Anda di halaman 1dari 14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Buah Stroberi


Buah stroberi merupakan buah yang memiliki banyak manfaat dan memiliki
nilai komoditas yang tinggi, khususnya bagi negara-negara dengan iklim subtropik
(Rukmana, 1998). Buah stroberi berasal dari Chilli, Amerika Selatan dan menyebar
ke berbagai negara di Eropa, Amerika, dan Asia. Di Indonesia, budidaya buah
stroberi dapat dijumpai dibeberapa daerah dataran tinggi seperti Lembang (Jawa
Barat), Ciwidey (Jawa Barat), Purbalingga (Jawa tengah), Batu (Jawa Timur),
Bedugul (Bali), Bantaeng (Sulawesi Selatan), Brastagi (Sumatera Utara) (Hanif dan
Ashari, 2012).
Daya tarik buah stroberi terletak pada warnanya dan juga rasanya yang
segar. Selain itu, buah stroberi mengandung banyak vitamin c, kalium, asam folat,
antioksidan, dan rendah lemak (Kesumawati, dkk., 2012 dikutip oleh Monica,
2017).
2.1.1 Morfologi Buah Stroberi
Buah stroberi memiliki warna hijau ketika muda dan berubah menjadi
berwarna merah yang berasal dari antosianin ketika sudah matang. Daging buah
stroberi adalah buah semu yang berasal dari jaringan dasar bunga yang berubah
menjadi gumpalan daging. Buah sebenarnya adalah butiran putih yang mengelilingi
daging buah stroberi bernama achene dan lebih umum dikenal sebagai biji-biji. Biji
tersebut tersebar di permukaan stroberi, berukuran kecil dan berjumlah 200-300
butir biji setiap buahnya (Rukmana, 1998). Buah stroberi pada umumnya berbentuk
kerucut hingga bulat dan memiliki ukuran yang beragam. Bentuk dan ukuran buah
stroberi dipengaruhi oleh achene, sedangkan achene dipengaruhi oleh aktivitas
penyerbukan. Semakin baik penyerbukan yang terjadi pada buah stroberi tersebut,
semakin banyak achene yang terbentuk dan menghasilkan buah stroberi dengan
ukuran yang besar, serta semakin baik juga bentuk dari buah stroberi tersebut.
Terdapat delapan bentuk stroberi yang umum dijumpai menurut United State
Department of Agriculture (USDA), yaitu oblate, globose, globose conic, conic,

3
long conic, necked, long wegde, short wedge (Budiman dan Saraswati, 2005).
Variasi bentuk buah stroberi dapat dilihat pada gambar 2.1.

Gambar 2.1 Bentuk stroberi menurut United State Department of Agriculture


(USDA)

2.1.2 Kandungan gizi dan manfaat buah stroberi


Di dalam buah stroberi terkandung banyak gizi dan juga komposisi gizi yang
lengkap dan berguna bagi kesehatan tubuh (Rukmana, 1998). Kandungan gizi pada
buah stroberi tertera pada tabel 2.1.
Tabel 2.1 Kandungan gizi buah stroberi per 100 gram
Kandungan Gizi Nilai, Satuan
Air 92 g
Energi 30 Kkal
Protein 0,6 g
Lipid (total) 0,4 g
Karbohidrat 7g
Serat 0,5 g
Abu 0,4 g
Kalsium 14 mg
Besi 0,4 g
Magnesium 10 mg
Fosfor 19 mg
Kalium 166 mg
Natrium 1 mg
Zn, Cu, dan Mn <0,5 mg
Vitamin C 56,7 mg
Lemak jenuh 0,02 mg
Lemak tidak jenuh monolipid 0,052 mg
Lemak tidak jenuh polilipid 0,186 mg
Kolesterol 0 mg
Fitosterol 12 mg
(Sumber: Hancock, 1999 dalam Balitbang, 2009)

Buah stroberi memiliki kandungan antioksidan yang tinggi, diantaranya


adalah antosianin dan vitamin C. Antioksidan memliki khasiat untuk mencegah
kanker dan menjaga kesehatan mata, serta detoksifikasi dalam tubuh. Selain itu,
kombinasi antara antioksidan, serat, lemak yang rendah, dan mineral dalam stroberi
dapat mengurangi kolesterol dalam arteri dan pembuluh darah sehingga dapat
menjaga kesehatan fungsi jantung. Buah stroberi juga sangat berkhasiat untuk
meredakan peradangan sendi dan asam urat, serta menjaga kekebalan tubuh (Web
Kesehatan, 2016).
Bauh stoberi dapat berperan sebagai anti inflamasi seperti asma, dengan
bekerja layaknya ibuprofen dan aspirin. Buah stroberi tidak memliki efek samping
apapun, khususnya pada organ pencernaan, justru buah stroberi ini dapat
memperlancar pencernaan dikarenakan serat yang dikandungnya (Web Kesehatan,
2016).
2.1.3 Pascapanen Buah Stroberi
Buah stroberi sudah bisa dilakukan pemanenan ketika berusia 14 hari
setelah bunga mekar karena pada usia tersebut umumnya buah stroberi sudah
matang ditandai dengan warnanya dominan merah atau hijau kemerah-merahan
hingga kuning kemerah-merahan mengkilap serta daging buah yang lunak. Buah
stroberi yang sudah matang sebaiknya segera dilakukan pemetikan dikarenakan
daya tahan buah stroberi pada saat kondisi matang mengalami penurunan.
Pemetikan dan penyimpanan stroberi harus ditangani secara hati-hati untuk
menjaga kualitasnya, menjaga daya simpan, dan juga daya gunanya (Rukmana,
1998).
Buah stroberi merupakan buah yang mudah rusak (perishable) dengan daya
simpan yang relatif singkat. Stroberi hanya mampu bertahan selama 2 hari setelah
dipanen apabila disimpan pada suhu ruang, namun apabila disimpan pada suhu 0°C
hingga 6°C buah stroberi bisa bertahan sampai 6 hari (De Souza, dkk., 1999 dalam
Monica, 2017). Sifat perishable pada buah stroberi muncul akibat kandungan air
yang tinggi mencapai 95%. Kerusakan pada buah stroberi dibedakan menjadi dua,
yaitu kerusakan kualitas dan kerusakan kuantitas. Kerusakan kualitas dikaitkan
dengan penurunan kandungan nutrisi pascapanen, sedangkan kerusakan kuantitas
dikaitkan dengan penyusutan bobot atau volume pascapanen (Soesanto, 2006)
2.1.4 Daya Simpan Buah Stroberi
Buah stroberi memiliki masa simpan yang relatif singkat dikarenakan kadar
air yang cukup tinggi sehingga mudah busuk akibat mikroorganisme dan aktivitas
enzim. Faktor yang mempengaruhi hal tersebut adalah respirasi dan transpirasi pada
buah stroberi (Anonim. 2006).
2.1.4.1 Respirasi
Respirasi merupakan proses pemecahan senyawa kompleks seperti protein,
lemak, dan karbohidrat menjadi senyawa yang lebih sederhana. Hasil samping dari
proses respirasi tersebut adalah CO2, H2O, dan panas. (David dan Kilmanun, 2016).
Respirasi pada tumbuhan bertujuan untuk mendapatkan energi yang berguna bagi
kehidupan (Pantastico, 1997).
Respirasi dapat berlangsung dalam kondisi aerob dan anaerob. Pada kondisi
aerob atau adanya oksigen bebas, karbohidrat sepenuhnya dioksidasi menjadi air
dan karbondioksida dan menghasilkan energi. Sedangkan pada kondisi anaerob
atau tanpa adanya oksigen bebas, hanya sebagian karbohidrat saja yang dapat
dirombak sehingga energi yang dihasilkannya pun hanya sedikit dan akan
dihasilkan produk samping lain, yaitu alkohol yang dapat mempengaruhi rasa dan
bau dari buah tersebut (Apandi, 1984). Berdasarkan pola respirasinya, buah
dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu klimaterik dan nonklimaterik. Kelompok
buah klimaterik merupakan buah yang pada masa pertumbuhan laju respirasinya
mula-mula tinggi dan menurun tajam, lalu pada tahap awal pendewasaan
mengalami penurunan lambat dan meningkat pada tahap pendewasaan akhir atau
pemasakan, lalu menurun kembali pada tahap penuaan. Sedangkan kelompok buah
nonklimaterik merupakan buah yang pada masa pertumbuhan laju respirasinya
mula-mula tinggi dan menurun tajam, lalu pada tahap pendewasaan dan penuaan
menurun lambat tanpa mengalami laju respirasi pada tahap akhir pendewasaan atau
kemasakan (Martoredjo, 2009). Laju respirasi pada buah dapat dilihat pada gambar
2.2.
Gambar 2.2 Grafik laju respirasi dan produksi etilen buah
klimaterik dan nonklimaterik (Pantistico, 1997)

Kelompok buah klimaterik biasanya dipanen sebelum benar benar matang


(Apandi, 1984). Sedangkan buah nonklimaterik hanya dapat matang ketika berada
dalam tanaman induknya, dan akan menurun kualitasnya jika buah dipanen sebelum
masak. Buah stroberi termasuk buah nonklimatik sehingga hanya boleh dipanen
ketika sudah benar benar masak (Soesanto, 2006).
Laju respirasi dapat dijadikan sebagai indikator umur simpan dari suatu
buah setelah dilakukan pemanenan. Semakin tinggi laju respirasi suatu buah, umur
simpan buah tersebut justru semakin singkat (Pantastico, 1997). Laju respirasi
setiap buah dapat diamati pada tabel 2.2
Tabel 2.2 Klasifikasi Laju Respirasi pada Suhu 5°C
Laju Respirasi Pada 5°C
Kelompok Komoditi
mg/CO2/kg/jam

buah kering, sayuran, kacang-


Sangat Rendah lebih kecil dari 5
kacangan

Rendah 5 sampai 10 Apel, anggur, bawang, jeruk,


kentang
Sedang 10 sampai 20 cabe, kubis, pisang, selada, tomat,
wortel

Tinggi 20 sampai 40 Apokat, kol kembang, stroberi

Asparagus, bawang, bayam,


Sangat Tinggi Lebih besar dari 40 bunga potong, brokoli, jagung
manis

(Sumber: Phan et al., 1975 dalam David dan Kilmanun, 2016)


Menurut Panastico (1986), faktor yang mempengaruhi laju respirasi dibagi
menjadi dua, antara lain:
a. Faktor Internal
1) Semakin tinggi tingkat perkembangan organisme semakin tinggi laju
respirasinya.
2) Semakin banyak kandungan karbohidratnya maka semakin cepat juga laju
respirasinya.
3) Semakin kecil ukuran buahnya maka semakin besar luas permukaan yang
kontak dengan udara dan mengakibatkan semakin cepat laju respirasinya.
4) Semakin tebal lapisan kulit pada buah maka semakin rendah laju
respirasinya.
b. Faktor Eksternal
1) Semakin tinggi suhunya, semakin meningkat juga laju respirasinya. Setiap
kenaikan 10 °C umumnya meningkatkan laju respirasi 2-2,5 kali.
2) Semakin banyak kandungan etilen pada buah klimaterik, semakin
meningkat juga laju respirasinya.
3) Semakin tinggi kadar oksigen maka semakin cepat laju respirasinya. Namun
jika kadar oksigen melebihi 20%, respirasi hanya terpengaruh sedikit saja.
4) Semakin besar konsentrasi CO2 maka respirasinya akan terhambat.
5) Semakin banyak luka atau kerusakan pada buah maka semakin cepat laju
respirasinya.
2.1.4.2 Transpirasi
Transpirasi merupakan proses pengeluaran kandungan air dari hasil
pertanian. Transpirasi merupakan salah satu penyebab kerusakan selama
penyimpanan karena dapat menyebabkan suatu hasil pertanian menjadi layu
(Pujimulyani, 2009). Laju transpirasi dipengaruhi oleh faktor internal
(anatomi/morfologi, kerusakan fisik, rasio permukaan terhadap volume, dan umur
panen) dan faktor eksternal (relative humidity, suhu, dan tekanan atmosfir) (Siti N,
2012).
Buah yang masih berada di pohon memiliki kandungan air yang seimbang
antara air yang hilang akibat penguapan dan air yang masuk. Namun ketika sudah
dipanen, kandungan air di dalam buah tersebut akan mengalami penurunan. Hal ini
diakibatkan oleh penguapan yang masih terjadi ketika buah sudah dipanen namun
pasokan air dari akar tanaman sudah terputus. (Soesanto, 2006).
Transpirasi berlebihan yang terjadi pada buah pascapanen dapat
menyebabkan pengkerutan, perubahan warna menjadi kusam, gagal matang, dan
mengeluarkan bau yang kurang sedap (Pantastico, 1986). Selain itu, akibat secara
tidak langsung akibat dari transpirasi adalah buah pascapanen yang layu menjadi
lebih mudah mengalami kerusakan mekanis dan rentan terhadap parasit
(Martoredjo, 2009). Batas kritis kehilangan air pada buah pascapanen adalah
sebesar 8% karena 7% saja kehilangan kadar air sudah menyebabkan antar sel yang
satu dan sel yang lainnya terpisah (Thorne, 1972).
Kehilangan air yang cepat pada buah pascapanen dapat dihambat dengan
menempatkan buah tersebut pada ruangan dengan suhu dan kelembaban yang
sesuai. Buah dapat ditempatkan pada ruangan dengan suhu yang rendah. Suhu
dijaga agar tidak terlalu rendah karena dapat menyebabkan buah menjadi layu dan
keriput serta kualitasnya yang menurun. Tidak pula ditempatkan di ruangan dengan
suhu di atas suhu optimum penyimpanan buah tersebut karena tidak akan
memperpanjang umur simpannya (Amaliyah dan Kartika, 2019).
Penyimpanan buah pascapanen juga harus dijaga pada ruangan dengan
kelembaban dengan rentang 90 sampai 95%. Kelembaban yang terlalu tinggi dapat
menyebabkan pertumbuhan mikroorgansime lebih cepat, sedangkan kelembaban
yang terrlalu rendah dapat menyebabkan kehilangan kelembaban di dalam buah
(Amaliyah dan Kartika, 2019).
2.1.5 Penyebab Kerusakan pada Buah Stroberi
Buah stroberi dapat mengalami kerusakan pada saat proses pengangkutan
dan penyimpanan pascapanen, kerusakan tersebut diakibatkan oleh reaksi
enzimatik, reaksi kimia dan aktifitas mikroorganisme (Resti, 2019).
Beberapa jamur patogen yang ditemukan pada buah stroberi diantaranya
adalah Botrytis cinerea (bercak kelabu), Collectrichum acutatum (busuk pada
buah), dan Phytophthora cactorum (kerusakan kulit buah) (Yuliasari dkk., 2015).
Pertumbuhan mikroorganisme patogen pada stroberi dapat dihambat
melalui desinfektan. Desinfektan merupakan zat yang dapat mencegah terjadinya
infeksi pada buah dengan menginaktivasi atau membunuh mikroorganisme
pathogen (Septiani, 2017). Senyawa yang biasanya digunakan sebagai desinfektan
ialah senyawa hipoklorit yang terbagi menjadi natrium hipoklorit dan kalsium
hipoklorit (Taufiqullah, 2019). Menurut Food and Drug Administration (FDA),
nilai ambang batas natrium hipoklorit adalah 0.82 gram/100 gram makanan,
sedangkan pada kalsium hipoklorit nilainya sebesar 0.36 gram/100 gram makanan.

2.2 Pemasakan Buah


Buah muda mengalami respirasi yang sangat cepat sehingga menghasilkan
banyak asam karboksilat, diantaranya, asam fumarat, asam isositrat, dan asam
malat. Kadar asam tersebut berkurang seiring dengan proses pemasakan buah, hal
ini terjadi karena asam yang terkandung dalam buah digunakan untuk mengsintesa
asam amino dan protein yang berlangsung terus menerus sampai buah matang.
Selama proses pemasakan, kandungan asam pada buah berkurang sedangkan
kandungan gula meningkat sehingga terjadi kenaikan respirasi mendadak
(klimaterik). Aktivitas respirasi yang tinggi memicu biosintesis etilen yang
berperan dalam pemasakan buah. Perubahan nyata yang dapat diamati selama
proses pemasakan buah diantaranya adalah perubahan warna, tekstur dan flavour
(Roiyana dkk., 2012).
2.2.1 Perubahan Warna
Perubahan warna merupakan aspek yang paling mencolok pada saat
pemasakan buah dan berubah dengan segera setelah mencapai puncak klimaterik
dan disertadi dengan adanya perbuahan tesktur. Perubahan warna ini terjadi akibat
adanya perombakan klorofil dan sintesis pigmen warna seperti karetonoid dan
flavonoid. Perombakan klorofil terjadi sedikit demi sedikit secara enzimatik dan
menyebabkan warna alami pada buah muncul. Faktor yang menyebabkan
perubahan warna ini adalah enzim klorofilase yang merubah klorofil menjadi
klorofilid, perubahan pH, dan proses oksidasi (Laily, 2013).
2.2.2 Perubahan Tekstur
Kekerasan pada buah terjadi akibat adanya pektin yang merekatkan sel satu
dengan lainnya sehinga kokoh. Pelunakan pada buah terjadi akibat adanya enzim
protopektinase yang merubah protopektin menjadi pektin, dan enzim pektin metil
esterasae yang mengubah pektin menjadi asam galakturonat, sehingga dinding sel
menjadi lemah dan menurunkan kekuatan antar sel. Selain itu, perubahan tekstur
juga diakibatkan oleh adanya perombakan pati menjadi gula. Pati bersifat tidak larut
diubah menjadi gula yang larut air sehingga tekstur buah menjadi lebih lunak. Gula
yang terbentuk akan mempengaruhi rasa pada buah. Perubahan ini dipengaruhi oleh
suhu, fisiologis buah, dan waktu (Laily 2013).
2.2.3 Perubahan Aroma dan Cita Rasa (flavor)
Cita rasa pada buah berubah disebabkan perombakan pati menjadi gula.
Berkurangnya kandungan asam dan semakin bertambahnya kandungan gula pada
buah menyebabkan rasa manis pada buah menjadi bertambah. Berkurangnya zat-
zat fenolik pada buah juga menyebabkan rasa sepet pada buah berkurang. Selain
itu, zat-zat volatil kompleks dan minyak minyak esensial pada buah juga bertambah
dan menyebabkan buah menjadi harum ketika masak. Senyawa yang biasanya
ditemukan berupa ester alifatik dan asam lemak berantai pendek (Laily, 2013).

2.3 Etilen
Etilen adalah senyawa organik hidrokarbon paling sederhana (C2H4) yang
dapat mempengaruhi proses fisiologis tanaman dan dihasilkan oleh tanaman itu
sendiri. Etilen dapat merangsang proses penuaan dan pemasakan pada buah
(Utama, 2001). Peran penting etilen pada tanaman diantaranya adalah merangsang
pematangan buah, menghambat pertumbuhan batang dan menginisasi penerbukan
akar (Pratiwi, 2016).

2.4 Edible Coating


Edible coating adalah proses pemberian lapisan tipis pada permukaan buah.
Lapisan ini berfungsi sebagai barrier yang mencegah masuk uap air dan gas berupa
oksigen dan karbondioksida. Lapisan tipis ini tidak berbahaya apabila dimakan
bersama buah (Trisnawati, dkk., 2013). Selain berfungsi sebagai barrier, edible
coating juga berfungsi sebagai carrier (pembawa) emulsifier, antimikroba, dan
antioksidan sehingga bisa mempertahankan mutu buah dan meningkat masa simpn
buah (Lin dan Zhao, 2007 dikutip oleh Winardi dan Harefa, 2018).
Dalam fungsinya sebagai pengawet alami yang dapat mepertahankan mutu
produk, edible coating harus memiliki sifat antara lain, menahan kelembaban
produk mengendalikan perpindahan padatan terlarut untuk mempertahankan warna
pigmen alami dan gizi, dan memiliki permeabilitas selektif terhadap gas tertentu.
(Outtara et al., 2000 dikutip oleh Rahardyani, 2011).
2.3.1. Metode Aplikasi Edible Coating
Berikut adalah beberapa metode aplikasi edible coating menurut Krotcha
(1992) dalam Monica (2017):
2.3.1.1 Pencelupan (dipping)
Metode ini dilakukan dengan mencelupkan seluruh bagian produk ke dalam
larutan lalu diangkat dan ditiriskan hinga edible coating menempel pada produk.
Metode ini biasanya dilakukan untuk produk dengan permukaan kurang rata.
2.3.1.2 Penyemprotan (spraying)
Metode ini dilakukan dengan menyemprotkan edible coating pada produk
yang umumnya memiliki permukaan dengan dua sisi saja. Keunggulan metode
penyemprotan dibanding metode penyelupan adalah hasil coating yang lebih tipis
dan merata.
2.3.1.3 Pembungkusan (Casting)
Metode ini dilakukan dengan membuat lembaran atau film yang kemudian
dibungkuskan pada produk yang ingin dilapisi oleh coating.
2.3.1.4 Pengolesan (Brushing)
Metode ini dilakukan dengan cara mengoleskan edible coating pada produk.
Kelemahan dari metode ini ialah kurang efisien karena coating kurang merata pada
produk.
2.3.2. Komponen Utama Penyusun Edible Coating
Komponen penyusun utama edible coating dibagi menjadi 3, yaitu
hidrokoloid, lipid, dan komposit (Andarini, 2016).
2.3.2.1 Hidrokoloid
Hidrokoloid adalah senyawa polimer yang mudah larut dalam air, dapat
membentuk koloid, dan dapat mengentalkan suatu larutan. Oleh karena itu,
hidrokoloid dapat dimanfaatkan sebagai pembentuk gel, perekat, penstabil,
emulsifier, dan pembentuk lapisan atau film. Hidrokoloid berasal dari hewan,
sayuran, mikroba, dan komponen sintetik yang umumnya mengandung gugus
hidroksil (Herawati, 2018). Hidrokoloid yang biasanya digunakan dalam edible
coating adalah polisakarida dan protein. Polisakarida yang digunakan dalam
pembuatan edible coating berupa pati, pektin, alginat, karagenan, dan gum.
Sedangkan protein yang digunakan sebagai edible coating berupa gelatin, kolagen,
kasein, protein jagung, gluten gandum, dan protein kedelai (Jaya dan Sulistyawati,
2010).
Kelebihan dari edible coating yang terbuat dari hidrokoloid diantaranya
adalah dapat meningkatkan kesatuan struktural produk, memberikan sifat mekanis
yang baik, dan baik untuk mencegah keluar masuknya karbondioksida dan oksigen.
Sedangkan kekurangan dari penggunaan edible coating dari hidrokoloid ialah
kurang bagus dalam mengatur migrasi uap air (Murdinah dkk., 2007).
2.3.2.2 Lipid
Lipid digunakan sebagai bahan baku edible coating karena dapat
menghambat migrasi uap air dan meningkatkan kilap pada produk. Karakteristik
pada lapisan berbahan dasar lipid tergantung pada berat molekul dari fase
hidrofobik dan hidrofilik, polaritas, dan rantai cabang. Penggunaan lipid sebagai
edible coating diharapkan dapat memberikan sifat hidrofobik (Jaya dan
Sulistyawati, 2010). Menurut Andirini (2016) lipid yang digunakan sebagai edible
coating berupa lilin alami (paraffin wax, beeswax, carnauba wax) dan asam lemak
(asam laurat dan asam oleat). Edible coating berbahan dasar lipid baik untuk
melindungi produk dari penguapan air. Namun edible coating berbahan dasar lipid
memiliki kekuatan struktur yang kurang baik (Murdinah dkk., 2007).
2.3.2.3 Komposit
Komposit adalah bahan campuran dari hidrokoloid dan lipid. Gabungan dari
hidrokoloid dan lipid sebagai edible coating ini diharapkan dapat meningkatkan
keuntungan dengan memanfaatkan kelebihan dari hidrokoloid dan lipid itu sendiri,
serta memperbaiki kekurangannya (Jaya dan Sulistyawati, 2010).

2.5 Plastcizer
Edible coating harus memiliki sifat elastisitas dan fleksibilitas yang baik.
Oleh karena itu, perlu ditambahkan plasticizer ke dalam film untuk menjaga
elastisitasnya. Plasticizer digunakan untuk menaikkan nilai elastisitas suatu film
dengan mengurangi derajat ikatan hidrogen dan meningkatkan jarak antar molekul
dari suatu polimer (Lismawati, 2017).
Plasticizer merupakan bahan organik yang memiliki bobot molekul rendah
ditambahkan kedalam edible coating agar film terhindar dari keretakan selama
penangan dan penyimpanan. Plasticizer akan meningkatan ketahanan film terutama
pada suhu rendah (Budiman, 2011). Plasticizer yang digunakan sebagai bahan
tambahan pada edible coating harus memiliki sifat inert, tidak merubah warna asli
polimer, tidak terdegradasi oleh panas dan cahaya, dan tidak menyebabkan korosi
(Lismawati, 2017).
Plasticizer yang biasanya ditambahkan dalam edible coating diantaranya,
etilen glikol, glikol, gliserol, piletilen glikol 400 (PEG), propilen, dan sorbitol.
Namun plasticizer yang banyak digunakan adalah gliserol dan sorbitol karena
memiliki sifat stabil, tidak beracun, dan dapat mengurangi kerapuhan (Amaliyah
dan Kartika, 2019)
2.6 Jurnal Penelitian
Tabel 2.2 Penelitian edible coating buah stroberi

Pretreatme Suhu Susut bobot hari


Mikroba
N n buah simpan ke-3
Sumber Bahan Baku Uji Organoleptik (yeast dan Keterangan
o stroberi Dengan Tanpa
molds)
coating coating
Penurunan tekstur
Ekstrak daun
stroberi kontrol
cincau, 0,15%
Winarsi 76.25%
1 CaSO4, - 5°C 2,4% 4,3% - -
h (2018) Penurunan tekstur
gliserol 1%
stroberi coating
(v/v)
48.05%
gelatin 3% + Stroberi
Penurunan tekstur kontrol
gliserol 0,75%
stroberi kontrol 106
Rojas, et + CMC
45.12% CFU/ml
2 al., 0,75%, - 4°C 2% 15% -
Penurunan tekstur Stroberi
(2017) minyak
stroberi coating coating 52
cengkeh
43.48% CFU/ml
1%.
Penurunan tekstur
stroberi kontrol
Skala flavour
kitosan 1,5%, 53.5%
Giraldo 0-9 0-2= Tidak
gliserol 1,5%, Penurunan tekstur
3 et al., - 5°C 2,8% 7,7% - Disukai, 3-5=
dan asam stroberi coating
(2018) Cukup Baik,
sitrat 1,5 19.6%.
9= Sangat Baik
Flavour stroberi

15
kontrol 6

15
Flavour stroberi
coating 7.5

Stroberi
3% pati kontrol
Penurunan tekstur
Pinzon pisang; 2% 2x104
stroberi kontrol 45%
4 et al., kitosan; 1% - 4°C 3,5% 11% CFU/g -
Penurunan stroberi
(2019) sorbitol; 20% Stroberi
coating 39.76%.
gel aloe vera coating 62
CFU/g
Tekstur stroberi
Skala flavour
Stroberi kontrol 2.1
dan tekstur 0-9
dimasukkan Tekstur stroberi
Dong et 1% kitosan, dengan 0-2=
kedalam coating 8.3
5 al., 5% 20°C 8% 23% - Tidak Disukai,
larutan 2% Flavour stroberi
(2015) nanoselulosa 3-5= Cukup
sodium kontrol 2.8
Baik, 9=
hypchlorite Flavour stroberi
Sangat Baik
coating 8.2
Stroberi Stroberi
Penurunan tekstur
5 % protein dimasukkan kontrol 4
stroberi kontrol
Amal et kedelai, 2,5 % kalsium CFU/g
64.86%
6 al., gliserol, 1 ml hipoklorit 0°C 1,4% 2% Stroberi -
Penurunan tekstur
(2010) thyme 2,5 g/l coating 1
stroberi coating
essential oil selama 2 CFU/g
21.62%.
menit

16

Anda mungkin juga menyukai