Anda di halaman 1dari 10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanaman Nanas (Ananas comosus L.Merr.)


Nanas berasal dari Brazilia ( Amerika Selatan ) di kawasan lembah
sungai Parana, Paraguay. Nanas jenis Ananas comosus L.Merr dengan rasa
yang enak membuat bangsa Indian menjadikan hasil seleksi dari berbagai
jenis nanas sehingga sekarang di budidayakan secara luas diseluruh dunia
(Joni, 2019). Tanaman Nanas merupakan salah satu produk unggulan pada
sub sektor holtikultura yang sangat populer di Indonesia. Tanaman nanas
tersebar merata di seluruh Indonesia, Karena wilayah Indonesia memiliki
keragaman agroklimat sehingga banyak jenis tanaman yang dapat tumbuh,
salah satunya tanaman nanas. Provinsi Lampung merupakan penghasil buah
nanas terbesar di Indonesia, yaitu sebesar 27 persen, diikuti oleh provinsi
Jawa Tengah 10 persen, Jawa Barat 10 persen, Jawa Timur 9 persen, Riau 8
persen, dan yang lainnya. Produksi nanas di Provinsi Lampung mengalami
penurunan dari tahun 2019 ke tahun 2020 (Badan Pusat Statistik).
Lokasi dengan sinar matahari yang cukup hingga ketinggian 500 m
dari permukaan laut adalah daerah yang cocok ditanami tanaman nanas.
Daunnya berbentuk taji, tepi berduri, dan ada juga yang tidak berduri
didalamnya terdapat serat yang banyak sekali untuk talli atau bahan kain.
Buahnnya bulat panjang dan dagingnya berwarna kuning muda (Wee dan
Thongtham, 1997). klasifikasi dari tanaman nanas adalah sebagai beriikut :
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyte
Kelas : Angiospermae
Sub Kelas : Monocotyledonae
Ordo : Farinosae
Family : Bromeliaceae
Genus : Ananas
Spesies : Anana Comosus L.Merr.
Tanaman nanas memiliki nilai ekonomi pada buahnya yang tidak hanya
dikonsumsi sebagai buah segar, tetapi dapat diolah menjadi makanan dan
minuman. Buah nanas memiliki nilai gizi yang cukup tinggi seperti pada
tabel 2.2

Tabel 2.2 Komposisi gizi pangan buah nanas segar per 100 g dengan Berat
Dapat Dimakan (BDD) 53 %
Kandungan Jumlah
Air (Water) 88.9 g
Energi (Energy) 40 Kal
Protein (Protein) 0.6 g
Lemak (Fat) 0.3 g
Karbohidrat (CHO) 9.9 g
Serat (Fibre) 0.6 g
Abu (ASH) 0.3 g
Kalsium (Ca) 22 mg
Fosfor (P) 14 mg
Besi (Fe) 0.9 mg
Natrium (Na) 18 mg
Kalium (K) 111.0 mg
Tembaga (Cu) 0.03 mg
Seng (Zn) 0.1 mg
Retinol (Vit. A) 0 mcg
Beta-Karoten (Carotenes) 17 mcg
Karoten Total (Re) 90 mcg
Thiamin (Vit. B1) 0.02 mg
Riboflavin (Vit. B2) 0.04 mg
Niasin (Niacin) 0.2 mg
Vitamin C (Vit. C) 22 mg
Sumber: Data Komposisi Pangan Indonesia (Kemenkes RI)

Nanas memiliki manfaat kesehatan yang luar biasa. Selain kandungan


yang terdapat pada tabel 2.2 nanas segar juga mengandung enzim bromelain
yang digunakan untuk melawan radikal bebas yang menyerang dan merusak
sel. Bromelain telah menunjukkan efek anti-inflamasi yang signifikan,
mengurangi pembengkakan pada kondisi peradangan seperti sinusitis akut,
sakit tenggorokan, radang sendi dan asam urat dan mempercepat pemulihan
dari cedera dan operasi. Enzim nanas telah digunakan dengan sukses untuk
mengobati rheumatoid arthritis dan untuk mempercepat perbaikan jaringan
akibat cedera, ulkus diabetes dan operasi umum. Nanas mengurangi
pembekuan darah dan membantu menghilangkan plak dari dinding arteri.
Studi menunjukkan bahwa enzim nanas dapat meningkatkan sirkulasi pada
mereka dengan arteri yang menyempit, seperti penderita angina. Nanas
digunakan untuk membantu menyembuhkan bronkitis dan infeksi
tenggorokan. Hal ini efisien dalam pengobatan arterioscleroses dan anemia.
Nanas memiliki manfaat baik untuk otak, yaitu dapat memerangi kehilangan
memori, kesedihan dan melankolis (Joy,2010).

2.2 Enzim Bromelin

Bromelin merupakan salah satu jenis enzim protease sulfhidril yang


mempu menghidrolisis ikatan peptida pada protein atau polipeptida menjadi
molekul yang lebih kecil, yaitu enzim amino (Nur Surahman dkk, 2017).
Bromelin biasa dimanfaatkan dalam industri pangan atau non pangan seperti
pembuatan minuman bir dan daging kalengan (Herdyastuti, 2006). Bromelin
ini berbentuk serbuk amori dengan warna putih bening samapai kekuning-
kuningan, berbau khas, larut sebagian dalam: Aseton, Eter, dan CHCl3, stabil

pada pH 3,0 – 5,5. Suhu optimum enzim bromelin adalah 500 C – 80o C
(Nur Surahman dkk, 2017). Enzim bromelin terdapat dalam semua jaringan
tanaman nenas yaitu sekitar setengah dari protein dalam nenas mengandung
protease bromelin (Wuryanti, 2006). Di antara berbagai jenis buah, nenas
merupakan sumber protease dengan konsentrasi tinggi dalam buah yang
masak (Purwaningsih, 2017). Distribusi bromelin pada batang nanas tidak
merata dan tergantung pada umur tanaman, sehingga kandungan bromelin
pada jaringan yang umurnya belum tua terutama yang bergetah sangat sedikit
sekali bahkan kadang-kadang tidak ada sama sekali (Herdyastuti 2006).
2.3 Kasein

Kasein memiliki berbagai fungsi khususnya dalam penelitian Biokimia


maupun bidang penelitian lainnya yang serumpun. Kasein digunakan sebagai
substrat standar untuk menguji aktivitas enzim protease yang banyak dilakukan
di kajianBiokimia (Pratama Yoga dkk., 2019). Protease merupakan salah satu
enzim industri yang paling penting dan memiliki nilai komersial mencapai
60% dari total penjualan enzim seluruh dunia serta merupakan salah satu
produk andalan dari enzim termofilik yang banyak dipakai pada industri
pengolahan makanan, detergen dan farmasi (Marnolia Atika dkk., 2016).

2.3 Tahu

Tahu merupakan salah satu bentuk olahan yang terbuat dari kedelai
bersifat non-fermentasi dan sudah dikenali di seluruh dunia. Di Indonesia tahu
menjadi makanan tradisional yang di gemari masyarakat karena harganya yang
murah dan juga bergizi. Tahu memiliki kandungan protein yang berasal dari
ekstrak kedelai yang di koagulasi dengan berbagai jenis koagulan (Mawaddatul,
2017). Ada tiga jenis koagulan yang dapat digunakan dalam koagulasi protein
kedelai pada tahu yaitu: garam (CaCl2, CaSO4, MgCl2), proteinase dan asam
(Asam Asetat, Glukano δ-lactone). Tahu memiliki berbagai kandungan gizi yang
bermanfaat seperti tabel 2.2

Tabel 2.2 Komposisi gizi pangan tahu dihitung per 100 g, dengan Berat Dapat
Dimakan (BDD) 100 %

Komposisi Jumlah
Air (Water) 82.2 g
Energi (Energy) 80 Kal
Protein (Protein) 10.9 g
Lemak (Fat) 4.7 g
Karbohidrat (CHO) 0.8 g
Serat (Fibre) 0.1 g
Abu (ASH) 1.4 g
Kalsium (Ca) 223 mg
Fosfor (P) 183 mg
Besi (Fe) 3.4 mg
Natrium (Na) 2 mg
Kalium (K) 50.6 mg
Tembaga (Cu) 0.19 mg
Seng (Zn) 0.8 mg
Beta-Karoten (Carotenes) 118 mcg
Thiamin (Vit. B1) 0.01 mg
Riboflavin (Vit. B2) 0.08 mg
Niasin (Niacin) 0.1 mg
Sumber: Data Komposisi Pangan Indonesia (Kemenkes RI)

Konsumen tahu di Indonesia yang banyak membuat produksi tahu


semakin pesat, dengan demikian kontribusi limbah tahu akan semakin banyak.
Pada proses pembuatan tahu menggunakan air untuk proses sortasi, perendaman,
pengupasan kulit kedelai, pencucian, penggilingan, perebusan, dan penyaringan
tahu dimana pada proses tersebut menghasilkan limbah padat dan limbah cair
(Mawaddatul, 2017). Limbah padat yang berupa kulit kedelai dan selaput lendir
yang selalu dimanfaatkan untuk pakan ternak, sedangkan limbah cair dibuang
begitu saja, sehingga mencemari lingkungan (Mawaddatul, 2017).

2.3 Air Limbah Pabrik Tahu

Dalam proses produksi tahu dapat menghasilkan produk sampingan yaitu


limbah yang dapat berupa limbah cair maupun limbah padat. Limbah padat
diperoleh dari proses sortasi, pengupasan kacang kedelai, dan penyaringan
(ampas tahu). Limbah padat yang dihasilkan biasanya digunakan sebagai pakan
ternak dan ampas tahu dapat diolah kembali menjadi makanan baru, yaitu tempe
menjos yang diperoleh dengan cara fermentasi. Sedangkan pada limbah cair
diperoleh dari proses perebusan, pencucian, pengepresan, dan pencetakan tahu.
Akibatnya, limbah cair menjadi melimpah. Pada umumnya karakteristik limbah
cair tahu mempunyai suhu yang tinggi (32,0 – 38,60 C), bersifat asam (5,1 –
5,8), berbau, mengandung zat organik yang tinggi yaitu : (COD = 7.430 – 22.460
mg/L, BOD = 2.876 – 9.420 mg/L) dan zat tersuspensi yang tinggi yaitu (SS =
3.290 – 6.720 mg/L). Limbah cair tahu tersebut langsung dibuang ke badan air.
Sungai akan tercemar jika terkena limbah tersebut sehingga kualitas air akan
menurun.

Kandungan senyawa organik pada limbah cair tahu yaitu seperti 40-60%
protein, 25-50% karbohidrat, 10% lemak, dan padatan tersuspensi lainnya.
Limbah cair tahu dapat mengalami perubahan fisika, kimia maupun hayati yang
akan menghasilkan racun atau sebagai media pertumbuhan mikroorganisme.
Jika dibiarkan begitu saja tanpa proses lanjutan pada limbah cair tahu akan
mengakibatkan sarang nyamuk, bau tidak sedap, sumber penyakit hingga
menjadi penyebab kematian pada makhluk hidup, terutama pada biota air yang
ada. Sumber penyakit yang dapat ditimbulkan dari pencemaran air sungai
diantaranya, gatal-gatal, diare, radang usus, kolera, dan penyakit lainnya,
diantaranya:

1. Kehidupan biotik terganggu

Ketika bahan organik dalam air sedikit, maka untuk proses metabolisme
makhluk air membutuhkan oksigen dan oksigen dalam air akan segera diganti
dengan oksigen hasil fotosintesis atau hasil proses reaerasi melalui udara. Apabila
kadar bahan organik dalam air sangat tinggi dapat terjadi proses anaerobik,
dimana proses tersebut dapat menghasilkan produk dekomposisi berupa gas-gas,
seperti gas karbondioksida (CO2), amoniak (NH3), hidrogen sulfida (H2S), asam
asetat, dan metana (CH4). Dimana gas tersebut sangat beracun pada sebagian
besar makhluk air dan dapat menimbulkan bau tak sedap.

2. Kelarutan oksigen dalam air turun

Pada proses perebusan kacang kedelai suhunya mencapai 75⁰-100⁰C,


kalau air rebusan tersebut langsung dibuang ke badan sungai, maka dapat
mempengaruhi kelarutan oksigen dalam air sungai. Karena kelarutan dalam
oksigen dipengaruhi oleh temperature dan kelarutan oksigen yang kecil dapat
mengganggu kehidupan biotik air. Semakin tinggi temperatur, maka semakin
turun kelarutan oksigen, pada suhu 20⁰C, 1 atm konsentrasi oksigen terlarut 9,2
ppm (jenuh) dan suhu 50⁰C konsentrasinya turun menjadi 5,6 ppm.

3. Kadar BOD dan COD meningkat

Limbah cair industri tahu merupakan bagian dari limbah biodegradable


dimana limbah yang dapat diuraikan oleh mikroorganisme. Sedangkan
mikroorganisme membutuhkan oksigen untuk dapat menguraikan bahan organik
(BOD = Biologycal Oxygen Demand), ketika kadar BOD meningkat maka
oksigen yang dibutuhkan mikroorganisme untuk menguraikan bahan-bahan
organik tersebut juga meningkat. Penguraian atau pengoksidasi bahan organik
juga dapat dilakukan oleh senyawa kimia berupa kalium bikromat (K 2Cr2O7) atau
KMnO4 dan kondisi itu disebut COD (Chemical Oxygen Demand), semakin
meningkatnya kadar COD maka semakin meningkat pula oksigen yang
dibutuhkan senyawa kimia tersebut untuk menguraikan bahan-bahan organik
dalam air. Ketika kebutuhan akan oksigen dalam air untuk penguraian bahan-
bahan organik tidak mencukupi, sedangkan limbah cair terus meningkat, maka
dapat menyebabkan pencemaran lingkungan air sungai (Hudha, Jimmy, &
Muyassaroh, 2014).

4. Kadar TSS yang meningkat

Kekeruhan dalam air dapat membatasi penetrasi cahaya untuk proses


fotosintesis dan visibilitas perairan, dimana kekeruhan tersebut dapat dinyatakan
sebagai TSS (Total Suspended Solid). TSS merupakan residu dari padatan total
yang tertahan dengan ukuran yang lebih besar dari ukuran partikel koloid, residu
padatan tersebut berupa lumpur, ganggang, jamur, bakteri, logam oksida, dan
sulfida (Muhajir, 2013).

Kandungan protein pada limbah cair industri tahu dapat mengalami


degradasi menjadi senyawa anorganik baik melalui proses aerob maupun proses
anaerob yang dapat menghasilkan senyawa-senyawa yang lebih stabil. Untuk
senyawa anorganik yang tidak stabil akan mengalami oksidasi menjadi senyawa
anorganik yang lebih stabil, seperti senyawa ammonia yang teroksidasi menjadi
senyawa nitrit dan nitrat.
2.4 Proses Amobilisasi enzim

Amobilisasi enzim merupakan pembatasan enzim sehingga enzim dapat


digunakan secara kontinyu. Enzim yang diamobilisasi memiliki keuntungan
karena dapat dipisahkan dari campuran reaksinya dengan cepat, produksi hasil
reaksi dapat diperoleh tanpa terkontaminasi enzim dan enzim yang diperoleh
kembali dapat dipakai lagi. Secara tradisional enzim digunakan secara langsung,
dengan melarutkan enzim bebas ke dalam larutan substrat. Penggunaan secara
langsung dari enzim bebas pada skala besar mempunyai beberapa kelemahan
antara lain:
1. Enzim bebas hanya dapat digunakan untuk satu kali proses karena enzim
sukar dipisahkan dari produknya.

2. Diperlukan proses inaktivasi enzim pada akhir reaksi, sehingga enzim dapat
digunakan lebih efisien dan berulang kali. Pada suatu proses industri
digunakan enzim amobil (Lee, 1996)

Oleh karena kelemahan dalam penggunaan enzim secara langsung maka


digunakan metoda amobilisasi. Beberapa metoda amobilisasi yang dapat
digunakan adalah amobilisasi melalui pembentukan ikatan kovalen, adsorpsi,
penjebakan dan pembentukan ikatan silang. Amobilisasi mencegah difusi enzim
ke dalam campuran reaksi dan mempermudah memperoleh kembali enzim
tersebut dari aliran produk dengan teknik pemisahan padat atau cair yang
sederhana. Masing-masing metoda mempunyai kekhasan, adanya ikatan kovalen
akan menyebabkan ikatan yang kuat antara lipase dan matriks sehingga dapat
dipakai ulang lebih banyak dibandingkan amobilisasi secara adsorpsi atau
penjebakan. Cara lain adalah dengan adsorpsi, merupakan teknik yang sederhana
dan umumnya tidak mengubah aktivitas dari enzim yang teramobilkan.
Amobilisasi enzim dengan adsorpsi dapat melalui gaya elektrostatik, ikatan
hidrogen atau gaya Van der Waals. Kesetimbangan dinamik antara enzim dan
matriks umumnya dipengaruhi oleh pH dan kuat ion pada media reaksi. Sifat
pengikatan yang reversibel sering digunakan untuk recovery matriks secara
murah. Berbagai matriks yang banyak dipakai untuk amobilisasi enzim antara lain
material anorganik seperti silikagel, zeolit, bentonit dan aluminosilikat.
Sedangkan pemanfaatan matriks organik antara lain beberapa jenis polimer yaitu
polietilen, PE, polipropilen, PP dan OPP serta resin penukar ion. Suatu potensi
lain adalah dengan menggunakan karagenan yang dapat diperoleh dari alam.

2.5 Karagenan
Dari jenis rumput laut yang tersebar di perairan pantai terdapat 23 jenis
yang dimanfaatkan oleh masyarakat. Salah satu jenis rumput laut yang cukup
potensial dan banyak dijumpai di perairan Indonesia adalah Eucheuma cottonii
(termasuk alga merah) yang dapat menghasilkan karagenan. Karaginan adalah
campuran yang kompleks dari beberapa polisakarida. Ada tiga jenis karaginan,
yaitu lambda, kappa dan iota. Pada Industri, karaginan dipakai sebagai
stabilisator, pengental, pembentuk gel, pengemulsi, pengikat dan pencegah
kristalisasi dalam industri makanan ataupun minuman, farmasi, kosmetik lain-
lain. Rumput laut diketahui kaya akan essential seperti enzim, asam nukleat,
asam amino, mineral, trace elements, dan vitamin A, B, C, D, E dan K. Rumput
laut (sea weeds) atau yang biasa juga disebut ganggang (algae) merupakan
tumbuhan berklorofil dimana seluruh bagian tanaman dapat menyerupai akar,
batang, daun, atau buah semuanya disebut talus. Beberapa produk yang
menggunakan karaginan adalah jeli, jamu, saus, permen, sirup, puding, dodol,
salad dressing, gel ikan, nugget dan produk susu. Karaginan juga digunakan di
industri kosmetika, tekstil, cat, obat dan pakan ternak (muhammed, 2012).

Tabel 2.5 Standart spesifikasi karagenan

Karaginan Karaginan Karaginan


Spesifikasi Komersial Standar FAO Standar
FCC
Kadar Air (%) 14,34±0,25 Maks 12 Maks 12
Kadar Abu (%) 18,60±0,22 15-40 18-40
Kadar Protein (%) 2,80 - -
Kadar Lemak (%) 1,78 - -
Serat Kasar (%) Maks 7,02 - -
Karbohidrat (%) Maks 68,48 - -
Titik Leleh (oC) 50,21±1,05 - -
Titik Jendal (oC) 34,10±1,86 - -
Viskositas (cP) 5 - -
Kekuatan gel (dyne/cm2) 685,50 ± 13,43 - -
Sumber : Firat Meiyasa, 2016

2.6 Penelitian Terdahulu

Mawaddatul (2017) telah melakukan penelitian amobilisasi enzim


bromelin dari buah nanas menggunakan matriks kitosan dengan variasi massa
enzim bromelin amobil 2 mg; 3 mg; 4 mg; dan 5 mg dan variasi waktu inkubasi 2
jam; 4 jam; 6 jam; 8 jam; dan 10 jam untuk pengurangan kandungan protein pada
air limbah pabrik tahu. Diperoleh hasil bahwa enzim bromelin amobil dengan
menggunakan matriks pendukung kitosan dapat mengurangi kandungan protein
dalam air limbah pabrik tahu. Hasil dari 2 mg enzim bromelin amobil
mendegradasi protein sebesar 89,50617% (7,91377 mg) selama 10 jam waktu
inkubasi adalah kondisi optimum dari penelitian ini. Ketika penambahan jumlah
enzim amobil berlebih dapat menurunkan jumlah protein yang terdegradasi.
Degradasi protein dapat optimum jika waktu inkubasi lebih lama, tetapi dapat
menurunkan aktivitas enzim.

Anda mungkin juga menyukai