Anda di halaman 1dari 22

1

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kulit Kopi

Kopi merupakan salah satu tanaman perkebunan di Indonesia. Tanaman ini hidup subur

di daerah dataran tinggi, yaitu di atas 700 meter dpl (di atas permukaan laut). Komposisi buah

kopi terdiri dari pulp sebanyak 40%, lendir (mucilage) sebesar 20%, dan sisanya (40%)

adalah biji kopi dan kulit majemuk (Anonim, 2005).

Umumnya buah kopi setelah panen diambil bijinya untuk kopi. Hasil pengolahan

tersebut ternyata menghasilkan 35% kulit kopi dan 65% biji kopi. Lebih rinci kulit kopi

tersaji pada Gambar 2.1.

A B C D

Gambar 2.1. Kulit kopi pakan alternatif sumber serat

Keterangan :
A : Pohon kopi
B : Kulit dalam buah kopi yang membungkus biji kopi
C : Kulit paling luar biji kopi
D : Limbah kulit kopi

Kulit kopi belum banyak dimanfaatkan untuk pakan ternak, baik untuk ternak

ruminansia maupun ternak nonruminansia. Umumnya kulit kopi tersebut dibuang begitu saja

sebagai pupuk tanaman dan hal tersebut dapat mengundang timbulnya penyakit jamur, seperti

yang terjadi pada tanaman cokelat.

Syarat mutu kopi diatur oleh Standar Nasional Indonesia (SNI) mengenai kopi dengan

nomor 2907-2008: biji kopi. Syarat mutu umum biji kopi pada SNI tersebut adalah: ( i )
2

Serangga hidup tidak ada; ( ii ) Biji tidak berbau busuk dan tidak berbau kapang; ( iii ) Kadar

air bahan maksimal 12,5%; dan ( iv ) Kadar kotoran maksimal 0,5% (Prastowo et al., 2010).

Berdasarkan banyaknya jumlah kopi yang ada yaitu 17.922 ton (Badan Pusat Statistik

Provinsi Bali, 2015) tentunya pengolahan kopi akan menghasilkan banyak limbah pula.

Limbah buah kopi biasanya berupa daging buah yang secara fisik komposisinya mencapai

48%, terdiri dari42% kulit buah dan 6% kulit biji (Zainuddin dan Murtisari, 1995).

Sementara menurut Simanihuruk et al. (2010), proporsi kulit kopi yang dihasilkan dalam

pengolahan cukup besar, yaitu 40-45%. Kandungan kulit kopi masih cukup bagus, yaitu

protein kasar 10,4%, serat kasar 17,2% dan energi termetabolisme sebesar 14,43 MJ/kg

(Zaenuddin dan Murtisari, 1995). Lebih lanjut dijelaskan bahwa kulit kopi mengandung:

protein kasar 10,4%; lemak kasar 2,13%; serat kasar 17,2% (termasuk lignin); abu 7,34%;

kalsium 0,48%; posfor 0,04%; energi metabolis 14,34 MJ/kg. Namun, Bressani (1979)

melaporkan bahwa kulit kopi mengandung antinutrisi berupa senyawa kafein 1,3% dan tanin

8,5%.

Menurut data Badan Pusat Statistik Provinsi Bali (2015), luas kebun kopi di Bali

adalah 36.077 hektar dan mampu memproduksi kopi sebanyak 17.922 ton, masing-masing

tersebar di kabupaten Bangli sebanyak 2.494 ton, Buleleng sebanyak 9.022 ton, dan Tabanan

sebanyak 4.567 ton. Dari 36.077 hektar areal perkebunan kopi di Bali tersebut, sekitar 65%

dari jenis kopi Robusta dan selebihnya 35% dari jenis kopi Arabika yang populasinya

sebagian besar berada di daerah Kintamani, sedangkan untuk jenis kopi Robusta populasinya

paling banyak tersebar di wilayah Buleleng dan Tabanan. Pada musim hujan, ketersediaan

kulit kopi meningkat pada saat musim panen kopi, yaitu 35%`dari total panen produksi kopi.

Ditinjau dari teknik pemanfaatannya sebagai komponen pakan ternak ruminansia kecil

beberapa peneliti mempunyai pendapat yang tidak seragam. Pemanfaatan limbah kopi hingga

saat ini belumlah maksimal. Pengembangan perkebunan, khususnya kopi, yang dilakukan
3

saat ini tentu secara tidak langsung juga akan menambah jumlah limbah kopi yang dihasilkan.

Oleh karena itu, perlu sebuah terobosan baru guna mengolah limbah kopi agar dapat

dimanfaatkan dan tidak terbuang sia-sia. Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Tengah dan BPTP

Jawa Tengah (2004) bahkan mengungkapkan bahwa pemanfaatan limbah kulit kopi jika

dipadukan dengan pengembangan ternak dengan melibatkan masyarakat di sekitar kawasan

perkebunan, akan berpengaruh positif terhadap kelestarian dan keamanan kawasan

perkebunan sekaligus dapat memberdayakan masyarakat dalam rangka meningkatkan

pendapatannya.

Pemanfaatan kulit kopi secara langsung sebagai pakan ternak memiliki beberapa

kelemahan, diantaranya masih mengandung senyawa tanin yang dapat mengganggu

perncernaan jika diberikan pada level yang tinggi dalam bentuk segar. Hasil analisis

proksimat menunjukkan bahwa kandungan nutrisi kulit kopi adalah sebagai berikut:

mengandung 95,22% bahan kering; 10,47% protein kasar; 0,26% lemak; 32,26% serat kasar;

dan mengandung energi (GE) sebanyak 4140 kkal/kg (Wiguna, 2007). Dilaporkan juga oleh

Mastika (2011) bahwa melalui proses amoniasi, ternyata kandungan nutrisi kulit kopi

meningkat, yaitu protein kasar menjadi 17,88%; kecernaan bahan kering meningkat dari 40%

menjadi 50%. Melalui amoniasi dapat menyebabkan struktur dinding sel kulit kopi menjadi

padat dan tidak berdebu, sehingga lebih mudah untuk dikonsumsi oleh ternak. Pemanfaatan

kulit kopi sebagai campuran pakan konsentrat akan dapat meningkatkan nilai tambah

usahatani.

Simanihuruk et al., (2010), menyatakan bahwa salah satu teknologi fermentasi dapat

meningkatkan kadar nutrisi terutama protein dan energi. Selain itu, teknologi ini juga dapat

mempertahankan kesegaran bahan pakan dengan kandungan bahan kering sebesar 30-35%

.Pemanfaatan limbah kopi ini antara lain dapat digunakan sebagai pakan ternak. Penyediaan

pakan yang murah dan nonkompetitif dapat melalui pemanfaatan limbah, baik hasil pertanian
4

maupun industri. Namun, karakter kulit kopi yang tinggi kadar air (75-80%) menyebabkan

kulit kopi mudah rusak dalam waktu cepat tanpa suatu proses pengolahan(Mastika, 1991).

Kulit kopi termasuk limbah organik, sehingga tidak terlalu berbahaya bagi lingkungan.

Limbah hasil pengolahan kopi, yaitu berupa daging buah yang secara fisik komposisi

mencapai 48%, terdiri atas kulit buah 42% dan kulit biji 6% (Zainuddin dan Murtisari

1995).Dampak sederhana yang ditimbulkan oleh limbah kulit kopi adalah bau busuk yang

cepat muncul. Hal ini karena kulit kopi masih memiliki kadar air yang tinggi, yaitu 75-80%

(Simanihuruk et al., 2010), sehingga sangat mudah ditumbuhi oleh mikroba pembusuk. Hal

ini tentu akan mengganggu lingkungan sekitar jika dalam jumlah besar, karena dapat

mencemari udara. Selain itu, kulit kopi yang terbengkalai juga dapat menjadi media tumbuh

bakteri pathogen mengingat kandungan nutrisinya yang masih cukup tinggi. Akibatnya,

penyakit yang ditimbulkan dapat menjadi wabah, karena dibawa angin atau lalat yang

hinggap.

Pengolahan kulit kopi melalui sentuhan teknologi dapat menjadi terobosan baru bagi

dunia pemanfaatan limbah hasil industri pertanian. Bahkan dapat pula sebagai media

penambahan pendapatan peternak atau petani. Peternak mampu mendapatkan ternak yang

gemuk melalui pemberian pakan suplementasi nutrisi yang murah tapi memiliki kualitas

bagus. Rathinavelu dan Graziosi (2005) menyatakan bahwa limbah kulit buah kopi dapat

menggantikan 20% kebutuhan konsentrat komersial yang digunakan sebagai pakan ternak,

dan menekan biaya pakan hingga 30%. Gunawan dan Azmi (2005) melaporkan bahwa usaha

penggemukan sapi potong memerlukan pakan dengan kuantitas yang cukup dan kualitas yang

baik secara kontinyu. Sedangkan petani memperoleh nilai guna lebih dari kulit kopi yang

biasa dibuang ketika ia mengolahnya sendiri atau menjual kulit kopinya kepada produsen

silase.
5

Widyotomo (2012) mengatakan bahwa perlakuan fermentasi limbah kulit kopi dengan

Aspergillus niger mampu meningkatkan nilai gizi limbah kopi yang ditunjukkan dengan

meningkatnya protein dari 6,67% menjadi 12,43% dan menurunkan kadar serat kasar dari

21,4% menjadi 11,05%. Penelitian yang dilakukan Guntoro et al. (2004) juga menunjukkan

bahwa penggunaan tepung limbah terfermentasi sebanyak 100 gram/ekor/hari prasapih dan

200 gram/ekor/hari pascasapih dapat meningkatkan pertumbuhan anak kambing dari rata-rata

65 gram/ekor/hari menjadi 98 gram/ekor/hari. Secara ekonomi, pemberian limbah kopi

terfermentasi juga dapat meningkatkan nilai keuntungan sebesar Rp.244.260/ekor unutuk

pemeliharaan ternak kambing PE selama 15 hari (Londra et al., 2009).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Parwati et al. (2006) di Desa Satra, Kecamatan

Kintamani, Kabupaten Bangli, Bali, didapatkan hasil bahwa pemberian silase kulit kopi

menambah pendapatan usaha penggemukan sapi sebesar 41,9% dibandingkan jika hanya

memberikan hijauan saja pada sapi. Kemudian, Simanihuruk et al. (2010) juga menyebutkan

bahwa berdasarkan hasil rataan konsumsi bahan kering, kecernaan bahan kering dan bahan

organik, pertambahan bobot badan, efisiensi penggunaan pakan, dan nilai income over feed

cost penggunaan silase kulit buah kopi sebesar 20% dapat direkomendasikan untuk

menggantikan rumput sebagai pakan basal ternak kambing. Pengamatan di lapangan

menunjukkan tidak ada bahwa satupun ternak yang diberi asupan limbah hasil fermentasi

menunjukkan gejala sakit ataupun mati; sehingga limbah kopi terfermentasi aman digunakan

untuk pakan kambing (Guntoro et al., 2002).

2.2 Biofermentasi Pakan Serat

Fermentasi adalah proses produksi energi dalam sel dalam keadaan anaerobik (tanpa

oksigen). Secara umum, fermentasi adalah salah satu bentuk respirasi anaerobik, atau

respirasi dalam lingkungan anaerobik dengan maupun tanpa akseptor elektron eksternal

(Bidura, 2007). Gula adalah bahan yang umum dalam fermentasi. Beberapa contoh hasil
6

fermentasi adalah etanol, asam laktat, dan hidrogen. Akan tetapi, beberapa komponen lain

dapat juga dihasilkan dari fermentasi, seperti asam butirat dan aseton. Ragi dikenal sebagai

bahan yang umum digunakan dalam fermentasi untuk menghasilkan etanol. Respirasi

anaerobik dalam otot mamalia selama kerja yang keras (yang tidak memiliki akseptor

elektron eksternal), dapat dikategorikan sebagai bentuk fermentasi.

Fermentasi merupakan proses perubahan kimia pada substrat sebagai hasil kerja

enzim dari mikroba dengan menghasilkan produk tertentu. Proses ini berjalan tergantung

pada jenis substrat, kapang, khamir, dan kondisi lingkungan yang mempengaruhi

pertumbuhan dan metabolisme khamir. Selama fermentasi berlangsung, terjadi perubahan

pH, kelembaban dan aroma, serta perubahan komposisi zat makanan seperti protein, lemak,

serat kasar, karbohidrat, vitamin, dan mineral (Bidura et al., 2008).

Substrat yang mengalami fermentasi biasanya memiliki nilai gizi yang lebih tinggi

daripada bahan asalnya. Hal ini dikarenakan sifat katabolik dan anabolik mikroorganisme,

sehingga mampu memecah komponen yang lebih kompleks menjadi senyawa yang sederhana

dan mudah tercerna. Proses fermentasi diharapkan akan merombak struktur jaringan kimia

dinding sel, pemutusan ikatan lignoselulosa, dan penurunan kadar lignin (Bidura, 2007).

Proses fermentasi menitik beratkan pada proses perombakan struktur keras menjadi

struktur yang lebih lunak secara fisik, kimia, dan biologi, sehingga bahan struktur yang

kompleks akan berubah menjadi lebih sederhana dan akan mudah dicerna oleh ternak.

Sedangkan proses amoniasi adalah perombakan struktur kasar menjadi lunak dengan

penambahan urea dan terjadi proses urease sehingga nitrogen pada pakan akan meningkat

(Hendraningsih, 2005). Proses fermentasi dipengaruhi oleh jumlah mikroba, lama fermentasi,

pH (keasaman), substrak (medium), suhu, alkohol, oksigen, garam, dan air (Bidura el al.,

2008).
7

Menurut Bidura (2007), keuntungan fermentasi oleh mikroba adalah mampu

mengubah makro molekul protein menjadi mikro molekul yang mudah dicerna oleh unggas

serta tidak menghasilkan senyawa kimia beracun. Dilaporkan juga bahwa selain dapat

meningkatkan kandungan protein dalam ransum, proses fermentasi ternyata dapat

meningkatkan kecernaan pakan dan melepas ikatan senyawa kompleks menjadi senyawa

yang mudah dicerna. Menurut Widiyanto et al. (l994), pada saat difermentasi oleh

Trichoderma virideae, kandungan serat kasar ransum dapat didegradasi sehingga dapat

dimanfaatkan oleh ternak unggas.

Pakan terfermentasi dapat langsung diberikan kepada ternak atau disimpan dalam

wadah yang bersih dan kering. Untuk ternak ruminansia, tepung limbah terfermentasi dapat

digunakan sebagai pakan penguat, untuk mempercepat pertumbuhan, dan meningkatkan

produksi susu. Tepung limbah terfermentasi ini dapat diberikan sebagai pengganti

penggunaan dedak padi, yaitu sebanyak 0,70-1,0% dari berat hidup ternak ruminansia.

Penggunaan tepung limbah terfermentasi untuk ternak unggas termasuk babi dapat digunakan

sebagai pengganti penggunaan dedak padi. Pada ayam petelur, penggunaan tepung pod kakao

terfermentasi sampai tingkat 36% nyata dapat meningkatkan produksi telur (Guntoro, 2004).

Pengolahan pakan serat pada prinsipnya ditujukan untuk memecah selulosa,

hemiselulosa, dan lignin, sehingga dapat dihasilkan pakan yang lebih mudah untuk dicerna

serta terjadi peningkatan nutrisi. Pemanfaatan pakan serat terfermentasi dapat memberikan

beberapa keuntungan, antara lain (1) mengurangi biaya pakan, khususnya dalam musim sulit

pakan, (2) dapat memberikan nilai tambah bagi petani padi, dan (3) memberikan peluang

baru biro-biro jasa lainnya apabila dikelola secara profesional, antara lain akan muncul suatu

bisnis atau usaha baru dalam pelayanan jasa, seperti prosesing dan pengangkutan limbah

agroindustri sebagai pakan ternak, sehingga sektor pertanian akan memberikan peluang untuk

menyerap tenaga kerja yang lebih banyak (Bidura, 2007).


8

Secara umum, teknologi yang lazim digunakan dalam pengolahan pakan serat adalah

teknologi fermentasi dan amoniasi. Proses fermentasi menitik beratkan pada proses

perombakan struktur keras menjadi struktur yang lebih lunak secara fisik, kimia, dan biologi,

sehingga bahan struktur yang kompleks akan berubah menjadi lebih sederhana dan akan

mudah dicerna oleh ternak. Sedangkan proses amoniasi adalah perombakan struktur kasar

menjadi lunak dengan penambahan urea dan terjadi proses urease sehingga nitrogen pada

pakan akan meningkat.

Penggunaan produk fermentasi dalam ransum nyata menurunkan jumlah lemak tubuh

ayam broiler (Kataren et al., 1999). Bahan pakan produk fermentasi ternyata dapat menekan

aktivitas enzim 3-hydroxy-3-methylglutaryl Co-A reduktase yang berfungsi untuk mensintesis

kolesterol dalam hati, sehingga penimbunan kolesterol dalam tubuh dapat ditekan (Tanaka et

al., l992). Handayani (1997) menemukan bahwa fermentasi kotoran ayam pedaging dengan

ragi tape meningkatkan kadar protein kotoran. Untuk meningkatkan nilai senyawa nitrogen

dalam kotoran, maka senyawa tersebut harus diubah menjadi asam amino atau protein

mikroba.

Menurut Sjofjan (2008), kultur khamir merupakan produk bioteknologi

mikroorganisme yang terdiri dari khamir dan substrat tempat khamir dikembangkan. Khamir

yang digunakan dalam pembuatan kultur khamir adalah jenis Saccharomyces sp yang

merupakan mikroorganisme uniseluler yang mampu memanipulasi fermentasi bahan pakan

dalam saluran pencernaan unggas. Penekanan penggunaan khamir laut adalah sebagai

penghasil enzim amylase, protease, lipase, memiliki Undentified Growth Factor (UGF) dan

bersifat aerob, cepat tumbuh, termasuk golongan ekso enzim, sebagai enzim dapat langsung

digunakan/diserap.

Pramono et al. (2007) menyatakan bahwa terjadi peningkatan gula reduksi dan protein

terlarut akibat dari degradasi komponen karbohidrat dan protein, kemudian mengalami
9

penurunan karena diduga digunakan untuk metabolisme mikrobia. Perubahan mikrobiologi

menunjukkan bahwa populasi bakteri asam laktat (konstan 105 CFU/g selama fermentasi)

diduga cukup nyata dalam menekan pertumbuhan Coliform (dari awal 10 5 turun menjadi 103

pada akhir fermentasi) dan bakteri pembusuk (bakteri penghasil bioamin) dari awal 106

menjadi 103).

Semakin lama waktu penyimpanan bahan pakan saat difermentasi oleh mikroba, maka

semakin banyak kehilangan bahan kering dan bahan organik bahan, sebaliknya semakin

meningkat kandungan protein kasar bahan dan semakin menurun kandungan serat kasar

bahan. Semakin lama proses fermentasi atau waktu penyimpanan bahan, maka semakin

meningkat kecernaan bahan kering dan bahan organik bahan (Sumarsih et al., 2007).

Menurut Widiyanto et al. (l994), pada saat difermentasi oleh Trichoderma virideae,

kandungan serat kasar ransum dapat didegradasi sehingga dapat dimanfaatkan oleh ternak

unggas.Keuntungan fermentasi oleh mikroba adalah mampu mengubah makromolekul

protein menjadi mikromolekul yang mudah dicerna oleh unggas, serta tidak menghasilkan

senyawa kimia beracun. Dilaporkan juga bahwa selain dapat meningkatkan kandungan

protein dalam ransum, proses fermentasi ternyata dapat meningkatkan kecernaan pakan dan

melepas ikatan senyawa kompleks menjadi senyawa yang mudah dicerna (Bidura et al.

2008a).

Menurut Valie (l992), kapang dan khamir mempunyai kemampuan kuat merombak

lignin secara efektif dengan cara menghasilkan enzim peroksidase ekstraseluler, berupa

ligninperoksidase (LiP) dan mangan peroksidase (MnP). Sistem kerja enzim peroksidase

ekstraseluler, yaitu tidak memisahkan serat dengan melarutkan lignin yang ada dalam lamella

tengah, tetapi dengan melunakkan dan memecahkan dinding-dinding serat dan juga dengan

melepaskan pita serat mikrofibrilnya (Trotter, 1990). Dilaporkan juga bahwa kunci reaksi

degradasi lignin oleh kapang Phanerochaete chrysosporium adalah biokatalis ligninase yang
10

mengkatalis oksidasi cincin aromatik lignin untuk membentuk radikal kation. Selanjutnya,

senyawa ini akan melepaskan ikatan-ikatan inti pada cincin aromatik.

Perombakan lignin oleh kapang melibatkan kerja enzim ligninolitik yang akan

menguraikan lignin menjadi karbondioksida (CO2). Enzim tersebut adalah lignin peroksidase,

mangan peroksidase, likase, dan oksidase (Houghton et al., 1987 dalam Bidura, 2007).

Penambahan molasses atau tetes pada proses biofermentasi dapat mempercepat mekanisme

kerja tersebut. Kunci reaksi degradasi lignin oleh kapang adalah biokatalis enzim lignase

yang mengkatalis oksidasi cincin aromatiknya dan membentuk radikal-radikal kation. Laju

degradasi lignin meningkat seiring dengan meningkatnya kandungan oksigen. Hidrogen

peroksida (H2O2) berfungsi sebagai oksidan ekstraseluler dan perangsang aktivitas lignolisis

(Bidura et al., 2008a).

1.3 Sistem pencernaan dan kecernaan Ayam

Saluran pencernaan semua hewan dapat dianggap sebagai tabung dari mulut sampai

ke anus dan fungsinya adalah mencerna, mengabsorbsi, dan mengeluarkan sisa ransum yang

tidak tercerna. Alat pencernaan unggas termasuk ke dalam kelompok ternak nonruminansia

atau monogastrik (ternak berlambung tunggal sederhana). Menurut Patrick dan Schaible

(1980), alat pencernaan unggas digambarkan sesuai dengan adanya tujuh fungsi utama dari

bagian-bagian alat pencernaan tersebut yang dihubungkan dengan ransum yang diberikan

yaitu : (i) Mengumpulkan dan membuat bagian-bagian kecil dari ransum yang besar; (ii)

Menghaluskan ransum dengan berfungsinya enzim pencernaan;(iii) Menciptakan lingkungan

yang sesuai untuk mikroba usus; (iv) Meningkatkan proses sintesa di dalam usus; (v)

Menjaga keseimbangan air dalam tubuh; (vi) Mengabsorbsi, mengeluarkan, dan mendaur

ulang substansi dalam pencernaan dan (vii) Memproduksi dan mengumpulkan ekskreta.

Proses utama dari pencernaan adalah secara mekanik, enzimatik, ataupun mikroba.

Proses mekanik terdiri dari penelanan makanan ke dalam mulut dan gerakan peristaltik alat
11

pencernaan karena kontraksi otot usus. Pencernaan secara enzimatis atau kimiawi dilakukan

oleh enzim yang dihasilkan sel-sel kelenjar dari bagian alat saluran pencernaan, berupa

getah-getah pencernaan. Disamping itu enzim dapat pula dihasilkan oleh mikroba usus yang

dapat berasal dari ransum (Tillman et al., 1984).

Saluran pencernaan pada unggas yang baru ditetaskan umumnya steril. Sesaat setelah

menetas unggas yang masih muda secara alami mikroflora saluran pencernaannya

berkembang melalui kontaminasi dari material feses yang berasal dari ayam dewasa. Faktor

lain yang berpengaruh, yaitu transfer mikroba dari induk ke anak, dan kontak dengan bakteri

dari lingkungan. Saluran pencernaan unggas dapat dikelompokkan menjadi enam bagian

yaitu: tembolok (crop), rempela, usus halus, usus buntu (caecum), usus besar (colon), dan

cloaca (Spring, 1997).

Mikroflora secara alami sudah ada dalam saluran pencernaan pada hewan dan

manusia yang dapat memberikan perlindungan terhadap infeksi mikroorganisme yang

bersifat patogen. Mikroflora saluran pencernaan unggas sangat kompleks dan interaksi

diantara jenis mikroorganisme yang berbeda juga tidak sederhana. Bagian yang paling

banyak dihuni oleh jenis bakteri adalah saluran usus.Pada awalnya, mikroflora usus pertama

kali berkembang sesaat setelah ayam ditetaskan.Mikroflora usus ini dapat masuk ke dalam

tubuh, yaitu ketika proses penetasan, melalui makanan, atau kontak dengan lingkungan (misal

kontaminasi feses). Mikroflora usus sendiri memiliki beberapa sifat spesifik, diantaranya (1)

dapat tumbuh dan berkembang biak dalam kondisi tanpa oksigen (anaerob), (2) dapat

berkolonisasi pada bagian spesifik dari saluran pencernaan, serta (3) dapat melekatkan diri

dengan permukaan epitel usus (Spring, 1997). Lebih rinci gambar saluran pencernaan ayam

tersaji pada Gambar 2.2


12

Gambar 2.2. Saluran pencernaan pada unggas

Mikroorganisme yang hidup pada tembolok dapat bertahan hidup pada empedal

yang memiliki pH rendah dan secara umum akan membelah diri pada usus halus. Organisme

yang berasal dari organ tersebut mungkin dapat bertahan sampai caecum. Kandungan

mikroba pada cloaca dan feses tergantung pada apakah materi tersebut berasal dari usus halus

atau dari caecum. Kotoran dari caecum dikeluarkan dua sampai empat kali sehari (Wahyudi

dan Hendraningsih, 2007).

Unggas mengambil makanannya dengan paruh dan kemudian ditelan. Makanan

tersebut disimpan dalam tembolok untuk dilunakkan dan dicampur dengan getah pencernaan

proventrikulus dan kemudian digiling dalam empedal. Tidak ada enzim pencernaan yang

dikeluarkan oleh empedal unggas. Fungsi utama alat tersebut adalah untuk memperkecil

ukuran partikel-partikel makanan. Dari empedal makanan yang bergerak melalui lekukan

usus yang disebut duodenum, yang secara anatomis sejajar dengan pankreas. Pankreas

tersebut mempunyai fungsi penting dalam pencernaan unggas seperti pada spesies-spesies

lainnya. Alat tersebut menghasilkan getah pankreas dalam jumlah banyak yang mengandung

enzim-enzim amilolitik, lipolitik dan proteolitik. Enzim-enzim tersebut berturut-turut

menghidrolisa pati, lemak, proteosa dan pepton. Empedu hati yang mengandung amilase,

memasuki pula duodenum. Bahan makanan bergerak melalui usus halus yang dindingnya

mengeluarkan getah usus. Getah usus tersebut mengandung erepsin dan beberapa enzim yang
13

memecah gula. Erepsin menyempurnakan pencernaan protein, dan menghasilkan asam-asam

amino, enzim yang memecah gula mengubah disakarida ke dalam gula-gula sederhana

(monosakarida) yang kemudian dapat diasimilasi tubuh. Penyerapan dilaksanakan melalui

villi usus halus. Unggas tidak mengeluarkan urin cair. Urin pada unggas mengalir kedalam

kloaka dan dikeluarkan bersama-sama feses. Warna putih yang terdapat dalam kotoran ayam

sebagian besar adalah asam urat. Saluran pencernaan yang relatif pendek pada unggas

digambarkan pada proses pencernaan yang cepat (kurang lebih empat jam) (Lehninger,

1994).

Escherichia coli dan Enterococci merupakan organisme yang dominan yang

ditemukan pada unggas yang baru menetas. Pada bagian tembolok, Lactobacillus menjadi

dominan pada lima hari pertama, sedangkan pada usus halus memerlukan waktu dua minggu.

Kolonisasi bakteri pada usus halus lebih lambat dibandingkan pada bagian lain dari saluran

pencernaan dan pada hari pertama konsentrasinya dibawah 105 CFU/g (Coloni Forming

Unit). Pada bagian caecum, pada umur unggas sekitar dua sampai empat minggu bakteri

obligat aerob meningkat. Pada saat ini bakteri Bifidobacteria, Bacteroides, Eubacteria,

Peptostreptococci, dan Clostridia menjadi dominan. Selain itu pada caecum ditemukan juga

kelompok bakteri selulotik pada tingkat diatas 103 CFU/g (Spring, 1997).

Kelompok bakteri yang dominan pada usus ayam adalah bakteri gram positif,

proteobakteri, dan Chtophagal/Flexibacter/Bakteroides. Pada bagian ileum dan caecum

banyak dihuni oleh bakteri gram positif seperti Lactobacillus, Clostrodia, Bacillus, dan

Streptococci. Jumlah bakteri Bacillus pada caecum (1,45% ) dan ileum (0,67%) (Hidayat,

2010).

Menurut Edelman et al., (2003), diantara bakteri Gram negatif yang dapat tumbuh dan

melekat pada epitel tembolok, lamina propria, dan permukaan villi usus adalah E.coli.

Perubahan morphologi pada usus, yaitu villi yang menjadi lebih pendek dan crypts lebih
14

dalam dapat disebabkan oleh toksin yang dihasilkan mikroba patogen yang ada pada saluran

pencernaan ternak unggas. Diantara mikroba patogen yang dapat menyebabkan penebalan

pada dinding saluran pencernaan adalah Clostridium perfringens. Dampak dari penebalan

saluran pencernaan adalah pertumbuhan ternak unggas terganggu sebagai akibat

berkurangnya jumlah nutrient yang diabsorpsi.

Keseimbangan mikroba patogen yang menguntungkan merupakan salah satu kondisi

yang dapat menjaga integritas saluran pencernaan ternak unggas. Komposisi mikroorganisme

saluran pencernaan dapat dipengaruhi oleh pakan dan lingkungan (Apajalahti et al., 2004).

Mikroflora saluran pencernaan unggas sangat kompleks dan interaksi diantara jenis

mikroorganisme yang berbeda juga tidak sederhana. Dalam upaya untuk mendapatkan hasil

penggunaan probiotik yang lebih baik, seleksi dan penggunaan probiotik harus selektif dan

analisis yang tepat. Untuk hal tersebut, terlebih dahulu harus diketahui mikroorganisme

saluran pencernaan dan interaksinya, baik interaksi antara mikroorganisme maupun interaksi

dengan inang (Sabini et al., 2000)

Sissons (1989) mengemukakan beberapa mekanisme bahwa penyerapan lemak,

karbohidrat, dan protein dapat dipengaruhi oleh kehadiran mikroflora usus. Hubungan antara

mikrobial dan metabolik saluran pencernaan sedikit dipelajari. Secara fisiologis pengaruh

tersebut ditunjukkan melalui mekanisme : (i) Mereduksi protein turnover dan kebutuhan

energi dalam usus sebagai akibat dari menurunya proliferasi sel crypt dan berkurangnya

masa usus ; (ii) Sedikit mengurangi permintaan protein dalam hati untuk melakukan proses

Imunologis dan (iii) Meningkatkan jumlah persediaan asam amino untuk jaringan lain,

terutama untuk sintesis otot rangka.

2.4 Serat Kasar

Serat kasar merupakan komponen dinding sel tanaman yang sulit dicerna oleh ternak

unggas dan tidak mengandung nilai nutrisi. Menurut Sutardi (l997), pertumbuhan usus dan
15

sekum dapat dirangsang oleh serat, karena VFA (volatile fatty acid) produk pencernaan serat

merupakan sumber energi. Sekum dapat menyerap air, sehingga berperan serta dalam proses

termoregulasi dan osmoregulasi. Di samping itu, serat juga dapat mengikat lemak, sehingga

dapat mengurangi absorpsi dan selanjutnya deposisi lemak ke dalam daging ayam dapat

ditekan. Fraksi serat kasar, yaitu selulosa mampu mengikat kolesterol sebesar 1,4% (Balmer

dan Zilversmit, l994), dan fraksi serat kasar yang lain, yaitu lignin mampu mengikat

kolesterol ransum sebesar 29,2% (Linder, l985).

Menurut Tillman et al. (1991), serat kasar adalah bagian dari makanan yang tidak

dapat dicerna secara enzimatis (enzim yang dikeluarkan oleh ternak unggas), sehingga tidak

digolongkan sebagai sumber zat makanan. Di dalam ilmu pangan, serat sering dibedakan atas

kelarutannya dalam air, sehingga dikenal serat yang tidak larut dan yang larut dalam air.

Serat yang tidak larut dalam air adalah komponen struktural tanaman, sedangkan yang larut

adalah komponen nonstruktural. Serat yang tidak larut dalam air banyak terdapat pada kulit

gandum, sayur-mayur, kacang-kacangan, dan biji-bijian.

Keterbatasan nutrisi pada bahan pakan asal nabati adalah kandungan serat kasarnya

yang relatif lebih tinggi daripada bahan pakan asal hewani. Ternak unggas hanya mampu

mencerna serat kasar lebih kurang 20-30% dan itu berlangsung di bagian sekum dan colon.

Namun, serat kasar pada ransum ternak unggas ternyata mempunyai fungsi penting, yaitu

untuk mengatasi kanker saluran pencernaan dan mengurangi kegemukan pada ayam petelur

(Anggorodi, 1985).

Beberapa bahan makanan yang bersifat nonkonvensional di Indonesia mempunyai

potensi untuk dikembangkan ditinjau dari segi ketersediaannya, tetapi kadang-kadang

ditemukan faktor pembatas dalam penggunaannya. Sebagai contoh kandungan karbohidrat

bukan pati Non Starch Polysacharides (NSP) dalam pakan mempunyai pengaruh negatif

terhadap kecernaan pada ternak monogastrik (Pluske, 1997) . Serat yang terlarut di dalam
16

usus halus akan membentuk gel yang mengikat lemak, kolesterol, dan asam empedu.

Akibatnya, asam empedu di dalam hati menurun. Hati akan memproduksi asam empedu lagi

dengan cara menarik kolesterol dari darah, sehingga kolesterol darah menurun. Serat mampu

menyerap zat racun penyebab kanker (senyawa karsinogen).

Jorgensen et al. (1996) menyatakan bahwa peningkatan kandungan serat kasar dalam

ransum ayam broiler secara nyata dapat meningkatkan produksi VFA, laju alir ransum,

viskositas, dan meningkatkan aktivitas enzim pencernaan. Dilaporkan juga bahwa serat kasar

tidak dapat difermentasi pada usus halus akan tetapi difermentasi pada sekum (Hsu dan

McDonald 2002).

Sutardi (1985) melaporkan bahwa pertumbuhan usus dan sekum dapat dirangsang

oleh serat. Sekum menyerap air sehingga berperan serta dalam termoregulasi dan

osmoregulasi. Bakteri yang hidup didalamnya mampu membuat vitamin B-kompleks.

Disamping itu, serat dapat mengurangi absorpsi lemak, sehingga deposisi lemak ke dalam

daging dan kadar kolesterol daging ayam dapat ditekan. Fraksi serat kasar, yaitu selulosa

ternyata mampu mengikat kolesterol sebesar 1,4% (Balmer dan Zilversmit, 1974), dan fraksi

serat kasar yang lain, yaitu lignin mampu mengikat kolesterol ransum sebesar 29,2% (Linder,

1985).

Terjadi peningkatan laju aliran digesta dalam saluran pencernaan ayam, yaitu dari

153,8 menit (diberi ransum yang mengandung serat kasar 3,50%) menjadi 150,30 menit

(diberi ransum yang mengandung serat kasar 10%). Hasil penelitian Biyatmoko (2003)

melaporkan bahwa itik alabio jantan yang diberi ransum dengan kandungan serat kasar pada

level 5, 7, 9, dan 11% ternyata tidak berpengaruh terhadap penampilan itik. Hal senada

dilaporkan juga oleh Ulupi (1990) bahwa itik tegal ternyata masih mampu mentolerir

kandungan serat kasar sampai pada tingkat 17%, karena respon yang diberikan menyamai

penampilan itik yang diberi ransum dengan kandungan serat kasar 5%.
17

2.5 Khamir pendegradasi

Pengolahan pakan serat kasar pada prinsipnya ditujukan untuk memecah selulosa,

hemiselulosa, dan lignin, sehingga dapat dihasilkan pakan yang lebih mudah untuk dicerna

serta terjadi peningkatan nutrisi. Pemanfaatan pakan serat terfermentasi dapat memberikan

beberapa keuntungan, antara lain (1) mengurangi biaya pakan, khususnya dalam musim sulit

pakan, dan (2) dapat memberikan nilai tambah bagi petani- peternak (Bidura et al., 2008b).

Kapang mempunyai kemampuan kuat untuk merombak lignin secara efektif dengan

cara menghasilkan enzim peroksidase ekstraseluler berupa lignin peroksidase dan mangan

peroksidase (Vallie, 1992). Enzim lignolitik dapat memutuskan ikatan lignoselulosa. Kapang

juga mampu mendegradasi senyawa organik pencemar lingkungan, sehingga memberikan

harapan untuk digunakan dalam proses delignifikasi pakan dan proses pengolahan limbah

yang mengandung derivat lignin dan senyawa racun.

Proses fermentasi menitik beratkan pada proses perombakan struktur keras menjadi

struktur yang lebih lunak secara fisik, kimia, dan biologi, sehingga bahan struktur yang

kompleks akan berubah menjadi lebih sederhana dan akan mudah dicerna oleh ternak.

Sedangkan proses amoniasi adalah perombakan struktur serat kasar menjadi lunak dengan

penambahan urea dan terjadi proses urease, sehingga nitrogen pada pakan akan meningkat

(Hendraningsih, 2005).

Adanya proses fermentasi pada kulit ari kacang kedelai sebelum diberikan

menyebabkan terjadinya penurunan pada konsumsi zat-zat makanan dibandingkan tanpa

fermentasi. Hal ini menunjukkan bahwa proses fermentasi menyebabkan nilai cerna zat

makanan, khususnya energi meningkat. Kandungan serat kasar dan karbohidrat dalam bahan

pakan terfermentasi menurun secara nyata, dan sebaliknya kandungan protein dan energi

termetabolis meningkat masing-masing 16,00% dan 48,40% (Pangestu,2003).


18

Beberapa kelebihan Saccharomyces dalam proses fermentasi, yaitu mikroorganisme

ini cepat berkembang biak, tahan terhadap kadar alkohol yang tinggi, tahan terhadap suhu

yang tinggi, mempunyai sifat stabil dan cepat mengadakan adaptasi. Pertumbuhan

Saccharomyces dipengaruhi oleh adanya penambahan nutrisi, yaitu unsur C sebagai sumber

karbon, unsur N yang diperoleh dari penambahan urea, amonium dan pepton, mineral, dan

vitamin. Suhu optimum untuk fermentasi antara 28-30 oC. Beberapa spesies yang termasuk

dalam genus ini diantaranya, yaitu Saccharomyces cerevisiae,Saccharomyces boullardii, dan

Saccharomyces uvarum.

Keunggulan lain yang dimiliki oleh khamir Saccharomyces cerevisiae adalah

mempunyai kemampuan sebagai imunostimulan, yaitu senyawa beta-(1,3 dan 1,6) glukan

atau di kenal dengan istilah β-D glukan yang terkandung pada bagian dinding sel

Saccharomyces cerevisiae. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Nicholas Diluzio tahun 1970

dalam Ahmad (2005), berhasil menemukan substansi aktif pada dinding sel khamir

Saccharomyces cerevisiae yang mempunyai kemampuan menstimulasi secara nonspesifik

terhadap respon imun. Substansi aktif tersebut adalah beta-D glukan. Komponen tersebut

mempunyai sebuah campuran unik dengan efektivitas dan intensitasnya sebagai suatu sistem

pertahanan tubuh melalui aktivasi sel darah putih yang spesifik, seperti makrofage dan sel NK

(natural killer). Beta-D glukanakan berikatan dengan permukaan sel makrofage dan sel NK,

dan berfungsi sebagai trigger untuk proses aktivasi makrofage. Hasil proses tersebut berupa

peningkatan sirkulasi makrofag di dalam tubuh untuk mencari benda-benda asing yang

masuk ke dalam tubuh. Selain itu, juga berfungsi untuk meningkatkan jumlah sel-sel

makrofage. Dilaporkan juga bahwa beta-D glukan berfungsi sebagai imunomodulator untuk

meningkatkan kemampuan sel T, sel B, dan makrofag di dalam rangka melawan infeksi

penyakit, serta membantu perbaikan jaringan yang rusak pada tubuh melalui proses

regenerasi dan penyembuhan.


19

Sand dan Hankin (1976) dalam Bidura (2007) menyatakan bahwa ragi tape dapat

meningkatkan ketersediaan lysine analoque S-2 aminoethyl-cystine dalam saluran pencernaan

ayam yang dapat meningkatkan retensi energi sebagai protein dan menurunkan retensi energi

sebagai lemak, sehingga jumlah lemak abdominal ayam menurun.

Ragi bekerja sebagai fermentor (peragian) bahan organik. Hasil dari fermentasi

tersebut adalah berupa pelepasan asam-asam amino dan sakarida dalam bentuk senyawa

organik terlarut yang mudah diserap. Melalui peragian tersebut, mikroorganisme dapat

menghasilkan asam organik, hormon, vitamin, dan antibiotik. Suryani dan Bidura (2000)

melaporkan bahwa suplementasi ragi tape dalam ransum dapat menurunkan kandungan

kolesterol telur ayam. Jumlah daging karkas ayam meningkat dan jumlah lemak karkas

menurun dengan adanya penambahan ragi tape dalam ransum (Ariana dan Bidura, 2001).

Khamir adalah jamur yang tahap siklus kehidupannya berasal dari sel-sel tunggal dan

sebagian besar berkembangbiak melalui pertunasan (budding) (Kohlmeyer dan

Kohlmeyer, 1979). Dasar-dasar utama identifikasi dan klasifikasi khamir terdiri atas

pembentukan askospora, morfologi sel vegetatif, metode reproduksi aseksual, produksi

miselium/pseudomiselium atau tidak, cirri pertumbuhan di media cair, warna koloni,

dan ciri-ciri fisiologis (Frazier, 1986). Di Indonesia perkembangan penelitian khamir

pendegradasi minyak belum begitu pesat. Penelitian tentang peran khamir dalam

mendegradasi minyak merupakan kajian yang masih perlu terus dikembangkan. Oleh sebab

itu penelitian ini diarahkan untuk mengungkap keaneka ragaman khamir pendegradasi

minyak yang diperoleh dari Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya.

2.6 Ayam Broiler

Rasyaf (2004) menyatakan bahwa broiler merupakan hasil persilangan antara

beberapa bangsa ayam, misalnya cornish dan playmouth rock yang dikhususkan untuk

meproduksi daging dan bisa dijual pada umur 6 minggu dengan berat badan 1,5-2
20

kg. Menurut Rasyaf (2002), broiler merupakan salah satu sumber pemenuhan kebutuhan akan

protein hewani dimasyarakat dan ternak yang paling ekonomis bila dibandingkan dengan

ternak lain. Kelebihan yang dimiliki adalah kecepatan pertambahan/produksi daging yang

relatif singkat atau sekitar 4 minggu sudah dapat dipasarkan dan harganya relatif lebih murah

dibandingkan dengan sumber protein hewani lainnya. Ciri umum yang dimiliki oleh broiler

yaitu; 1) Bentuk badannya yang besar, kuat dan penuh daging, 2) Tempramennya lamban,

tenang, dan umumnya pemeliharaannya relatif singkat (Murtidjo, 1987).

Wahyu (1992) menyatakan broiler adalah ayam muda jantan dan betina umur 6

sampai 8 minggu yang mempunyai pertumbuhan yang cepat, daging yang empuk,

mempunyai dada relatif besar, serta kulit yang licin dan lunak. Rasyaf (2002) menyatakan

bahwa yang dimaksud dengan broiler adalah ayam yang muda jantan atau betina yang

berumur dibawah 8 minggu dengan bobot tertentu, pertumbuhan yang cepat, timbunan

daging yang baik dan banyak, serta mempunyai kemampuan dan keistimewaan yang selalu

dibatasi dengan umur dan cara pemeliharaan sampai cara pemberian pakan. Pertumbuhan

broiler sangat cepat dengan perolehan timbangan berat badan yang tinggi, waktu yang relatif

pendek yaitu umur 5 sampai 6 minggu berat badannya mencapai 1,3 sampai 1,8 kg (Cahyono,

1995)

Scott et al. (1982), membedakan pemeliharaan ayam broiler menjadi tiga fase, yaitu

fase pre stater umur 0-2 minggu, fase starter-growing umur 2-6 minggu, dan fase finisher

yaitu umur 6 minggu sampai dipasarkan. Menurut Rasyaf (2004), dalam beternak broiler

dikenal dua masa pemeliharaan, yaitu masa pemeliharaan awal atau starter (umur 1-28 hari),

yaitu masa DOC sampai anak ayam tersebut kuat untuk hidup layak. Masa pemeliharaan

akhir atau finisher, merupakan saat terakhir kehidupan ayam broiler, dimana pada periode

inilah ayam broiler siap untuk dijual atau siap untuk dipotong. Masa akhir ini meliputi umur

lebih dari 28 hari.


21

Broiler adalah istilah untuk menyebutkan strain ayam hasil budidaya teknologi yang

memiliki karakteristik ekonomi dengan ciri khas yaitu pertumbuhan cepat, konversi pakan

yang baik dan dapat dipotong pada usia yang relatif muda sehingga sirkulasi pemeliharaan

lebih cepat dan efisien serta menghasilkan daging yang berkualitas baik (Murtidjo, 1992).

Ayam pedaging (broiler) adalah ayam jantan atau betina yang umumnya dipanen pada umur

5-6 minggu dengan tujuan sebagai penghasil daging. Pertumbuhan yang paling cepat terjadi

sejak menetas sampai umur 4-6 minggu, kemudian mengalami penurunan dan terhenti sampai

mencapai dewasa (Kartasudjana dan Suprijatna, 2006). Ayam broiler memiliki kelebihan dan

kelemahan, kelebihannya adalah dagingnya empuk, ukuran badan besar, bentuk dada lebar,

padat dan berisi, efisiensi terhadap pakan cukup tinggi, sebagian besar dari pakan diubah

menjadi daging dan pertambahan bobot badan sangat cepat sedangkan kelemahannya adalah

memerlukan pemeliharaan secara intensif dan cermat, relatif lebih peka terhadap suatu infeksi

penyakit dan sulit beradaptasi (Rasyaf, 2004). Hardjosworo dan Rukminasih (2000)

menyatakan bahwa ayam broiler dapat digolongkan kedalam kelompok unggas penghasil

daging artinya dipelihara khusus untuk menghasilkan daging.

Siregar et al. (1982) menyatakan bahwa broiler merupakan hasil persilangan antara

beberapa bangsa ayam, misalnya cornish dan playmouth rock yang dikhususkan untuk

memproduksi daging dan bisa dijual pada umur 6 minggu dengan berat badan 1,5 sampai 2

kg. Kelebihan yang dimiliki adalah kecepatan pertumbuhan berat badan ayam broiler berusia

6 minggu sudah sama besarnya dengan ayam kampung dewasa yang dipelihara hingga usia 8

bulan. Ciri umum yang dimiliki oleh broiler yaitu; 1) Bentuk badannya yang besar, kuat dan

penuh daging, 2) Tempramennya lamban, tenang, dan umumnya pemeliharaannya relatif

singkat .

Kandungan energi pakan yang tepat dengan kebutuhan ayam, dapat mempengaruhi

konsumsi pakannya. Ayam jantan memerlukan energi yang lebih banyak daripada betina,
22

sehingga ayam jantan mengkonsumsi pakan lebih banyak, (Anggorodi, 1985). Hal-hal yang

terus diperhatikan dalam pemeliharaan ayam broiler antara lain perkandangan, pemilihan

bibit, manajemen pakan, sanitasi dan kesehatan, recording dan pemasaran. Banyak kendala

yang akan muncul apabila kebutuhan nutrisi ayam tidak terpenuhi, antara lain penyakit yang

dapat menimbulkan kematian, dan bila ayam dipanen lebih dari 8 minggu akan menimbulkan

kerugian karena pemberian pakan tidak efisien dibandingkan dengan pertambahan bobot

badan, sehingga akan menambah biaya produksi. Pakan yang khusus dan pemeliharaan yang

baik dapat dihasilkan ayam yang seragam pertumbuhan, penampilan, kesehatannya dan

ukuran tubuhnya. Kondisi demikian maka karkas yang dihasilkannya juga dapat menjadi

seragam

Anda mungkin juga menyukai