Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Industri pakan ternak merupakan bagian dari suatu mata rantai pada sektor
peternakan. Keberhasilan sektor peternakan salah satunya ditentukan oleh ketersediaan
pakan ternak. Pakan ternak yang tersedia bukan hanya dari segi kuantitas saja tetapi juga
dari segi kualitas. Produsen pakan ternak wajib menghasilkan dan mempertahankan kualitas
ransum yang sesuai dengan kebutuhan ternak. Produsen harus menjamin bahwa ransum
yang dihasilkan tidak membahayakan kesehatan ternak dan manusia sebagai konsumen
produk peternakan. 
Produsen harus menjamin bahwa semua bahan baku telah memenuhi standar
kualitas, tidak terdapat benda asing pada bahan baku dan ransum, butiran dan bahan lain
mempunyai ukuran dan bentuk yang sesuai, ransum diproduksi sesuai dengan formulasi,
pellet dan crumble mempunyai ukuran yang sempurna dan ketahanan yang sesuai dengan
standar, tidak terjadi kontaminasi silang antara ransum dengan bahan lain, tidak ada
kehilangan vitamin atau bahan baku mikro lainnya, tidak terdapat bahan atau
mikroorganisme berbahaya, segregasi yang m i n i m u m , p e m b u n g k u s b e r s i h , r a p i
dan kualitas ransum sesuai dengan permintaan konsumen.
Langkah awal program penjaminan kualitas ( Quality Assurancel) ialah melalui
pengawasan mutu ( Quality Control). Pengawasan mutu dilakukan pada setiap aktivitas
dalam menghasilkan produk dimulai dari bahan baku, proses produksi hingga produk akhir.
Bahan baku yang digunakan sebagai input dalam industri pakan ternak diperoleh dari
berbagai sumber, mempunyai kualitas yang sangat bervariasi. Bervariasinya kualitas bahan
baku disebabkan oleh variasi alami ( natural variation), pengolahan (processing),
pencampuran ( adulteration) dan penurunan kualitas ( damaging and deterioration)
(Khajarern, dkk. 1987).
Variasi alami dan pengolahan bahan baku dapat menyebabkan kandungan zat
makanan yang berbeda. Bahan baku sering terkontaminasi atau sengaja dicampur dengan
benda-benda asing dapat menurunkan kualitas sehingga perlu dilakukan pengujian secara
fisik untuk menentukan kemurnian bahan. Penurunan kualitas bahan baku dapat terjadi
karena penanganan, pengolahan atau penyimpanan yang kurang tepat. Kerusakan dapat
terjadi karena serangan jamur akibat kadar air yang tinggi, ketengikan dan serangan
serangga. Pengawasan mutu bahan baku harus dilakukan secara ketat saat penerimaan dan
penyimpanan. Pemilihan dan pemeliharaan kualitas bahan baku menjadi tahap penting
dalam menghasilkan ransum yang berkualitas tinggi. Kualitas ransum yang dihasilkan tidak
akan lebih baik dari bahan baku penyusunnya (Fairfield, 2003).
Proses produksi pakan ternak merupakan rangkaian aktivitas yang meliputi
penggilingan, pencampuran, pelleting dan pengepakan. Bahan baku yang dibeli biasanya
terdapat dalam bentuk dan ukuran yang berbeda, untuk menghasilkan ukuran yang seragam
diperlukan penggilingan untuk menurunkan ukuran partikel. Homogenitas ukuran dan
bentuk bahan baku mempengaruhi hasil pencampuran dan proses pelleting. Pengawasan
mutu selama proses produksi mutlak dilakukan karena penggilingan dan pencampuran yang
tidak sempurna tidak akan menghasilkan ransum seperti yang diharapkan. 
1.2. Tujuan dan Kegunaan Praktikum
1.2.1. Tujuan Praktikum
            Adapun tujuan dari praktikum ini adalah :
1.      Agar mahasiswa dapat mengetahui apa itu jenis pakan pellet
2.      Supaya mahasiswa dapat menjelaskan dan mempraktikan langsung langsung
bagaimana cara pembuatan pakan bentuk pellet mulai dari penentuan bahan baku,
penyusunan ransum sampai dengan rangkaian proses pembuatan pakan pellet.

1.2.2. Kegunaan Praktikum


             Kegunaan dari praktikum ini adalah :
1.     mahasiswa dapat mengetahui apa itu jenis pakan pellet
2.     mahasiswa dapat menjelaskan dan mempraktikan langsung langsung bagaimana
cara pembuatan pakan bentuk pellet mulai dari penentuan bahan baku,
penyusunan ransum sampai dengan rangkaian proses pembuatan pakan pellet.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Industry Makanan Ternak


Keberadaan pakan unggas yang murah sangat penting karena dalam struktur biaya
budidaya unggas terutama ayam potong, biaya mencapai persentasi tertinggi dalam biaya
mencapai 60 sampai 70%. Penyediaan pakan Indonesia sudah dilakukan dalam industry
khususnya untuk pakan unggas. Perkembangan pakan sudah terintegrasi menjadi system
agribisnis perunggasan. Hanya saja selama ini perusahaan pabrik pakan ternak masih
dikuasai oleh perusahaan multinasional, dengan skala besar dan menguasai seluruh
subsistem agribisnis perunggasan dari mulai pembibitan, budidaya, pembuatan pakan,
sampai dengan pemasaran. Namun demikian bisnis ini tetap menjanjikan karena selama ini
sumber-sumber pakan (jagung) tersebar di masyarakat belum dikuasai sepenuhnya oleh
perusahaan besar, dengan demikian masih ada celah untuk mengembangkan pakan ternak
skala kecil (5 ton per hari) terutama untuk mamasok kebutuhan lokal. Optimisme pendirian
pabrik pakan ternak sangat wajar mengingat (Muttaqin, 2001)

2.2. Jagung
Jagung (Zea mays) merupakan bahan pakan sumber energi yang paling umum
digunakan untuk pakan unggas. Hal ini dikarenakan jagung sangat palatable dan sangat
besar kandungan energinya. Nilai energi yang dapat dimetabolis (metabolisable energy,
ME) yang terkandung dalam jagung digunakan sebagai standard terhadap bahan pakan
sumber energi lain. Di Amerika utara, industri pakan telah diuntungkan dengan terjadinya
surplus ketersediaan jagung sebagai akibat mekanisiasi, penerapan genetik, dan teknik
agronomis yang diterapkan untuk meningkatkan produktifitas. Namun demikian, hasil
jagung per hektar di negara Asia rendah dan produksinya belum pernah mencukupi
kebutuhan sejalan dengan meningkatnya populasi manusia. Barangkali hanya Thailand di
antara negara-negara Asia yang kemampuan produksinya melebihi dari kebutuhan lokal.
Kandungan nutrisi jagung giling (dasar bahan kering) adalah 9,0% PK, 4,0% LK, 2,5 % SK,
1,5% Abu, dan 83% BETN, 0,02% Ca, dan 0,25% P, serta 3,45 kkal/g. Jagung kuning
mempunyai kelebihan adanya xanthophil yang memberikan warna kuning pada produk-
produk ternak (Anonim, 2005).

2.3. Dedak Padi


Produk sampingan dari penggilingan padi (Oryza sativa) adalah dedak Sebenarnya,
pada proses penggilingan padi, hasil yang didapatkan selain beras, adalah bekatul padi
(sebanyak 2-3%), dedak padi (6-8%), dan sekam (20%). Dedak padi adalah by-product
utama yang didapatkan dari proses penggilingan padi. Bekatul, yang dihasilkan dari lapisan
bagian dalam biji, lebih banyak penggunaannya dibandingkan dengan dedak. Hal ini karena
kadar serat yang dikandungnya lebih rendah dan kandungan ME yang lebih tinggi. Namun
demikian, ketersediaan bekatul sangat sedikit karena tidak semua penggilingan padi
mengoperasikan mesin penggiling multiple-stage yang memisahkan bekatul dari dedak.
Komposisi kimia dedak padi sangat bervariasi. Variasi yang ada semata-mata
disebabkan kontaminasi sekam yang terikut, dan ini biasanya disebabkan oleh jenis mesin
penggiling. Dedak kualitas bagus mengandung sekitar 13% PK, 13% lemak, dan 13% serat
dan kaya sumber vitamin B dan trace mineral. Nilai ME dedak padi, selain mengandung
serat, relatif tinggi. Sementara itu, kandungan lemak yang tinggi harus diperhitungkan,
dimana hal ini dapat menyebabkan masalah ransiditas (ketengikan) selama dalam
penyimpanan di climat tropis. Dedak padi mengandung enzim lipolytic yang menjadi aktif
ketika dedak dipisahkan dari beras dan kandungan asam lemak bebas meningkat dengan
cepat.

Tabel 1. Komposisi kimia dedak padi yang didapat dari tipe penggilingan padi yang berbeda
yang biasa digunakan di Asia (%, dasar bahan kering)

Tipe penggiling
Modern Semi-modern Traditional
Protein Kasar 10,0 9,0-11,0 7,3-7,5
Serat Kasar 12,6-12,9 15,4-15,9 29,3-30,9
Lemak 23,4-31,6 19,2-19,7 6,6-8,6
Abu 12,8-14,3 14,1-15,0 15,5-20,5
Sumber : (Anonim, 2005)

2.4. Top Mix, Mineral Mix


Top Mix dan Mineral Mix merupakan bahan pakan yang diproduksi oleh pabrik,
dimana kandungan gizinya merupakan suatu konsentrasi zat gizi tertentu. Bahan pakan ini
biasanya digunakan dalam jumlah sedikit untuk tujuan melengkapi atau mengkoreksi zat
gizi yang diperkirakan kurang. Top Mix lebih berorientasi pada kelengkapan asam amino
dan vitamin, sementara Mineral Mix berorientasi pada kelengkapan mineral, baik makro
mineral maupun mikro mineral (Anonim, 2005).
BAB III

MATERI DAN METODE

3.1. Waktu dan Tempat


Praktikum ini dilaksanakan pada Minggu, 28 April 2019, pukul 14.00 WITA sampai
selesai, bertempat di Laboratorium Teaching Farm Lingsar , Gedung E Lantai 1, Fakultas
Petrnakan, Universitas Mataram.

3.2. Materi dan Metode Praktikum

3.2.1. Alat Praktikum


Adapun alat-alat yang digunakan selama praktikum antara lain :
1. Timbangan kapasitas 10 kg,untuk menimbang bahan baku pakan
2. Alas untuk pencampuran bahan
3. Mesin giling dengan kapasitas 100 kg/jam
4. Ember tempat pakan jadi
5. Plastik kecil dan plastik besar.
6. Gelas

3.2.2. Bahan Praktikum


Adapun bahan-bahan yang digunakan selama praktikum antara lain :
1. Tepung Jagung
2. Konsentrat
3. Dedak Padi
4. Top Mix
5. Air Kanji
3.3. Metode Praktikum
3.3.1. Cara kerja
1. Buat formulasi ransum dengan kandunganzat gizi sesuai kebutuhan ternak
(tabel.1)
2. Siapkan bahan baku pakan yang akan digunakan.
3. Siapkan semua peralatan yang akan digunakan.
4. Timbang masing-masing bahan baku sesuai dengan jumlah yang tercantum dalam
formulasi ransum .Usahakan menimbang bahan baku yang jumlahnya lebih banyak
kemudian diikuti dengan bahan baku yang lebih sedikit.
5. Bahan baku yang sudah ditimbang dapat diletakkan langsung pada tempat proses
pencampuran.
6. Bahan baku yang sudah ditimbang seperti jagung dan konsentrat langsung
dicampur sedangkan premix mineral atau vitamin sebelum dicampur dengan bahan
lain, dicampur dengan bahan yang mempunyai sifat karier/pembawa yaitu dedak
padi.
Cara mencampur premix dengan dengan dedak adalah:
a. Campur premix dengan dedak dengan perbandingan 1 : 2

b. Gandakan campuran premix dengan dedak (1 : 2) dengan dedak sampai


dedaknya habis.

c. Campur hasil campuran premix dengan campuran bahan lainnya sampai


Homogeny .

d. Campuran dapat dikatakan homogeny apabila tidak ada perbedaan warna atau
bahan baku yang satu dengan lainnya sulit dibedakan. Bila hasil campuran
sudah homogen.

7. Pengemasan. Pakan bentuk mash siap diberikan ternak atau dikemas dalam
karung kemudian dijahit. Usahakan hasil pengemasan disimpan pada tempat
yang kering.
BAB IV
Hasil dan Pembahasan

4.1. Hasil Praktikum


Table 2. Susunan Ransum Ayam Kampung Umur 8-14 Minggu
Bahan Level Berat PK LK Ca Posfor
(%) (gram) (gram) (gram) (%)
Jagung 52,74 2.600 gr 284,80 123,939 0,53 0,14
Dedak Padi 30,26 1.500 gr 201,23 137,683 1,51 0,28
Halus
Konsetntrat 16 800 gr 264,00 56,00 96,00 0,24
Layer
Top Mx 1 50 gr 0 0 0 -
Total 100 5000 gr 750,02 317,622 98,040 0,78
5
Kebutuhan 750 200 60 15

Table diatas adalah table untuk penyusunan 100 kg, sedangkan dalam praktikum ini
Ransum yang akan  dibuat sebanyak 5 kg,sehingga  dapat dihitung sebagai berikut :
1. Jagung                        
2. Dedak padi halus
3. Konsentrat
4. Top mix         
Setelah selesai proses pemeletan, sampling diambil sebanyak 1 kg dari total 5 kg, setelah
dikeringkan dengan menggunakan sinar matahari berat dari pada pellet tersebut
mengalami penyusutan menjadi 750 gr. Hal ini terkait dengan hilangnya kandungan air
akibat dari pengeringan.

Table 3. Analisa Perbedaan Pellet Hasil Praktikum dengan Pellet Komersil.


Variabel Pellet komersil Pellet hasil praktikum
Analisis
Kekerasa Keras Sedikit lebih keras
n
Warna Kekuningan Putih keabuan
Tekstur Kasar Lembut
4.2. Pembahasan

Mash adalah bahan pakan atau campuran bahan berbentuk tepung. Bahan yang
digunakan dalam pembuatan mash yaitu ikan kering yang terlebih dahulu digiling sebelum
dicampurkan dalam pembuatan crumble dan pellet. Tujuan penggilingan ikan kering
tersebut untuk memperkecil dan menghaluskan bahan baku sehingga permukaannya
menjadi lebih luas serta mempermudah dalam proses pencampuran dan pencetakan.

Pelet merupakan bentuk bahan pakan yang dipadatkan sedemikian rupa dari bahan
konsentrat atau hijauan dengan tujuan untuk mengurangi sifat keambaan pakan. Patrick
dan Schaible (1980) menjelaskan keuntungan pakan bentuk pelet adalah meningkatkan
konsumsi dan efisiensi pakan, meningkatkan kadar energi metabolis pakan, membunuh
bakteri patogen, menurunkan jumlah pakan yang tercecer, memperpanjang lama
penyimpanan, menjamin keseimbangan zat-zat nutrisi pakan dan mencegah oksidasi
vitamin. Stevent (1981) menjelaskan lebih lanjut keuntungan pakan bentuk pelet adalah 1)
meningkatkan densitas pakan sehingga mengurangi keambaan, mengurangi tempat
penyimpanan, menekan biaya transportasi, memudahkan penanganan dan penyajian
pakan; 2) densitas yang tinggi akan meningkatkan konsumsi pakan dan mengurangi pakan
yang tercecer; 3) mencegah “de-mixing” yaitu peruraian kembali komponen penyusun
pelet sehingga konsumsi pakan sesuai dengan kebutuhan standar. Proses pengolahan pelet
merujuk pada Pujaningsih (2006) terdiri dari 3 tahap, yaitu pengolahan pendahuluan,
pembuatan pelet dan perlakuan akhir.

Pengolahan Pendahuluan
Proses pendahuluan ditujukan untuk pemecahan dan pemisahan bahan-bahan
pencemar atau kotoran dari bahan yang akan digunakan. Setelah seluruh bahan baku
disiapkan, tahap selanjutnya adalah menggiling bahan baku tersebut. Tujuannya adalah
untuk mendapatkan ukuran partikel yang seragam - berbentuk tepung (mash) (McEllhiary,
1994). Seluruh bahan yang telah digiling, ditimbang dengan menggunakan timbangan
duduk. Selanjutnya, bahan–bahan tersebut dicampurkan.

Pembuatan Pelet
Pembuatan pelet terdiri dari proses pencetakan, pendinginan dan pengeringan.
Perlakuan akhir terdiri dari proses sortasi, pengepakan dan pergudangan. Menurut Pfost
(1964), proses penting dalam pembuatan pelet adalah pencampuran (mixing), pengaliran
uap (conditioning), pencetakan (extruding) dan pendinginan (cooling).
Proses kondisioning adalah proses pemanasan dengan uap air pada bahan yang
ditujukan untuk gelatinisasi agar terjadi perekatan antar partikel bahan penyusun sehingga
penampakan pelet menjadi kompak, durasinya mantap, tekstur dan kekerasannya bagus
(Pujaningsih, 2006). Proses kondisioning ditujukan untuk gelatinisasi dan melunakkan
bahan agar mempermudah pencetakan. Disamping itu juga bertujuan untuk membuat : (1)
Pakan menjadi steril, terbebas dari kuman atau bibit penyakit; (2) Menjadikan pati dari
bahan baku yang ada sebagai perekat; (3) Pakan menjadi lebih lunak sehingga ternak
mudah mencernanya dan (4) Menciptakan aroma pakan yang lebih merangsang nafsu
makan ternak.
Walker (1984) menjelaskan bahwa selama proses kondisioning terjadi penurunan
kandungan bahan kering sampai 20% akibat peningkatan kadar air bahan dan menguapnya
sebagia   n bahan organik. Proses kondisioning akan optimal bila kadar air bahan berkisar
15 – 18%. Winarno (1997) menjelaskan lebih lanjut bahwa kadar air yang lebih dari 20%
akan menurunkan kekentalan larutan gel hasil gelatinisasi.
Efek lain dari proses kondisioning yaitu menguapnya asam lemak rantai pendek,
denaturasi protein, kerusakan vitamin bahkan terjadinya reaksi “Maillard”. Reaksi
‘Maillard’ yaitu polimerisasi gula pereduksi dengan asam amino primer membentuk
senyawa melanoidin berwarna coklat, proses ini terjadi akibat adanya pemanasan (Muller,
1988). Warna coklat pada bahan ini menurut Muller (1988) menurunkan mutu
penampakan warna pelet. Nikersond dan Louis (1978) menambahkan bahwa pemanasan
dapat menyebabkan dehidrasi pada gula. Gula yang terdehidrasi membentuk polimer
sesama gula yang diikuti oleh gugus amina membentuk senyawa coklat.
Gelatinasi merupakan sumber perekat alami pada proses “pelleting”.Pencetakan
merupakan tahap pemadatan bentuk melalui alat extruder. Temperatur bahan sebelum
masuk ke dalam mesin pencetak sekitar 80°C dengan kelembaban 12–15%. Kelemahan
sistem ini adalah diperlukannya tambahan air sebanyak 10 – 20% ke dalam campuran
pakan, sehingga diperlukan pengeringan setelah proses pencetakan tersebut. Penambahan
air dimaksudkan untuk membuat campuran atau adonan pakan menjadi lunak, sehingga
bisa keluar melalui cetakan. Jika dipaksakan tanpa menambahkan air ke dalam campuran,
mesin akan macet dan pelet yang keluar dari mesin pencetak biasanya kurang padat
(Pujaningsih, 2006).
Selama proses kondisioning terjadi peningkatan suhu dan kadar air dalam bahan
sehingga perlu dilakukan pendinginan dan pengeringan (Walker, 1984). Proses
pendinginan (cooling) merupakan proses penurunan temperatur pelet dengan
menggunakan aliran udara sehingga pelet menjadi lebih kering dan keras. Proses ini
meliputi pendinginan butiran-butiran pelet yang sudah terbentuk, agar kuat dan tidak
mudah pecah. Pengeringan dan pendinginan dilakukan pada tahap ini untuk
menghindarkan pelet itu dari serangan jamur selama penyimpanan
Pengeringan pada intinya adalah mengeluarkan kandungan air di dalam pakan
menjadi kurang dari 14%, sesuai dengan syarat mutu pakan ternak pada umumnya. Proses
pengeringan perlu dilakukan apabila pencetakan dilakukan dengan mesin sederhana. Jika
pencetakan dilakukan dengan mesin pelet sistem kering, cukup dikering anginkan saja
hingga uap panasnya hilang, sehingga pelet menjadi kering dan tidak mudah berubah
kembali ke bentuk tepung (Pfost, 1964). Proses pengeringan bisa dilakukan dengan
penjemuran di bawah terik sinar matahari atau menggunakan mesin. Keduanya memiliki
kelebihan dan kekurangan. Penjemuran secara alami tentu sangat tergantung kepada
cuaca, higienitas atau kebersihan pakan harus dijaga dengan baik, jangan sampai tercemar
debu atau kotoran dan gangguan hewan atau unggas yang dikhawatirkan akan membawa
penyakit. Jika alat yang digunakan mesin pengering, tentu akan memerlukan biaya
investasi dan biaya operasional yang cukup tinggi.
Perlakuan Akhir
Penentuan ukuran pelet disesuaikan dengan jenis ternak. Pujaningsih (2006)
melaporkan bahwa diameter pelet untuk sapi perah dan sapi pedaging adalah 1,9 cm (0,75
inci), untuk anak babi 1,5 cm (0,59 inci) dan babi masa pertumbuhan 1,6 cm (0,62 inci),
untuk ayam pedaging periode starter dan finisher 1,2 cm (0,48 inci). Garis tengah pelet
untuk pakan dengan konsentrasi protein tinggi adalah 1,7 cm (0,67 inci) dan 0,97 cm (0,38
inci) untuk pakan yang mengandung urea.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2005. Sampling Bahan Pakan dan Control Kualitas. Ayam dan Telur, No. 100 :
59-60
Fairfield D.C. 2003. Purchasing and receiving operation step 1 in feed quality and mill
profits. Feed and feeding digest. May 15 Vol. 54 (2).
Khajerern. J,. D. Sinchermsiri. A. Hanbunchong. And U. Kanto. 1987.  Manual of Feed
Microscopy and Quality Control. American Soybean Association.
National Renderer Association US Feed Grains Council. Bangkok
Louis. 1978. The Effect of Diet Particle Size on Feed Animal Performance. MF2050.
Kansas state University Reseach and Extension. Manhattan
Muller. 1988. Microscopy : Fast QA to Characteristics Raw Marerials. Feed
International. October 1988 : 28-29.
Muttaqin. A. 2001. Teknik Pengendalian KEAMANAN Bahan Baku dan Pakan di PT.
Charoen Pokphan Indonesia. Balaraja Feed Mill Co. Ltd. Laporan
Magang. Jurusan ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan
Intitut Pertanian Bogor.
Pfost. 1964. Moisture in Feed and Food Product : It Is Not Just Water. Feed
Management. September 1964. Vol 54 (7)
Walker.  1984. Grain Sampling Prosedures. USDA. GIPSA Tehnical Service Division.
Kansas City.

Anda mungkin juga menyukai