Anda di halaman 1dari 11

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009

PELUANG PENGGUNAAN KULIT SINGKONG SEBAGAI PAKAN UNGGAS


(The Opportunity of Cassava Peel Utilization on Poultry)
CECEP HIDAYAT
Balai penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002

ABSTRACT Exploration on alternative feeds is of agricultural by products for poultry is required to continue. Cassava peel are an example to be used for poultry feed. The potency of cassava peels in Indonesia may reach 3.3 million tones/year. The problem of using cassava peel as an animal feed is low protein (4.8%) and high fiber (21.2%) content and its toxic hydrogen cyanide (HCN) content. Similar problems may also be found in using onggok for feeds. These problems could be overcome by applying fermentation technologies. Some research results have shown that the fermentation procedure could improve nutritional value of cassava peels and reduce or eliminate hydrogen cyanide content. The biological tests showed that use of 10% fermented cassava peels did not show any effects in animal health. The fermented onggok did not also show any effects on animal health. Since lack of information on the use of fermented cassava peels as feed for other poultries, the probability of using cassava peels was compared to onggok. It is presumed that there is high opportunity to use cassava peels as feed since abundantly available, fermentation technologies could eliminate HCN content and biological test results. Key Words: Alternative Feeds, Cassava Peel, Fermentation, Poultry

ABSTRAK Eksplorasi bahan pakan alternatif yang berasal dari limbah pertanian tak termanfaatkan dan belum lazim digunakan sebagai bahan pakan perlu terus dilakukan untuk mendapatkan bahan pakan alternatif baru yang dapat digunakan sebagai pakan ternak unggas, salah satu contoh limbah pertanian tersebut adalah kulit singkong. Potensi kulit singkong di Indonesia mencapai 3.3 juta ton/tahun. Pemanfaatan kulit singkong sebagai pakan unggas memiliki beberapa kendala yaitu kandungan protein yang rendah (4,8%), serat kasar yang tinggi (21,2%) serta terdapatnya racun sianida (HCN) yang menjadi faktor pembatas dalam pemanfaatannya. Kendala ini hampir sama dengan yang ditemukan dalam pemanfaatan onggok sebagai bahan pakan untuk unggas. Tetapi kendala itu dapat ditanggulangi oleh teknologi fermentasi. Hasil beberapa penelitian menyatakan bahwa teknologi fermentasi dapat meningkatkan komposisi nutrisi dan mengurangi atau menghilangkan HCN bahan pakan. Hasil pengujian biologis menunjukkan bahwa penggunaan produk fermentasi kulit singkong sampai tingkat 10% dalam ransum ayam pedaging periode starter tidak memberikan dampak negatif. Tidak berbeda dengan hasil yang ditunjukkan oleh penggunaan produk fermentasi onggok dalam ayam pedaging. Sehubungan belum banyaknya penelitian penggunaan produk fermentasi kulit singkong pada ternak unggas lainnya, penulis memperbandingkan dengan hasil uji biologis produk fermentasi ongggok pada beberapa ternak unggas. Penulis menganggap bahwa peluang penggunaan kulit singkong sebagai pakan unggas sangat besar, hal ini didasarkan pada keberlimpahan ketersediaannya, sudah dapat ditanggulanginya hambatan nutrisi yang selama ini menjadi kendala penggunaannya, dan hasil positif yang ditunjukkan pada saat uji biologis. Kata Kunci: Bahan Pakan Alternatif, Kulit Singkong, Fermentasi, Unggas

PENDAHULUAN Pemanfaatan limbah pertanian yang belum lazim dimanfaatkan sebagai bahan pakan sudah

mulai banyak dilakukan, hal ini menjadi salah satu pilihan alternatif akibat masih kekurangan bahan pakan tiap tahunnya. Fakta menyatakan bahwa kebutuhan pakan Indonesia terus

655

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009

meningkat (FAO, 2003) seiring dengan meningkatnya permintaan akan produk pangan asal hewan, tetapi hal itu tidak diimbangi oleh pertambahan produksi bahan pakan yang signifikan, menurut data, pada tahun 2005 produksi total pakan Indonesia mencapai 7 juta ton (TANGENDJAJA, 2007) untuk menutupi kekurangan itu, pemerintah masih mengandalkan impor dari negara lain sebagai jalan keluar untuk menutupinya. Seperti yang disampaikan kembali oleh TANGENDJAJA (2007), yang menyatakan bahwa Indonesia selama ini tiap tahunnya masih harus mengimpor beberapa bahan pakan, sebagai contoh adalah jagung yang nilai importasinya mencapai 1,6 juta ton dan kedelai 1,5 juta ton/tahun. Penyerap tertinggi kebutuhan pakan di Indonesia adalah ternak unggas, dari seluruh total kebutuhan, peternakan unggas mengambil bagian sampai 90% dari total kebutuhan itu (TANGENDJAJA, 2007). Hal ini terjadi seiring dengan permintaan konsumen terhadap Produk Pangan Asal Hewan (PPAH) unggas jauh lebih tinggi dibandingkan dengan PPAH ternak lain. Oleh karena itu, pemanfaatan sumber-sumber limbah yang tak termanfaatkan dan belum lazim digunakan sebagai pakan untuk unggas perlu terus dilakukan agar dapat semakin menyokong dan menutupi kekurangan ketersediaan pakan untuk unggas tersebut. Salah satu limbah yang belum termanfaatakan dan belum lazim digunakan sebagai pakan unggas adalah kulit singkong. Kulit singkong merupakan limbah kupasan hasil pengolahan gaplek, tapioka, tape, dan panganan berbahan dasar singkong lainnya. Potensi kulit singkong di Indonesia sangat melimpah, seiring dengan eksistensi negara ini sebagai salah satu penghasil singkong terbesar di dunia (COCK, 1985) dan terus mengalami peningkatan produksi dalam setiap tahunnya (BPS, 2008). Dari setiap berat singkong akan dihasilkan limbah kulit singkong sebesar 16% dari berat tersebut (SUPRIYADI, 1995). Data tahun 2008 menyatakan bahwa produksi singkong Indonesia sebesar 20.794.929 ton (BPS, 2008) jadi saat ini potensi ketersediaan kulit singkong bisa mencapai 3.327.188,6 ton/tahun. Berdasarkan ketersediaanya kulit singkong sangat potensial untuk digunakan sebagai pakan unggas, jadi sudah masuk ke dalam salah satu

syarat prioritas pemanfaatan sumber alternatif bahan pakan yang berasal dari bahan-bahan tak termanfaatkan dan belum lazim digunakan sebagai bahan pakan, seperti yang diutarakan oleh SINURAT (1999) menyatakan bahwa ada beberapa syarat agar bahan pakan yang belum umum dipakai dapat digunakan sebagai bahan pakan ternak yaitu seberapa banyak jumlah ketersediaannya, bagaimana kandungan gizinya, ada tidaknya faktor pembatas seperti zat racun atau zat anti nutrisi, serta perlu tidaknya bahan tersebut diolah sebelum dapat digunakan sebagai bahan pakan ternak. Berdasarkan beberapa hasil penelitian menyatakan bahwa kulit singkong memiliki kandungan protein yang rendah dan serat kasar yang tinggi serta memiliki kandungan HCN (asam sianida/racun sianida) di dalamnya, di mana HCN ini berfungsi sebagai zat anti nutrisi yang merugikan terhadap ternak, keadaan kulit singkong yang rendah nutrisi dan berzat anti nutrisi tersebut menjadi untuk diperbaiki fungsi nutrisinya. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa teknologi fermentasi dapat meningkatkan kandungan protein dan menurunkan kadar serat kasar dan HCN kulit singkong. Oleh karena itu, kulit singkong berpotensi menjadi salah satu alternatif bahan pakan untuk ternak unggas. POTENSI KETERSEDIAAN KULIT SINGKONG Kulit singkong merupakan limbah hasil pengupasan pengolahan produk pangan berbahan dasar umbi singkong, jadi keberadaannya sangat dipengaruhi oleh eksistensi tanaman singkong yang ada di Indonesia. Kulit singkong terkandung dalam setiap umbi singkong dan keberadaannya mencapai 16% dari berat umbi singkong tersebut (SUPRIYADI, 1995). Berdasarkan data BPS 2008, diketahui produksi umbi singkong pada tahun 2008 adalah sebanyak 20.8 juta ton, artinya potensi kulit singkong di Indonesia mencapai angka 3,3 juta ton/tahun. Untuk melihat penyebaran ketersediaan kulit singkong di Indonesia, perlu mengetahui jumlah produksi dan peta penyebaran umbi singkong di Indonesia, untuk itu pada Tabel 1, ditampilkan data produksi umbi singkong di Indonesia berdasarkan provinsi dari tahun 2004 sampai dengan 2008 (BPS, 2008).

656

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009

Tabel 1. Produksi umbi singkong di Indonesia menurut provinsi (ton), 2004 2008 Provinsi 2004 (ton) Nanggroe Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Kepulauan bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua Jawa Luar jawa Indonesia Sumber: BPS (2008) 48.150 10.682.918 8.741.789 19.424.707 91.351 144.313 815 2.074.022 3.663.236 817.398 3.963.478 163.969 142.221 88.030 1.041.279 207.832 112.319 67.292 89.389 57.314 45.106 586.350 263.972 14.507 63.867 464.960 117.437 47.922 44.446 248.844 59.659 4.673.091 22.138 2005 (ton) 53.424 509.796 114.199 41.668 39.780 179.952 79.934 4.806.254 19.234 3.526 791 2.068.981 3.478.970 920.909 4.023.614 144.110 155.808 92.991 891.783 243.251 73.866 80.377 93.885 68.463 48.256 464.435 256.467 12.211 56.717 94.995 142.680 25.897 33.957 10.637.375 8.683.808 19.321.183 Tahun produksi 2006 (ton) 46.504 452.450 133.095 47.586 40.779 228.321 113.488 5.499.403 17.264 6.899 804 2.044.674 3.553.820 1.016.270 3.680.567 143.561 159.058 87.041 938.010 250.173 65.661 82.389 101.249 82.416 52.791 567.749 238.039 9.410 40.413 103.260 123.833 21.838 37.825 10.439.696 9.546.944 19.986.640 2007 (ton) 41.558 438.573 114.551 51.784 44.794 150.133 76.924 6.394.906 18.666 7.077 628 1.922.840 3.410.469 976.610 3.423.630 117.550 174.189 88.527 794.121 221.630 67.617 117.322 105.395 74.406 70.858 514.277 239.271 7.432 45.921 105.761 118.354 17.834 34.450 9.851.727 10.136.331 19.988.058 2008 (ton) 54.067 557.204 119.801 56.498 44.146 194.769 60.772 6.823.516 17.782 9.928 570 2.144.736 3.264.030 945.352 3.497.884 126.510 170.980 88.237 836.863 221.646 72.027 138.491 116.116 84.513 59.637 520.824 232.793 12.024 47.571 107.564 115.966 17.370 34.742 9.979.082 10.815.847 20.794.929

657

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009

Berdasarkan Tabel 1, terlihat bahwa produksi singkong di Indonesia tiap tahunnya mengalami kenaikan, dan terdapat disetiap provinsi di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa potensi kulit singkong dapat ditemukan secara melimpah pada setiap provinsi di Indonesia. Jadi berdasarkan penyebaran dan jumlah ketersediaannya kulit singkong sangat potensial untuk dijadikan sebagai bahan pakan ternak untuk unggas. SEJARAH DAN DESKRIPSI TANAMAN SINGKONG Berdasarkan sejarahnya tanaman singkong yang ada di Indonesia tidak diketahui secara pasti, tetapi pada tahun 1852 Kebun Raya Bogor mendatangkan bibit singkong dari Suriname, setelah itu bibit-bibit tersebut diperbanyak, dan pada tahun 1854 dikirim ke semua Keresidenan di seluruh pulau Jawa, akibat berkobarnya Perang Dunia 1 dan macetnya impor beras, penanaman singkong diperluas dengan cepat, karena dihawatirkan akan timbul bahaya kekurangan bahan pangan (SOSROSOEDIRJO, 1992). Taksonomi tanaman singkong menurut GRACE (1977) adalah sebagai berikut: Divisio : Spermatophyta Subdivisio : Angiosperma Klas : Dicotiledoniae Ordo : Geraniales Famili : Eurphorbiaceae

Subfamili Tribe Genus Spesies

: Eurphorbiaceae (Contonoideae) : Manihoteae : Manihot : Manihot esculante Crantz atau Manihot utilisima

Tanaman singkong memiliki beberapa kelebihan diantaranya dapat tumbuh di segala tanah, tidak memerlukan tanah yang subur asal cukup gembur, tetapi sebaliknya tidak tumbuh dengan baik pada tanah yang terlalu banyak airnya (CIPTADI, 1980). ALLEN (1979) menambahkan bahwa singkong merupakan tanaman berumur panjang yang tumbuh di daerah tropika dengan kemampuan adaptasi terhadap lingkungan yang tinggi, tahan terhadap musim kemarau dan mempunyai kelembaban yang tinggi, tetapi sensitif terhadap suhu rendah. Tanaman singkong mempunyai adaptasi yang luas. Tanaman ini dapat tumbuh dengan baik pada dataran rendah sampai tinggi, yaitu dari 0 sampai 2500 m di atas permukaan laut, maupun di daerah kering dengan curah hujan sekitar 500 mm/tahun, asalkan air tidak sampai tergenang diperakarannya (SOENARJO, 1979). Hal inilah yang menyebabkan singkong dapat ditanam di mana-mana dan dapat ditanam setiap waktu sepanjang tahun dengan resiko kegagalan kecil. Untuk melihat potensi nutrisi tanaman singkong dalam beberapa bagiannya, berikut komposisi kimia singkong pada beberapa bagiannya seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2.

Tabel 2. Komposisi kimia singkong pada beberapa bagiannya berdasarkan bahan kering Kandungan nutrisi Protein kasar Serat kasar Ekstrak eter Abu Ekstrak tanpa N Ca P Mg Energi metabolis Sumber: DEVENDRA (1977) Daun (%) 23,2 21,9 4,8 7,8 42,2 0,972 0,576 0,451 2590 Batang (%) 10,9 22,6 9,7 8,9 47,9 0,312 0,341 0,452 2670 Umbi (%) 1,7 3,2 0,8 2,2 92,1 0,091 0,121 0,012 1560 Kulit umbi (%) 4,8 21,2 1,22 4,2 68 0,36 0,112 0,227 2960

658

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009

Pada Tabel 2 terlihat bagian kulit umbi menunjukkan kandungan protein yang rendah (4,8%) dan kandungan serat kasar dan BETN yang tinggi. Serat kasar yang tinggi akan menjadi masalah di dalam sistem pencernaan unggas, karena berdasarkan beberapa hasil penelitian menunjukkan pemberian bahan pakan berserat kasar tinggi pada unggas lebih banyak memberikan dampak negatif terhadap pertumbuhan dan perkembangan ayam, akibat dari keterbatasan sistem pencernaan unggas dalam mencerna serat kasar (WAHJU, 1988). Sedangkan untuk kandungan BETN yang tinggi, menjadi penunjuk tingginya kandungan karbohidrat dalam kulit singkong, yang berarti pula sebagai kulit singkong dapat menjadi bahan pakan sumber energi yang cukup tinggi. FAKTOR PEMBATAS PENGGUNAAN KULIT SINGKONG SEBAGAI PAKAN UNGGAS DAN PENANGGULANGANNYA Selain kandungan protein yang rendah serta serat kasar yang tinggi yang menjadi sumber kendala pemanafaatan kulit singkong sebagai pakan unggas, terdapat pula kendala lainnya yaitu keberadaan HCN yang ada di dalamnya. HCN merupakan zat anti nutrisi dan dapat berperan sebagai racun bagi ternak unggas yang mengkonsumsinya. HCN ada dalam semua bagian tanaman singkong. HCN atau glukosida sianogenat berupa linamarin dan lotaustralin. Glukosida ini disintesa pada daun dan kemudian hasilnya dibawa ke umbi dan bagian lain dari tanaman tersebut. Senyawa linamarin dan lotaustralin akan menghasilkan racun HCN bila senyawa tersebut bereaksi dan dipecah oleh enzim linamarase atab glukosidase. Enzim linamarase dan glikosidase akan aktif pada saat tanaman singkong mengeluarkan getah akibat perlakuan pematahan, penyayatan, pemotongan, dan pengupasan. Kadar HCN dalam singkong tidak konstan, tetapi berubah-ubah dipengaruhi oleh faktor lingkungan (SOSROSOEDIRJO, 1992). Jika tanaman singkong mengalami musim kering yang sangat panjang selama pertumbuhannya, kadar HCN-nya meningkat. Disamping itu juga zat N yang terdapat di dalam pupuk dapat mempertinggi kadar HCN singkong. Racun sianida (HCN) masuk ke dalam tubuh ternak

melalui pernafasan, kulit, dan yang terbanyak melalui saluran pencernaan. Dosis yang mematikan dari sianida adalah antara 0,5 3 mg/kg bobot tubuh (CHEEKE dan SHULL, 1985). Racun sianida berbahaya bagi ternak, jadi sebelum dijadikan pakan ternak, diperlukan cara-cara untuk mengurangi atau menghilangkan racun tersebut dari bagian tanaman singkong yang digunakan. COURSEY (1974) menyatakan bahwa HCN mempunyai ikatan yang tidak begitu kuat, mudah menguap dan hilang atau berkurang dengan jalan pengolahan, seperti pencucian, perendaman, perebusan, pengukusan, dan pemanasan. TJOKROADIKOESOEMO (1988), menyatakan bahwa racun HCN dapat dihilangkan dengan cara sederhana antara lain melalui penggorengan, pengukusan, penjemuran, atau diolah menjadi panganan-panganan lainnya. KOMPIANG et al. (1993) menambahkan bahwa kandungan HCN dalam suatu bahan pakan dapat dikurangi atau dihilangkan dengan proses fermentasi. TEKNOLOGI FERMENTASI PADA KULIT SINGKONG KOMPIANG et al. (1993) yang menyatakan bahwa teknik fermentasi dapat menghilangkan HCN dari suatu bahan pakan. Selama ini proses fermentasi sudah banyak digunakan sebagai upaya untuk meningkatkan kandungan nutrisi suatu bahan pakan terutama kandungan proteinnya. juga dapat mengurangi dan menghilangkan HCN. Maka teknik fermentasi adalah salah satu proses yang sangat tepat dalam mengolah kulit singkong sebelum diberikan kepada ternak. Pada prinsipnya teknologi fermentasi ini adalah proses pembiakkan mikroorganisme terpilih pada media kulit singkong dengan kondisi tertentu sehingga mikroorganisme tersebut dapat berkembang dan merubah komposisi kimia media tersebut sehingga menjadi bernilai gizi lebih baik. Pada beberapa penelitian yang sudah dilakukan di Balai Penelitian Ternak, fermentasi dilakukan dengan menggunakan Aspergillus niger karena lebih mudah tumbuh pada media dan nilai gizi hasil fermentasinya pun dianggap cukup baik (SINURAT, 2006). DARMA et al. (1991) menyatakan bahwa fermentasi dengan A. niger

659

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009

mampu meningkatkan kandungan protein kasar umbi singkong sampai 35%. Selain meningkatkan kandungan protein, fermentasi dengan A.niger dapat menekan pertumbuhan mikroba kontaminan. A. niger yang sangat cepat pertumbuhannya, terutama dalam suhu kamar, sehingga mikroba lain tertekan pertumbuhannya. KOMPIANG et al. (1993) menyatakan bahwa fermentasi dengan A. niger pada berbagai jenis substrat media padat dengan proses produksi dalam keadaan tidak steril, kontaminasi dari mikroba lain sangat kecil, yaitu maksimal 4,7%. Menurut Rapper dan FENNEL (1977), Aspergillus niger sudah umum digunakan dalam proses fermentasi secara komersil dan dapat menghasilkan enzim-enzim amilolitik, proteolitik, dan lipolitik. Aspergillus niger juga digunakan untuk menghasilkan enzim pytase secara komersil (HOPPE, 1992). Enzim yang dihasilkan selama proses fermentasi ini diharapkan dapat memecah serat yang cukup tinggi yang ada di dalam onggok menjadi molekul karbohidrat yang lebih sederhana, sehingga meningkatkan jumlah energi yang dapat dimetabolisme oleh ternak. Penelitian fermentasi pada kulit singkong telah banyak dilakukan, DARMA et al. (1991) mengemukakan proses fermentasi tersebut : Kulit singkong dicuci dengan air bersih untuk dihilangkan kotorannya yang menempel, setelah bersih ditiriskan dan dikeringkan dalam oven pada suhu 60C selama 24 jam. Kulit singkong yang telah kering tersebut digiling berbentuk butiran kecil yang bertujuan untuk memperluas permukaan fermentasi. Kemudian dikukus dengan penambahan lebih dahulu air bersih pada kulit singkong giling dengan perbandingan 1,2 : 1. Pengukusan dilakukan selama 30 menit dihitung pada saat uap air mulai keluar dari permukaan atas kulit singkong yang dikukus. Setelah terjadi gelatinisasi dan matang, diangkat lalu didinginkan. Substrat yang telah dingin tadi diberi urea dan garam mineral dengan perbandingan untuk satu kg kulit singkong matang ditambah 31.25 g (NH4)2SO4, 16,7 g urea, 7,19 g NaPO4.2H2O, 2,08 g MgSO4, 0,63 KCl, 0,31 g ferrosulphat, dan 0,28 g CaCl2. Setelah urea dan mineral bercampur merata, lalu diinokulasikanlah spora jamur Aspergillus niger pada substrat sebanyak 1 g dengan konsentrasi spora 1012/g. Kemudian

substrat yang telah diberi spora tersebut diletakkan pada wadah persegi empat dari plastik yang berlubang terutama pada bagian dasarnya untuk membuang uap air yang terbentuk selama fermentasi. Fermentasi dilakukan pada ruangan bersuhu 32 33C dengan kelembaban 90% selama 3 4 hari dimana miselium dari jamur A. niger telah menyebar merata dan berwarna putih. Setelah selesai proses fermentasi, produk dipotong-potong dan dikeringkan dalam oven yang bersuhu 60C selama 48 jam. Produk yang telah kering tadi, lalu digiling sehingga hasil akhirnya berupa tepung. Komposisi kimia kulit singkong hasil fermentasi oleh jamur Aspergillus niger dan tanpa fermentasi dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Komposisi kimia kulit singkong tanpa fermentasi dan hasil fermentasi oleh jamur Asfergillus niger Zat gizi HCN (%) Urea Protein kasar (%) Serat kasar (%) Ekstrak eter (%) Abu (%) Ekstrak tanpa N (%) Ca (%) P (%) Mg (%) Energi metabolis (Kkal/kg) Tanpa fermentasi* 4,8 21,2 1,22 4,2 68 0,36 0,112 0,227 2960 Fermentasi dengan A. Niger** 0 0,48 28 14,96 1,69 0,68 2700

Sumber: *DEVENDRA (1997); **SUPRIYADI (1995)

Pada Tabel 3 terlihat bahwa kandungan protein kulit singkong meningkat sampai 28%, artinya bertambah sekitar 23% dibanding kandungan protein kulit singkong yang tidak difermentasi, kandungan serat kasar juga mengalami penurunan dengan proses fermentasi, dimana bila tidak difermentasi kandungan serat kasarnya adalah 21,2% dan setelah difermentasi kandungan serat kasarnya 14,96%. Hasil analisis juga menunjukan bahwa kandungan kulit singkong hasil fermentasi tidak mengandung HCN lagi (0,00%). Artinya

660

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009

produk fermentasi kulit singkong tidak lagi memiliki zat anti nutrisi yang beracun bagi ternak. PENGGUNAAN PRODUK FERMENTASI KULIT SINGKONG DALAM RANSUM TERNAK UNGGAS Hasil penelitian produk fermentasi kulit singkong pada ternak unggas masih jarang ditemui. Oleh karena itu, akan dibandingkan dengan pemanfaatan produk fermentasi onggok pada ternak unggas. Hal tersebut karena samasama ke duanya merupakan limbah dari produk pangan berbahan dasar singkong, juga dalam beberapa asfek nutrisi kulit singkong dan onggok memiliki beberapa persamaan, yaitu kandungan protein yang rendah dan kandungan serat kasar yang tinggi, serta untuk merangsang pengembangan penelitian kulit singkong sebagai pakan unggas seperti telah banyaknya penelitian onggok dalam ransum ternak unggas selama ini. Berikut perbandingan kandungan nutrisi produk fermentasi kulit singkong dan produk fermentasi onggok, yang mana keduaduanya menggunakan jamur Aspergillus niger sebagai inokulan dalam proses fermentasinya, secara lengkap kandungan nutrisinya ditunjukkan pada Tabel 4.
Tabel 4. Perbandingan komposisi kimia produk fermentasi kulit singkong dan produk fermentasi onggok Produk fermentasi kulit singkong1 28 1,69 0,68 2700
2

Parameter Protein Kasar, % Abu, % Kalsium, % Fosfor, % Energi kasar, kkal/kg

Produk fermentasi onggok2 18,40 2,60 0,28 0,24 3300

Sumber: 1SUPRIYADI (1995); (2003)

SUPRIYATI et al.

Berdasarkan tabel 4 terlihat bahwa kandungan protein kasar produk fermentasi kulit singkong lebih tinggi dibanding produk fermentasi onggok, walaupun energi kasarnya produk fermentasi onggok lebih tinggi

dibanding produk fermentasi kulit singkong. SUPRIYADI (1995), menyatakan bahwa penggunaan produk fermentasi kulit singkong dalam ransum ayam pedaging periode starter sampai tingkat penggunaan 15% dengan kandungan protein dan energi ransum perlakuan yang sama (21% Pk dan 2900 kkal/kg EM) tidak berpengaruh terhadap jumlah konsumsi ransum. Hasil penelitian ini hampir sama dengan hasil penelitian produk fermentasi onggok pada ayam pedaging (SUPRIYATI, 2003), yang menyatakan bahwa pemanfaatan produk fermentasi onggok pada ayam pedaging sampai tingkat 10% dalam ransum tidak mengurangi konsumsi ransum, pada penelitian produk fermentasi onggok pada ayam pedaging tidak dilakukan tingkat penggunaan sampai tingkat 15% karena menurut KOMPIANG et al. (1994), penggunaan produk fermentasi onggok pada ayam pedaging akan memberikan dampak negatif terhadap pertambahan bobot hidup maupun Feed Convertion Ratio (FCR). Tingkat konsumsi ransum yang tidak berbeda diduga lebih diakibatkan oleh komposisi ransum perlakuan yang dibuat iso protein dan iso kalori (SCHAIBLE, 1979). SUPRIYADI (1995), juga menyatakan bahwa penggunaan produk fermentasi kulit singkong sampai 10% tidak mengakibatkan penurunan pertambahan bobot badan ayam pedaging, tetapi pada tingkat penggunaan di atas 10% menimbulkan penurunan pertambahan bobot badan. Hal ini sama persis dengan hasil yang ditunjukkan pada penelitian produk fermentasi onggok pada ayam pedaging (SUPRIYATI, 2003) yang menyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan pertambahan bobot badan (PBB) yang nyata antara ayam pedaging yang diberi ransum kontrol dengan ayam pedaging yang diberi ransum yang mengandung produk fermentasi onggok sampai tingkat pengggunaan 10%. Tetapi penggunaan produk fermentasi onggok di atas 10% menimbulkan penurunan PBB ayam pedaging, sama seperti dengan yang terjadi pada penggunaan produk fermentasi kulit singkong. Hal ini diduga karena nilai kecernaan protein produk fermentasi bernilai rendah bagi ternak unggas. SUPRIYADI (1995) menyatakan bahwa nilai kecernaan protein dari hasil fermentasi kulit singkong hanya 55,69%, jauh di bawah syarat kualitas bahan pakan berkualitas baik menurut

661

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009

SCHAIBLE (1979) yang menyatakan bahwa bahan pakan yang berkualitas baik mempunyai nilai kecernaan protein minimal 85%, artinya semakin sedikit protein yang tercerna maka semakin sedikit pula kebutuhan protein untuk pertumbuhan yang terpenuhi. Hal ini dapat dimengerti karena protein yang dihasilkan dari proses fermentasi merupakan protein sel tunggal (PST) yang ddominasi oleh RNA (ribonucleic acids), RNA dalam bahan pakan terfermentasi akan menjadi faktor pembatas karena dapat menyebabkan gangguan metabolisme dalam tubuh ternak, KARASAWA (1998) menambahkan bahwa pemberian 1% RNA dalam ransum broiler sudah menyebabkan penurunan laju pertumbuhan ternak. Selanjutnya hasil penelitian juga menunjukkan bahwa tingkat penggunaan produk fermentasi kulit singkong pada ayam pedaging sampai tingkat 10% dalam ransum tidak berpengaruh terhadap nilai konversi ransum dibandingkan dengan ransum kontrol (SUPRIYADI, 1995. Hal ini menunjukkan hasil yang sama dengan yang dikemukakan SUPRIYATI (2003) penelitian tingkat penggunaan produk fermentasi onggok pada ayam pedaging, yang menyatakan bahwa pemberian sampai tingkat 10% tidak mengakibatkan perubahan konversi ransum yang nyata dengan ransum kontrol (SUPRIYATI, 2003). Pada kesempatan yang sama, SUPRIYADI (1995) menyatakan bahwa hasil penelitian menunjukkan tidak adanya faktor toksik dalam ransum yang mengandung produk fermentasi kulit singkong, karena hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat penggunaan produk fermentasi kulit singkong dalam ransum ayam pedaging periode starter tidak menimbulkan kematian, sama dengan yang diungkapkan SUPRIYATI (2003) yang menyatakan bahwa penggunaan produk fermentasi onggok pada ransum ayam pedaging sampai tingkat 10% tidak menimbulkan kematian juga. Fakta ini menggambarkan berkurangnya atau hilangnya racun sianida (HCN) yang bisa menjadi racun yang mematikan oleh proses fermentasi, hasil ini sesuai dengan apa yang disampaikan oleh KOMPIANG et al. 1993, yang menyatakan bahwa proses fermentasi dapat menurunkan dan menghilangkan HCN yang terdapat pada bahan pakan.

Secara umum pengaruh penggunaan produk fermentasi kulit singkong dan produk fermentasi onggok yang diberikan pada ayam pedaging cenderung memberikan hasil yang sama, artinya bahwa peluang pemanfaatan produk fermentasi kulit singkong untuk pakan unggas sama besar dengan pemanfaatan produk fermentasi onggok. Tetapi sampai saat ini hasil penelitian penggunaan produk fermentasi kulit singkong pada unggas belum banyak dilakukan, oleh karena itu hal ini menjadi peluang eksplorasi baru bagi pencarian alternatif sumber bahan pakan untuk ternak unggas yang berasal dari sumber limbah pertanian yang tak termanfaatkan dan belum lazim digunakan. Untuk melihat gambaran prosfek pengembangan pemanfaatan produk fermentasi kulit singkong, dikemukakan beberapa hasil penelitian produk fermentasi onggok pada beberapa ternak unggas yang lain dan diduga juga akan menghasilkan performan yang tidak jauh berbeda bila produk tersebut diganti dengan produk fermentasi dari kulit singkong. SUPRIYATI (2003), menyatakan bahwa pemberian produk fermentasi onggok pada ayam pedaging dapat memperbaiki karkas, tidak mempengaruhi kualitas pakan, dan tidak membawa faktor toksik. Penelitian pengaruh pemberian onggok dan produk fermentasi onggok juga telah dilakukan SUPRIYATI (2003), yang menyatakan bahwa pemberian produk fermentasi onggok pada ayam petelur sampai tingkat penggunaan 10% dalam ransum dapat meningkatkan produksi telur 26,06% untuk yang dipelihara secara kelompok (ren) dan 32,20% untuk yang dipelihara dengan sistem individu (batere). Kualitas telur yang dihasilkan pun menunjukkan hasil yang baik yang ditunjukan dengan bobot telur yang lebih berat untuk yang diberi produk fermentasi onggok dibandingkan dengan yang diberi onggok tanpa fermentasi (42,78 vs 39,63) dan tebal kulit kerabang yang menunjukkan penampilan lebih baik untuk yang diberi perlakuan produk fermentasi onggok dibanding kontrol 90,38 vs 0,36 mm), walaupun warna kuning telur yang ditunjukkan oleh telur ayam yang diberi perlakuan produk fermentasi onggok menunjukkan warna kuning telur yang lebih muda 0,5 poin (6,0 vs 6,5) dan angka haugh unitnya sebesar 88,55 vs 97,20 (SUPRIYATI, 2003).

662

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009

Tabel 6. Kinerja ayam kampung periode pertumbuhan secara teknis dan ekonomis selama 12 minggu pengamatan Ayam hitam Uraian Bobot hidup awal, g Bobot hidup 12 mg, g PBB, g Konsumsi pakan, g FCR Mortalitas, % IOFCC (Rp/ekor) Tanpa onggok terfermentasi 47,5 809 762 3401 4466 12,5 2606 Onggok terfermentasi 47,6 967 920 3076 3346 10,8 5082 Ayam kuning Tanpa onggok terfermentasi 54,7 725 670 3228 4,816 24,53 1858 Onggok terfermentasi 63,3 852 789 3227 4092 33,33 3480

IOFCC = Income over feed and chick cost Sumber: SUPRIYATI et al. (2003)

Pengaruh pemberian produk fermentasi onggok pada ayam kampung periode pertumbuhan menunjukkan hasil seperti yang ditampilkan pada Tabel 6. Dari hasil kajian ekonomi menunjukkan bahwa perlakuan produk fermentasi onggok memberikan efisiensi pakan lebih baik, dimana untuk 1 kg ayam hidup memerlukan 3181 g pakan dan 4202 g untuk yang diberi ransum tanpa produk fermentasi onggok (SUPRIYATI et al., 2003). Lebih lanjut SUPRIYATI et al. (2003), menyatakan lebih lanjut bahwa penggunaan produk fermentasi onggok dapat mengurangi biaya produksi pakan, dari hasil analisis income over feed and chick cost (IOFCC) nilai ayam kampung yang diberi produk fermentasi onggok juga menunjukkan hasil yang lebih baik dibanding dengan yang tidak diberi produk fermentasi onggok. Penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa waktu pemeliharaan ayam kampung yang diberi produk fermentasi onggok memerlukan waktu yang lebih pendek untuk mendapatkan bobot pasar, sehingga akan memperpendek kesempatan ayam dari serangan penyakit dan memperbanyak flok yang dipelihara dalam setahun. KESIMPULAN Berdasarkan syarat-syarat pemanfaatan limbah pertanian yang belum lazim dimanfaatkan sebagai pakan ternak, kulit

singkong masuk dalam persyaratan sehingga sangat potensial untuk dimanfaatkan sebagai pakan unggas. Ketersediaan kulit singkong melimpah, kendala kandungan nutrisinya yang rendah dan keberadaan racun sianida (HCN) dapat ditanggulangi dengan teknologi fermentasi. Hasil uji biologis produk fermentasi kulit singkong pada tingkat penggunaan 10% dapat digunakan pada ayam pedaging periode starter, tanpa memberikan dampak negatif. Hal ini menjadi rangsangan untuk meningkatkan eksplorasi pemanfaatan kulit singkong sebagai pakan ternak unggas. Berdasarkan hasil penelitian yang ada dan diperbandingkan dengan bahan pakan yang relatif sama, yaitu onggok, kulit singkong sangat potensial dan berpeluang besar untuk digunakan dalam ransum ternak unggas. Eksplorasi pemanfaatan kulit singkong sebagai pakan unggas menjadi penting dalam rangka untuk menanggulangi kekurangan bahan pakan untuk unggas. Potensi ketersediaan kulit singkong dan mudah ditemukan tanpa termanfaatkan sangat besar. Oleh karena itu, penelitian pemanfaatan kulit singkong sebagai pakan unggas harus terus dilakukan agar terus ditemukan proses pengolahan yang terbaik, praktis dan mudah pengolahannya sehingga dapat mudah diadopsi teknologinya secara luas oleh masyarakat peternakan unggas. Pengolahan yang praktis dan bernilai ekonomis tinggi tentu akan mengundang minat para praktisi peternakan

663

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009

unggas sehingga meminatinya sebagai alternatif baru bahan pakan yang digunakan dalam usaha peternakannya. Sehingga secara tidak langsung dapat membantu mengurangi ketergantungan terhadap bahan pakan unggas yang berasal dari negara luar seperti yang terjadi saat ini.
DAFTAR PUSTAKA ALEN, G.H. 1979. Cassava a New Look at an Old Crop. Quesland Agriculture. 105: 58. BIRO PUSAT STATISTIK. 2008. Statistik Tanaman Pangan. BPS, Jakarta. CHEEKE, P.R. and L.R. SHULL. 1985. Natural Toxicant in Feed and Poisonous Plants. AVI Publishing Company, Inc. Wesport, Connecticut. pp. 173 180. CIPTADI, W. 1980. Umbi ketela pohon sebagai bahan bahan pangan industri. Fateta Institut Pertanian Bogor. hlm. 2 25. COCK, J.H. 1985. Cassava New Potential for a Neglected Crop. West View Press, London. 9. COURSEY. D.G. 1974. Cassava as Food ; Toxicity and Technology. Proc. of Interdiciplinary Workshop, London. pp. 27 36. DARMA, J., T. PURWADARIA dan SUPRIYATI. 1991. Protein Enrichment; Study Cassava Enrichment Melalui Proses Biologi untuk Ternak Monogastrik. Laporan Penelitian. Balai Penelitian Ternak, Bogor. DEVENDRA, C. 1977. Cassava as a Feed Source For Ruminant. In: Cassava as Animal Feed. NESTEL, B. and M. GRAHAM (Eds.). IDRC095e. 107 119. FAO. 2003. FAOSTAT Database Gateway. http/apps.fao.org/lim500/nph-wrap.pl/Trade. Croplivestock Products & Domain = SUA & Servlet = 1.

WAHYU, J. 1988. Ilmu Nutrisi Unggas. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. KOMPIANG, I.P., J. DARMA, T. PURWADARIA dan SUPRIYATI. 1992, 1993. Laporan Tahunan Proyek P4N-Balitnak. No: PL.420.205.6413/ P4N. Balai Penelitian Ternak, Bogor. RAPER, K.B. and D.I. FENNEL. 1977. The Genus Asfergillus. The William and Wilking Co., Baltimore. 686. SCHAIBLE, P.J. 1979. Feeds and Nutrition. Third Edition. The AVI publishing Co, Wesport; Connecticut. SINURAT, A.P., P. SETIADI, A. LASMINI, A.R. SETIOKO, T. PURWADARIA, I.P. KOMPIANG dan J. DARMA. 1995. Penggunaan cassapro (singkong terfermentasi) untuk itik petelur. Ilmu dan peternakan 8(2): 28 31. SOENARJO, R. 1979. Status ubi-ubian di indonesia; Prospek Penelitian dan Pengembangannya. Lembaga Penelitian dan Pengembangan Pertanian. BP Bimas NFCEP, Bogor. hlm. 26 29. SOSROSOEDIRJO, R.S. 1992. Bercocok Tanam Ketela Pohon. Cetakan Keenam. CV Yasa Guna, Jakarta. SUPRIYADI. 1995. Pengaruh Tingkat Penggunaan Hasil Fermentasi Kulit Ubi Kayu oleh Jamur Asfergillus niger dalam Ransum terhadap Performan Ayam Pedaging Periode Starter. Skripsi. Universitas Padjadjaran, Bandung. SUPRIYATI. 2003. Review onggok terfermentasi dan pemanfaatannya dalam ransum ayam ras pedaging. Wartazoa 13: 146 150. SUPRIYATI., D. ZAENUDIN., I.P. KOMPIANG., P. SOEKAMTO dan D. ABDURRACHMAN. 2003. Pros. Seminar Nasional Teknologi Pakan dan Veteriner. Bogor, 29 30 September 2003. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 381 386. TANGENDJAJA, B. 2007. Review inovasi teknologi pakan menuju kemandirian usaha ternak unggas. Wartazoa. 16(1): 12 20. TJOKROADIKOESOEMO, P.S. 1986. HFS dan Industri Ubi Kayu lainnya. PT Gramedia, Jakarta.

GRACE, M.R. 1977. Cassava Processing. FAO Plant Production and Protection, Rome. pp. 1 6. HOPPE, P.P. 1992. Review of the biological effects and the ecological importance of phytase in pigs. In: Use of Natuphos in Pigs and Poultry. BASF. Ludwigshafen, Germany.

664

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009

DISKUSI Pertanyaan: 1. 2. 3. 4. Bagaimana proses fermentasi kulit singkong sampai dapat menghasilkan protein dari 4,8% menjadi 28%? Apakah ada tambahan urea? Kalau untuk unggas, perhitungan bahan PK lagi, tetapi protein murni atau asam amino. Bagaimana pendapat saudara? Pada judul tertulis potensi kulit singkong sebagai pakan unggas, tetapi di dalam makalah tidak dibahas penggunaan kulit singkong untuk ayam broiler, bagaimana dengan jenis unggas yang lain? Disarankan untuk melengkapi dengan hasil-hasil penelitian jenis unggas lain.

5.

Jawaban: 1. Protein berasal dari mikroba sehingga sering disebut PST (Protein Sel Tunggal). 2. Ada tambahan urea. 3. Sependapat, atau menyebutnya sebagai protein tercerna. 4. Pesan yang ingin disampaikan pada makalah ini adalah untuk merangsang eksplorasi lebih lanjut dari kulit singkong sebagai pakan unggas. Oleh karena masih sedikit penelitian pada ternak unggas lain, maka saya menggunakan pembanding onggok yang diberikan pada beberapa ternak unggas. Yang saya Perkirakan tidak akan memberikan hasil tidak jauh berbeda. Jadi semangat untuk memanfaatkan kulit singkong sebagai pakan unggas lebih terasa sangat besar.

665

Anda mungkin juga menyukai