sebagai anti-kontriksi pembuluh darah dan juga berpotensi
menghambat pembentukan LDL (low density lipoprotein). Dengan demikian,
isoflavon dapat mengurangi terjadinya arteriosclerosis pada pembuluh darah
(Istiani, 2010 dalam Kusumawardhani, 2015).
Tempe juga mengandung superoksida desmutase yang dapat menghambat
kerusakan sel dan proses penuaan. Dalam sepotong tempe, terkandung berbagai
unsur yang bermanfaat, seperti protein, lemak, hidrat arang, serat, vitamin, enzim,
daidzein, genestein serta komponen antibakteri dan zat antioksidan yang
berkhasiat sebagai obat (Cahyadi, 2006 dalam Dwinaningsih, 2010).
5
Nitrogen (db) 7,5%
Tempe memiliki kandungan vitamin B12 yang sangat tinggi, yaitu 3,9- 5,0
g/100g. Selain vitamin B12, tempe juga mengandung vitamin B lainnya,
yaitu niasin dan riboflavin (Vitamin B2). Tempe juga mampu mencukupi
kebutuhan kalsium sebanyak 20% dan zat besi 56% dari standar gizi yang
dianjurkan (Romadoni, 2015).
6
Secara komersil, enzim dapat diproduksi oleh tanaman, hewan dan
mikroba, namun enzim yang diproduksi oleh mikroba memiliki beberapa
keunggulan yaitu, mampu dihasilkan dalam jumlah besar dan mudah untuk
meningkatkan produktivitas bila dibandingkan dengan tanaman atau hewan.
3. Fermentasi yang menghasilkan metabolit mikroba
Metabolit mikroba dapat dibedakan menjadi metabolit primer dan
metabolit sekunder. Produk metabolisme primer yang dianggap penting
contohnya etanol, asam sitrat, polisakarida, aseton, butanol dan vitamin.
Sedangkan metabolit sekunder yang dihasilkan mikroba contohnya antibiotik,
pemacu pertumbuhan, inhibitor enzim dan lain-lain.
4. Proses transformasi
Sel mikroba dapat digunakan untuk mengubah suatu senyawa menjadi
senyawa lain yang masih memiliki kemiripan struktur namun memiliki nilai
komersial yang lebih tinggi. Proses transformasi dengan menggunkan mikroba
ini lebih baik bila dibandingkan dengan proses kimia, berkaitan dengan reagen
kimia yang lebih sedikit.
Berdasarkan kebutuhan oksigen, proses fermentasi dibagi menjadi dua,
yaitu proses aerobik (proses yang membutuhkan oksigen) dan anaerobik
(proses yang tidak membutuhkan oksigen). Salah satu contoh fermentasi
aerobik adalah pembuatan asam sitrat oleh Aspergillus niger. Sedangkan
contoh fermentasi anaerobik adalah pembuatan yoghurt (Chisti, 1999).
Fermentasi tempe berlangsung secara aerob karena kapang merupakan
mikroorganisme yang bersifat aerob obligat. Kapang membutuhkan oksigen
untuk metabolisme dan membentuk biomassa berupa miselia yang membentuk
tekstur kompak pada tempe. Selama fermentasi, kapang akan menghidrolisis
senyawa-senyawa kompleks dalam kedelai menjadi senyawa yang lebih mudah
dicerna (Surya dan Rahayu, 2011).
7
2. Inkubasi
Inkubasi dikerjakan pada suatu tempat yang mempunyai suhu sekitar 40oC
dengan kelembaban sekitar 90%. Cara inkubasi yang tepat akan menjamin
fermentasi dalam waktu yang cepat, kurang dari 24 jam.
3. Oksigen
Oksigen memang diperlukan untuk pertumbuhan kapang, tetapi bila
berlebihan dan tidak seimbang dengan lubang pada bungkusan (panas yang
ditimbulkannya menjadi lebih besar dari pada panas yang dibuang dari
bungkusan). Bila hal ini terjadi suhu kacang kedelai yang sedang mengalami
fermentasi menjadi tinggi dan akan mengakibatkan kapang mati. Sebaliknya
jika oksigen yang diperlukan untuk pertumbuhan kapang kurang, maka
pertumbuhan kapang akan terhambat.
4. Suhu
Kapang tempe bersifat mesofilik, yaitu untuk tumbuhnya memerlukan
suhu antara 25o-30o C atau suhu kamar, oleh sebab itu suhu ruangan tempat
pemeraman perlu diperhatikan dengan memberikan ventilasi cukup baik.
5. Jenis ragi
Untuk mendapatkan tempe yang baik maka laru tempe harus dalam
keadaan aktif, artinya kapang tempe mampu tumbuh dengan baik.
Menggunakan laru yang masih baru akan berpeluang menghasilkan tempe
yang baik, laru sangat berpengaruh terhadap pembentukan rasa, aroma tempe
yang dihasilkan.
Tempe dengan kualitas baik mempunyai ciri-ciri berwarna putih bersih yang
merata pada permukaannya memiliki struktur yang homogen dan kompak serta
berasa berbau dan beraroma khas tempe. Tempe dengan kualitas buruk ditandai
dengan permukaannya yang basah struktur tidak kompak adanya bercak bercak
hitam, adanya bau amoniak dan alkohol serta beracun (Astawan, 2004 dalam
Prasetyo, 2018).
8
adalah hifa pembentuk spora dan berbentuk bulat. Suhu pertumbuhan optimum
adalah 30°C (Rahmi, 2008 dalam Putri, 2011)
Koloni Rhizopus oryzae yang ditumbuhkan pada Sabouraud's dextrose agar
tumbuh cepat pada suhu 25°C, panjang 5-8 mm, berbentuk seperti kapas putih
awalnya, kemudian menjadi abu-abu kecoklatan dan abu-abu kehitaman
tergantung pada jumlah sporulasi. Menurut Atlas (1984) dalam Putri (2011),
klasifikasi Rhizopus oryzae adalah sebagai berikut:
Divisi : Zygomycota
Kelas : Zygomycetes
Bangsa : Mucorales
Suku : Mucoraceae
Marga : Rhizopus
Jenis : Rhizopus oryzae
Rhizopus oryzae memproduksi enzim pendegradasi karbohidrat seperti
amilase, selulase, xylanase, glukoamilase dan sebagainya. Selama fermentasi,
karbohidrat akan berkurang karena dirombak menjadi gula-gula sederhana (Nur,
2006 dalam Putri, 2011).
9
2. Ragi : mengandung Rhizopus sp. sebagai inokulum berfungsi untuk
menghidrolisis senyawa komplek menjadi senyawa sederhana.
3. Air : digunakan untuk proses perendaman dan pengukusan bahan dasar
tempe.
10
2.11 Asam Fitat
Asam fitat adalah suatu mio-inositol 1,2,3,4,5,6-heksafosfat (dihidrogen fosfat)
(Oberleas, 1973 dalam Suwarto, 2011) yang memiliki fosfor bermuatan negatif
yang besar sehingga asam fitat mampu berikatan dengan banyak kation divalen,
protein, dan pati. Asam fitat ditemukan dalam konsentrasi yang tinggi pada
serealia, kacang-kacangan, dan minyak biji-bijian. Pada tanaman serealia dan
minyak biji-bijian, asam fitat terdapat dalam jumlah 1-5% dari berat total dan
menjadi bentuk penyimpanan utama dari fosfor pada tanaman serealia (Liener,
1989 dalam Suwarto, 2011).
Asam fitat dapat juga bereaksi dengan protein membentuk senyawa kompleks.
Senyawa kompleks ini dapat mempengaruhi kecepatan hidrolisis protein oleh
enzim-enzim proteolitik karena terjadi perubahan konformasi protein. Hal ini
menyebabkan ketersediaan biologis dari zat gizi tersebut menurun. Fitat sulit
dicerna karena kurangnya sistem kerja enzim endogenous yang mampu
mengkatalisis hidrolisis fitat menjadi inositol dan fosfor organik. Oleh karena itu,
asam fitat dianggap sebagai senyawa antinutrisi (Muchtadi, 1989 dalam Suwarto,
2011).
Asam fitat dapat membentuk ikatan komplek dengan Fe atau mineral lain
seperti Zn, Mg, dan Ca menjadi bentuk yang tidak larut dan sulit diabsorpsi tubuh.
Proses perendaman dalam air panas dan fermentasi selama proses pembuatan
tempe dapat menurunkan kandungan asam fitat sehingga mineral dapat lebih
mudah diserap tubuh (Koswara, 1992 dalam Suwarto, 2011). Kapang tempe dapat
menghasilkan enzim fitase yang akan menguraikan asam fitat menjadi fosfor dan
inositol. Asam fitat berkurang sekitar 30% dari kedelai sebelum fermentasi. Asam
fitat dapat menyebabkan defisiensi fosfat, kalsium, dan gangguan penyerapan zat
besi (Karyadi, 1985 dalam Suwarto, 2011).
11
BAB III
METODE PERCOBAAN
Pencucian
Perendaman
Pengupasan kulit
Pengukusan
Pengeringan
Penimbangan
Penambahan ragi
Pembungkusan
Inkubasi
12
3. Ragi tempe 16,8 gram
4. Air secukupnya
5. Daun pisang
6. Plastik
3.2.2 Alat yang digunakan
1. Panci
2. Kain
3. Kompor
4. Timbangan
5. Batang Pengaduk
6. Sendok
Panci Kompor
Kain
13
P6
2. Cuci kacang kedelai dan kacang merah kemudian rendam setengah bagian dari
kacang kedelai dan setengah bagian kacang merah selama 5 jam dan sisanya
rendam selama 10 jam, lalu tiriskan.
3. Kupas kulit kacang sampai bersih, lalu cuci kembali agar kulit arinya hilang
semua.
4. Kukus kacang selama ±30 menit menggunakan air secukupnya.
5. Keringkan kacang, kemudian sebar dengan ketebalan (1-2 cm) agar
mempercepat pengeringan.
6. Kacang akan mendingin jika tampak kering (tidak basah lagi) maka
sudah bisa diinokulasi.
7. Timbang kacang lalu tambahkan ragi 2%W pada setiap variabel.
8. Campur kacang dan ragi hingga rata.
9. Bungkus dengan pembungkus daun pisang, plastik yang dilubangi, dan
plastik yang tidak dilubangi, kemudian inkubasi selama 3 hari.
10. Amati perubahan setiap harinya: berat, warna, aroma, tekstur miselium pada
tempe.
11. Melakukan skoring atau penilaian sebagai berikut
Untuk parameter warna, aroma, dan tekstur miselium menggunakan skala 1-
5.
Skala 1 = sangat buruk atau hasil pengamatan mendekati bahan baku
Skala 2 = buruk
Skala 3 = cukup
Skala 4 = baik
Skala 5 = sangat baik atau hasil pengamatan mendekati tempe yang telah jadi
14
P6
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada praktikum kali ini, digunakan empat variabel waktu, yaitu hari ke-0,
hari ke-1, hari ke-2, dan hari ke-3. Dari keempat variabel ini, diamati
pengaruhnya terhadap rasio berat tempe setelah fermentasi hari ke-n dengan
berat tempe pada hari ke-0, lalu dibuat grafik hubungannya seperti gambar
dibawah ini:
Var
1.05 1
Var
1 2
Var
3
0.95 Var
4
Var
0.9
Wn/W0
5
Var
0.85 6
Var
7
0.8 Var
8
0.75 Var
9
Var
0.7 10
0 1 2 3 Var
11
Waktu Fermentasi Hari ke- Var
12
Gambar 4.1 Pengaruh waktu fermentasi terhadap berat tempe yang dihasilkan
Gambar 4.1 menunjukkan hubungan waktu fermentasi terhadap berat
tempe yang dihasilkan (Wn/W0). Berdasarkan gambar 4.1, dapat dilihat bahwa
hubungan waktu fermentasi dengan berat tempe yaitu berbanding terbalik.
Semakin lama waktu fermentasi maka berat tempe akan semakin ringan, namun
hal ini terdapat pengecualian pada variabel 1, 5, 6, 7, 8, 10, 11, 12 di mana pada
hari pertama terdapat penambahan berat tempe.
Menurut Muthmainna (2016), penurunan berat tempe disebabkan oleh
degradasi protein yang terkandung dalam tempe. Jamur yang tumbuh pada
tempe (Rhizopus sp.) menghasilkan enzim-enzim pemecah senyawa-senyawa
kompleks. Selama proses fermentasi terdapat sejumlah protein yang digunakan
oleh jamur Rhizopus oligosporus sebagai sumber nitrogen untuk
pertumbuhannya (Sayudi dkk., 2015 dalam Muthmainna, 2016). Jamur
Rhizopus oligosporus bersifat proteolitik, yaitu mikroorganisme yang dapat
menguraikan protein menjadi unit yang lebih kecil (Yunianti dkk., 2015) dan ini
15
P6
penting dalam pemutusan protein menjadi senyawa yang lebih sederhana. Jamur
ini akan mendegradasi protein selama fermentasi menjadi dipeptida dan
seterusnya menjadi senyawa NH3 atau NH2 yang hilang melalui penguapan.
Dengan semakin lama fermentasi berarti semakin lama kesempatan jamur
mendegradasi protein, sehingga protein yang terdegradasi pun semakin banyak
(Deliani, 2008 dalam Muthmainna, 2016). Akibat semakin banyak protein yang
terdegradasi, maka senyawa yang hilang melalui penguraian akan semakin
banyak pula, sehingga berat tempe semakin lama akan semakin menurun.
Berdasarkan penjelasan di atas, hasil percobaan yang didapatkan sesuai
dengan teori yang ada, namun terdapat pengecualian dimana berat tempe
bertambah. Menurut Winanti dkk. (2014), tempe yang memiliki selisih berat
yang naik disebabkan oleh kandungan air yang tinggi pada saat inokulasi di
mana air yang berlebih akan mempercepat pertumbuhan jamur sebelum
penguraian protein dilakukan oleh jamur.
Pada praktikum kali ini, terdapat variabel bahan baku yang digunakan
untuk membuat tempe, yaitu kacang tanah (variabel 1) dan kacang kedelai
(variabel 7) seperti gambar di bawah ini.
16
P6
Aroma
5
4
3
2
1
0
Warna Tekstur
Variabel 1 Variabel 7
17
P6
3, oleh teman adalah 3, dan oleh praktikan adalah 3. Sehingga, rata-rata skor
untuk aroma tempe adalah 3.
Menurut Supriyono (2003), tekstur tempe yang baik dicirikan oleh
permukaan tempe yang ditutupi oleh miselium kapang (benang-benang halus)
secara merata, kompak dan berwarna putih. Antar butiran kacang dipenuhi oleh
miselium dengan ikatan yang kuat dan merata, sehingga bila diiris tempe
tersebut tidak hancur. Namun, sering kali didapatkan tempe yang pecah-pecah,
pertumbuhan kapang yang tidak merata atau bahkan tidak tumbuh sama sekali,
kedelai menjadi busuk dan berbau amoniak atau alkohol bahkan kedelai menjadi
berlendir, asam dan penyimpangan lainnya. Beberapa penyebab yang dapat
menyebabkan tempe tidak kompak yaitu kapang tidak aktif atau sudah mati, laru
terlalu sedikit, laru terlalu tua, pengadukan laru tidak merata, waktu fermentasi
yang kurang lama, dan suhu fermentasi yang terlalu rendah. Sedangkan pada
aspek aroma, tempe dari kacang tanah memiliki aroma yang lebih baik dari
tempe dari kacang kedelai berdasarkan penilaian panelis. Hal ini disebabkan
karena adanya senyawa volatil pada kacang kedelai yang akan timbul setelah
dilakukan proses pengukusan/perebusan yang menimbulkan aroma yang
spesifik yang tidak disukai panelis (Soekarto, 1985 dalam Ahsanunnisa, 2018
dan Ahsanunnisa, 2018). Selain itu, menurut Depkes RI (1996), kacang tanah
memiliki kandungan lemak yang lebih tinggi daripada kacang kedelai, sehingga
responden lebih menyukai aroma dari tempe berbahan baku kacang tanah
daripada tempe berbahan baku kedelai (Mutasyahidan dkk., 2018). Pada aspek
warna, tempe kacang kedelai lebih disukai daripada tempe kacang tanah oleh
para panelis. Hal ini disebabkan warna tempe kedelai berwarna putih
kekuningan mendekati tempe yang ada di pasaran (Yursilla, 2015). Pada aspek
tekstur, tempe kacang tanah lebih baik daripada tempe kacang kedelai.
Berdasarkan Gambar 4.2. dan 4.3. tempe kacang tanah memiliki tekstur
miselium yang menutupi hamper seluruh tempe, dimana tempe yang baik
memiliki tekstur miselium yang rata, dan kompak.
Berdasarkan hasil percobaan yang didapat, dapat disimpulkan bahwa pada
aspek aroma dan tekstur, tempe kacang tanah lebih baik daripada tempe kacang
kedelai. Sedangkan, pada aspek warna, tempe kacang kedelai lebih baik dari
tempe kacang tanah.
18
P6
dengan ragi 2%. Berikut gambar hasil fermentasi tempe hari panen:
AROMA TEKSTUR
DP DJ PTB
19
P6
20
P6
21
P6
WARNA
4
3
2
1
0
AROMA TEKSTUR
22
P6
merata dan kompak serta berwarna putih (Sarwono, 1996 dalam Reni, dkk,
2013). Didukung juga oleh pendapat Fardiaz, 2002 dalam Soniah, 2002 bahwa
fermentasi substrat padat oleh kapang menghasilkan peningkatan biomass yang
berarti terjadi pula peningkatan miselium. Sehingga penambahan ragi yang lebih
banyak dapat mempercepat proses fermentasi, karena kapang tumbuh lebih
banyak, mengakibatkan terbentuknya miselium lebih cepat merata. Hal ini
sesuai dengan teori bahwa semakin banyak ragi yang ditambahkan, tekstur
tempe semakin kompak dan padat, dikarenakan lebih banyak jamur yang tumbuh
pada tempe tersebut.
Skor yang diperoleh antara tempe dengan ragi 1% dengan tempe dengan
ragi 2% tidak jauh berbeda. Hal ini dapat disebabkan karena perbandingan ragi
yang tidak signifikan sehingga penilaian kualitas tempe secara organoleptik oleh
mata menghasilkan skor yang mirip. Adapun alasan lainnya adalah karena
kapang Rhizopus oligosporus yang kami gunakan telah digunakan oleh
kelompok lain. Sehingga besar kemungkinan telah terkontaminasi oleh udara
dan bercampur dengan bakteri lain yang ada di udara.
Kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa semakin banyak
penambahan ragi maka kualitas tempe secara warna, aroma, dan tekstur menjadi
lebih baik.
23
P6
BAB V
PENUTUP
5. 1 Kesimpulan
1. Tempe dapat dibuat dari bahan baku kacang kedelai maupun kacang tanah.
Semakin lama waktu fermentasi maka berat tempe yang dihasilkan akan
semakin kecil.
2. Tempe dari kacang tanah memiliki penilaian tekstur dan aroma yang lebih
baik daripada tempe dari kacang kedelai. Sedangkan, pada aspek warna,
tempe kacang kedelai lebih baik dari tempe kacang tanah
3. Tempe kacang tanah dengan pembungkus daun pisang memiliki kualitas
yang paling baik, diikuti dengan daun jati, dan kualitas yang paling buruk
pada tempe dengan pembungkus plastik yang tidak dilubangi.
4. Tempe kedelai dengan penamabahan ragi 2% berat memiliki kualitas lebih
baik daripada tempe kedelai dengan penambahan ragi 1%.
5.2 Saran
1. Sebaiknya preparasi sampel tidak dilakukan terlalu dini agar bahan baku
masih segar dan tidak menjadi kering.
2. Sebaiknya dilakukan pengecekan kadar air pada kacang sehingga tempe
yang dihasilkan lebih berkualitas.
3. Sebaiknya pembungkusan tempe menggunakan daun pisang yang masih
muda (lebih lentur) agar daun tidak mudah sobek saat pembungkusan.
24
P6
25
P6
26
P6
DAFTAR PUSTAKA
Bestari, Dwi Melia dan Siti Arifah Pujonarti. 2013. Pengaruh Substitusi Kacang
Merah terhadap Kandungan Gizi dan Uji Hedonik pada Tortilla Chips. FKM UI
Chisti, Yusuf. 1999. Fermentation (Industrial). London.
Dwinaningsih, Erna Ayu. 2010. Karakteristik Kimia dan Sensori Tempe dengan
Variasi Bahan Baku Kedelai/Beraas dan Penambahan Angkak serta Variasi
Lama Fermentasi.
Istiyanto, Rika. 2012. Penyusun Draft Standard Operating Procedure (SOP)
Pengolahan Tempe (Studi Kasus di Salah Satu Industri Pengolahan Tempe
Gunung Sulah Bandar Lampung).
Kusumawardhani, Prajna Cahyaning. 2015. Pemaanfaaatan Kacang Koro Pedang
sebagai Bahan Substitusi dalam Pembuatan Tempe Kedelai.
Lumowo, Sonja V. T. dan Ima Nurani. 2014. Pengaruh Perendaman Biji Kedelai
dalam Media Perasan Kulit Nanas terhadap Kadar Protein pada Pembuatan
Tempe. Jurnal EduBio Tropika Vol. 2(2).
Muthmainna, dkk. 2016. Pengaruh Waktu Fermentasi terhadap Kadar protein dari
Tempe Biji Buah Lamtoro Gung. Jurnal Akademika Kimia 5(1).
Nurhalimah, Neneng. 2015. Kandungan Bakteri Asam Laktat dan Bakteri Selulolitik
pada Pollard yang Difermentasi. Semarang : UNDIP.
Prasetyo, Rizky Eko. 2018. Analisis Kepuasan dan Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Permintaan Tempe oleh Konsumen Rumah Tangga di Kota
Bandar Lampung. Bandar Lampung.
Putri, Angelia Iskandar. 2011. Produksi Bioetanol oleh Saccharomyces cerevisiae dari
Biji Durian dengan Variasi Jenis Jamur dan Kadar Pati. Yogyakarta.
Radiati, Ani dan Sumarto. 2016. Analisis Sifat Fisik, Sifat Organoleptik, dan
Kandungan Gizi pada Produk Tempe dari Kacang Non-Kedelai. Jurnal Aplikasi
Teknologi Pangan 5(1).
Romadoni, Ahmad. 2015. Pengaruh Media Perasan Kulit Nanas dan Lama
Fermentasi terhadap Kualitas Fisik Tempe Kedelai. Palangkaraya.
Sayuti. 2015. Pengaruh Bahan Kemasan dan Lama Inkubasiterhadap Kualitas Tempe
sebagai Sumber Belajar IPA. Jurnal Pendidikan Biologi.
Supriyono. 2003. Memproduksi Tempe. Jakarta : Direktorat Pendidikan Menengah
Kejuruan.
27
P6
Surya, Reggie, dan Rahayu. 2011. Pengolahan Sari Tempe dalam Kaleng sebagai
Upaya Diversifikasi Pangan Berbasis Tempe. Bogor : IPB.
Suwarto, Abdi Tunggal Cahyo. 2011. Kinetika Perubahan Asam Fitat pada Tempe
Selama Proses Pemanasan. Bogor : IPB.
Tarwendah, Ivan Putri. Jurnal Review : Studi Komparasi Atribut Sensoris dan
Kesadaran Merek Produk Pangan.
Winanti, dkk. 2014. Studi Observasi Higienitas Produk Tempe Berdasarkan
Perbedaan Metode Inokulasi. Unnes Journal of Life Science.
28