NURHAMDAYANI
ERICK DONDATU
MUH.RIFAL HIDAYAT
FATMAWATI KHALIFAH
NUR KAMAL AKBAR H
RHIZA ACHMAD.O.S
YULIA IRWINA BONEWATI
NUR ICHWAN HUSAIN
ANDI SUKMA INDAH
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2014
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu produsen kakao terbesar di dunia hingga
saat ini. Pesatnya perkembangan perkebunan kakao di Indonesia juga diikuti oleh
beberapa permasalahan, diantaranya meningkatnya limbah yang dihasilkan
sebagai akibat meningkatnya produksi kakao. Buah kakao mengandung 74% kulit
buah, 2,0% plasenta, dan 24,2% biji. Mengingat besarnya kandungan kulit buah
kakao, maka perlu diusahakan pemanfaatannya.
Kulit buah kakao merupakan salah satu hasil samping kakao yang belum
dimanfaatkan secara maksimal. Kulit buah kakao umumnya langsung dibuang
sebagai limbah, padahal kulit buah kakao ini dapat diolah menjadi sesuatu yang
lebih bermanfaat. Beberapa penelitian tentang pemanfaatkan kulit buah kakao
antara lain sebagai pakan ternak, pembuatan tepung, dan pembuatan ekstrak
pektin. Selain itu, kulit buah kakao kaya akan nutrisi dan dapat digunakan sebagai
media tumbuh tanaman sehingga dapat dimanfaatkan sebagai kompos.
Penggunaan kulit buah kakao sebagai pakan ternak telah banyak
dilakukan peneliti kulit buah kakao dapat diberikan pada broiler sampai level
10% karena terbatasnya penggunaan kulit buah kakao sebagai pakan ternak
unggas disebabkan tingginya kandungan serat kasar karena unggas tidak mampu
menghasilkan enzim selulase yang dapat mendegradasi selulosa menjadi glukosa.
Selanjutnya dijelaskan bahwa faktor pembatas pemberian kulit buah kakao
sebagai pakan ternak adalah terdapatnya anti nutrisi theobromin pada kulit buah
kakao. Theobromin merupakan alkaloid tidak berbahaya yang dapat dirusak
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Jumlah produksi kakao di kabupaten Pohuwato tahun 2009 sebanyak
3.478,86 ton. Dengan jumlah kulit kakaonya sekitar 70 %, masih kurang
dimanfaatkan sebagai bahan pakan ternak. Penggunaan kulit kakao untuk ternak
sapi bisa 3040% dari kebutuhan pakan, dengan demikian pemanfaatan kulit
buah kakao dapat mengantisipasi masalah kekurangan pakan ternak serta
menghemat tenaga kerja dalam penyediaan pakan hijauan. Fermentasi kulit kakao
dapat mempertinggi daya cerna, menurunkan kandungan lignin, meningkatkan
kadar protein, menekan efek buruk racun theobromine dan meningkatkan
produktivitas ternak sapi. Pemberian kulit kakao fermentasi dapat dilakukan
dalam bentuk segar dan tepung menyatakan bahwa kulit buah kakao mengandung
lignin dan teobromin tinggi, selain juga mengandung serat kasar yang tinggi
(40,03%) dan protein yang rendah (9,71 %). Kulit kakao mengandung selulosa
36,23%, hemiselulosa 1,14% dan lignin 20%-27,95 %. Lignin yang berikatan
dengan selulosa menyebabkan selulosa tidak bisa dimanfaatkan oleh ternak.
Upaya meningkatkan kualitas dan nilai gizi pakan serat hasil ikutan perkebunan
yang berkualitas rendah merupakan upaya strategis dalam meningkatkan
ketersediaan pakan (Anas, 2011).
Tanaman Kakao di Sumatera Utara memiliki peran penting sebagai
komoditas sosial karena 50% dari luas arealnya merupakan perkebunan rakyat,
disamping komoditi ekspor. Sampai tahun 2005 kakao yang telah ditanam di
wilayah Indonesia seluas 668.919 Ha dan 57.930,82 Ha (7,25%) berada di
Sumatera Utara dengan produksi buah segar 160.015,29 ton/tahun. Dari buah
segar akan dihasilkan limbah kulit buah Kakao sebesar 75% (Muzakki, 2012).
Kulit buah Kakao terdiri dari 10 alur (5 dalam dan 5 dangkal) berselang
seling. Permukaan buah ada yang halus dan ada yang kasar, warna buah beragam
ada yang merah hijau, merah muda dan merah tua (Muzakki, 2012).
Hasil ikutan pertanian dan perkebunan pada umumnya mempunyai
kualitas yang rendah kerena berserat kasar tinggi. Selain mengandung serat kasar
tinggi (40,03%) dan protein yan rendah (9,71%), kulit Kakao mengandung
selulosa 36,23%, hemiselulosa 1,14% dan lignin 20%-27,95%. Lignin yang
berikatan dengan selulosa menyebabkan sellosa tidak bisa dimanfaatkan oleh
ternak. Upaya meningkatkan kualitas dan nilai gizi ransum serat hasil ikutan
perkebunan yang berkualitas rendah merupakan upaya strategis dalam
meningkatkan ketersediaan ransum (Muzakki, 2012).
Perbandingan kandungan nutrisi kulit buah Kakao tanpa fermentasi dan
kulit buah Kakao yang difermentasi dengan Aspergillus niger dapat dilihat pada
tabel 1 (Muzakki, 2012).
Tabel 1. Kandungan Nutrisi Kulit Buah Kakao Tanpa Fermentasi Dan Kulit Buah
Kakao Yang Difermentasi Dengan Aspergillus niger.
Nurisi
Kulit Buah Kakao Kulit
Buah
Kakao
Fermentasi
Bahan Kering (%)
89,40
83,70
Energi metabolis (Kkal/kg) 1767,864
Protein Kasar (%)
7,35
12,89
Lemak Kasar (%)
1,42
2,96
Serat Kasar (%)
33,10
21,50
Abu
9,89
9,05
Sumber: Muzakki, 2012.
kandungan nutrisi gizi kulit buah kakao yaitu Protein Kasar 7,17%, Serat Kasar
22,42%, Lemak 2,02%, Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen (BETN) 32,1%
(Merdekawani dan Kaswiran, 2013).
BAB III
PEMBAHASAN
A. Fermentasi Kulit Buah Kakao Menggunakan Neurospora crassa
Teknologi fermentasi menggunakan kapang Neurospora crassa yang
berwarna orange cukup sederhana, mudah untuk diterapkan di lapangan dan
dapat disosialisasikan ke masyarakat terutama peternak. Bahan makanan yang
telah mengalami fermentasi mempunyai kandungan dan kualitas gizi yang lebih
baik dari bahan asalnya karena mikroba bersifat katabolik atau memecah
komponen- komponen komplek menjadi zat zat yang lebih sederhana sehingga
lebih mudah dicerna disamping itu mikroba dapat pula menghasilkan asam amino
dan beberapa vitamin seperti riboflavin, vitamin B12, provitamin A, dapat
menghasilkan flavour yang lebih disukai dan dapat mengurangi racun/anti nutrisi
yang terdapat pada bahan (Nuraini dan Mahata, 2009).
Pada waktu survei ke lapangan sebelum pelaksanaan kegiatan ini, para
petani ternak di nagari ini sedang menghadapi kesulitan dalam pengadaan
makanan terutama jagung dan konsentrat yang harganya mahal. Para peternak
ayam sebelumnya memberikan campuran pakan dengan perbandingan yaitu 2
konsentrat, 3 jagung dan 5 dedak halus, tetapi pada saat sekarang ini karena
mahalnya harga jagung dan konsentrat maka peternak lebih banyak memberikan
campuran dedak padi dibandingkan jagung dan konsentrat dan sering hanya
dedak padi saja yang diberikan kepada ternak. Akibatnya pertumbuhan dan
produksi ternak tidak sesuai dengan umur pemeliharaannya dan produksi telur
menurun karena makanan yang dikonsumsi oleh ternak tidak memenuhi standar
gizi yang dibutuhkan oleh ternak tersebut sehingga produktifitas ternak rendah,
akibatnya biaya produksi tetap lebih tinggi dari hasil yang diperoleh atau dengan
kata lain usaha yang dilakukan kurang menguntungkan (Nuraini dan Mahata,
2009).
Pemanfaataan secara efektif dan efisien bahan-bahan makanan yang
berasal dari limbah pertanian yang terbuang begitu saja dan banyak tersedia di
lokasi seperti kulit buah coklat, ampas tahu dan dedak merupakan salah satu
strategi dalam menjawab dan mengatasi permasalahan pakan ternak pengganti
jagung dan konsentrat. Berdasarkan hasil wawancara, tampak bahwa para
peternak tidak mengetahui bahwa campuran kulit buah kakao sebagai sumber
energi dan ampas tahu sebagai sumber protein dapat dijadikan sebagai substrat
untuk pertumbuhan Neurospora crassasehingga dihasilkan pakan fermentasi kaya
karoten. Produksi kulit buah kakao, ampas tahu dan dedak di daerah ini cukup
banyak untuk dijadikan sebagai pakan ternak, karena di lokasi ini banyak terdapat
tanaman kakao dan 2 tempat penggilingan padi dan 3 tempat pembuatan tahu
(Nuraini dan Mahata, 2009).
Teknologi fermentasi yang diberikan cukup sederhana, mudah untuk
diterapkan dilapangan dan dapat disosialisasikan ke masyarakat terutama
peternak. Fermentasi dapat meningkatkan kandungan dan kualitas gizi bahan,
menghasilkan aroma dan rasa/flavour yang disukai sehingga palatabilitas
meningkat dan dapat meningkatkan daya cerna. Campuran kulit buah kakao dan
ampas tahu yang telah difermentasi dengan Neurospora crassa dapat
memproduksi pakan kaya karoten (235.08 g/g) dan dapat meningkatkan
10
11
12
13
14
15
terdiri dari bahan organik seperti halnya kecernaan bahan kering, kecernaan
bahan organik (KBO) juga dapat dijadikan tolok ukur dalam menilai kualitas
ransum. Hal ini karena pada bahan kering masih mengandung abu, sedangkan
bahan organik tidak mengandung abu, sehingga bahan tanpa kandungan abu
relatif lebih mudah dicerna. Kandungan abu dapat memperlambat atau
menghambat tercernanya bahan kering bahan pakan. Komposisi bahan organik
yaitu terdiri atas karbohidrat, protein, lemak dan vitamin. Karbohidrat merupakan
bagian dari bahan organik yang utama serta mempunyai komposisi yang tertinggi
(50-70%) dari jumlah bahan kering (Hardana dkk., 2013).
Nilai kecernaan bahan organik suatu pakan dapat menentukan kualitas
pakan. Hasil menunjukkan bahwa kualitas pakan yang difermentasi Aspergillus
niger masih rendah tingkat kecernaannya oleh karena itu perlu dilakukan
penelitian lebih lanjut menggunakan perbandingan level Aspergillus niger
ataupun menggunakan jamur yang lain. Kegunaan penentuan kecernaan adalah
untuk mendapatkan nilai bahan makanan secara kasar, sebab hanya bahan
makanan yang dapat dicerna yang dapat diserap oleh tubuh. Tinggi rendahnya
nilai manfaat dari bahan pakan menjadi tolak ukur kecernaan suatu bahan pakan
dan merupakan pencerminan dari bahan pakan tersebut. Apabila kecernaannya
rendah, maka nilai manfaatnya rendah pula. Sebaliknya, apabila kecernaannya
tinggi, maka nilai manfaatnya tinggi pula (Hardana dkk., 2013).
C. Fermentasi Kulit
chrysosporum
Buah
Kakao
16
Menggunakan
Phaenerochaete
Kulit buah kakao segar dicacah lalu dijemur hingga kering agar tidak
membusuk. Sebelum difermentasi kulit buah kakao ditambah air hingga kadar air
menjadi 60-65 %, lalu dikukus selama 5 jam. Selanjutnya kulit buah kakao
ditunggu hingga dingin lalu diinokulasi dengan kapang P. chrysosporium.
Fermentasi berlangsung secara anaerob selama 20 hari, kemudian produk
fermentasi dijemur di bawah sinar matahri hingga kering lalu digiing sampai
halus dan siap digunakan sebagai komponen pakan konsentrat (Murni dkk.,
2012).
Penggunaan kulit buah kakao yang difermentasi dengan kapang P.
chrysosporium dapat digunakan sebagai pakan alternative pengganti rumput
gajah bagi ternak kambing tanpa memperlihatkan pengaruh yang nyata terhadap
konsumsi bahan organic dan pertambahan bobot (Murni dkk., 2012).
D. Manfaat Pada Ternak
Pada babi tumbuh, bobot organ internal, yaitu, saluran pencernaan, hati,
dan ginjal, tersebut berkorelasi positif dengan produksi panas endogen. Selama
musim panas, bobot organ menurun dalam rangka memberikan kontribusi untuk
mengurangi produksi panas endogen. Pada babi tumbuh, penurunan berat badan
adalah tertinggi di jantung dan hati. Yang terakhir telah terbukti menjadi
kontributor utama pengeluaran energi dan produksi panas di antara organ-organ.
Penggunaan kering kakao sekam dalam nutrisi babi diuji oleh beberapa penulis.
Penelitian ini bertujuan untuk memperkirakan efek sekam kakao makan pada
komposisi hati finishing babi berat dalam rangka untuk mengevaluasi apakah
17
18
19
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan pada makalah ini maka dapat disimpulkan
bahwa:
1. Pembuatan produk kakao fermentasi dengan Neurospora crassa untuk
diberikan sebagai makanan ternak ayam dapat mengurangi penggunaan
jagung dan konsentrat yang diberikan pada ternak dan kualitas telur
meningkat karena dengan pemberian produk fermentasi kaya karoten dalam
ransum unggas petelur akan menghasilkan telur yang rendah kolesterol tanpa
menurunkan produksi telur.
2. Fermentasi kulit buah kakao menggunakan Aspergillus niger pada level
0,31% menghasilkan KBK sebesar 24,39% (meningkat 10%) sedangkan
semakin tinggi level pemberian Aspergillus niger semakin rendah persentase
nilai KBO.
3. Penggunaan kulit buah kakao yang difermentasi dengan kapang P.
chrysosporium dapat digunakan sebagai pakan alternative bagi ternak
kambing tanpa memperlihatkan pengaruh yang nyata terhadap konsumsi
bahan organic dan pertambahan bobot
B. Saran
Karena kulit buah kakao memilki kandungan antinutrisi theobromine,
maka sebaiknya dalam pengolahan dan pemberian pada ternak perlu diperhatikan.
20
DAFTAR PUSTAKA
Ali, H. M. 2014. Average Daily Gain, AST and Blood Nitrogen Urea (BUN)
Responses of Bali Beef on Cocoa Waste Extract Supplement. Journal of
Advanced Agricultural Technologies Vol. 1, No. 1, June 2014.
Anas, S., A. Zubair dan D. Rohmadi. 2011. Kajian Pemberian Pakan Kulit
Kakao Fermentasi Terhadap Pertumbuhan Sapi Bali Study Of Gift Of
Cocoa Husk Fermented Feed On Bali Cow Growth. Jurnal Agrisistem,
Desember 2011, Vol. 7 No. 2 ISSN 1858-4330.
Hardana, N. E., Suparwi dan F. M. Suhartati. 2013. Fermentasi Kulit Buah
Kakao (Theobroma cacao L.) MenggunakAN Aspergillus niger
Pengaruhnya Terhadap Kecernaan Bahan Kering (Kbk) Dan Kecernaan
Bahan Organik (Kbo) Secara In Vitro. Jurnal Ilmiah Peternakan 1(3):
781-788, September 2013.
Magistrelli, D., L.Malagutti, G. Galassi dan F. Rosi. 2014. Cocoa Husks In Diets
Of Italian Heavy Pigs. Journal Of Animal Sciencedoi:
10.2527/jas.53970 2012, 90:230-232.
Merdekawani, S. dan A. Kaswiran. 2013. Fermentasi Limbah Kulit Buah Kakao
(Theobroma cacao L) Dengan Aspergillus niger Terhadap Kandungan
Bahan Kering Dan Abu. LENTERA: Vol.13 No.2 Juni 2013
Murni, R., Akmal dan Y. Okrisandi. 2012. Pemanfaatan Kulit Buah Kakao Yang
Difermentasi Dengan Kapang Phaenerochaete chrysosporum Sebagai
Pengganti Hijauan Dalam Ransum Ternak Kambing. AGRINAK. Vol.
02 No. 1 Maret 2012:6-10.
Muzakki, A. 2012. Tinjauan Pustaka. Universitas Sumatera Utara. Medan.
Nuraini dan M. E. Mahata. 2009. Pemanfaatan Kulit Buah Kakao Fermentasi
Sebagai Pakan Alternatif Ternak Di Daerah Sentra Kakao Padang
Pariaman. DPPM Dikti Depdiknas Program Ipteks, 2009.
21