Anda di halaman 1dari 11

Laporan Praktikum 2 Hari, tanggal : Rabu, 16 September 2020

Industri Pakan
Nama Dosen : Prof. Dr. Ir. Yuli Retnani,
M.Sc
Nama Asisten : Nisa Nurmilati Barkah,
S.Pt, M.Si

HASIL PEROLEHAN BAHAN – BAHAN PAKAN

Yayang Ila Yulianti


NIM : D24180030
Praktikum : P2

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN


FAKULTAS PETENAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2020
PEMBAHASAN

1. Hasil samping pengolahan jagung (CGM, CGF, DDGS)

Pengolahan jagung untuk industri, pangan maupun pati, memberikanhasil samping


yang umumnya digunakan untuk pakan. Penggilingan jagungsecara tradisional untuk
menghasilkan “beras jagung” menghasilkan empokyang banyak dijual untuk pakan.
Penggilingan jagung secara modern mem-berikan hasil samping berupa homini yang dapat
dimanfaatkan sebaga pakan. Penggilingan jagung secara basah (wet milling) untuk
menghasilkanpati jagung akan mengeluarkan berbagai hasil samping berupa corn glutenmeal,
corn gluten feed, corn germ meal, dan sebagainya yang umumnyadimanfaatkan untuk pakan.
Pemanfaatan jagung terus berkembang dan diAmerika Serikat akhir-akhir ini jagung
dimanfaatkan untuk etanol dan hasilsampingnya berupa distillers driedgrains and solubles
(DDGS) dipromosikandi Asia untuk bahan baku pakan.

Limbah tanaman jagung juga dapat dimanfaatkan untuk pakan, tetapihanya untuk
ternak ruminansia karena tingginya kandungan serat. Jeramijagung merupakan bahan pakan
penting untuk sapi pada saat rumput sulitdiperoleh, terutama pada musim kemarau. Jerami
jagung yang diawetkandengan pengeringan matahari menghasilkan hay dan disimpan oleh
petaniuntuk persediaan pakan sapi pada musim kemarau. Dengan berkembang-nya usaha
penggemukan sapi impor atau berkembangnya industri sapiperah, seluruh tanaman jagung
dapat dimanfaatkan sebagai pakan. Jagungditanam secara khusus untuk menggantikan
rumput. Tanaman jagung padaumur tertentu, terutama ketika bulir mulai tumbuh, mempunyai
nilai giziyang tinggi untuk sapi.

Dilihat dari formula yang didasarkan atas harga bahan baku saat ini,maka jagung
memberikan kontribusi yang paling tinggi dalam ransum ayam(lebih dari 55%) dan diikuti
oleh bungkil kedelai (sekitar 23%) serta bahan-bahan lainnya berupa hasil samping industri
pertanian terutama dedak padidan sumber protein selain bungkil kedela. Apabila saat ini
produksi pakan di Indonesia mencapai 7 juta ton makadiperlukan jagung sebanyak 3,85 juta
ton dan protein nabati (bungkil kedelai)1,75 juta ton. Peningkatan kebutuhan bahan baku
ditentukan tidak hanyaoleh tingkat produksi pakan, tetapi juga oleh perubahan formula.
Apabilaharga suatu bahan baku relatif meningkat terhadap bahan baku lain,
makapenggunaannya akan menurun. Sebagai contoh, penggunaan dedak rata-rata lebih dari
10% dalam ransum, tetapi peningkatan harga dedak relatifterhadap bahan baku lain yang
mengakibatkan penggunaannya lebihrendah dalam ransum (Tangentjatja).

2. Hasil samping pengolahan sawit (CPO, bungkil inti sawit)

Bahan pakan yang umum digunakan dalam formulasi ransum unggas secara komersial
di Indonesia yaitu jagung, dedak, bungkil kedelai, tepung daging dan tulang (MBM), tepung
ikan, corn gluten meal, produk samping bioetanol (DDGS), tepung kapur, minyak sawit
(CPO), bungkil kelapa, asam amino DL-metionin, asam amino L-lisin, campuran vitamin,
campuran mineral mikro, dikalsium fosfat, garam, dan imbuhan pakan. Dari bahan tersebut,
jagung, tepung ikan, kalsium fosfat, dan asam amino sebagian masih diimpor. Bungkil
kedelai, tepung daging dan tulang, corn gluten meal, dan produk samping bioetanol
semuanya masih diimpor.

Salah satu cara untuk mengurangi ketergantungan pada bahan pakan impor adalah
dengan menggunakan bahan pakan yang jumlahnya melimpah di dalam negeri, seperti hasil
samping industri sawit, yaitu bungkil inti sawit, lumpur sawit atau solid decanter, dan solid
heavy phase (SHP). Bungkil inti sawit merupakan sisa padatan setelah pemerasan inti sawit
untuk mendapatkan minyak inti sawit. Lumpur sawit merupakan limbah dari proses
pemerasan buah sawit untuk menghasilkan minyak sawit kasar atau crude palm oil (CPO),
yang diperoleh dengan cara mensentrifusi limbah cair dengan menggunakan alat yang disebut
decanter. SHP adalah padatan dari limbah cair setelah pengutipan lumpur sawit. Ketiga
bahan tersebut dapat digunakan sebagai bahan pakan untuk unggas, meskipun belum lazim.

Bungkil inti sawit merupakan hasil samping dari pemerasan daging buah inti sawit
atau palm kernel. Proses pemerasan minyak secara mekanis menyebabkan jumlah minyak
yang tertinggal masih cukup banyak (sekitar 9,6%). Hal ini menyebabkan bungkil inti sawit
cepat tengik akibat oksidasi lemak yang masih cukup tinggi tersebut. Bungkil inti sawit
biasanya terkontaminasi dengan pecahan cangkang sawit dengan jumlah 9,1-22,8%. Pecahan
cangkang mempunyai tekstur yang keras dan tajam. Hal ini menyebabkan bahan ini kurang
disukai ternak (kurang palatable) dan dikhawatirkan dapat merusak dinding Bungkil inti
sawit dapat digunakan untuk pakan ternak sebagai sumber energi atau protein. Namun,
penggunaannya untuk pakan unggas terbatas karena tingginya kadar serat kasar (21,7%),
termasuk hemiselulosa (mannan dan galaktomanan), serta rendahnya kadar dan kecernaan
asam amino. Batas penggunaan bungkil inti sawit dalam campuran pakan unggas bervariasi,
yaitu antara 5-10% pada ransum ayam broiler dan bisa digunakan hingga 20-25% dalam
ransum ayam petelur saluran pencernaan ternak muda (Sinurat 2012).

3. Bungkil kedelai

Bungkil kedelai merupakan hasil ikutan atau bahan yang tersisa setelah kedelai
diolah dan diambil minyaknya. Bungkil kedelai merupakan surnber protein yang baik bagi
ternak. Kandungan protein bungkil kedelai sekitar 44-51% dan merupakan sumber protein
yang amat bagus sebab keseimbangan asam amino yang terkandung didalamnya cukup
lengkap dan tinggi. Asam amino yang tidak terkandung dalam protein bungki kedelai adalah
metionin dan sistein, yaitu asam amino yang biasanya ditambahkan pada pakan campuran
jagung-kedelai. Tetapi bungkil kedelai memiliki kandungan lisin dan triptofan yang tinggi
sehingga dapat melengkapi defisiensi pada protein jagung dan memberikan kebutuhan asam
amino esensial bagi temak.
1. Bungkil Kedelai Untuk Pakan Ternak Non Ruminansia.
Bungkil kedelai merupakan limbah dari produksi minyak kedelai. Sebagai bahan
makanan sumber protein asal tumbuhan, bungkil ini mempunyai kandungan protein yang
berbeda sesuai kualitas kacang kedelai. Kisaran kandungan protein bungkil kedelai mencapai
44-51%. Hal ini selain oleh kualitas kacang kedelai juga macam proses pengambilan
minyaknya. Pada dasarnya bungkil kedelai dikenal sebagai sumber protein dan energi.
Sekitar 50% protein untuk pakan unggas berasal dari bungkil kedelai dan
pemakaiannya untuk pakan ayam pedaging berkisar antara 15-30%, sedangkan untuk pakan
ayam petelur 10-25% (Wina, 1999). Kandungan protein bungkil kedelai mencapai 43-48%.
Bungkil kedelai juga mengandung zat antinutrisi seperti tripsin inhibitor yang dapat
mengganggu pertumbuhan unggas, namun zat antinutrisi tersebut akan rusak oleh pemanasan
sehingga aman untuk digunakan sebagai pakan unggas. Bungkil kedelai dibuat melalui
beberapa tahapan seperti pengambilan lemak, pemanasan, dan penggilingan. Bungkil kedelai
yang baik mengandung air tidak lebih dari 12% .

Kandungan Nutrisi Bungkil Kedelai


2. Bungkil Kedelai Untuk Pakan Ternak Ruminansia.
Bahan pakan sumber protein memiliki tingkat kelarutan yang berbeda-beda. Semakin
tinggi kelarutan protein dari suatu bahan, maka protein tersebut semakin tidak tahan terhadap
degradasi di dalam rumen. Berdasarkan tingkat ketahanan protein di dalam rumen, bungkil
kedelai termasuk kelompok sumber protein dengan tingkat ketahanan rendah (<40%),
bersama-sama dengan kasein, bungkil kacang dan biji matahari. Oleh sebab itu bungkil
kedelai memiliki nilai biologis yang kurang memberikan arti bagi ternak ruminansia,
disebabkan sebagian besar protein kasar bungkil kedelai terfermentasi dalam rumen dan
kurang dapat dimanfaatkan oleh ternak. Untuk memperkecil degradasi protein bungkil
kedelai dari perombakan mikroba di dalam rumen, maka bungkil kedelai sebelum diberikan
pada ternak perlu mendapat perlindungan.
Perlindungan dimaksudkan untuk mengurangi perombakan protein oleh degradasi
mikroba rumen tanpa mengurangi ketersediaan amonia untuk sintesis protein mikroba dan
tanpa mengurangi kemampuan hidrolisis oleh enzim-enzim di dalam abomasum dan usus.
Perlindungan protein dari degradasi rumen dapat dilakukan dengan cara pemanasan,
pemberian formalin, tanin dan kapsulasi (Boniran 1999).

4. Bungkil kelapa

Bungkil kelapa adalah hasil ikutan yang didapat dari ekstraksi daging buah kelapa
segar atau kering. Mutu standar bungkil kelapa meliputi kandungan nutrisi dan batas tolerasi
aflatoxin. Bungkil kelapa diperoleh dari ampas kopra. Bungkil kelapa mengandung 11% air,
minyak 20%, protein 45%, karbohidrat 12%, abu 5%, BO 84% dan BETN 45,5%. Bungkil
kelapa banyak dimanfaatkan sebagai pakan ternak karena memiliki kandungan protein yang
cukup tinggi.
Protein kasar yang terkandung pada bungkil kelapa mencapai 23%, dan kandungan
seratnya yang mudah dicerna merupakan suatu keuntungan tersendiri untuk menjadikan
sumber energi yang baik sehingga dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak, seperti sebagai
bahan pakan pedet terutama untuk menstimulasi rumen dan pakan asal bungkil kelapa juga
terbukti ternak dapat menghasilkan susu yang lebih kental dan rasa yang enak.
Penambahan bungkil kelapa dapat meningkatkan konsumsi pakan, kecernaan pakan
dan pertambahan bobot badan harian. Ternak ruminansia yang mendapatkan pakan
berkualitas rendah sebaiknya diberikan pakan tambahan yang kaya akan nitrogen untuk
merangsang pertumbuhan dan aktivitas mikroba di dalam rumen. Komposisi kimia bungkil
kelapa sangat bervariasi tergantung proses ekstraksi minyak yang digunakannya, bahan,
penyimpanan dan kandungan serpihan tempurungnya.
Tingginya kandungan serat, palatabilitas yang rendah dan kurangnya beberapa asam
amino esensial serta mengandung anti-nutrisi seperti manan, galaktomanan, xilan dan
arabinoxilan menyebabkan penggunaan bungkil kelapa dalam ransum unggas sangat terbatas.
Kandungan protein bungkil kelapa cukup tinggi, yaitu sekitar 18-20% .Namun kandungan
serat kasar relatif tinggi yaitu 60% yang terdiri dari 60% galaktomanan, 26% mannan dan
13% selulosa.
Disamping pati sebagai bahan karbohidrat, beberapa spesies palem mengandung
sejumlah D-manopiranosa yang berikatan secara β1-4 terutama dalam bentuk polisakarida
manan. Umumnya polisakarida ini terbagi dalam 4 sub famili yang berbeda tergantung atas
adanya gula lain dalam rantai polimernya: (1) manan murni, (2) galaktomanan, (3)
glukomanan, (4) galaktoglukomanan. Manan murni yaitu polimer manosa yang mengandung
manosa lebih dari 95%. Adanya galaktosa, glukosa dan keduanya dalam rantai samping akan
membentuk galaktomanan, glukomanan dan galaktoglukomanan. Manan secara fisik
merupakan molekul seperti pita tetapi lebih fleksibel dan kurang kuat dibandingkan selulosa,
lurus dan bisa diperpanjang.
Terdapat dua jenis manan yaitu manan I atau A yang kristalinnya tinggi serta berat
molekulnya rendah, dan manan II atau B yang mempunyai berat molekul tinggi dan
kristalinnya lebih rendah. Umumnya manan dari pohon spesies palem sangat keras serta
tinggi kristalinnya, dan tidak larut dalam air. Rasio manosa dengan galaktosa akan
menentukan kelarutannya dalam air (Zamora et.al 1998).
5. Onggok
Onggok merupakan hasil samping dari pembuatan tapioka ubikayu. Karena
kandungan proteinnya rendah (kurang dari 5%), limbah tersebut belum dimanfaatkan secara
optimal. Namundengan teknik fermentasi, kandungan proteinnya dapat ditingkatkan.sehingga
ongggok yang terfermentasi, dapat digunakan sebagai bahan baku pakan unggas.
Ketersediaannyaterus meningkat sejalan dengan meningkatnya produksitapioka. Hal ini
diindikasikan dengan semakin luasareal penanaman dan produksi ubikayu. Luas
arealtanaman meningkat dari 1,3 juta hektar dengan produksi13,3 juta ton pada tahun 1990
menjadi 1,8 juta hektardengan produksi 19,4 juta ton pada tahun 1995. Setiap ton
ubikayuakan dihasilkan 250 kg tapioka dan 114 onggok.Sementara itu, produksi singkong
dunia meningkat dari 75 ton pada tahun 1961-1965 menjadi 153 ton pada tahun 1991.
Selanjutnya produksi singkong pada tahun 2007 diperkirakan meningkat menjadi 212 ton.

Potensi nilai gizi atau nutrisi yang dimiliki onggok sebagai limbah industri tapioka
memang rendah. Kandungan protein onggok cukuprendah (kurang dari 5%) dan disertai
dengan kandunganserat kasar yang tinggi (lebih dari 35%).Sementara itu konsentrasi protein
kasarnya relative rendah, kurang dari 2 %.Komposisi zat makanan yang terdapat dalam
onggok yaitu 2,89% protein kasar; 1,21 % abu; 0,38 % lemak kasar; 14,73% serat kasar;
80,80 % Bahan ekstrak tanpa nitrogen dan 2783 kkal/kg metabolisme energi. Selain itu
onggok juga sangat defisien akan asam-asam amino. Sementara itu kandungan karbohidrat
singkong cukup tinggi yaitu 72,49% -85,99 %sedangkan kadar airnya 14,09 %.

Penggunaan onggok sebagai bahan baku penyusun ransum memiliki beberapa


kendala. Hal ini disebabkan karena kandungan proteinnya yang sangat rendah sedangkan
kandungan serat kasarnya cukup tinggi. Sementara kandungan HCNnya cukup tinggi. Selain
itu tingginya kandungan karbohidrat dan kadar air mempermudah aktifitas mikroba pengurai
dan menimbulkan bau yang tidak sedap akibat terjadinya pembusukan yang sangat cepat.
Sementara kandungan HCNnya menurut dapat diturunkan dengan cara perendaman,
pencucian, pengukusan, pengeringan, fermentasi atau kombinasi dari beberapa perlakuan
tersebut. Kandungan serat yang tinggi menyebabkan onggok hanya digunakan sebagai
sumber energi. Salah satu teknologi alternatif untuk meningkatkan kualitas onggok sebagai
bahan baku pakan ternak yaitu melalui proses fermentasi (Kiramang 2011).

6. Hasil samping pengolahan padi (dedak padi, menir)

Dedak dan bekatul merupakan hasil samping yang diperoleh dari lapisan luar beras
pecah kulit dalam penyosohan yang hasil utamanya adalah beras putih atau beras sosoh.
Dedak merupakan bagian luar dari butiran beras setelah sekam dan kulit ari dihilangkan
dalam proses pengolahan padi menjadi beras. Dedak lebih banyak mengandung lapisan
perikar,tegmen,aleuron dan lembaga biji daripada bekatul yang lebih banyak mengandung
endosperm berpati. Dalam penggilingan dan penyosohan beras, persentase produk yang
dihasilkan adalah berasutuh sekitar 50%, beras pecah 17%, dedak 10% ,tepung3% dan sekam
20%. Persentase ini sangat bervariasi tergantung pada varietas dan umur padi, derajat giling
dan cara penyosohan beras. Rendemen dedak dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain:
derajat penyosohan ,derajat kematangan padi atau gabah, kadar air gabah dan jenis alat
penyosoh. Rendemen dedak umumnya dinyatakan dalam persen berat yang dihitung dari
beras yang dihasilkan. Perhitungan rendemen dedak dari beras relatif lebih tepat, karena
jumlah dedak yang dihasilkan sangat dipengaruhi derajat penyosohannya. Rendemen dedak
umumnya 15% dari berat yang dihasilkan. Dedak adalah hasil sampingan dari proses
penggilingan padi yang terdiri dari lapisan dedak sebelah luar dari butiran padi dengan
sejumlah lembaga biji, sedangkan bekatul adalah lapisan dedak sebelah dalam dari butiran
padi termasuk sebagian kecil endosperma berpati. Dedak padi merupakan hasil samping
proses penggilingan padi yang terdiri dari lapisan dedak sebelah luar butir padi dan sebagian
lembaga biji (Herodian 2007).

Potensi Bekatul

Dalam berbagai jurnal penelitian dilaporkan bahwa bekatul tidak sekedar mengandung serat
terlarut, namun bekatul juga kaya akan protein, lemak, dan karbohidrat. Bekatul jugakaya
akan antioksidan tokoferol dan terutama dalam γ-oryzanol. Senyawa ini adalah asam ferulic,
sterol dan alkohol triterpenic. Ekstrak minyak bekatul dapat dikembangkan dan sangat
potensial sebagai sumber lemak tak jenuh esensial dan asam linoleat yang bermanfaat untuk
kesehatan. Pemanfaatan minyak bekatul juga sebagai bahan baku kosmetik sebagai anti-
aging agent.

Pengolahan tepung bekatul rendah lemak

BPTP Bali telah melakukan beberapa penelitian dan pengkajian di lapangan mengenai
pemanfaatan limbah penggilingan padi ini. Salah satunya, adalah pemanfaatan bekatul
menjadi tepung rendah lemak. Menurut Tim Pascapanen BPTP Bali proses pengolahan
tepung bekatul rendah lemak adalah sebagai berikut.
1. Pengukusan bekatul selama 30 menit
2. Bekatul dikeringkan menggunakan oven pada suhu 105oC selama 1 jam
3. Bekatul diekstraksi : dengan merendam dalam larutan heksana, perbandingan
bekatul : heksana = 1 : 5 (b/v) selama 1 jam
4. Selanjutnya bekatul disaring dengan menggunakan kain saring
5. Kemudian bekatul dikeringkan dengan menggunakan oven pada suhu 105 oC selama 1
jam
6. Bekatul kering diayak, menggunakan ayakan 60 mesh

 Mengolah bekatul menjadi tepung rendah lemak mempunyai beberapa manfaat, diantaranya
adalah bekatul yang langsung diperoleh dari pabrik penggilingan memiliki tekstur yang kasar,
sehingga jika dimanfaatkan secara langsung dapat menurunkan tingkat kesukaan terhadap
produk. Dengan diolahnya bekatul dapat meningkatkan cita rasa produk, umur simpan, dan
derajat putih pada penampakan tepung bekatul tersebut.

7. Hasil samping pengolahan gandum (pollard, white bran)

hasil samping pengolahan pati (onggok/gamblong) dan hasil samping pengolahan


gandum (bran –polard). Dedak gandum yang biasa disebut pollard merrupakan hasil
sampingan dari industri pengolahan tepung terigu. Pollard memiliki kualitas nutrisi yang
lebih baik daripada dedak padi maupun bekatul karena kadar air dan lemaknya lebih rendah.
Pollard biasa digunakan sebagai sumber karbohidrat yang mudah tersedia (RAC) dalam
ransum ternak ruminansia. Dedak padi merupakan sisa penumbukan atau penggilingan padi.
Kualitas dedak padi dipengaruhi oleh banyaknya kulit gabah yang tercampur di dalamnya
yang mengandung serat kasar antara 11-19 % . Onggok atau cassava merupakan sisa
pembuatan tepung tapioka. Onggok merupakan sumber karbohidrat yang mudah
terfermentasi. Zat pati yang terdapat dalam onggok menjadi sumber nutrisi bagi pertumbuhan
mikrobia rumen.

Penelitian pada domba dengan memberikan limbah tersebut sebagai suplementasi rumput
pernah dilakukan, untuk mengetahui kecernaan bahan kering, bahan organik dan “Total
Digestible Nutrients” (TDN) pada domba yang diberi rumput gajah sebagai pakan dasar yang
disuplementasi limbah agroindustri sumber energi yang berbeda
Wheat pollard biasa dikenal dengan dedak gandum yang merupakan salah satu hasil
ikutan dari proses penggilingan gandum menjadi tepung terigu. Gandum dan hasil ikutannya
seperti bran, pollard telah banyak digunakan sebagai bahan pakan ternak. Dalam proses
produksi tepung terigu dihasilkan tepung terigu sebanyak 74% dan limbahnya berupa bran 10
%, pollard 13 % dan bahan untuk lem kayu lapis 3 %. Pollard yang dihasilkan dalam proses
produksi tepung terigu sangat berpotensi untuk bahan pakan ternak. Wheat pollard (dedak
gandum) memiliki nilai Energi Metabolisme (kkal/kg) 1,140, protein 11,8 %, lemak 3,0 %
dan serat kasar 11,2 %. Proses fermentasi tidak saja menimbulkan efek pengawetan, tetapi
juga menyebabkan perubahan tekstur, citarasa dan aroma bahan pakan yang membuat produk
fermentasi lebih menarik, mudah dicerna dan bergizi (Marina et.al 2017).

Tugas kuliah : 10 bahan baku industri pakan sumber protein

1. Bungkil kedelai
2. Bungkil kelapa
3. Ampas Tahu
4. Ampas kecap
5. Tepung ikan
6. Tepung daging dan tulang (MBM)
7. Tepung daging
8. Tepung bulu yang telah dihidrolisis (PM)
9. Tepung limbah unggas (PBM)
10. Tepung darah (BM)
DAFTAR PUSTAKA

Boniran, S. 1999. Quality control untuk bahan baku dan produk akhir pakan ternak.
Kumpulan Makalah Feed Quality Management Workshop. American Soybean
Association dan Balai Penelitian Ternak. hlm. 2-7.
Herodian S. 2007. Peluang dan tantangan industri berbasis hasil samping pengolahan padi.
Proceeding Edisi No 48/XVI. Jakarta
Kiramang K. 2011. Potensi dan Pemanfaatan Onggok Dalam Ransum Unggas. Jurna Tekno
Sains. 5(2) : 155 – 163.
Marina S, Lay A W, Dodu T. 2017. Pengaruh substitusi pakan komplit dengan pollard
terhadap pertumbuhan ternak Ayam arab. Jurnal Nukleus Peternakan. 4(2) : 138 –
146.
Sinurat P A. 2012. Teknologi pemanfaatan hasil samping industri sawit untuk meningkatkan
ketersediaan bahan pakan unggas. Pengembangan Inovasi Pertanian. 5(2) : 55 – 78.
Tangentjatja B dan Wina E. Limbah tanaman dan produk samping industri jagung untuk
pakan. Balai Penelitian Ternak. Bogor.
Zamora,A.F.,M.R.Calapardo,K.P.Rosano,E.S.Luis, And Almacio.1989. Improvement of
copra meal quality for use in animalfeeds. Proc. FAP/UNDP Workshop on
Biotechnology in Animal Production and Healt in Asia and Latin America. pp. 312-
320.

Anda mungkin juga menyukai