TINJAUAN PUSAKA
2.1.1. Definisi
Tanaman kelor atau Moringa oleifera adalah tumbuhan herbal yang banyak tumbuh di
negara tropis dan sub tropis. Tanaman kelor banyak digunakan sebagai sayuran, teh herbal,
dan makanan olahan sebagai sumber nutrisi seperti protein dan asam amino (Stadtlander,
2017). Tanaman kelor merupakan tanaman herbal yang digunakan sebagai makanan manusia,
dan alternatif untuk pengobatan di seluruh dunia. Telah diidentifikasi oleh para peneliti
sebagai tanaman dengan banyak manfaat kesehatan termasuk nutrisi dan pengobatan (Abdull,
2014).
Kandungan daun kelor kaya akan flavonoid karotenoid, dan asam askorbat sehingga
sering digunakan dalam pengobatan tradisional. Dalam studi in-vitro dan in-vivo, daun kelor
sering dikaitkan sebagai pengaplikasian terapeutik seperti antibakteri, antijamur, antivirus,
sitotoksik, antihioerglikemik, antioksidan, anti inflamasi, dan antiparasit (Dhakad, 2019).
Pembudidayaan daun kelor merupakan program yang digalakkan saat ini di dunia
Internasional. Julukan untuk tanaman kelor diantaranya The Miracle Tree, Tree For Life, dan
Amazing Tree. Karena mempunyai manfaat yang luar biasa mulai dari akar, biji, kulit batang,
daun, bunga, hingga buahnya (Pareek, 2023).
Gambar 2.1 Tanaman Kelor (Sumber: Moringa oleifera Lam. in GBIF Secretariat, 2022)
2.1.2. Klasifikasi
Kingdom : Plante
Subkingdom : Tracheobionta
Superdivisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Subkelas : Dilleniidae
Ordo : Capparales
Famili : Moringaceae
Genus : Moringa
Spesies : Moringa oleifera
Daun kelor mengandung berbagai mineral, seperti potasium, zink, magnesium, zat besi,
sodium, kalsium, dan zat tembaga. Meskipun kandungannya rendah karbohidrat dan lemak,
daun kelor merupakan sumber protein dan asam amino yang sangat baik dan di anggap
sebagai suplemen makanan total (Patil, 2020). Daun kelor juga mengandung protein yang
sangat tinggi (19-29%) dan serat (19-37%) sekitar 205-350 kal per gram. Selain
mikronutrien, daun kelor juga memiliki kandungan vitamin B kompleks, vitamin B6, vitamin
A, vitamin C, dan vitamin E (Gopalakrishnan 2016). Ekstrak dari daun kelor dapat menjadi
sumber antimikroba alami yang efektif, yang dapat dimanfaatkan sebagai sanitizer.
Gambar 2.2 Daun Kelor (Sumber: Moringa oleifera Lam. in GBIF Secretariat, 2022)
Daun kelor mempunyai 8-10 pasang anak daun dengan arah yang berlawanan terhadap
sumbu utama. Anak daun memiliki warna hijau dan berbentuk Tumpul pada apex dan runcing
pada pangkal. Bunga kelor merupakan bunga biseksual yang memiliki benang sari dan putik,
berwarna putih dan terletak pada ketiak daun dengan Panjang 10-25 cm dan lebar 20-60 cm
setiap buah berisi 12-35 biji (Rahman, 2015).
2.2.1. Flavonoid
Flavonoid atau flavon merupakan salah satu golongan fenol alam yang terbesar, yang
dijumpai pada daun, buah, dan bunga pada tumbuhan dalam bentuk lukosida. Senyawa flavon
seperti: apigenin, luteolin, cynarosida, akatekin, dan naicalin. Selain daun kelor, beberapa
tanaman yang mengandung flavonoid adalah seledri, kamomil, daun mint, dan ginkgo biiloba
(Panche et al., 2016). Flavonoid utama yang ditemukan pada daun kelor adalah myrecytin,
kuersetin, dan kaemferol. Kuersetin merupakan flavonoid yang diklasifikasikan ke dalam
golongan flavonol yang paling berlimpah terkandung dalam buah-buahan dan sayuran. Untuk
dapat mengembangkan potensi kuersetin dari senyawa alam salah satunya tanaman kelor,
maka perlu dilakukan ekstraksi.
Gambar 2.3 Peran flavonoid dalam berbagai bioaktivitas (Sumber: Panche, 2016)
Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa flavonoid memberi efek sebagai anti-
SARS-CoV-2 dengan menghambat beberapa target dan langkah dalam siklus hidup virus,
termasuk penghambatan masuknya virus, mRNA virus, protease virus, dan replikasi virus
secara langsung, dan mempengaruhi interferon dan sitokin pro-inflamasi secara tidak
langsung. Sebagai contoh pada studi in-vitro, isorhamnetin ditemukan menghambat lonjakan
pseudovirus yang memasuki sel HEK-293-ACE2 (Meng et al., 2023).
2.3. Ekstrak
2.3.1. Defenisi
Ekstrak merupakan suatu metode pemisah suatu zat yang didasarkan pada perbedaan
kelarutan terhadap dua cairan tidak saling larut yang berbeda, seperti air dan yang lainnya
berupa pelarut organik. Cara yang paling umum digunakan untuk mendapatkan sari atau
kandungan senyawa aktif pada suatu tanaman biasanya dilakukan dengan teknik ekstraksi.
Teknik ekstraksi senyawa aktif bahan alam yang dapat digunakan antara lain maserasi,
perkolaso, infudasi, dan sokhletasi. Selanjutnya ekstraksi yang dihasilkan dapat dipisahkan
lagi menjadi fraksi-fraksinya dengan menggunakan metode kromatografi (Tri, 2019).
1. Ekstrak encer adalah sediaan yang memiliki konsistensi semacam madu dan dapat
dituang.
2. Ekstrak kental adalah sediaan yang dilihat dalam keadaan dingin tidak dapat dituang.
Kandungan airnya berjumlah sampai 30%. Tingginya kandungan air menyebabkan
ketidakstabilan sediaan obat karena cemaran jamur.
3. Ekstraksi kering adalah sediaan yang memiliki konsistensi kering dan mudah
dihitung, sebaiknya memiliki kandungan lembab tidak lebih dari 5 %.
4. Ekstraksi cair adalah ekstrak yang dibuat dengan sedemikiannya sehingga 1 bagian
simplisia sesuai dengan 2 bagian ekstrak cair (Voight, 1995).
Ada beberapa metode yang dapat dilakukan dalam ekstraksi, salah satunya adalah metode
maserasi. Maserasi merupakan metode ekstraksi dengan cara memasukkan serbuk tanaman
dan pelarut yang sesuai ke dalam suatu wadah inert yang ditutup rapat pada suhu kamar.
Akan tetapi, ada kerugian utama dari metode ini yaitu dapat memakan banyak waktu, pelarut
yang digunakan cukup banyak, dan besar kemungkinan beberapa senyawa dapat menghilang.
Selain itu, beberapa senyawa juga sulit diekstraksi pada suhu kamar. Namun di sisi lain,
metode maserasi dapat menghindari resiko rusaknya senyawa-senyawa dalam tanaman yang
bersifat termolabil (Tetti, 2014).
Ekstraksi cara dingin merupakan metode yang pada prosesnya tidak melakukan
pemanasan selama ekstraksi berlangsung, yang bertujuan untuk menghindari rusaknya
senyawa yang dapat terjadi akibat proses pemanasan. Metode ini terbagi menjadi:
1. Maserasi
Maserasi merupakan cara yang sederhana. Maserasi dilakukan dengan merendam bubuk
simplisia dalam cairan penyari. Perbedaan konsentrasi dari zat aktif dan cairan penyari akan
melarutkan zat aktif, karena cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke rongga
sel yang terdapat zat aktif di dalamnya. Menyebabkan larutan yang terpekat akan didesak
keluar. Kejadian tersebut terjadi berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara
larutan di luar sel dan di dalam sel.
2. Perkolasi
Perkolasi adalah proses penyairan simplisia dengan cara melewatkan pelarut yang sesuai
secara lambat pada suatu percolator, sehingga zat berkhasiat dapat tertarik seluruhnya.
Perkolasi biasanya dilakukan untuk zat berkhasiat yang tahan ataupun tidak tahan pemanasan.
Cairan penyari akan dialirkan dari atas ke bawah melalui serbuk, yang akan melarutkan zat
aktif hingga mencapai keadaan jenuh. Gerakan ke bawah disebabkan oleh kekuatan gaya
beratnya sendiri dan cairan di atasnya, dikurangi dengan daya kapiler yang cenderung untuk
menahan. Gaya berat, kekentalan, daya larut, tegangan permukaan, difusa, osmosa, adesi,
daya kapiler dan daya geseran (friksi) sangat berperan terhadap kekuatan perkolasi.
Kelebihan dari metode ini adalah tidak diperlukan proses tambahan untuk memisahkan
padatan dengan ekstrak, sedangkan kelemahan metode ini adalah jumlah pelarut yang
dibutuhkan cukup banyak dan proses yang memerlukan waktu yang cukup lama, serta
meratanya kontak antara padatan dengan pelarut (Chandra dan Novalia, 2014).
Ekstraksi ini melibatkan panas dalam prosesnya. Dengan demikian, secara otomatis akan
mempercepat proses penyarian dibandingkan dengan cara dingin. Kelebihan ekstraksi cara
panas lebih cepat untuk mendapatkan senyawa yang diinginkan karena panas akan
memperbesar kelarutan suatu senyawa. Sedangkan untuk ekstraksi cara dingin dikhususkan
untuk senyawa yang tidak tahan terhadap pemanasan. Kelemahan ekstraksi cara panas
terkadang akan terbentuk suatu senyawa baru akibat peningkatan suhu menjadi senyawa yang
berbeda. Maka daripada itu untuk senyawa yang diperkirakan tidak stabil maka digunakanlah
ekstraksi cara dingin.
1. Reflux
Metode ini biasa digunakan apabila dalam sintesis tersebut menggunakan pelarut yang
volatil. Proses pemanasan yang biasa akan mengakibatkan pelarut menguap sebelum reaksi
berjalan sampai selesai. Prinsip pada metode refluks adalah pelarut volatile yang digunakan
akan menguap pada suhu tinggi, namun akan didinginkan dengan kondensor sehingga pelarut
yang menjadi uap akan mengembun pada kondensor dan turun lagi ke dalam wadah reaksi
sehingga pelarut akan tetap ada selama reaksi berlangsung. Pemberian gas N2 akan membuat
uap atau gas oksigen yang masuk terutama pada senyawa organologam untuk sintesis
senyawa anorganik karena sifatnya yang reaktif.
2. Sokletasi
Sokletasi adalah metode pemisahan komponen yang terdapat pada zat padat dengan cara
penyaringan yang berulang-ulang dengan menggunakan pelarut tertentu, sehingga semua
komponen yang dibutuhkan akan terisolasi. Prosesnya dengan cara pemanasan, sehingga uap
yang timbul setelah dingin secara berkelanjutan akan membasahi sampel, pelarut kemudian
dimasukkan secara teratur ke dalam labu dengan membawa senyawa kimia yang akan
diisolasi. Pelarut yang telah membawa senyawa kimia diuapkan dengan rotary evaporator
sehingga pelarut dapat diangkat lagi bila suatu campuran organik berbentuk cair atau padat
ditemui pada zat padat, maka dapat dieksekusi dengan menggunakan pelarut yang diinginkan.
3. Infusa
Infusdasi merupakan metode ekstraksi dengan palarut air. Temperatur pelarut air harus
mencapai suhu 900C selama 15 menit. Perbandingan berat bahan dan air adalah 1:10, jika
berat bahan 100 gr maka volume air sebagai pelarut adalah 1000 ml. Cara yang dilakukan
adalah serbuk bahan dipanaskan dalam panci dengan air secukupnya selama 15 menit
terhitung mulai suhu mencapai 900C sambil sekali-sekali diaduk. Saring saat panas
menggunakan kain flanel, tambahkan air panas secukupnya melalui ampas hingga diperoleh
volume yang diinginkan. Apabila bahan mengandung minyak atsiri, penyaringan dilakukan
setelah dingin.
4. Digesti
Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada temperatur ruangan
(kamar), yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40-50°C.
5. Dekok
Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama (suhu lebih dari 30°C) dan temperatur
sampai titik didih air (Tri, 2019).
Faktor yang mempengaruhi ekstraksi yaitu faktor biologi dan faktor kimia. Faktor biologi
meliputi: spesies tumbuhan, lokasi tumbuhan, waktu pemanenan, penyimpanan bahan
tumbuhan, umur tumbuhan, dan bagian yang digunakan. Sedangkan faktor kimia yaitu: faktor
internal (jenis senyawa aktif dalam bahan, komposisi kualitatif senyawa aktif, komposisi
kuantitatif senyawa aktif, kadar total rata-rata senyawa aktif) dan faktor eksternal (metode
ekstraksi, perbandingan ukuran alat ekstraksi, ukuran, kekerasan dan kekeringan bahan,
pelarut yang digunakan dalam ekstraksi, kandungan logam berat, kandungan peptisida (Tri,
2019).
Ekstraksi merupakan proses pemisahan suatu bahan menggunakan pelarut sehingga zat
aktif dapat larut dan terpisah dari bahan yang tidak dapat larut. Proses ekstraksi dilakukan
dengan pengeringan bahan yang dihaluskan, kemudian dilakukan pemrosesan dengan suatu
pelarut atau senyawa pengekstraksi. Ekstraksi umumnya menggunakan berbagai jenis pelarut
yang berbeda-beda, jenis ekstraksi, dan pelarut yang digunakan tergantung dari kelarutan
bahan yang terkandung dalam tanaman serta stabilitasnya (Voigt, 1995).
Maserasi merupakan salah satu metode ekstraksi yang dilakukan dengan cara merendam
serbuk bahan dalam air sebagai larutan penyari. Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh
dengan mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani
menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian pelarut diuapkan dan serbuk yang diperoleh
diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan. Ekstrak kering
adalah sediaan yang berasal dari tanaman atau hewan, diperoleh dengan cara pemekatan dan
pengeringan ekstrak cair sampai mencapai konsentrasi yang diinginkan menurut cara-cara
yang memenuhi syarat (Chairunnisa, 2019).
2.4. Sanitizer
Terdapat 2 kategori bahan dasar dalam pembuatan sanitizer, yaitu: sanitizer berbahan
dasar non-alkohol dan sanitizer berbahan dasar alkohol. Bahan aktif utama pada sanitizer
non-alkohol paling umum yang dapat digunakan, benzalkonium klorida, amonium kuaterner.
Penggunaan benzalkonium klorida dalam pembuatan sanitizer umumnya kurang mengiritasi
dibandingkan dengan alkohol. Sediaan sanitizer yang mengandung alkohol dapat berupa
etanol, isopopil, propanol, atau kombinasinya. Humektan adalah bahan yang digunakan untuk
mencegah terjadinya dehidrasi pada kulit, membantuk menstabilkan dan memperpanjang
waktu yang dibutuhkan untuk penguapan alkohol, sehingga meningkatkan aktivitas
biosidalnya (Golin, 2020). Banyak sanitizer yang berasal dari bahan alkohol atau etanol yang
dicampurkan bersama dengan bahan pengental, misal karbomer, gliserin, dan menjadikannya
serupa jelly, gel atau busa untuk mempermudah dalam penggunaannya. Gel ini mulai populer
digunakan karena penggunaanya mudah dan praktis tanpa membutuhkan air dan sabun.
Seiring perkembangan zaman, dikembangkan juga pembersih tangan non alkohol, tetapi jika
tangan dalam keadaan benar–benar kotor, baik oleh tanah, udara, darah, ataupun lainya,
mencuci tangan dengan air dan sabun lebih disarankan karena sanitizer kurang efektif
membunuh kuman dan membersihkan material organik lainnya. Alkohol banyak digunakan
sebagai antiseptik /desinfektan untuk desinfeksi permukaan kulit yang bersih, tetapi tidak
untuk kulit yang luka (Hapsari, 2015). Meningkatkan penggunaan sanitizer tangan
merupakan tindakan pengendalian terhadap infeksi dari bakteri maupun jamur. Studi in-vitro
menunjukkan bahwa sanitizer tangan yang mengandung 60%-80% etanol menghasilkan
pengurangan 4 sampai 6 log salam 15-30 detik terhadap berbagai jenis spesies bakteri dan
jamur (Golin, 2020).
2.4.1. Bentuk Sediaan Sanitizer Tangan
Terdapat dua jenis sanitizer tangan yaitu sanitizer gel dan spray. Sanitizer tangan gel
merupakan sediaan pembersih tangan berbentuk gel yang berfungsi untuk menghambat
aktivitas bakteri atau membunuh mikroorganisme pada kulit yang mengandung bahan aktif
alkohol 60% dan sanitizer tangan spray merupakan sediaan pembersih tangan berbentuk
cairan yang berfungsi untuk menghambat aktivitas bakteri atau membunuh mikroorganisme
pada kulit yang mengandung bahan aktif irgasan DP 300:0,1% dan alkohol 60% (Riyanta,
2018).
2.5. Kerangka Teori
Menghambat aktivitas
Bakteri
Daya hambat
Daftar Pustaka
Abdull Razis, A. F., Ibrahim, M. D., & Kntayya, S. B. (2014). Health benefits of
Moringa oleifera. Asian Pacific journal of cancer prevention : APJCP, 15(20), 8571–8576.
https://doi.org/10.7314/apjcp.2014.15.20.8571
Chairunnisa, S., Wartini, N. M., & Suhendra, L. Pengaruh Suhu dan Waktu Maserasi
terhadap Karakteristik Ekstrak Daun Bidara (Ziziphus mauritiana L.) sebagai Sumber
Saponin. Jurnal Rekayasa Dan Manajemen Agroindustri, 7(4), 551. 2019.
Chandra, A., Novalia, N. 2014. Studi Awal Ekstraksi Batch Daun Stevia Rebaudiana
Bertoni dengan Variabel Jenis Pelarut dan Temperatur . Universitas Katolik Parahyangan.
Bandung.
Dhakad, A. K., Ikram, M., Sharma, S., Khan, S., Pandey, V. V., & Singh, A. (2019).
Biological, nutritional, and therapeutic significance of Moringa oleifera Lam. Phytotherapy
Research, 33(11), 2870-2903.
Golin, A. P., Choi, D., & Ghahary, A. (2020). Hand sanitizers: A review of
ingredients, mechanisms of action, modes of delivery, and efficacy against
coronaviruses. American journal of infection control, 48(9), 1062–1067.
https://doi.org/10.1016/j.ajic.2020.06.182
Hapsari, D. N. (2015). Pemanfaatan Ekstrak Daun Sirih (Piper Betle Linn) Sebagai
Hand Sanitizer. Skripsi. Poltekkes Kemenkes Yogyakarta.
Harborne, J. B. 1996. Metode Fitokimia. Cara modern menganalisa Tumbuhan.
Terjemahan Kosasih Patmawinata dan Iwang Soediro. Edisi ke 3. Penerbit ITB. Bandung.
Meng, J. R., Liu, J., Fu, L., Shu, T., Yang, L., Zhang, X., Jiang, Z. H., & Bai, L. P.
(2023). Anti-Entry Activity of Natural Flavonoids against SARS-CoV-2 by Targeting Spike
RBD. Viruses, 15(1), 160. https://doi.org/10.3390/v15010160
Panche, A.N., Diwan, A.D., Chandra, S.R., 2016. Flavonoids: an overview. J. Nutr.
Sci. 5, e47.
Pareek, A., Pant, M., Gupta, M. M., Kashania, P., Ratan, Y., Jain, V., Pareek, A., &
Chuturgoon, A. A. (2023). Moringa oleifera: An Updated Comprehensive Review of Its
Pharmacological Activities, Ethnomedicinal, Phytopharmaceutical Formulation, Clinical,
Phytochemical, and Toxicological Aspects. International journal of molecular
sciences, 24(3), 2098. https://doi.org/10.3390/ijms24032098Moringa oleifera Lam. in GBIF
Secretariat (2022). GBIF Backbone Taxonomy. Accessed 15 Mei 2023. Available at :
https://www.gbif.org/species/3054181
Patil, S. V., Mohite, B. V., Marathe, K. R., Salunkhe, N. S., Marathe, V., & Patil, V.
S. (2022). Moringa Tree, Gift of Nature: a Review on Nutritional and Industrial
Potential. Current pharmacology reports, 8(4), 262–280. https://doi.org/10.1007/s40495-022-
00288-7
Rahman, F. 2015. Efek Nefroproktektor Ekstrak Etanol Daun Kelor Terhadap
Kerusakan Histologis Nefron Mencit Y ang Diinduksi Parasetamol. Skripsi. Universistas
Sebelas Maret. Surakarta.
Riyanta A.B., Febriyanti, R. 2018. Pengaruh Kombinasi Ekstrak Biji Kopi dan
Rimpang Jahe Terhadap Sifat Fisik Sediaan Foot Sanitizer Spray. Jurnal Parapemikir. 7(2):
Stadtlander, T., & Becker, K. (2017). Proximate composition, amino and fatty acid
profiles and element compositions of four different Moringa species. Journal of Agricultural
Science, 9(7), 46-57.
Tri P. L. S., Hanny F. F., (2019). Aplikasi Pemanfaatan Daun papaya (Carica
papaya) Sebagai Biolarvasida terhadap Larva Aedes aegyptti. Gresik. Graniti.
Voight, R. 1995. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Alih bahasa Drs. Soendani
Noerono Soewandhi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. pp. 577-578.