Anda di halaman 1dari 37

NAMIRA SYAIFUL

G31112254 MP.
DOSEN : Dr. Ir. Jumriah Langkong,
NUR FITRI RAMADHANI
FATMAWATI

2015

G31112267

G31112266

BENNY SUHARDI

G31112902

NORMAN MASMUR

G31112272

PEMANFAATAN/PENGOLAHAN LIMBAH

HASIL PETERNAKAN

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Limbah

adalah

hasil

aktivitas

manusia

bidang

pangan

sehingga

menghasilkan hasil samping (sisa/buangan) yag telah melampaui Nilai Ambnag


Batas (NAB) melalui indera manusia. Lingkungan yang bersih dan sehat bebas
dari pencemaran merupakan dambaan setiap masyarakat. Lingkungan yang bersih
ini akan menciptakan suasana asri sehingga setiap warga merasakan hidup sehat
baik dalam segi jasmani maupun rohani.
Usaha peternakan dikembangkan karena tingginya permintaan akan produk
peternakan. Usaha peternakan juga memberi keuntungan yang cukup tinggi dan
menjadi sumber pendapatan bagi banyak masyarakat Indonesia. Namun demikina,
sebagaimana usahan lainnya, usaha peternakan juga menghasilkan limbah yang
dapat menjadi sumber pencemaran.
Berdasarkan penjelasan tersebut oleh karena itu untuk meminimalkan
limbah peternakan perlu dilakukan untuk menjaga kenyamanan pemukiman
masyarakat. Salah satu upayanya adalah dengan memenfaatkan limbah peternakan
dapat memberi nilai tambah bagi usaha tersebut, misalnya pemenfaatan limbah
tulang sapi yang dimnafaatkan menjadi ekstrak kolagen, pemanfaatan limbah
kotoran hewan peternakan menjadi pupuk organik dan pemanfaatan limbah
cangkang telur menjadi produk kerajinan yang memiliki nilai jual yang tinggi.
B. Tujuan dan Kegunaan
Tujuan dari penyusunan makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui teknologi pemanfaatan limbah yang berasal dari hasil
peternakan.
2. Untuk mengetahui produk/manfaat yang dapat dihasilkan dari pemanfaatan
limbah peternakan.
Kegunaan dari penyusunan makalah ini adalah mahasiswa dapat mengetahui
cara pemanfaatan limbah peternakan yang melelui teknologi yang telah tersedia
sehingga dapat menjadi nilai jual yang tinggi.
BAB II. PEMBAHASAN
A. PEMANFAATAN LIMBAH TULANG

Tulang merupakan salah satu hasil ikutan (by product) dari pemotongan
ternak yang sampai saat ini belum termanfaatkan secara maksimal karena
sebagian besar masyarakat masih menganggapnya sebagai limbah ternak. Sampai
saat ini pemanfaatan tulang dari ternak masih sangat terbatas, sehingga dengan
demikian tulang masih dikategorikan sebagai by product yang memiliki nilai
ekonomi rendah.
Seiring dengan perkembangan teknologi khususnya teknologi pengolahan
hasil ikutan ternak, maka limbah tulang telah banyak dikembangkan dan
dimanfaatkan baik dalam bentuk produk pangan maupun non-pangan. Dalam
bentuk produk pangan telah dikembangkan dalam bentuk bahan baku suplemen
makanan ataupun, sedangkan terkait dengan produk non-pangan saat ini telah
dikembangkan sebagai sumber pakan ternak, pupuk organik maupun asesoris.
Gambaran potensi pemanfaatan by product tulang dari seekor sapi seperti terlihat
pada Gambar 1.

Gambar 1. Peta potensi pemanfaatan tulang dari beberapa bagian pada


tubuh sapi
Tulang atau yang lazim disebut kerangka pada dasarnya adalah penopang
tubuh pada hewan vertebrata. Tanpa tulang ternak tidak mampu berdiri secara
tegak. Tulang pada ternak mulai terbentuk sejak ternak masih berada dalam
kandungan induknya dan berlangsung terus sampai dekade kedua dalam susunan
yang teratur.
Secara umum tulang yang dimiliki ternak memiliki kemiripan dengan tulang
yang dimiliki manusia (Junqueira et al., 1998). Bentuk dasar anatomis pada
tulang seperti pada Gambar 2. Berdasarkan komposisinya, tulang merupakan

jaringan ikat padat yang tersusun atas zat organik dan zat anorganik. Zat organik
pada tulang berada dalam bentuk matriks tulang berupa protein. Sebanyak 9096% dari protein yang menyusun tulang adalah kolagen tipe T. Kolagen tipe T
dan protein lainnya merupakan bagian kecil pada matriks. Zat anorganik yang
menyusun tulang berupa kristal hidroksapatit yait Ca 10(PO4)6(OH)2, Na+, Mg2+,
CO32- (karbonat) dan F- (fluorida).

Hidroksiapatit merupakan faktor yang

menentukan kekuatan tulang. Dari komposisi unsur kalsium yang ada pada tubuh,
maka sebanyak 99% ion Ca2+ terdapat pada tulang.

Komponen tulang selalu

berada dalam kondisi dynamic equilibrium atau lebih dikenal dengan istilah
peristiwa tukar ganti.

Gambar 2. Struktur anatomis pada tulang


Proses pembentukan tulang melibatkan proses osteoklas dan osteoblas.
Osteoklas adalah proses reabsorbsi tulang atau yang lazim disebut sebagai
demineralisasi sedangkan osteoblas merupakan proses sintesis matriks baru.
Salah satu permasalahan mendasar yang terjadi pada beberapa RPH (Rumah
Potong Hewan) di Indonesia adalah belum maksimalnya upaya pemanfaatan hasil
ikutan (by product) dari pemotongan ternak yang salah satunya adalah limbah
tulang. Semakin banyaknya peredaran sumber-sumber kolagen impor dengan
sumber bahan baku yang tidak jelas kehalalannya, menjadi salah satu
permasalahan bangsa yang menjadi sebuah prioritas untuk dicari solusinya secara
arif.
Tulang sapi secara struktural kaya dengan senyawa protein kolagen yang
terikat secara kuat dengan mineral kalsiumnya (Ockerman dan Hansen, 2000).
Senyawa kolagen yang terdapat pada tulang sapi memiliki kemiripan dalam hal
komposisi kimia, morfologi, distribusi, fungsi serta patologi dengan senyawa
kolagen pada manusia (Junqueira et al., 1998). Berdasarkan hal tersebut, maka

dapat dikatakan bahwa limbah tulang sapi berpotensi besar untuk dapat
ditingkatkan nilai ekonominya sebagai penyedia senyawa protein kolagen yang
halal dalam bentuk produk suplemen makanan.
Produk-produk makanan suplemen dan makanan kesehatan adalah dua
produk yang memiliki peluang usaha yang sangat prospektif untuk dikembangkan
seiring dengan semakin berkembangnya gaya hidup kembali ke alam (back to
nature) yang dimulai oleh semakin sadarnya masyarakat negara-negara maju.
Kecenderungan kuat untuk menggunakan pengobatan dengan bahan alam tidak
hanya berlaku di Indonesia, tetapi juga berlaku di banyak negara, karena diyakini
mempunyai efek samping yang lebih kecil dibandingkan obat-obat kimia modern.
Dengan demikian kebutuhan penduduk dunia terhadap obat-obatan alami sangat
tinggi, sekaligus merupakan peluang pasar yang baik bagi industry.
Sebagai salah satu contoh adalah RPH yang berada di Kelurahan
Tamangapa, Kecamatan Manggala, Kota Makassar.

Produksi limbah perhari

berupa tulang yang dihasilkan oleh RPH Tamangapa dapat dikatakan cukup
signifikan. Berdasarkan data yang ada, bahwa jumlah ternak sapi yang disembelih
di RPH Tamangapa dalam setiap harinya rata-rata mencapai 60 ekor dengan berat
badan rata-rata 100 kg (Anonim, 2011).

Dari jumlah ternak tersebut, bila

diasumsikan jumlah limbah tulang yang dihasilkan dari penyembelihan seekor


ternak misalnya sapi bisa mencapai 16,6% dari total berat badan hidup (Widayati
dan Suawa, 2007). Apabila kita mengacu pada jumlah tersebut, maka dalam
setiap bulannya RPH Tamangapa mampu menghasilkan limbah tulang sebesar 60
ekor x 100 kg x 16,6% x 30 hari = 29.880 kg atau ekuivalen dengan 29,9 ton.
Produksi limbah sebesar itu, apabila tidak dimanfaatkan secara maksimal,
dikhawatirkan berdampak bagi masyarakat dan lingkungan sekitar RPH.
Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dikatakan

bahwa limbah tulang sapi

memiliki potensi yang sangat besar untuk dapat dimanfaatkan dan ditingkatkan
nilai ekonominya sebagai penyedia senyawa protein kolagen yang bersifat halal
dalam bentuk produk supplemen makanan.

Dalam proses produksi ekstrak

kolagen, peranan jenis bahan pelarut memegang peranan yang sangat penting.
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis, diperoleh data

tentang

kuantitas dan komposisi kimia ekstrak kolagen dari bahan baku limbah tulang
belikat (os scapula) pada sapi Bali seperti pada Tabel 1.
Tabel 01. Kuantitas dan komposisi kimia ekstrak kolagen dari bahan
baku limbah tulang belikat (os scapula) sapi Bali dngan
menggunakan jenis bahan pelarut berbeda
No

Peubah

1.
2.
3.
4.

Rendemen (%)
Kadar Air (%)
pH
Kadar Protein Kasar
(%)
5.
Kadar Lemak Kasar
(%)
6.
Kadar BETN (%)
7.
Kadar Serat Kasar
(SK) (%)
8.
Kadar Bahan Kering
(%)
9.
Kadar Abu (%)
10.
Kadar Ca (%)
11.
Kadar P (%)
Sumber : Said dkk., (2012)

Air
(Aquadest)
4,31
6,71
4,39
69,43

Jenis Bahan Pelarut


Etanol
CH3COOH
60%
0,5 M
1,90
12,95
5,33
5,93
4,90
4,65
69,44
75,75

Ca(OH)2
0,5 M
5,84
6,47
4,98
85,52

3,54

2,50

2,79

3,20

89,17
1,10

98,99
0,41

95,27
0,64

95,33
0,46

93,29

94,67

94,07

93,53

15,10
4,06
0,67

4,01
1,09
0,44

16,09
3,73
1,10

16,14
5,25
0,20

Berdasarkan data pada Tabel 1, menunjukkan bahwa analisis kadar abu


menunjukkan bahwa kadar abu dari ekstrak kolagen yang menggunakan pelarut
air, asam (CH3COOH 0,5M) dan basa (Ca(OH)2 0,5M) tidak jauh berbeda yakni
berada pada kisaran 15,10-16,14%, sedangkan yang menggunakan pelarut etanol
nilai kadar abunya sangat rendah (4,01%). Hal tersebut dapat disebabkan oleh
karena etanol secara kimiawi merupakan pelarut organik, sehingga bahan
anorganik yang terkandung pada bahan baku tulang secara umum tidak mampu
dilarutkan sehingga kadar abu yang terdeteksi sangat rendah.
(Sudarmadji, 1997),

Menurut

abu merupakan residu anorganik dari hasil pembakaran

bahan-bahan organik Kadar abu menunjukkan besarnya jumlah mineral yang


terkandung dalam bahan pangan tersebut (Apriyantono et al., 1989). Terhadap
kadar Ca dan P, penggunaan bahan pelarut berbeda menunjukkan hasil yang
cukup bervariasi namun tidak signifikan. Kadar Ca bervariasi pada nilai 1-5%
dan P berada pada kisaran 0-1%.

Bahan Baku Tulang


Pencucian
ukuran 1-2 cm

Pengecilan ukuran (crushing)


)

Etanol 60% ; 2 x 2 jam ; rasio


1:1,5

Penghilangan lemak (degreasing)


)

H2SO4 0,5 M ; 48 jam ; rasio

Demineralisasi
Ossein
Netralisasi

Ca(OH )2 10% ; 24 jam ; rasio


1:1,5

Curing
Netralisasi

- 55-60oC (24 jam)


- 65-70oC (24 jam)
- rasio 1:1,5
Mesh 100 &
200
55-60oC ; 48 jam

Ekstraksi : (1) Air ; (2) Etanol 60% ;


(3) CH3COOH 0,5 M ; (4) Ca(OH)2
0,5 M
Filtrasi
Pengeringan

Ekstrak Kolagen
Gambar 3. Diagram alir proses produksi ekstrak kolagen (Said dkk., 2012)
Tepung tulang banyak digunakan sebagai pakan ternak/ikan terutama untuk
memenuhi kebutuhan mineral berupa kalsium dan fosfor. Tepung tulang yang
banyak digunakan sebagai bahan baku pakan ternak/ikan berasal dari tulangtulang
hasil pemotongan ternak dengan sedikit daging yang melekat. Tulang kemudian
dikeringkan dan digiling. Penggunaan tepung tulang sebagai bahan baku pakan
ternak disarankan hanya berkisar 2,5-10% dalam formula pakan, dimana bahan
baku ini hanya bersifat sebagai pendamping tepung ikan. Penggunakan tepung

tulang secara berlebihan tidak menguntungkan, karena penggunaan unsur kalsium


yang terlalu banyak justru akan menurunkan selera makan pada ternak/ikan.
Diagram alir proses produksi tepung tulang maupun gambaran fisik produk
tepung tulang seperti terlihat pada Gambar 4.
Tulang Segar

Pencucian

Pengeringan
(Sinar matahari atau oven suhu 80oC)

Pengecilan ukuran, 2-3 cm

Penggilingan dan pengayakan

Produk Tepung Tulang


Gambar 4. Diagram alir proses produksi tepung tulang
Berat tulang rata-rata 15% dari berat karkas dan bervariasi sesuai dengan
bangsa, makanan, dan umur. Pada hewan gemuk misalnya dapat mencapai 12%
berat karkas, sedangkan pada hewan kurus hanya berkisar 30%. Tulang pada
ternak kambing dan domba rata-rata sampai 20 sampai 30% berat karkas.
Tulang kira-kira mengandung 50% air dan 5% sumsum tulang. Sumsum
tulang terdiri dari lemak 96%. Senyawa glikosaminoglikan (G.A.G) merupakan
komponen

struktural

penting

dalam

penyusun

kartilago.

Senyawa

glikosaminoglikan tersusun atas rantai gula bercabang N-asetilgalaktosamin dan


asam glukuronat. Senyawa ini berfungsi untuk meningkatkan ketahanan tulang
terhadap tekanan. Senyawa glikosaminoglikan ini disintesis oleh sel-sel tulang
yang disebut osteoblast dan osteosit.

Tulang kering yang sudah diambil lemaknya terdiri atas bahan organik dan
garam-garam anorganik dengan perbandingan 1: 2. Kolagen pada tulang disebut
sebagai ossein yang merupakan salah satu penyusun

bahan organik.

Kadar

kolagen jumlahnya berkisar 33-36% dan apabila direbus akan menghasilkan


gelatin. Bahan organik terdiri dari atas unsur Ca (32,6%) ; unsur P (15,2%) dan
sejumlah kecil unsur Na, K, Mg maupun mineral Cu, Co, Fe, Mn, dan S.
Berdasarkan proses pembuatannya tepung tulang dapat dibagi menjadi tiga
kelompok yakni sebagai berikut :
Tepung tulang rebus.
Tepung tulang ini dibuat dengan merebus tulang sampai semua sisa jaringan
yang menempel terlepas hingga selanjutnya tulang dikeringkan dan digiling
menjadi tepung tulang
Tepung tulang kukus
Tepung tulang ini dibuat dengan mengukus tulang dibawah tekanan untuk
melepaskan sisa daging dan lemak.

Tulang selanjutnya dikeringkan dan

digiling hingga menjadi tepung tulang


Tepung tulang arang/abu.
Jenis tepung tulang ini dibuat dengan jalan membakar tulang agar menjadi
steril dan menghilangkan semua senyawa organik. Selanjutnya arang/abu dari
tulang tersebut digiling hingga konsistensinya menjadi tepung arang/abu
tulang.

Tulang merupakan salah satu by product ternak yang memungkinkan untuk


dimanfaatkan sebagai bahan baku pupuk organik. Pupuk dalam fungsinya sebagai
bahan penyedia zat hara bagi tanaman secara garis besar dibedakan dalam dua
golongan besar, yakni pupuk alam atau pupuk organik maupun pupuk buatan atau
anorganik atau yang lebih lazim dikenal dengan istilah pupuk kimia.
Pupuk alam atau pupuk organik diperoleh dari hewan maupun
tumbuhtumbuhan. Pupuk organik yang banyak dikenal misalnya dalam bentuk
pupuk kandang, kompos, guano, minyak ikan maupun tepung tulang. Pupuk

buatan atau pupuk anorganik sendiri merupakan senyawa kimia yang diproduksi
oleh pabrik. Bentuk dari pupuk ini berupa pupuk tunggal seperti urea, TSP, ZA,
dan KCl serta pupuk majemuk seperti NPK.
Tepung tulang kaya akan senyawa kalsium maupun fosfor yang sangat
dibutuhkan oleh tanaman. Unsur kalsium diperlukan oleh tanaman dalam jumlah
tak begitu banyak, tapi fungsinya sangat penting untuk merangsang pembentukan
bulu akar dan biji. Unsur ini juga berfungsi untuk menambah kekuatan batang,
akar, dan bunga pada tanaman. Kekurangan unsur kalsium akan mengakibatkan
pertumbuhan daun tidak sempurna, kuncup bunga mengering, yang biasanya
terjadi pada tanaman yang media tanamnya (tanah) terlalu asam. Pupuk organik
tepung tulang merupakan sumber kalsium yang sangat baik bagi tanaman yang
sekaligus dapat menetralkan kemasaman tanah.
Selain unsur kalsium, tepung tulang juga sangat kaya dengan unsur fosfor.
Unsur fosfor sangat membantu tanaman agar tumbuh dengan batang dan
perakaran yang kuat. Setelah tanaman tersebut dewasa, unsur ini selanjutnya
berperan membantu menghasilkan bunga dan buah yang sehat dan normal.
Kekurangan unsur ini akan mengakibatkan pertumbuhan tanaman menjadi
terhenti atau kerdil.

Daunnya mengecil hijau. Pupuk organik tepung tulang

merupakan sumber fosfor yang baik untuk tanaman.


Tepung tulang selain sebagai sumber kalsium dan fosfor untuk
pertumbuhan tanaman, unsur fosfor juga ternyata dapat menimbulkan masalah,
karena dapat menghambat terjadinya proses pembentukan dan perkembangan
Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) jika diberikan dengan takaran yang tinggi.
FMA berperan untuk meningkatkan pertumbuhan, hasil, dan mutu tanaman pakan
ternak. Berdasarkan hasil penelitian Nusantara dkk., (2011) disimpulkan bahwa
tepung tulang giling merupakan sumber hara yang sama baiknya dengan pupuk
buatan untuk meningkatkan bobot kering total tanaman dan kolonisasi FMA pada
akar tanaman P. Phaseoloides. Tepung tulang giling yang berukuran halus (<250
m) dengan bobot 25 mg diperlukan untuk meningkatkan pertumbuhan atau bobot
kering tanaman pakan ternak P. phaseoloides.

Tepung tulang giling dengan

ukuran halus (<250 m) sebanyak 40 mg atau berukuran kasar (>250 m) namun


dengan bobot yang lebih tinggi (>40 mg) dapat diaplikasikan untuk memproduksi
inokulan FMA G. Etunicatum.

Limbah tulang merupakan salah satu dari by product ternak yang sudah
banyak dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai bahan baku kerajinan. Produksi
limbah maupun sampah yang setiap harinya diproduksi oleh masyarakat, dapat
menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan sekitarnya.
Saat ini berbagai macam usaha telah dilakukan oleh pemerintah
bekerjasama dengan instansi swasta untuk menyelamatkan lingkungan dari
tumpukan limbah sampah yang dapat mengganggu kesehatan masyarakat yang
salah satu diantaranya adalah limbah RPH.
Program pemerintah untuk mengolah sampah maupun sebagian limbah,
ternyata dimanfaatkan sebagian masyarakat menjadi peluang usaha baru yang
bertujuan menyelamatkan lingkungan dari limbah. Dengan munculnya peluang
bisnis kreatif berupa daur ulang limbah, tentunya hal ini dapat mengurangi jumlah
limbah yang menumpuk serta memberikan keuntungan yang cukup besar bagi
pelaku bisnisnya.

Limbah organik berupa tulang yang dihasilkan, dengan

kreativitas dan inovasi dari para pelaku bisnis, limbah tersebut akhirnya dapat
didaur ulang dan dirubah menjadi produk baru yang memiliki nilai ekonomi lebih
tinggi. Limbah organik seperti tulang dari hasil pemotongan ternak dapat didaur
ulang dan diolah menjadi berbagai kerajinan unik.
Maraknya pencegahan pemanasan global yang dilakukan oleh berbagai
kalangan masyarakat baik nasional maupun internasional, mendorong masyarakat
Indonesia untuk ikut serta melakukan kegiatan cinta lingkungan. Berbagai jenis
limbah banyak dimanfaatkan oleh sebagian masyarakat yang kreatif menjadi
peluang bisnis yang menguntungkan.
Tulang rawan pada sapi merupakan jenis tulang yang dibentuk oleh sel-sel
tulang rawan (kondrosit) dan bahan dasar (matriks) yang merupakan campuran
protein dan karbohidrat yang disebut kondrin. Tulang rawan kaya akan senyawa
kolagen dan sedikit zat kapur sehingga konsistensinya menjadi lentur dan elastis.
Konsistensi ini akan memberikan rasa tersendiri pada masakan.
diversifikasi

produk olahan

Berbagai

berbahan baku tulang juga telah

banyak

dikembangkan oleh masyarakat seperti sop maupun kerupuk tulang.


Proses pembuatan kerupuk tulang masih tergolong sangat sederhana.
Proses dimulai dengan pembersihan tulang rawan dari lemak dan daging yang
menempel.

Tulang yang sudah dibersihkan kemudian dipotong

memanjang

menyerupai stik. Tulang rawan kemudian diberi bumbu dan bahan penyedap dan

selanjutnya digoreng hingga berwarna kecoklatan. Hasilnya kemudian dikemas


untuk selanjutnya dipasarkan.
B. PEMANFAATAN LIMBAH KOTORAN
1. Briket Kotoran Ternak
Briket sendiri adalah sumber energi alternatif pengganti Minyak Tanah dan
Elpiji dari bahan-bahan bekas, sampah maupun limbah-limbah pertanian yang
tidak terpakai dan diolah. Selain penghasil gas, bio, kotoran ternak juga dapat
menghasilkan briket kotoran ternak. Limbah peternakan dapat dimanfaatkan untuk
berbagai kebutuhan, apalagi limbah tersebut dapat diperbaharui (renewable)
selama ada ternak. Limbah ternak masih mengandung nutrisi atau zat padat yang
potensial untuk dimanfaatkan. Limbah ternak kaya akan nutrient (zat makanan)
seperti protein, lemak, bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN), vitamin, mineral,
mikroba atau biota, dan zat-zat yang lain (unidentified subtances). Limbah ternak
dapat dimanfaatkan untuk bahan makanan ternak, pupuk organik, energi dan
media berbahai tujuan (Sihombing, 2000).
-

Alat yang Digunakan untuk Pembuatan Briket


Penggunaan kotoran ternak sebagai bahan pembuatan briket tidak saja

sebagai merupakan cara pemanfaatan energi yang lebih baik tetapi juga dapat
mengurangi pencemaran lingkungan yang ditimbulkan oleh kotoran ternak. Alat
cetak briket manual memilki fungsi mencetak briket dari bahan oganik, seperti
kotoran Sapi baru , limbah pertanian yang mengandung karbon tinggi seperti:
sekam, serbuk gergaji, jerami, daun-daunan, serbuk arang, serbuk batubara, arang
biomasa, dan arang sekam. Sebagai bahan bakar rumah tangga di daerah pedesaan
dengan hasil cetakan berbentuk silinder (Zuhdi, 2011).
Screw conveyor yang ada di dalam alat pencetak briket modern berfungsi
untuk memindahkan material/adonan. Kemudian dilakukan pemotongan sehingga
menghasilkan suatu briket yang diharapkan (Gale, 1995). Pada suatu studi
dlakukan penelitian mengenai masalah perubahan struktur makromolekul
briket pada tungku pengepresan alat pembuatan briket, dan menyimpulkan bahwa
pengepresan baiknya dilakukan pada kemiringan 90C Ndaji dkk. (1997).

Alat pencetak briket sangat penting dam proses pembuatan briket. Pengaruh
terbesar terletak pada kepadatan dan stuktur briket. Struktur briket atau bentuk
dari briket dalam proses pencetakan berpengaruhnya terhadap pembakaran. (Liu
2000). Rancang bangun alat pencetak briket dengan skala ukuran 1:10. Bahanbahan yang digunakan adalah kayu. Rancang bangun alat pengering briket dengan
drum bekas. Tungku dirancangdengan menggunakan pengudaraannya lebih baik.
Bahan tungku adalah tanah liat (Herbawamurti, 2005).
Limbah peternakan dapat dimanfaatkan untuk berbagai kebutuhan, apalagi
limbah tersebut dapat diperbaharui (renewable) selama ada ternak. Limbah ternak
masih mengandung nutrisi atau zat padat yang potensial untuk dimanfaatkan.
Limbah ternak kaya akan nutrient (zat makanan) seperti protein, lemak, bahan
ekstrak tanpa nitrogen (BETN), vitamin, mineral, mikroba atau biota, dan zat-zat
yang lain (unidentified subtances). Limbah ternak dapat dimanfaatkan untuk
bahan makanan ternak, pupuk organik, energi dan media berbahai tujuan
(Sihombing, 2002).
Untuk mengatasi kelangkaan bahan bakar perlu dicari sumber energi
alternatif agar kebutuhan bahan bakar dapat dipenuhi tanpa merusak lingkungan.
Salah satu bahan bakar alternatif ini ternyata dapat dibuat dari kotoran ayam
broiler yang sudah bercampur dengan litter. Pemanfaatan limbah peternakan
(kotoran ternak) merupakan salah satu alternatif yang tepat untuk mengatasi
kelangkaan bahan bakar minyak. Limbah ternak merupakan sisa buangan dari
suatu kegiatan usaha peternakan seperti usaha pemeliharaan ternak, rumah potong
hewan, pengolahan produksi ternak dan lain lain. Limbah tersebut meliputi
limbah padat dan limbah cair seperti feses,urine,sisa makanan, embrio, kulit telur,
lemak, darah, bulu, kuku, tulang, tanduk, isi rumen, dan lain-lain. Dalam konteks
itu pemanfaatan kotoran ternak sebagai sumber energi (bahan bakar) merupakan
salah satu alternatif untuk mengurangi penggunaan minyak tanah dan kayu untuk
keperluan rumah tangga (Sofyadi, 2003).
Pemanfaatan kotoran ternak dapat dihasilkan 2 jenis bahan bakar yaitu
biogas dan briket. Di India dengan adanya tinja sapi sebanyak 5 kg perekor dan

kerbau 15 kg perekor, oleh pemerintah India disarankan untuk dihasilkannya dung


cake (briket) secara massal sebagai sumber energi (Nurtjahya, 2003).
1. Kemampuan Menangani Kotoran dan Alas Kandang
a. Kotoran dan Alas Kandang
Kotoran dan alas kandang merupakan limbah dari kegiatan budidaya ternak
ayam pedaging. Kotoran kandang berupa tinja ayam, pakan yang tercecer /
tumpah. Peternak menggunakan alas kandang yang dikenal dengan istilah litter.
Tujuan pemberian litter adalah menyerap air yang tumpah atau dari tinja ayam
yang basah dan mengurangi kontak ayam dengan kotoran (Anonim, 2007).
Manajemen litter pada ayam pedaging adalah salah satu faktor penting yang
harus diperhatikan, karena selama hidupnya ayam berada di atas litter yang
bercampur dengan kotoran.
Sebagian besar peternak menggunakan sekam sebagai alas kandang. Adapun
beberapa jenis bahan yang dapat digunakan sebagai alas kandang lainnya adalah:
jerami yang telah dipotong kecil, serutan kayu (Fadilah, 2005).,Para ahli
menyarankan ketebalan litter 7-10 cm, tergantung kondisi lingkungan dan musim.
Biasanya jika ketebalan litter kurang dari 7 cm sering mengakibatkan alas
kandang mudah menggumpal sehingga banyak waktu yang dibutuhkan untuk
membuang gumpalan tersebut. Jika tidak segera dibuang kondisi tersebut bisa
mempunyai efek negatif yang besar pada performance, kesehatan dan dalam
budidaya (Anonim, 2007).

Gambar 5. Litter alas kandang ayam

Pada akhir pemeliharaan ayam pedaging, biomassa litter bertambah banyak


karena bercampur dengan tinja dan sisa pakan yang tumpah. Selama pemeliharaan
ayam pedaging setiap ekor ayam menghasilkan kotoran dan alas kandang 1,75
kg. Dengan populasi ayam yang ada di di Kabupaten Klaten pada tahun 2007
sebanyak 250 ribu ayam pedaging / bulan maka dalam satu tahun populasi ayam
menjadi 3.000.000 ekor sehingga jumlah kotoran dan alas kadang yang dihasilkan
5,25 juta kg (Djuriono, 2008).
Kotoran dan alas kandang umumnya dijual dengan harga 750 rupiah per
karung ( setara 25 kg). Pada musim hujan bahan tersebut sering tidak laku dijual
sehingga banyak peternak yang mengambil jalan pintas untuk mengeluarkan
kotoran kandangnya dengan cara membuang di sembarang tempat atau dibakar.
2. Menangani Kotoran dan Alas Kandang
SMK Negeri 1 Trucuk tahun 2006 disebutkan bahwa Standar Kompetensi
Melakukan Penanganan Kotoran dan Alas Kandang terdapat tiga kompetensi
dasar yaitu : (1) Mempersiapkan kan peralatan, (2) Melakukan penanganan
kotoran dan alas kandang, (3) Melakukan pemeriksaan.
Di dalam silabus kejuruan, dijelaskan bahwa indikator dari kompetensi
dasar mempersiapkan peralatan meliputi :
1) Peralatan yang digunakan untuk kerja diidentifikasi;
2) Peralatan yang telah diidentifikasi dipersiapkan sesuai jumlah dan posisi yang
memungkinkan kerja secara efisien;
3) Peralatan diperiksa fungsinya, dan apabila terjadi ketidak normalan fungsi
dilaporkan, serta apabila mungkin dilakukan perbaikan seperlunya;
4) Kemungkinan bahaya kerja diidentifikasi dan dimungkinkan untuk dicari
teknik yang lebih aman.
Indikator dari kompetensi dasar melakukan penanganan kotoran dan alas
kandang meliputi :
1) Pengumpulan kotoran dilakukan sesuai dengan prosedur; Kotoran atau alas
kandang ditempatkan pada tempat yang telah disediakan;
2) Kotoran dimasukkan dalam alat angkut sesuai dengan prosedur yang telah
ditetapkan;

3) Kotoran dan alas kandang dibuang dengan mem-perhatikan kenyamanan


lingkungan.
Indikator dari kompetensi dasar melakukan pemeriksaan meliputi:
1) Lembar isian pekerjaan diisi dan dilaporkan kepada atasan untuk tujuan
pemeriksaan pekerjaan;
2) Beberapa penyimpangan didiskusikan dengan tim kerja dan dilaporkan kepada
atasan.
Di dalam Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI)
dijelaskan bahwa penerapan kesehatan dan keselamatan kerja (K3) pada standar
kompetensi menangani kotoran dan alas kandang adalah:
1) Sistem dan prosedur untuk melindungi bahaya gas dan debu organik;
2) Sistem dan prosedur penanganan keamanan secara manual;
3) Seleksi penggunaan dan peralatan pakaian serta peralatan pelindung yang
sesuai;
4) Sistem dan prosedur keamanan untuk mencegah bahaya kerja di kandang;
5) Berat beban peralatan dan muatannya tidak boleh melebihi standar K3
Peralatan keamanan yang sesuai dalam menangani kotoran dan alas kandang
meliputi: sepatu boot, topi, overall, sarung tangan, kaca mata pelindung,
pelindung rambut, masker dan sistem pelindung terhadap gas organik.
Informasi yang harus dicatat ketika melakukan kegiatan menangani kotoran
dan alas kandang antara lain:
a. Kondisi kotoran atau alas kandang; tanggal, waktu, temperatur , kelembaban,
kecepatan angin dan periode kegiatan dalam kandang;
b. Keberadaan unggas mati yang tertinggal;
c. Keberadaan telur yang pecah pada alas kandang;
d. Keberadan pakan dan air minum yang tercecer/tumpah
Situasi yang harus diamati ketika melakukan kegiatan penanganan kotoran
dan alas kandang adalah kondisi kotoran atau alas kandang yang mengganggu
kesehatan unggas, misalnya: bau yang menyengat karena kandungan amoniak
yang tinggi, suhu dan kelembaban kandang yang terlalu tinggi.

Sejumlah peralatan diperlukan dalam menangani kotoran dan alas kandang.


Perlalatan itu digunakan untuk membersihkan dan menjaga higienis kandang,
mengangkut kotoran dan mengelola limbah.
3. Kemampuan Menangani Kotoran dan Alas Kandang
Kompetensi dalam menangani kotoran dan alas kandang membutuhkan
pengujian yang berpatokan bahwa kebersihan dan higienies kandang berpengaruh
terhadap efisiensi produksi unggas dan kesehatan kerja (Dimenjur, 2004).
Pengetahuan dan ketrampilan unit kompetensi ini harus dapat ditransfer kepada
siswa. Adapun pengetahuan yang diperlukan meliputi:
1) Sifat-sifat alas kandang yang baik dan yang harus sudah diganti.
2) Karakteristik alas kandang atau kotoran pada unggas yang sehat dan sakit.
3) Pengaruh kondisi alas kandang dengan kesehatan unggas.
4) Usaha untuk memaksimalkan higienis dan kenyamanan unggas.
5) Pengawasan lingkungan dan tata cara aplikasi praktis perusahaan.
6) Bahaya gas yang ditimbulkan oleh alas kandang dan debu organik.
7) Upaya untuk mengurangi bahaya K3.
8) Prosedur yang berhubungan dengan manajemen limbah dan lingkungan,
kesehatan serta kenyamanan unggas.
Sedangkan ketrampilan yang diperlukan meliputi:
a. Mengenali dengan mudah kotoran unggas sehat dan sakit
b. Mengamati dan mengenali serta menginterpretasikan kondisi kandang yang
sehat
c. Mengenali dengan mudah alas kandang yang sudah waktunya diganti
d. Melaksanakan kegiatan pengumpulan kotoran dan alas kandang serta
melakukan pembuangan sesuai dengan prosedur perusahaan
e. Mengamati, mengidentifikasi, dan peka terhadap keadaan lingkungan
f. Memonitor dan mencatat suhu, waktu, kelembaban dan kondisi kandang
2. Teknologi Briket Arang
Teknologi briket arang artinya teknik yang digunakan untuk mencetak arang
menjadi padat dan dalam bentuk tertentu agar mudah dikemas dan nyaman
digunakan jika dibandingkan dengan menggunakannya

secara langsung

(Djuriono, 2008). Teknologi briket telah berkembang dan telah dikenal oleh
masyarakat terutama kalangan industri.
Pada bulan Juli tahun 2008, Program Keahlian Unggas SMK N 1 Trucuk
telah menghasilkan cara mengolah kotoran dan litter (alas kandang) menjadi
bahan bakar

Hasilnya menunjukkan bahwa bahan bakar dengan bahan baku

litter bekas kotoran kandang ayam (LBKKA) cukup prospektif sebagai pengganti
briket batubara, LPG (berkaitan dengan penghangat anak ayam) dan minyak tanah
(Djuriono, 2008).
Proses pengolahan LBKKA menjadi briket arang melalui beberapa tahap
sebagaimana tampak pada Gambar 2. Kegiatan diawali dari pengumpulan kotoran
dan alas kandang. Bahan ini diperoleh dari kandang ayam pedaging yang baru
saja dipanen.

Gambar 6. Pembuatan Briket


Setelah bahan terkumpul, maka dilanjutkan pembuatan arang

dengan

menggunakan cerobong. Alat ini terdiri dari ruang bakar yang terbuat dari kaleng
dan pipa cerobong yang terbuat dari seng.

Gambar 7. Cerobong Bahan LBKKA


Ruang bakar cerobong diberi bara api, selanjutnya LBKKA dicurahkan di
sekitar cerobong

Gambar 8. Pembuatan Arang LBKKA Dengan Cerobong


Api dalam cerobong akan menyala dan merambat membakar LBKKA di
sekitarnya.

Pembakaran berlangsung tanpa menimbulkan api sehingga akan

terbentuk arang. Cara ini membutuhkan waktu 3 jam untuk menghasilkan arang.
Hasil pembakaran adalah arang LBKKA Pembuatan arang LBKKA dengan
menggunakan cerobong cukup efisien dengan kapasitas pembakaran mencapai
15kg/jam.
Langkah selajutnya adalah menghancurkan arang menjadi serbuk/tepung
yang halus. Alat yang digunakan untuk menggerus/ menumbuk adalah berupa
gilingan tepung yang berteagakan mesin atau alat penumbuk sederhana berupa
penumbuk (misaal lesung dan alu penumbuk beras). Arang yang telah dihaluskan
kemudian disaring dengan saringan yang lembut. Pada pembuatan briket arang
dibutuhkan bahan perekat supaya tidak mudah hancur. Bahan perekat yang biasa
digunakan dapat berupa: lumpur tanah, pati dari ubi kayu (aci) dan tetes. Untuk
menghasilkan briket arang yang kualitasnya baik bagi industri rumah tangga

dengan tekanan tekannya > 50kg/cm3 dan komposisi adonan arang 88%, serbuk
molase 12 % dari jumlah (Djuriono, 2008).
Briket sebanyak 1 kg dengan campuran aci /tetes 12% ketika dibakar dapat
bertahan selama 2 jam. Makin banyak persentase perekat pada briket arang, makin
kuat tekstur briket sehingga lebih tahan pecah, tetapi biaya pembuatannya lebih
mahal. Berbagai macam alat pencetak briket telah dikembangkan mulai dari
peralatan yang sederhana sampai dengan peralatan yang menggunakan teknologi
tinggi. Contoh alat yang digunakan untuk mencetak briket antara lain : Pencetak
Briket Sederhana; Mesin Pencetak Briket Model Pegas; Mesin Briket SemiMotorik; Mesin Pencencetak Briket Vertikal; Mesin Pencetak Briket Horisontal.
a. Pencetak briket Sederhana
Pencetak briket Sederhana terdiri dari: Bantalan, penumbuk, pencetak dan
penekan.

Gambar 9. Pencetak Briket Sederhana

Gambar 10. Skema Penggunaan Pencetak Briket Sederhana


Langkah 1: Alat pencetak diletakkan di atas bantalan, kemudian adonan arang
dimasukkan ke dalamnya.
Langkah 2: Mengisi besi pencetak denngan adonan arang sampai 2 cm di atas
permukaannya.
Langkah 3: Adonan dipadatkan dengan besi penumbuk.
Langkah 4: Meratakan dan merapikan adonan hingga rata dengan alat pencetak.
Langkah 5: Menyiapkan alat penekan briket
Langkah 6: Pencetak diletakkan tepat di atas penekan briket .
Langkah 7: Penekan briket ditekan penuh dengan tangan.
Langkah 8: Briket keluar dari lubang pencetak.
Langkah 9: Briket diambil dan siap dijemur/dikeringkan
a. Mesin Pencetak Briket Model Pegas

Alat ini terdiri dari: (1) Tuas Penekan, (2) Pegas Pengendali, (3) Poros
Penekan (4) Penekan Briket (5) Pencetak Briket, (6) Rumah Penekan dan (7)
Landasan.

Gambar 11. Mesin Briket Model Pegas


Cara pemakaian mesin pencetak model pegas adalah sebagai berikut :
1) Tempatkan alat pencetak briket pada landasan yang rata, misalnya lantai yang
rata, plat seng dan lain-lain seperti gambar di atas.
2) Stel dengan memutar baut penyetel lubang pencetak sehingga diameternya
sesuai/pas dengan penekan.
3) Isi lubang pencetak dengan campuran briket bionergi sampai penuh
4) Tekan tangkai penekan sampai mentok (tidak bisa ditekan lagi)
5) Lepas tangka penekan sehingga

ujung poros pelubang sumuran

diatas

pencetak
6) Angkat unit mesin pencetak dengan mengangkat stand/dudukan
7) Kendorkan pencetak dengan memutar baut pemutar
8) Angkat pelan-pelan pencetaknya sehingga lepas dari briket bioenerginya
9) Lepas batang pelubang ventilasi.
10) Jemur briketnya sampai kering.
b. Mesin Briket Semi Motorik
Kapasitas produksi 250 kg/hari; satu unit mesin terdiri dari mesin
penggerus, pencampur dan pencetak. Pada mesin penggerus digerakkan ole
motor 1 PK, sedangkan mesin pencampur dan mesin pencetak sepenuhnya
dengan menggunakan tenaga manusia.

Gambar 12. Mesin Briket dengan Teknologi Sedang


c. Mesin Pencetak Briket Vertical

Gambar 13. Mesin Pencetak Briket Vertikal


Mesin ini dirancang untuk dapat mencetak dan menghasilkan Briket dari
bahan baku serbuk arang. Adapun spesifikasi dari alat tersebut adalah sebagai
berikut:
Kapasitas Produksi: s.d 1.000 briket/jam
Penggerak Mula: Motor listrik 1,5 HP
Muatan: Campuran Serbuk Arang dan binder
Ukuran Briket: diamter 5 cm tebal 3 cm
Dimensi: Panjang = 60cm; Lebar = 50cm; Tinggi = 63cm
Berat: ~ 60 kg
d. Mesin Pencetak Briket Vertical

Gambar 14. Mesin Pencetak Briket Horozontal


Mesin ini dirancang untuk dapat mencetak dan menghasilkan Briket dari
bahan baku serbuk arang. Adapun spesifikasi dari alat tersebut adalah sebagai
berikut:
Kapasitas Produksi: s.d 1.000 briket/jam.
Penggerak Mula: Motor listrik 1,5 HP.
Muatan: Campuran Serbuk Arang dan binder.
Ukuran Briket: diamter 5 cm tebal 3 cm
Dimensi: Panjang = 100cm; Lebar = 50cm; Tinggi = 63cm
Berat: ~ 70 kg
3. Penggunaan Teknologi Briket Arang dalam Pembelajaran Menangani Kotoran
dan Alas Kandang.
Menangani kotoran dan alas kandang adalah kompetensi yang sangat erat
kaitannya dengan kompetensi membesarkan unggas. Pendekatan pembelajaran
yang dipakai adalah pembelajaran berbasis kompetensi. Pembelajaran berbasis
kompetensi adalah suatu proses pembelajaran yang perencanaan, pelaksanaan dan
penilainnya benar-benar mengacu kepada penguasaan kompetensi oleh peserta
(Anonim, 1999). Pendekatan pembelajaran berbasis kompetensi dimaksudkan
agar segala upaya yang dilakukan dalam proses pembelajaran benar-benar
mengacu dan mengarahkan peserta untuk mencapai penguasaan kompetensi
tertentu.

Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan pembelajaran


berbasis kompetensi, antara lain:
a. Fokus kegiatan pembelajaran adalah penguasaan kompetensi oleh peserta
b. Kondisi proses belajar peserta untuk menguasai kompetensi, harus memiliki
kesepadanan dengan kondisi dimana kompetensi tersebut akan digunakan
c. Aktifitas belajar peserta bersifat perseorangan. Antara satu peserta dengan
peserta lainnya tidak ada ketergantungan.

Jadi peserta tidak diperlakukan

secara klasikal.
d. Harus tersedia program pengayaan bagi peserta yang lebih cepat dan program
perbaikan bagi peserta yang lamban, sehingga perbedaan irama perkembangan
belajar setiap peserta dapat dilayani.
Alokasi waktu 40 jam sesuai dengan tuntutan yang ada pada silabus
kejuruan KTSP Program Keahlian Budidaya Ternak Unggas masih dimungkinkan
untuk diisi dengan kegiatan pembelajaran yang bersifat

meningkatkan

kemampuan siswa yang berkaitan erat dengan pengolahan kotoran dan alas
kandang. Kemampuan yang dapat ditambahkan adalah mengolah kotoran dan alas
kandang menjadi arang briket. Kemampuan tersebut akan menjadikan siswa
mampu mengolah bahan yang sebelumnya hanya dibuang/dijual, menjadi barang
yang bermanfaat dan mempunyai nilai jual tinggi. Disamping itu dengan
kemampuan siswa dalam mengolah kotoran dan alas kandang menjadi arang
briket, maka siswa juga mampu berperan dalam mencegah pencemaran
lingkungan dan penyebaran penyakit, serta turut membantu pemerintah dalam
penyediaan bahan bakar yang murah dan terbarukan (renewable).
Tuntutan yang harus dipenuhi oleh guru agar dapat menghantarkan siswa
mengolah kotoran dan alas kandang menjadi briket arang adalah memanfaatkan
teknologi briket arang dalam pembelajarannya. Pembelajarannya didesain agar
siswa tertarik terhadap materi tersebut.
Motivasi dapat ditumbuhkan melalui penyadaran akan bahaya-bahaya yang
timbul akibat kotoran jika tidak segera dikelola; Nilai ekonomis kotoran jika
dibandingkan dengan nilai briket arang; Mudahnya cara membuat briket, Peluang
pasar briket arang. Seorang siswa dikatakan mampu mengolah kotoran dan alas
kandang menjadi briket apabila menguasai cara pembuatan arang dari kotoran dan

alas kandang. Selanjutnya ia juga harus menguasai cara mengolah arang menjadi
briket.
2. Pemanfaatan untuk Pupuk Organik
Pemanfaatan limbah usaha peternakan terutama kotoran ternak sebagai
pupuk organik dapat dilakukan melalui pemanfaatan kotoran tersebut sebagai
pupuk organik. Penggunaan pupuk kandang (manure) selain dapat meningkatkan
unsur hara pada tanah juga dapat meningkatkan aktivitas mikrobiologi tanah dan
memperbaiki struktur tanah tersebut. Kandungan Nitrogen, Posphat, dan Kalium
sebagai unsur makro yang diperlukan tanaman (Hidayati, 2006).
Pemanfaatan kotoran ternak sebagai sumber pupuk organik sangat
mendukung usaha pertanian. Kotoran ternak yang dihasilkan di daerah sentra
produksi ternak dalam jumlah yang banyak belum dimanfaatkan secara optimal,
sebagian diantaranya terbuang begitu saja, sehingga sering merusak lingkungan
akibat menghasilkan bau yang tidak sedap.

Gambar 15. Pembuatan pupuk organik dari kotorn ternak


Kompos merupakan pupuk organik yang berasal dari sisa tanaman dan
kotoran hewan yang telah mengalami proses dekomposisi atau pelapukan.
Kompos

yang

berbahan

kotoran

sapi

mempunyai

beberapa

kelebihan

dibandingkan dengan pupuk anorganik. Selain itu, kompos juga mempunyai


prospek dan peluang yang besar untuk dipasarkan secara lebih meluas untuk
mengurangi ketergantungan petani terhadap pemakaian pupuk kimia. Penyediaan
kompos organik yang berkelanjutan dan praktis dapat mempermudah petani untuk
memanfaatkanya sebagai penyubur tanah dan tanaman pertanian. Limbah kotoran
ternak (pupuk kandang) tidak hanya menghasilkan unsur hara mikro, pupuk

kandang juga menghasilkan sejumlah unsur hara mikro, seperti Fe, Zn, Bo, Mn,
Cu, dan Mo. Jadi dapat dikatakan bahwa, pupuk kandang ini dapat dianggap
sebagai pupuk alternatif untuk mempertahankan produksi tanaman. Pupuk organik
dalam penggunaanya dapat mengurangi tingkat pencemaran tanah, air dan
lingkungan (Santosa et al, 2009).
3. Pemanfaatan untuk Biogas
Permasalahan limbah ternak, khususnya manure dapat diatasi dengan
memanfaatkan menjadi bahan yang memiliki nilai yang lebih tinggi. Salah satu
bentuk pengolahan yang dapat dilakukan adalah menggunakan limbah tersebut
sebagai bahan masukan untuk menghasilkan bahan bakar biogas. Kotoran ternak
ruminansia sangat baik untuk digunakan sebagai bahan dasar pembuatan biogas.
Biogas adalah salah satu sumber energi terbarukan yang bisa menjawab
kebutuhan akan energi sekaligus dapat menyediakan kebutuhan hara tanah
dalamsuatu sistem pertanian yang berkelanjutan. Pemanfaatan kotoran ternak
menjadi biogas mendukung penerapan konsep zero waste sehingga pertanian
yang berkelanjutan dan ramah lingkungan dapat dicapai (Widodo et al, 2006).
Biogas di perdesaan dapat digunakan untuk keperluan penerangan dan
memasak sehingga dapat mengurangi ketergantungan kepada minyak tanah
ataupun listrik dan kayu bakar. Bahkan jika dimodifikasi dengan peralatan yang
memadai, biogas juga dapat untuk menggerakkan mesin. Biogas merupakan
renewable energy yang dapat dijadikan bahan bakar alternatif untuk menggantikan
bahan bakar yang berasal dari fosil seperti minyak tanah dan gas alam.
Akhir-akhir ini diversifikasi penggunaan energi menjadi isu yang sangat penting
karena berkurangnya sumber bahan baku minyak. Pemanfaatan limbah pertanian
untuk memproduksi biogas dapat memperkecil konsumsi sumber energi komersial
seperti minyak tanah dan penggunaan kayu bakar. Biogas dihasilkan oleh proses
pemecahan bahan limbah organik yang melibatkan aktivitas bakteri anaerob
dalam kondisi anaerobik dalam suatu digester (Kementerian Pertanian, 2006).

Gambar 16. Ilustrasi kerja pembuatan biogas


Biogas dapat dibakar seperti elpiji, dalam skala besar biogas dapat
digunakan sebagai pembangkit energi listrik, sehingga dapat dijadikan sumber
energi alternatif yang ramah lingkungan dan terbarukan. Sumber energi biogas
yang utama adalah kotoran ternak sapi, kerbau, dan kuda. Dalam aplikasinya,
biogas digunakan sebagai gas alternatif untuk memanaskan dan menghasilkan
energi listrik sangat tergantung dari jumlah gas metana. Setiap 1 m3 metana setara
dengan 10 kwh. Nilai ini setara dengan 0.6 fuel oil. Sebagai pembangkit tenaga
listrik, energi yang dihasilkan oleh biogas setara dengan 60-100 watt lampu
selama enam jam penerangan.
Menurut Santi (2006), beberapa keuntungan penggunaan kotoran ternak
sebagai penghasil biogas sebagai berikut :
1)

Mengurangi pencemaran lingkungan terhadap air dan tanah, pencemaran


udara.

2)

Memanfaatkan limbah ternak tersebut sebagai bahan bakar biogas yang


dapat digunakan sebagai energi alternatif untuk keperluan rumah tangga.

3)

Mengurangi biaya pengeluaran peternak untuk kebutuhan energi bagi


kegiatan rumah tangga yang berarti dapat meningkatkan kesejahteraan
peternak.

4)

Melaksanakan pengkajian terhadap kemungkinan dimanfaatkannya biogas


untuk menjadi energi listrik untuk diterapkan di lokasi yang masih belum
memiliki akses listrik.

5)

Melaksanakan

pengkajian

terhadap

kemungkinan

dimanfaatkannya

kegiatan ini sebagai usulan untuk mekanisme pembangunan bersih (Clean


Development Mechanism).
C. PEMANFAATAN LIMBAH KULIT
1. Pemanfaatan Limbah Cangkang Telur
Seiring dengan semakin meningkatnya dikonsumsi telur oleh masyarakat,
maka limbah dari telur berupa cangkang telur tentunya juga akan semakin
meningkat. Limbah cangkang telur yang ada bukan hanya berasal dari sisa telur
yang dikonsumsi manusia, namun juga dapat berasal dari limbah sisa penetasan
pada industri-industri pembibitan (hatchery). Dari hasil sisa penetasan, limbah
yang dihasilkan bukan hanya dalam bentuk cangkang telur, namun juga dapat
berbentuk embrio ayam yang sudah dalam keadaan mati seperti terlihat pada
Gambar 1.
(www.infodunia-4u.blogspot.com)

(www.gulalima.blogspot.com)

Gambar 17. Limbah kulit telur dan sisa penetasan merupakan by product
ternak unggas yang belum termanfaatkan secara maksimal
Sampai saat ini pemanfaatan limbah berupa cangkang telur dan embrio
ayam belum menunjukkan hasil yang maksimal. Namun demikian tidak dapat
dipungkiri bahwa limbah ini ternyata masih memiliki nilai ekonomi yang tinggi
apabila dapat dikelola dengan baik. Untuk menghasilkan produk yang bernilai
ekonomi dari limbah ini, tentunya masih dibutuhkan sejumlah sentuhan
teknologi yang lebih kreatif lagi.
Cangkang telur adalah bagian terluar dari telur yang berfungsi memberi
perlindungan bagi komponen-komponen isi telur dari kerusakan, baik secara fisik,
kimia maupun mikrobiologis. Sisa penetasan yang dimaksud disini adalah segala
limbah yang dihasilkan dari industri penetasan seperti telur yang tidak menetas

(steril), cangkang telur dari anak ayam yang sudah menetas maupun cangkang
telur yang di dalamnya masih mengandung embrio yang sudah mati.
Komposisi cangkang telur secara umum terdiri atas : air (1,6%) dan bahan
kering (98,4%).

Dari total bahan kering yang ada, dalam cangkang telur

terkandung unsur mineral (95,1%) dan protein (3,3%). Berdasarkan komposisi


mineral yang ada, maka cangkang telur tersusun atas kristal CaCO 3 (98,43%) ;
MgCO3 (0,84%) dan

Ca3(PO4)2 (0,75%) (Yuwanta, 2010).

Beberapa jenis

mineral penting yang menyusun cangkang telur seperti pada Tabel 1.


Tabel 02. Berat absolut dan relatif dari mineral penyusun cangkang telur
Mineral
Kalsium (Ca)
Magnesium (Mg)
Fosfor (P)
Karbonat (CO3)
Mangan (Mn)

% dari berat total


37,30
0,38
0,35
58,00
7

g/berat total
2,30
0,02
0,02
3,50
ppm

Sumber : Yuwanta (2010)


Potensi limbah hasil penetasan dapat dianggap sangat menjanjikan. Jika
berat cangkang telur kira-kira 4-5% dari berat telur, maka dari setiap 1000 telur
(+60.000 g) dapat diperoleh kira-kira 2.400-3.000 g cangkang telur. Apabila
ditambah dengan telur yang tidak menetas (steril),

maka tentunya potensi

ekonomi limbah ini akan sangat menjanjikan.


Selama ini potensi limbah cangkang telur di Indonesia cukup besar, namun
potensi tersebut hingga saat ini belum sepenuhnya dimanfaatkan secara optimal
khususnya sebagai pakan unggas.

Pemanfaatan cangkang telur masih lebih

dominan sebagai bahan baku untuk membuat kerajinan hias. Masih kurangnya
upaya masyarakat untuk memanfaatkan limbah ini, disebabkan karena sejauh ini
limbah tersebut sangat mudah terkontaminasi oleh mikroorganisme. Selain itu
tingkat kecernaan mineral kalsium yang terkandung di dalamnya tergolong masih

sangat rendah. Disamping itu pula, cangkang telur tersebut masih sangat sulit
didegradasi oleh mikroorganisme sehingga memungkinkan dapat menjadi bahan
pencemar bagi lingkungan.

Aplikasi limbah penetasan yang memungkinkan memiliki potensi ekonomi


yang sangat besar adalah sebagai bahan baku pakan ternak maupun pakan ikan
(Gambar 102). Hal ini tidak dapat dipungkiri lagi bahwa kebutuhan biaya pakan
bagi suatu usaha peternakan menempati proporsi 70-80%.

Oleh karena itu

melalui upaya pemanfaatan limbah yang dilakukan secara maksimal, maka


setidaknya biaya pakan dapat ditekan.
Dari aspek ekonomi, limbah cangkang telur sebenarnya menyimpan potensi
yang sangat besar. Sebagai suatu ilustrasi dapat digambarkan bahwa produksi
telur ayam ras secara nasional pada tahun 2010 mencapai 945.635 ton (Anonim,
2011). Diasumsikan berat cangkang telur sebesar 9,5% dari berat telur, sehingga
potensi kerabang yang ada mencapai 9,5% x 945.635 ton = 89.835.4 ton atau
ekuivalen dengan 89.835.400 kg.

Berdasarkan komposisi kerabang, berarti

potensi unsur kalsium (Ca) mencapai (37,30% x 89.835.400 = 33.508.604.2 kg),


unsur magnesium (Mg) (0,38% x 89.835.400 = 341.374.52 kg), unsur fosfor
(0,35% x 89.835.400 = 314.423.9 kg) dan karbonat (CO 3)(58% x 89.835.400 =
52.104.532 kg).
Diasumsikan biaya untuk memproduksi tepung cangkang telur (untuk 100
kg) sebesar Rp.100.000, sehingga biaya pembuatan tepung cangkang telur dalam
setiap kilogram adalah sebesar Rp. 1.000.

Sebagai perbandingan biaya

penggunaan sumber mineral lain yang sering digunakan yakni tepung kerang
seharga Rp3.000/kg (terdapat selisih Rp sekitar Rp.2.000/kg atau Rp.2/g).
Apabila diasumsikan jumlah rata-rata konsumsi pakan ayam ras petelur sebesar
110 g/ekor/hari, dimana dari jumlah tersebut penggunaan tepung kerabang
mencapai 3,3 g (3% dari total pakan), maka untuk pemeliharaan ayam ras petelur
dengan populasi 10.000 ekor, biaya perhari yang dapat dihemat dari penggunaan
tepung kerabang mencapai (10.000 ekor x 3,3 g x Rp.2, = Rp. 66.000) atau
perbulan sebesar (Rp. 66.000 x 30 hari = Rp.1.980.000).
Kandungan kalsium dan fosfor yang terdapat dalam limbah cangkang telur
dapat pula dimanfaatkan untuk memperbaiki fertilitas pada ternak unggas.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Budi dkk., (2008), bahwa
pemberian tepung cangkang telur dalam ransum berpengaruh nyata terhadap

tingkat fertilitas pada burung puyuh, namun tidak berpengaruh terhadap daya tetas
dan mortalitas. Pengaruh ini muncul dapat disebabkan karena tingginya unsur
kalsium dan fosfor yang terdapat dalam cangkang telur. Fertilisasi dapat terjadi
karena adanya pembuahan sel telur pada betina dan pembuahan akan terjadi
melalui perkawinan yang dilakukan oleh induk jantan, dan induk jantan harus
memiliki tulang cukup kuat untuk melakukan perkawinan agar saluran papilla
dapat masuk dengan sempurna ke dalam kloaka menuju vagina sehingga proses
fertilisasi dapat tercapai. Hasil penelitian merekomendasikan penggunaan tepung
cangkang telur bisa mencapai 6% dalam ransum ternak puyuh.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Santoso (1987),
dilaporkan bahwa tepung dari limbah penetasan cukup baik pengaruhnya terhadap
pertumbuhan babi. Selanjutnya Santoso (1987) dalam penelitiannya melaporkan
pula, bahwa hasil penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh Pond dan
maners tahun 1974 serta Tamhave dan Hoffman tahun 1945 menunjukkan bahwa,
dari 100 kg telur sisa penetasan, mampu menggantikan 10,9 kg tepung daging;
5,4 kg tepung alfalfa sedangkan 100 kg tepung anak ayam dapat menggantikan
21,4 kg tepung daging.
Dalam mengolah limbah cangkang telur menjadi produk bahan pakan yang
memiliki nilai nutrisi yang cukup, maka perbaikan metode pengolahan menjadi
syarat mutlak.
Metode pengolahan yang dapat dilakukan

dalam prosesing limbah

cangkang telur tersebut antara lain : (1) perendaman cangkang telur dengan air
panas 80C selama 15-30 menit, (2) pembersihan dan pengeringan, (3)
perendaman dalam asam fosfat dengan beberapa konsentrasi dan (4) proses
penepungan.

Limbah cangkang telur yang telah menjadi tepung, kemudian

dicampur dengan bahan baku pakan lain seperti jagung giling, bekatul, bungkil
kedelai dan lain-lain.
Cangkang telur

Pencucian

Pengeringan
(Sinar matahari atau oven suhu 80oC)

Pengecilan ukuran, 2-3 cm

Penggilingan dan pengayakan

Produk tepung cangkang telur


Gambar 18. Diagram alir proses produksi tepung cangkang telur
Salah satu limbah lainnya yang termasuk dalam kategori limbah penetasan
adalah telur steril, telur tetas dengan embrio mati serta anak ayam umur sehari
(DOC). Nilai gizinya yang dihasilkan mendekati nilai gizi tepung daging. Tepung
limbah penetasan mengandung protein berkisar 10-16% untuk ternak unggas.
Selain sebagai sumber protein, maka tepung limbah penetasan juga dapat
digunakan sebagai sumber mineral kalsium dan posfor.
Selain dari beberapa limbah tersebut, ternyata DOC tipe petelur yang
memiliki jenis kelamin jantan juga sebagian masyarakat telah mengkategorikan
juga sebagai limbah. Anak ayam ini dapat diperoleh dari beberapa perusahaan
pembibitan ayam petelur. Proses sederhana yang dilakukan adalah : (1) anak-anak
ayam dimatikan secara massal dan bulu-bulunya dibakar dan kemudian direbus
sampai kaku (setengah masak), (2) Anak ayam diangin-anginkan sampai kering
dan digiling beberapa kali sampai halus. Hasil gilingan yang masih basah disebut
pasta dapat langsung digunakan, (3) pasta kemudian dikeringkan dan digiling
hingga menjadi tepung.

Produk yang dihasilkan memiliki kandungan gizi

antara lain : protein (61,65%), lemak (27,30%), abu (2,34%), air (8,80%). Selain

itu juga mengandung enzim, vitamin dan mineral yang dapat merangsang nafsu
makan dan pertumbuhan.
Salah satu pemanfaatan by product cangkang telur yang telah banyak
dilakukan oleh masyarakat adalah sebagai bahan baku pembuatan barang
kerajinan atau asesoris. Kerajinan cangkang telur pada dasarnya adalah
perpaduan antara kreatifitas dan upaya pemanfaatan limbah peternakan. Hal ini
tidak dapat dipungkiri bahwa kerajinan cangkang telur memiliki prospek
ekonomi dan peluang usaha yang cukup menjanjikan. Aneka kerajinan dari
cangkang telur dengan berbagai bentuk dapat dibuat dengan sangat indah dan
artistik seperti ditampilkan pada Gambar 19.
(www.mambo-mynature.blogspot.com
)

(www.cessee.com)

(www.griyawisata.com
)

(www.unlimited-24.blogspot.com)

Gambar 19. Beberapa contoh aplikasi by product cangkang telur


sebagai bahan baku pembuatan barang kerajinan/asesoris
Penyakit layu pada tanaman yang paling sering terjadi adalah akibat
serangan jamur atau akibat bakteri. Berdasarkan hasil pengamatan lapangan,
bahwa yang penyakit yang paling sering terjadi adalah akibat serangan
jamur/cendawan Fusarium sp khususnya adalah tanaman tomat paling banyak
terserang oleh penyakit tersebut. Gejala awal yang sering terjadi oleh serangan
penyakit layu Fusarium pada tanaman tomat diantaranya adalah tulang daun
terlihat pucat terutama daun sebelah atas, kemudian diikuti dengan merunduknya
tangkai dan pada akhirnya tanaman tomat menjadi layu secara keseluruhan.

Seringkali kelayuan didahului dengan menguningnya daun terutama daun bagian


bawah, namun proses pelayuan dapat pula terjadi secara sepihak
Gambaran salah satu tanaman yang telah terserang penyakit layu Fusarium
dan visualisasi tingkat kerusakan buah tomat akibat serangan penyakit tersebut
secara jelas ditampilkan pada Gambar 105. Pada bagian batangnya kadang pula
terbentuk akar adventif, dan pada tanaman yang masih muda dapat menyebabkan
tanaman mengalami kematian secara mendadak karena pada pangkal batangnya
telah terjadi kerusakan.
Dalam aplikasinya di lapangan, maka upaya pengendalian yang sering
dilakukan petani adalah dengan pemberian pestisida yang tentunya berpotensi
besar untuk mencemari lingkungan. Akibat adanya potensi residu pestisida yang
ditimbulkan, maka hal ini akan menjadi isu lingkungan pertanian yang ditengarai
sangat berkontribusi terhadap pemanasan global.
Limbah cangkang telur merupakan by product yang berpotensi besar untuk
dimanfaatkan sebagai agen pengendali hayati yang sifatnya ramah lingkungan.
Cangkang telur telur mempunyai komposisi utama berupa CaCO 3, dimana
sebenarnya kandungan kalsium pada kulit telur berpotensi besar sebagai agensia
pengimbas ketahanan tanaman terhadap penyakit layu Fusarium misalnya pada
tanaman tomat. Sejauh ini pemanfaatan limbah cangkang telur telur belum banyak
di aplikasikan khususnya pada tanaman pertanian.

III. PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesimpulan yang diperoleh dari hasil penyusunan makalah ini adalah :
1. Limbah hasil peternakan dimanfaatkan dengan berbagai cara tergantung dari
bahan baku yang digunakan, misalnya dalam pebuatan briket arang dapat
menggunakan alat yang bermacam-macam mulai dari alat pencetak briket yang
paling sederhana sampai pencetak briket yang modern.
2. Produk yang dihasilkan dari limbah peternakan yaitu tulang dapat
dimanfaatkan menjadi ekstrak kolagen, kotoran hewan ternak dapat
dimanfaatkan sebagai pupik organik dan briket arang, serta cangkang telur
dapat dimanfaatkan menjadi tepung cangkang telur dan menjadi barang
kerajinan atau aksesoris.
B. Saran
Sarannya yaitu semoga nantinya lebih banyak lagi penelitian ataupun
penemuan-penemuan mengenai pemanfaatan limbah peternakan yang terealisasi
dengan baik dan menghasilakan nilai jual yang tinggi.

DAFTAR PUSTAKA

Arhief.2008. Pembuatan Briket. http://arhiefstyle87.wordpress.Com./2008/04/10


/pembuatan-briket-arangdari-serbuk-gergaji/. Diakses pada tanggal 31
Agustus 2015. Makassar.
Farida E. 2000. Pengaruh Penggunaan Feses Sapi dan Campuran Limbah
Organik Lain Sebagai Pakan atau Media Produksi Kokon dan
Biomassa Cacing Tanah Eisenia foetida savigry. Skripsi Jurusan Ilmu
Nutrisi dan Makanan Ternak. IPB. Bogor.
Jamilah. 2014. Pemanfaatan Limbah Cangkan Telur. Program Studi
Peternakan.
Lukman, Fuad. 2013. Pemanfaatan Limbah Peternakan. http://kantinkuning.
blogspot.com/2013/10/pemanfaatan-limbah-peternakan.htmlPemanfaatan
Limbah Peternakan. Diakses pada tanggal 31 Agustus 2015. Makassar.
Rita. 2009. Briket Sampah. http://bandarsampah.blogdetik.com. Diakses pada
Diakses pada tanggal 31 Agustus 2015. Makassar.
Rizna.2009. Faktanya
kompor
BBA. http://sekolahmultiply.multiply.com/
journal/item/11. Diakses pada Diakses pada tanggal 31 Agustus 2015.
Makassar.
Said, Muhammad Irfan. 2014. Pemanfaatan Limbah Tulang. Fakultas Pertanian
Unhas. Universitas Hasanuddin. Makassar.
Sihombing
D.T.H. 2000. Teknik Pengelolaan Limbah Kegiatan/Usaha
Peternakan. Pusat Penelitian Lingkungan Hidup. Lembaga Penelitian,
Institut Pertanian Bogor.
Sofyadi, Cahyan. 2003. Konsep Pembangunan Pertanian dan Peternakan
Masa Depan. Badan Litbang Departemen Pertanian. Bogor.
Soehadji. 1992. Kebijakan Pemerintah dalam Industri Peternakan dan
Penanganan Limbah Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan,
Departemen Pertanian. Jakarta.
Wahyu, Arozi. 2011. Pembuatan Briket Arang. Erlangga. Jakarta.
Widodo, Asari, dan Unadi, 2005. Pemanfaatan Energi Biogas Untuk
Mendukung Agribisnis
Di
Pedesaan. Publikasi
Balai
Besar
Pengembangan Mekanisasi Pertanian Serpong.

Anda mungkin juga menyukai