Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN PRAKTIKUM

MIKROBIOLOGI PETERNAKAN

“Teknologi Fermentasi”

Oleh :
Nama : Daniel Akhdan Izdihar
NIM : D1A020108
Kelompok : 2C
Asisten : Sefi Nurdianti

LABORATORIUM ILMU NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK


FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDRIMAN
PURWOKERTO
2021
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pakan adalah salah satu faktor yang sangat menentukan di dalam usaha budidaya
ternak, disamping mutu bibit dan tata laksana. Keberhasilan pengembangan berbagai
sektor (industri, perumahan, perkebunan dan lain-lain), mengakibatkan terjadinya
pengurangan lahan pertanian dan sumber hijauan pakan ternak. Melihat kondisi tersebut,
maka salah satu pilihan untuk meningkatkan produktivitas ternak adalah memanfaatkan
berbagai limbah tanaman pangan.
Permasalahan pakan yang ada dipeternakan Indonesia adalah ketersediaan
hijauan yang fluktuatif. Hijauan pada musim kemarau akan menjadi terbatas
ketersediaannya begitu pula sebaliknya. Hal tersebut mendorong para peternak untuk
memanfaatkan pakan alternatif demi memenuhi kebutuhan pakan pada ternak yang
dipeliharanya. Pakan alternatif dapat diperoleh dari limbah pertanian, perkebunan
maupun agroindustri. Umumnya, sebagian besar limbah limbah pertanian di Indonesia,
masih mengandung sumber energi yang cukup tinggi, namun kandungan nitrogennya
rendah. Adanya perlakuan fermentasi, bahan bahan tersebut berpotensi sebagai bahan
pakan ternak, khususnya ruminansia.
Fermentasi merupakan perombakan substrat organik melalui enzim yang
dihasilkan mikroorganisme untuk menghasilkan senyawa sederhana. Teknologi
fermentasi pakan dapat digunakan untuk penyimpanan pakan dalam waktu cukup lama.
Teknologi ini memanfaatkan bakteri asam laktat. Bakteri ini dalam kondisi anaerob akan
bekerja dan menghasilkan senyawa tertentu yang dapat menghambat pertumbuhan
bakteri pembusuk.
1.2 Tujuan
 Mengetahui cara pembuatan pakan fermentasi limbah agroindustri
 Mengetahui jenis dan mekanisme kerja mikroba yang digunakan dalam fermentasi
limbah agroindustry
1.3 Waktu dan Tempat
Acara praktikum mikrobiologi dilaksanakan pada hari Senin tanggal 5 April 2021
pukul 10.40 sampai dengan pukul 14.45 dan acara pengamatan dilaksanakan pada Hari
Minggu tanggal 11 April 2021 pukul 10.00 sampai dengan pukul 11.00. Acara praktikum
mikrobiologi dilaksanakan melalui Google Classrom dan Whatsapp Group.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Fermentasi merupakan suatu proses perubahan kimia pada suatu substrat organik
melalui aktivitas enzim yang dihasilkan oleh mikroorganisme (Suprihatin, 2010). Proses
fermentasi biasanya menggunakan bantuan mikroorganisme sehingga didapatkan hasil
yang lebih cepat dan lebih efisien. Mikroorganisme biasanya memiliki enzim yang
disekresikan sehingga mampu memutuskan ikatan glikosida dari glukosa dapat
difermentasi menjadi alkohol atau asam, dengan kata lain fermentasi merupakan suatu
proses untuk mengubah bahan baku menjadi produk oleh mikroba (Retno, dkk., 2011).
Prinsip dasar fermentasi adalah mengaktifkan aktivitas mikroba tertentu agar dapat
merubah sifat bahan sehingga dihasilkan produk fermentasi yang bermanfaat. Beberapa
faktor yang mempengaruhi fermentasi antara lain mikroorganisme, substrat (medium),
pH (keasaman), suhu, oksigen, dan aktivitas air (Afrianti, 2013).
Pemanfaatan limbah pertanian seperti kulit pisang dan kulit singkong merupakan
satu cara untuk mengurangi biaya pakan, hal ini di sebabkan hampir 60 ± 70% dari biaya
produksi dihabiskan untuk pakan (Lisnawati dan Suryani, 2016). Kulit pisang adalah
limbah dari industri pembuatan keripik pisang dan selai pisang. Kulit pisang sangat
potensial di gunakan sebagai sumber bahan pakan karena tersedia dalam jumlah yang
cukup dan mengandung zat gizi yang cukup baik. Kulit pisang memiliki kandungan Protein
Kasar 3,63%, Lemak Kasar 2,52%, Serat Kasar 18,17%, Calsium 7,8% dan Phospor 2,06%.
Kulit pisang mempunyai berat sekitar 25-40% dari berat buah pisang tergantung tingkat
kematangannya. Semakin matang pesentase berat maka berat kulit pisang makin
menurun. Kulit pisang terfermentasi mampu menggantikan rumput lapangan dalam
pakan lengkap sampai 40% dengan kecernaan bahan kering 74,58% dan kecernaan bahan
organik berkisar 72,63% (Astuti, 2015).
Kulit singkong juga dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Singkong selama ini
hanya dimanfaatkan bagian dagingnya, sedangkan kulit singkong dibuang atau sebagai
pakan ternak. Kulit singkong merupakan limbah kupasan dari hasil pengolahan tepung,
tape, gaplek dan panganan yang berbahan dasar dari kulit singkong. Kulit singkong dalam
17,45 gram bahan kering yaitu: protein 8,11 gram, serat kasar 15,20 gram, pektin 0,22
gram, lemak 1,29 gram, calcium 0,63 gram (Rukmana, 1997). Hasil penelitian (Turyoni,
2005 (dalam) Hersoelistyorini, 2010) bahwa kandungan karbohidrat kulit singkong kayu
segar blender adalah 4,55%, sehingga memungkinkan digunakan sebagai sumber energi
bagi mikroorganisme dalam proses fermentasi.
III. MATERI DAN CARA KERJA
3.1 Materi
3.1.1 Alat
1. Plastik laundry
2. Pisau
3. Talenan
4. Penampan Plastik
5. Timbangan Analitik
6. Erlenmmeyer
7. Karet Gelang
8. Lateks
3.1.2 Bahan
1. Substrat ( limbah agroindustri ) 250g
2. Molases 5%
3. Urea 0,5%
4. Inokulum Trichoderma 5 %
5. Inokulum Saccharomyces 5 %
3.2 Cara Kerja
1. Limbah agroindustri di potong hingga kecil berukuran 3-4 cm.

2. Diambil 250 gram cacahan kulit pisang dan kulit singkong diletakan dalam penampan
plastik.

3. Tambahkan molases sebanyak 5% dan tambahkan urea sebanyak 0,5% dari bobot
cacahan limbah agroindustri.

4. Disterilisasi dengan autoklaf pada suhu 121°C dan tekanan 1,5 atm selama 15 menit.

5. Dinginkan sampai suhu mencapai + 40° C, kemudian inokulum Trichoderma viridae


sebanyak 5 % (v/w) diinokulasikan pada limbah agroindustri.
6. Diinkubasi pada suhu 370C selama 3x24 jam, setelah itu tambahkan inokulum
Saccharomyces sp sebanyak 5%.

7. Inkubasi selama 2x24 jam, amati perubahan tekstur, warna dan bau.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil
4.1.1 Foto Hasil

Gambar

4.1.2 Tabel Hasil

Ciri Keberhasilan Aplikasi

Berbau khas fermentasi Ruminansia (20%) -> Max ransum

Tekstur remah Ayam (5%) -> Max ransum (tepung)

Tidak muncul organisme lain Itik (7%)-> Max ransum

4.1.3 Gambar Cara Kerja


4.2 Pembahasan
Faktor yang paling penting yang perlu diperhatikan dalam usaha ternak adalah
pakan. Akhadiarto (2011) menyatakan bahwa pakan adalah salah satu faktor yang sangat
menentukan didalam usaha budidaya ternak. Pakan yang sering diberikan pada ternak
adalah ransum. Penyusunan ransum ternak seperti jagung, dedak padi dan tepung ikan
sering dimanfaatkan, namun pemanfaatannya bahan penyusun ransum ini bersaing
dengan kebutuhan manusia dan ternak lain. Seringkali dianjurkan menggunakan sisa-sisa
hasil ikutan pertanian, sisa pabrik atau pengolahan lain yang tidak langsung digunakan
sebagai bahan makanan alternatif, yang masih bernilai gizi yang baik.
Bahan pakan alternatif yang dapat dimanfaatkan yaitu kulit pisang. Menurut
Jayanti dkk (2013) menyatakan bahwa kulit pisang memiliki kandungan gizi yang cukup
banyak seperti karbohidrat, protein, vitamin B kompleks diantaranya vitamin B6, minyak
nabati, serat, serotin. Selain itu, kulit pisang mempunyai aktivitas sebagai antioksidan.
Kulit pisang juga memiliki kandungan nutrisi yaitu protein kasar 3,63%, lemak kasar
2,52%, serat kasar 18,71%, kalsium 7,18%, phospor 2,06 (Koni, et al., 2013). Salah satu
inokulum yang digunakan dalam proses fermentasi adalah jamur Rhyzopus oligosporus.
Menurut Agustono dkk. (2011), Rhyzopus oligosporus digunakan sebagai upaya
peningkatan nutrisi kulit pisang khususnya untuk meningkatkan kandungan protein kasar
dan menurunkan kandungan serat kasar. Udjianto, et al. (2005) melaporkan bahwa
peningkatan protein kulit pisang yang difermentasi dengan probiotik sebesar 12,7%.
Sebelum fermentasi protein kasar 6,56% meningkat menjadi 14,88% setelah difermentasi.
Singkong (Manihot esculenta Crantz) merupakan makanan pokok ketiga setelah
padi dan jagung bagi masyarakat Indonesia. Data BPS tahun 2008 menyatakan bahwa
pada tahun 1995 produksi singkong Indonesia mencapai 15,44 juta ton. Produksi singkong
ini meningkat menjadi 19,98 juta ton pada tahun 2007. Menurut Suyanto et al,. (2012)
menyatakan dari total produksi singkong akan dihasilkan lebih kurang 16% limbah kulit
singkong. Jumlah limbah kulit singkong yang cukup besar ini berpotensi untuk diolah
menjadi pakan ternak, hanya saja perlu pengolahan yang tepat agar racun sianida yang
terkandung dalam kulit singkong tidak meracuni ternak yang mengkonsumsinya.
Proses pengolahan merupakan salah satu yang dapat menurunkan kandungan
sianida dalam kulit singkong adalah proses fermentasi. Berdasarkan penelitian Busairi dan
Wikanastri (2009) diketahui bahwa proses fermentasi dapat menurunkan kandungan
sianida dalam kulit singkong dari 0,024% menjadi 0,009% setelah proses fermentasi
selama lima hari. Sedangkan penelitian Hersoelistyorini dan Abdullah (2010) menyatakan
bahwa proses fermentasi menggunakan inokulum ragi tape dapat meningkatkan
kandungan protein kulit singkong dari 10,03% menjadi 20,91% pada fermentsi hari ke
lima. Dengan demikian, selain dapat menurunkan kadar sianida dalam kulit singkong,
proses fermentasi juga dapat meningkatkan kandungan protein bahan.
Perlakuan tidak berpengaruh terhadap bahan kering ransum karna konsumsi
ransum sama dan bahan kering ransum hampir sama serta kandungan energi ransum yag
hampir sama untuk semua perlakuan. Hal ini sesuai dengan pendapat Usman, et al.,
(2013), yang mengemukakan bahwa konsumsi bahan kering dipengarui oleh jumlah
konsumsi ransum dan kandungan energi ransum. Semakin tinggi tingkat konsumsi ransum
berarti semakin cepat pula laju perjalanan bahan makanan dalam saluran pencernaan.
V. PENUTUP
5.1 Kesimpulan
 Ciri keberhasilan dari suatu fermentasi adalah
1. Berbau khas fermentasi
2. Tekstur remah
3. Tidak muncul organisme lain
 Pengaplikasian
1. Ruminansia 20% Max ransum
2. Ayam (5%) -> Max ransum (tepung)
3. Itik (7%)-> Max ransum
5.2 Saran
 Acara sudah berjalan dengan sangat baik
 Kak sefi baik bangetttt
DAFTAR PUSTAKA
Afrianti, H. 2013. Teknologi Pengawetan Pangan. Alfabeta, Bandung.
Akhadiarto S. 2011. Pemanfaatan Limbah Kulit Singkong, Kulit Pisang dan Kulit Kentang
Sebagai Bahan Pakan Ternak Melalui Teknik Fermentasi. Jurnal Teknologi
Lingkungan 10(3): 257-263.
Agustono A, Herviana W, Nurhajati T. 2011. Kandungan Protein Kasar dan Serat Kasar
Kulit Pisang Kepok (Musaparadisiaca), yang Difermentasi dengan
Trichodermaviride Sebagai Bahan Pakan Alternatif pada Formulasi Pakan Ikan Mas
(Cyprinuscarpio). Jurnal Kelautan, 4 (1): 53-59.
Busairi, AM. dan Wikanastri H., 2009, Pengkayaan Protein Kulit Umbi Ubi Kayu melalui Proses
Fermentasi : Optimasi Nutrien Substrat MenggunakanResponse Surface Methodology.
Prosiding.
Hersoelistyorini, W. dan Abdullah, MB. 2010. Biokonversi Limbah Kulit Singkong Menjadi pakan
Ternak Berprotein Tinggi. Prosiding.
Jayanti H. D., Mukhamad F. S., Mada K. S., dan Alfus C. F. U. 2013. Penerapan
PROSE(Produksi Sehat) Pada Industri RumahTangga Kripik Kulit Pisang di Gesing
Kandangan Temanggung. Laporan PKM Pengabdian Masyarakat. Akademi
Keperawatan Kesdam IV/Diponegoro, Semarang.
Koni T. N. I., Bale-Therik J., Rihi Kale. 2013. Pemanfaatan Kulit Pisang Hasil Fermentasi
Rhyzopus oligosporus dalam Ransum terhadap Pertumbuhan Ayam Pedaging.
Jurnal Veteriner, 14 (3): 365- 370.
Lisnawati, dan Suryani. 2016. LAMA FERMENTASI KULIT PISANG DAN KULIT UBI KAYU
DENGAN Rhizopus oligosporus TERHADAP KANDUNGAN PROTEIN KASAR, LEMAK
KASAR, DAN SERAT KASAR. Jurnal Ilmiah Peternakan, 4(2) : 31-35.
Retno, D. T., Nuri, W. (2011), Pembuatan Bioetanol dari Kulit Pisang, Prosiding Seminar
Nasional Teknik Kimia, Jurusan Teknik Kimia FTI UPN”Veteran” Yogyakarta,
Yogyakarta.
Rukmana R. 1997. Ubi Kayu Budi daya dan Paska Panen. Kanisius, Yogyakarta.
Suprihatin. 2010. Teknologi Fermentasi. UNESA University Press, Surabaya.
Suyanto, Agus Wikanastri H, Cahya S. U. 2012. APLIKASI PROSES FERMENTASI KULIT
SINGKONG MENGGUNAKAN STARTER ASAL LIMBAH KUBIS DAN SAWI PADA
PEMBUATAN PAKAN TERNAK BERPOTENSI PROBIOTIK. Jurnal Seminar Hasil-Hasil
Penelitian, 9(6) : 281-288.
Triyono, Agus. 2010. Pengaruh Konsentrasi Ragi Terhadap Karakteristik Sari Buah dari
Beberapa Varietas Pisang (Musa paradisiaca L). Prosiding Seminar Nasional Teknik
Kimia “Kejuangan”, Yogyakarta.
Udjianto A, Rostiati E, dan Purnama DR. 2005. Pengaruh Pemberian Limbah Kulit Pisang
Fermentasi Terhadap Pertumbuhan Ayam Pedaging Analisis Usaha. Pusat
Penelitian Dan Pengembangan Peternakan, Bogor.
Usman Y, Sari EM, Fadilla N. 2013 Evaluasi Pertambahan Bobot Badan Sapi Aceh Jantan
yang Diberi Imbangan Antara Hijauan dan Konsentrat di Balai Pembibitan Ternak
Unggul Indrapuri. Jurnal Agripet 13(2): 41-46.
LAPORAN PRAKTIKUM
MIKROBIOLOGI PETERNAKAN

“Bioaktivator”

Oleh :
Nama : Daniel Akhdan Izdihar
NIM : D1A020108
Kelompok : 2C
Asisten : Sefi Nurdianti

LABORATORIUM ILMU NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK


FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDRIMAN
PURWOKERTO
2021
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sampah memang telah menjadi sesuatu yang mempunyai dua sisi bagi kita, yakni
baik dan buruk, namun dari dua sisi tersebut, sisi buruk dari sampahlah yang paling
dominan. Sumber sampah terbesar adalah dari kegiatan manusia sehari-hari. Sisi baik dari
sampah biasanya kita dapatkan setelah sampah tersebut diolah kembali. Contoh
nyatanya adalah pupuk dari sampah organik.
Pupuk organik merupakan pupuk yang berasal dari berbagai bahan pembuat
pupuk alami seperti kotoran hewan, bagian tubuh hewan, tumbuhan, yang kaya akan
mineral serta baik untuk pemanfaatan penyuburan tanah. Berdasarkan bentuknya,
pupuk organik dibedakan menjadi dua, yaitu cair dan padat. Pupuk cair adalah
larutan yang mengandung satu atau lebih pembawa unsur yang dibutuhkan tanaman
yang mudah larut.
Bahan pupuk organik lain yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas
tanah dan meningkatkan pertumbuhan tanaman yaitu serasah daun ketapang.
Masyarakat menganggap serasah daun ketapang hanya sebagai limbah. Sehingga tidak
termanfaatkan dengan baik. Proses fermentasi membutuhkan waktu yang cukup lama.
Untuk mempercepat proses fermentasi pupuk organik cair, maka perlu adanya
penambahan bioaktivator yaitu bahan yang mengandung mikroorganisme efektif yang
secara aktif dapat membantu mendekomposisi dan memfermentasi bahan organik.
Bioaktivator yang sering digunakan salah satunya yaitu EM4 (Effective Microorganism).
Kekurangan dari EM4 ini yaitu harganya yang mahal, sehingga banyak para petani yang
tidak mampu membelinya. Proses pembuatan pupuk organik cair akan menggunakan akar
bambu sebagai bioaktivator.
1.2 Tujuan
 Membuat bioaktivator dari limbah buah-buahan dan akar bambu
 Mengamati pertumbuhan mikroba yang terdapat dalam bioaktivator
1.3 Waktu dan Tempat
Acara praktikum mikrobiologi dilaksanakan pada hari Senin tanggal 5 April 2021
pukul 10.40 sampai dengan pukul 14.45 dan acara pengamatan dilaksanakan pada Hari
Minggu tanggal 11 April 2021 pukul 10.00 sampai dengan pukul 11.00. Acara praktikum
mikrobiologi dilaksanakan melalui Google Classrom dan Whatsapp Group.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Menurut Indriani (2011) pengomposan adalah suatu proses dekomposisi yang
dilakukan oleh agen dekomposer (bakteria, actinomycetes, fungi, dan organisme tanah)
terhadap buangan organik yang biodegradable. Komposisi bahan untuk dikomposkan
memiliki nisbah C/N sekitar 30, sedangkan kompos matang memiliki nisbah C/N < 20.
Bahan organik yang memiliki nisbah C/N jauh lebih tinggi di atas 30 akan terombak dalam
waktu yang lama, sebaliknya jika nisbah terlalu rendah akan terjadi kehilangan Nitrogen
karena menguap selama proses perombakan berlangsung. Proses pengomposan alamiah
memakan waktu lama, kurang lebih enam hingga dua belas bulan, tergantung komposisi
bahan. Untuk mempercepat proses degradasi, saat ini telah banyak dikembangkan
bioaktivator yang dipasarkan dalam berbagai merk komersial. Kompos yang dihasilkan
dengan menggunakan teknologi mikrobia efektif akan mempercepat proses pematangan
kompos, sehingga pembuatan kompos dapat berlangsung lebih singkat dibanding cara
konvensional.
Mikroba efektif atau yang dikenal sebagai bioaktivator adalah agen pengaktivasi
berupa jasad renik yang bekerja dalam proses perubahan fisiko-kimia bahan organik
tersebut menjadi molekul molekul berukuran lebih kecil. Bioaktivator merupakan larutan
yang mengandung berbagai macam mikroorganisme. Pengomposan adalah dekomposisi
dengan menggunakan aktivitas mikroba; oleh karena itu kecepatan dekomposisi dan
kualitas kompos tergantung pada keadaan dan jenis mikroba yang aktif selama proses
pengomposan. Kondisi optimum bagi aktivitas mikroba perlu diperhatikan selama proses
pengomposan, misalnya aerasi, kelembaban, media tumbuh dan sumber makanan bagi
mikroba. Bioaktivator selain meningkatkan kecepatan dekomposisi, meningkatkan
penguraian materi organik, juga dapat meningkatkan kualitas produk akhir
(Widyaningrum dan Deasy, 2016).
Mikroorganisme lokal (MOL) dapat tumbuh di setiap bahan organik yang
mengandung nutrisi dengan kadar air cukup. Larutan MOL merupakan larutan hasil
fermentasi dengan bahan baku berbagai sumber daya limbah organik, antara lain bonggol
pisang, keong mas, urine, limbah sayuran dan buah-buahan. Bahan bahan tersebut
merupakan media yang disukai mikroorganisme untuk berkembang biak. Pada media
tumbuh yang berbeda, maka mikroorganisme yang tumbuh dan kandungan unsur
haranya juga bervariasi (Handayani et al, 2015).
III. MATERI DAN CARA KERJA
3.1 Materi

3.1.1 Alat bioaktivator asal buah

 Botol plastik
 Saringan
 Gelas ukur
 Corong plastik
3.1.2 Alat bioaktivator asal PGPR

 Botol plastik
 Saringan
 Corong plastik
 Gelas ukur
 Pipet dan filler
3.1.3 Bahan

 Belimbing
 Larutan gula jawa
 Air kelapa
 Akar bambu (5-10%)
 Larutan gula jawa (5-10%)
 Air kelapa (1%)
 Urea (1%)
 Air matang ±40oC

3.2 Cara kerja

 Bioaktivator asal buah

1. Buah-buahan tidak layak konsumsi (belimbing). Buah-buahan yang dipilih


sebaiknya bersifat asam dan tidak layak konsumsi karena menandakan adanya
BAL pada buah-buahan yang dalam kondisi demikian.
2. Kupas dan peras buah, disaring diambil airnya 100 ml tampung di becker glass.

3. Campurkan air perasan buah-buahan, air gula dan air kelapa dengan
perbandingan 1:1:1.

4. Masukan ke dalam botol, inkubasi selama 7 x 24 jam.

5. Setiap hari buang gas yang timbul. Gas muncul dari aktivitas mikroba dalam
melakukan metabolisme, semakin hari gas yang dihasilkan semakin banyak.

6. Amati warna, aroma, gas dan gelembung.

 Bioaktivator PGPR

1. Masukkan akar bambu ke dalam botol plastik sebanyak 5-10% dari air.

2. Tambahkan urea sebanyak 1%, air kelapa 1%, dan larutan gula jawa 5-10% dari
jumlah air ke dalam botol plastik.

3. Air matang ±40oC dimasukkan ke dalam botol plastik sesuai kebutuhan (300 ml).

4. Inkubasi selama 7 x 24 jam.

5. Setiap hari buang gas yang timbul. Gas muncul dari aktivitas mikroba dalam
melakukan
metabolisme, semakin hari gas yang dihasilkan semakin banyak.

6. Amati warna, gas dan gelembung.


IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
4.1.1 Gambar Hasil

Gambar
4.1.2 Tabel Hasil

Ciri ciri keberhasilan Ciri ciri kegagalan

Berbau khas fermentasi Tidak berbau khas fermentasi

Berubah warna dari kuning menjadi Berwarna gelap


kecoklatan

Adanya endapan Tidak ada endapan

Terbentuknya gas Tidak terbentuk gas

4.1.3 Gambar Cara Kerja


4.2 Pembahasan
Bioaktivator mengandung berbagai nutrisi yang berfungsi dalam membantu
proses kerja bioaktivator. Nutrient yang terdapat pada bioaktivator, antara lain nitrogen
(N), karbon (C), dan fosfor (F). Nitrogen berguna untuk melakukan sintesa protein
sehingga dapat membantu pertumbuhan tanaman. Karbon dapat membantu
pertumbuhan akar, bunga, dan kematangan buah. Fosfor berfungsi untuk meningkatkan
ketahanan tanaman terhadap hama dan penyakit. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan
Firmansyah, dkk (2014) yang menyatakan bahwa pertumbuhan tanaman membutuhkan
zat-zat nutrisi yang cukup untuk membantu proses pertumbuahnnya agar menjadi lebih
cepat , seperti C (karbon), N (nitrogen), dan P (fosfor). Fosfor dibutuhkan dalam
pertumbuhan tanaman untuk menjaga tanaman agar tidak mudah layu, nitrogen
bekerjasama dengan fosfor dan karbon dalam meningkatkan tingkat pertumbuhan
tanaman, serta karbon yang berfungsi untuk membantu meningkatkan energi pada
pertumbuhan tanaman.
Belimbing yang telah busuk menjadi media yang baik bagi pertumbuhan
mikroorganisme pengurai. Handayani et al (2015) menyatakan bahwa pada media
tumbuh yang berbeda, maka mikroorganisme yang tumbuh dan kandungan unsur
haranya juga bervariasi. Larutan MOL limbah belimbing dapat berperan sebagai
bioaktivator seperti halnya EM4. Apabila MOL dari limbah belimbing dapat dimanfaatkan
sebagai bioaktivator pada proses pengomposan, maka selain dapat mempercepat proses
pengomposan, MOL limbah belimbing dapat diproduksi sendiri sehingga dapat
menghemat biaya.
Variabel yang diamati adalah fluktuasi suhu, kelembaban dan pH harian;
parameter fisik kompos (warna, bau, tekstur); penyusutan volume kompos; kemudian
diayak dan diambil sampel untuk pengamatan fisik (warna, bau, dan tekstur) dan
pengamatan kimia (ph, kadar air, COrganik, N-Total, C/N rasio, P2O5, dan K2O). serta
parameter kimia kompos (kadar air, pH, C/N rasio, P2O5 dan K2O). Parameter fisik
diperoleh berdasarkan penilaian responden berupa skor, dikonversikan kedalam kriteria
kualitatif, sedangkan parameter kimia kompos diperoleh melalui analisis laboratorium.
Fluktuasi suhu, kelembaban dan pH harian disajikan dalam bentuk grafik dan dianalisis
secara deskriptif. Suhu mempengaruhi jenis mikrorganisme yang hidup di dalam media.
Suhu optimal dalam proses pengomposan menurut Indriani (2011) adalah antara 30 –
50C.
Pembuatan bioaktivator PGPR (Plant Growth Promoting Rhizobakter) dapat dibuat
dengan menggunakan akar bambu sebagai sumber rhizobakter sekitar 10% dari air.
Larutan gula jawa digunakan sebagai sumber energi dan air kelapa sebagai sumber
mineral serta urea sebagai sumber nitrogen. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan
Rahimah, (2018) yang menyatakan bahwa akar pohon bambu digunakan sebagai sumber
rhizobakter, selain akar bambu dapat juga digunakan akar puti malu dan akar kacang
tanah. Cara pertamanya adalah dengan memasukkan akar bambu kemudian ditambahkan
urea, larutan gula, air kelapa dan air. Larutan tersebut diinkubasi selama 7x24 jam di
tempat yang tertutup.

V. PENUTUP
5.1 Kesimpulan
 Ciri ciri keberhasilan
1. Berbau khas fermentasi
2. Berubah warna dari kuning menjadi kecoklatan
3. Adanya endapan
4. Terbentuknya gas
 Ciri ciri kegagalan
1. Tidak berbau khas fermentasi
2. Berwarna gelap
3. Tidak ada endapan
4. Tidak terbentuk gas
5.2 Saran
 Acara sudah berjalan dengan sangat baik
 Kak sefi baik banget, asisten paling the best, gaada obat. Mantep pokoknya

DAFTAR PUSTAKA
Firmansyah, I., Syakir, M., & Lukman, L. 2017. Pengaruh Kombinasi Dosis Pupuk N, P, dan
K Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Terung (Solanum melongena L.).
Jurnal Tanah Dan Iklim Indonesia, 27(1) : 69–78.
Handayani, S. H., A. Yunus., & A. Susilowati. (2015). Uji kualitas pupuk organik cair dari
berbagai macam mikroorganisme lokal (MOL). Jurnal El-Vivo.3(1): 54-60.
Indriani, Y. H. (2011). Membuat Kompos Secara Kilat. PT. Penebar Swadaya, Jakarta.
Rahimah, D. S. 2018. Berkebun Organik Buah & Sayur. Penebar Swadaya, Jakarta.
Widyaningrum, P., dan Deasy A. W. 2016. PENGGUNAAN EM4 DAN MOL LIMBAH TOMAT
SEBAGAI BIOAKTIVATOR PADA PEMBUATAN KOMPOS. Jurnal Life Science, 5(1) :
18-24.

Anda mungkin juga menyukai