BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Kopi merupakan salah satu tanaman perkebunan di Indonesia. Tanaman ini hidup subur
di daerah dataran tinggi, yaitu di atas 700 meter dpl (di atas permukaan laut). Komposisi buah
kopi terdiri dari pulp sebanyak 40%, lendir (mucilage) sebesar 20%, dan sisanya (40%)
Umumnya buah kopi setelah panen diambil bijinya untuk kopi. Hasil pengolahan
tersebut ternyata menghasilkan 35% kulit kopi dan 65% biji kopi. Lebih rinci kulit kopi
A B C D
Keterangan :
A : Pohon kopi
B : Kulit dalam buah kopi yang membungkus biji kopi
C : Kulit paling luar biji kopi
D : Limbah kulit kopi
Kulit kopi belum banyak dimanfaatkan untuk pakan ternak, baik untuk ternak
ruminansia maupun ternak nonruminansia. Umumnya kulit kopi tersebut dibuang begitu saja
sebagai pupuk tanaman dan hal tersebut dapat mengundang timbulnya penyakit jamur, seperti
Syarat mutu kopi diatur oleh Standar Nasional Indonesia (SNI) mengenai kopi dengan
nomor 2907-2008: biji kopi. Syarat mutu umum biji kopi pada SNI tersebut adalah: ( i )
2
Serangga hidup tidak ada; ( ii ) Biji tidak berbau busuk dan tidak berbau kapang; ( iii ) Kadar
air bahan maksimal 12,5%; dan ( iv ) Kadar kotoran maksimal 0,5% (Prastowo et al., 2010).
Berdasarkan banyaknya jumlah kopi yang ada yaitu 17.922 ton (Badan Pusat Statistik
Provinsi Bali, 2015) tentunya pengolahan kopi akan menghasilkan banyak limbah pula.
Limbah buah kopi biasanya berupa daging buah yang secara fisik komposisinya mencapai
48%, terdiri dari42% kulit buah dan 6% kulit biji (Zainuddin dan Murtisari, 1995).
Sementara menurut Simanihuruk et al. (2010), proporsi kulit kopi yang dihasilkan dalam
pengolahan cukup besar, yaitu 40-45%. Kandungan kulit kopi masih cukup bagus, yaitu
protein kasar 10,4%, serat kasar 17,2% dan energi termetabolisme sebesar 14,43 MJ/kg
(Zaenuddin dan Murtisari, 1995). Lebih lanjut dijelaskan bahwa kulit kopi mengandung:
protein kasar 10,4%; lemak kasar 2,13%; serat kasar 17,2% (termasuk lignin); abu 7,34%;
kalsium 0,48%; posfor 0,04%; energi metabolis 14,34 MJ/kg. Namun, Bressani (1979)
melaporkan bahwa kulit kopi mengandung antinutrisi berupa senyawa kafein 1,3% dan tanin
8,5%.
Menurut data Badan Pusat Statistik Provinsi Bali (2015), luas kebun kopi di Bali
adalah 36.077 hektar dan mampu memproduksi kopi sebanyak 17.922 ton, masing-masing
tersebar di kabupaten Bangli sebanyak 2.494 ton, Buleleng sebanyak 9.022 ton, dan Tabanan
sebanyak 4.567 ton. Dari 36.077 hektar areal perkebunan kopi di Bali tersebut, sekitar 65%
dari jenis kopi Robusta dan selebihnya 35% dari jenis kopi Arabika yang populasinya
sebagian besar berada di daerah Kintamani, sedangkan untuk jenis kopi Robusta populasinya
paling banyak tersebar di wilayah Buleleng dan Tabanan. Pada musim hujan, ketersediaan
kulit kopi meningkat pada saat musim panen kopi, yaitu 35%`dari total panen produksi kopi.
Ditinjau dari teknik pemanfaatannya sebagai komponen pakan ternak ruminansia kecil
beberapa peneliti mempunyai pendapat yang tidak seragam. Pemanfaatan limbah kopi hingga
saat ini belumlah maksimal. Pengembangan perkebunan, khususnya kopi, yang dilakukan
3
saat ini tentu secara tidak langsung juga akan menambah jumlah limbah kopi yang dihasilkan.
Oleh karena itu, perlu sebuah terobosan baru guna mengolah limbah kopi agar dapat
dimanfaatkan dan tidak terbuang sia-sia. Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Tengah dan BPTP
Jawa Tengah (2004) bahkan mengungkapkan bahwa pemanfaatan limbah kulit kopi jika
pendapatannya.
Pemanfaatan kulit kopi secara langsung sebagai pakan ternak memiliki beberapa
perncernaan jika diberikan pada level yang tinggi dalam bentuk segar. Hasil analisis
proksimat menunjukkan bahwa kandungan nutrisi kulit kopi adalah sebagai berikut:
mengandung 95,22% bahan kering; 10,47% protein kasar; 0,26% lemak; 32,26% serat kasar;
dan mengandung energi (GE) sebanyak 4140 kkal/kg (Wiguna, 2007). Dilaporkan juga oleh
Mastika (2011) bahwa melalui proses amoniasi, ternyata kandungan nutrisi kulit kopi
meningkat, yaitu protein kasar menjadi 17,88%; kecernaan bahan kering meningkat dari 40%
menjadi 50%. Melalui amoniasi dapat menyebabkan struktur dinding sel kulit kopi menjadi
padat dan tidak berdebu, sehingga lebih mudah untuk dikonsumsi oleh ternak. Pemanfaatan
kulit kopi sebagai campuran pakan konsentrat akan dapat meningkatkan nilai tambah
usahatani.
Simanihuruk et al., (2010), menyatakan bahwa salah satu teknologi fermentasi dapat
meningkatkan kadar nutrisi terutama protein dan energi. Selain itu, teknologi ini juga dapat
mempertahankan kesegaran bahan pakan dengan kandungan bahan kering sebesar 30-35%
.Pemanfaatan limbah kopi ini antara lain dapat digunakan sebagai pakan ternak. Penyediaan
pakan yang murah dan nonkompetitif dapat melalui pemanfaatan limbah, baik hasil pertanian
4
maupun industri. Namun, karakter kulit kopi yang tinggi kadar air (75-80%) menyebabkan
kulit kopi mudah rusak dalam waktu cepat tanpa suatu proses pengolahan(Mastika, 1991).
Kulit kopi termasuk limbah organik, sehingga tidak terlalu berbahaya bagi lingkungan.
Limbah hasil pengolahan kopi, yaitu berupa daging buah yang secara fisik komposisi
mencapai 48%, terdiri atas kulit buah 42% dan kulit biji 6% (Zainuddin dan Murtisari
1995).Dampak sederhana yang ditimbulkan oleh limbah kulit kopi adalah bau busuk yang
cepat muncul. Hal ini karena kulit kopi masih memiliki kadar air yang tinggi, yaitu 75-80%
(Simanihuruk et al., 2010), sehingga sangat mudah ditumbuhi oleh mikroba pembusuk. Hal
ini tentu akan mengganggu lingkungan sekitar jika dalam jumlah besar, karena dapat
mencemari udara. Selain itu, kulit kopi yang terbengkalai juga dapat menjadi media tumbuh
bakteri pathogen mengingat kandungan nutrisinya yang masih cukup tinggi. Akibatnya,
penyakit yang ditimbulkan dapat menjadi wabah, karena dibawa angin atau lalat yang
hinggap.
Pengolahan kulit kopi melalui sentuhan teknologi dapat menjadi terobosan baru bagi
dunia pemanfaatan limbah hasil industri pertanian. Bahkan dapat pula sebagai media
penambahan pendapatan peternak atau petani. Peternak mampu mendapatkan ternak yang
gemuk melalui pemberian pakan suplementasi nutrisi yang murah tapi memiliki kualitas
bagus. Rathinavelu dan Graziosi (2005) menyatakan bahwa limbah kulit buah kopi dapat
menggantikan 20% kebutuhan konsentrat komersial yang digunakan sebagai pakan ternak,
dan menekan biaya pakan hingga 30%. Gunawan dan Azmi (2005) melaporkan bahwa usaha
penggemukan sapi potong memerlukan pakan dengan kuantitas yang cukup dan kualitas yang
baik secara kontinyu. Sedangkan petani memperoleh nilai guna lebih dari kulit kopi yang
biasa dibuang ketika ia mengolahnya sendiri atau menjual kulit kopinya kepada produsen
silase.
5
Widyotomo (2012) mengatakan bahwa perlakuan fermentasi limbah kulit kopi dengan
Aspergillus niger mampu meningkatkan nilai gizi limbah kopi yang ditunjukkan dengan
meningkatnya protein dari 6,67% menjadi 12,43% dan menurunkan kadar serat kasar dari
21,4% menjadi 11,05%. Penelitian yang dilakukan Guntoro et al. (2004) juga menunjukkan
bahwa penggunaan tepung limbah terfermentasi sebanyak 100 gram/ekor/hari prasapih dan
200 gram/ekor/hari pascasapih dapat meningkatkan pertumbuhan anak kambing dari rata-rata
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Parwati et al. (2006) di Desa Satra, Kecamatan
Kintamani, Kabupaten Bangli, Bali, didapatkan hasil bahwa pemberian silase kulit kopi
menambah pendapatan usaha penggemukan sapi sebesar 41,9% dibandingkan jika hanya
memberikan hijauan saja pada sapi. Kemudian, Simanihuruk et al. (2010) juga menyebutkan
bahwa berdasarkan hasil rataan konsumsi bahan kering, kecernaan bahan kering dan bahan
organik, pertambahan bobot badan, efisiensi penggunaan pakan, dan nilai income over feed
cost penggunaan silase kulit buah kopi sebesar 20% dapat direkomendasikan untuk
menunjukkan tidak ada bahwa satupun ternak yang diberi asupan limbah hasil fermentasi
menunjukkan gejala sakit ataupun mati; sehingga limbah kopi terfermentasi aman digunakan
Fermentasi adalah proses produksi energi dalam sel dalam keadaan anaerobik (tanpa
oksigen). Secara umum, fermentasi adalah salah satu bentuk respirasi anaerobik, atau
respirasi dalam lingkungan anaerobik dengan maupun tanpa akseptor elektron eksternal
(Bidura, 2007). Gula adalah bahan yang umum dalam fermentasi. Beberapa contoh hasil
6
fermentasi adalah etanol, asam laktat, dan hidrogen. Akan tetapi, beberapa komponen lain
dapat juga dihasilkan dari fermentasi, seperti asam butirat dan aseton. Ragi dikenal sebagai
bahan yang umum digunakan dalam fermentasi untuk menghasilkan etanol. Respirasi
anaerobik dalam otot mamalia selama kerja yang keras (yang tidak memiliki akseptor
Fermentasi merupakan proses perubahan kimia pada substrat sebagai hasil kerja
enzim dari mikroba dengan menghasilkan produk tertentu. Proses ini berjalan tergantung
pada jenis substrat, kapang, khamir, dan kondisi lingkungan yang mempengaruhi
pH, kelembaban dan aroma, serta perubahan komposisi zat makanan seperti protein, lemak,
Substrat yang mengalami fermentasi biasanya memiliki nilai gizi yang lebih tinggi
daripada bahan asalnya. Hal ini dikarenakan sifat katabolik dan anabolik mikroorganisme,
sehingga mampu memecah komponen yang lebih kompleks menjadi senyawa yang sederhana
dan mudah tercerna. Proses fermentasi diharapkan akan merombak struktur jaringan kimia
dinding sel, pemutusan ikatan lignoselulosa, dan penurunan kadar lignin (Bidura, 2007).
Proses fermentasi menitik beratkan pada proses perombakan struktur keras menjadi
struktur yang lebih lunak secara fisik, kimia, dan biologi, sehingga bahan struktur yang
kompleks akan berubah menjadi lebih sederhana dan akan mudah dicerna oleh ternak.
Sedangkan proses amoniasi adalah perombakan struktur kasar menjadi lunak dengan
penambahan urea dan terjadi proses urease sehingga nitrogen pada pakan akan meningkat
(Hendraningsih, 2005). Proses fermentasi dipengaruhi oleh jumlah mikroba, lama fermentasi,
pH (keasaman), substrak (medium), suhu, alkohol, oksigen, garam, dan air (Bidura el al.,
2008).
7
mengubah makro molekul protein menjadi mikro molekul yang mudah dicerna oleh unggas
serta tidak menghasilkan senyawa kimia beracun. Dilaporkan juga bahwa selain dapat
meningkatkan kecernaan pakan dan melepas ikatan senyawa kompleks menjadi senyawa
yang mudah dicerna. Menurut Widiyanto et al. (l994), pada saat difermentasi oleh
Trichoderma virideae, kandungan serat kasar ransum dapat didegradasi sehingga dapat
Pakan terfermentasi dapat langsung diberikan kepada ternak atau disimpan dalam
wadah yang bersih dan kering. Untuk ternak ruminansia, tepung limbah terfermentasi dapat
produksi susu. Tepung limbah terfermentasi ini dapat diberikan sebagai pengganti
penggunaan dedak padi, yaitu sebanyak 0,70-1,0% dari berat hidup ternak ruminansia.
Penggunaan tepung limbah terfermentasi untuk ternak unggas termasuk babi dapat digunakan
sebagai pengganti penggunaan dedak padi. Pada ayam petelur, penggunaan tepung pod kakao
terfermentasi sampai tingkat 36% nyata dapat meningkatkan produksi telur (Guntoro, 2004).
hemiselulosa, dan lignin, sehingga dapat dihasilkan pakan yang lebih mudah untuk dicerna
serta terjadi peningkatan nutrisi. Pemanfaatan pakan serat terfermentasi dapat memberikan
beberapa keuntungan, antara lain (1) mengurangi biaya pakan, khususnya dalam musim sulit
pakan, (2) dapat memberikan nilai tambah bagi petani padi, dan (3) memberikan peluang
baru biro-biro jasa lainnya apabila dikelola secara profesional, antara lain akan muncul suatu
bisnis atau usaha baru dalam pelayanan jasa, seperti prosesing dan pengangkutan limbah
agroindustri sebagai pakan ternak, sehingga sektor pertanian akan memberikan peluang untuk
Secara umum, teknologi yang lazim digunakan dalam pengolahan pakan serat adalah
teknologi fermentasi dan amoniasi. Proses fermentasi menitik beratkan pada proses
perombakan struktur keras menjadi struktur yang lebih lunak secara fisik, kimia, dan biologi,
sehingga bahan struktur yang kompleks akan berubah menjadi lebih sederhana dan akan
mudah dicerna oleh ternak. Sedangkan proses amoniasi adalah perombakan struktur kasar
menjadi lunak dengan penambahan urea dan terjadi proses urease sehingga nitrogen pada
Penggunaan produk fermentasi dalam ransum nyata menurunkan jumlah lemak tubuh
ayam broiler (Kataren et al., 1999). Bahan pakan produk fermentasi ternyata dapat menekan
kolesterol dalam hati, sehingga penimbunan kolesterol dalam tubuh dapat ditekan (Tanaka et
al., l992). Handayani (1997) menemukan bahwa fermentasi kotoran ayam pedaging dengan
ragi tape meningkatkan kadar protein kotoran. Untuk meningkatkan nilai senyawa nitrogen
dalam kotoran, maka senyawa tersebut harus diubah menjadi asam amino atau protein
mikroba.
mikroorganisme yang terdiri dari khamir dan substrat tempat khamir dikembangkan. Khamir
yang digunakan dalam pembuatan kultur khamir adalah jenis Saccharomyces sp yang
dalam saluran pencernaan unggas. Penekanan penggunaan khamir laut adalah sebagai
penghasil enzim amylase, protease, lipase, memiliki Undentified Growth Factor (UGF) dan
bersifat aerob, cepat tumbuh, termasuk golongan ekso enzim, sebagai enzim dapat langsung
digunakan/diserap.
Pramono et al. (2007) menyatakan bahwa terjadi peningkatan gula reduksi dan protein
terlarut akibat dari degradasi komponen karbohidrat dan protein, kemudian mengalami
9
menunjukkan bahwa populasi bakteri asam laktat (konstan 105 CFU/g selama fermentasi)
diduga cukup nyata dalam menekan pertumbuhan Coliform (dari awal 10 5 turun menjadi 103
pada akhir fermentasi) dan bakteri pembusuk (bakteri penghasil bioamin) dari awal 106
menjadi 103).
Semakin lama waktu penyimpanan bahan pakan saat difermentasi oleh mikroba, maka
semakin banyak kehilangan bahan kering dan bahan organik bahan, sebaliknya semakin
meningkat kandungan protein kasar bahan dan semakin menurun kandungan serat kasar
bahan. Semakin lama proses fermentasi atau waktu penyimpanan bahan, maka semakin
meningkat kecernaan bahan kering dan bahan organik bahan (Sumarsih et al., 2007).
Menurut Widiyanto et al. (l994), pada saat difermentasi oleh Trichoderma virideae,
kandungan serat kasar ransum dapat didegradasi sehingga dapat dimanfaatkan oleh ternak
protein menjadi mikromolekul yang mudah dicerna oleh unggas, serta tidak menghasilkan
senyawa kimia beracun. Dilaporkan juga bahwa selain dapat meningkatkan kandungan
protein dalam ransum, proses fermentasi ternyata dapat meningkatkan kecernaan pakan dan
melepas ikatan senyawa kompleks menjadi senyawa yang mudah dicerna (Bidura et al.
2008a).
Menurut Valie (l992), kapang dan khamir mempunyai kemampuan kuat merombak
lignin secara efektif dengan cara menghasilkan enzim peroksidase ekstraseluler, berupa
ligninperoksidase (LiP) dan mangan peroksidase (MnP). Sistem kerja enzim peroksidase
ekstraseluler, yaitu tidak memisahkan serat dengan melarutkan lignin yang ada dalam lamella
tengah, tetapi dengan melunakkan dan memecahkan dinding-dinding serat dan juga dengan
melepaskan pita serat mikrofibrilnya (Trotter, 1990). Dilaporkan juga bahwa kunci reaksi
degradasi lignin oleh kapang Phanerochaete chrysosporium adalah biokatalis ligninase yang
10
mengkatalis oksidasi cincin aromatik lignin untuk membentuk radikal kation. Selanjutnya,
Perombakan lignin oleh kapang melibatkan kerja enzim ligninolitik yang akan
menguraikan lignin menjadi karbondioksida (CO2). Enzim tersebut adalah lignin peroksidase,
mangan peroksidase, likase, dan oksidase (Houghton et al., 1987 dalam Bidura, 2007).
Penambahan molasses atau tetes pada proses biofermentasi dapat mempercepat mekanisme
kerja tersebut. Kunci reaksi degradasi lignin oleh kapang adalah biokatalis enzim lignase
yang mengkatalis oksidasi cincin aromatiknya dan membentuk radikal-radikal kation. Laju
peroksida (H2O2) berfungsi sebagai oksidan ekstraseluler dan perangsang aktivitas lignolisis
Saluran pencernaan semua hewan dapat dianggap sebagai tabung dari mulut sampai
ke anus dan fungsinya adalah mencerna, mengabsorbsi, dan mengeluarkan sisa ransum yang
tidak tercerna. Alat pencernaan unggas termasuk ke dalam kelompok ternak nonruminansia
atau monogastrik (ternak berlambung tunggal sederhana). Menurut Patrick dan Schaible
(1980), alat pencernaan unggas digambarkan sesuai dengan adanya tujuh fungsi utama dari
bagian-bagian alat pencernaan tersebut yang dihubungkan dengan ransum yang diberikan
yaitu : (i) Mengumpulkan dan membuat bagian-bagian kecil dari ransum yang besar; (ii)
yang sesuai untuk mikroba usus; (iv) Meningkatkan proses sintesa di dalam usus; (v)
Menjaga keseimbangan air dalam tubuh; (vi) Mengabsorbsi, mengeluarkan, dan mendaur
ulang substansi dalam pencernaan dan (vii) Memproduksi dan mengumpulkan ekskreta.
Proses utama dari pencernaan adalah secara mekanik, enzimatik, ataupun mikroba.
Proses mekanik terdiri dari penelanan makanan ke dalam mulut dan gerakan peristaltik alat
11
pencernaan karena kontraksi otot usus. Pencernaan secara enzimatis atau kimiawi dilakukan
oleh enzim yang dihasilkan sel-sel kelenjar dari bagian alat saluran pencernaan, berupa
getah-getah pencernaan. Disamping itu enzim dapat pula dihasilkan oleh mikroba usus yang
Saluran pencernaan pada unggas yang baru ditetaskan umumnya steril. Sesaat setelah
menetas unggas yang masih muda secara alami mikroflora saluran pencernaannya
berkembang melalui kontaminasi dari material feses yang berasal dari ayam dewasa. Faktor
lain yang berpengaruh, yaitu transfer mikroba dari induk ke anak, dan kontak dengan bakteri
dari lingkungan. Saluran pencernaan unggas dapat dikelompokkan menjadi enam bagian
yaitu: tembolok (crop), rempela, usus halus, usus buntu (caecum), usus besar (colon), dan
Mikroflora secara alami sudah ada dalam saluran pencernaan pada hewan dan
bersifat patogen. Mikroflora saluran pencernaan unggas sangat kompleks dan interaksi
diantara jenis mikroorganisme yang berbeda juga tidak sederhana. Bagian yang paling
banyak dihuni oleh jenis bakteri adalah saluran usus.Pada awalnya, mikroflora usus pertama
kali berkembang sesaat setelah ayam ditetaskan.Mikroflora usus ini dapat masuk ke dalam
tubuh, yaitu ketika proses penetasan, melalui makanan, atau kontak dengan lingkungan (misal
kontaminasi feses). Mikroflora usus sendiri memiliki beberapa sifat spesifik, diantaranya (1)
dapat tumbuh dan berkembang biak dalam kondisi tanpa oksigen (anaerob), (2) dapat
berkolonisasi pada bagian spesifik dari saluran pencernaan, serta (3) dapat melekatkan diri
dengan permukaan epitel usus (Spring, 1997). Lebih rinci gambar saluran pencernaan ayam
Mikroorganisme yang hidup pada tembolok dapat bertahan hidup pada empedal
yang memiliki pH rendah dan secara umum akan membelah diri pada usus halus. Organisme
yang berasal dari organ tersebut mungkin dapat bertahan sampai caecum. Kandungan
mikroba pada cloaca dan feses tergantung pada apakah materi tersebut berasal dari usus halus
atau dari caecum. Kotoran dari caecum dikeluarkan dua sampai empat kali sehari (Wahyudi
tersebut disimpan dalam tembolok untuk dilunakkan dan dicampur dengan getah pencernaan
proventrikulus dan kemudian digiling dalam empedal. Tidak ada enzim pencernaan yang
dikeluarkan oleh empedal unggas. Fungsi utama alat tersebut adalah untuk memperkecil
ukuran partikel-partikel makanan. Dari empedal makanan yang bergerak melalui lekukan
usus yang disebut duodenum, yang secara anatomis sejajar dengan pankreas. Pankreas
tersebut mempunyai fungsi penting dalam pencernaan unggas seperti pada spesies-spesies
lainnya. Alat tersebut menghasilkan getah pankreas dalam jumlah banyak yang mengandung
menghidrolisa pati, lemak, proteosa dan pepton. Empedu hati yang mengandung amilase,
memasuki pula duodenum. Bahan makanan bergerak melalui usus halus yang dindingnya
mengeluarkan getah usus. Getah usus tersebut mengandung erepsin dan beberapa enzim yang
13
amino, enzim yang memecah gula mengubah disakarida ke dalam gula-gula sederhana
villi usus halus. Unggas tidak mengeluarkan urin cair. Urin pada unggas mengalir kedalam
kloaka dan dikeluarkan bersama-sama feses. Warna putih yang terdapat dalam kotoran ayam
sebagian besar adalah asam urat. Saluran pencernaan yang relatif pendek pada unggas
digambarkan pada proses pencernaan yang cepat (kurang lebih empat jam) (Lehninger,
1994).
ditemukan pada unggas yang baru menetas. Pada bagian tembolok, Lactobacillus menjadi
dominan pada lima hari pertama, sedangkan pada usus halus memerlukan waktu dua minggu.
Kolonisasi bakteri pada usus halus lebih lambat dibandingkan pada bagian lain dari saluran
pencernaan dan pada hari pertama konsentrasinya dibawah 105 CFU/g (Coloni Forming
Unit). Pada bagian caecum, pada umur unggas sekitar dua sampai empat minggu bakteri
obligat aerob meningkat. Pada saat ini bakteri Bifidobacteria, Bacteroides, Eubacteria,
Peptostreptococci, dan Clostridia menjadi dominan. Selain itu pada caecum ditemukan juga
kelompok bakteri selulotik pada tingkat diatas 103 CFU/g (Spring, 1997).
Kelompok bakteri yang dominan pada usus ayam adalah bakteri gram positif,
banyak dihuni oleh bakteri gram positif seperti Lactobacillus, Clostrodia, Bacillus, dan
Streptococci. Jumlah bakteri Bacillus pada caecum (1,45% ) dan ileum (0,67%) (Hidayat,
2010).
Menurut Edelman et al., (2003), diantara bakteri Gram negatif yang dapat tumbuh dan
melekat pada epitel tembolok, lamina propria, dan permukaan villi usus adalah E.coli.
Perubahan morphologi pada usus, yaitu villi yang menjadi lebih pendek dan crypts lebih
14
dalam dapat disebabkan oleh toksin yang dihasilkan mikroba patogen yang ada pada saluran
pencernaan ternak unggas. Diantara mikroba patogen yang dapat menyebabkan penebalan
pada dinding saluran pencernaan adalah Clostridium perfringens. Dampak dari penebalan
yang dapat menjaga integritas saluran pencernaan ternak unggas. Komposisi mikroorganisme
saluran pencernaan dapat dipengaruhi oleh pakan dan lingkungan (Apajalahti et al., 2004).
Mikroflora saluran pencernaan unggas sangat kompleks dan interaksi diantara jenis
mikroorganisme yang berbeda juga tidak sederhana. Dalam upaya untuk mendapatkan hasil
penggunaan probiotik yang lebih baik, seleksi dan penggunaan probiotik harus selektif dan
analisis yang tepat. Untuk hal tersebut, terlebih dahulu harus diketahui mikroorganisme
saluran pencernaan dan interaksinya, baik interaksi antara mikroorganisme maupun interaksi
karbohidrat, dan protein dapat dipengaruhi oleh kehadiran mikroflora usus. Hubungan antara
mikrobial dan metabolik saluran pencernaan sedikit dipelajari. Secara fisiologis pengaruh
tersebut ditunjukkan melalui mekanisme : (i) Mereduksi protein turnover dan kebutuhan
energi dalam usus sebagai akibat dari menurunya proliferasi sel crypt dan berkurangnya
masa usus ; (ii) Sedikit mengurangi permintaan protein dalam hati untuk melakukan proses
Imunologis dan (iii) Meningkatkan jumlah persediaan asam amino untuk jaringan lain,
Serat kasar merupakan komponen dinding sel tanaman yang sulit dicerna oleh ternak
unggas dan tidak mengandung nilai nutrisi. Menurut Sutardi (l997), pertumbuhan usus dan
15
sekum dapat dirangsang oleh serat, karena VFA (volatile fatty acid) produk pencernaan serat
merupakan sumber energi. Sekum dapat menyerap air, sehingga berperan serta dalam proses
termoregulasi dan osmoregulasi. Di samping itu, serat juga dapat mengikat lemak, sehingga
dapat mengurangi absorpsi dan selanjutnya deposisi lemak ke dalam daging ayam dapat
ditekan. Fraksi serat kasar, yaitu selulosa mampu mengikat kolesterol sebesar 1,4% (Balmer
dan Zilversmit, l994), dan fraksi serat kasar yang lain, yaitu lignin mampu mengikat
Menurut Tillman et al. (1991), serat kasar adalah bagian dari makanan yang tidak
dapat dicerna secara enzimatis (enzim yang dikeluarkan oleh ternak unggas), sehingga tidak
digolongkan sebagai sumber zat makanan. Di dalam ilmu pangan, serat sering dibedakan atas
kelarutannya dalam air, sehingga dikenal serat yang tidak larut dan yang larut dalam air.
Serat yang tidak larut dalam air adalah komponen struktural tanaman, sedangkan yang larut
adalah komponen nonstruktural. Serat yang tidak larut dalam air banyak terdapat pada kulit
Keterbatasan nutrisi pada bahan pakan asal nabati adalah kandungan serat kasarnya
yang relatif lebih tinggi daripada bahan pakan asal hewani. Ternak unggas hanya mampu
mencerna serat kasar lebih kurang 20-30% dan itu berlangsung di bagian sekum dan colon.
Namun, serat kasar pada ransum ternak unggas ternyata mempunyai fungsi penting, yaitu
untuk mengatasi kanker saluran pencernaan dan mengurangi kegemukan pada ayam petelur
(Anggorodi, 1985).
bukan pati Non Starch Polysacharides (NSP) dalam pakan mempunyai pengaruh negatif
terhadap kecernaan pada ternak monogastrik (Pluske, 1997) . Serat yang terlarut di dalam
16
usus halus akan membentuk gel yang mengikat lemak, kolesterol, dan asam empedu.
Akibatnya, asam empedu di dalam hati menurun. Hati akan memproduksi asam empedu lagi
dengan cara menarik kolesterol dari darah, sehingga kolesterol darah menurun. Serat mampu
Jorgensen et al. (1996) menyatakan bahwa peningkatan kandungan serat kasar dalam
ransum ayam broiler secara nyata dapat meningkatkan produksi VFA, laju alir ransum,
viskositas, dan meningkatkan aktivitas enzim pencernaan. Dilaporkan juga bahwa serat kasar
tidak dapat difermentasi pada usus halus akan tetapi difermentasi pada sekum (Hsu dan
McDonald 2002).
Sutardi (1985) melaporkan bahwa pertumbuhan usus dan sekum dapat dirangsang
oleh serat. Sekum menyerap air sehingga berperan serta dalam termoregulasi dan
Disamping itu, serat dapat mengurangi absorpsi lemak, sehingga deposisi lemak ke dalam
daging dan kadar kolesterol daging ayam dapat ditekan. Fraksi serat kasar, yaitu selulosa
ternyata mampu mengikat kolesterol sebesar 1,4% (Balmer dan Zilversmit, 1974), dan fraksi
serat kasar yang lain, yaitu lignin mampu mengikat kolesterol ransum sebesar 29,2% (Linder,
1985).
Terjadi peningkatan laju aliran digesta dalam saluran pencernaan ayam, yaitu dari
153,8 menit (diberi ransum yang mengandung serat kasar 3,50%) menjadi 150,30 menit
(diberi ransum yang mengandung serat kasar 10%). Hasil penelitian Biyatmoko (2003)
melaporkan bahwa itik alabio jantan yang diberi ransum dengan kandungan serat kasar pada
level 5, 7, 9, dan 11% ternyata tidak berpengaruh terhadap penampilan itik. Hal senada
dilaporkan juga oleh Ulupi (1990) bahwa itik tegal ternyata masih mampu mentolerir
kandungan serat kasar sampai pada tingkat 17%, karena respon yang diberikan menyamai
penampilan itik yang diberi ransum dengan kandungan serat kasar 5%.
17
Pengolahan pakan serat kasar pada prinsipnya ditujukan untuk memecah selulosa,
hemiselulosa, dan lignin, sehingga dapat dihasilkan pakan yang lebih mudah untuk dicerna
serta terjadi peningkatan nutrisi. Pemanfaatan pakan serat terfermentasi dapat memberikan
beberapa keuntungan, antara lain (1) mengurangi biaya pakan, khususnya dalam musim sulit
pakan, dan (2) dapat memberikan nilai tambah bagi petani- peternak (Bidura et al., 2008b).
Kapang mempunyai kemampuan kuat untuk merombak lignin secara efektif dengan
cara menghasilkan enzim peroksidase ekstraseluler berupa lignin peroksidase dan mangan
peroksidase (Vallie, 1992). Enzim lignolitik dapat memutuskan ikatan lignoselulosa. Kapang
harapan untuk digunakan dalam proses delignifikasi pakan dan proses pengolahan limbah
Proses fermentasi menitik beratkan pada proses perombakan struktur keras menjadi
struktur yang lebih lunak secara fisik, kimia, dan biologi, sehingga bahan struktur yang
kompleks akan berubah menjadi lebih sederhana dan akan mudah dicerna oleh ternak.
Sedangkan proses amoniasi adalah perombakan struktur serat kasar menjadi lunak dengan
penambahan urea dan terjadi proses urease, sehingga nitrogen pada pakan akan meningkat
(Hendraningsih, 2005).
Adanya proses fermentasi pada kulit ari kacang kedelai sebelum diberikan
fermentasi. Hal ini menunjukkan bahwa proses fermentasi menyebabkan nilai cerna zat
makanan, khususnya energi meningkat. Kandungan serat kasar dan karbohidrat dalam bahan
pakan terfermentasi menurun secara nyata, dan sebaliknya kandungan protein dan energi
ini cepat berkembang biak, tahan terhadap kadar alkohol yang tinggi, tahan terhadap suhu
yang tinggi, mempunyai sifat stabil dan cepat mengadakan adaptasi. Pertumbuhan
Saccharomyces dipengaruhi oleh adanya penambahan nutrisi, yaitu unsur C sebagai sumber
karbon, unsur N yang diperoleh dari penambahan urea, amonium dan pepton, mineral, dan
vitamin. Suhu optimum untuk fermentasi antara 28-30 oC. Beberapa spesies yang termasuk
Saccharomyces uvarum.
mempunyai kemampuan sebagai imunostimulan, yaitu senyawa beta-(1,3 dan 1,6) glukan
atau di kenal dengan istilah β-D glukan yang terkandung pada bagian dinding sel
Saccharomyces cerevisiae. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Nicholas Diluzio tahun 1970
dalam Ahmad (2005), berhasil menemukan substansi aktif pada dinding sel khamir
terhadap respon imun. Substansi aktif tersebut adalah beta-D glukan. Komponen tersebut
mempunyai sebuah campuran unik dengan efektivitas dan intensitasnya sebagai suatu sistem
pertahanan tubuh melalui aktivasi sel darah putih yang spesifik, seperti makrofage dan sel NK
(natural killer). Beta-D glukanakan berikatan dengan permukaan sel makrofage dan sel NK,
dan berfungsi sebagai trigger untuk proses aktivasi makrofage. Hasil proses tersebut berupa
peningkatan sirkulasi makrofag di dalam tubuh untuk mencari benda-benda asing yang
masuk ke dalam tubuh. Selain itu, juga berfungsi untuk meningkatkan jumlah sel-sel
makrofage. Dilaporkan juga bahwa beta-D glukan berfungsi sebagai imunomodulator untuk
meningkatkan kemampuan sel T, sel B, dan makrofag di dalam rangka melawan infeksi
penyakit, serta membantu perbaikan jaringan yang rusak pada tubuh melalui proses
Sand dan Hankin (1976) dalam Bidura (2007) menyatakan bahwa ragi tape dapat
ayam yang dapat meningkatkan retensi energi sebagai protein dan menurunkan retensi energi
Ragi bekerja sebagai fermentor (peragian) bahan organik. Hasil dari fermentasi
tersebut adalah berupa pelepasan asam-asam amino dan sakarida dalam bentuk senyawa
organik terlarut yang mudah diserap. Melalui peragian tersebut, mikroorganisme dapat
menghasilkan asam organik, hormon, vitamin, dan antibiotik. Suryani dan Bidura (2000)
melaporkan bahwa suplementasi ragi tape dalam ransum dapat menurunkan kandungan
kolesterol telur ayam. Jumlah daging karkas ayam meningkat dan jumlah lemak karkas
menurun dengan adanya penambahan ragi tape dalam ransum (Ariana dan Bidura, 2001).
Khamir adalah jamur yang tahap siklus kehidupannya berasal dari sel-sel tunggal dan
Kohlmeyer, 1979). Dasar-dasar utama identifikasi dan klasifikasi khamir terdiri atas
pendegradasi minyak belum begitu pesat. Penelitian tentang peran khamir dalam
mendegradasi minyak merupakan kajian yang masih perlu terus dikembangkan. Oleh sebab
itu penelitian ini diarahkan untuk mengungkap keaneka ragaman khamir pendegradasi
beberapa bangsa ayam, misalnya cornish dan playmouth rock yang dikhususkan untuk
meproduksi daging dan bisa dijual pada umur 6 minggu dengan berat badan 1,5-2
20
kg. Menurut Rasyaf (2002), broiler merupakan salah satu sumber pemenuhan kebutuhan akan
protein hewani dimasyarakat dan ternak yang paling ekonomis bila dibandingkan dengan
ternak lain. Kelebihan yang dimiliki adalah kecepatan pertambahan/produksi daging yang
relatif singkat atau sekitar 4 minggu sudah dapat dipasarkan dan harganya relatif lebih murah
dibandingkan dengan sumber protein hewani lainnya. Ciri umum yang dimiliki oleh broiler
yaitu; 1) Bentuk badannya yang besar, kuat dan penuh daging, 2) Tempramennya lamban,
Wahyu (1992) menyatakan broiler adalah ayam muda jantan dan betina umur 6
sampai 8 minggu yang mempunyai pertumbuhan yang cepat, daging yang empuk,
mempunyai dada relatif besar, serta kulit yang licin dan lunak. Rasyaf (2002) menyatakan
bahwa yang dimaksud dengan broiler adalah ayam yang muda jantan atau betina yang
berumur dibawah 8 minggu dengan bobot tertentu, pertumbuhan yang cepat, timbunan
daging yang baik dan banyak, serta mempunyai kemampuan dan keistimewaan yang selalu
dibatasi dengan umur dan cara pemeliharaan sampai cara pemberian pakan. Pertumbuhan
broiler sangat cepat dengan perolehan timbangan berat badan yang tinggi, waktu yang relatif
pendek yaitu umur 5 sampai 6 minggu berat badannya mencapai 1,3 sampai 1,8 kg (Cahyono,
1995)
Scott et al. (1982), membedakan pemeliharaan ayam broiler menjadi tiga fase, yaitu
fase pre stater umur 0-2 minggu, fase starter-growing umur 2-6 minggu, dan fase finisher
yaitu umur 6 minggu sampai dipasarkan. Menurut Rasyaf (2004), dalam beternak broiler
dikenal dua masa pemeliharaan, yaitu masa pemeliharaan awal atau starter (umur 1-28 hari),
yaitu masa DOC sampai anak ayam tersebut kuat untuk hidup layak. Masa pemeliharaan
akhir atau finisher, merupakan saat terakhir kehidupan ayam broiler, dimana pada periode
inilah ayam broiler siap untuk dijual atau siap untuk dipotong. Masa akhir ini meliputi umur
Broiler adalah istilah untuk menyebutkan strain ayam hasil budidaya teknologi yang
memiliki karakteristik ekonomi dengan ciri khas yaitu pertumbuhan cepat, konversi pakan
yang baik dan dapat dipotong pada usia yang relatif muda sehingga sirkulasi pemeliharaan
lebih cepat dan efisien serta menghasilkan daging yang berkualitas baik (Murtidjo, 1992).
Ayam pedaging (broiler) adalah ayam jantan atau betina yang umumnya dipanen pada umur
5-6 minggu dengan tujuan sebagai penghasil daging. Pertumbuhan yang paling cepat terjadi
sejak menetas sampai umur 4-6 minggu, kemudian mengalami penurunan dan terhenti sampai
mencapai dewasa (Kartasudjana dan Suprijatna, 2006). Ayam broiler memiliki kelebihan dan
kelemahan, kelebihannya adalah dagingnya empuk, ukuran badan besar, bentuk dada lebar,
padat dan berisi, efisiensi terhadap pakan cukup tinggi, sebagian besar dari pakan diubah
menjadi daging dan pertambahan bobot badan sangat cepat sedangkan kelemahannya adalah
memerlukan pemeliharaan secara intensif dan cermat, relatif lebih peka terhadap suatu infeksi
penyakit dan sulit beradaptasi (Rasyaf, 2004). Hardjosworo dan Rukminasih (2000)
menyatakan bahwa ayam broiler dapat digolongkan kedalam kelompok unggas penghasil
Siregar et al. (1982) menyatakan bahwa broiler merupakan hasil persilangan antara
beberapa bangsa ayam, misalnya cornish dan playmouth rock yang dikhususkan untuk
memproduksi daging dan bisa dijual pada umur 6 minggu dengan berat badan 1,5 sampai 2
kg. Kelebihan yang dimiliki adalah kecepatan pertumbuhan berat badan ayam broiler berusia
6 minggu sudah sama besarnya dengan ayam kampung dewasa yang dipelihara hingga usia 8
bulan. Ciri umum yang dimiliki oleh broiler yaitu; 1) Bentuk badannya yang besar, kuat dan
singkat .
Kandungan energi pakan yang tepat dengan kebutuhan ayam, dapat mempengaruhi
konsumsi pakannya. Ayam jantan memerlukan energi yang lebih banyak daripada betina,
22
sehingga ayam jantan mengkonsumsi pakan lebih banyak, (Anggorodi, 1985). Hal-hal yang
terus diperhatikan dalam pemeliharaan ayam broiler antara lain perkandangan, pemilihan
bibit, manajemen pakan, sanitasi dan kesehatan, recording dan pemasaran. Banyak kendala
yang akan muncul apabila kebutuhan nutrisi ayam tidak terpenuhi, antara lain penyakit yang
dapat menimbulkan kematian, dan bila ayam dipanen lebih dari 8 minggu akan menimbulkan
kerugian karena pemberian pakan tidak efisien dibandingkan dengan pertambahan bobot
badan, sehingga akan menambah biaya produksi. Pakan yang khusus dan pemeliharaan yang
baik dapat dihasilkan ayam yang seragam pertumbuhan, penampilan, kesehatannya dan
ukuran tubuhnya. Kondisi demikian maka karkas yang dihasilkannya juga dapat menjadi
seragam