Anda di halaman 1dari 6

Manfaat kulit kakao untuk pakan ternak

admin September 9, 2015 Ilmu Teknologi Peternakan Leave a comment 2,212 Views

Kulit kakao adalah salah satu limbah industri yang dihasilkan oleh tanaman kakau. Tanaman
kakao yang dalam bahasa latin disebut dengan Theobroma cacao L, hampir 74% dari buah
kakao adalah kulit buah, dengan 2% plasenta, dan 24% biji.

Dari hasil analisa kimia atau yang biasa dengan analisa proksimat, kulit buah kakao
mengandung 22% protein, dan 3-9 % lemak. Ada juga dari hasil penelitian yang lain kulit
buah kakao mempunyai protein kasar (PK) 8%, bahan kering (BK) 88%, dan serat kasar (SK)
40,1 %., dan tingkat kecernaannya (TDN) sebesar 50,8%.

Dan pemakaian pada ternak ruminansia sekitar 30-40%. Dari hasil penelitian yang dicoba
pada ternak domba, pemakaian kulit buah kakao bisa digunakan untuk mengganti kosentrat
15% atau 5% dari ransum.

Sebaiknya sebelum digunakan sebagai pakan ternak, limbah kulit buah kakao agar dapat
difermentasikan terlebih dahulu agar kadar lignin yang sulit dicerna oleh ternak dapat turun,
dan sebaliknya untuk meningkatkan kadar protein dari kulit buah kakao yang semula sekitar
6-8% menjadi 12-15 %. Ketika peternak yang mencoba memberikan kulit buah kakao yang
telah diproses pada ternak sapi bisa meningkatkan berat badan sapi sebesar 0,9 Kg/Hari.

Cara Pengolahan Kulit Kakao Dengan Teknologi Fermentasi

Dengan cara fementasi, nilai gizi tambah kulit buat kakao bisa ditingkatkan, sehingga
memenuhi pakan kosentrat pada kambing, domba dan sapi. Salah satu fermentor yang dapat
digunakan adalah starbio ternak atau Aspergilus niger, dengan fermentasi manfaat yang
diperoleh antara lain:

Nilai protein dari kulit buah kakao akan meningkat


Menurunkan kandungan serat kasar
Menurunkan kandungan tenin (zat yang menghambat pencernaan)

Cara pengolahaan limbah kulit Kakao Tanpa Fermentasi

Kumpulkan limbah kulit kakao dari hasil panen, kemudian dicingcang. Selanjutnya dijemur
pada sinar matahari sampai kering, yang dapat kita lihat dengan cara mudah unuk dipatahkan
atau mudah hancur ketika diremas. Setelah kering ditumbuk dengan menggunakan lesung,
atau alat penumbuk lainnya, dan kemudian dilakukan pengayakan.

Untuk meningkatkan nilai gizi pakan ternak, maka tepung kulit buah kakao dapat dicampur
dengan bekatul dan jagung giling, masing 15%, 35%, dan 30%, yang artinya bahwa ransum
tersebut tediri atas 15% tepung kulit buah kakao, 35% bekatul, dan 30% jagung giling.

Cara penggunaan kulit buah kakao pada ternak.

Pada awal pemberian, biasanya ternak tidak langsung memakannya. Karena itu,
berikanlah pada saat ternak lapar dan bila perlu diambah sedikit garam, atau gula
untuk merangsang nafsu makan.
Tepung hasil fermentasi bisa langsung diberikan pada ternak, atau disimpan, agar
lebih awet dan **********, penyimpanan harus dalam bentuk wadah kering dan
bersih.
by Ayu Septi Anggraeni, MSi., MAgrSc
2016-02-22 22:33:00
publication-feed

Potensi Limbah Kulit Buah Kakao sebagai Pakan Silase untuk Kambing

Oleh: Ayu Septi Anggraeni

Indonesia tercatat sebagai negara ketiga terbesar di dunia untuk komoditas buah kakao setelah
Pantai Gading dan Ghana dengan luas areal tanam pada tahun 2008 adalah 1.473.258 ha, total
produksi 792.791 ton (Ditjentbun, 2014). Perbandingan antara kulit buah kakao: biji kakao:
plasenta segar masing-masing adalah 74% : 24% : 2% dari buah kakao (Puastuti dan Susana,
2014). Tahun 2013 luas lahan kakao tercatat 1.745.789 ha, dengan produksi biji kakao sebesar
938,8 ribu ton. Berdasarkan rasio biji dengan kulit buah kakao (KBK) maka diketahui potensi
bahan kering kulit buah kakao sebesar 872,3 ribu ton/tahun (Ditjentbun, 2014). Bila
dimanfaatkan sebagai sumber serat pengganti rumput (50% bahan kering dalam ransum)
maka dapat memenuhi kebutuhan untuk 635.305 satuan ternak (1 ST = 250 kg bobot hidup)
atau setara dengan 5.310.873 ekor ternak ruminansia kecil (Puastuti & Yulistiani 2011). Akan
tetapi masyarakat Indonesia masih banyak yang belum memanfaatkan kulit buah kakao
sebagai alternatif pakan, kulit buah kakao dibuang begitu saja, tanpa ada yang memanfaatkan.
Ditinjau dari segi kandungan nutrisinya kulit buah kakao dapat dijadikan sebagai pakan ternak
karena mengandung protein kasar 6,8-11,71%, serat kasar 20,79%, lemak 11,80%, BETN
34,90% NDS 55,30-73,90% dan ADS 38,31-58,98% (Puastuti dan Susana, 2014).

Dibalik potensi yang dimilik kulit buah kakao, terkandung senyawa antinutrisi dalam kulit
buah kakao antara lain lignin, tanin dan theobromine. Theobromin merupakan alkaloid tidak
berbahaya yang dapat dirusak dengan pemanasan atau pengeringan, tetapi pemberian pakan
yang mengandung theobromin secara terus menerus dapat menurunkan pertumbuhan (Tarka
et al., 1998). Kandungan lignin dan silika yang tinggi, juga menyebabkan rendahnya nilai
kecernaan (Oluokun 2005). Lignin tersusun atas jaringan polimer fenolik yang berfungsi
merekatkan serat selulosa dan hemiselulosa sehingga strukturnya menjadi sangat kuat (Aji et
al. 2013). Sedangkan keberadaan tanin dapat membentuk ikatan kompleks dengan protein dan
karbohidrat yang mengakibatkan aktivitas mikroba rumen dalam mendegradasi protein dan
karbohidrat menjadi berkurang sehingga menurunkan daya cerna (Puastuti dan Susana, 2014).
Kulit buah kakao tidak bisa disimpan dalam waktu yang lama karena kandungan airnya tinggi
sehingga mudah membusuk dan berjamur sehingga mengakibatkan kulit buah kakao tidak
palatabel bagi ternak (Puastuti et al. 2009; Puastuti & Yulistiani 2011). Oleh karena itu untuk
meminimalkan efek anti nutrisi dan memaksimalkan penggunaan kulit buah kakao serta
memperpanjang masa simpan maka perlu dilakukan pengolahan salah satunya dengan jalan
fermentasi.

Bahan makanan yang telah mengalami fermentasi mempunyai kandungan dan kualitas gizi
yang lebih baik dari bahan asalnya karena mikroba bersifat katabolik atau memecah
komponen- komponen komplek menjadi zatzat yang lebih sederhana sehingga lebih mudah
dicerna disamping itu mikroba dapat pula menghasilkan asam amino dan beberapa vitamin
seperti riboflavin, vitamin B12, provitamin A, dapat menghasilkan flavour yang lebih disukai
dan dapat mengurangi racun/anti nutrisi yang terdapat pada bahan (Carlile dan Watkinson,
1995). Upaya mempertinggi efektivitas ensilase bisa melalui pemberian aditif, asalkan
memenuhi persyaratan pembuatan silase yang baik. Fermentasi dapat menggunakan starter
mikroba dari kapang, bakteri dan jamur. Penggunaan kapang sebagai fermentor dalam proses
fermentasi kulit buah kakao seperti Aspergillus niger (Saili et al. 2010), Rhizopus oligosporus
dan Trichoderma reseei (Haryati & Sutikno 1994), Rhizopus stolonifer (Lateef et al. 2008),
Phanerochaete chrysosporium (Suparjo et al. 2011) ternyata dapat meningkatkan nilai nutrient
dan kecernaan serat kulit buah kakao. Hal ini terjadi karena kapang dapat memproduksi enzim
(selulase dan hemiselulase) yang memiliki aktivitas untuk menguraikan fraksi serat sehingga
dapat memutuskan ikatan lignin dengan selulosa maupun hemiselulosa. Fraksi selulosa dan
hemiselulosa dengan kerja enzim juga dapat terurai menjadi molekul karbohidrat sederhana
dan gula, kemudian diubah menjadi volatile fatty acid (VFA). Selain penambahan kapang,
penggunaan inokulum bakteri asam laktat merupakan salah satu cara pemberian aditif untuk
optimalisasi ensilase. Hal ini dapat terjadi apabila diimbangi dengan ketersediaan karbohidrat
mudah larut yang memadai (Ohshima, et al., 1997). Salah satu cara peningkatan jumlah
karbohidrat mudah larut pada bahan baku silase, dapat dilakukan melalui penambahan
molases 4% (Puastuti dan Susana, 2014).

Proses ensilase yaitu pengolahan pakan dengan teknik fermentasi pada prinsipnya mempunyai
tujuan untuk mengawetkan bahan pakan, hal ini sesuai dengan pendpat Krisnan et al., (2011)
yang menyatakan bahwa tujuan pembuatan silase adalah untuk preservasi dan konservasi.
Silase dapat dibuat dengan memanfaatkan limbah pertanian atau perkebunan sebagai bahan
penyusunnya. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk memanfaatkan limbah sebagai alternatif
pakan, sehingga diharapkan dapat menurunkan biaya pembelian pakan. Kulit buah kakao
sebagai salah satu limbah perkebunan yang berpotensi sebagai alternatif pakan untuk ternak
ruminansia (Puastuti dan Susana, 2014). Selain sebagai preservasi dan konservasi, perlakuan
fermentasi diharapkan dapat meningkatkan kandungan gizi dari bahan pakan.

Proses pembuatan silase pakan terdiri dari beberapa tahapan yaitu: 1) persiapan bahan, 2)
pencampuran sesuai formula/perlakuan, 3) pengemasan dan pemeraman/inkubasi (seperti
pada Gambar 3). Persiapan bahan pakan dilakukan dengan pencacahan rumput dengan ukuran
cacahan 1-3 cm. Pencacahan dilakukan menggunakan mesin pencacah rumput (chopper).
Sebelum dicacah, rumput dilayukan selama 24 jam untuk meningkatkan kadar bahan kering
rumput.
Gambar 1. Diagram alir pembuatan silase (Sofyan et al., 2011).

Penambahan inokulum 1% (v/b) pada campuran dan penambahan air disesuaikan dengan
kadar air bahan sehingga kadar air campuran sekitar 75%. Secara alami, di permukaan daun
rumput gajah sudah terdapat bakteri asam laktat yang dapat melakukan proses fermentasi.
Namun, pada daerah tertentu dengan tingkat kekeringan tinggi, kadar bakteri asam laktat di
permukaan daun rumput gajah rendah, sehingga perlu dilakukan penambahan inokulum
bakteri. Pemberian bahan tambahan selain hijauan harus dilakukan secara merata ke seluruh
hijauan yang akan diproses.

Contoh bakteri asam laktat yang biasanya terdapat dan bekerja pada proses silase diantaranya
adalah Streptococcus thermophillus, Streptococcus lactis, Lactobacillus lactis, Leuconostoc
mesenteroides. Selain bakteri pembentuk asam laktat, dalam bahan baku silase terdapat juga
bakteri Clostridia. Bakteri ini mengkonsumsi karbohidrat, protein dan asam laktat sebagai
sumber energi dan memproduksi asam butirat. Bakteri ini merugikan karena menguraikan
asam amino (menurunkan kandungan protein dan menghasilkan ammonia) sehingga
menyebabkan pembusukan silase. Keadaan yang mendukung pertumbuhan bakteri
Clostridia adalah tingginya kadar air, terlalu lamanya proses respirasi, kurangnya bakteri asam
laktat dan rendahnya karbohidrat. Inilah yang menyebabkan perlunya pelayuan bila kadar air
bahan lebih dari 75% dan bahan tambahan dalam pembuatan silase hijauan.

Bahan tambahan untuk pembuatan silase dibedakan menjadi 2 jenis yaitu stimulant dan
inhibitor. Bahan yang masuk kategori stimulant (bahan yang membantu pertumbuhan bakteri
asam laktat sehingga kondisi asam segera tercapai) adalah bahan pakan sumber karbohidrat
seperti molasses, onggok, dedak halus atau ampas sagu. Urea juga bisa ditambahkan untuk
meningkatkan kandungan protein silase berbahan baku jagung. Bahan stimulant lain yang
juga bisa dipakai adalah enzim atau mikrobia yang biasa dijual di pasaran.

Sedangkan bahan yang masuk kategori inhibitor (bahan yang menghambat pertumbuhan
mikroorganisme pembusuk seperti Clostridia sehingga pakan bisa awet) diantaranya asam
format, asam klorida, antibiotik, asam sulfat dan formalin. Penambahan inhibitor bermanfaat
untuk proses ensilase tetapi masih asing bagi petani kita. Bahan stimulant lebih mudah
didapatkan, harganya juga lebih murah dan lebih ramah lingkungan. Setelah semua bahan
tercampur homogen, campuran dikemas dalam kemasan plastik (5 kg/kemasan) dan
diinkubasi selama 21 hari.
FULL PDF

PUSTAKA

1. Anonimus. 1981. Pedoman Pengendalian Penyakit Hewan Menular. Direktorat Jenderal


Peternakan. Departemen Pertanian. Jakarta.
2. Church, D.C., 1991. Livestock Feeds and Feeding. Prentice-Hall International, Inc., New
Jersey, USA.
3. Crowder, L.V.C. and H.R. Cheeda. 1982. Tropical Grassland Husbandry. Longhman, New York.
4. Parakkasi, A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminansia, UI-Press, Jakarta.
5. Lasley, J.F. 1983. Beef Cattle Production, Prentice Hall, New Jersey, USA.
6. Sofyan, A., H. Herdian, A. Febrisiantosa dan H. Julendra. 2007. Palatabilitas silase pakan
komplit dengan penambahan semi-aerobic inoculant. Prosiding Seminar Nasional Asosiasi
Ahli Nutrisi dan Pakan Indonesia (AINI), Fakultas Peternakan-UGM, Yogyakarta, 26-27 Juli
2007. Hal. 416-421.
7. Nista, D., Hesty N., dan A. Taufik. 2007. Teknologi Pengolahan Pakan. Balai Pembibitan
Ternak Unggul Sapi Dwiguna dan Ayam Sembawa. Direktorat Jenderal Bina Produksi
Peternakan. Departemen Pertanian, Palembang.
8. Sofyan, A. 2010. Peuyeum Jerami Komplit. Pakan Refill yang Ramah Lingkungan. Infovet Edisi
195. Hal. 64-65.
9. Sofyan, A., H. Julendra, H. Herdian, A.E. Suryani, dan M.F. Karimy. 2012. Teknik Pembuatan
Silase dan Manajemen Kesehatan Ternak. Modul Pelatihan. Yogyakarta: UPT BPPTK LIPI.
10. Sofyan, A., H. Herdian, A. Febrisiantosa, dan H. Julendra. 2007. Palatabilitas Silase Pakan
Komplit dengan Penambahan Semi Aerobic Inoculant.Prosiding Seminar Nasional Asosiasi
Ahli Nutrisi dan Pakan Indonesia (AINI) VI Kearifan Lokal dalam Penyediaan serta
Pengembangan Pakan dan Ternak di Era Globalisasi. UGM-Yogyakarta, 26-27 Juli 2007. Hal
416-421.

Anda mungkin juga menyukai