Anda di halaman 1dari 39

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pelepah sawit adalah limbah perkebunan yang sangat mudah ditemui dan

belum banyak dimanfaatkan, melihat potensi itu maka perlu adanya penelitian

pemanfaaatan pelepah sawit agar nantinya bisa dijadikan pakan ternak alternatif.

Kandungan gizi pelepah kelapa sawit terdiri dari bahan kering (BK) 55%, Abu

4.81%, protein kasar (PK) 5,74%, serat kasar (SK) 36,98%, lemak kasar (LK)

2,16%, NDF 56,41%, ADF 41,16%, hemiselulosa 15,25%, selulosa 29,99%, dan

Lignin 10,27%. (Nurhaita, et al., 2018). Limbah pelepah ini sangat potensial

untuk jadi pakan ternak ruminansia karena ketersediannya banyak dan hanya

menjadi limbah dari perkebunan, pelepah sawit yang digunakan untuk pakan

ternak adalah pelepah sawit yang telah di cacah.

Fermentasi merupakan salah satu teknologi untuk meningkatkan kualitas

pakan asal limbah karena keterlibatan mikroba dalam mendegradasi serat kasar,

mengurangi kadar lignin dan senyawa anti nutrisi, sehingga pakan asal limbah

dapat meningkat (Wina, 2005). Pada proses fermentasi diperlukan penambahan

mikroba dalam hal ini biasanya digunakan kapang dan bakteri, salah satu sumber

mikroba yang dapat digunakan pada proses fermentasi adalah MOL. Mikro

Organisme Lokal (MOL) adalah larutan berisi bakteri yang dapat digunakan

dalam proses fermentasi, MOL terbuat dari bahan – bahan alami sebagai media

hidup dan berkembang biak dan mempercepat perombakan bahan organik.


2

penelitian, Ramdani, (2018). Hasil fermentasi pelepah sawit dengan MOL isi

rumen selama 7 hari mampu meningkatkan kualitas bahan pakan seperti

meningkatnya kandungan Protein Kasar (PK), turunnya Serat Kasar (SK), Bahan

Kering (BK), Bahan Organik (BO). Nurhaita, (2018).

Dari hasil peningkatan pelepah sawit fermentasi ini perlu dikombinasikan

lagi dengan upaya menurunkan populasi protozoa karena protozoa di dalam

saluran pencernaan ternak ruminansia pada pakan yang berserat tinggi akan

menurunkan bakteri dan mengurangi daya cerna bahan pakan. Upaya untuk

menurunkan protozoa dengan menambahkan bahan yang mengandung tanin dan

saponin. Karena tanin dan saponin merupakan senyawa alami yang diteliti

sebagai agen manipulasi rumen. Senyawa ini dapat bermanfaat bagi ternak

ruminansia sesuai dengan struktur dan kosentrasinya (Suharti et al., 2010). Salah

satu tanaman yang mengandung tanin dan saponin adalah Teh. Daun teh memiliki

kandungan tanin 6,62 dan saponin 21,72. (Lab Balai Ternak Ciawi, 2019).

Bengkulu merupakan salah satu dari provinsi di indonesia yang memiliki tanaman

perkebunan teh yang cukup luas, luas lahan perkebunan teh tersebut mencapai

1.911,7 Ha di kelola PT Sarana Mandiri Mukti yang berada di kec. Kabawetan

kab. Kepahiang. Daun teh yang memiliki kandungan tanin yang tinggi yaitu daun

teh yang sudah tuadan ciri – ciri tanaman yang mengandung tanin rasanya pahit

dan kelat. Beberapa tanaman mengandung tanin. Daun kembang sepatu, Teh,

Daun sirih, Ciplukan, dll. (Suhartiti, 2005).

Kandungan senyawa aktif daun teh berupa saponin dan tanin yang

dimanfaatkan sebagai agen defaunasi yaitu mengurangi jumlah protozoa sehingga


3

bakteri aman dari gangguan protozoa dan meningkatkan proses fermentasi dalam

rumen. Saponin dan tanin mampu membentuk ikatan sterol dalam dinding sel

protozoa dan menyebabkan tegangan pada permukaan membran sel protozoa serta

menyebabakan lisis pada sel, sedangkan membran sel bakteri lebih tahan terhadap

saponin dan tanin karena dinding selnya berupa peptidoglikan. Penambahan agen

defaunasi dalam pakan dapat meningkatkan fermentabilitas pakan, karena jumlah

protozoa berkurang dan bakteri dalam rumen dapat mendegradasi pakan dengan

baik sehingga fermentabilitas pakan meningkat.

Berdasarkan uraian di atas, maka dilakukan penelitian yaitu melakukan

suplemntasi tepung daun teh pada pelepah sawit fermentasi pengaruhnya terhadap

kecernaan secara In Vitro.

1.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini adalah untuk mengetahui Pengaruh Pemberian Pelepah

Sawit Fermentasi, Yang Disuplementasi Tepung Daun Teh (Camellia Sinensis)

Terhadap Karakteristik Cairan Rumen Secara IN VITRO.

1.3 Manfaat Penelitian

1. Untuk memberikan informasi kepada peternak tentang pengolahan dan

pemanfaatan limbah pelepah sawit fermentasi yang disuplementasi tepung daun

teh.

2. Untuk menambah ilmu pengetahuan pengolahan dan pemanfaatan limbah

pelepah sawit fermentasi yang disuplementasi tepung daun teh.


4

1.4 Hipotesis

Pengaruh Pemberian Pelepah Sawit Fermentasi, Yang Disuplementasi

Tepung Daun Teh (Camellia Sinensis) Terhadap Karakteristik Cairan Rumen

Secara IN VITRO.
5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pelepah Sawit Sebagai Pakan Ternak

Pelepah sawit merupakan salah satu Limbah perkebunan yang dapat

dijadikan sebagai bahan baku pakan. Pohon kelapa sawit dapat menghasilkan 22

buah pelepah sawit/tahun. Angka ini menunjukkan potensi yang besar dan pelepah

sawit sebagai pakan, namun pemanfaatannya terkendala dengan rendahnya tingkat

kecernaan karena kadar lignin yang tinggi (Sharma dan arora,2010). Tingginya

kadar lignin dalam pelepah sawit membuat banyak penelitian yang dilakukan

untuk dapat menurunkan kadar lignin, seperti perlakuan fisik, kimia maupun

biologis. Tujuan penlakuan tersebut supaya ikatan lignoselulosa bisa terpecahkan

sehingga serat kasar yang berupa selulosa dan hemiselulosa yang terikat pada

ikatan lignoselulosa tersebut dapat dimanfaatkan oleh mikroba rumen sebagai

sumber energi

Pelepah sawit adalah Limbah perkebunan yang sangat mudah ditemui dan

Belum banyak dimanfaatkan, melihat potensi itu maka perlu adanya penelitian

pemanfaaatan pelepah sawit agar nantinya bisa dijadikan pakan ternak altematif.

Kandungan gizi pelepah kelapa sawit terdiri dan bahan kering (BK) 55,00%,

bahan organik 90,03%, protein kasar (PK) 5,74%, serat kasar (SK) 36,98%, emak

kasar (LK) 2,16%, NDF 56,41%, ADF 41,16%, hemiselulosa 15,25%, selulosa

29,99%, dan Lignin 10,27%. (Nurhaita, et aL, 2018).


6

Tabel 2.1 Kandungan Nutrisi Pelepah Sawit

Pelepah Sawit
No Nutrient Pelepah Sawit
Fermentasi
1 Bahan Kering 55,00 39,93
2 Bahan Organ 1k 90,03 89,25
3 Protein Kasar 5,74 8,97
4 Serat Kasar 36,98 24,81
5 Leak Kasar 2,16 2,45
6 NDF 56,41 45,99
7 ADF 41,16 42,57
8 Selulosa 29,99 28,40
9 Hemiselulosa 15,25 11,08
10 Lignin 10,27 8,12
11 KcBK 37,42 57,71
12 KcBO 32,61 55,37
Sumber Nurhaita et,.al., (2018)

2.2 Teknologi Fermentasi Limbah Serat

Teknologi fermentasi bahan pakan lokal telah banyak dilakukan di bidang

pakan ternak yang merupakan salah satu upaya pemanpaatan bahan baku pakan

lokal sebagai pakan ternak, misalnya fermentasi dengan menggunakan Aspergillus

niger (Nurhayati, 2010). Laporan penelitian sebelumnya menunjukan teknologi

fermentasi dapat meningkatkan kandungan protein pada bungkil inti sawit

(Kompiang et at., 2010). Fermentasi berasal dan kata frefere yang artinya

mendidih. Fermentasi merupakan proses pemecahan senyawa-senyawa organik

menjadi sederhana yang melibatkan ketersedian zat-zat makan seperti protein dan

energi metabolis serta mampu memecah komponen sederhana (Zakariah, et at.,

2016).
7

Fermentasi merupakan salah satu teknologi untuk meningkatkan kualitas

pakan asal Limbah karena keterlibatan mikroba dalam mendegradasi serat kasar,

mengurangi kadar lignin dan senyawa anti nutrisi, sehingga pakan asal limbah

dapat meningkat (Wina, 2005). Pada proses fermentasi diperlukan penambahan

mikroba dalam hal ini biasanya digunakan kapang dan bakteri, salah satu sumber

mikroba yang dapat digunakan pada proses fermentasi adalah MOL. Mikro

Organisme Lokal (MOL) adalah larutan berisi bakteri yang dapat digunakan

dalam proses fermentasi, MOL terbuat dan bahan - bahan alami sebagai media

hidup dan berkembang biak dan mempercepat perombakan bahan organik.

penelitian, Ramdani, (2018). Hasil fermentasi pelepah sawit dengan MOL isi

rumen selama 7 hari mampu meningkatkan kualitas bahan pakan seperti

meningkatnya kandungan Protein Kasar (PK), turunnya Serat Kasar (SK), Bahan

Kering (BK), Bahan Organik (BO).

Fementasi juga merupakan proses pemecahan karbohidrat dan asam amino

serta anaerobik yaitu tanpa memerlukan oksigen. Senyawa yang dapat dipecah

dalam proses fermentasi terirtama karhohidrat., sedangkan asam amino hanya

dapat difermentasi oleh beberapa jenis bakteri tertentu. Fermentasi sebagai salah

satu proses dimana komponen-komponen kimiawi dihasilkan sebagai akibat

adanya pertumbuhan maupun metabolisme mikroba. Fermentasi dapat

meningkatkan niiai gizi bahan berkualitas rendah serta herfungsi dalam

pengawetan bahan pakan dan merupakan suatu cara untuk menghilangkan zat anti

nutrisi atau racun yang terkandung dalam suatu bahan pakan (Fardiaz, 2012).
8

Fermentasi merupakan pengolahan subtrat menggunakan peranan

mikroba (Jasad renik) sehingga dihasilkan produk yang dikehendaki (Muhidin, el

at 2001). Produk fermentasi berupa hiomas sel, enzim. metaholit primer maupun

sekunder atau produk tamsformasi (Biokonversi). Belitz and Grosch, (2012).

Berdasarkan produk dihasilkan, fermentasi dibagi menjadi dua jenis, yaitu:

1. Hornofermentatif, yaitu fermentasi yaitu produk akhirnya hanya berupa

asam laktat. Contoh homofermentatif adalah proses fermentasi yang

terjadi dalam penihuatan yoghurt.

2. Heterofermentatif, yaitu fermentasi yang produk akhimya berupa asam

fermentasi yang terjadi dalam pemhuatan tape.

Mirwandhono dan Siregar (2010) melaporkan bahwa fermentasi

menggunakan Aspergillus niger (3%) dan bahan kening bungkil inti sawit secara

nyata mampu meningkatkan kandungan protein dan 15,03% menjadi 18,50%.

Selanjutnya dilaporkan bahwa penggunan 2% Asperigillus mger pada fermentasi

pelepah sawit secara nyata meningkatkan kandungan energi bruto pada pelepah

sawit yaitu dan 1.661 kkaL/kg (pelepah sebelumnya fermentasi) menjadi 1.837 ,

kkal/kg (setelah fermentasi). Begitu juga Hasil penelitian (Nurhayati, 2010)

menunjukkan hahwa kandungannya, protein kasar., Ca dan P mengalami peni

ngkatan setelah di lakukan fermentasi, sebaliknya kandungan LK Pati, gula dan

ME mengalami penurunan. Fermentasi campuran bungkil inti sawit dengan

onggok mengunakan trichoderma harzianum yang dilakukan oleh lndrayanti et.

al., (2011) menunjukkan bahwa waktu fermentasi terhaik di peroleh pada 8 hari
9

inkubasi dengan menghasilkan penurunan serat kasar sebesar 45% dan

meningkatkan protein dan 12% menjadi 16%-17% kandungan protein kasar.

Kemudian penelitian Simanihuruk et. al., (2008), pelepah kelapa sawit

yang telah menjadi silase mengandung BK 30,90%; Abu 11,73%; PK 4,57%;

NDF 58,73% dan ADF sebesar 37,36%. Silase pelepah kelapa sawit ini dapat

digunakan sampai 60% sebagai pakan basal ternak kambing dan merupakan pakan

basal alternatif untuk menggantikan rumput. Sembiring, (2006), melaporkan

bahwa fermentasi bungkil inti sawit dengan Pchrysocporium dengan waktu

inkubasi 4 hari dapat meningkatkan kandungan protein dan 15,14% menjadi

25,08%, menurunkan lemak kasar dan 1,25% menjadi 1,01% dan menurunkan

kandungan serat kasar dan 17,18% menjadi 13,64%. dalam penelitian Ramdani,

(2018). Fermentasi dengan dosis mol dan waktu yang berbeda pada pelepah sawit,

mempengaruhi pada bahan kering (BK), Bahan Organik (BO)., Serat Kasar (SK)

dan Protein Kasar (PK).

Berdasarkan hasil penelitian Saripudin (2008) diketahui rata-rata berat

pelepah kelapa sawit 18 kg. Pemotongan dilakukan setiap 15 hari, jumlah pelepah

yang dipotong setiap pemangkasan adalah 1-2 pelepah, dengan dimikian areal

seluas 1 hektar yang ditanam dengan 140 pohon kelapa sawit dapat menampung

3,11 satuan ternak (ST)

Menurut Hasan dan Ishida (1991), dalam Nurhidayah (2005) daun kelapa

sawit cukup besar potensinya untuk dimanfaatkan sebagai pakan ruminansia. Satu

hektar lahan terdapat 148 pohon dan diperkirakan dapat menghasilkan 3.500-
10

10.600 pelepah pertahun. Satu pelepah daun kelapah sawit dapat menghasilkan

3,33 kg daun kelapa sawit segar dengan kandungan bahan kering mencapai 32%.

2.3 Mikroorganisme Lokal (MOL)

Mikoorganisme lokal (MOL) adalah berupa larutan merupakan hasil

fermentasi yang berbahan dasar dari berbagai sumber daya yang tersedia. Larutan

MOL ini mengandung bakteri dan jamur yang berpotensi sebagai perombak bahan

organik. Astuti et al., (2014). Salah satu organisme yang dapat digunakan dalam

fermentasi adalah dengan menggunakan MOL. Larutan MOL terbuat dari bahan –

bahan alami, sebagai media hidup dan berkembangnya mikoorganisme yang

berguna untuk mempercepat bahan organik. MOL dapat juga di sebut sebagai

bioaktivator yang terdiri dari kumpulan mikroorganisme lokal dengan

memanfaatkan potensi sumber daya alam setempat. MOL dapat berfungsi sebagai

perombak bahan organik dan sebagai pupuk cair melalui proses fermentasi

(Setiawan, 2013), Mikroorganisme lokal dapat bersumber dari bermacam –

macam bahan lokal, antara lain urin sapi, batang pisang, daun gamal, buah –

buahan, nasi basi, sampah rumah tangga, rebung bambu, serta rumput gajah dan

dapat berperan dalam proses pengolahan limbah ternak, baik limbah padat untuk

dijadikan kompas, serta limbah cair ternak untuk dijadikan bio-urine (Sutari,

2010).

Bahan utama MOL terdiri dari beberapa komponen, yaitu karbohidrat

glukosa dan sumber mikroorganisme. Bahan dasar untuk fermentasi larutan MOL

dapat dari hasil pertanian, perkebunan, maupun limbah organik rumah tangga.
11

Karbohidrat sebagai sumber energi untuk mikroorganisme dapat diperoleh dari

limbah organik seperti cucian air beras, singkong, gandum, rumput gajah, dan

daun gamal. Sumber glukosa berasal dari gula merah, gula pasir, dan air kelapa,

serta sumber mikroorganisme berasal dari kulit buah yang sulit busuk, terasi,

keong, nasi basi dan urin sapi (Purwasasmita, 2012).

Penggunaan MOL pelepah sawit selain menggunakan urin sapi juga

menggunakan air kelapa sebagai sumber pertumbuhan mikroorganisme, Menurut

Budiyanto, (2002) air kelapa merupakan media yang baik untuk pertumbuhan

mikroorganisme selama proses fermentasi karena air kelapa mengandung 7,27%

karbohidrat, 0,29% protein, beberapa mineral antara lain, 312 mg L- 1 kalium, 30

mg L-1 magnesium, 0,1 mg L-1 besi; 37 mg L-1 fospor, 24 mg L-1 belerang, dan

183 mg L-1 klor.

Dosisi penggunan MOL yang optimal sangat mempengaruhi proses yang

terjadi selama fermentasi dan kualitas gizi yang dihasilkan. Parameter yang bisa

diamati selama proses fermentasi yang merupakan salah satu indikator apakah

fermentasi berjalan dengan baik atau tidak ada suhu dan pH pelakuan fermentasi

menandakan tingkat dimana banyak proses biologis terjadi dan memainkan yang

selektif dalam perubahan dan penggantian populasi mikroorganisme. Hassen et

al., (2010). Pengukuran suhu dan matrik fermentasi selama fase aktif

memberikan indikasi yang bersifat real – time yang menandai dari pembentukan

kondisi deal yang mendukung perombakan mikroba. (Pullicino et al., 2010).

Waktu fermentasi oleh MOL berbeda - beda antara jenis bahan MOL

dengan yang lainnya. Waktu fermentasi ini berhubungan dengan ketersedian


12

makan yang di gunakan sebagai sumber energi dan metabolisme dan mikrobia di

dalamnya. Waktu fermentasi pelepah sawit oleh MOL yang paling optimal pada

setelah fermentasi hari ke 7 dan ke 14. Mikrobia pada MOL cenderung menurun

setelah ke -7. Hal ini berhubungan dengan ketersedian makanan MOL. Semakin

lama maka makanan akan berkurang karena dimanfaatkan oleh mikroba

(Suhastyo, 2011).

2.4 Senyawa Bioaktif Daun Teh

Tanaman teh ( camellia sinensis ) sebagai salah satu komediti perkebunan

memiliki arti penting dalam perekonomian indonesia. pada umumnya teh

merupakan jenis tanaman yang dapat digunakan sebagai antioksidan pada manusia

dan memberi manfaat bagi kesehatan tubuh. Berdasarkan hasil dan pengolahan

dan proses pengolahannya, teh di kelompokkan dalam tiga jenis, yaitu teh hijau

(tidak di fermentasi) , teh oolong (semi fermentasi), dan teh hitam ( fermentasi

penuh).Camellia sinensis menghasilkan metabolit sekunder seperti alkaloid,

flavonoid, steroid, tanin, saponin, triterpenoid (Fulder, 2004).

Bengkulu merupakan salah satu dari provinsi di indonesia yang memiliki

tanaman perkebunan teh yang cukup luas, luas lahan perkebunan teh tersebut

mencapai 1.911,7 Ha di kelola PT Sarana Mandiri Mukti yang berada di kec.

Kabawetan kab. Kepahiang. Daun teh yang memiliki kandungan tanin yang tinggi

yaitu daun teh yang sudah tua dan ciri – ciri tanaman yang mengandung tanin

rasanya pahit dan kelat. Beberapa tanaman mengandung tanin. Daun kembang

sepatu, Teh, Daun sirih, Ciplukan, dll. (Suhartati, 2005).


13

Komposisi bahan aktif dalam daun teh lainnya adalah kafein, tanin,

theophylline, theobromine, lemak, saponin, minyak esesial, katekin, karoten,

vitamin C, A, B1, B2, B12, P, Fluorite, Ferum, Magnesium, Kalsium, Strontium,

Plumbum, Nikel, Zink, dan Phosphor. Kandungan tanin pada daun teh akan

semakin meningkat seiring dengan peningkatan usia tanaman (Lenny, 2006 ).

2.5 Peran Seyawa Tanin Bagi Ruminansia

Tanin merupakan senyawa antinutrisi yang berperan menurunkan kualitas

bahan dengan cara membentuk ikatan kompleks dengan protein. Keberadaan

sejumlah gugus fungsional pada tanin menyebabkan terjadinya pengendapan

protein. Senyawa kompleks antara tanin dengan protein tidak larut di dalam

rumen, akan tetapi pada suasana asam di dalam abomasum, kompleks tersebut

mengalami pencernaan enzimatis sehingga protein dapat dimanfaatkan oleh ternak

(Makkar, 2003). Berdasarkan bentuk kimiawinya tanin terbagi menjadi 2

golongan yaitu tanin yang dapat terhidholisis dan tanin terkondensi. Tanin dapat

berinteraksi dengan protein dan ada tiga bentuk ikatan yaitu: (1) ikatan hidrogen,

(2) ikatan ion, (3) ikatan kovalen. Tanin terhidrolisis dan terkondensasi berikatan

dengan protein dengan membentuk ikatan hidrogen antara kelompok fenol dari

tanin dan kelompok karboksil (aromatik danalifatik) dari protein. Ikatan kuat

antara tanin dan protein akan berpengaruh terhadap kecernaan protein (Mueller,

2006).

Menurut Widyobroto et al., (2007), tannin merupakan senyawa antinutrisi

yang memiliki gugus fenol dan bersipat koloid, tanin yang masuk kedalam rumen
14

akan membentuk ikatan kompleks dengan protein, karbohidrat (selulosa,

hemiselulosa dan pektin), mineral, vitamin, dan enzim mikroba rumen. Komplek

ikatan tanin dengan protein dapat terlepas pada pH renda pada abomasum

sehingga protein dapat di degradasi oleh enzim pepsin dan asam-asam amino yang

terkandung dapat di manfaatkan oleh ternak (Jayanegara et al., 2008). Tanin

mempunyai efek biologis baik yang bersifat positifmaupun negatif, tergantung

pada konsentrasi serta sumber tanamannya. Tanin dapat bersifat racun dan dapat

mengakibatkan kematian jika di konsumsi dalam jumlah yang besar (Makkar

2003). Beberapa efek positif tanin diantaranya adalah meningkatkan efisiensi

penggunan protein ransum, pertumbuhan ternak yang lebih cepat, meningkatkan

produksi susu, meningkatkan fertilitas, mencegah terjadinya kembung atau bloat,

serta menghambat infeksi nematoda (Mueller, 2006). Struktur kimia tanin di

sajikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Struktur kimia tanin terkondensasi dan tanin terhidrolisis

Sumber: McSweeney et al. (2001)

Banyak penelitian yang sudah dilakukan dengan memanfaatkan tanin yang

berasal dari ekstraknya atau langsung dari tananamannya (tanpa diekstrak), dari
15

tanin yang terkondensasi atau terhidrolisis, secara in vitro atau in vivo. Penelitian

tersebut melihat pengaruh penambahan tanin pada pakan terhadap emisi metan,

populasi metanogen, populasi protozoa dan karakteristik VFA nya (asetat,

propionat, butirat dan valerat) dan produksi gas. Perbedaan hasil penelitian

terhadap efek penambahan tanin terhadap produksi metan, produksi VFA total

dan parsial, produksi gas, populasi protozoa, populasi bakteri metanogen ini dapat

disebabkan oleh berbedanya dosis tanin, jenis tanin, substrat dasar sebagai pakan,

dan ternak yang digunakan selama penelitian. Mekanisme penurunan produksi

metan dengan penambahan tanin disebutkan oleh Tavendale et al. (2005) ada dua

mekanisme, yaitu (1) secara langsung yang menghambat pertumbuhan dan

aktivitas metanogen, dan (2) secara tidak langsung melalui penghambatan pada

pencernaan serat yang mengurangi produksi H2. Tanin terkondensasi memiliki

efek toxic pada bekteri metanogen (Tavendale et al., 2005).

2.6 Peran Senyawa Saponin Bagi Ruminansia

Saponin termasuk ke dalam golongan glikosida yang terdapat pada

tanaman tinggi dan dapat menimbulkan buih bila dikocok. Glikosida adalah suatu

senyawa yang bila dihidrolisis akan terurai menjadi gula (glikon) dan senyawa

lain (aglikonatau genin). Saponin memiliki rasa pahit atau getir dan dapat

membentuk senyawakompleks dengan kolesterol.Sebagian besar saponin bereaksi

netral (larut dalam air), beberapa ada yang bereaksi asam (sukar larut dalam air),

sebagian kecil ada yang bereaksi basa.Saponin berdasarkan struktur aglikonnya

dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu saponin sterol (steroid) dan saponin
16

triterpen (triterpenoid).Saponin sterol bila dihidrolisis akan membentuk senyawa

sterol, sedangkan saponin triperten bila dihidrolisis akan membentuk senyawa

triterpen (Sirait, 2007).

Saponin mempunyai peran yang lebih menguntungkan pada ternak

ruminansia dibandingkan pada ternak non ruminansia. Pemberian bahan yang

mengandung saponin dapat meningkatkan pertumbuhan, efisiensi pakan, dan

kesehatan ternak dengan kemampuannya sebagai agen defaunasi. Kemampuan

saponin sebagai agen defaunasi dapat menyebabkan penurunan total populasi

protozoa rumen (Suparjo, 2008). Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya

yang menyatakan bahwa senyawa saponin asal tanaman yaitu teh (Hu et al., 2005)

dan lerak (Suharti et al., 2010) dapat menekan pertumbuhan protozoa sehingga

aliran protein mikroba rumen, meningkatkan efisiensi penggunaan pakan dan

mengurangi metan.Struktur saponin disajian pada gambar 3 dibawah ini.

Gambar 3.Struktur Kimia Saponin

Sumber: Sirait(2007)

Menurut penelitian Suharti et al. (2011) melaporkan bahwa penambahan

ekstrak Lerak (Sapidus rarak) yang mengandung 81,5% saponin pada level 0,6

dan 0,8 mg/ml cairan rumen secara signifikan (P<0,05) menurunkan populasi
17

protozoa. Pada level 0,8 mg/ml secara signifikan meningkatkan (P<0,05) populasi

P. ruminicola (bakteri amilolitik) dan proporsi propionat serta menurunkan rasio

asetat dan propionat. Respon yang berbeda dilaporkan oleh Hu et al. (2005)

bahwa penambahan ekstrak saponin dari biji teh dengan level 0,4 mg/ml tidak

nyata mempengaruhi VFA total dan parsialnya. Perbedaan ini disebabkan

kandungan saponin dan level saponin yang diberikan lebih rendah dibandingkan

dengan ekstrak larak (Sapidus rarak).

2.7 Teknik Kecernaan In-Vitro

Metode in-vitro merupakan proses metabolisme yang terjadi di luar tubuh

ternak. Prinsip dan kondisinya sama dengan proses yang terjadi di dalam tubuh

ternak yang meliputi proses metabolisme dalam rumen dan abomasum. Kisaran

pH rumert dan retikulurn. yaitu antara 6,5-7,f) dan bervariasi sesuai dengan rasio

pemberian konsentrat. Kecemaan pakan pada ternak ruminansia dapat diakur

secara akurat dengan menggunakan metode two stage in vitro dengan cara

menginkubasikan sampel selama 48 jam dengan larutan buffer cairan rumen.

dalam tabung dalam. kadaan kondisi anaerob, kemudian bakteri dimatikan dengan

penambahan asam hidrokiorit (HCI) pada pH 2, lalu diberi larutan pepsin HCI dan

diinkubasi selama 48 jam. Periode kedua ini terjadi dalam organ pasca rumen

(abomasum). Residu bahan yang tidak larut disaring, kemudian dikeringkan dan

dipanaskan hingga suhstrat tersebut dapat digunakan untuk mengukur kecernaan

bahan organik (Ismail, 2011).


18

Teknik in-vitro atau sering disebut dengan teknik rumen buatan yaitu suatu

percobaan fermentasi bahan pakan secara anaerob dalam tabung fermentor dan

menggunakan larutan penyangga yang merupakan saliva buatan. Evaluasi

kecernaan pakan yang dilakukan dalam penelitian meliputi kecernaan bahan

kering (KcBK), kecernaan bahan organik (KcBO), dari Metode in-vitro memiliki

beberapa keunggulan diantaranya waktu yang relatif singkatdan efisien, dapat

mengurangi pengaruh yang disebabkan hewan induk semang derigan Hasil yang

memuaskan sampel yang dihutuhkan hanya sedikit, sampel dalam jumlah besar

dapat dikerjakan dalam waktu yangbersamaan (Widodoet aL, 2012).

2.8 Pengukuran Kecernaan

Kecernaan merupakan pencerminan dan jumlah nutrisi dalam bahan pakat

yang dapat dimanfaatkan oleh ternak. Kecemaan pakan dapat didefinisikan

dengan cara menghitung bagian zat makanan yang tidak dikeluarkan melalui feses

dengan asumsi zat makanan tersebut telah diserap oleh ternak. Kecernaan pakan

biasanya dinyatakan dalam persen berdasarkan bahan kering.Tinggi rendahnya

kecernaan bahan pakan memberi arti seberapa besar bahan pakan itu mengandung

zat-zat makanan dalam bentuk yang dapat dicerna dalam saluran pencemaan

(Ismail, 2011).

Pencernaan adalah proses yang terjadi didalam saluran pencernaan dengan

memecah bahan pakan menjadi bagian-bagian yang Lebih sederhana. Pemecahan

senyawa kompleks menjadi senyawa sederhana, sehingga larut dapat diabsorhsi

melalui dinding saluran pencemaan, selanjutnya masuk kedalam peredaran darah,


19

kemudian diedarkan keseluruh tubuh yang membutuhkannya. Untuk mengetahui

nilai kecernaan pakan dapat diukur dengan teknik in- vitro. Teknik in-vitro

merupakan teknik pengukuran kecernaan yang dapat dilakukan di laboratorium

dengan meniru kondisi rumen sebenarnya (Mulyawati, 2009).

2.9 Karakteristik Cairan rumen

2.7.1 Volatile Fatty Acids (VFA)

Peroses Fermentasi pakan yang terjadi didalam rumen menghasilkan

berbagai banyak produk akhir, salah satunya adalah VFA. McDonald dkk.(2002),

berpendapat bahwa pakan yang masuk ke dalam rumen difermentasi untuk

menghasilkan produk utama berupa VFA, serta gas metan (CH4) dan gas

karbondioksida (CO2). Menurut Parakkasi (1999), VFA merupakan produk akhir

fermentasi karbohidrat dan sumber energi utama bagi ternak ruminansia. Arora

(1995) juga mengatakan, bahwa peroses fermentasi karbohidrat dalam rumen akan

menghasilkan asam lemak atsiri (asam lemak terbang atau VPA) terutama

asetat,propionat, n-butirat.laktat. Dewhurst dkk. (1986) juga menyatakan bahwa

70-85% energi pakan dapat diserap dalam bentuk VFA yang merupakan produk

akhir utama peroses fermentasi oleh mikroba rumen. Berdasarkan dari penjelasan

di atas. VFA dapat dikatgorikan sebagai salah satu indikator seberapa efisien

pencernaan pakan di dalam rumen.

Peroses pebentukan VFA dari fermentasi karbohidrat pakan berawal

dengan memecah susunan karbohidrat kompleks menjadi bentuk yang lebih

sederhana (monosakarida) seperti glukosa, fruktosa dan pentosa dengan cara


20

hidrolisis, kemudian dari hasil tersebut akan mengalami peroses yang dinamakan

glokolis, di mana karbohidrat sederhana akan diubah menjadi piruvat, kemudian

perivat itulah yang diubah menjadi VFA. Seperti yang dikemukakan oleh Arora

(1995), bahwa ada tiga tahap dalam peroses terbentuknya VFA yang pertama

karbohidrat mengalami hidrolisis menjadi monosakarida, seperti glukosa, fruktosa

dan pentosa. Tahap kedua dengan melakukan peroses glikolisis, yaitu hasil dari

produk dari tahap pertama akan mengalami pencernaan yang menghasilkan

piruvat. Piruvat selanjutnya akan diubah menjadi VFA yang umumnya terdiri dari

asetat, butirat dan propionat. Peroses pembentukan VFA berawal dari peroses

fermentasi karbohidrat di dalam rumen.

Produksi kosentrasi VFA rumen tidak terlepas dari berbagai macam factor

yang mempengaruhinya antara lain seperti pakan (jumlah konsumsi dan jenis

pakan), kondisi cairan rumen, aktivitas mikroba dalam rumen serta ferkunsi

pemberian pakan. Jenis pakan berpengaruh terhadap kosentrasi VFA yang

dihasilkan pada rumen. Beberpa penelitian menjelaskan rata-rata jumlah

kosentrasi VFA pada ternak umumnya sebanyak 2-15% g/liter. Seperti yang di

jelaskan oleh Kamal (1994) bahwa jumlah VFA variatif 2-15% g/l tergantung

macam makan dan waktu pengambilan cuplikan. Arora (1989) menyatakan bahwa

jenis pakan seperti pakan kasar bisa mempengaruhi fermentasi karbohidrat sampai

menjadi selulosa atau dengan jenis pakan yang kasar akan mempengaruhi pola

fermentasinya, sebagai besar melalui multiplikasi organisme-organisme pecernan

serat kasar yang mencerna selulosa dan hemiselulosa. Pencernaan pakan dengan

kandungan karbohidrat non struktural akan menghasilkan produksi VFA yang


21

lebih tinggi (Van soest, (1994). Frekunsi pemberian pakan biasa mempengaruhi

besar kecilnya produksi konentrasi VFA pada rumen. Hasil dari penelitian

Nuswantara (2012) menunjukkan peningkatan tertinggi kosentrasi VFA pada

rumen terjadi setelah 3-4 jam setelah pemberian pakan. Dengan dimikian bahwa

produksi kosentrasi VFA tidak terlepas dari berbagai macam faktor yang

mempegaruhinya.

Asam lemak terbang (VFA) terdiri dari asam asetat, propionat dan butirat.

Masing-masing asam lemak tersebut memiliki rasio tertentu yang di pengaruhi

oleh banyak faktor diantaranya jumlah kandungan kerbohidrat pada pakan,

perbandingan persentase pakan hijauan dan kosentrat pakan. Kosentrasi asam

asetat tinggi apabila kandungan selulosa tinggi dari hasil fermentasi karbohidrat

pada rumen (Kamal, 1994) sementara arora 1989) berpendapat bahwa pakan

dengan jumlah pati dan kosentrat tinggi menstimulir propionat lebih banyak.

Rasio A/P dapat dipengaruhi beberapa faktor diantaranya kandungan nutrisi

(pati/karbohidrat) pakan serta perbandingan hijauan dam kosentrat.

2.8 Amonia (NH3)

Kosentrasi amonia merupakan suatu nilai sebagai ukuran yang sangat

penting untuk menentukan laju mikroba dalam rumen. Menurut penjelasan Arora

(1995) , bahwa amonia adalah sumber nitrogen yang utama dan sangat penting

umtuk sintesis protein mikroba rumen. Sedangkan kosentrasi amonia merupakan

suatu besaran yang sangat penting untuk dikendalikan karena sangat menentukan
22

laju pertumbuhan mikroba rumen. Amonia merupakan salah satu baham

penyusun dalam pembentukan protien bagi ternak.

Banyak hal yang menentukan seberapa besar nilai kosentrasi ammonia

dalam rumen, seperti kadar protien dalam pakan yang dikonsumsi, lama pakan

dalam rumen, derajat degradibilitas, pH rumen dan ketersedian gula terlarut dalam

rumem. Seperti pendapat yang dikemukakan oleh Moante dkk. (2004), bahwa

kosentrasi amonia ditentukan oleh tingkat protien pakan yang dikosumsi, derajat

degradibilitas, lama pakan didalam rumen dan tingkat keasaman (pH) rumen.

Selain itu, menurut Arora (1995) bahwa tingkat hidrolosis protien bergantung

kepada daya larutan yang akan mempengaruhi kadar NH3 di mana gula terlarut

yang tersedia di dalam rumen dipergunakan oleh mikroba untuk menghabiskan

amonia. Kandungan protien diduga sangat menentukan seberapa besar kosentrasi

amonia di dalam rumen. Hal tersebut sesuai dengan penelitian dari Aswandi dkk.

(2012) yang menyatkan bahwa kandungan protien kasar (PK) yang terkandung

dalam bahan pakan sebesar 10,56% akan menghasilkan kosentrasi amonia sebesar

3,60-3,73 Mm. McDonald dkk. (2002) juga berpendapat bahwa kandungan

protien pakan yang tinggi dan protiennya mudah didegradasi akan menghasilkam

penigkatan kosentrasi NH3 di dalam rumen. Menurut McDonald dkk. (2002)

bahwa besaran optimun kosentrasi NH3 dalam rumen berkisar antara 85-300 mg/I

atau 6-21 mM. Waktu pasca pemberian pakan di duga berpengaruh terhadap

kosentrasi amonia didalam rumen seperti dijelaskan oleh Wohlt dkk. (1976)

bahwa produksi amonia dipengaruhi oleh waktu setelah makan dan umumnya

produksi maksimum dicapai pada saat 2-4 jam setelah pemberian pakan, sehingga
23

besaran kosentrasi amonia dalam rumen bisa menjadi ukuran seberapa efesien

peroses pencernaan protien yang ada didalam rumen.

Peroses degradasi protien juga merupakan salah satu hal menentukan

seberapa besar kosentrasi amnonia didalam rumen. Menurut McDonald dkk.

(2002) bahwa umumnya proposi protien yang didegrasi dalam rumen sekitar 70-

80%. Satter dan Slyter (1974) juga berpendapat bahwa pakan mengandung protien

yang telah lolos dari degradasi, maka kosentrasi NH3 rumen akan rendah (lebih

rendah dari 50 mg/I atau 3,57 mM) dan pertubuhan organisme rumen akan

melambat. Proses degradasi protien juga bisa menjadi salah satu faktor yang

mempengaruhi besaran kosentrasi amonia rumen.

2.9 Derajat Keasaman (pH)

Cairan rumen mengandung enzim a-amilase, galaktosidase, hemiselulosa,

selulosa, dan xilanase. Rumen diakui sebagai sumber enzim pendegradasi

polisakarida. Polisakarida dihidrolisis dalam rumen disebabkan karena pengaruh

sinergis dan intraksi dari komplek mikroorganisme, terutama selulase dan xilanase

(Trinci eat al., 1994). Ruminansia mempumyai kemampuan yang terbatas dalam

mengontrol pH rumen. Rendahnya pH rumen terjadi dengan terakumulasinya

asam laktat dalam rumen (Fajar, 2013).

Cairan rumen juga terdapat saliva yang berfungsi sebagai buffer dan

membantu mempertahankan pH tetap pada 6,8. Saliva bertipe cair, membuffer

asam-asam, hasil fermentasi mikroba rumen. Siliva merupakan zat pelumas dan

surfakatan yang membantu didalam peroses mastikasi dan ruminasi. Saliva


24

BAB III

METODELOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Maret sampai dengan Juni 2020 di

kandang percobaan Fakultas Pertanian Bukit Peninjauan 1 dan uji in vitro di

Laboratorium Fakultas Pertanian IPB

3.2 Alat dan Bahan Penelitian

3.2.1 Alat

a. Timbangan analitik untuk menimbang bahan sampel

b. Alat tulis untuk mencatat semua rangkaian penelitian

c. Kertas hvs untuk wadah sampel

d. Plastik untuk membungkus sampel yang akan dikirim

e. Seperangkat peralatan in vitro serta seperangkat alat analisis VFA

3.2.2.Bahan

1. Tepung daun teh

2. Tepung pelepah sawit yang di fermentasi

3. Tepung ampas tahu yang dikeringkan

4. Solid Yang Dikeringkan

5. Kapur dolomit

6. Garam
25

7. Mol

8. Molases

3.3 Metode Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan dengan menggunakan rancangan acak

kelompok (RAK) dengan 4 perlakuan dan 4 ulangan. Perlakuan yang di uji

adalah ransum:

R0T : Konsentrat (40%) + Rumput alam (60%).

R1T : Konsentrat (40%) + PSF (15%) + Rumput alam (45%) ± TDT (4%)

R2T : Konsentrat (40%) + PSF ( 30%) + Rumput alam (30%) + TDT (4%)

R3 T: Konsentrat (40%) + PSF( 45%) + Rumput alam (15%) + TDT (4%)

Ket : PSF (pelepah sawit fermentasi)

TDT(tepung daun teh)

Model matematika Rancangan Acak Kelompok (RAK) yang digunakan adalah:

Yij = + i+ j+ ij

I = 1,2……….. t

J = 1,2………. n

Yij : Nilai pengamatan pada perlakuan ke I kelompok j

: Nilai tengah umum


26

i : Pengaruh perlakuan ke i

j : pengaruh kelompok ke j

ij : Pengaruh acak pada perlakuan ke I kelompok j

Tabel 3. Bagan Analsis Rancangan Acak Kelompok (RAK)

Sumber F tabel
Db JK Db Jk Kt F hit
F 0.05 F 0.01
keragaman
Perlakuan t -1 JKP JKP/dbP KTP/KTG
Kelompok r -1 JKK JKK/dbK KTK/KG
Galat (t-1) x (r-1) JKS JKG/dbG
Total (t x r) -1 JKT

Data yang diperoleh dalam penelitian dianalis dengan analisi ragam atau

Analysis Of Varian (ANOVA) dan apabila diperoleh Hasil data yang

berbedanyata dilanjutkan Uji Duncan Multiple Range Test (DMRT).

3.4 Tahapan Penelitian

1. Pembuatan Tepung Daun Teh

Daun teh di ambil di Kebawetan kabupaten kepahyang, daun yang

digunakan adalah daun yang sudah tua. Kemudian daun teh tadi di

keringkan dengan sinar matahari sampai kadar air berkurang sampai 80 %.

Setelah itu di lakukan penggilingan menjadi tepung

2. Fermentasi Pelepah Sawit


27

Pelepah sawit yang sudah dicoper sebanyak 3 kali setelah itu di tambah

MOL (10 %), kemudian tambah dengan molases sebanyak 50 gr, aduk

sampai rata kemudian masukkan kedalam plastik tutup rata tunggu selama

7 hari. Setelah 7 hari dikeluarkan kemudian di keringkan dengan mesin

pengering kemudian digiling setelah itu masukkan kedalam plastik

sampel.

3. Persiapan bahan penelitian ransum

Dedak, ampas tahu, solid, psf, rumput alam, garam, mol, molases dan

kapur

4. Penyusun Ransum Penelitian

Ransum penelitian ini terdiri dan bahan hijuan 60% dan konsentrat 40%.

Bahan hijauan terdiri dan pelepah sawit fermentasi dan rumput alam,

sedangkan bahan konsentrat berupa dedak padi. ampas tahu, solid, kapur

dan garam.

Nilai gizi dan bahan susunan ranusm dapat di lihat pada tabel 3

Tabel 3. Kandungan Gizi Bahan penyusun Ransum

Bahan pakan BK BO PK SK LK
Kosentrat 91.21 75.36 14.34 14.94 6.49
Dedak 90.13 86.20 9.14 18,49 6.52
Ampas tahu 10.33 96.35 19.54 13.89 4.25
Rumput 21.04 88.33 14.68 21.67 1.74
Ps 83.82 84.61 9.16 17.08 1.50
Psf 39.93 87.57 10.94 17.03 3.22
Solid 19.24 88.88 14.88 19.65 14.50
Tepung daun teh 91.97 91.93 11.92 3.57 15.34
28

Suplementasi TDT 4% 3.71 3.79 0.53 0.02 0.91

Setiap Perlakuan dalam penelitian ini formulasi ransum telah di sesuai

dengan rancangan yang telah ditentukan dalain bentuk %, susunan formulasi

ransum dapat dilihat pada tabel 4.

Tabel 4. Formulasi Ransum Perlakuan (%)

Bahan R0 R1 R2 R3
Rumput alam 60.00 45.00 30.00 15.00
PSF 0.00 15.00 30.00 45.00
Dedak 18.80 18.80 1 8.80 18.80
Ampas tahu 10.00 10.00 10.00 10.00
Solid 10.00 10.00 10.00 10.00
Kapur 0.80 0.80 0.80 0.80
Garam 0.40 0.40 0.40 0.40
Total 100.00 100.00 100.00 100.00
Suplementasi TDT 4.00 4.00 4.00 4.00

Dari perhitungan analisis kandungan nilai gizi setiap perlakuan yang telah

disuplementasikan dengan Daun teh sebanyak 4% dapat dilihat pada tabel 5.

Tabel 5. Analisis Gizi Formulasi Ransum Yang Telah Disuplementasikan TDT

4%

BK BO LK PK SK
R0 34.34 89.66 4.31 13.98 20.37
R1 37.17 89.54 4.53 13.42 19.67
R2 40.01 89.43 4.75 12.86 18.98
R3 42.84 89.31 4.97 12.30 18.28
29

5. Pengembalian cairan rumen

Siapkan thermos yang dipakai untuk mengambil cairan rumen yang

telah diisi air panas dengan suhu 39°C Kemudian ditutup lalu dibawa ke

RPH (Rumah Potong Hewan). Kemudian di RPH air panas dibuang dan

langsung masukkan cairan rumen tutup rapat kembali termos agar

temperatur di dalamnya stabil dan di aliri gas CO2. kemudian saring baru

dapat digunakan

6. Pembuatan Mikroorganisme Lokal (MOL)

Pembuatan MOL dengan menggunakan 10 liter air kelapa, 2 kg isi

rumen kambing, 5 Kg molases lalu di masukkan kedalam jerigen,

kemudian di beri tutup. Tutup jerigen tadi di lubangi di berikan selang dan

siapkan jerigen I lagi, lubangkan tutupnya, kemudian isi air sebanyak 7-8

liter masukkan selang tadi untuk tempat pembuangan gas. Lalu simpan

selama 10 hari, setelah itu slap digunakan.

7. Pembuatan Larutan Mc Dougall

Larutan Mc Dougall sebagai buffer dibuat dengan komposisi sebagai berikut : Tabel

7. Komposisi Larutan Mc Dougall

Larutan Gram / liter


NaHCO3 9,8
Na2 HP04 3,71
KCL ,S7
30

MgSO47H2O 0,12
NaC1 0,47
Sumber: Tilley And Tery (1963)

Semua bahan yang dilarutkan menjadi satu liter aquades, larutan buffer

dipersiapkan sehari sebelum fermentasi, kemudian diletakkan dengan shaker

waterbath pada suhu 39°C dan gas CO2di alirkan selama 30— 60 detik untuk

mempertahankan kondisi tetap anaerob dan pH nya mendekati 7, jika pH di

atas 7, maka ditambah dengan HCL.

3.5 Fermentasi In Vitro

Metode in vitro yang digunakan adalah metode dua tahap (two-stage

method) (Tilley dan Terry, 1963). Sebanyak 0,5 gram sample sesuai perlakuan

dimasukan dalam tabung fermentor, ditambahkan 40 ml larutan McDougall dan

10 ml cairan rumen. Kemudian dikocok dengan gas C02 selama 30 detik untuk

menciptakan suasana anaerob dan di tutup dengan tutup karet berventilasi. Tabung

dimasukan kedalam shaker water bath dengan suhu 39Oc. Peroses fermentasi

dihentikan setelah inkubasi selama 4 jam dan 48 jam. Tutup tabung dibuka

kemudian ditambahkan 2 tetes HgCI2 jenuh untuk menghentikan aktivitas

mikroba. Sample disentrifuge dengan kecepatan 3000 rpm selama 15 menit.

Supernatan yang diperoleh pada tabung inkubasi 4 jam diambil untuk analisis

produksi VFA total dan konsentrasi NH3. Supernatan yang diperoleh pada tabung

inkubasi 48 jam dibuang dan diambil endapanya.

3.6 Parameter Yang Diamati


31

3.4.1 Volatile Fatty Acids (VFA)

Analisis VFA dilakukan dengan teknik desitalasi uap (General Labroratory

Procedure, 1966). Supernatan dimasukkan kedalam tabung suling VFA sebanyak

5 ml dan ditambahakan 1 ml H2SO4 15%. Tabung suling dimasukkan ke dalam

labu sulingberisi akuades sebanyak 700 ml yang telah dihubungkan dengan

pendingin leibig, kemudian tabung segera ditutup. Destilat ditampung kedalam

erlenmeyer 250 ml yang berisi larutan NaOH sebanyak 5 ml, setelah itu destilasi

dihentikan apabila volume telah mencapai 100 ml. Destilat yan berada di

erlenmeyer kemudian ditambahkan dengan indikator PP 1% sebanyak 2 tetes.

Titrasi dilakukan menggunakan larutan HCI 0,5 N hingga terjadi perubahan warna

dari merah muda menjadi bening.

Belanko dibuat dengan cara sama seperti prosedur pengukuran VFA

namun tidak menggunakan supernatan dari sample percobaan. Kosentrasi VFA

dihitung menggunakan rumus:

VFA (Mm)=(volume titran blanko – volume titran sample) x N-HCI x 1000/5

Keterangan :

N-HCI = Normalitas larutan HCI

Titran blanko = jumlah titer HCI untuk menitrasi 5 ml NaOH (blanko)

Titran sample = jumlah titer HCI untuk menitrasi hasil destilasi

3.4.2 Amonia (NH3)

Analisis produksi NH3 dilakukan dengan menggunakan teknik

mikrodifusi conway (General Labroratory Procedure, 1966). Cawan Conway dan


32

tutupnya diolesi bagian tepi dengan vaselin. Bagian tengah cawan dimasukkan 1

ml asam borat dan 1 tetes indikator campuran metil merah dan bromkreso

hijau.sisi kiri cawan dimasukkan 1 ml supernatan dan 1 ml larutan sodium karbont

(NaCO3) jenuh dimasukkan pada sisi kanan. Cawan ditutup dan digoyang secara

perlahan agar larutan supernatan dan sodium karbont tercampur secara homogen,

kemudian didiamkan selama 24 jam cawan dibuka dan kemudian dilakukan titrasi

dengan menggunakan H2SO4 0,0055 N sampai terjadi perubahan warna ungu

menjadi merah muda. Perhitungan produksi amonia:

NH3=(ml H2SO4 titrasi x N H2SO4X1000) Mm

Keterangan :

NH3= Produksi NH3 yang diperoleh

N H2SO4 =Normalitas larutan H2SO4

3.5.3 Derajat Keasaman (pH) Cairan Rumen

Pengukuran pH dilakukan segera setelah supernatan dipishkan dengan

endapan, diukur dengan alat pH meter digital. Sebelum digunakan dengan alat

tersebut distandarisasi dengan larutan buffer antara pH dan pH 4, pengukuran pH

dilakuakan 2 kali pada setiap sample.


33

DAFTAR PUSTAKA

Anitasari., L 200L Pengaruh Tingkat Penggunaan Limbah Tape Singkong dalam


Ransum terhadap Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik Ransum
Domba. Tesis.hai. 282. Salatiga.

Arora, S.P. 1995. Pecernaan Mikroba pada Ruminansia. Gadjah Mada University
press, Yogyakarta. (Diterjemahkan oleh Retno Murwani).

Arora. 1989. Pecernaan Mikroba pada Ruminansia. (diterjemahkan oleh Retno


muwarni). Gajah Mada University Press. Yogyakarta.

Aswandi, C. I. Sutrisno, M. Arifin, dan A. Joelal. 2012. Efek complete feed


bonggol berbagai varietas tanam pisang terhadap Ph, NH3 dan VFA pada
kambing kacang.(Effect of complete feed containing starch tubers of
different varieties of banana plants on Ph,NH3 dan VFA of kacang goat).
Agricultural counselling college of monokwari, doctoral program animal
sciences, university of diponogoro. JITP Vol. 2 No. 2, July. 201.

Astuti, T. Nurhaita. Gusni Yelni 2014. Evaluasi Kecernaan Nutrient Pelepah


Sawit yang difermentasi dengan berbagai sumber mikroorganisme sebagai
bahan pakan ternak ruminansia, Seminar Nasional dan Workshop
Optimalisasi Sumberdaya Lokal Pada Peternakan Rakyat Berbasis
Teknologi-1 2014 (pertama). Laporan . Fakultas Peternakan Universitas
Hasanudin.

Belitz, H.D. and W.Grosch. 2012. Food Chemistry.Edisi 4.Springer Berlin. Berlin

Budiyanto, M. 2002.Mikrobiologi Terapan. Cetakan III. Penerbit: UMM.Malang.

Cheeke, R P,. 2004 , Saponins: Suprising Benefis Of Desert Plants. Linus Pailing
Institute, USA.

Conway E.J. 1962. Microdiffusion analysisand volumetric errors 5th edition


Crosby. Lockwood and son, London.

Dewhurst, R.J.F. Webster, F. Waiman and P.J.S. Dewey. 1986. Prediction of the
true metabolisable energy concentration in forages for ruminants. Anim.
Prod. 43 : 183-194.
34

Dinata, D.D., ‘Widlyanto., &?ujianingsih RI 2O 5. Pengarub Sup’iementasi


Minyak Biji Kapuk Terhadap Fermentabilitas Ruminal Rumput
Gajah pada Sapi Secara In Vitro. Fakultas Pertanian dan Pete makan,
Universitas Diponegoro furnaUgripet. f5 (1): 46-Sf.
Fajar, A.P. 2013. Amonia cairan rumen. pH dan urea plasma darah kambing
kacang jantan yang mendapatkan wafer pakan komplit mengandung
tongkol jagung. Skripsi. Fakultas peternakan. Universitas Hasanuddin.
Makassar.

Fardiaz, S., 2012.Mikro biologi pangan I. cetakan L Penerbit: Gramedia Pustaka


utama., Jakarta

Firsoni, I. Sulistyo, A.S. Tjakadajaja dan Suharyono. 2008. Uji Femetasi In


Vitroterhadap Pengaruh Supiemen Pakan dalam Pakan Komplit. Dalam:
Y. Sani, E. Martindah, Nurhayati, W. Puastuti, T. Sartika, L. Parede, A.
Anggraeni, L. Natalia (Ed). Presiding. Seminar Nasionai TeknoJogi
Peternakan dan Veteriner. Bogor 11-12 November 2008. Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Bogor. Hal 233-240.

Francis, G., Z. Kerem, H.P.S Makar , & K. Becker. 2002. The bioligical action of
saponins in animal system : areview Br.J. Nurt, 88: 587-605.

Fulder, S. 2004. Khasiat Teh Hijau. Jakarta : Prestasi Pustaka. 130 hal.

Hasan, S. N. 201 2.Pengaruh berbagai jenis fungsi mikroza arbuskulas pada


pertumbuhan bibit kelapa sawit (Elaesis guineesis Jacq.) yang di lanam
pada media yang terinfeksi dan tidak terinfelcci Ganoderma sp. Skripsi
Universitas Lampung. Bandar Lampung, 54 hlm

Hessen, A.,K. Belguith,N. Jeldidi,A. Cherif, M.Cherif, & A. Boudabous. 2010.


Microbial characterization during composting of municipal solid
waste.Bioresour. Technol. 80 (3): 217-225.

Hidayah, N, Rukiah L, Komang G.W, Sri S. 2018. Efektivitas Senyawa Bioaktif


Limbah Tanaman Jengkol dan Petal sebagai Sumber Aditif Alami pada
Ternak Ruminansia.Laporan Akhir Penelitian Kerja Sama antar Perguruan

Tinggi Tahun Ke 1.

Hutauruk, J.E., 2010, Isolasi Senyawa Flavonoida Dan Kulit Buah Tanaman
Jengkol (PitheceiJobizm Jobahm &nth.)Sb,pci. FMJPA, USU.

Hvelplund, T. 1991. Volatile fatty acids and protien production in thr rumen. In :
J.P. Jouvany (Ed), rumen microbial metabolism and ruminant digestion
inra : PARIS.
35

Hu, Wei-lian, W. Yue-ming, L. Jian-xin, G. Yanqiu and Y. Jun-an. 2005. Tea


saponins affect in vitro fermentation and methanogenesis in
faunated and defaunated rumen fluid. J. Zhejiang Univ. Sci 6 (8):
787-792.

Ismail, R. 2011. Kecernoan In Vitro. (internet).Diaksespada tanggal 21 Oktober20


18.Tersediapada:http://rismanismail2.wordpress.com/20 11/05/2
2/nilaikecemaan-part-4/more-3 10

Jayanegara, A., H.P.S. Makkar & K.Becker. 2008. Mathane reduction potential of
tanins – containing plants using an in vitro rumen fermentation system.
Proc. So. Nutr. Physiol, Goettingen, Germany, 17:159.

Kamal M, 1994. Nutrisi Ternak 1 Fakultas perternakan UGM. Yogyakarta.


Kompiang, I.P., Purwadaria, T., Hartati, T., & Supriyati. 2010. Bioconversion of
sago (Metroxylon sp.) waste. Current status of Agricultural Biotechnology in
Indonesia. A. Darusman, kompiang, 1.P., & Moeljoprawiro, S. (Eds). AARD
Indonesia, p. 523-526.

Lenny, S. 2006, Senyawa Flavonoida, Fenilpropanoid dan Alkaloida.


[Skripsi]Medan : USU Reposistory. 53 hal.

lndrayanti, N., Jusadi, D., &Utomo, N.B.P. 2011, Evaluasi Kecernaan Campuran
BIS dan Orgok yang di fermentasi dengan trichoderma harnumuntuk
pakan ikan nila Oreochromissp. Tesis. Program Studi Nutrisi Dan
Makanan Ternak Fakultas Pertanian Unsri, palembang.

lsmail,R.,2011. Kecernaan In Vitro .http://nisman ismail I 2.wordpress. com/2001


l/05/22/nilai-kecernaan-part-4/#more-3 10. [Rabu, 3 oktober 2012].

Makar, H. P. S., 2003. Effect and fate of tanins in ruminant animals, adaptation to
tanins, and strategies to overcome detrimental effects of feding tanins —
rich feeds .1 Small Ruminant Research, 49: 241-256.

McDonald, p., R. A. Edwards, J. F. D.Greenhalgh and C. A. Morgon.


2002.Animal Nutrition. 5th Edition. Longman Inc, London.

McDougall, E. 1948 Studies on Ruminant Saliva.The Composition and Output of


Sheep’s Saliva.Biochemical Journal. 43: 99-109.

Mirwandhono, E. & Siregar, Z. 2010. Pemanfatan hidrolisat tepung kelapa udang


dan limbah kelapa sawit yang difermentasi dengan Asperagilius niger,
Rizhopus oligosporus, dan Triichoderma viride dalam ransum ayam
pedaging. Laporan penelitian. Universitas Sumatera Utara Digital
Library.
36

Moante, P. J., W. Chalupa, T. G. Jenkins, R. C. Boston. 2004. A model to


describe ruminal metabolism and intestinal absorption of long chain fatty
acids. Anim. Feed sci. technol., 112 : 79-105.

Mueller, H.I.2006. Unrevelling the conundrum of tanins in animal nutrition and


heelth.J. Sci.Food Agric. 86:2010-2037.

Muhidin NH, juli N, Aryyantha INP. 2001 . Peningkatan Kandungan Protein Kulil
Ubi KayuNlelalui proses Yerrneniasi, jumal Ns. 6(1); 1-12.

Muhidin, D. 2012. Agroindustri Papain Dan Pektin. Celakan Ke-2 Penerbit:


Penebar Swadaya. Jakarta.

Mulyawati, Y. 2009. Fermentabilitas dan Kecernaan In Vitro Biomineral


Dienkapsulasi. Skripsi. Fakultas Peternakan, Thstitut Pertanian Bogor.

Nurhaita W. Rita, N. Definiati dan R. Zurina. 2012. Femientasi Begase Tebu


Dengan Neurospora sitophila dan Pengaruhnya Terhadap Nilai Gizi dan
Kecemaan Secara In- Vitro. Jur. Embrio (5) (1) (1-7).

Nurhaita, R. Anggara, O. Ramdani dan D. Irwan. Analisis Kandung Nutrisi


Pelepah Sawit Fermentasi Secara In- Vitro. Universitas Muhamadiyah
Bengkulu. 2018.

Nurhayati. 2010. Evaluasi nutrisi campuaran bungkil inti sawit dan onggok yang
difermentasi menggunkan Asperagillus niger sebagai bahan pakan
altematif. Tesis. Program Pascaserjana Universitas Brawijaya.
Malang, 71 hlm.

Nurtiaita, N. Deilniati, 0. Ramdani. 2018. AnaIisis Kandung Nutrisi Piepah Sawit


Fermentasi Secara In- Vitro. Laporan Penelitian.Universitas Muhamadiyah
Bengkulu.

Nuswantara., dan A. Subrata. 2012. Pengaruh proteksi protien tepung kedelai


dengan tanin daun bakau terhadap kosentrasi Amonia,Undegraded protien
total secara in vitro (The Effect of Soy Meal Protien proection by
mangrove leaf tannin on ammonia concentration, rumen undegraded
dietary protien and total protien in vitro). Animal agricultural journal,
fakultas peternakan dan pertanian universitas Diponogoro, semarang. 1
(1): 160.

Nurhidayah, AS. 2005. Pemanfaatan daun kelapa sawit dalam bentuk wafer
ransum komplit domba. Skripsi fakultas peternakan institut pertanian
bogor. Bogor.
37

Parakkasi, A. 1999. Ilmu dan makanan ternak ruminansia. Universitas Indonesia


Press. Jakarta.

Preston, T. R. A leng. 1987. Matching Ruminant Production System with


Avaailable Sources in Tropics. Panabul book. Aemidale.
Ramdani.O. 2018. Pengaruh Fermentasi dengan dosis MOL dan Waktu Yang
Berbeda Terhadap Nilai Gizi Pelepah Sawit. Program Studi Peternakan
Fakultas Pertanian Universitas Muhamadiyah Bengkulu. Skripsi.

Purwasasmita, M. 2012., Mikroorganisme lokal sebagai pemicu siklus kehidupan.


Dalam bioaktor tanaman. Seminar nasional teknik kimia indonesia.
Bandung 19-20 oktober 2009.

Pullicino, S. D., F. G. Erriguens, & G. Gigliotti. 2010. Changes in the


chemicalcharacterististics of waterxtractable organic matter and maturity.
Bioresour. Tecnol. 98 (9): 1822 – 1831.

Saha U, Sonon L, Hancock D, Hill N, Stewart L, Hesner G, and E. David. 2013.


Common Terms Used in Animal Fending and Nutrition. The University of
Georgia.

Sharma, R.K, Arora DS. 2010. Changes in biochemical constituents of paddy


straw during degradation by white rot fungi and its impact on in vitro
digestbility. J Appl Microbial. 109:679-686

Saripudin, J.2008. Potensi Pelepah Sawit Sebagai Pakan Ruminansia Di


Kecamatan Bagan Sinembah Kabupaten Rokan Hilir. Skripsi Fakultas
Pertanian dan Peternakan UIN Suska Riau. Pekanbaru.

Satiawan, B.S.2013.Membuat Pupuk Kandang Secara Cepat.Penerbit : Penebar


Swadaya. Bogor.

Sembiring. P. 2006. l3iokonversi limbah inti sawit dengan Phanerochaete


chysosporium danaplikasinya terhadap perporma broiler, Universitas
Padjajaran . Bandung.

Simanihuruk, K., Junjungan, dan Ginting, SP., 2008. Pemanfaatan silase pelepah
kelapa sawit sebagai Pakan Basal Kambing Kacang Fase Pertumbuhan.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Hal. 446-455.

Suharti, S., A, Kurniawati, D.A, Astuti, and E, Wina. 2010. Mikrobial population
and Fermentation Characteristic in Respons to saponindus Rarak Mineral
Block Suplementation. Media Peternakan. 33(3) : 150-154.

Suharti S., D. A. Astuti, & E. Wina, T. Toharmat. 2011. Rumen microbial in the
in vitro fermentation of different rations of forage and consentrate
38

in the presence of whole lerak (Sapidus rerak) fruit extract. Asian-


Aust. J. Anim. Sci. 24(8):1086-1091.

Suhartiti, F, M. 2005. Protein Lamtoro leaves (leucaena leucocephala)with tanin ,


Saponinand oil protection and the effect on ruminal undegradeble dietary
protein (RUDP) and synthesis of rumen microbial protein. Universitas
jendral soederman, Purwokerto.

Suparjo. 2008. Pemanfaatan limbah sebagai bahan pakan ternak. Wordpress.com.


diakses pada 25 februari 2013.

Sulaila. 2018. Pengaruh Suplementasi Tepung Kulit Jengkol Pada Rumput Alam
Terhadap pH, Kecernaan Bahan Okering dan Kecernaan Bahan Organik
[Skripsi] Universitas Muhamadiyah Bengkulu.

Suparjo . 2008. Saponin , Peran dan Pengaruhnya bagi ternak dan manusia
laboratorium makan ternak. Fakultas Perternakan. Universitas
Muhamdiyah Jambi. 23 Febuari 2008.

Sutari, N.W.S. 2010. Uji berbagi jenis pupuk cair biourine terhadap pertumbuhan
dan hasil tanaman sawi hijau (Brassica juncea L.). Agritrop : jurnal ilmu-
ilmu pertanian (Journal On agricultural Sciences).

Sutardi, T. 1997. Ikhtisar ruminologi badan khusus peternakan sapi pera. Kayu
ambon, lembang. Diriktorat jendral peternakan. Lembang.

Suhastyo, A A, 2011. Studi Mikrobiologi dan Sifat Kimia Mikroorganisme Local


Yang Digunakan Pada BudidyaPadi Metode SRI ( System of Rice
intensification). Tesis.pascasarjana. Institut pertanian Bogor.

Sirait, M. 2007. Penuntun Fitokimia Dalam Farmasi. ITB. Bandung

Tavendale, M.H., L.P. Meagher, D. Pacheco, N. Walker, G.T. Attwood & S.


Sivakumaran. 2005. Methane production from in vitro rumen
incubation with Lotus pedunculatus and Medicago sativa, and
effects of extractable condensed tannin fractions on
methanogenesis. Anim. Feed Sci. Technol. 123/124: 403-419.

Tilley, J. M. A & R. A. Terry. 1963. A two stage technique for the in vitro
digestion of forage. J. British Grassland Society. 18: 104-111.

Trinci, A,P,J., D.R. Davies., K. Gull., M.L. Lawrence., B.B. Nielsen., A. Rickers.
And M,K. Theodorou. 1994. Anaerobic fungi in herbivorous animals.

Van Soest, P. J. 1994. Nutrtional Ecology of the ruminant. 2nd. Ed. Comstock
publishing Associates A division of Cornell University Press, Ithaca.
39

Widodo, F . Wahyono & sutrisno. 2012 . Kecernaan Bahan Kering, Kecemaan


Bahan Organik Dan Degradabilitasi Serat Pada Yang Disuplementasi
Tanin Saponin “. Griper. Vol 14 (2).

Wina, E. 2005. Teknologi Pemanfaatan mikroorganisme dalam pakan untuk


meningkatkan produktivitas ternak ruminansia di indonesia: sebuah
ulasan . Jurnal Wartazoa

Widyobroto, B.P, S. P. S. Budhi dan Agus. 2007. Pengaruh aras undegraded


protien dan energi terhadap kinetik fermentasi rumen dan sintesis protien
mikrobia pada sapi perah. Jurnal pengembangan peternakan 32(3): 194-
200.

Zakariah M. A, Utomo R, Dan Bachurudin Z. Pengaruh Inkubasi Lactobacillus


Plantrum Dan Saccharomyces Cerevisie Terhadap Fermentasi Dan
Kecernaan In Vitro Silase Kulit Buah Kakao. Buletin Peternakan VoL 40
(2): 124-132, Juni 2016.

Anda mungkin juga menyukai