Anda di halaman 1dari 27

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Entok merupakan ternak unggas penghasil daging yang sudah lama

dikenal dan dipelihara oleh petani di Indonesia. Entok merupakan sumber

protein hewani yang sangat dibutuhkan masyarakat dan salah satu jenis ternak

unggas domestik yang mempunyai peranan cukup besar sebagai unggas

penghasil daging. Pengembangan entok sebagai penghasil daging mempunyai

prospek yang sangat baik, karena entok mempunyai laju pertumbuhan dan

bobot karkas yang lebih baik dibandingkan dengan jenis itik yang lain

(Steklenev 1990; Solomon et al., 2006). Daging entok dikenal sebagai daging

berkualitas tinggi karena mengandung kadar lemak rendah dan dengan cita

rasa yang gurih dan spesifik (Bakrie et al., 2003; Damayanti 2006; Solomon

et al. ,2006).

Daging mempunyai sifat yang mudah busuk apabila tidak dilakukan

penanganan lebih lanjut, sehingga perlu dilakukan proses pengawetan

penyimpanan pada suhu tertentu atau dengan pertambahan zat tertentu.

Penambahan zat tertentu pada suatu bahan pangan sudah sering dilakukan

dalam meningkatkan kualitas fisik maupun kimia dari produk pangan,

penambahan tersebut zat tertentu dapat memperpanjang masa simpan pangan

salah satunya dengan penambahan asam cuka. Keunggulan menggunakan

asam cuka sebagai bahan pengawet, karena asam asetat adalah asam organik

1
sehingga lebih aman dan tidak menyebabkan efek samping yang

membahayakan kesehatan serta mudah diperoleh dengan harga murah.

Pengunaan asam cuka untuk bahan pengawet dapat dilakukan dengan

perendaman danging dengan menggunakan asam cuka dapat meningkatkan

efek positif pada daging dan resiko kehilangan air pada saat pengolahan akan

lebih sedikit dan mempertahankan kualitas karena hampir tidak ada batas

maksimal penggunaanya untuk makanan. Beberapa peneliti menyatakan

penggunaan asam asetat untuk makanan dalam jangka waktu yang lama tidak

membahayakan kesehatan karena dapat dimetabolisir oleh tubuh kemudian

dikeluarkan dari tubuh (Andriani, 2006).

Berdasarkan uraian di atas maka penulis akan melakukan untuk

penelitian dengan judul pemanfaatan asam asetat pada daging entok terhadap

pH, keempukan dan total bakteri.

1.2 Tujuan

Penelitian ini bertujuan mengetahui pH daging entok, keempukkan

dan total bakteri yang direndam menggunakan asam asetat

1.3 Manfaat

Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi penulis sebagai ilmu

pengetahuan dan dapat menjadi sumber informasi baru bagi masyarakat

terhadap pemanfaatan asam asetat sebagai bahan pengawet daging entok

(Cairina moschata)

2
1.4 Hipotesis

Pemanfaatan asam asetat pada daging entok akan mempengaruhi pH,

keempukan daging dan total bakteri daging.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Entok (Cairina moschata)

Entog adalah salahsatu jenis unggas air yang memiliki beberapa

nama, berdasarkan nama daerahnya yaitu entog di ambil dari bahasa Sunda,

sedangkan bahasa Jawanya adalah mentok. Nama lainnya adalah itik manila

dan itik serati atau dalam bahasa Inggris disebut Muscovy duck (Aminuddin,

2014).

Entok mempunyai bobot berkisar 3 kg sampai dengan 6 kg, lebih baik

dibandingkan dengan jenis itik yang lain (Steklenev 1990; Solomon et al,

2006). Daging entok dikenal sebagai daging berkualitas tinggi karena

mengandung kadar lemak rendah dan dengan cita rasa yang gurih dan spesifik

(Bakrie et al, 2003; Damayanti 2006; Solomon et al,2006). Entok termasuk

salah satu unggas yang toleran pada pakan berkualitas rendah dan relatif

tahan terhadap serangan penyakit (Anwar, 2005). Kelebihan lain entok adalah

dagingnya sudah dikenal dan diterima masyarakat sebagai penghasil daging

dan penyedia jasa pengeraman telur itik (Tamzil, 2017).

Data statistik Kementerian Pertanian Republik Indonesia mencatat

bahwa produksi daging entok pada tahun 2013 mencapai angka 4 ton.

Produksinya meningkat dari tahun ke tahun dan pada tahun 2017 mencapai

angka 5,6 ton (Kementan, 2017).

4
Klasifikasi ternak entok menurut Rose (1997), dapat digolongkan sebagai

berikut:

Kingdom : Animalia

Subkingdom : Metazoa

Phylum : Chordata

Subphylum : Vertebrata

Class : Aves

Ordo : Anseriformis

Family : Anatidae

Genus : Cairina

Species : Moschata

2.2 Daging entok

Menurut Aberle et al (2001) sifat fisik daging segar sangat berguna

bagi konsumen, penjual dan kesesuaian untuk pengolahan lanjut, hal ini yang

penting adalah daya mengikat air, susut masak, pH, kealotan, warna dan

tekstur. Daging yang dapat dikonsumsi adalah daging yang berasal dari

hewan yang sehat. Secara fisik, kriteria atau ciri-ciri daging entok adalah

berwarna gelap, berbau aromatis, memiliki konsistensi yang kenyal dan bila

ditelan tidak terlalu banyak mengeluarkan cairan (Hartanto, 2017).

Menurut Soeparno (2009) menambahkan, keempukan, tekstur, flavor,

aroma dan termasuk bau dan cita rasa daging, susut masak dan pH juga ikut

menentukan sifat dan kualitas daging.

5
2.3 Asam Asetat

Asam asetat atau asam cuka adalah bahan tambahan makanan yang

sering digunakan dalam produk makanan, seperti halnya pengawet makanan

karena mampir tidak ada batas maksimal penggunaanya untuk makanan dan

beberapa peneliti menyatakan penggunaan asam asetat untuk makanan dalam

jangka waktu yang lama tidak membahayakan kesehatan karena dapat

dimetabolisir oleh tubuh kemudian dikeluarkan dari tubuh (Andriani, 2007).

Asam asetat merupakan salah satu asam karboksilat paling sederhana,

setelah asam format. Larutan asam asetat dalam air merupakan sebuah asam

lemah, artinya hanya terdisosiasi sebagian menjadi ion H+ dan CH3COO-.

Asam asetat merupakan pereaksi kimia dan bahan baku industri yang penting.

Asam asetat digunakan dalam produksi polimer seperti polietilena

tereftalat, selulosa asetat, dan polivinil asetat, maupun berbagai

macam serat dan kain. Dalam industri makanan, asam asetat dengan kode

aditif makanan E260 digunakan sebagai pengatur keasaman. Sedangkan

dalam rumah tangga, asam asetat encer juga sering digunakan

sebagai pelunak bahan makanan, sepertinya acar.

Bentuk murni dari asam asetat ialah asam asetat glacial. Asam asetat

glasial mempunyai ciri-ciri tidak berwarna, rumus ini sering kali ditulis dalam

bentuk CH3–COOH, CH3COOH, atau CH3CO2H. Asam asetat pekat

(disebut asam asetat glasial) adalah cairan higroskopis tak berwarna, dan

memiliki titik beku 16,7°C dengan bau menyengat, dapat bercampur dengan

air dan banyak pelarut organik. Dalam bentuk cair atau uap, asam asetat

6
glacial sangat korosif terhadap kulit dan jaringan lain suatu molekul asam

asetat mengandung gugus – OH dan dengan sendirinya dapat membentuk

ikatan hidrogen dengan air. Karena adanya ikatan hidrogen ini, maka asam

asetat yang mengandung atom karbon satu sampai empat dan dapat

bercampur dengan air (Hewitt, 2003).

Asam asetat juga sangat efektif mengurangi jumlah cemaran bakteri

patogen jika digunakan untuk merendam daging serta tidak meninggalkan

residu, sehingga daging yang dicuci dengan asam asetat tersebut aman untuk

dikonsumsi (Rahman,1999). Asam asetat dan asam sitrat juga mempunyai

keunggulan lain yaitu toksitasnya yang rendah dan penggunaannya pada

bahan makanan tidak dibatasi (Davidson, 1993).

2.4 pH Daging

Nilai pH merupakan salah satu kriteria dari dalam sifat fisik daging.

Daging setelah pemotongan akan mengalami penurunan nilai pH dan ternak

mati terjadi proses biokimiawi yang sangat kompleks di dalam jaringan otot

dan jaringan lainnya sebagai akibat tidak adanya aliran darah ke jaringan

tersebut, karena terhentinya pompa jantung. Salah satu proses yang terjadi

dan merupakan proses dominan dalam jaringan otot setelah kematian adalah

proses glikolisis anaerob atau glikolisis postmortem, dalam glikolisis anaerob

ini, selain dihasilkan energy adenosina trifosfat (ATP) maka dihasilkan juga

asam laktat. Asam laktat tersebut akan terakumulasi di dalam jaringan dan

mengakibatkan penurunan nilai pH jaringan otot (Septinova et al, 2016).

7
Nilai pH otot saat ternak hidup sekitar 7,0-7,2 (pH netral). Setelah

ternak disembelih (mati), nilai pH dalam otot (pH daging) akan menurun

akibat adanya akumulasi asam laktat. Penurunan nilai otot ternak dan

ditangani dengan baik sebelum pemotongan akan berjalan secara bertahap

dari 7,0 sampai 5,6-5,7 dalam waktu 6-8 jam dan akan mencapai nilai pH

akhir sekitar 5,5-5,6 (Septinova et al., 2016).

Menurut Soeparno (2005) pH ultimat daging yaitu pH yang tercapai

setelah glikolisis otot habis atau glikolisis tidak lagi sensitif oleh serangan-

serangan enzim glikolitik, normalnya adalah 5,4 – 5,8 (Hoffman et al., 2003)

melaporkan bahwa nilai pH daging mempunyai hubungan negatif dengan

daya putus daging. Nilai pH tinggi cenderung memiliki daya putus yang

relative rendah. Domiszewsk et a., (2011) menyatakan bahwa daging dengan

pH tinggi lebih empuk dari daging dengan pH rendah

2.5 Bakteri Daging

Kontaminasi pada daging berasal dari mikroorganisme yang

memasuki peredaran darah pada saat penyembelihan, jika alat-alat yang

dipergunakan untuk mengeluarkan darah tidak steril karena darah masih

bersirkulasi selama beberapa saat setelah penyembelihan, kontaminasi

selanjutnya dapat terjadi melalui permukaan daging selama operasi persiapan

daging, yaitu proses pembelahan karkas, pendinginan, pembekuan,

penyegaran daging beku, pemotongan karkas atau daging, proses pembuatan

produk daging, preservasi, pengepakan, penyimpanan dan distribusi

(Soeparno, 2015).

8
Pencemaran bakteri pada daging sesaat setelah dipotong, darah masih

bersirkulasi ke seluruh anggota tubuh hewan sehingga penggunaan pisau yang

tidak bersih dapat menyebabkan mikroorganisme masuk ke dalam darah

(Gustiani, 2009). Bakteri memiliki permukaan yang luas sesuai dengan

perbandingan volume tubuhnya, bakteri akan cepat memperoleh makanan

dari lingkungannya, baik secara difusi maupun melalui mekanisme transpor

aktif. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan bakteri yaitu,

ketersediaan makanan, pH, konsentrasi ionik, serta oksigen khususnya untuk

bakteri aerob obligat (Sudjadi dan Laila, 2006).

Daging merupakan bahan pangan yang sangat baik untuk

pertumbuhan mikroba karena 1) memiliki kadar air yang tinggi (68,75%), 2)

kaya akan zat yang mengandung nitrogen, 3) kaya akan mineral untuk

pertumbuhan mikroba, 4) mengandung mikroba yang menguntungkan bagi

mikroba lain (Gustiani, 2009).

Pertumbuhan bakteri terdiri dari 4 fase yaitu: 1) fase lag adalah fase

dimana bakteri beradaptasi dengan lingkungannya dan mulai bertambah

sedikit demi sedikit; 2) fase logaritmik adalah fase dimana pembiakan bakteri

berlangsung paling cepat; 3) fase stationer adalah fase dimana jumlah bakteri

yang berkembang biak sama dengan jumlah bakteri yang mengalami

kematian; 4) fase autolisis (kematian) adalah fase dimana jumlah bakteri yang

mati semakin banyak, melebihi jumlah bakteri yang berkembang biak.

(Diagram 1)

9
Diagram 1. Fase pertumbuhan bakteri (sumber : Ratna, 2012)

Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme di dalam

daging dibagi menjadi dua kelompok, yaitu: (1) faktor dalam (intrinsik),

termasuk nilai nutrisi daging, kadar air, pH, potensi oksidasi-reduksi, dan ada

tidaknya substansi penghalang atau penghambat, dan (2) faktor luar

(ekstrinsik), misalnya temperatur, kelembaban relatif, ada tidaknya oksigen,

dan bentuk atau kondisi daging (Soeparno, 2015).

Prihharsanti 2009, menyatakan bahwa dalam suhu rendah dalam

(freezer) perkembangan populasi bakteri dan jamur dapat dihambat sampai

dengan penyimpanan 18 jam, namun walaupun sangat lambat

perkembangannya ternyata bakteri dapat terus bertambah seiring lamanya

penyimpanan di dalam (freezer)

2.6 Keempukkan Daging

Keempukkan daging merupakan hal yang penting dalam penentuan

kualitas daging karena berpengaruh terhadap cita rasa dan saat pengunyahan.

Faktor yang mempengaruhi keempukan daging adalah jaringan ikat, serabut

daging dan lemak intramuskular. Menurut Lawrie (2003) jaringan ikat

10
merupakan faktor penting dalam menentukan keempukkan daging. Otot yang

banyak mengandung jaringan ikat seperti daging bagian atas kaki belakang

kurang empuk dibandingkan dengan daging yang memiliki lebih sedikit

jaringan ikat.

Soeparno, (2005) juga menyatakan keempukkan daging ditentukan

oleh 3 komponen utama, yaitu struktur miofibrilar dan status kontraksi,

kandungan jaringan ikat dan tingkat ikatan silang, daya mengikat air oleh

protein daging serta juiceness daging. Perubahan struktur miofibrilar juga

berpengaruh terhadap keempukan daging. Daging dengan miofibrilar yang

lebih besar (semitendinosus) memiliki keempukan yang lebih rendah

dibandingkan dengan yang miofibrilarnya lebih kecil (longissimus dorsi).

Salah satu penilaian mutu daging adalah sifat keempukannya yang

dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor yang mempengaruhi keempukan

daging ada hubungannya dengan komposisi daging itu sendiri, yaitu berupa

tenunan pengikat, serabut daging, sel-sel lemak yang ada diantara serabut

daging serta rigor mortis daging yang terjadi setelah ternak dipotong. (Reny

et al., 2010) Faktor yang mempengaruhi keempukan daging digolongkan

menjadi faktor antemortem (sebelum pemotongan) seperti genetik (termasuk

bangsa, spesies, dan status fisiologi), umur, manajemen, jenis kelamin, serta

stres, dan faktor postmortem (setelah pemotongan) yang meliputi metode

chilling, refrigerasi, pelayuan/pemasakan (aging), pembekuan (termasuk lama

dan temperatur penyimpanan), dan metode pengolahan (termasuk metode

pemasakan dan penambahan bahan pengempuk). Keempukan daging dapat

11
diketahui dengan mengukur daya putusnya, semakin rendah nilai daya

putusnya, semakin empuk daging tersebut (Tambunan, 2010).

2.7 Pemanfaatan Asam Asetat pada Daging

Fadila et al., (2015) menyatakan bahwa perebusan daging merah ikan

tuna menggunakan larutan asam asetat pada konsentrasi yang berbeda

berpengaruh nyata terhadap derajat keasaman (pH), kadar air, protein dan

lemak serta derajat putih tepung ikan yang dihasilkan berpengaruh tetapi

tidak berpengaruh nyata terhadap kadar abu. Erlita et al., (2016) pengaruh

lama perendaman menggunakan cuka saguer terhadap peningkatan kualitas

fisik daging ayam kampung perendaman selama 20 menit dengan asam asetat

(cuka) dapat digunakan untuk merendam daging ayam kampung karena

secara kualitas dapat mempertahankan tekstur daging dan meningkatkan daya

ikat air daging pada kondisi pH daging yang normal.

Erlita et al., (2016) dengan perlakuan pengaruh lama perendaman

menggunakan asam cuka terhadap peningkatan kualitas fisik daging entok

(chairina moschata). Perendaman selama 20 menit dengan cuka saguer dapat

digunakan untuk merendam daging entok karena secara kualitas dapat

mempertahankan tekstur daging turun di bawah titik isoelektrik. Hal ini

disebabkan karena muatan H+ lebih banyak sehingga menyebabkan daya

mengikat air meningkat.

12
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini telah dilaksanakan di laboratorium Universitas

Muhammadiyah Bengkulu dan analisa pH, keempukan dan total bakteri

dengan metode TPC (Total Plate Count) di laboratorium Universitas

Bengkulu. Penelitian akan dilaksanakan pada bulan Juli 2020.

3.2 Alat dan Bahan Penelitian

1. Bahan-bahan yang digunakan yaitu :

 Daging entok bagian paha sebanyak 1 kg dengan usia entok 2 bulan

 Asam asetat

 Aquades

 pH meter

 Inoculum

 Pepton

 Nutrien Agar

 Penotrometer

2. Alat-alat yang digunakan yaitu :

 Timbangan

 Talenan

 Serbet

 Pisau

 Wadah

 Stopwatch

13
 Pingset

 Tabung reaksi

 Cawan petri

 Pipet tetes

 Rak tabung reaksi

 pH meter

 Alat tulis dan penunjang lainya

3.3 Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) yaitu

perlakuan direndam asam asetat dengan 4 perlakuan P0, P1, P2, P3 4 kali

ulangan sehingga ada 16 sampel dengan perlakuan.

P0= daging entok direndam tanpa asam asetat

P1= daging entok direndam asam asetat 2%

P2= daging entok direndam asam asetat 4%

P3= daging entok direndam asam asetat 6%

Penelitian ini dilakukan dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan

model :

Yij = μ + i + εij

Dimana

Yij= Daging entok yang menerima perlakuan asam asetat ke i ulangan ke j

μ = Nilai tengah umum

I = Pengaruh perlakuan asam asetat ke i

εij = Pengaruh galat pada perlakuan ke idan ulangan ke j (Bangun, 1991)

14
Tabel 1. Analisis Keragaman rancangan acak lengkap
Sumber F tabel
Db JK KT Fhit
Keragaman 0,05 0,01
Perlakuan (t-1) JK (t) JKt/db t KTt/KTe
Galat t(r-1) JK (e) JKe/db e

Total tr-1 JK(tot)


Keterangan:

Db = Derajat bebas

JK = Jumlah Kuadrat

KT = Kuadrat Tengah

t = Jumlah Perlakuan

r = Jumlah Ulangan

JKt = Jumlah Kuadarat Treatment

JKe = Jumlah Kuadrat Error

Jktot = Jumlah Kuadrat Total

3.4 Tahapan Penelitian

1. Mempersiapkan daging entok

Daging entok diperoleh dengan membeli di pasar, bagian paha daging

sebanyak 1 kg kemudian daging tersebut di iris seberat 30 gram, sebanyak 16

potongan.

2. Mempersiapkan asam asetat

Asam asetat /asam cuka di dapatkan dari pasar yang dikemas jerigen

yang berukuran 1 Kg kemudian dipersiapkan untuk digunakan penelitian.

15
3. Proses perendaman daging entok

Daging entok bagian paha yang sudah di siapkan sebanyak 16

potongan dengan berat masing-masing 30 gram, kemudian daging tersebut di

rendam mengunakan asam asetat dengan waktu selama 30 menit kemudian di

simpan selama 24 jam

P0= Daging entok yang direndam tanpa asam asetat

P1= Daging entok yang direndam menggunakan asam asetat sebanyak 2%

P2=Daging entok yang direndam menggunakan asam asetat sebanyak 4%

P3= Daging entok yang direndam menggunakan asam asetat sebanyak 6%

Masing – masing perlakuan dengan 4 kali ulangan sehingga ada 16 sampel

perlakuan.

3.5 Parameter yang diamati

1. pH daging

Nilai pH diukur dengan menggunakan pH meter. pH meter dikalibrasi

terlebih dahulu pada pH 4 dan 7. Kemudian pH meter ditusukkan ke dalam

daging hingga sensor pHnya tertutupi semua. Nilai pH didapat setelah angka

tertera di pH meter konstan, (Lawrie 2003).

2. Keempukan daging

Siapkan penetrometer pada tempat yang datar dan pasang universal

cone . lalu Tambah pemberat (weight) 50 gr pada penetrometer. kemudian

Catat berat universal cone + test rod + pemberat (a gram), Siapkan sampel

daging dengan bearat 30 gr dan letakan pada dasar penetrometer, kemudian

16
Jarum penunjuk diatur sehingga permukaan sampel tepat bersinggungan

dengan ujung universal cone dan jarum pada skala menunjukkan angka nol,

Tekan tuas (lever/clutch) penetrometer selama 10 detik (t) . Baca skala pada

alat yang menunjukan kedalaman penetrasi universal cone ke dalam sampel

(b mm), Keempukan daging adalah b/a/t dengan satuan mm/gr/dt

3. Pengujian bakteri daging

Penentuan jumlah total bakteri dilakukan dengan metode Angka

Lempeng Total (Total Plate Count) yakni kontrol dan sampel yang telah

diiradiasi masing-masing dimasukkan ke dalam 90 ml larutan pepton 0,1%

secara aseptis. Setelah itu, larutan pepton yang telah berisi sampel

dimasukkan ke dalam wadah blender steril secara aseptis dan diblender

sampai homogen. Selanjutnya kontrol dan sampel yang telah diblender

dimasukkan ke dalam tiga buah erlenmeyer 500 ml steril secara aseptis lalu

dilakukan pengenceran sampai 105 secara bertingkat. Setelah itu dipipet 0,1

ml larutan suspensi dari masing-masing pengenceran bertingkat lalu disebar

pada media Nutrient Agar steril lalu diinkubasi dalam inkubator dengan suhu

37° C selama 48 jam dan dihitung jumlah koloninya. (Lukman, 2004).

17
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. pH Daging Entok


Hasil pengamatan terhadap nilai rataan terhadap pH daging entok

pada masing-masing perlakuan dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. Rataan nilai pH daging entok


Perlakua ULANGAN Rata2
n U1 U2 U3 U4
P0 6.26 6.29 6.30 6.32 6.29a
P1 5.96 5.92 5.91 5.90 5.92b
P2 5.89 5.72 5.68 5.80 5.77c
P3 5.57 5.30 5.21 5.20 5.32d
Keterangan: Supercrip yang berbeda menyatakan berpengaruh nyata (P<0,05)

Hasil analisa sidik ragam (Lampiran 1) penelitian menunjukkan

bahwa pemberian asam asetat pada daging entok berpengaruh sangat nyata

(P<0,01) terhadap kadar pH daging tersebut. Hasil lanjut uji DMRT

menunjukkan peningkatan rataan pH daging pada semua perlakuannya,

dengan rata-rata terendah pada P3 (5.32) dan tertinggi pada P0 (6.29). Hal ini

diduga kandungan yang terdapat dalam asam asetat yaitu mengandung etanol

yang mengandung gugus hidroksil, sehigga membuat molekul ini lebih asam,.

Etanol dapat diubah menjadi konjugat basanya ion etoksoda (CH3CH2O).

Nurwanto et al., (2012). Hal ini didukung oleh penelitian Ernani, (2013) yang

menyatakan bahwa pada kelarutan fluorapatit dalam larutan penyangga asam

asetat berbagai pH dengan penambahan ion sejenis fosfat dan kalsium

berbagai konsentrasi dimana kelarutan flurapatit menurun dengan

bertambahnya pH larutan penyangga asam asetat berbagai pH dan

18
bertambahnya konsentrasi ion sejenis fosfat dan kalsium. Semakin tinggi

persentasi pemberian larutan asam asetat pada daging entok maka semakin

menurunkan nilai pH daging atau daging menjadi lebih asam.

Menurunnya pH daging entok dengan meningkatnya level konsentrasi asam

asetat disebabkan hidrolisa protein daging entok di karekan asam asetat menembus

membran sitoplasma daging entok.

4.2. Keempukan Daging Entok


Hasil pengamatan terhadap nilai rataan terhadap keempukan daging

entok pada masing-masing perlakuan dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel 3. Rataan nilai keempukan daging entok


Perlakuan ULANGAN (mm/gr/dt)
Rata2
U1 U2 U3 U4
P0 5.94 5.86 5.88 5.75 5.86c
P1 5.20 5.19 5.20 5.18 5.19d
P2 6.30 6.29 6.22 6.21 6.26b
P3 6.40 6.43 6.52 6.54 6.47a
Keterangan: Supercrip yang berbeda menyatakan berpengaruh nyata (P<0,05)

Hasil analisa sidik ragam (Lampiran 2) penelitian menunjukkan

bahwa pemberian asam asetat pada daging entok berpengaruh nyata (P<0,05)

terhadap keempukan daging tersebut. Hasil lanjut uji DMRT semua perlakuan

berbeda nyata dari tabel 3 menunjukkan nilai keempukan naik, rata-rata

tertinggi pada P3 (6.47) dan terendah pada P1 (5.19).

Penggunaan asam asetat 2% membuat daging entok menjadi empuk

hal ini di duga karena pemberian asam oleh kandungan yang dimiliki asam

asetat mengandung Kalium dikromat, K2Cr2O7, yang merupakan suatu

pereaksi kimia anorganik, pada umumnya diigunakan sebagai agen

19
pengoksidasi. Senyawa ini adalah kristal padat ionik dengan warna merah-

jingga asam asetat membentuk kristal mirip es pada 16,6 °C (61,9 °F),

sehingga menyebabkan keempukan pada daging entok bertambah, namun

tidak menimbulkan dampak negatif pada daging entok tersebut. Dengan kata

lain kualitas daging entok ini masih dapat terjaga dengan baik. Hal ini hampir

sama dengan penelitian Erlita et al., (2016) dengan perlakuan pengaruh lama

perendaman menggunakan cuka saguer terhadap peningkatan kualitas fisik daging

entok (chairina moschata) melaporkan nilai daging menunjukan nilai

keempukan daging tersebut alot dan bila nilainya rendah maka daging

tersebut empuk.

4.3. Asam Asetat Terhadap Koloni Bakteri Daging Entok


Hasil pengamatan terhadap nilai rataan terhadap Koloni Bakteri

daging entok pada masing-masing perlakuan dapat dilihat pada tabel 4.

Tabel 4. Rataan nilai Koloni Bakteri daging entok


ULANGAN (x105CFU/ml) Rata2
Perlakuan
U1 U2 U3 U4
P0 9.36 9.28 9.15 9.11 9.23a
P1 6.08 6.32 6.78 6.82 6.50b
P2 5.84 5.68 5.69 5.76 5.74c
P3 3.92 3.66 3.86 3.86 3.83d
Keterangan: Supercrip yang berbeda menyatakan berpengaruh nyata (P<0,05)

Hasil analisa sidik ragam (Lampiran 3) penelitian menunjukkan

bahwa pemberian asam asetat pada daging entok berpengaruh nyata (P<0,05)

terhadap koloni bakteri daging itik entok.

Hasil lanjut uji DMRT menunjukkan penurunan rataan koloni bakteri

daging pada semua perlakuannya, dengan rata-rata tertinggi pada P0 (9.23)

20
dan terendah pada P3 (3.82). Hal ini diduga dikarenakan masa awet pada

daging yang lebih lama akibat perendaman asam asetat dengan minimal

waktu perendaman 24 jam yang mengandung kadar asam, sehingga

membunuh pertumbuhan koloni bakteri yang merugikan. Pencucian dan

perendaman dengan menggunakan asam asetat dapat menurunkan jumlah

bakteri telah dilaporkan pada beberapa hasil penelitian. Nurliana et al.,

(2015). Semakin tinggi persentase asam asetat maka semakin menurun

koloni bakteri, sehingga sangat berdampak baik pada kualitas daging entok

tersebut. Hal ini hampir sama dengan penelitian Septinova, (2012) yang

menyatakan bahwa jumlah mikroba berkaitan dengan daging pengolahan

menggunakan pengawetan secara kimiawi dilaksanakan dengan penambahan

bahan kimia seperti gula, asam, dan garam.

21
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Perendaman daging entok menggunakan asam asetat, semakin tinggi

level asam asetat akan menurunkan nilai pH dan total bakteri, tetapi menaikan

tingkat keempukan daging entok.

5.2 Saran
Penerapan pengawetan dengan perendaman daging entok menggunakan

asam asetat dapat dilakukan demi peningkatan kualitas daging tanpa

memberikan dampak negatif.

22
DAFTAR PUSTAKA

Adawiyah.D.R. dan Waysima. 2009. Evaluasi Sensori Produk Pangan. Edisi


1.Fakultas TeknologiPertanian IPB. Bogor.

Aberle E.D., J.C Forrest., D.E. Gerrand and E.W. Mills. 2001. Principles of Meat
Science. Fourth Ed. Amerika. Kendal/Hunt Publishing Company.

AminuddinM.2014.Entog Manila Jenis Jantan dan Betina Perbedaan Muscovy


Duck.net/muscovy-duck.

Andriani 2006. Pengganti Formalin, (Asam Asetat dapat untuk Mengawetkan


Daging).Tabloid Sinar Tani.

Andriani 2007. Pengaruh asam asetat dan asam laktat sebagai antibakteri terhadap
bakteri Salmonella Sp. yang diisolasi dari karkas ayam. Prosiding
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor.

Anwar R. 2005. Produktivitas itik manila (cairina moschata) kota Jambi ilmu
peternakan.

Bakrie H, Suwandi, Simanjuntak L. 2003. Prospek pemeliharaan terpadu "tiktok"


dengan padi, ikan dan azolla di wilayah Provinsi DKI Jakarta. Wartazoa.
13:128-135. Bhattacharya

Bangun, M.K., 1991. Perancangan Percobaan untuk Menganalisis Data. Bagian


Biometri. Fakultas Pertanian USU, Medan.

Bouton, P.E., P.V.Harris, W. R. Shorthose. 1971. Effect of ultimate ph upon the


water holding capacity and tenderness of mutton. J. Food Sci. 36:435 -439.

Branen A.L., P.M. Davidson, and S. Salminen. 1990. Food Additives. Marcel
Dekker, New York.

Damayanti AP. 2006. Kandungan protein, lemak daging dan kulit itik, entok dan
mandalung umur 8 minggu. J Agrol. 13:313-317.

Davidson, 1993. Antimicrobial in Foods. 2th ed. Marcel Dekker, New York and
Basel.
Dian Fadila Sahril, Vanessa Lekahena. 2015. Pengaruh konsentrasi asam asetat
terhadap karakteristik fisikokimia tepung ikan dari daging merah ikan
tuna. Jurnal ilmiah agribisnis dan perikanan agrikan ummu-ternate.

Erlita N. Jengel , E.H.B. Sondakh, F.S. Ratulangi, C.K.M. pengaruh lama


perendaman menggunakan cuka saguer terhadap peningkatan kualitas

23
fisik daging entok (chairina moschata). Journal. Fakultas Peternakan
Universitas Sam Ratulangi Manado.

Lukman Denny W. 2004. Analisis Kuantitatif Bakteri Produk Asal Hewan.


Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner. Fakultas Kedokteran
Hewan IPB.

Nurliana, S. C. Yuda, F. Jamin, T. R. Ferasyil, M. Isa, dan Darmawi. 2015.


Pengaruh pencelupan karkas ayam pedaging dalam larutan asam sitrat dan
asam asetat terhadap angka lempeng total Escherichia coli. Jurnal Medika
Veterinaria.

Gustiani. 2009. Pengendalian cemaran mikroba pada bahan pangan asal ternak
(daging) mulai dari peternakan sampai dihidangkan.Litbang
Pertanian28(3): 96 – 100.

Hartanto, M. 2017. Kualitas Fisik dan Organoleptik Daging Entok (Cairina


moschata) yang Direndam dalam Jus Buah Pepaya (Carica papaya L.)
dengan Konsentrasi dan Lama Perendaman Berbeda.Skripsi. Fakultas
Pertanian dan Peternakan Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim
Riau. Pekanbaru.

Hoffman,., Martin, S.T., Choi, W., and Bahneman, D.W. 2003. Environmental
Application of Semiconductor Photocatalysis. J. Chem. Rev., 69 96.

Kementan. 2017. Data statistik produksi daging nasional. Jakarta (Indonesia):


Kementerian Pertanian.

Lawrie, R. A. 2003. Ilmu Daging. Terjemahan Aminuddin Parakkasi. Universitas


Indonesia Press, Jakarta.

Lawrie, R.A. 2005. Meat Science. Edisi ke5. Penerjemah : Aminudin Parakasi. UI
Press. Jakarta.

Lukman, 2007. Struktur dan Jaringan Otot Daging. Penebar Swadaya.Bandung.

Nilamsari Illy, Indyah Wahyuni, J.A.D. Kalele, N. Lontaan. 2016. Pengaruh asam
cuka saguer terhadap sifat organoleptik daging itik serati (cairina
moschata). Jurnal Zootek (“Zootek” Journal ) Vol. 36 No. 1 : 184 – 190.
Fakultas Peternakan Universitas Sam Ratulangi Manado.

Prihharsanti, A.H.T. 2009. Populasi bakteri dan jamur pada daging dengan
penyimpanan suhu rendah. Sains Peternakan. 7(2) : 66-72.

Rahayu, W. P. 1998. Penuntun pratikum penilaian organoleptik. Jurusan teknologi


pangan dan gizi . Fakultas Pertanian , Institut Pertanian Bogor, Bogor

24
Rahman. M.S. 1999. Handbook of Food Preservation. Marcel Dekker, New York.

Rao, C. A., G. Thulasi, & S. W. Ruban, 2009. Meat quality characteristics of non-
descript buffalo as affected by age and sex. World applied Scinces Journal
6(8): 1058-1065.
Ratna Yuniati, 2012. Kurva kehidupan: jangan kalah dengan bakteri.
https://staff.blog.ui.ac.id/ratna/2012/01/13/kurva-kehidupan-jangan-kalah-
dengan-bakteri/ 

Septinova, D., Riyanti, V. Wanniatie. 2016. Dasar Teknonoli Hasil Ternak. Buku
Ajar. Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Soeparno.1992. Ilmu dan Teknologi Daging. Universitas GadjahMada,


Yogyakarta.

Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Gajah Mada University Press.
Yogyakarta.

Soeparno. 2015. Properti dan Teknologi Produk. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.

Soekarto,S.T.1990. Dasar-dasar Pengawasan dan Standarisasi Mutu Pangan.Pusat


Antar Universitas. Pangan dan Gizi.Universitas Gadjah Mada.Yogyakarta.

Solomon JKQ, Austin R, Cumberbatch RN, Gonsalves J, Seaforth E. 2006. A


comparison of live weight and carcass gain of Pekin, Kunshan, and
Muscovy ducks on a commercial ration. Livest Res Rural Dev. 18.

Steklenev EP. 1990. Genetic variability of amylase isozymes of hybrids between


Muscovy duck (Cairina moschata) and domestic Pekin duck (Anas
platyrhynchos) in comparison with the initial species. Steppe Region
(Ukrainian): Ukrainian Research Institute of Animal Husbandry of Steppe
Region.

Sudjadi, dan Laila. 2006. Biologi Sain dalam Kehidupan. Jakarta: Yudhistira.

Szasz S. 2003. Changes in feather development and meat producing capacity of


the pekin, mule and muscovy ducks according to the age and sex.
[Dissertation]. Kaposvar (Hungary): University of Kaposvar.

Tamzil MH. 2017. Ilmu dan teknologi pengelolaan plasma nutfah ternak itik.
Mataram (Indonesia): Mataram University Press.

25
Tambunan. R. D. 2010. Keempukan daging dan factor – factor yang
mempengaruhi. Balai pengkajian teknologi pertanian lampung. Bandar
Lampung

Purnasari. 2014. Etanol – Pengertian, Msds, Rumus, Struktur, Bahaya, pH &


Pembuatannya

Ernani. Eda. 2016. Pengaruh Keasaman Laruta Penyangga Asetat dan ION
Sejenis Kalsium serta Fosfat Terhadap Kelarutan Fluorapatiti.

Zulfahmi. 2012. Sifat fisik Daging Ayam Petelur Afkir Dengan Konsentrasi
Berbeda.
Septinova. Dian. 2015. Kadar air pada hewan ternak

26
LAMPIRAN

27

Anda mungkin juga menyukai