Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Indonesia merupakan negara yang kaya akan keanekaragaman jenis tanamannya. Di
dalam tanaman-tanaman tersebut terdapat berbagai senyawa organik yang dikenal dengan
senyawa metabolit sekunder. Metabolit sekunder pada tumbuhan adalah sumber bahan yang
penting sebagai identitas senyawa yang dimiliki suatu tanaman. Umumnya terdapat pada
semua organ tumbuhan (terutama tumbuhan tinggi) pada akar, kulit, batang, daun, bunga
buah dan biji dan sedikit pada hewan. Senyawa metabolit sekunder yang terdapat dalam
tumbuhan merupakan zat bioaktif yang berkaitan dengan kandungan kimia dalam
tumbuhan, sehingga sebagian tumbuhan dapat digunakan sebagai bahan obat. (Verpoorte
and Alfermann, 2000).
Obat Tradisional (OT) adalah salah satu aset bangsa Indonesia yang telah lama
digunakan untuk pemeliharaan dan peningkatan kesehatan, pencegahan dan pengobatan
penyakit. Berdasarkan bukti secara turun-temurun dan pengalaman (empiris) dari nenek
moyang, OT hingga saat ini masih digunakan oleh masyarakat Indonesia dalam pelayanan
kesehatan (Farmakope Herbal Indonesia Ed I, 2008). Penggunaan obat tradisional
dikalangan masyarakat semakin meningkat, seiring dengan berkembangnya bahan-bahan
alam yang berkhasiat sebagai obat. Salah satu contoh bahan alam atau tanaman obat yang
berkhasiat sebagai alat pengobatan yaitu tanaman lerak atau Sapindus rarak DC.
Skrining fitokimia merupakan tahap pendahuluan dalam suatu penelitian fitokimia
yang bertujuan untuk mengetahui golongan senyawa yang terkandung dalam suatu tanaman
yang sedang diteliti. Pada praktikum ini dilakukan skrining fitokimia (identifikasi golongan
senyawa) dengan sampel bahan alam yaitu ekstrak tanaman lerak atau Sapindus rarak DC.
1.2 TUJUAN
Mahasiswa mampu melakukan identifikasi senyawa golongan glikosida saponin,
triterpenoid, dan steroid dalam tanaman Sapindus rarak DC secara kualitatif.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 IDENTITAS TANAMAN
A. Sapindus rarak DC
Nama Sinonim: (Mostaph, 2013)
Dittelasma rarak (DC.) Hiern
Saponaria Rarak Rumph.
Sapindus angustifolius Blume
Sapindus pinnatus Mill.
Taksonomi: (Hassler M., 2020)
Kingdom : Plantae
Filum : Tracheophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Sapindales
Famili : Sapindaceae
Genus : Sapindus
Spesies : Sapindus rarak DC.
Gambar 2.1.A.1 Daun Sapindus rarak DC
(Mostaph,
2013)

Gambar 2.1.A.2 Bagian luar buah Lerak

Gambar 2.1.A.3 Bagian dalam buah Lerak


(Fatmawati, 2014)
Gambar 2.1.A.4
Pola perbungaan malai pada Lerak
(Sulisetijono, 2016)
Nama daerah
Sunda : Rerek
Jawa : Klerek, werak
Palembang : Lamuran
Kerinci : Kalikea
Minang : Kanikia
Indonesia : Lerak
Lerak tumbuh di daerah Jawa dan Sumatera dengan ketinggian 450 –
1500 m di atas permukaan air laut. Tinggi tanaman dapat mencapai 15 – 42 m
dan batang kayu yang berwarna putih kusam berbentuk bulat dan keras itu
dapat berukuran 1 m. Biji tanaman berbentuk bulat, keras, dan berwarna
hitam. Buahnya berbentuk bulat, keras, diameter ± 1,5 cm, dan berwarna
kuning kecoklatan. Di dalam buah terdapat daging buah yang aromanya
wangi. Tanaman lerak mulai berbuah pada umur 5 – 15 tahun. Pada umumnya
musim berbuah pada awal musim hujan dan menghasilkan biji sebanyak 1.000
– 1.500 biji (Fatmawati, 2014).
B. Kandungan Kimia
Berdasarkan hasil penelitian yang dimuat dalam jurnal menyatakan
bahwa ekstrak etanol buah lerak (Sapindus rarak) mengandung golongan
senyawa metabolit sekunder alkaloid, saponin, tannin, kuinon,
steroid/terpenoid, dan fenol (Fajriaty, 2017).
Saponin terdapat pada semua bagian tanaman Sapindus rarak dengan
kandungan tertinggi terdapat pada bagian buah. Saponin berasal dari bahasa
latin Sapo yang berarti sabun karena sifatnya yang menyerupai sabun. Saponin
merupakan senyawa kimia yang berasal dari metabolit sekunder yang banyak
diperoleh dari tumbuh-tumbuhan. Saponin memiliki struktur kimia yang
terdiri dari senyawa polar dan non-polar. Saponin memiliki sifat berasa pahit,
berbentuk busa stabil dalam air, bersifat racun bagi hewan berdarah dingin
(seperti: ikan, siput, dan serangga), dapat menstabilkan emulsi, dan
menyebabkan hemolisis (rusaknya sel darah merah) (Fajriaty, 2017).
Gambar 2.1.B.1 Steroid (Fatmawati, 2014)

Gambar 2.1.B.2 Triterpenoid (Fatmawati, 2014)

Saponin temasuk glikosida yang apabila dihidrolisis akan


menghasilkan sakarida (bersifat hidrofilik) dan sapogenin (bersifat lipofilik).
Sapogenin terdiri dari dua golongan, yaitu saponin steroid dan saponin
triterpenoid. Adanya kandungan saponin yang bersifat hidrofilik dan lipofilik
tersebut menjadikan buah lerak bersifat surfaktan sehingga dapat digunakan
sebagai bahan baku sabun (Fatmawati, 2014).
C. Efek Farmakologi dan Khasiat
Saponin mempunyai aktifitas farmakologi yang cukup luas diantaranya meliputi
immunomodulator, antitumor, anti inflamasi, antivirus, anti jamur, dapat
membunuh kerang-kerangan, hipoglikemik, dan efek hipokolesterol (Gunawan
et al., 2004).
D. Pola Kromatografi
Fase diam : Kiesel Gel 254
Fase gerak : n-heksana-etil asetat (4:1)
Penampak noda : Anisaldehida asam sulfat (dengan pemanasan)
(Fajriaty, 2017)
2.2 METABOLIT SEKUNDER
Salah satu senyawa yang jumlahnya sangat melimpah pada tanaman yaitu
senyawa metabolit sekunder. Senyawa ini sebenarnya tidak terlibat secara langsung
dalam pertumbuhan dan perkembangan dari suatu organisme tetapi berperan penting
dalam perlindungan diri. Selain itu, senyawa metabolit sekunder ini sangat mempengaruhi
hubungan organisme dengan lingkungan sekitarnya misalnya dalam melindungi diri dari
gangguan hama yang dapat menggaggu kelangsungan hidupnya. Senyawa metabolit
sekunder ini diproduksi secara terbatas oleh tanaman, karena bersifat tidak esensial maka
senyawa ini hanya diproduksi pada waktu tertentu saja. Senyawa ini diproduksi sebagai
pertahanan hidup tumbuhan dari lingkungan sekitarnya. Adapun beberapa penggolongan
senyawa ini yaitu alkaloid, flavonoid, terpenoid dan poliketida. Senyawa metabolit
sekunder juga sering diperkirakan sebagai hasil samping dari senyawa metabolit primer
karena beberapa struktur senyawanya memiliki kesamaan dengan beberapa senyawa
metabolit primer. Terdapat pula pendapat bahwa senyawa ini disintesis karena adanya
penyimpangan pada metabolisme metabolit primer. Adapun struktur dari beberapa
senyawa metabolit sekunder yaitu sebagai berikut:

Gambar 2.2 Struktur senyawa metabolit sekunder (I) Flavonoid, (II) Alkaloid, (III)
Steroid dan (IV) Terpenoid.
2.2.1 GLIKOSIDA
Glikosida adalah senyawa bahan alam yang terdiri atas gabungan dua
bagian senyawa, yaitu gula dan bukan gula. Bagian gula biasa disebut glikon
sementara bagian bukan gula disebut sebagai aglikon.
Gambar 2.2.1 Contoh Senyawa Glikosida
Aglikon memiliki rumus molekul yang sangat beragam, mulai dari turunan
fenol sederhana sampai ke kelompok triterpen. Ikatan antara molekul gula dengan
molekul nongula disebut ikatan glikosidik yang dapat berupa ikatan eter, ikatan
ester, ikatan sulfida dan ikatan C-C. Ikatan ini sangat mudah terurai oleh pengaruh
asam, basa, enzim, air, dan panas. Semakin pekat kadar asam atau basa maupun
semakin panas lingkungannya maka glikosida akan semakin mudah dan cepat
terhidrolisis. Saat glikosida terhidrolisis maka molekul akan pecah menjadi dua
bagian, yaitu bagian gula dan bagian bukan gula. Dalam bentuk glikosida,
senyawa ini larut dalam pelarut polar seperti air.Namun, bila telah terurai maka
aglikonnya tidak larut dalam air karena larut dalam pelarut organik nonpolar.
Apabila senyawa glikon tidak sama dengan aglikon, maka glikosida tersebut
dinamakan heterosida. Contohnya adalah dioscon (terdiri dari bagian gula dan
aglikonnya diosgenin). Sementara bila glikonnya sama dengan aglikon disebut
holosida. Contohnya adalah laktosa (terdiri dari gula glukosa dan gula galaktosa,
sama-sama gula).
Gula yang sering menempel pada glikosida adalah β-D-glukosa. Meskipun
demikian, ada juga beberapa gula jenis lain yang dijumpai menempel pada
glikosida, misalnya ramnosa, digitoksossa dan simarosa. Bagian aglikon atau
genin terdiri dari berbagai macam senyawa organik, misalnya triterpena, steroid,
antrasena, atau pun senyawa yang mengandung gugus fenol, alkohol, aldehida,
keton dan ester. Molekul gula dapat terdiri dari hanya sebuah glukosa
(monosakarida) sampai oligosakarida. Jika gugus gulanya adalah glukosa maka
glikosida tersebut disebut glukosida, namun jika bukan glukosa maka tetap
disebut glikosida.
A. Biosintesis Glikosida
Glikosida berasal dari senyawa asetal dengan satu gugus hidroksi dari gula
yang mengalami kondensasi dengan gugus hidroksi dari komponen bukan
gula.Sementara gugus hidroksi yang kedua mengalami kondensasi di dalam
molekul gula itu sendiri membentuk lingkaran oksida.Oleh karena gula terdapat
dalam dua konformasi, yaitu bentuk alfa dan bentuk beta maka bentuk
glikosidanya secara teoritis juga memiliki bentuk alfa dan bentuk beta.Namun,
dalam tanaman ternyata hanya glikosida bentuk beta saja yang terkandung di
dalamnya. Hal ini didukung oleh kenyataan bahwa elmulsin dan enzim alami lain
hanya mampu menghidrolisis glikosida yang ada pada bentuk beta.
B. Keberadaan glikosida di alam
Keberadaan glikosida di alam sangat tersebar luas dan banyak di antaranya
telah berhasil diisolasi dari berbagai sumber antara lain glikosida Amigdalin yang
berasal dari Prumus amygdalus dengan famili Rosaceae. Arbutin dari
Arctostaphyllos uva ursi dengan famili Ericaceae.Digitonin yang berasal dari
Digitalis purpurea dengan famili Scrophulariaceae dan Rutin yang berasal dari
Fagopyrum esculentum dengan famili Polygonaceae. Berikut ini adalah beberapa
glikosida yang memiliki berbagai kegunaan antara lain:
 Untuk Flavor: Vanillae Fructus
 Steviosida (pemanis natrural bukan gula)
 Tonik/adaptogenik: Ginseng Radix
 Ekspektoran: Glycyrhhizae Radix; Abri Folium
 Obat jantung: Digitalis Folium
 Laksan ringan: Sennae Folium, Rhei Radix, Aloe
C. Sifat fisika-kimia glikosida
Glikosida berbentuk kristal atau amorf. Umumnya mudah larut dalam air
atau etanol encer (kecuali pada glikosida resin). Oleh karenanya, banyak sediaan-
sediaan farmasi mengandung glikosida umumnya diberikan dalam bentuk eliksir,
ekstrak, atau tingtur dengan kadar etanol yang rendah. Larutan glikosida dalam air
kadang-kadang bisa berasa pahit. Bersifat memutar bidang polarisasi ke kiri dan
tidak mereduksi larutan Fehling, kecuali bila telah mengalami proses hidrolisis.
Secara umum, glikosida mudah larut dalam pelarut polar seperti air dan
alkohol. Glikosida relatif mudah mengalami hidrolisis baik oleh enzim glikosidase
yang terdapat dalam tumbuhan maupun oleh asam ataupun basa. Hidrolisis dapat
menyebabkan penurunan aktivitas farmakologi, oleh karena itu pada umumnya
tidak dikehendaki terjadinya hidrolisis dalam simplisia yang mengandung
glikosida. Hal ini dapat dilakukan dengan cara pengeringan cepat pada suhu
rendah. Pada simplisia tertentu (Vanillae Fructus, Gaultheriae Folium) justru
dilakukan hidrolisis, sebab yang diperlukan adalah aglikonnya. Dalam kehidupan
tanaman, glikosida memiliki peran penting karena terlibat dalam fungsi-fungsi
pengaturan, perlindungan, pertahanan diri dan kesehatan. Oleh karena
terbentuknya dalam tanaman dan merupakan produk antara, maka kadar glikosida
sangat tergantung pada aktivitas tanaman melakukan kegiatan biosintesis. Akan
tetapi, kadangkadang glikosida juga bisa merugikan manusia, misalnya dengan
mengeluarkan gas beracun HCN pada glikosida sianogenik.Secara umum, arti
penting glikosida bagi manusia adalah untuk sarana pengobatan dalam arti luas
yang beberapa di antaranya adalah sebagai obat jantung, pencahar, pengiritasi
lokal, analgetikum dan penurun tegangan permukaan.
D. Penamaan
Selain mengikuti tata nama kimia, glikosida sering diberi nama
menurut/merujuk ke nama tanaman tempat glikosida tersebut ditemukan pertama
kali. Contohnya: glycyrrhizin (dari Glycyrrhiza sp), vitexin (dari Vitex sp.), turin
(dari Ruta sp.), panaksosida (dari Panax sp.), abrusosida (dari Abrus precatoeius)
dan lain-lain. Selain itu, terdapat pula cara penamaan mengikuti aturan berikut:
“nama aglikon” disambung “ nama gula” ditambahi akhiran “osida”, sebagai
contoh, glikosida yang mengandung glukosa disebut glukosida, yang mengandung
arabinosa disebut arabinosida. Yang mengandung galakturonat disebut
galakturunosida, dan seterusnya.
E. Penggolongan Senyawa Glikosida Berdasarkan Aglikonnya
No. Kelas Contoh
1. Glikosida Antraquionon Aloin, Barbaloin, Aloesin
2. Glikosida jantung Digitoxin
3. Glikosida Saponin Diosgenin
4. Glikosida Sianogenetik dan Sianofor Amigdalin
5. Glikosida Tiosianat dan isotiosianat Sinigrin
6. Glikosida Flavon Rutin
7. Glikosida Aldehid Glukovanilin
8. Glikosida kumarin Scopolin
1) GLIKOSIDA STEROID
Glikosida steroid adalah glikosida yang aglikonnya berupa steroid.
Glikosida steroid disebut juga glikosida jantung karena memiliki daya kerja kuat
dan spesifik terhadap otot jantung. Payah jantung adalah kondisi kegagalan
jantung dalam memenuhi kebutuhan sirkulasi darah ke seluruh tubuh.Keadaan ini
diakibatkan oleh curah jantung melemah. Apabila pacu jantung yang ada pada
nodus sino-auricularis mengalami gangguan, misalnya disebabkan oleh terjadinya
ketidakseimbangan ion-ion kalium, natrium dan kalsium di dalam dan di luar sel-
sel jantung maka akan mempengaruhi mekanisme pompa natrium pada jantung.
Dengan dmeikian, mengakibatkan frekuensi jantung melemah dan muncul kondisi
payah jantung. Seseorang yang mengalami payah jantung akan mengalami udem
yang diakibatkan oleh terjadinya bendungan sirkulasi. Bagi penderita ini perlu
diberi diuretikum dan obat payah jantung.Selain itu, penderita harus dihindarkan
dari obat-obatan yang bersifat sebagai penghambat adreno reseptor-beta dan
antikolinergik.
Obat payah jantung yang selama ini dikenal adalah glikosida jantung. Sifat
dari obat ini adalah mempertahankan tonus jantung, meningkatkan tonus saraf
adrenergik, dan mempertahankan volume darah yang beredar. Dengan demikian,
kontraksi dan frekuensi denyut jantung akan meningkat. Itulah sebabnya, obat-
obatan payah jantung berupa glikosida jantung disebut juga tonikum jantung
(cardiotonic). Aksi glikosida jantung adalah langsung mempengaruhi mekanisme
pompa natrium. Dalam hal ini, glikosida jantung berperan sebagai pengendali
keseimbangan elektrolit tubuh (ion kalium, natrium dan kalsium) di dalam sel-sel
jantung. Pengobatan payah janting bisa disalurkan lewat nodus vagus (aksi vagal)
atau langsung disalurkan ke otot jantung (aksi ekstravagal). Pengobatan yang
dilakukan kewat aksi vagal bisa terhambat bila dilakukan bersama-sama dengan
pemberian atropina (suatu alkaloid kelompok tropan yang terkandung dalam
Atropa belladona). Sementara pengobatan yang disalurkan lewat aksi ekstravagal
tidak dipengaruhi oleh atropina. Penyebaran glikosida jantung dalam tanaman
tidak terlalu luas. Diketahui glikosdia ini hanya tersebar pada famili
Scrophulariaceae, Apocynaceae, dan Liliaceae. Digitalis (USP = United State of
Pharmacopeia sejak tahun 1820 sampai sekarang) adalah serbuk daun Digitalis
purpurea Linne atau D.lannata (famili Scrophulariaceae) yang telah dikeringkan
pada suhu tidak lebih dari 60°C. Digitalis berupa serbuk halus atau serbuk sangat
halus. Untuk menyesuaikan kadarnya bisa diencerkan dengan bahan pengisi lain
seperti laktosa, amilum atau dengan daun digitalis yang telah diketahui kadarnya
lebih tinggi atau lebih rendah. Potensinya diperhitungkan terhadap satuan USP
unit. Diketahui bahwa 1 USP unit setara dengan tidak kurang dari 100 mg serbuk
daun digitalis kering (didasarkan pada standar referensi digitalis USP).
Digitalis berasal dari istilah latin digitus, yang berarti jempol. Ini
menggambarkan bentuk bunga Digitalis pupurea yang seperti jempol. Purpurea
dari bahasa latin, artinya ungu. Tanaman ini umumnya tumbuh di daerah Eropa
dan Amerika bagian Barat serta di Kanada. Daun digitalis mengandung berbagai
glikosida jantung, dianataranya digitoksin (0,2-0,4%), digitalin, gitalin, gitoksin
dan digitonin (glikosida saponin). Daun digitalis juga mengandung minyak atsiri
yang tersusun dari stearoptena, digitalosmin (yang memberi bau khas digitalis
serta menimbulkan rasa tajam), asam antirinat, digitoflavon, inositol, dan pektin.
Bagian aglikon bisa dipisahkan dari bagian gulanya dengan cara hidrolisis
menggunakan asam, basa, enzim, dan lingkungan yang lembab. Secara umum
daun digitalis adalah tanaman obat yang berpotensi keras dan berbahaya bagi
manusia karena aksinya langsung menuju jantung. Dosis yang terlalu besar akan
memberikan gejala keracunan berupa hilangnya selera makan (anoreksia), mual,
hipersalivasi, muntah, diare, kepala pening, mengantuk, bingung, gangguan
konsentrasi, menghadapi bayangan fatamorgana, bahkan kematian.
Kegunaan dari digitalis adalah sebagai kardiotonikum. Efek penggunaanya
terutama ditimbulkan oleh bagian aglikon digitalis. Sementara bagian gula hanya
berfungsi sebagai penambah kelarutan, meningkatkan absorpsi, dan sedikit
menambah potensi (dan juga toksisitas) sebagai glikosida jantung. Mekanisme
kardiotonikum adalah meningkatkan tonus otot jantung yang mengakibatkan
pengosongan jantung lebih sempurna dan curah jantung meningkat.
Digitoksin adalah gabungan senyawa antara digitoksigenin (sebagai
aglikon) dengan bagian gulanya digitoksisa. Digitoksigenin sebagai aglikon dari
digitoksin adalah prisma, dengan titik lebur 253°C, larut dalam etanol, kloroform,
aseton.Sukar larut dalam etil asetat dan sangat sukar larut dalam eter serta air. Di
alam terkandung dalam tanaman D.purpurea dan D.lanata apabila berikatan
dengan digitoksisa, digitoksin akan menjadi glikosida digitoksin berupa kristal
bentuk lempeng yang larut dalam aseton, amil alkohol dan piridina. Satu gram
digitoksin larut dalam 40 ml kloroform, dalam 60 ml etanol dan dalam 400 ml etil
asetat. Sukar larut dalam eter, petroleum eter, dan air. LD50 (dosis yang
mematikan sebanyak 50% binatang percobaan dari seluruh populasi) dalam babi
secara oral adalah 60,0 mg/kg BB dan pada kucing=0,18 mg/kg BB. Beberapa
tanaman yang mengandung glikosida steroid memiliki efek sebagai obat jantung
antara lain adalah Digitalis, Strophanthus, Squill, Convallaria, Apocynum,
Adonis, Heleborus, dan Nerium.
2) CARA IDENTIFIKASI GLIKOSIDA
1. Uapkan 0,1 ml larutan percobaan di atas penangas air, larutkan sisa dalam 5
ml asam asetat anhidrat P. tambahkan 10 tetes asam sulfat P, terjadi warna
biru atau hijau, menunjukan adanya glikosida (Reaksi Liebermann Burchard).
2. Masukkan 0,1 ml larutan percobaan dalam tabung reaksi, uapkan di atas
penangas air. Pada sisa ditambahkan 2 ml air dan 5 tetes Molish LP.
Tambahkan hati-hati 2 ml asam sulfat P; terbentuk cincin berwarna ungu pada
batas cairan, menunjukkan adanya ikatan gula (Reaksi Molish). (Materia
Medika Indonesia Jilid VI, 1995)
3) GLIKOSIDA SAPONIN
Glikosida saponin adalah glikosida yang aglikonnya berupa sapogenin.
Glikosida saponin bisa berupa saponin steroid atau saponin triterpenoida. Saponin
tersebar luas di antara tanaman tinggi. Keberadaan saponin sangat mudah ditandai
dengan pembentukan larutan koloidal dengan air yang apabila digojog
menimbulkan buih yang stabil. Saponin merupakan senyawa berasa pahit
menusuk dan menyebabkan bersin dan sering mengakibatkan iritasi tehadap
selaput lendir. Saponin juga bersifat bisa menghancurkan butir darah merah lewat
reaksi hemolisis, bersifat racun bagi hewan berdarah dingin, dan banyak
diantaranya digunakan sebagai racun ikan. Saponin bila terhidrolisis akan
menghasilkan aglikon yang disebut sapogenin. Ini merupakan suatu senyawa yang
mudah dikristalkan lewat asetilasi sehingga dapat dimurnikan dan dipelajari lebih
lanjut. Saponin yang berpotensi keras atau beracun seringkali disebut sapotoksin
Semua saponin dapat mengakibatkan hemolisis. Oleh karena itu, relatif berbahaya
bagi semua organisme binatang bila saponin diberikan secara parenteral. Setengah
sampai beberapa mg/kg BB saponin dapat ebrakibat fatal dan mematikan pada
pemberian i.v. Begitu pula pemakaian sterol saponin kompleks dalam jangka
panjang akan mematikan bila diberikan secara parenteral. Pengaruh terhadap alat
pernapasan dapat dibuktikan dengan kenyataan digunakannya obat yang
mengandung saponin untuk mencari ikan oleh rakyat yang primitif. Kadar saponin
yang sangat kecil pun mampu melumpuhkan fungsi pernafasan dari insang.
Saponin memiliki kegunaan dalam pengobatan, terutama karena sifatnya yang
mempengaruhi absorpsi zat aktif secara farmakologi. Penggunaan digitoksin dan
saponin digitonin secara simultan akan meningkatkan efek digitoksin sampai 50
kali bila diberikan secara oral terhadap katak. Saponin juga bersifat menaikkan
permeabilitas kertas saring. Dengan adanya saponin, filter dengan pori yang cukup
kecil untuk menahan partikel yang berukuran tertentu akan dapat meloloskan
partikel tersebut.
Secara teknis, saponin juga menurunkan tegagan permukaan sehingga bisa
bersifat surfaktan.Oleh karenanya, saponin dapat digunakan sebagai bahan
pengemulsi dua cairan yang tidak saling campur, misalnya minyak dengan
air.Saponin juga bisa mempertahankan suspensi glikosida yang tidak larut dalam
air dalam sediaan infus obat dalam air. Saponin bersifat dapat menimbulkan iritasi
berbagai tingkat terhadap selaput lendir (membran mukosa) pada mulut, perut dan
usus, tergantung pada tabiat dari masing-masing saponin yang bersangkutan.
Saponin bersifat merangsang keluarnya sekret dari bronkial. Hal ini dapat
diterangkan dengan begitu banyak penggunaan obat semacam senega dan succus
sebagai ekspektoransia dan sekretolitik dalam pengobatan alat
pernapasan.Saponin meningkatkan aktivitas epitel yang bersilia, yaitu suatu
peristiwa yang merangsang timbulnya batuk untuk mengeluarkan dahak. Pengaruh
iritasi lokal saponin mengakibatkan timbulnya bersin. Saponin juga meningkatkan
absoprsi senyawa-senyawa diuretikum (terutama yang berbentuk garam) dan
tampaknya juga merangsang ginjal untuk lebih aktif.Hal ini mungkin
menerangkan kenyataan bahwa saponin sangat sering digunakan untuk rematik
dalam pengobatan masyarakat.
Di bidang industri, saponin sering digunakan dalam jumlah besar sebagai
bahan pengemulsi, terutama di bidang-bidang pemadam kebakaran, pekerjaan
cuci-mencuci kain (laundry) dan lain-lain. Jenis saponin yang sering digunakan
adalah saponin yang berasal dari buah klerak (Sapindus rarak) dan quillaja
(Quillaja saponaria). Secara garis besar saponin dikelompokkan menjadi dua,
yaitu saponin steroid dan saponin triterpenoid. Keberadaan saponin steroid pada
tanaman monokotil, terutama terkandung dalam famili Dioscoreaceae (Dioscorea
hispida), Amaryllidaceae (Agave americana), dan Liliaceae (Yucca sp dan
Trillium sp). Pada tanaman dikotil, terutama terkandung dalam Leguminosae
(Foenigraeci) dan Solanaceae. Beberapa spesies Strophanthus dan Digitalis
mengandung saponin steroid selain glikosida jantung.
Diosgenin ternyata dapat pula digunakan sebagai bahan sintesis
kortikosteroid dengan menggunakan cara fermentasi mikrobiologi. Kebutuhan
akan steroid terus meningkat dan lebih kurang 600-700 ton diosgenin digunakan
setiap tahun. Kegiatan besar dilakukan untuk memperoleh varietas baru tanaman
penghasil yang lebih tinggi dan untuk menjamin suplai bahan baku yang teratur
dengan budi daya tanaman dan pemuliaan.
Berbeda dengan saponin steroid, saponin triterpenoid jarang terdapat pada
monokotil.S aponin triterpenoid banyak terkandung dalam famili-famili dikotil
seperti Caryophyllaceae, Sapindaceae, Polygaceae dan Sapotaceae. Diantara
famili dikotil yang lain, saponin triterpenoid terdapat pada Phytolaccaeceae,
Chenopodiaceae, Ranunculaceae, Berberidaceae, Papaveraceae, Linaceae,
Zygophyllaceae, Rutaceae, Myrtaceae, Curcubitaceae, Araliaceae, Umbelliferae,
Primulaceae, Oleaceae, Lobeliaceae, Campanulaceae, Rubiaceae, dan
Compositae. Saponin triterpenoid dapat dibedakan ke dalam tiga golongan yang
diwakili oleh alpha-amirin, beta-amirin dan lupeol.
4) CARA IDENTIFIKASI SAPONIN
Pembuihan
Cara Percobaan
Masukkan 0,5 g serbuk yang diperiksa ke dalam tabung reaksi, tambahkan 10 ml
air panas, didinginkan dan kemudian kocok kuat-kuat selama 10 detik. (Jika zat
yang diperiksa berupa sediaan cair, encerkan 1 ml sediaan yang diperiksa dengan
10 ml air dan kocok kuat-kuat selama 10 menit); terbentuk buih yang mantap
selama tidak kurang dari 10 menit, setinggi 1 cm-10 cm. pada penambahan 1 tetes
asam klorida 2N, buih tidak hilang. (Materia Medika Indonesia Jilid VI, 1995)
2.3 EKSTRAKSI
Senyawa metabolit sekunder biasanya terdapat dalam organisme dalam jumlah
yang sangat sedikit. Oleh karena itu biasanya dalam proses isolasi dimulai dari sampel
yang jumlahnya banyak, minimal 2 kg sampel kering yang sudah dihaluskan. Untuk
mendapatkan senyawa murni biasanya menggunakan beberapa teknik ekstraksi dan
kromatografi. Teknik ekstraksi senyawa organik bahan alam yang biasa digunakan antara
lain maserasi, perkolasi, infudasi, dan sokhletasi. Sedangkan teknik kromatografi yang
biasanya digunakan antara lain kromatografi lapis tipis (KLT), kromatografi kolom
vakum (KVC), kromatografi kolom gravitasi (KKG), dan kromatotron (Centrifugal
Chromatography). Pemilihan jenis metode biasanya dilakukan berdasarkan pengalaman
peneliti maupun hasil penelitian yang telah dilaporkan sebelumnya. Langkah pertama
yang biasanya dilakukan dalam isolasi senyawa organik bahan alam adalah ekstraksi
sampel menggunakan pelarut organik.
Ekstraksi adalah proses pemisahan satu atau lebih komponen dari suatu campuran
homogen menggunakan pelarut cair (solven) berdasarkan kelarutannya dalam pelarut
tertentu. Pemilihan cairan pengekstrak harus mempertimbangkan beberapa faktor. Cairan
pengekstrak harus memenuhi kriteria berikut ini :
1. Murah dan mudah diperoleh
2. Sampel harus mudah didapatkan kembali dari cairan penyari
3. Tidak mudah menguap, tidak toksik dan tidak mudah terbakar
4. Tidak mau campur antara pelarut dan penyari
5. Memiliki perbedaan bobot jenis yang nyata
6. Memiliki titik didih yang nyata
7. Penyari tidak mengganggu pada analisis selanjutnya
8. Tidak mempengaruhi zat berkhasiat
9. Tidak menimbulkan buih dan emulsi sewaktu digojok. (Permana, 2017)

2.3.1 Metode ekstraksi


Ada beberapa metode ekstraksi sampel bahan alam, antara lain maserasi,
infusdasi, digesti, perkolasi dan soxletasi.
Berdasarkan jenis bahan, maka metode ekstraksi dibagi menjadi 2 yaitu :
1. Ekstraksi padat dengan cairan (liquid solid extraction), misalnya maserasi,
infusdasi, soxhletasi, dan lain-lain.
2. Ekstraksi cair dengan cairan (liquid-liquid extraction)
Berdasarkan penggunaan sistem pemansan dalam proses ekstraksi dibagi
menjadi 2 yaitu :
1. Ekstraksi dengan pemanasan : soxhletasi, refluks.
2. Ekstraksi tanpa pemanasan : maserasi. (Permana, 2017)

2.3.2 Maserasi
Maserasi merupakan teknik ekstraksi dari sampel padat menggunakan
pelarut tertentu biasanya digunakan metanol atau etanol. Metanol memiliki
kelebihan memiliki titik didih yang lebih rendah sehingga mudah diuapkan pada
suhu yang lebih rendah, tetapi bersifat lebih toksik. Sedangkan etanol memiliki
kelemahan memiliki titik didih yang relatif tinggi sehingga lebih sulit diuapkan,
tetapi relatif tidak toksik dibanding metanol. Proses maserasi dilakukan selama
waktu tertentu dengan sesekali diaduk, biasanya dibutuhkan waktu 1-6
hari. Selain metanol atau etanol pelarut yang lain yang biasa digunakan
antaralain aseton, klroform, atau sesuai dengan kebutuhan. Setelah waktu
tertentu ekstrak yang disebut maserat dipisahkan dengan cara penyaringan.
Maserasi biasanya dilakukan pengulangan dengan penambahan pelarut setelah
dilakukan penyaringan maserat yang pertama yang disebut remaserasi.
Remaserasi biasanya dilakukan tiga kali atau sampai senyawa yang diinginkan
dalam sampel benar-benar sudah habis.
Apabila dalam proses maserasi dilakukan pengadukan terus menerus maka
disebut juga dengan maserasi kinetik. Sedangkan apabila dalam maserasi kinetik
tersebut dilakukan di atas suhu kamar, biasanya 40-50℃ disebut digesti. Cara
yang biasa dilakukan adalah dengan menempatkan sejumlah bahan ditempatkan
pada wadah tertutup, ditambah dengan pelarut dengan perbandingan kira-kira
1:7, atau sedikitnya semua sampel tercelup. Diamkan selama 1-6 hari pada suhu
kamar dan terlindung dari cahaya dengan sesekali diaduk. Setelah itu, cairan
dipisahkan, buang bagian yang mengendap. Pada saat proses perendaman
senyawa organik yang terkandung dalam sampel berdifusi melewati dinding sel
untuk melarutkan konstituen dalam sel dan juga memacu larutan dalam sel
untuk berdifusi keluar. Sistem yang digunakan dalam metode ini adalah sistem
statis, kecuali saat digojog, proses ekstraksi berjalan dengan difusi molekuler,
sehingga proses ini berlangsung secara perlahan. Setelah ekstraksi selesai, residu
dari sampel harus dipisahkan dengan pelarut dengan didekantir atau disaring.
Maserasi dengan pengulangan (remaserasi) akan lebih efisien dari pada hanya
sekali saja, hal ini terjadi karena ada kemungkinan sejumlah besar komponen
aktif masih tertinggal dalam proses maserasi yang pertama. Sejumlah filtrat
(maserat) dari hasil pengulangan maserasi selanjutnya dicampur dan dipekatkan.
(Permana, 2017)
1. Kelebihan Maserasi
Maserasi dapat digunakan untuk jenis senyawa tahan panas ataupun tidak
tahan panas. Selain itu tidak diperlukan alat yang spesifik, dapat digunakan
apa saja untuk proses perendaman.
2. Kekurangan Maserasi
Maserasi membutuhkan waktu yang lama, biasanya paling cepat 3x24 jam,
disamping itu membutuhkan pelarut dalam jumlah yang banyak. (Permana,
2017)
2.3.3 Infusdasi
Infusdasi merupakan metode ekstraksi dengan pelarut air. Pada waktu
proses infusdasi berlangsung, temperatur pelarut air harus mencapai suhu 90ºC
selama 15 menit. Rasio berat bahan dan air adalah 1 : 10, artinya jika berat
bahan 100 gr maka volume air sebagai pelarut adalah 1000 ml. Cara yang biasa
dilakukan adalah serbuk bahan dipanaskan dalam panci dengan air
secukupnya selama 15 menit terhitung mulai suhu mencapai 90ºC sambil sekali-
kali diaduk. Saring selagi panas melalui kain flanel, tambahkan air panas
secukupnya melalui ampas hingga diperoleh volume yang diinginkan. Apabila
bahan mengandung minyak atsiri, penyaringan dilakukan setelah dingin.
(Heliawati, 2018)
2.3.4 Dekoksi
Dekoksi merupakan proses ekstraksi yang mirip dengan proses infusdasi,
hanya saja infus yang dibuat membutuhkan waktu lebih lama (≤ 30 menit) dan
suhu pelarut sama dengan titik didih air. Caranya, serbuk bahan ditambah air
dengan rasio 1 : 10, panaskan dalam panci enamel atau panci stainless steel
selama 30 menit. Bahan sesekali sambil diaduk. Saring pada kondisi panas
melalui kain flanel, tambahkan air panas secukupnya melalui ampas hingga
diperoleh volume yang diinginkan. (Heliawati, 2018)
2.3.5 Perkolasi
Perkolasi adalah proses ekstraksi dengan pelarut yang dialirkan melalui
kolom perkolator yang diisi dengan serbuk bahan atau sampel, dan ekstraknya
dikeluarkan melalui keran secara perlahan. Secara umum proses perkolasi ini
dilakukan pada temperatur ruang. Parameter berhentinya penambahan pelarut
adalah perkolat sudah tidak mengandung komponen yang akan diambil.
Pengamatan secara fisik pada ekstraksi bahan alam terlihat tetesan perkolat
sudah tidak berwarna. Caranya, serbuk bahan dibasahi dengan pelarut yang
sesuai dan ditempatkan pada bejana perkolator. Bagian bawah bejana diberi
sekat berpori untuk menahan serbuk. Cairan pelarut dialirkan dari atas kebawah
melalui serbuk tersebut. Cairan pelarut akan melarutkan zat aktif dalam sel-sel
yang dilalui sampai keadaan jenuh. (Heliawati, 2018)
2.3.6 Soxkletasi
Soxkletasi merupakan proses ekstraksi dengan menggunakan pelarut
yang selalu baru yang umumnya dilakukan dengan alat khusus soxklet sehingga
terjadi ekstraksi konstan dengan adanya pendingin balik. Caranya, serbuk bahan
ditempatkan pada selongsong dengan pembungkus kertas saring, lalu
ditempatkan pada alat soxklet yang telah dipasang labu dibawahnya.
Tambahkan pelarut sebanyak 2 kali sirkulasi. Pasang pendingin balik,
panaskan labu, ekstraksi berlangsung minimal 3 jam dengan interval sirkulasi
kira-kira 15 menit. (Heliawati, 2018)
2.4 Kromatografi Lapis Tipis
Praktikum kali ini menggunakan teknik pemisahan dengan kromatografi lapis
tipis (KLT). Pada Kromatografi Lapis Tipis (KLT), zat penjerap merupakan lapisan
tipis serbuk halus yang dilapiskan pada lempeng kaca, plastic atau logam secara
merata, umumnya digunakan lempeng kaca. Lapisan yang dilapisi dapat dianggap
sebagai kolom kromatograf teruka dan pemisahan yang tercapai dapt didasarkan pada
adsorpsi, parisi, atau kombinasi kedua efek, yang tergantung pada jenis lempeng, cara
pembuatan, dan jenis pelarut yang digunakan. Perkiraan identifikasi diperoleh dengan
pengamatan bercak dengan harga Rf yang identic dengan ukuran yang hampir sama,
dengan menotolkan bahan uji dan pembanding pada pada lempeng yang sama. Alat
dan bahan yang digunakan untuk KLT adalah lempeng kromatografi, rak
penyimpanan, zat penjerap, bejana kromatografi,alat sablon (alat bantu penotolan
umumnya terbuat dari plastik), pipet mikro, alat penyemprot pereaksi, lampu
ultraviolet (254 nm- 366 nm). (FHI Ed I, 2008; MMI Ed V, 1989)
Penjenuhan Bejana
Tempatkan kertas saring dalam bejana kromatografi. Tinggi kertas saring 18 cm dan
lebarnya sama dengan lebar bejana. Masukkan sejumlah larutan pengembang ke dalam
bejana kromatografi, hingga tingginya 0,5 sampai 1 cm dari dasar bejana. Tutup kedap
dan biarkan hingga kertas saring basah seluruhnya. Kertas saring harus selalu tercelup
ke dalam larutan pengembang pada dasar bejana.kecuali dinyatakan lain pada masing-
masing monografi, prosedur KLT dilakukan dalam bejana jenuh. (FHI Ed I, 2008;
MMI Ed V, 1989)
Prosedur KLT
Totolkan Larutan uji dan Larutan pembanding, menurut cara yang tertera pada
masing-masing monografi dengan jarak 1,5 sampai 2 cm dari tepi bawah lempeng, dan
biarkan mongering. Gunakan alat sablon untuk menentukan tempat penotolan dengan
jarak rambat, beri tanda pada jarak rambat.
Tempatkan lempeng pada rak penyangga, hingga tempat penotolan terletak di sebelah
bawah, dan masukkan rak ke dalam bejana kromatogafi. Larutan pengembang dalam
bejana harus mencapai tepi bawah lapisan penjerap, totolan jangan sampai terendam.
Letakkan tutup bejana pada tempatnya dan biarkan system hingga fase gerak merambat
sampai batas jarak rambat. Keluarkan lempeng dan keringkan di udara, dan amati
bercak dengan sinar tampak, UV gelombang pendek (254 nm) kemudian dengan UV
gelombang panjang (366 nm). Ukur dan catat jarak tiap bercak dari titik penotolan
serta catat panjang gelombang untuk tiap bercak yang diamati. Tentukan harga Rf atau
Rx. Jika diperlukan, semprot bercak dengan pereaksi penampak bercak, amati dan
bandingkan kromatogram bahan uji dengan kromatogram pembanding. (FHI Ed I,
2008; MMI Ed V, 1989)
Data yang diperoleh dari KLT adalah nilai Rf yang berguna untuk identifikasi
senyawa. Nilai Rf untuk senyawa murni dapat dibandingkan dengan nilai Rf dari
senyawa standar. Nilai Rf dapat didefinisikan sebagai jarak yang ditempuh oleh
senyawa dari titik asal dibagi dengan jarak yang ditempuh oleh pelarut dari titik asal
(Tri Mulyono, 2012)
Harga Rf menggambarkan jarak yang ditempuh suatu komponen terhadap jarak
keseluruhan, dan dinyatakan dengan rumus sebagai berikut:
jarak titik pusat bercak dari titik awal
Rf =
jarak garis depan dari titik awal
Harga Rf berjangka antara 0,00-1,00 cm dan hanya dapat ditentukan dua desimal.
(Sastrohamidjojo,1991).

BAB III
PROSEDUR KERJA
3.1 UJI BUIH
1. Ekstrak sebanyak 0,2 gram dimasukkan tabung reaksi, kemudian ditambah air suling
10 ml, dikocok kuat-kuat selama kira-kira 30 detik.
2. Tes buih positif mengandung saponin bila terjadi buih yang stabil selama lebih dari 30
menit dengan tinggi 3 cm di atas permukaan cairan.
3.2 REAKSI WARNA
1. Preparasi Sampel
0,5 gram ekstrak dilarutksn dalam 15 ml etanol, lalu dibagi menjadi tiga bagian
masing-masing 5 ml, disebut larutan IIA, IIB, dan IIC.
2. Uji Liebermann-Burchard
1) Larutan IIA digunakan sebagai blanko, Larutan IIB sebanyak 5 ml ditambah 3
tetes asam asetat anhidrat dan 5 tetes H2SO4 pekat, amati perubahan warna yang
terjadi. Kemudian kocok perlahan dan diamati terjadinya perubahan warna.
2) Terjadinya warna hijau biru menunjukkan adanya saponin steroid, warna merah
ungu menunjukkan adanya saponin triterpenoid dan warna kuning muda
menunjukkan adanya saponin triterpenoid/steroid jenuh.
3. Uji Salkowski
1) Larutan IIA digunakan sebagai blanko, larutan IIC sebanyak 5 ml ditambahkan 1-
2 ml H2SO4 pekat melalui dinding tabung reaksi.
2) Adanya steroid tak jenuh ditandai dengan timbulnya cincin warna merah.
3.3 KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS
1. Identifikasi Sapogenin Steroid/Triterpenoid
1) Ekstrak sebanyak 0,5 gram ditambah 5 ml HCl 2N, dididihkan dan tutup dengan
corong berisi kapas basah selama 50 menit untuk menghidrolisis saponin.
2) Setelah dingin, tambahkan ammonium sampai basa, kemudian ekstraksi dengan 4-
5 ml n-heksana sebanyak 2x, lalu uapkan sampai tinggal 0,5 ml, totolkan pada plat
KLT (cek pada lampu UV 254 nm).
Fase Diam : Kiesel Gel 254
Fase Gerak : n-heksana-etil asetat (4:1)
Penampak noda : Anisaldehida asam sulfat (dengan pemanasan)
3) Adanya sapogenin ditunjukkan dengan terjadinya warna merah ungu (ungu) untuk
anisaldehida asam sulfat.
2. Identifikasi Terpenoid/Steroid Bebas secara KLT
1) Sedikit ekstrak ditambah beberapa tetes etanol, diaduk sampai larut, totolkan pada
fase diam.
2) Uji Kromatografi Lapis Tipis ini menggunakan:
Fase diam : Kiesel Gel 254
Fase gerak : n-heksana-etil asetat (4:1)
Penampak noda : Anisaldehida asam sulfat (dengan pemanasan)
3) Adanya terpenoid/steroid ditunjukkan dengan terjadinya warna merah ungu atau
ungu.
3.4 SKEMA KEJA
3.4.1 UJI BUIH
0,2 g Ekstrak Sapindus rarak dimasukkan tabung reaksi

(+) Air suling 10 ml

(+) Dikocok kuat-kuat ± 30 detik

Tes buih positif mengandung saponin bila terjadi buih yang stabil selama
lebih dari 30 menit dengan tinggi 3 cm di atas permukaan cairan.

3.4.2 REAKSI WARNA


1. Preparasi Sampel
0,5 gram ekstrak dilarutkan dalam 15 ml etanol,

larutan IIA (5 ml) Larutan IIB (5 ml) Larutan IIC (5 ml)


2. Uji Liebermann-Burchard

larutan IIA (5 ml) Larutan IIB (5 ml)


(Blanko) (+) 3 tetes asam asetat anhidrat
(+) 5 tetes H2SO4 pekat

Dikocok perlahan, amati perubahan warna yang terjadi.


(warna hijau biru = saponin steroid,
warna merah ungu = saponin triterpenoid, warna
kuning muda = saponin triterpenoid/steroid jenuh.)

3. Uji Salkowski
larutan IIA (5 ml) Larutan IIC (5 ml)
(Blanko) (+) 1-2 ml H2SO4 pekat
(melalui dinding tabung reaksi)

Timbulnya cincin warna merah.


3.4.3 KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS
1. Identifikasi Sapogenin Steroid/Triterpenoid

Ekstrak sebanyak 0,5 gram ditambah 5 ml HCl 2N, dididihkan dan tutup dengan
corong berisi kapas basah selama 50 menit untuk menghidrolisis saponin.

Setelah dingin, tambahkan ammonium sampai basa, kemudian ekstraksi dengan


4-5 ml n-heksana sebanyak 2x,
Lalu uapkan sampai tinggal 0,5 ml, totolkan pada plat KLT (cek pada lampu
UV 254 nm).

Fase Diam: Kiesel Gel 254


Fase Gerak : n-heksana-etil asetat (4:1)
Penampak noda : Anisaldehida asam sulfat (dengan pemanasan)

Terjadinya warna merah ungu (ungu) untuk anisaldehida asam sulfat.


(Adanya sapogenin)

Bercak diamati dengan sinar tampak menggunakan gelombang


pendek (UV 254 nm) kemudian dengan gelombang panjang (UV
366 nm)

Diukur dan dicatat jarak tiap bercak dari titik penotolan serta
dicatat panjang gelombang untuk tiap bercak yang diamati

Dihitung
harga Rf

2. Identifikasi Terpenoid/Steroid Bebas secara KLT

Sdikit ekstrak ditambah beberapa tetes etanol, diaduk sampai larut, totolkan
pada fase diam.

Fase Diam: Kiesel Gel 254


Fase Gerak : n-heksana-etil asetat (4:1)
Penampak noda : Anisaldehida asam sulfat (dengan pemanasan)

Terjadinya warna merah ungu atau ungu.


(Adanya terpenoid/steroid)

Bercak diamati dengan sinar tampak menggunakan gelombang pendek (UV


254 nm) kemudian dengan gelombang panjang (UV 366 nm)

Diukur dan dicatat jarak tiap bercak dari titik penotolan serta dicatat
panjang gelombang untuk tiap bercak yang diamati

Dihitung harga Rf

BAB IV
HASIL DAN PERHITUNGAN
BAB V
PEMBAHASAN
BAB VI
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Depkes RI. 2008. Farmakope Herbal Indonesia. Jakarta: Badan POM.
Depkes RI. 1989. MATERIA MEDIKA INDONESISA JILID V. Jakarta: Badan POM.
Hal.528.
Depkes RI. 1995. MATERIA MEDIKA INDONESISA JILID VI. Jakarta: Badan POM.
Hal.333-334.
Fatmawati, I. 2014. Efektivitas Buah Lerak (Sapindus rarak De Candole) sebagai Bahan
Pembersih Logam Perak, Perunggu, dan Besi. Jurnal Konservasi Cagar Budaya
Borobudur. 8 (2): 24-31.
Fajriaty, Inarah, dkk. 2017. SKRINING FITOKIMIA DAN ANALISIS KROMATOGRAFI
LAPIS TIPIS DARI EKSTRAK ETANOL BUAH LERAK (Sapindus rarak). Pontianak:
Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura Pontianak.
Gunawan, D. and Mulyani, S. 2004. Ilmu Obat Alam (Farmakognosi). Jakarta: Penebar
Swadaya. Hlm.116
Harborne, J.B. and B.L. Turner. 1984. Plant chemosystematics. London: Academic Press.
Mostaph, M.K. & Uddin, S.B. 2013. Dictionary of plant names of Bangladesh, Vasc. Pl.: 1-
434. Janokalyan Prokashani, Chittagong, Bangladesh.
Permana, Erwin Irawan. 2017. EKSTRAKSI DENGAN METODE MASERASI (TANPA
PEMANASAN) UNTUK BAHAN PESTISIDA NABATI. Pontianak: KEMENTERIAN
PERTANIAN - DIREKTORAT JENDRAL PERKEBUNAN BALAI PROTEKSI
TANAMAN PERKEBUNAN PONTIANAK.
R. Verpoorte, A. W. Alfermann. 2000. Metabolic engineering of plant secondary metabolism.
Springer. ISBN 978-0-7923-6360-6. Page.1-3.
Raharjo, Tri Joko. 2013. Kimia Bahan Alam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
REZKI NURFADILLAH UTAMI. 2016. UJI EFEKTIVITAS EKSTRAK KULIT PISANG
RAJA (Musa paradisiaca var. Raja) TERHADAP PENURUNAN KADAR GULA
DARAH MENCIT JANTAN (Mus musculuss). Makasar : FAKULTAS SAINS DAN
TEKNOLOGI UIN ALAUDDIN MAKASSAR.
Sastrohamidjojo, H. 1996. Sintesis Bahan Alam. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Sulisetijono., dkk. 2016. Physical and Chemical Treatments to Break Seed Dormancy on
Lerak (Sapindus Rarak DC.). Journal of Agriculture and Environmental Reearch.

Anda mungkin juga menyukai