Anda di halaman 1dari 54

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kulit ubi kayu merupakan limbah agroindustri seperti industri tepung tapioka dan
industri produk makanan. Proporsi kulit ubi kayu adalah sebesar 16% dari bobot segar ubi
kayu (Hidayat, 2009). Potensi kulit ubi kayu di Indonesia sangat melimpah, seiring dengan
eksistensi negara ini sebagai salah satu penghasil ubi kayu terbesar di dunia dan terus
mengalami peningkatan produksi setiap tahunnya dari data statistika tanaman pangan di tahun
2015 menunjukkan produksi ubi kayu mencapai 22 juta ton sehingga produksi kulit ubi kayu
berkisar 3,52 juta ton atau setara 985.600 ton Bahan Kering (BK). Nilai nutrien kulit ubi kayu
relatif baik untuk dimanfaatkan sebagai pakan ternak ruminansia, karena mengandung Protein
Kasar (PK) 8,11%; Serat Kasar (SK) 15,20% dan TDN 74.73% (Fitrotin, Hastuti dan Arief,
2006), sedangkan menurut Devendra (1997) bahwa kadar PK dan SK kulit ubi kayu sebesar
4,8% dan 21,2%. Adapun Kecernaan dari kulit ubi kayu yakni 28,94% untuk BK dan 33,16%
untuk BO (Nurlaili, Suparwi dan Sutardi, 2013). Fakta tersebut mengindikasikan bahwa
semakin meningkat pula limbah agroindustri tanaman ubi kayu sehingga cukup potensial
digunakan sebagai pakan ternak.
Fermentasi merupakan salah satu metode untuk meningkatkan nilai kecernaan dari
suatu pakan. Menurut Prasojo, Suhartati dan Rahayu (2013) bahwa proses fermentasi dapat
meningkatkan kandungan energi dan protein, menurunkan kandungan sianida dan kandungan
serat kasar, serta meningkatkan daya cerna pakan berkualitas rendah. Fermentasi dapat
dilakukan dengan kapang, salah satunya menggunakan Aspergillus niger karena lebih mudah
tumbuh pada media dan nutrien hasil fermentasinya pun dianggap cukup baik (Sinurat, 2006).
Hal ini diperkuat dengan pernyataan Pasaribu, Purwadaria, Sinurat, Rosida dan Saputra
(2001) bahwa dengan adanya teknologi fermentasi dengan menggunakan kapang Aspergillus
niger kandungan serat kasar yang kompleks dapat diuraikan menjadi yang lebih sederhana.
Melalui teknologi fermentasi sumber nitrogen anorganik dapat diubah menjadi protein sel dan
juga menghasilkan enzim hidrolisis yang dapat meningkatkan daya cerna bahan tersebut.
Nilai kecernaan bahan pakan merupakan ukuran seberapa banyak bagian dari nutrien
yang terkandung dalam pakan mampu dicerna dan diserap oleh tubuh ternak untuk aktivitas
metabolisme. Kecernaan bahan pakan merupakan salah satu indikator yang menentukan tinggi
dan rendahnya potensi bahan pakan untuk dimanfaatkan ternak. Bahan pakan dengan
kandungan nutrien tinggi namun nilai kecernaannya rendah maka banyak zat-zat yang tidak
bisa diserap oleh tubuh ternak dan terekskresi melalui feses
1

Teknik fermentasi dengan menggunakan Aspergillus niger telah sering dilakukan dan
terbukti dalam prosesnya mampu meningkatkan kandungan kulit ubi kayu (Supriyati dan
Kompiang, 2002). Kulit ubi kayu yang difermentasi dengan berbagai level pemberian
Aspergillus niger mengalami peningkatan nilai kecernaan bahan kering dan bahan organik
yakni 28,94% menjadi 49,92% dan 33,16% menjadi 49,16% (Nurlaili dkk.,2013). Hasil
penelitian Adenike, Ikpesu and Akomolafe (2015) yang menunjukkan adanya peningkatan PK
dari kulit ubi kayu dengan metode pengukusan dan fermentasi yang awalnya pada jam 0 yakni
4.69 menjadi 29.20% pada jam ke-720 (5 hari). Kadar Serat Kasar mengalami penurunan
pada lama inkubasi 2 hari dibandingkan tanpa fermentasi. Menurut Antari dan Umiyasih
(2009) bahwa kulit ubi kayu ini merupakan bagian yang cepat terdegradasi di dalam rumen.
Berdasarkan hasil penelitian terdahulu, perlu dikaji lebih lanjut pengaruh lama fermentasi
kulit ubi kayu dengan Aspergillus niger terhadap Produksi gas, Kecernaan Bahan Kering dan
Kecernaan Bahan Organik residu produksi gas secara In Vitro.
1.2 Rumusan Masalah
Permasalahan yang akan dikaji pada penelitian ini adalah bagaimana pengaruh lama
fermentasi kulit ubi kayu dengan Aspergillus niger terhadap

residu Produksi gas total,

Kinetika produksi gas, Kecernaan Bahan Kering dan Kecernaan Bahan Organik residu
produksi gas secara In Vitro.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari pelaksanaan penelitian ini adalah
1. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh lama inkubasi kulit ubi kayu dengan
Aspergillus niger terhadap Produksi gas total , Kinetika produksi gas
2. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh lama inkubasi kulit ubi kayu dengan
Aspergillus niger terhadap Kecernaan Bahan Kering dan Kecernaan Bahan Organik
residu produksi gas secara In Vitro.

1.4 Kegunaan
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi baik bagi
masyarakat maupun peternak mengenai fermentasi kulit ubi kayu dengan penambahan

Aspergillus niger dengan lama fermentasi yang terbaik guna didapatkannya pakan berdaya
cerna tinggi .
1.5 Kerangka Pikir
Fermentasi merupakan salah satu alternatif untuk meningkatkan daya cerna ataupun
nutrien dari suatu bahan pakan. Menurut Muchlas, Kusmartono dan Marjuki (2014) bahwa
kulit ubi kayu memiliki kandungan Bahan Kering (BK) yang rendah, sebesar 28,01%. Kulit
ubi kayu memiliki potensi dari segi jumlahnya atau ketersediannya, data menunjukkan
produksi ubi kayu di Indonesia pada tahun 2015 yakni 23.970.000 ton (Anonim, 2015)
dengan setiap bobot ubi kayu menghasilkan limbah kulit sebesar 16% dari bobot ubi kayu
(Hidayat, 2009). Produksi kulit ubi kayu berkisar 3,52 juta ton atau setara 985.600 ton BK.
Umiyasih (2006) menyatakan, bahwa bahan pakan yang berasal dari limbah pada umumnya
memiliki kandungan nutrisi yang rendah namun tersedia dengan jumlah yang banyak.
Beberapa diantaranya memiliki potensi yang cukup besar sebagai pakan yaitu kulit umbi ubi
kayu, jerami kedelai, tongkol jagung, kulit kakao dan kulit kopi.
Fermentasi menghasilkan produk yang mempunyai nutrien yang lebih baik, tak
terkecuali pada kulit ubi kayu. Menurut Oboh (2006) kulit ubi kayu mengalami kenaikan
protein kasar, yakni 8,2% menjadi 21,5 dari % BK setelah di fermentasi dengan strain murni
Lactobacillus delbruckii, Lactobacillus coryneformis and Saccharomyces cerevisae (2:1:1)
selama 3 hari kemudian tepung hasil fermentasi awal diberi perlakuan fermentasi alami tanpa
inokulan. Pada bahan lain seperti ampas kulit nanas menurut Setiyarto (2011) dalam
penelitiannya dengan media ekstrak tauge cair, Aspergillus niger berhasil meningkatkan kadar
protein kasar bahan tertinggi, yaitu dari 22,65% menjadi 31,68% dan menurunkan kadar serat
kasar yaitu yaitu dari 32,06% menjadi 30,57% pada inkubasi sembilan hari. Fermentasi
dilakukan penambahan Aspergillus niger sebagai bahan tambahan/ fermentor selama proses
ensilase tidak bisa dihindari akan terjadi perubahan pada nutrien. Perubahan yang bersifat
positif salah satunya yaitu perombakan senyawa kompleks menjadi sederhana yang lebih
mudah dimanfaatkan oleh ternak dan zat toksik yang terurai menjadi zat non toksik (Pratama,
2015). Aspergillus niger menghasilkan enzim selulase yang berperan mendegradasi selulosa
yang membungkus pati pada kulit ubi kayu, fermentasi dengan menggunakan kapang
Aspergillus niger kandungan serat kasar yang kompleks dapat diuraikan menjadi yang lebih
sederhana. Melalui teknologi fermentasi sumber nitrogen anorganik dapat diubah menjadi
protein sel dan juga menghasilkan enzim hidrolisis yang dapat meningkatkan daya cerna
bahan tersebut

Fermentasi kulit ubi kayu dengan Aspergillus niger dengan level pemberian optimal
2% menunjukkan nilai Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik yakni 49,92 0,76% dan
49,16 0,83% dibandingkan tanpa fermentasi, level pemberian 1% dan 3% berturut-turut
yakni 28,94 6,19% dan 33,16 6,22 %,; 41,37 0,99% dan 39,26 1,01% ; 41,73
1,93% dan 39,04 2,48% (Nurlaili dkk., 2013). Supriyati dan Kompiang (2002), menyatakan
tepung kulit ubi kayu dengan Aspergillus niger difermentasikan selama 3 4 hari. Harahap
(2007) dalam penelitiannya terhadap kulit buah coklat yang terfermentasi Aspergillus niger
dengan dosis 4% menunjukkan konsentrasi optimum dan lama inkubasi yakni 8 hari. Lama
inkubasi pada gaplek ubi kayu menurut Asngad dan Saparti (2009) yakni 5, 7 dan 10 hari.
Menurut Liyani (2005), bahwa lama inkubasi dalam fermentasi ampas sagu dengan
Aspergillus niger yang terbaik yakni selama 12 hari.
Kulit Ubi Kayu

Limbah Industri Ubi Kayu

Kandungan BK rendah 28,01% (Muchlas dkk., 2014)


KcBK 28,94 6,19% dan KcBO 33,16 6,22%
(Nurlaili dkk, 2013). Protein Kasar (PK) 8,11%; Serat
Kasar (SK) 15,20% (Fitrotin dkk,2006)

Fermentasi

Kulit ubi kayu memiliki potensi dari segi jumlahnya


atau ketersediannya sehingga perlu dilakukan
perlakuan untuk meningkatkan kualitasnya

Aspergillus niger
level pemberian optimal 2 %
menunjukkan nilai Kecernaan Bahan
Kering dan Bahan Organik yakni
49,920,76% dan 49,160,83 %
dibandingkan tanpa fermentasi (Nurlaili
dkk, 2013)

Lama inkubasi 2, 4, 6 dan 8 hari


tepung kulit ubi kayu dengan
Aspergillus niger difermentasikan
selama 3 4 hari.(Supriyati dan
Kompiang, 2002). Kulit buah coklat
yang terferment,si Aspergillus niger
menunjukkan konsentrasi optimum
dan lama inkubasi yakni 8 hari.
(Harahap,2007)

Analisis Produksi Gas Total, Kinetika


produksi
gas, Kecernaan Bahan Kering
1.1 Hipotesis
dan Kecernaan Bahan Organik residu
produksi gas secara In Vitro

Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian

1.6 Hipotesis
Lama fermentasi kulit ubi kayu dengan Aspergillus niger dapat meningkatkan
Produksi gas total, Kinetika produksi gas, Kecernaan Bahan Kering dan Kecernaan Bahan
Organik residu produksi gas secara In Vitro.
4

BAB II
TINJAUN PUSTAKA
2.1 Tanaman Ubi Kayu
Berdasarkan sejarahnya tanaman ubi kayu yang ada di Indonesia tidak diketahui
secara pasti, tetapi pada tahun 1852 Kebun Raya Bogor mendatangkan bibit ubi kayu dari
5

Suriname, setelah itu bibit-bibit tersebut diperbanyak, dan pada tahun 1854 dikirim ke semua
Keresidenan di seluruh pulau Jawa, akibat berkobarnya Perang Dunia 1 dan macetnya impor
beras, penanaman ubi kayu diperluas dengan cepat, karena dihawatirkan akan timbul bahaya
kekurangan bahan pangan (Sosrosoedirjo, 1992).
Tanaman ubi kayu merupakan tanaman pangan dengan nama lain ketela pohon,
singkong atau kasape. Klasifikasi tanaman ketela pohon adalah sebagai berikut (Grace,
1977) :
Kingdom

: Plantae

Divisi

: Spermatophyta

Sub Divisi

: Angiospermae

Kelas

: Dicotyledoneae

Ordo

: Euphorbiales

Famili

: Euphorbiaceae

Genus

: Manihot

Species

: Manihot utilissima, Pohl; Manihot esculenta, Crantz sin.

Tanaman ubi kayu memiliki beberapa kelebihan diantaranya dapat tumbuh di segala
tanah, tidak memerlukan tanah yang subur asal cukup gembur, tetapi sebaliknya tidak tumbuh
dengan baik pada tanah yang terlalu banyak airnya (Ciptadi, 1980). Ubi kayu merupakan
tanaman berumur panjang yang tumbuh di daerah tropika dengan kemampuan adaptasi
terhadap lingkungan yang tinggi, tahan terhadap musim kemarau dan mempunyai kelembaban
yang tinggi, tetapi sensitif terhadap suhu rendah. Tanaman ubi kayu mempunyai adaptasi yang
luas. Tanaman ini dapat tumbuh dengan baik pada dataran rendah sampai tinggi, yaitu dari 0
sampai 2500 m di atas permukaan laut, maupun di daerah kering dengan curah hujan sekitar
500 mm per tahun, asalkan air tidak sampai tergenang diperakarannya (Soenarjo, 1979).

Menurut Askar (2006) sebagai sumber pakan, produk ubi kayu hampir semuanya
dapat dikonsumsi ternak antara lain :
a. Daunnya dapat digunakan sebagai sumber hijauan bagi ternak ruminansia dalam bentuk
segar maupun kering dan untuk unggas dalam bentuk tepung.
b. Umbi ubi kayu dapat dikonsumsi ternak dalam bentuk segar maupun kering (gaplek),
baik ternak ruminansia maupun unggas sebagai sumber karbohidrat dalam konsentrat.
c. Ampas ubi kayu atau onggok sebagai hasil sisa dari pembuatan tepung tapioka
merupakan sumber karbohidrat bagi ternak.
6

Indonesia merupakan negara produsen ubi kayu terbesar ketiga di dunia. Menurut
data Kementerian Perindustrian Republik Indonesia tahun 2015 penambahan luas perkebunan
ubi kayu pada tahun 2015 dilakukan hingga 1,25 juta ha, jumlah ini naik sebanyak 4,1%
dibandingkan dengan tahun 2014 yang hanya 1,2 juta ha, sementara itu volume produksi pada
tahun 2015 sebanyak 22 juta ton dan mengalami kenaikan sebanyak 10% dibandingkan pada
tahun 2014 yang hanya 20 juta ton (Anonim, 2015).
2.2 Kulit Ubi Kayu
Kulit ubi kayu merupakan bahan pakan dari limbah pascapanen tanaman ubi kayu
selain itu ada pucuk ubi kayu, batang ketela pohon, bonggol ubi kayu, gaplek afkir, ubi kayu
afkir, dan onggok tergolong sebagai pakan sumber karbohidrat mudah dicerna. Kulit ubi kayu
dihasilkan pada proses pengolahan umbi ubi kayu menjadi produk olahan misalnya pada
pembuatan gaplek, tapioka maupun aneka bahan pangan asal ubi kayu (Antari dan Umiyasih,
2009). Setiap bobot ubi kayu akan dihasilkan limbah kulit ubi kayu sebesar 16% dari bobot
ubi kayu tersebut (Hidayat, 2009). Bentuk fisik kulit ubi kayu seperti di Gambar 2.

Gambar 2. Kulit Ubi Kayu


Kulit ubi kayu merupakan limbah dari pasca panen ubi kayu yang dapat digunakan
sebagai sumber energi pada pakan ruminan, karena dapat memenuhi kebutuhan dasar
(Anaeto, Sawyerr, Alli, Tayo, Adeyeye dan Olarinmoye, 2013). Kulit ubi kayu ini merupakan
bagian yang cepat terdegradasi di dalam rumen (Antari dan Umiyasih, 2009). Didukung
pernyataan Smith (1988) bahwa kulit ubi kayu yang diinkubasi selama 24 jam dalam rumen
domba, kehilangan Bahan Kering (BK) mencapai 70% dan 73% setelah dilakukan proses
ensiling dan kehilangan BK kulit ubi kayu semakin tinggi (83-84%) pada inkubasi 48 jam.
Hal ini menunjukkan bahwa kulit ubi kayu dapat digunakan sebagai sumber energi pada
pakan ternak ruminansia. Potensi nutrien tanaman ubi kayu dalam beberapa bagiannya, dapat
dilihat dalam Tabel 1.
Tabel 1. Kandungan Nutrien Bagian Ubi Kayu
Kandungan nutrien

Daun (%)

Batang (%)
7

Umbi (%)

Kulit (%)

Bahan kering
19,70
18,00
28,01**
Protein kasar
23,20
10,90
1,70
8,11*
Serat kasar
21,90
22,60
3,20
15,20*
Ekstak eter
4,80
9,70
0,80
1,22
Abu
7,80
8,90
2,20
4,40
Bahan Ekstrak tanpa N
42,20
47,90
92,20
68,00
NDF
59,70
54,10
ADF
39,20
37,10
Lignin
25,40
23,00
21,72***
Sumber : Devendra (1997), *Fitrotin, dkk. (2013), **Muchlas dkk. (2014), ***Santoso
(2012), Aregheore (2000)
Nilai nutrien kulit ubi kayu relatif baik untuk dimanfaatkan sebagai pakan ternak
ruminansia, karena mengandung PK 8,11%; SK 15,20% dan TDN 74.73% (Fitrotin, dkk.,
2006) berbeda dengan pernyataan Antari dan Umiyasih (2009) bahwa kulit ubi kayu dalam
keadaan kering memiliki kandungan PK 4,90 %; TDN 56,91%; SK 19,51%; LK 3,60 %
sedangkan hasil analisis proksimat pada kulit ubi kayu menurut Anaeto et al. (2013) bahwa
kulit ubi kayu mengandung PK 5,72 %, SK 9,8 % dan BK 29,2 % . Marjuki, Soebarinoto dan
Wani (2005), menambahkan bahwa kulit ubi kayu mengandung BETN 68,5%, ini
menunjukkan bahwa kandungan karbohidrat terlarutnya cukup tinggi.
Hasil penelitian di Balai Penelitian Ternak menunjukkan bahwa pemberian kulit ubi
kayu sebanyak 60% dalam ransum ternak domba berumur 18 bulan selama 100 hari dapat
menaikkan berat badan harian 91 g/ekor dan tidak mengakibatkan keracunan (Fitrotin dkk.,
2006). Menurut Smith (1988), kulit ubi kayu yang kering atau disilase dan ditambah dengan
molasses dapat digunakan sebagai suplemen pada sapi yang dilepas di padang penggembalaan
dan dapat memberikan pertambahan bobot badan sapi yang lebih baik dibandingkan dengan
kontrol (0,33 kg/hari vs 0,7 kg/hari).

2.3 Fermentasi
Salah satu metode yang dapat dilakukan untuk meningkatkan nilai gizi limbah kulit
ubi kayu adalah pengolahan pakan secara biologis dengan fermentasi. Fermentasi adalah
segala macam proses metabolisme dengan bantuan enzim dari mikroba (jasad renik) untuk
melakukan oksidasi, reduksi, hidrolisis, dan reaksi kimia lainnya, sehingga terjadi perubahan
kimia pada suatu substrat organik dengan menghasilkan produk tertentu (Winarno, Fardiaz
dan Fardiaz, 1980). Fermentasi pada dasarnya merupakan suatu proses enzimatik dimana
enzim yang bekerja mungkin sudah dalam keadaan ter-isolasi yaitu dipisahkan dari selnya
atau masih terikat di dalam sel. Reaksi enzim mungkin terjadi sepenuhnya di dalam sel
8

karena enzim yang bekerja berdada di dalam sel (intraselular) dan dapat pula terjadi di luar sel
(ekstraselular). Enzim pemecah makromolekul pada umumnya bersifat ekstraselular, yaitu
diproduksi di dalam sel kemudian dikeluarkan dari sel ke substrat di sekelilingnya (Fardiaz,
1989). Prinsip teknologi fermentasi ini adalah proses pembiakkan mikroorganisme terpilih
pada media kulit ubi kayu dengan kondisi tertentu sehingga mikroorganisme tersebut dapat
berkembang dan merubah komposisi kimia media tersebut sehingga menjadi bernilai gizi
lebih baik. Menurut Faturrahman (2015), menyatakan bahwa pemberian kulit umbi ubi kayu
sebagai pakan ternak tidak dapat diberikan dalam bentuk segar karena mengandung racun
HCN, sehingga perlu dilakukan pengolahan untuk mengurangi atau menghilangkan senyawa
tersebut melalui proses seperti pengeringan, perendaman, pengukusan dan fermentasi atau
pembuatan silase.
Proses fermentasi hasil samping tanaman perkebunan (bungkil inti sawit dan kelapa),
tanaman pangan (dedak padi dan polard gandum), serta industri pertanian (kulit ubi kayu,
onggok dari pabrik tapioka) untuk bahan pakan umumnya dilakukan dengan fermentasi
substrat padat. Fermentasi substrat padat dinilai lebih baik, karena volume proses fermentasi
lebih rendah dibandingkan kultur terendam yang mengandung kadar air lebih tinggi.
Pemanenan pada fermentasi substrat padat lebih sederhana, karena tak perlu memisahkan sel
mikroorganisme dengan sisa substrat, sedangkan pada kultur terendam dibutuhkan pemisahan
sel dengan sentrifugasi atau filtrasi. (Stephanie dan Purwadaria, 2013)
2.4 Aspergillus niger
Aspergillus niger mempunyai kepala pembawa konidia yang besar, padat, bulat dan
berwarna hitam coklat atau ungu coklat. Kapang ini mempunyai bagian yang khas yaitu
hifanya bersepta, spora yang bersifat seksual dan tumbuh memanjang di alas stigma,
mempunyai sifat aerobik, sehingga dalam pertumbuhannya memerlukan oksigen yang cukup.
Morfologi Aspergillus niger dapat dilihat di Gambar 3.

Gambar 3. Morfologi Aspergillus niger a. Vesikel, b. Metulae, c. Spora (Malloch,1999).


Aspergillus niger merupakan mikroba jenis kapang yang dapat tumbuh cepat dan
tidak membahayakan karena tidak menghasilkan mikotoksin. Aspergillus niger memiliki daya
9

amilolitik dan proteolitik yang cukup baik, serta dapat menghasilkan enzim fitase
ekstraselluler. Kapang jenis ini dapat tumbuh dengan cepat, sehingga sering digunakan secara
komersial dalam produksi asam sitrat, asam glukonat dan pembuatan berapa enzim seperti
pektinase, amiloglukosidase, selulase terutama amilase. A. niger dapat tumbuh pada suhu 3537 C (optimum) 6-8 C (minimum), 45-47 C (maksimum) dan derajat keasaman untuk
pertumbuhan adalah 2,8-5 tetapi pertumbuhannya akan lebih baik pada kondisi asam atau pH
yang rendah (Fadli, 2009).
Fermentasi dilakukan dengan menggunakan Aspergillus niger karena lebih mudah
tumbuh pada media dan nutrien hasil fermentasinya pun dianggap cukup baik, selain
meningkatkan kandungan protein, fermentasi dengan Aspergillus niger dapat menekan
pertumbuhan mikroba kontaminan. Aspergillus niger yang sangat cepat pertumbuhannya,
terutama dalam suhu optimumnya. Hal ini didukung oleh pernyataan Sinurat, Purwadaria,
Rosida, Surachaman, Hamid dan Kompiang (1998) bahwa pada suhu 32 C mampu
merombak serat kasar lebih banyak daripada suhu 28 C serta daya cerna protein yang lebih
tinggi. Aspergillus niger sebagai fermentor bahan pakan juga telah terbukti meningkatkan
Kecernaan BK pada kulit buah kakao dalam penelitian Hardana dkk. (2013) yakni sebesar
10% dan pada kulit ubi kayu sebesar 20% dengan perlakuan fermentasi Aspergillus niger 2%
(Nurlaili dkk., 2013).

2.5 Produksi Gas


Proses fermentasi

pakan

yang

dilakukan

mikroba

rumen

menyebabkan terjadinya produksi gas. Perombakan karbohidrat menjadi


produk monosakarida dan disakarida dilakukan oleh mikroba dalam
rumen. Senyawa Volatile Fatty Acids (VFA) yang terdiri atas asam asetat,
asam butirat dan asam propionat merupakan hasil akhir dari proses
fermentasi. Gas yang dihasilkan dalam proses fermentasi diantaranya H 2,
metan (CH4) dan CO2 (Kurniawati, 2009). Jumlah gas yang diproduksi memiliki
proporsi yang berbeda-beda disebabkan karena faktor jenis ternak, jenis
pakan dan waktu setelah pemberian pakan. Pembentukan gas metan
berbanding lurus dengan CO2 dan asam lemak terbang yaitu asam butirat
dan asetat. Bakteri methanogenes akan memanfaatkan H2 yang dihasilkan
dari proses fermentasi pembentukan asam asetat dan butirat. Komposisi

10

dan produksi asam lemak terbang dipengaruhi oleh fraksi tanaman yang
difermentasi dalam rumen (Widiawati, Winugroho dan Mahyuddin, 2010).
Penggunaan model produksi gas secara in vitro dapat dijadikan
sebagai metode untuk mengukur dan memprediksi pengaruh pakan pada
fermentasi di rumen, pertumbuhan mikroba rumen dan nilai kecernaan
bahan pakan (Kurniawati, 2007). Prinsip dalam mengetahui produksi gas
secara in vitro yaitu sampel pakan akan di degradasi dalam rumen oleh
mikroba menjadi dua produk yaitu VFA sebagai sumber energi

yang

diserap didalam rumen dan sel mikroba sebagai sumber protein setelah
masuk ke intestin. Berkurangnya bahan organik berbanding lurus dengan
laju produksi gas yang semakin rendah dan berhenti. laju produksi gas in vitro
semakin berkurang seiring dengan meningkatnya waktu inkubasi, disebabkan substrat yang
dapat difermentasi juga semakin berkurang jumlahnya (Jayanegara, Sofyan, Makkar and
Becker, 2009). Produksi gas dapat digambarkan dengan persatuan waktu
pengamatan,

karena

dapat

diamati

sesuai

waktu

yang

diinginkan

(Kusmartono, 2010). Hasil penelitian dari Muchlas dkk. (2014) menyatakan


ransum dengan komposisi tepung gaplek (20%),tepung silase kulit ketela pohon (30%),
tepung daun ketela pohon (50%) memiliki nilai rata-rata potensi produksi gas (ml/500 mg
BK) dan laju produksi gas per jam (ml/jam) yakni 148,68 9,51 dan 0,061 0,027.
2.6 Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik Residu Produksi Gas
Kecernaan residu produksi gas merupakan banyaknya BK dan BO yang terdegradasi
dalam rumen. Makkar et al., (1995) menerangkan bahwa residu hasil produksi gas terdiri dari
substrat yang tidak terdegradasi dan biomasa mikroba. Nilai degradasi suatu bahan pakan
penting untuk diketahui karena jumlah nutrien yang lolos dari degradasi rumen akan
berpengaruh terhadap respon ternak. Menurut rskov (1982) bahwa laju degradasi merupakan
faktor yang akan menentukan nilai kecernaan serta konsumsi pakan. Tinggi rendahnya
kecernaan bahan pakan memberi arti seberapa besar bahan pakan itu mengandung nutrien
dalam bentuk yang dapat dicerna dalam saluran pencernaan (Basri, 2014).
Faktor-faktor yang mempengaruhi kecernaan antara lain komposisi bahan pakan,
perbandingan komposisi antara bahan pakan satu dengan bahan pakan lainnya, perlakuan
pakan, suplementasi enzim dalam pakan, ternak dan taraf pemberian pakan (McDonald,
Edwards, Greenhalgh and Morgan, 2002).
Kecernaan bahan kering (KcBK) dan bahan organik (KcBO) residu produksi gas
secara in vitro diketahui dengan cara menghitung residu pasca proses inkubasi produksi gas
11

selama 48 jam. Kecernaan bahan organik dalam saluran pencernaan ternak meliputi kecernaan
nutrien berupa komponen bahan organik seperti karbohidrat, protein, lemak, dan vitamin.
Bahan-bahan organik yang terdapat dalam pakan tersedia dalam bentuk tidak larut, oleh
karena itu diperlukan adanya proses pemecahan zat-zat tersebut menjadi zat-zat yang mudah
larut. Faktor yang mempengaruhi kecernaan bahan organik adalah kandungan serat kasar dan
mineral dari bahan pakan. Kecernaan bahan organik erat kaitannya dengan kecernaan bahan
kering, karena sebagian dari bahan kering terdiri dari bahan organik (Basri, 2014). Menurut
Garsetiasih (2007), tinggi rendahnya kualitas bahan pakan atau pakan dapat ditunjukkan
dengan kecernaan dari bahan pakan atau pakan tersebut sehingga dapat diprediksi semakin
tinggi kecernaan suatu jenis pakan, semakin tinggi kualitas pakan tersebut.
Kecernaan Bahan Kering dan Kecernaan Bahan Organik pada dasarnya dapat
meningkat karena perlakuan ataupun kondisi. Faktor-faktor

yang dapat mempengaruhi

kecernaan bahan kering adalah aktivitas mikroba dalam rumen, kualitas cairan rumen yang
digunakan, persentase lignin dalam bahan pakan, pengontrolan pH rumen, kondisi temperatur
dalam shaker waterbatch, kondisi fisik bahan pakan dan jenis kandungan gizi yang
terkandung dalam pakan.

Pada hasil penelitian Nurlaili dkk., (2013) dengan perlakuan

fermentasi menggunakan Aspergillus niger 2% dapat meningkatkan KcBK dan KcBO kulit
ubi kayu yang awalnya 28,94 6,19% dan 33,16 6,22% menjadi 49,92 0,76% dan 49,16
0,83%. Adapun menurut Hernaman, Budiman, Nurachma dan Hidayat (2014) KcBK kulit
ubi kayu mencapai 64,92%. Hasil Penelitian Muchlas dkk (2014) bahwa ransum dengan
komposisi tepung gaplek (20%),tepung silase kulit ketela pohon (30%), tepung daun ketela
pohon (50%) memiliki kecernaan bahan kering dan bahan organik (KcBK = 57,31% dan
KcBO = 55,91%) yang relatif tinggi dari pada perlakuan lainnya.
2.7 Lama Inkubasi
Menurut Supriyati dan Kompiang (2002) menyatakan tepung kulit ubi kayu dengan
Aspergillus niger difermentasikan selama 3 - 4 hari. Harahap (2007) dalam penelitiannya
terhadap kulit buah coklat yang terfermentasi Aspergillus niger dengan dosis 4%
menunjukkan konsentrasi optimum dan lama fermentasi yakni 8 hari. Lama fermentasi pada
gaplek ubi kayu menurut Asngad dan Saparti (2009) yakni 5, 7 dan 10 hari. Menurut Liyani
(2005) bahwa lama inkubasi dalam fermentasi ampas sagu dengan Aspergillus niger yang
terbaik yakni selama 12 hari.

12

BAB III
MATERI DAN METODE PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2015 sampai dengan Juni 2016.
Analisis Proksimat, Produksi Gas, Kecernaan Bahan Kering residu dan Kecernaan Bahan
Organik residu dilaksanakan di Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas
Peternakan Universitas Brawijaya.
3.2 Materi Penelitian
3.2.1 Bahan
Cairan rumen yang digunakan pada penelitian ini berasal dari ternak
sapi Peranakan Friesian Holstein (PFH) betina berfistula dengan bobot badan 380
kg umur 9 tahun di Laboratorium Lapang Sumber Sekar Fakultas Peternakan
Unversitas Brawijaya .

13

Kulit Ubi kayu (Manihot utilissima) yang didapatkan dari limbah panganan olahan

singkong keju di daerah Pasar Merjosari Kota Malang.


Aspergillus niger didapatkan dari suplyer a.n. Eko Purwanto di Yogyakarta dalam

bentuk crumble (padatan) yang memiliki nilai TPC sebesar 1,1 x 107 CFU/g.
Bahan untuk analisis proksimat (AOAC, 2005)
a. Protein Kasar
H2SO4 pekat (95-97%), NaOH 40%, aquades dan katalisator buatan Merck yang
terdiri atas campuran Sodium Sulphate, Copper (II) Sulphate, Selenium dan
Polymer of Ethylene Glycol, H2SO4 0,1 N, Indikator (2 gram methyl red + methyl
blue per liter etanol 96%), NaOH 0,1 N dan batu didih. (Lampiran 3.)
b. Serat Kasar
H2SO4 0,3 N, Ethylene Diamine Tetra Asetic Acid Disodium Salt Dihydrate
(EDTA), HCL 0,3 N, NaOH 1,5 N, aquades panas, aceton, pasir bersih dan batu

didih (Lampiran 4.).


Bahan kimia untuk pengukuran produksi gas dan kecernaan (Makkar
et al. (1995) terdiri dari:
a. Larutan mikro mineral (13,2 g CaCl2.

2H2O,

10

MnCl2.4H2O,

CoCl2.6H2O, 8 g FeCl3.6H2O, 5,7 g Na2HPO4 anhydrous, 6,2 g KHPO4 anhydrous,


0,6 G MgSO4.7H2O, 2,22 g NaCl dan Aquades hingga 100 ml)
b. Larutan resazaurin 0,1 % (w/v)
c. Larutan buffer (4 g NH4HCO3, 35 g NaHCO3 dan Aquades hingga 100 ml)
d. Larutan reduktor (3,7 ml NaOH 1 N, 0,58 g Na2S.9H2 dan Aquades hingga 100 ml)
(Lampiran 6.)
3.2.2 Alat
Analisis Proksimat
a. Bahan Kering
timbangan analitik, cawan porselin, eksikator, tang penjepit, kertas dan oven
b. Abu
timbangan analitik, cawan porselin, eksikator, tang penjepit dan tanur
c. Protein Kasar
timbangan analitik, labu kjeldhal 50 ml, gelas ukur (dispenser) 5 ml, penjepit, alat
destruksi, beaker glass 300 ml dan alat destilasi
d. Serat Kasar
timbangan analitik, beaker glass khusus untuk serat kasar, gelas ukur, penjepit,

pemanas, cawan filtrasi (crusible), oven, tanur dan eksikator.


Produksi Gas dan Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik
Inkubator, piston, syringe, selang berklip, termos, timbangan analitik, gelas ukur, cawan
porselin, pipet tetes, tabung erlenmeyer, tabung CO2, tabung fermentor, oven, tanur,
eksikator dan centrifiuge.

14

3.3 Metode Penelitian


Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah eksperimental laboratorium
dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) 5 perlakuan dan 3 kali ulangan
sebagai kelompok. Kelompok pada penelitian ini adalah perbedaan waktu pengambilan rumen
ternak. Perlakuan yang diberikan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
P0 = Kulit ubi kayu (dikukus) tanpa fermentasi
P1 = Kulit ubi kayu (dikukus) + Aspergillus niger 2% diinkubasi selama 2 hari
P2 = Kulit ubi kayu (dikukus) + Aspergillus niger 2% diinkubasi selama 4 hari
P3 = Kulit ubi kayu (dikukus) + Aspergillus niger 2% diinkubasi selama 6 hari
P4 = Kulit ubi kayu (dikukus) + Aspergillus niger 2% diinkubasi selama 8 hari
Penggunaan optimal Aspergillus niger pada fermentasi kulit ubi kayu terhadap
kecernaan bahan kering dan bahan organik berada pada level 2% dari BK (Nurlaili dkk.,
2013).
3.3.1 Persiapan sampel
Kulit ubi kayu dibersihkan dan dicuci, kemudian dirajang persegi setelah itu dikukus

(suhu 70-80 C, 30 menit) dan didinginkan sebelum proses fermentasi


Ditimbang sebanyak 100 g (setara dengan 28 g BK) dan dimasukkan ke dalam wadah
plastik (fermentor) secara aseptis (Muhiddin, Juli dan Aryantha., 2001). Hal ini dilakukan

sebanyak perlakuan
Diinokulasi dengan ditambahkan Aspergillus niger 2% dari BK difermentasikan secara

aerob dengan lama inkubasi berturut-turut 2, 4, 6 dan 8 hari


Digiling hingga berukuran 1 mm kemudian digunakan sebagai sampel dalam uji produksi

gas dan kecernaan secara in vitro.


3.3.2 Pengambilan cairan rumen
Cairan diambil dari sapi berfistula yang berada di Laboratorium lapang Sumber Sekar,
Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya. Terlebih dahulu disiapkan termos yang
sebelumnya telah diisi air hangat 40 - 50 C sampai penuh, kemudian dibuang 1/3 bagian air
hangat dan ditambahkan air dingin sampai suhu air dalam termos 39 C. Air dalam termos
dibuang dan ganti dengan cairan rumen yang diambil dari fistula rumen menggunakan spuit
dan ditutup. Cairan rumen diambil 2 jam sebelum ternak diberi pakan pada pagi hari. Termos
yang telah berisi cairan rumen dibawa ke laboratorium untuk kepentingan analisis.
(Lampiran 5.)

15

3.3.3

Prosedur Penelitian
Kulit Ubi Kayu
Dikukus 70 - 80 C selama 30 menit
Ditambah Aspergillus niger 2 % dan difermentasi

Tanpa Fermentasi

Lama Inkubasi 2 hariLama Inkubasi 4 hariLama Inkubasi 6 hariLama Inkubasi 8 hari

P0

P1

P3

P2

P4

Cairan Rumen + Buffer

Inkubasi 2, 4, 6, 8, 12, 24, 36, 48 jam

Total Produksi Gas


Kinetika Produksi Gas
(nilai a, b, c)

Gambar 4. Prosedur Penelitian


3.4 Variabel Penelitian
Variabel yang diamati dalam penelitian ini terdiri atas:

16

Kecernaan
Bahan
Kering
(KcBK) Residu Produksi Gas
Kecernaan Bahan Organik
(KcBO) Residu Produksi Gas

1. Produksi Gas secara In Vitro dengan lama inkubasi 0, 2, 4, 8, 12, 24, 36 dan 48 jam
(Makkar et al. 1995)
Produksi gas diukur dengan menggunakan rumus:
Vblanko = Vblanko t VO
Produksi gas = (V1-V0-Vblanko)

2. Kinetika Produksi Gas (rskov and McDonald, 1979)


Pengukuran potensi dan laju produksi gas dapat dilakukan melalui
persamaan menurut sebagai berikut :

Yt = a + b (1 e-ct)
)
Keterangan :
Y = Produksi gas pada saat t (ml/500 mg BK)
a = jumlah fraksi yang terlarut pada saat t = 0
b = Potensi produksi gas (ml/500 mg BK) pada t
c = Laju produksi gas (ml/jam);
t = Waktu inkubasi (jam);
e = Eksponensia
3. Kecernaan Bahan Kering residu produksi gas secara In Vitro (Close and Menkee, 1986)
BK sampel awal ( BK residuBK blanko )
x 100
Kecernaan Bahan Kering =
BK sampel awal
4. Kecernaan Bahan Organik residu produksi secara gas In Vitro (Close and Menkee, 1986)
Kecernaan Bahan Organik =

BO sampel awal( BO residuBO blanko )


x 100
BO sampel awal

3.5 Analisis Data


Data hasil percobaan dianalisis menggunakan analisis ragam menurut Rancangan
Acak Kelompok dengan model matematika ( Steel and Torrie, 1980 ).
Yijk = + i + i + ij + ijk
Keterangan :
Yijk = hasil pengamatan

= rata-rata umum
i
= pengaruh perlakuan ke- i
i
= pengaruh kelompok ke-j
ij
= galat percobaan
ijk
= galat pada perlakuan ke-i ke kelompok ke j contoh ke-k

17

Data yang sudah dikumpulkan dianalisis dengan metode

analisis

ragam. Selanjutnya, untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan dilakukan dengan


menggunakan Beda Nyata Terkecil, dengan rumus:
BNT = BNJ x Sx, dengan Sx =

2 KTG
r

Keterangan:
BNT : Beda Nyata Terkecil
BNJ : Beda Nyata Jujur
Sx
: Galat Baku
Beda selisih antar perlakuan (d) dibandingkan dengan BNT, kaidah keputusannya
sebagai berikut:
1. Bila d BNT, tidak berbeda nyata.
2. Bila d > BNT, berbeda nyata.
3.6 Batasan Istilah
Definisi operasional variabel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. In vitro merupakan penelitian yang dilakukan di Laboratorium yang menirukan kondisi
asli ternak.
b. Produksi Gas merupakan hasil samping proses fermentasi bahan pakan
yang dirombak menjadi produk VFA.
c. Kecernaan Bahan Kering residu produksi gas merupakan banyaknya bahan kering yang
didegradasi di dalam rumen
d. Kecernaan Bahan Organik residu produksi gas adalah banyaknya bahan organik yang
didegradasi di dalam rumen.

18

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Kandungan Nutrien Kulit Ubi Kayu dan Hasil Fermentasinya
Kulit ubi kayu merupakan bahan pakan dari limbah pascapanen tanaman ubi kayu
selain itu ada pucuk ubi kayu, batang ubi kayu, bonggol ubi kayu, gaplek afkir, ubi kayu afkir
dan onggok tergolong sebagai pakan sumber karbohidrat mudah dicerna dan bagian yang
cepat terdegradasi di dalam rumen (Antari dan Umiyasih, 2009). Hasil analisis proksimat
kulit ubi kayu dan hasil fermentasinya disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Kandungan Nutrien Kulit Ubi Kayu dan Hasil Fermentasinya
BK (%)
Abu (%)*
BO (%)*
PK (%)*
SK (%)*
e
b
a
c
Kulit ubi kayu 23,410,05
4,540,05
95,460,05
8,160,01
11,531,00a
d
b
a
a
P0
20,580,03
4,610,07
95,390,07
6,180,12
17,170,07d
P1
18,830,08d 3,400,20a
96,600,20a
6,680,06b
13,560,06b
P2
16,650,05c 3,900,90a
96,100,90a
7,990,40c
14,480,07b
b
b
a
d
P3
14,800,10
4,700,30
95,300,30
9,980,70
16,080,22c
P4
13,020,01a 5,160,20c
94,840,20a 10,690,27e 17,920,18d
Sumber
: Hasil analisis Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas
Peternakan UB (2016)
Keterangan : dalam % BK
a-e
Superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata
(P<0,05).
Hasil analisis proksimat menunjukkan adanya penurunan kadar protein setelah adanya
proses pengukusan yang disebabkan degradasi protein akibat paparan suhu panas dari proses
pengukusan. Pasca dilakukannya perlakuan fermentasi terjadi peningkatan kadar Protein
Kasar (PK) dari perlakuan kontrol (P0) sampai Perlakuan lama inkubasi selama 8 hari (P4)
dengan kadar PK tertinggi yakni 10,69 % sesuai pernyataan Mirwandhono, Bachari dan
Situmorang (2006) bahwa terjadi kenaikan PK kulit ubi kayu terfermentasi Aspergillus niger
pada perlakuan fermentasi tertinggi yakni fermentasi 2 dan 4 hari, fermentasi 6 hari walaupun
masih mampu meningkatkan kadar protein kasar namun peningkatannya sudah mulai rendah
disebabkan kapang telah mencapai fase pertumbuhan eksponensial sehingga laju pertumbuhan
populasi menurun. Didukung hasil penelitian Adenike, Ikpesu and Akomolafe (2015) yang
menunjukkan adanya peningkatan PK dari kulit ubu kayu dengan metode pengukusan dan
fermentasi yang awalnya pada jam 0 yakni 4,69 menjadi 29,20 pada jam ke-120 (5 hari) dan
waktu fermentasi 120 jam merupakan fase eksponensial dimana pada fase tersebut
perbanyakan jumlah sel sangat banyak, aktivitas sel meningkat dan enzim banyak dihasilkan
(Ariyani, Asmawi dan Putro, 2014).
19

Kadar Serat Kasar mengalami penurunan pada lama inkubasi 2 hari (P1) menjadi
13,56% dibandingkan tanpa fermentasi (17,17%) namun pada fermentasi 4, 6 dan 8 hari
terjadi peningkatan 1 sampai 4 % dari P1. Peningkatan kadar SK diduga adanya pertumbuhan
dinding sel jamur. Mirwandhono dkk (2006) menyatakan fermentasi kulit ubi kayu dengan
Aspergillus niger selama 4 hari menyebabkan peningkatan kadar SK sebesar 1% dibanding
lama inkubasi 2 hari. Stephanie dan Purwadaria (2013) menyatakan proses fermentasi kulit
ubi kayu dengan Aspergillus niger menurunkan kadar pati pada awal fermentasi sampai
dengan masa inkubasi hari ketiga, sedangkan kadar SK pada saat itu mengalami kenaikan.
Penurunan kadar pati berkorelasi dengan produksi amilase, sedangkan kadar serat berkorelasi
dengan kadar kitin pada dinding sel miselia. Siswoko (1996) menyatakan dinding sel kapang
selama fermentasi mengalami kumulasi dalam media semakin lama waktu fermentasi maka
akan menghasilkan pertumbuhan miselium yang lebat. Secara umum kandungan SK produk
fermentasi dipengaruhi oleh pertumbuhan miselia kapang, ditambahkan pula oleh Sandi,
Rahayu dan Suryapratama (2013) bahwa tinggi rendahnya penurunan kandungan serat kasar
erat terkaitnya dengan dengan komponen penyusun serat kasar terutama kandungan lignin.
Aktifitas enzim selulosa terbaik dengan Aspergillus niger diperoleh dengan lama inkubasi 96
jam (Saadah, Ika dan Abdullah, 2008). Aspergillus niger menurut Fadli (2009) memiliki daya
proteolitik dan amilolitik yang baik serta menghasilkan enzim selulase. Namun, Aspergillus
niger diduga kurang mampu mendegradasi lignin sehingga degradasi selulosa pun terhambat.
Pertiwi (2016) bahwa Aspergillus niger tidak mampu mendegradasi selulosa pada kulit kopi
yang disebabkan tingginya kandungan lignin. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian
Adenike, Ikpesu and Akomolafe (2015) menunjukkan adanya penurunan kadar SK dari kulit
ubi kayu yang dikukus sebelum difermentasi selama 4 hari dari awalnya 21,40 % menjadi
4,26 %. Jumlah BK, BO, PK dan SK dalam satuan gram disajikan pada (Lampiran 8.)
4.2 Produksi Gas In Vitro
Hasil produksi gas menunjukan adanya fermentasi pakan oleh mikroba rumen. Proses
fermentasi tersebut mengubah komponen pakan menjadi senyawa berbeda, seperti karbohidrat
menjadi Volatile Fatty Acid (VFA) dan protein menjadi asam amino (McDonald et al., 2002).
Senyawa VFA yang terdiri atas asam asetat, asam butirat dan asam
propionat merupakan hasil akhir dari proses fermentasi, adapula gas yang
dihasilkan dalam proses fermentasi diantaranya H 2, metan (CH4) dan CO2
(Kurniawati, 2009). Salah satu kelebihan metode produksi gas adalah dapat mendeteksi

20

perbedaan kecil kandungan bahan pakan dan bisa digunakan untuk pengambilan sampel
berkali-kali dibanding In Vivo (DePeters, Getachew dan Fadel, 2003).
Hasil penelitian produksi gas In Vitro dari fermentasi kulit ubi kayu menggunakan
Aspergillus niger dengan lama inkubasi yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan nilai
dari setiap perlakuan. Namun, hasil analisis ragam menunjukkan hanya pada waktu inkubasi
jam ke-48 yang berbeda nyata (P<0,05). Hal ini dapat disebabkan belum optimalnya mikroba
rumen dalam mendegradasi substrat, sesuai pernyataan rskov, Hevell and Mullet, (1980)
bahwa volume produksi gas menunjukkan perbedaan yang tidak nyata hal ini disebabkan oleh
aktivitas mikroba rumen yang belum maksimal dalam melakukan kolonisasi pada substrat.
Perlakuan lama inkubasi 8 hari (P4) menunjukkan total produksi gas terendah yakni 173,41
ml/500 mg BK selanjutnya urutan ke tertinggi P3, P2, P0 dan P1 dengan nilai total produksi
gas berturut-turut yakni 198,53; 206,57; 208,66; 224,35 ml/500 mg BK. Nilai produksi gas
pada setiap waktu inkubasi ditunjukkan pada Tabel 3.
Tabel 3. Nilai produksi gas pada inkubasi jam ke- 2, 4, 8, 12, 24, 36 dan 48

Keterangan:
(P<0,05)

a-b

Superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata

Peningkatan produksi gas yang signifikan terjadi pada masa inkubasi jam ke-8 sampai
jam ke-24 selanjutnya pada jam ke-36 dan 48 mengalami penurunan jumlah peningkatan
produksi gas (Lampiran 9). Prihartini, Chuzaemi dan Sjofjan (2007) bahwa produksi gas akan
semakin cepat mencapai puncak bila fraksi mudah larut dan terdegradasi semakin banyak.
Menurut Ella, Hardjosoewigja, Wiradaryadan dan Nugroho (1997) menyatakan produksi gas
akan mencapai puncak pada inkubasi 24 jam pertama, selanjutnya mengalami penurunan
hingga saat 96 jam akhirnya mencapai nol. Hal ini terjadi untuk semua jenis pakan karena
semakin lama dalam rumen semakin berkurang BO yang dapat dimanfaatkan mikroba.

21

300
200
Produksi Gas (ml/500 mg BK)
100
0

Lama Inkubasi (jam)


p0

p1

p2

p3

p4

Gambar 5. Grafik Produksi Gas


4.3 Nilai Potensi Produksi Gas (b) dan Laju Produksi Gas (c)
Laju potensi produksi gas per ml dapat diketahui dengan mengetahui nilai produksi
gas yang dapat diterjemahkan dalam bentuk nilai parameter fermentasi sesuai pernyataan
Makkar et al., (1995) dengan mengunakan program Solver. Nilai a merupakan nilai potensi
produksi gas pada masa inkubasi 0 jam. Pada penelitian ini tidak dibahas karena nilai
produksi gas saat 0 jam secara biologi adalah 0 ml, walaupun secara perhitungan nilai ini
muncul (nilainya bisa negatif bisa positif). Nilai b yang menunjukkan parameter produksi gas
didefinisikan sebagai fraksi terlarut selama proses inkubasi dan menunjukkan berapa banyak
pakan yang dicerna oleh mikroba rumen sedangkan nilai c menunjukkan kecepatan mikroba
rumen untuk mencerna pakan (rskov and McDonald, 1979). Hasil analisis potensi produksi
gas dan laju produksi gas disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Rataan nilai potensi produksi gas (b) dan laju produksi gas (c)
Perlakuan
b (ml/500 mg BK)
c (ml/jam)
a
P0
242,868,63
0,055 0,006a
a
P1
272,0612,98
0,0450,016a
P2
232,6644,5 a
0,0570,006a
P3
232,4153,79a
0,0520,013a
a
P4
195,2842,93
0,0520,004a
Keterangan: nilai b dan c tidak berbeda nyata (P<0,05)
Hasil analisis ragam terhadap rata-rata nilai potensi produksi gas (b) dan laju produksi
gas (c) selama 48 jam inkubasi tidak menunjukkan perbedaan nyata masing-masing
perlakuan. Nilai b tertinggi pada perlakuan fermentasi dengan lama inkubasi 2 hari yakni
272,06 ml/500 mg BK sejalan dengan tingginya produksi gas perlakuan tersebut. Hanifah
(2006) dalam penelitiannya bahwa nilai b yang semakin tinggi menunjukkan aktivitas
mikroba rumen untuk mendegradasi pakan menjadi produksi gas yang tinggi. Wati, Ahmadi
22

dan Pangestu (2012) bahwa tinggi rendahnya nilai fraksi b di pengaruhi komponen serat.
Harfiah (2009) menyatakan bahwa lignin yang berikatan dengan serat lignoselulosa dan
lignohemiselulosa menyebabkan degradasi oleh mikroba rumen membutuhkan waktu yang
lama dan sulit. (Lampiran 10.). Nilai laju produksi gas (c) dari hasil penelitian menunjukkan
hasil yang tidak berbeda nyata (P< 0,05) disebabkan menurunnya peningkatan produksi gas
pasca inkubasi 24 jam (Lampiran 11). Laju produksi gas in vitro semakin berkurang seiring
dengan meningkatnya waktu inkubasi, disebabkan substrat yang dapat difermentasi juga
semakin berkurang jumlahnya (Jayanegara et.al, 2009). Menurut Hermanto (1991) nilai c
berkorelasi positif dengan kecernaan bahan organik.
4.3 Kecernaan Bahan Kering (KcBK) dan Kecernaan Bahan Organik (KcBO) Residu
Produksi Gas
Kecernaan bahan diperoleh dari residu produksi gas. Basri (2014) tinggi rendahnya
kecernaan bahan pakan memberi arti seberapa besar bahan pakan itu mengandung nutrien
dalam bentuk yang dapat dicerna dalam saluran pencernaan. Degradasi pakan oleh ternak
ruminansia dilakukan di dalam rumen dan sebagian besar kebutuhan nutrien ternak
ruminansia merupakan hasil degradasi sel tanaman pakan oleh mikroba rumen (Ismartoyo,
2011). Kecernaan bahan kering kulit ubi kayu yang difermentasi menggunakan Aspergillus
niger mempunyai kisaran nilai antara 52,39% sampai 73,81% dengan rataan tertera pada
Tabel 5. Keseluruhan data menunjukkan kulit ubi kayu terfermentasi memiliki rataan
Kecernaan Bahan Kering yang tergolong tinggi (> 50 %) (Lampiran 12.) Menurut Muchlas
(2015) tepung daun ubi kayu memiliki kecernaan bahan kering dan bahan organik (KcBK =
57,31% dan KcBO = 55,91%) yang relatif tinggi (>50%) dari pada perlakuan dengan tepung
daun jati, kelor maupun gamal.
Tabel 5. Rataan Kecernaan Bahan Kering dan Kecernaan Bahan Organik Residu Produksi Gas
Perlakuan
KcBK residu produksi gas
KcBO residu produksi gas (%)
(%)
P0
68,69 7,67c
70,82 3,56c
d
P1
73,81 3,82
75,86 1,98d
P2
60,14 4,06b
65,16 2,39b
P3
59,51 6,93b
62,78 5,75b
P4
52,39 6,46a
58,68 3,97 a
Keterangan : a-dSuperskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata
(P<0,05).

Hasil analisis ragam menunjukkan lama inkubasi mempengaruhi kecernaan BK dan


BO (P<0,05). Lama inkubasi 2 hari (P1) menunjukkan hasil terbaik dengan KcBK sebesar
23

73,81 3,82% kemudian P0, P2, P3 dan terendah P4, berturut-turut yakni 68,69 7,67; 60,14
4,06; 59,51 6,93; 52,39 6,46%. Hal ini menunjukkan meskipun P4 memiliki kadar PK
tertinggi dari perlakuan lain yakni 10,69% namun kecernaan bahan kering perlakuan tersebut
terendah dibandingkan P1 dan P0 yang kecernaan bahan kering tinggi. Berbeda dengan
pernyataan Sutardi (1980) menyatakan kecernaan BK juga dapat dipengaruhi oleh kandungan
protein dalam pakan karena setiap sumber protein memiliki kelarutan dan ketahan degradasi
yang berbeda, nilai degradasi BK menunjukkan besarnya nutrien yang dapat dimanfaatkan
mikroba rumen. Rendahnya Kecernaan BK dan BO Perlakuan fermentasi 8 hari diduga karena
memiliki kadar SK tertinggi yakni 17,92% yang menyebabkan sulitnya protein tercerna
bahkan bahan organik lainnya. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kecernaan bahan
kering adalah aktivitas mikroba dalam rumen, kualitas cairan rumen yang digunakan,
persentase lignin dalam bahan pakan, pengontrolan pH rumen, kondisi temperatur dalam
shaker waterbatch, kondisi fisik bahan pakan dan jenis kandungan gizi yang terkandung
dalam pakan (Garsetiasih, 2007). Kandungan lignin inilah yang menyebabkan rendahnya
kecernaan diperkuat pernyataan Parakkasi (1999) bahwa semakin tinggi nilai SK pada pakan
dapat menurunkan nilai kecernaan karena banyak mengandung lignin sehingga lebih banyak
energi bahan yang terbuang. Harfiah (2009) menyatakan bahwa lignin yang berikatan dengan
serat lignoselulosa dan lignohemiselulosa menyebabkan degradasi oleh mikroba rumen
membutuhkan waktu yang lama dan sulit. Kandungan lignin pada kulit ubi kayu yakni
21,72% (Santoso, 2012). Secara umum, kapang Aspergillus niger
selulase

menghasilkan enzim

namun dalam penelitian ini peranan bakteri selulase belum optimal dalam

mendegradasi serat sesuai Pertiwi (2016) bahwa Aspergillus niger tidak mampu mendegradasi
selulosa pada kulit kopi yang disebabkan tingginya kandungan lignin, terdegradasinya lignin
akan membuka akses perombakan selulosa dan hemiselulosa. Jadi, semakin lama inkubasi
mengakibatkan turunnya kecernaan diakibatkan tingginya kadar SK meskipun kapang
Aspergillus niger mampu meningkatkan protein kasar.
Kecernaan Bahan Organik dengan in vitro diketahui dengan cara menghitung residu
pasca proses inkubasi 48 jam. Kecernaan Bahan Organik residu produksi gas menunjukkan
seberapa besar pakan yang tercerna dalam rumen. Hal ini didukung Close dan Menke (1986)
hubungan in vivo dengan produksi gas secara in vitro pada saat inkubasi cairan rumen selama
24 jam dapat digunakan untuk memperkirakan kecernaan bahan organik.
Hasil analisis ragam menunjukkan perbedaan nyata (<0,05) pada masing-masing
perlakuan. Kecernaan Bahan Organik residu produksi gas tertinggi sama dengan yang hasil
Kecernaan Bahan Kering yakni P1 (fermentasi 2 hari) 75,86 1,98% kemudian berturut-turut
24

P0, P2, P3 dan terendah P4 yakni 70,82 3,56; 65,16 2,39; 62,78 5,75; 58,68 3,97%.
Hal ini disebabkan bahan organik merupakan komponen terbesar dalam bahan kering
(Nurlaili dkk.,2013). Faktor yang mempengaruhi kecernaan bahan organik adalah kandungan
serat kasar dan mineral dari bahan pakan. Kecernaan bahan organik erat kaitannya dengan
kecernaan bahan kering, karena sebagian dari bahan kering terdiri dari bahan organik (Basri,
2014). Kecernaan bahan organik dipengaruhi adanya lignin dan silika yang terdapat di
dinding sel yang bersama-sama membentuk senyawa kompleks dengan selulosa dan
hemiselulosa, senyawa ini susah ditembus enzim mikroba serta menurunkan kecernaan (Van
Soest, 1976). Semakin lama waktu inkubasi maka semakin banyak kandungan zat yang
digunakan kapang untuk hidupnya sehingga kandungan nutrien yang tersisa semakin sedikit,
hal ini menyebabkan berkurangnya kemampuan kapang dalam mendegradasi lignin dan
selulosa yang berkaitan erat dengan nilai kecernaan. Kecernaan bahan organik erat pula
kaitannya dengan total produksi gas (ml) ditunjukkan dengan P1 yang memiliki KcBO
tertinggi merupakan perlakuan tertinggi pula dalam produksi gas begitupula sebaliknya P4.
Menurut Kurniawati (2007) terdapat korelasi positif antara volume produksi gas dan nilai
kecernaan pakan serta pertumbuhan mikroba. Keseluruhan hasil perhitungan KcBO dapat
dilihat di Lampiran 13.
4.5 Penentuan Perlakuan Terbaik
Hasil keseluruhan penelitian menunjukkan perlakuan terbaik ada pada Perlakuan
pengukusan dan fermentasi 2 hari (P1) ditinjau dari Produksi Gas, Potensi Produksi Gas, Laju
Produksi Gas, Kecernaan Bahan Kering dan Kecernaan Bahan Organik residu produksi gas
begitu pula ditinjau dari nilai nutrien dalam hal ini Protein Kasar (PK) dan Serat Kasar (SK),
adanya fermentasi menyebabkan terjadinya peningkatan PK dan penurunan SK setelah
difermentasi 2 hari (P1).

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
25

Berdasarkan keseluruhan hasil penilitian dapat disimpulkan bahwa:


1. Kulit ubi kayu dengan perlakuan pengukusan dan lama inkubasi Aspergillus niger 2%
selama 2 hari menunjukkan nilai produksi gas total dan potensi produksi gas terbaik.
2. Kulit ubi kayu dengan perlakuan pengukusan dan lama inkubasi Aspergillus niger 2%
selama 2 hari menunjukkan nilai kecernaan BK dan BO residu produksi gas terbaik.
5.2 Saran
Lama inkubasi Aspergillus niger 2% pada fermentasi kulit ubi kayu selama 2 hari
menjadi rekomendasi pakan karena nilai kecernaannya yang tinggi serta perlu dilakukan
penelitian lanjutan dengan perlakuan level pemberian Aspergillus niger dan metode
pemanasan kulit ubi kayu yang berbeda.

DAFTAR PUSTAKA
Adenike, A., T.O. Ikpesu and O. Akomolafe. 2015. In-Vitro Digestibility of Pretreated
Cassava Peels Fermented with Aspergillus niger. Danish Journal of Medical and
Biology Sciences : 7 14

26

AOAC. 2005. Official Methods of Analysis.18th edn. Association of Official Agricultural


Chemists. Washington, DC.
Anitasari, A. 2010. Pemanfaatan Senyawa Bioaktif Kembang Sepatu (Hibiscus rosa-sinensis)
untuk Menekan Produksi Gas Metan pada Ternak Ruminansia. Institut Pertanian
Bogor. Bogor
Anonim,

2015.
Data
Statistika
http://www.bps.go.id/tnmn_pgn.php.

Tanaman

Pangan

Indonesia.

Aregheore, E. M., 2000. Utilization of diets containing increasing levels of dried desiccated
coconut waste meal (DCWM) by growing crossbred Anglo-Nubian goats in the wet
dry tropical environment of Samoa. J. Anim. Feed Sci. 9 (2)
Ariyani, S.B, Asmawit dan Utomo. 2014. Optimasi Waktu Inkubasi Produksi Enzim Selulase
oleh Aspergillus niger Menggunakan Fermentasi Substrat Padat. Biopropal Industri,
5 (2):61 67. Pontianak
Antari, R. dan U. Umiyasih . 2009. Pemanfaatan Tanaman Ubi Kayu dan Limbahnya Secara
Optimal sebagai Pakan Ternak Ruminansia. Wartazoa. 19(4): 191 200 . Pasuruan
Askar, S. 2006. Daun Singkong dan Pemanfaatannya Terutama sebagai Pakan Tambahan.
Balai Penelitian Ternak Bogor.
Asngad, A dan Suparti. 2009. Lama Fermentasi dan Dosis Ragi Yang Berbeda Pada
Fermentasi Gaplek Ketela Pohon ( Manihot utilissima, pohl) Varietas Mukibat
Terhadap Kadar Glukosa Dan Bioetanol. Jurnal Penelitian Sains & Teknologi, 10 (1):
1 9. Surakarta
Basri. 2014. Kecernaan Bahan Kering Dan Bahan Organik Ransum Komplit Dengan
Kandungan Protein Berbeda Pada Kambing Marica Jantan. Skripsi. Fakultas
Peternakan Universitas Hasanuddin. Makassar
Close, W. and Menke, KH. 1986. Selected Topics in Animal Nutrition. A Manual Prepared for
The Third Hohenheim Course on Animal Nutristion in The Tropics and SemiTropics. 2nd Ed. Stuttgart: The Insitute of Animal Nutrition, Hohenheim University.
Ciptadi, W. 1980. Umbi Ketela Pohon Sebagai Bahan Bahan Pangan Industri. Fakultas
Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. hlm. 2 25.
Devendra, C. 1977. Cassava as a Feed Source for Ruminant. Ins Casava as Animal Feed.
Nestel, B. and M Graham (eds). IDRC-095e. 107. 119.
Ella, A, S. Hardjosoewigja, T.R. Wiradaryadan dan M. Winugroho. 1997. Pengukuran
Produksi Gas dari Hasil Proses Fermentasi Beberapa Jenis Leguminosa Pakan.
Prosiding Seminar Nasional II-INMT. Bogor
Fadli, 2009. Pengaruh Lama Penyimpanan Terhadap Kualitas Inokulum Aspergillus niger dan
Neurospora sitophila untuk Hidrolisis Tongkol Jagung. Skripsi. Fakultas Teknologi
Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor
27

Fajri, F. 2008. Kajian Fermentabilitas dan Kecernaan In Vitro Kulit Buah Kakao (Theobroma
cacao L.) yang Difermentasi dengan Aspergillus niger. Skripsi. Fakultas Peternakan
Institut Pertanian Bogor. Bogor
Fardiaz, S. 1989. Fisiologi Fermentasi. Bogor: PAU IPB.
Fathurrahman. 2015. Pengaruh Tingkat Penambahan Molases Pada Pembuatan Silase Kulit
Umbi Singkong (Mannihot esculenta) Terhadap Kandungan Bahan Kering, Bahan
Organik dan HCN. Skripsi. Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran. Bandung
Fitrotin, U., S. Hastuti dan S. Arief. 2006. Teknologi Pengolahan Singkong Terpadu Skala
Rumah Tangga di Pedesaan. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB.
http://ntb.litbang.deptan.go.id/. Mataram
Garsetiasih, R. 2007. Daya Cerna Jagung dan Rumput sebagai Pakan Rusa (Cervus
timorensis). Buletin Plasma Nutfah 13 (2)
Grace, M.R. 1977. Cassava Processing. FAO Plant Production and Protection, Rome. pp. 1
6.
Hanifah, R. 2006. Pengaruh Tingkat Penggunaan Silase Hijauan Ketela Pohon sebagai
Pengganti Konsentrat dalam Ransum terhadap Kecernaan dan Produksi Gas secara
In Vitro. Skripsi. Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya. Malang
Harahap, G. 2007. Karakteristik Cairan Rumen dari Kulit Coklat yang Difermentasikan
dengan Aspergillus niger dalam Waktu dan Dosis Inokulum yang Berbeda. Skripsi.
Universitas Andalas. Padang
Hardana N.E, Suparwi dan F.M Suhartati. 2013. Fermentasi kulit buah kakao (Theobroma
cacao L.) menggunakan Aspergillus niger pengaruhnya terhadap kecernaan bahan
kering (KBK) dan kecernaan bahan organik KBO) secara In Vitro. J Ilmu Peternakan.
1:781 788.
Harfiah. 2009. Peningkatan Kualitas Pakan Berserat dengan Perlakuan Alkali, Amoniasi dan
Fermentasi dengan Mikroba Selulolitik dan Lignolitik. J. Sains dan Teknologi. 9(2):
150 156.
Hermanto, E. R. rskov, Soebarinoto and J. V. Bruchem, 1991. In-vitro Gas Production as a
Predictor of Digestibility and Voluntary Intake In: Livestock and Feed Development
in The Tropic. Procedings of The International Seminar held at Brawijaya University
Malang Indonesia. 239-244
Hernaman, I., A. Budiman, S. Nurachma dan Hidayat. 2014. Kajian In vitro Penggunan
Limbah Perkebunan Singkong Sebagai Pakan Domba. Pastura 4 (1): 31 33.
Bandung
Hidayat, C. 2009. Peluang Penggunaan Kulit Singkong Sebagai Pakan Unggas. Balai
Penelitian Ternak. Bogor.

28

Ismartoyo. 2011. Bahan Ajar Ilmu Nutrisi Ruminansia. Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak
Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin. Makassar
Jayanegara, A., A. Sofyan, H.P.S. Makkar dan K. Becker. 2009. Kinetika Produksi Gas,
Kecernaan Bahan Organik dan Produksi Gas Metana in Vitro pada Hay dan Jerami
yang Disuplementasi Hijauan Mengandung Tanin. Media Peternakan 32 (2): 120
129.
Kamra, D.N. 2005. Rumen Microbial Ecosystem. J. Current science 89(1) : 124 135.
Kurniawati, A. 2007. Teknik Produksi Gas In Vitro untuk Evaluasi Pakan Ternak. Jurnal
Ilmiah Aplikasi Isotop dan Radiasi. 3 (1): 40 49.
Kusmartono. 2010. Intruksi kerja Laboratorium. Fakultas Peternakan.
Universitas Brawijaya. Malang.
Liyani, I. 2005. Pengaruh Perbedaan Lama Peran Fermentasi Ampas Sagu (Metroxylon sp)
Menggunakan Aspergillus niger terhadap Komponen Proksimat.
Makkar, H.P.S,. M. Blummel, and K. Becker. 1995. Formation of Complexes Between
Polyvinyl Pylory Dones on Pholyethilene Glycoles and tanin and their implication in
gas production and true Digestibility. In vitro technques. J.Nut.Brit.73: 893 913 .
Malloch, D. 1999. Moulds, Isolation, Cultivation and Identivication Methods. Departement of
Biology University of Toronto. www.botany.utoronto.ca.
Marjuki, Soebarinoto dan Utomo, W.H. 2005. The Use of Cassava Roots And Leaves In
Livestock Feeding In Indonesia. The Use of Cassava Roots And Leaves For On Farm
Animal Feeding. Editor R.H Howeler. Proceeding of A Regional Workshop. Hue
City. Vietnam.
McDonald, P., R. Edwards, J. Greenhalgh and C. Morgan. 2002. Animal Nutrition. 6th
Edition. Longman Scientific & Technical, New York.
Mirwandhono, E., I. Bachari dan Situmorang, D. 2006. Uji Nilai Nutrisi Kulit Ubi Kayu yang
Difermentasi dengan Aspergillus niger. Jurnal Agribisnis Perternakan 2 (3): 91 95.
Medan
Muchlas. M., Kusmartono dan Marjuki. 2014. Pengaruh Penambahan Daun Pohon Terhadap
Kadar VFA dan Kecernaan Secara In-Vitro Ransum Berbasis Ketela Pohon. Jurnal
Ilmu-Ilmu Peternakan 24 (2): 8 19. Malang
Muhiddin, N., Juli dan I.N.P Aryantha. 2001. Peningkatan Kandungan Protein Kulit Umbi
Ubi Kayu Melalui Proses Fermentasi. JMS 6 (1) :1 12. Bandung
Nurlaili, F., Suparwi dan Sutardi. 2013. Fermentasi Kulit Singkong (Manihot utilissima pohl)
Menggunakan Aspergillus niger Pengaruhnya Terhadap Kecernaan Bahan Kering
(KBK) dan Kecernaan Bahan Organik (KBO) Secara In-Vitro. Jurnal Ilmiah
Peternakan 1(3): 856-864. Purwokerto

29

Oboh, G. 2006. Nutrient enrichment of Cassava peels using a mixed culture of


Saccharomyces cerevisae and Lactobacillus spp. Solid media fermentation
techniques. Biotechnology 9 (1), 46 48. Nigeria
rskov, E. R. & I. McDonald. 1979. The estimation of protein degradability in the rumen
from incubation measurements weighted according to rate of passage. J. Agric. Sci.
92: 499 503.
Parakkasi, A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminansia. Indonesia University
Press. Jakarta
Pasaribu, T., Purwadaria, A.P. Sinurat, J. Rosida dan D.O.D. Saputra. 2001. Evaluasi Nilai
Gizi Lumpur Sawit Hasil Fermentasi Dengan Aspergillus niger Pada Berbagai
Perlakuan Penyimpanan
Pertiwi, N. 2016. Kandungan Lignin, Selulosa, Hemiselulosa dan Tanin Limbah Kulit Kopi
yang Difermentasi Menggunakan Jamur Aspergillus niger dan Trichoderma viride.
Skripsi. Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin. Makassar
Prasojo, W., Suhartati dan S. Rahayu. 2013. Pemanfaatan Kulit Singkong Fermentasi
Menggunakan Leuconostoc mesenteroides dalam Pakan Pengaruhnya Terhadap NNH3 Dan VFA (In Vitro). Jurnal Ilmiah Peternakan 1(1): 397-404. Purwokerto
Pratama, A. 2015. Pengaruh Tingkat Penambahan Molases Pada Pembuatan Silase Kulit
Umbi Singkong (Mannihot esculenta) Terhadap Kandungan Serat Kasar dan Bahan
Ekstrak Tanpa Nitrogen. Skripsi. Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran.
Bandung
Prihartini, I., S. Chuzaemi dan O. Sjofjan, 2007. Parameter Fermentasi Rumen dan Produksi
Gas In Vitro Jerami Padi Hasil Fermentasi Inokulum Lignolitik. Jurnal Protein 15
(1):23 34.
Saadah, Z., N. Ika dan Abdullah. 2008. Produksi Enzim Selulase oleh Aspergillus niger
Menggunakan Substrat Jerami dengan Sistem Fermentasi Padat. Fakultas Teknik
Universitas Diponegoro. Semarang
Sandi, O.Y., Rahayu, S. dan Suryapratama, W. . 2013. Upaya Peningkatan Kualitas Kulit
Singkong Melalui Fermentasi Menggunakan Leuconestoc mesenteriodes
Pengaruhnya Terhadap Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik Secara In Vitro.
Jurnal Ilmiah Peternakan, 1 (1): 99 108
Saputra, O.A. 2013. Pengaruh Penambahan Probiotik Pada Pakan Ternak Ruminansia
Terhadap Kecernaan, Konsentrasi NH3 dan VFA secara In-Vitro. Skripsi. Fakultas
Peternakan Universitas Brawijaya. Malang
Santoso, S.P. 2012. Pemanfaatan Kulit Singkong Sebagai Bahan Baku Pembuatan Natrium
Karboksimetil Selulosa. Jurnal Teknik Kimia Indonesia 11 (3): 125.
Setiyarto, C. 2011. Peningkatan Kadar Protein Kasar Ampas Kulit Nanas Melalui Fermentasi
Media Padat. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor
30

Soenarjo, R. 1979. Status Ubi-Ubian di Indonesia; Prospek Penelitian dan Pengembangannya.


Lembaga Penelitian dan Pengembangan Pertanian. BP Bimas NFCEP, Bogor. hlm.
26 29.
Sosrosoedirjo, R.S. 1992. Bercocok Tanam Ketela Pohon. Cetakan Keenam. CV Yasa Guna,
Jakarta.
Sinurat, AP., Purwadaria, T., Rosida, J., Surachman, H., Hamid, H., dan Kompiang, I .P .
1998. Pengaruh Suhu Ruang Fermentasi dan Kadar Air Substrat Terhadap Nilai Gizi
Produk Fermentasi Lumpur Sawit. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner. 3 (4) : 225
229. Bogor
Smith, O.B. 1988. A review of ruminant responses to cassava-based diets. Proc. of the
IITA/ILCA/ University of Ibadan Workshop on the Potential Utilization of Cassava
as Livestock Feed in Africa. International Institute of Tropical Agriculture, Ibadan,
Nigeria and International Livestock Centre for Africa, Addis Ababa, Ethiopia.
Chapter 2
Steel, R.G.D. and J.H. Torrie. 1980. Principles and Procedure of Statistics. McGraw-Hill
Book Co.Inc., New York.
Stephanie dan T. Purwadaria. 2013. Fermentasi Substrat Padat Kulit Singkong Sebagai Bahan
Pakan Ternak Unggas. Wartazoa vol. 23(1). Bogor
Supriyati dan Kompiang. 2002. Perubahan Komposisi Nutrien dari Kulit Ubi Kayu
Terfermentasi dan Pemanfaatannya sebagai Bahan Baku Pakan Ayam Pedaging.
JITV 7(3) :150 154 . Bogor
Sutardi, T. 1980. Ketahanan Protein Makanan terhadap Degradasi Mikroba Rumen dan
Manfaatnya bagi Produktifitas Ternak. Buletin Makanan Ternak 5: 1 21
Widiawati, Y., M. Winugroho dan P. Mahyuddin. 2010. Estimasi Produksi Gas
Metana dari Rumput dan Tanaman Leguminosa yang Diukur Secara
In Vitro. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Balai
Penelitian Ternak. Bogor.
Van Soest, P.J. 1976. New Chemichal Method for Analysis Forages for The
Purpose of Predicting Nutritive Value. International Grassland Cong.
Wati, N., J. Achmadi dan E. Pangestu. 2012. Degradasi Nutrien Bahan
Pakan Limbah Pertanian dalam Rumen Kambing secara In Sacco.
Animal Agriculture Journal 1(1):485 498
Winarno, F.G, S. Fardiaz dan D. Fardiaz. 1980. Pengantar Teknologi Pangan. Penerbit PT.
Gramedia. Jakarta.

LAMPIRAN
Lampiran 1. Prosedur Pengujian Bahan Kering (AOAC, 2005)
31

Prinsip:
Kadar air dalam bahan pakan akan menguap seluruhnya bila dipanas dengan suhu 105C.
Bahan yang tertinggal disebut bahan kering
Alat-alat:
1. Cawan porselin
2. Oven
3. Eksikator
4. Penjepit
5. Timbangan analitik
Prosedur:
1.
2.
3.
4.

Cawan porselin dimasukkan dalam oven 105C selama 1 jam


Cawan diambil dan dimasukkan eksikator selama 1 jam
Ditimbang cawan, misalnya berat A gram
Dimasukkan sampel 3 gram dalam cawan dan ditimbang kembali misalnya B gram.

Kemudian cawan berisi sampel dimasukkan dalam oven 105C selama 4 jam
5. Cawan diambil, dimasukkan dalam eksikator selama 1 jam kemudian ditimbang
beratnya, misal C gram
Perhitungan:
Kadar BK (%) =

C A
x 100
B A

Keterangan:
A

= Berat Cawan

= Berat Cawan + Sampel

= Berat Cawan + Sampel setelah dioven

Lampiran 2. Prosedur pengujian kadar abu (AOAC, 2005)


Prinsip:
Semua bahan organik yang ada dalam bahan pakan akan terbakar apabila dipanaskan
pada suhu 550 600C. Bahan yang tertinggal disebut abu.
Alat-alat:
1. Cawan porselin
32

2. Tanur
3. Penjepit
4. Timbangan analitik
Prosedur:
1. Cawan berisi BK sampel dimasukkan dalam tanur 550 - 600C sampai warna berubah
menjadi abu
2. Cawan dimasukkan dalam eksikator selama 1 jam
3. Cawan ditimbang, misal berat C gram
Perhitungan:
Kadar Abu (%) =
Kadar BO

C A
x 100
B A

= 100 - % Abu (dalam BK)

Keterangan:
A

= Berat Cawan

= Berat Cawan + Sampel

= Berat Cawan + Sampel setelah ditanur

BO

= Bahan Organik

Lampiran 3. Prosedur pengujian protein kasar (AOAC, 2005)


Prinsip penetapan PK:
Prinsip analisis protein kasar adalah asam sulfat pekat dengan katalisator dapat
memecah ikatan N organic dalam bahan pakan menjadi ammonium sulfat, kevuali ikatan
N=N; NO; dan NO2 Ammonium sulfat dalam suasana basa akan melepaskan NH3 yang
kemudian disuling (destilasi). Hasil sulingan ditampung dalam beaker glass yang berisi asam
borat yang telah diberi indicator campuran. Setelah selesai destilasi, larutan penampungan
ditritasi dengan KH(IO3)2 0,01 N sampai warna berubah.
Alat-alat:
33

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Kertas minyak untuk menimbang sampel


Labu kjeldahl
Dispenser 5-10 ml
Gelas ukur
Pemanas listrik untuk destruksi
Labu Erlenmeyer
Alat destilasi Markham steel
Pipet
Buret mikro

Bahan kimia:
1. H2SO4 pekat
2. Katalisator tablet
3. Larutan NaOH 40% (400 g NaOH dilarutkan dalam aquades yang telah didihkan
hingga volumenya 1000 ml)
4. Larutan asam borat 2% (20 g asam borat dilarutkan dalam aquades hingga volumenya
5.

1000 ml)
Larutan standar KH(IO3)2 0,01 N, 3,8992 g KH(IO3)2 dilarutkan dalam aquades
hingga volumenya 1000 ml.

Prosedur:
1. Sampel ditimbang pada kertas minyak lebih kurang 250 mg (a mg) kemudian
dimasukkan ke dalam labu kjeldahl
2. Ditambahkan campuran katalisator tablet 0,5-1,0 g, H2SO4 pekat 10 ml dan
dilakukan destruksi di atas pemanas listrik sampai cairan hijau jernih terbentuk
3. Didinginkan dan diencerkan dengan aquades sampai tanda garis (Pengenceran C
kali)
4. Larutan diambil dengan pipet sebanyak 5 ml, dimasukkan ke dalam alat destilasi
Markham steel, kemudian ditambahkan larutan NaOH 40% sebanyak 10 ml
5. NH3 yang dibebaskan ditampung dalam larutan asam borat 20% yang diberi
beberapa tetes indicator bromoresl green Setelah diperoleh destilat sebanyak= 50
ml, destilasi dihentikan
6. Kemudian dititrasi dengan larutan standar KH(IO3)2 0,01 N sampai terjadi
perubahan warna (B ml) dari hijau menjadi merah muda keunguan
7. Dikerjakan penetapan blanko (D= ml KH(IO3)2 yang dibutuhkan
Perhitungan: Kadar Protein Kasar= (D-B) x 0,01 x 14 x C x 6,25/A x 100%
Keterangan:
A
= Berat sampel (g)
B
= Volume KH(IO3)2 0,01 N untuk tritasi (ml)
C
= Jumlah pengenceran dengan aquades
D
= Volume KH(IO3)2 0,01 N untuk titrasi blanko (ml) *Berat Atom N= 14 *6,25=
Dalam 100% protein mengandung 16% N (100:16)

34

Lampiran 4. Prosedur Penetapan Serat Kasar (AOAC, 2005)


Prinsip:
Serat kasar merupakan senyawa yang tidak larut jika direbus terus menerus dalam
larutan H2SO4 0,3 N DAN NaOH 1,5 N. Tujuan penambahan H2SO4 adalah untuk mengurai
senyawa N dalam pakan, penambahan NaOH untuk mengurai penyabunan senyawa lemak
sehingga mudah larut. Sisa bahan pakan yang tidak tercena kemudian ditimbang dan
diabukan. Perbedaan berat residu menunjukkan humlah serat yang terdapat dalam suatu bahan
pakan.
Alat-alat:
1. Timbangan analitik
2. Beaker glass khusus SK
3. Alat untuk mendidihkan
4. Cawan filtrasi serta alat filtrasi
5. Eksikator
6. Oven 105 C
7. Tanur 550- 600 C
Bahan kimia:
1.
2.
3.
4.
5.
6.

H2SO4 0,3 N
Ethylene Diamine Tetra Asetic Acid Disodium Salt Dihydrate (EDTA),
HCL 0,3 N
NaOH 1,5 N
aquades panas
aceton, pasir bersih dan batu didih.

Prosedur:
1. timbang kertas minyak, misalnya berat A gram. Ambil kira-kira sampel 1 gram ditaruh
diatas kertas minyak, timbang kembali misalnya berat B gram. Tuangkan sampel
dalam beaker glass ditambahkan H2SO4 0,3 N
sebanyak 50 mL didihkan 30 menit
35

2. Tambahkan 25 Ml NaOH 1,5 N dan didihkan 25 menit tepat


3. Tambahkan pula 0,5 gram EDTA
4. Matikan pemanas, ambil beaker glass
5. Saring dengan cawan filtrasi
6. Bersihkan dengan aquadest panas sampai semua masuk kedalam cawan filtrasi
7. Tambahkan 50 mL HCL 0,3 N diamkan 1 menit lalu dihisap dengan pompa vacum
8. Tambahkan 10 mL aquadest panas
9. Tambahkan 40 mL aseton, diamkan 1 menit dihisap dengan pompa vacum
10. Dioven pada suhu 105 C selama 1,5 jam lalu dimasukkan eksikator 1 jam, ditimbang
misalnya berat C gram
11. Dimasukkan dalam tanur 550-600 C selama 2 jam, keluarkan dan masukkan kembali
dalam eksikator selama 1 jam, ditimbang misalnya berat D gram
Perhitungan:
Kadar SK (%) =

CD
x 100
B A

Keterangan:
A

= Berat kertas minyak

= Berat kertas minyak + berat sampel

= Berat kertas minyak + berat sampel setelah dioven

= Berat kertas minyak + berat sampel setelah ditanur

SK

= Serat kasar

36

Lampiran 5. Prosedur pengambilan cairan rumen (Menkee dan Close, 1986)


Alat-alat:
Alat yang digunakan adalah termos, pipet, spuit dan selang
Prosedur:
1.
2.
3.
4.

Termos diisikan air hangat 50 -70 C sampai penuh


Kemudian dibuang 1/3 bagian diisikan air dingin, sehingga suhu menjadi 39C
Air termos dibuang sesampainya di tempat ternak berfistula
Diambil cairan rumen dari fistula sapi kemudian diamsukkan dalam termos dan
ditutup, dibawa ke Laboratorium untuk kepentingan analisis.

37

Lampiran 6. Prosedur Pengukuran Produksi Gas In Vitro (Makkar et.al., 1998)


Alat-alat:
Inkubator, piston, syringe, selang berklip, termos, timbangan analitik, gelas ukur,
cawan porselin, pipet tetes, tabung erlenmeyer, tabung CO2, tabung fermentor, eksikator,
termometer,magnetik stirer, pemanas dan centrifiuge.
Bahan:
Cairan rumen, vaselin, aquades, larutan buffer, larutan makromineral, larutan
mikromineral, resazurin dan larutan reduktor.
Prosedur:
Disiapkan

syringe dengan pemberian nomer urut sesuai sampel

yang akan dianalisa serta pemberian vaselin pada piston. Sampel yang
telah dihaluskan dengan ukuran 1 mm ditimbang sebanyak 0,5 gram BK
dimasukan ke dalam syringe (diameter 32 mm, panjang 200 mm, volume 100 ml) dan
piston yang telah diberi vaselin, kemudian dipasang. Selang karet (panjang 5 cm)
dihubungkan dengan ujung syring kemudian ditutup menggunakan klep plastik. Penyaringan
pada cairan rumen

dilakukan dengan kain saring. Larutan buffer dicampur

dengan cairan rumen dengan perbandingan 1:3.41 (v/v).


Larutan buffer (tipa 1 liter) terdiri dari : NaHCO3 35 gram +
NH4HCO3 4 gram, dilarutkan dalam 1 liter aquadest. Larutan makro
mineral (tiap 1 liter) terdiri dari : Na 2HPO4 5,7 gram + KH2HPO4 6,2 gram +
MgSO4 7 H2O 0,6 gram + NaCL 2,22 gram dilarutkan dalam 1 liter
aquadest. Larutan mikro mineral (tiap 100 ml) terdiri dari

CaCL 2 2 H2O

13,2 gram + MNCL2 4 H2O 10 gram + CoCl2 6 H2O + FeCL3 6 H2O 0,8 gram,
dilarutkan dalam aquadest sampai volumenya 100 ml. Larutan resazurin :
0,1 gram resazurin dilarutkan dengan aqudest sampai volumenya 100 ml.
Redukter solvent (di- buat sesaat sebelum mengambil cairan rumen)
terdiri dari Na2S 9H2O 0,58 gram + NaOH 1 M 3,7 ml.
Larutan buffer campuran terdiri dari aquadest 1095 ml, buffer 730
ml, makromineral 365 ml, mikromineral 0,23 ml, resazurin 1 ml, reduktor
60 ml. Larutan buffer campuran dimasukan kedalam labu, selanjutnya
ditempatkan dalam waterbath suhu 39o C, kemudian dialiri dengan gas CO 2
dan ditambah larutan reduktor. Terjadi perubahan warna larutan dari
38

kebiru-biruan menjadi agak merah kemudian warnanya tidak ada. Cairan


rumen dan larutan buffer campuran dimasukan ke dalam syring dengan
menggunakan pipet otomatis sebanyak 50 ml. pengeluaran gelembung
udara yang berada dalam syring dengan menggunakan selang silikon, klip
plastik pada selang silikon ditutup kemudian dibaca volumenya (V 0).
Syring diletakan dalam waterbath dengan suhu 39o C. Pembuatan blanko dengan cara
seperti diatas hanya tetapi, tanpa penambahan sampel. Waktu pencatatan produksi gas
dilakukan pada jam inkubasi ke 0, 2, 4, 6, 8, 12, 24, 36 dan 48. Produksi gas diukur dengan
menggunakan rumus:
Vblanko = Vblanko t VO
Produksi gas = (V1-V0-Vblanko)
Pengukuran potensi dan laju produksi gas dapat dilakukan melalui
persamaan menurut Mertans (1977) yang dikutip oleh Makkar et al,. (1995), sebagai
berikut :

Y = b (1 e-ct )
Keterangan :
Y = Produksi gas pada saat t jam(ml/500 mg BK);
b = Potensi produksi gas (ml/500 mg BK) pada t
c = Laju produksi gas (ml/jam);
t = Waktu inkubasi (jam);
e = Eksponensia

39

Lampiran 7. Pengukuran Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik (Menkee dan Close,
1986)
Alat-alat:
Tabung fermentor, pipet tetes, timbangan analitik, cawan porselin, oven, tanur, eksikator dan
centrifiuge.
Prosedur:
Pengukuran dilakukan setelah inkubasi 48 jam. Cairan rumen +
residu pakan ditampung dalam 2 wadah yang berbeda. Cairan rumen
diletakan dalam tabung sentrifuge dan residu ditaruh pada cawan (cawan
sebelumnya sudah di oven 105 C dan ditimbang). Cairan rumen
disentrifugasi dengan kecepatan 16000 rpm selama 15 menit untuk
memisahkan supernatan dan residu. Residu yang berada ditabung
diletakan ke dalam cawan dengan menyemprotkan aquadest. Residu pada
cawan di oven dengan suhu 105 C selama 24 jam diambil dan di
dinginkan dalam eksikator, kemudian ditimbang untuk mengetahui kadar
BK. Selanjutnya cawan yang berisi residu masuk ke dalam tanur 550 C
sampai berwarna

putih atau abu-abu, kemudian didinginkan dan

ditimbang untuk mengetahui kadar abu dan BO. Pengukuran kecernaan


bahan kering (KcBK) dan kecernaan bahan organik (KcBO) dapat dilakukan
mengunakan rumus:
Kecernaan Bahan Kering =

Kecernaan Bahan Organik =

BK sampel awal ( BK residuBK blanko )


x 100
BK sampel awal
BO sampel awal( BO residuBO blanko )
x 100
BO sampel awal

40

Segar
(g)

oven BK (%)
(g)

BK
Abu
BO (%)* PK (%)*
oven(%)
(%)*
*
Bahan
420
110
23,41
89,38
4,54
95,46
8,16
P0
420
90
20,58
96,05
4,61
95,39
6,18
P1
420
86
18,83
91,94
3,40
96,6
6,68
P2
430
78
16,65
91,81
3,90
96,1
7,99
P3
420
69
14,80
90,07
4,70
95,3
9,98
P4
420
60
13,02
91,12
5,16
94,84
10,69
Lampiran 8. Kandungan Nutrien Kulit Ubi Kayu dan Hasil Fermentasinya

SK (%)*

Keterangan : * hasil analisis proksimat di Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak


Fakultas Peternakan UB

41

11,53
17,17
13,56
14,48
16,08
17,92

Lampiran 9. Analisis Statistik Produksi Gas ( jam ke-2 sampai 24)

Waktu inkubasi jam ke-2

Perlakua
n
P0
P1
P2
P3
P4
sum
Perhitungan
FK
JKT
JKK
JKP
JKG

1
1,28
3,42
2,55
2,63
1,35
12,21

Kelompok
2
5,15
4,49
6,02
5,95
5,89
27,50

total
3
1,85
4,53
4,87
4,21
6,57
22,03

8,28
12,43
13,43
12,79
13,80
61,73

Ratarata
2,76
4,14
4,48
4,26
4,60
20,58

sd
2,09
0,63
1,77
1,66
2,84

374,15338
3
71,77
41,564199
8
8,2672626
21,94

Tabel Anova
SK
Kelompok

db
2

JK
41,5642

KT
20,7821

Perlakuan

Galat

8,26726
3
21,94

2,06681
6
2,74196
3

F hit
7,57927
8
0,75377
2

Total
14
71,77
F hitung < F tabel (0,05), sehingga tidak berbeda nyata
42

F tab
4,45897
3,83785
3

0,01
8,64911
1
7,00607
7

Waktu inkubasi jam ke-4

Perlakua
n
1
P0
3,83
P1
12,30
P2
11,43
P3
5,26
P4
2,75
Total
35,58
Perhitungan
FK
JKT
JKK
JKP
JKG

Kelompok
2
16,30
13,92
32,68
34,51
31,11
128,53

total
3
15,90
23,33
32,70
28,34
28,77
129,03

36,03
49,55
76,82
68,11
62,64
293,15

Ratarata
12,01
16,52
25,61
22,70
20,88
97,72

sd
7,09
5,96
12,27
15,42
15,74

5729,0602
6
1786,78
1158,2488
7
343,33170
3
285,20

Tabel Anova
F
F(0,05) F0,01)
hitung
Kelompo
1158,24 579,124 16,2446
8,64911
2
4,45897
k
9
4
7
1
343,331 85,8329 2,40764 3,83785 7,00607
Perlakuan
4
7
3
7
3
7
35,6501
Galat
8
285,20
2
Total
14
1786,78
F hitung < F tabel (0,05), sehingga tidak berbeda nyata
SK

db

JK

KT

Waktu inkubasi jam ke-8


Perlakua
n
P0
P1
P2
P3
P4
total

Perhitungan
FK
JKT

1
91,94
102,64
96,41
76,58
71,58
439,16

Kelompok
2
78,33
48,90
70,97
61,88
52,79
312,87

total
3
61,74
74,91
61,58
65,46
59,02
322,71

232,01
226,45
228,96
203,92
183,39
1074,7
4

77003,8057
3431,54
43

Ratarata
77,34
75,48
76,32
67,97
61,13
358,25

sd
15,13
26,88
18,02
7,66
9,57

JKK
JKP
JKG
SK

1973,67539
579,047725
878,81

JK
KT
F hitung
1973,67
8,98336
Kelompok
2
986,8377
5
8
579,047
1,31779
Perlakuan
4
144,7619
7
5
Galat
8
878,81 109,8516
Total
14
3431,54
F hitung < F tabel (0,05), sehingga tidak berbeda nyata

db

Waktu inkubasi jam ke-12


Perlakua
Kelompok
n
1
2
P0
125,15
104,43
P1
131,32
87,67
P2
123,43
99,73
P3
96,38
91,59
P4
87,75
73,99
Total
564,03
457,41

total
3
94,28
117,42
104,01
108,35
101,25
525,31

323,85
336,41
327,18
296,32
262,99
1546,7
4

F (0,05)

F (0,01)

4,45897

8,649111

3,837853 7,006077

Ratarata
107,95
112,14
109,06
98,77
87,66
515,58

sd
15,73
22,30
12,63
8,63
13,63

Perhitungan
159494,49
FK
2
JKT
3522,17
JKK
1165,10
1193,0945
JKP
2
JKG
1163,97
Tabel Anova
F
F (0,05) F(0,01)
hitung
Kelompo
582,551 4,00388
8,64911
2
1165,10
4,45897
k
4
4
1
1193,09 298,273 2,05003 3,83785 7,00607
Perlakuan
4
5
6
9
3
7
145,496
Galat
8
1163,97
6
Total
14
3522,17
F hitung < F tabel (0,05), sehingga tidak berbeda nyata
SK

db

JK

KT

44

Waktu inkubasi jam ke-24


Perlakua
n
P0
P1
P2
P3
P4
Total

1
168,57
183,22
187,61
163,75
148,37
851,52

Kelompok
2
176,12
116,41
155,78
141,50
99,53
689,35

Total
3
152,70
178,20
148,88
154,67
144,96
779,42

497,39
477,82
492,28
459,93
392,86
2320,2
8

Ratarata
165,80
159,27
164,09
153,31
130,95
773,43

sd
11,96
37,21
20,66
11,19
27,27

Perhitungan
FK
358913,6
JKT
8040,39
2640,687
JKK
9
2394,168
JKP
7
JKG
3005,54
Tabel Anova
SK

db

JK

KT

F
hitung
3,5144
3
1,5931
7

F tab

2640,6 1320,3
4,4589
9
4
7
2394,1 598,54
3,8378
Perlakuan
4
7
2
5
3005,5 375,69
Galat
8
4
2
8040,3
Total
14
9
F hitung < F tabel (0,05), sehingga tidak berbeda nyata
Kelompok

F tab
8,64911
7,0060
8

Waktu inkubasi jam ke-36


Perlakua
n
P0
P1
P2
P3
P4
Total

1
194,11
228,22
213,23
195,42
166,06
997,04

Kelompok
2
198,08
150,85
171,01
158,48
119,39
797,81

Total
3
181,54
208,62
174,63
173,42
170,83
909,03

573,72
587,69
558,87
527,32
456,28
2703,8
45

Ratarata
191,24
195,90
186,29
175,77
152,09
901,30

sd
8,64
40,22
23,40
18,58
28,43

9
Perhitungan
487399,8
FK
8
JKT
10431,57
3987,375
JKK
5
3644,601
JKP
5
JKG
2799,59
Tabel Anova
SK
db
JK
KT
F hitung
Kelompok
2
3987,38 1993,69 5,69708
Perlakuan
4
3644,6
911,15 2,60367
galat
8
2799,59 349,949
Total
14
10431,57
F hitung < F tabel (0,05), sehingga tidak berbeda nyata

F(0,05)
4,45897
3,83785

F(0,01)
8,64911
7,00608

Waktu inkubasi jam ke-48

Perlakua
n
P0
P1
P2
P3
P4
Rata-rata

1
224,76
251,48
250,54
235,06
194,41
1156,25

Kelompok
2
207,11
197,38
181,33
172,55
140,41
898,77

Total
3
194,11
224,20
187,85
187,99
185,41
979,56

625,98
673,06
619,71
595,60
520,23
3034,5
9

Ratarata
208,66
224,35
206,57
198,53
173,41
1011,53

sd
15,38
27,05
38,21
32,57
28,93

Perhitungan
613914,6
FK
3
JKT
12833,81
6936,038
JKK
6
4181,438
JKP
5
JKG
1716,33
Tabel Anova
SK

db

JK

KT

kelompok

6936,04

3468,0

F
hitung
16,164
46

F tab

F tab

4,4589

8,6491

Perlakuan

4181,44

Galat

1716,33

2
1045,3
6
214,54
1

8
4,8725
3

7
3,8378
5

1
7,0060
8

12833,8
1
F hitung > F tabel (0,05), sehingga berbeda nyata
Total

14

Uji Lanjutan
SE
6,550441
BNT
BNJ

3,261
3,398
21,36099 22,2584
Ratarata

3,475
22,78

3,521
23,0641

P4

173,41

P4
173,411
0

P3
198,53
-25,1218

P0
206,571
-33,16

P2
208,659
-35,2477

P3
P2

198,53
206,57

25,12177
33,15997

0
8,038198

-8,0382
0

-10,1259
-2,08771

P0

208,66

35,24768

10,12591

2,087713

P1

224,35

50,94286

25,82109

17,78289

15,6951
8

47

P1
224,354
50,9429
-25,8211
17,7829
15,6952
0

NOTASI
a
b
b
b
b

Lampiran 10. Analisis Statistik Pengaruh Perlakuan Terhadap Nilai Potensi Produksi Gas (b)
(ml/ 500 mg BK pakan)

Kelompok
U1
U2
250,80 244,10
P0
28
33
286,35 268,82
P1
26
65
283,77 202,45
P2
56
36
292,45 190,98
P3
69
87
228,79 146,88
P4
48
63
1342,1 1053,2
sum
83
58
Perhitungan
FK
JKT
JKK
JKP
JKG

U3
233,68
08
261,00
8
211,74
4
210,77
57
210,15
06
1127,3
59

sum

ratarata

sd

728,58
69
816,18
7
697,97
31
694,22
13
585,83
17

242,86
23
272,06
23
232,65
77
231,40
71
195,27
72

8,6282
2
12,978
45
44,512
4
53,788
42
42,932
06

3522,8

827341,339
23016,04337
9007,824172
9094,850101
4913,369096

Tabel Anova
SK
db
JK
KT
F hit
F (0,05)
Kelompo
2 9007,824172 4503,91208
k
6
Perlakuan
4 9094,850101 2273,71252 3,7020 3,8378533
5
8
5
Galat
8 4913,369096 614,171137
Total
14 23016,04337
F hitung < F tabel (0,05), sehingga tidak berbeda nyata

48

Lampiran 11. Analisis Statistik Pengaruh Perlakuan Terhadap Laju Produksi Gas (ml/jam)

P
0

P
1

P
2

P
3

P
4

Kelompok
/Ulangan
U U U
1 2 3

to
ta
l

0,
0
5
9
4
4
1
0,
0
5
4
0
3
4
0,
0
5
2
1
6
2
0,
0
3
7
4
8
1
0,
0
4
7
8

0,
1
6
4
2
6
1
0,
1
3
4
1
6
9
0,
1
7
1
8
6
7
0,
1
5
7
0
3
9
0,
1
5
5
8

0,
0
5
6
2
8
1
0,
0
2
6
6
0
2
0,
0
6
3
5
2
6
0,
0
5
8
3
1
3
0,
0
5
4
1

0,
0
4
8
5
3
8
0,
0
5
3
5
3
3
0,
0
5
6
1
7
9
0,
0
6
1
2
4
5
0,
0
5
3
8

ra s
ta d
ra
ta
0, 0
0 ,
5 0
4 0
7 6
5
4
0, 0
0 ,
4 0
4 1
7 6
2
3
0, 0
0 ,
5 0
7 0
2 6
8
9
0, 0
0 ,
5 0
2 1
3 3
4
6
0, 0
0 ,
5 0
1 0
9 4
49

9 3
9 9
T 0, 0,
o 2 2
t
5 5
a 1 8
l
0 8
1 6
6 2
Perhitung
an
FK
JKT
JKK
JKP
JKG

4
1
0,
2
7
3
3
3
6

7
9
0,
7
8
3
2
1
4

0,040894931
0,001247804
0,000051280
0,000265209
0,000931315

Tabel Anova
SK

db

JK

KT

F
hitung

Kelompo
k
Perlakuan

0,00005128

0,00002564

0,00026521

0,00006630

Galat

0,000931315

0,00011641
4

0,5695
4

Total
14 0,001247804
F hitung < F tabel (0,05), sehingga tidak berbeda nyata

50

F tabel
(0,05)

3,8378533
5

Lampiran 12. Analisis Statistik Pengaruh Perlakuan Terhadap Kecernaan Bahan Kering
Residu Produksi Gas In Vitro (%)
Perlakua
n
P0

1
58,25

Kelompok
2
76,48

P1

69,07

78,44

P2

54,51

63,96

P3

49,74

63,75

P4

43,66

54,39

3
71,33
73,93
61,93
65,05
59,10

Total
206,06

rata-rata
68,69

221,44

73,81

180,41

60,14

178,54

59,51

157,16

52,39

sd
7,67484
1
3,82261
5
4,06130
8
6,93366
1
6,46173
3

Total
275,32 337,02 331,35 943,60
1555,85
Perhitungan
FK
59359,125
JKT
1386,353
JKK
466,634
JKP
846,835
JKG
72,884
Tabel ANOVA
SK
db
JK
KT
Fhitung
Ftabel 0,05
Kelompok 2
466,634
233,317
25,610
4,459
Perlakuan
4
846,835
211,709
23,238
3,838
Galat
8
72,884
9,111
Total
14
1386,353
F hitung > F tabel (0,05) sehingga berbeda nyata. Dilanjutkan dengan uji lanjutan, Uji Beda
Nyata Terkecil
SE
2
3,261
4,4018
8

BNT
BNJ

P4
P3
P2
P0
P1

3
3,398
4,5868
1

Rataan
52,39
59,51
60,14
68,69
73,81

4
3,475
4,6907
5

1,34985
5
3,521
4,7528
4

P4
P3
P2
P0
P1
Notasi
52,39
59,51
60,14
68,69
73,81
0,00
a
7,13
0,00
b
7,75
0,62
0,00
b
16,30
9,17
8,55
0,00
c
21,43
14,30
13,68
5,13
0,00
d

51

Lampiran 13. Analisis pengaruh perlakuan terhadap kecernaan bahan organik residu produksi
gas in vitro (%)
Perlakua
n
P0
P1
P2
P3
P4

1
65,88
73,12
62,03
54,86
53,28

Kelompok
2
3
74,14
72,44

Total
212,45

rata-rata
70,82

77,73

76,74

227,59

75,86

67,81

65,65

195,49

65,16

65,15

68,33

188,35

62,78

60,03

62,72

176,03

58,68

sd
3,5595
1
1,9846
2
2,3864
2
5,7479
5
3,9726
9

Total
1653,92
309,16 344,86 345,87 999,90
Perhitungan
FK
66653,222
JKT
762,454
JKK
174,928
JKP
549,079
JKG
38,448
Tabel Anova
SK
db
JK
KT
Fhitung
Ftabel 0,05
Kelompok
2
174,928
87,464
18,199
4,459
Perlakuan
4
549,079
137,270
28,562
3,838
Galat
8
38,448
4,806
Total
14
762,454
F hitung > F tabel (0,05)) sehingga berbeda nyata. Dilanjutkan dengan uji lanjutan, Uji Beda
Nyata Terkecil
SE
BNT
BNJ

2
3,261
3,1970
9

3
3,398
3,3314
1

4
3,475
3,4069

0,9804
5
3,521
3,452

Notasi

P4
P3
P2
P0

Rataan
58,68
62,78
65,16
70,82

P4
P3
P2
P0
P1
58,68
62,78
65,16
70,82
75,86
0,00
4,10
0,00
6,48
2,38
0,00
12,14
8,04
5,65
0,00
52

Notasi
a
b
b
c

P1

75,86

17,18

13,08

10,70

Lampiran 14. Dokumentasi


Persiapan bahan

53

5,05

0,00 d

Persiapan dan pengukuran Produksi Gas dan Kecernaan

54

Anda mungkin juga menyukai