Anda di halaman 1dari 17

Laporan Praktikum

FITOKIMIA
TUGAS II
Identifikasi Senyawa Golongan Glikosida Saponin,
Triterpenoid dan Steroid (Ekstrak Sapindus rarak DC)

Nama : Agus Pratiwi


Nim/ Kelas : 201610410311192/ D
Kelompok : 10

DOSEN PEMBIMBING :
Drs. Herra Studiawan, M.Si.,Apt
Siti Rofida, M.Farm.,Apt.
Amaliyah Dina Anggraeni, M.Farm., Apt.

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2019
TUGAS 2. IDENTIFIKASI SENYAWA GOLONGAN GLIKOSIDA
SAPONIN, TRITERPENOID DAN STEROID
(Ekstrak Sapindus rarak CD)
2.1 TUJUAN
Mahasiswa mampu melakukan identifikasi senyawa golongan glikosida saponin,
triterpenoid dan steroid dalam tanaman.

2.2 TINJAUAN PUSTAKA


2.2.1 Sapindus rarak
Lerak merupakan jenis tumbuhan yang berasal dari Asia Tenggara yang
dapat tumbuh dengan baik pada hampir segala jenis tanah dan keadaan iklim, dari
dataran rendah sampai pegunungan dengan ketinggian 450-1500 m dari permukaan
laut. Umumnya perkembangbiakan lerak dilakukan melalui penanaman biji, sedangkan
perbanyakan dengan stek tidak menunjukkan hasil yang memuaskan (Afriastini,1990).
Secara taksonomi, Lerak mempunyai urutan sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisio : Spermatophyta
Sub Divisio : Angiospermae
Kelas : Eudikotiledon
Sub Kelas : Rosidae
Ordo : Sapindales
Famili : Sapindaceae
Sub Famili : Sapindoideae
Genus : Sapindus
Spesies : Sapindus rarak DC
Sinonim : Sapindus delavayi (China, India) Sapindus detergens (syn. var. Soapnut,
Ritha) Sapindus emarginatus Vahl (Southern Asia) Sapindus laurifolius Vahl – Ritha
(India) Sapindus tomentosus (China) Sapindus vitiensis A.Gray (American Samoa, Samoa,
Fiji)
Lerak tergolong dalam famili Sapindaceae yang berbentuk pohon dan merupakan
raksasa rimba dengan diameter 1 m dan mampu mencapai tinggi 42 m. Daun lerak
bertangkai panjang dan merupakan daun majemuk menyirip yang terdiri atas anak-anak
daun berbentuk bundar memanjang dengan ukuran panjang 4,5–15,5 cm dan lebar
1,5–4,0 cm. Daun muda umumnya berbulu halus dan bila umurnya meningkat bulu ini
gugur dan warna daun menjadi hijau pucat. Ibu tulang daun sebelah bawah agak
menonjol dan berwarna coklat. Pada ujung-ujung tangkainya terdapat karangan
bunga berupa malai yang bergagang panjang (15-35 cm). Bunga berwarna kuning muda,
berkelamin tunggal dan satu rumah, terdiri atas lima helai daun kelopak dengan panjang 2-
3,5 mm, empat helai daun mahkota berbentuk lanset memanjang dengan tepi yang
berambut rapat dan panjangnya 3,5-5 mm, dan 8 buah benang sari.
Bakal buah berlekuk tiga dengan satu bakal biji pada setiap ruang. Buah yang
dihasilkan bulat mirip bola dengan diameter 2-2,5 cm, berminyak dan sedikit berkerut.
Buah lerak yang masih muda berwarna hijau dan buah yang sudah tua berwarna coklat
kehitaman (Heyne, 1987).
Daging buah pada lerak banyak mengandung air, mempunyai rasa pahit dan
beracun. Tiap buah mempunyai satu biji yang berkulit keras berwarna hitam mengkilat
dengan diameter kurang lebih 1 cm. Menurut Heyne (1987) buah lerak terdiri dari 75
persen daging buah dan 25 persen biji, pada bagian daging buah banyak terkandung
senyawa saponin yang merupakan racun yang cukup kuat. Kulit buah, biji, kulit batang dan
daun lerak mengandung saponin dan flavonoida,disamping itu kulit buah juga mengandung
alkaloida dan polifenol,sedangkan kulit batang dan daunnya mengandung tanin.
Senyawa aktif yang telah diketahui dari buah lerak adalah senyawa senyawa dari
golongan saponin dan sesquiterpene (Wina et al., 2005).
2.2.2 Golongan senyawa
Saponin adalah suatu glikosida yang terdapat pada beberapa tanaman. Saponin ada
pada seluruh tanaman dengan konsentrasi tinggi pada bagian-bagian tertentu, dan
dipengaruhi oleh varietas tanaman dan tahap pertumbuhan. Fungsi saponin dalam tanaman
untuk melindungi diri dari hama. Saponin diketahui sebagai bentuk penyimpanan
karbohidrat, atau merupakan waste product dari metabolisme tumbuh-tumbuhan. Sifat
yang khas dari saponin antara lain berasa pahit, berbusa dalam air, mempunyai sifat
detergen yang baik, beracun bagi binatang berdarah dingin, mempunyai aktivitas hemolisis
(merusak sel darah merah), tidak beracun bagi binatang berdarah panas, mempunyai sifat
anti eksudatif dan mempunyai sifat anti inflamatori. Berdasarkan sifat-sifat tersebut,
senyawa saponin mempunyai kegunaan yang sangat luas, antara lain sebagai
detergen, pembentuk busa pada alat pemadam kebakaran, pembentuk busa
pada industri sampo dan digunakan dalam industri farmasi serta dalam bidang
fotografi. Beberapa saponin bekerja sebagai antimikroba, saponin tertentu menjadi
penting karena dapat diperoleh dari beberapa tumbuhan yang digunakan sebagai bahan
baku untuk sintesis hormon steroid yang digunakan dalam bidang kesehatan (Robinson,
1995).
Saponin merupakan jenis glikosida yang terdiri atas gula sebagai bagianglikon
yang terikat pada sapogenin yang merupakan bagian aglikonnya (Harborne,1996).
Berdasarkan struktur kimia, saponin dikelompokkan menjadi tiga kelas utama yaitu kelas
steroid, kelas steroid alkaloid dan kelas triterpenoid (Wallace et al.,2002). Kerangka dasar
sapogeninya adalah cincin pentasiklik sebagai triterpena.Sedangkan saponin steroid
mempunyai struktur sapogenin berupa steroid C-27 dengan rantai samping spiroketal.
Bagian aglikon saponin ini bercincin tetrasiklik seperti sterol, asam empedu, dan aglikon
kardiak (Harbone, 1996).

Gambar 2. Struktur Kimia Kelas Utama dari Saponin (Wallace, 2002)


Saponin sebagian besar terkandung dalam tanaman, namun saponin juga
terkandung dalam beberapa jenis hewan seperti sea cucumber. Saponin yang terkandung
dalam tanaman banyak ditemukan pada bagian akar, umbi, kulit pohon, biji dan buah.
Mayoritas saponin yang terdapat di alam terutama pada tumbuhan merupakan jenis
saponin triterpena. Saponin terdapat pada berbagai spesies tanaman, baik tanaman liar
maupun tanaman budidaya. Saponin juga banyak ditemukan dalam tanaman
yang digunakan sebagai hijauan pakan ternak ruminansia dan tanaman yang berpotensi
sebagai imbuhan pakan untuk ruminansia seperti Yuca shidigera, Quillajasaponaria dan
berbagai macam spesies Sapindus. Kandungan saponin dalam tanaman yang digunakan
sabagai hijauan pakan banyak terdapat pada bagian daun, seperti pada alfalfa,
Enterolobium cyclocarpum, Mellitus alba, Sesbania sesban, S.pachycarpa, Avena sativa
dan Brachiaria decumbens (Wina et al., 2005b).
Spesies tanaman sapindus seperti Sapindus saponaria, S. rarak, S.
emarginatus, S. drummonii dan S. delavay pada umumnya mempunyai
kandungansaponin yang tinggi. Salah satu jenis sapindus yang mempunyai
kandungan saponintinggi dan dapat dimanfaatkan sebagai imbuhan pakan pada
ruminansia adalah Sapindus rarak (lerak). Buah lerak dalam bentuk hasil ekstraksi
dengan metanoltelah dilaporkan mengandung saponin dengan kadar lebih tinggi
daripada buahnyayang tanpa diekstrak (Thalib, 2004). Hal tersebut sesuai dengan
hasil penelitian Astuti et al. (2008) menyatakan buah lerak (Sapindus rarak) yang
diekstraksi dengan metanol mengandung saponin yang cukup tinggi yaitu mancapai
81,5%. Menurut Sunaryadi (1999) kandungan saponin total hasil ekstraksi tanaman
lerak banyak terdapat di bagian daging buah yaitu sekitar 48,87%.
2.2.3 Cara identifikasi golongan senyawa
Tumbuhan dibuat simplisia. simplisia ditambahkan air dan digerus ad
alumat. panaskan dan ditambah sedikit air. panaskan lagi kemudian dinginkan,
kocok selama beberapa menit pembentukan busa ± 1cm dan persisten dalam waktu
beberapa menit dan tidak hilang dengan penambahan asam adanya senyawa golongan
saponin (Farnsworth, 1966)
2.2.3.1 Metode Forth
Masukan 2ml sampel kedalam tabung reaksi tambahkan 10 ml
aquadest, kocok selama 30 detik. Apabila busa tidak hilang postif mengandung
saponin.Uji penegasan. Uapkan sampel sampai kering cuci dengan heksana sampai filtrat
berwarna jernih. Residu yang tertinggal ditambah dengan kloroform aduk selama 5
menit, tambahkan Na2SO4 anhidrat kemudian disaring. Filtrat dibagi menjadi 2 bagian
filtrat A(blanko) filtrat B tetesi dengan anhidrida asetat aduk perlahan tambahkan
H2SO4 pekat aduk kembali apabila terbentuk cincin merah sampai coklat adanya senyawa
golongan saponin. (Rusdi, 1990)
Ekstrak uji dimasukan ke dalam tabung reaksi ditambahkan dengan
10 ml air panas dinginkan kocok kuat selama 10 detik terbentuk buih yang
konstan selama 10 menit setinggi 1-10cm buih tidak hilang dengan
penambahan HCl 2N adanya senyawa golongan saponin. (Depkes RI, 1995)
2.2.4 Pemisahan Kromatografi
Kromatografi adalah suatu metode pemisahan berdasarkan perbedaan
perpindahan dari komponen-komponen senyawa diantara dua fase yaitu fase diam
(dapat berupa zat cair atau zat padat) dan fase gerak (dapat berupa gas atau zat cair)
(Depkes, 1995). Fase diam berupa zat padat maka cara tersebut dikenal sebagai
kromatografi serapan, jika zat cair dikenal sebagai kromatografi partisi. Karena fase
gerak dapat berupa zat cair dan gas maka ada empat macam sistem kromatografi
(Sastrohamidjojo, 1985)
a. Fase gerak zat cair–fase diam padat:
 Kromatografi lapis tipis
 Kromatografi penukar ion
b. Fase gerak gas–fase diam padat:
 Kromatografi gas padat
c. Fase gerak zat cair–fase diam zat cair:
 Kromatografi cair kinerja tinggi
d. Fase gerak gas–fase diam zat cair:
 Kromatografi gas cair
 Kromatografi kolom kapiler
Pemisahan dan pemurnian kandungan tumbuhan dilakukan dengan
menggunakan salah satu atau gabungan dari beberapa teknik tersebut dan dapat
digunakan pada skala mikro maupun makro (Harborne, 1987).
2.2.4.1 Kromatografi Lapis Tipis
Kromatografi lapis tipis adalah metode pemisahan fisikokimia. Lapisan
pemisah terdiri atas bahan berbutir-butir (fase diam), ditempatkan pada penyangga
berupa plat gelas, logam atau lapisan yang cocok. Campuran yang akan dipisah
berupa larutan yang ditotolkan baik berupa bercak ataupun pita, setelah plat atau
lapisan dimasukkan ke dalam bejana tertutup rapat yang berisi larutan pengembang
yang cocok (fase gerak), pemisahan terjadi selama perambatan kapiler
(pengembangan), selanjutnya senyawa yang tidak berwarna harus ditampakkan
(Stahl, 1985).
Pendeteksian bercak hasil pemisahan dapat dilakukan dengan beberapa
cara. Untuk senyawa tak berwarna cara yang paling sederhana adalah dilakukan
pengamatan dengan sinar ultraviolet. Beberapa senyawa organik bersinar atau
berfluorosensi jika disinari dengan sinar ultraviolet gelombang pendek (254 nm)
atau gelombang panjang (366 nm), jika dengan cara itu senyawa tidak dapat
dideteksi maka harus dicoba disemprot dengan pereaksi yang membuat bercak
tersebut tampak yaitu pertama tanpa pemanasan, kemudian bila perlu dengan
pemanasan (Gritter, et al., 1991; Stahl, 1985)
 Fase diam penjerat
Kromatografi lapis tipis, fase diam berupa lapisan tipis yang terdiri atas
bahan padat yang dilapiskan pada permukaan penyangga datar yang
biasanya terbuat dari kaca, dapat pula terbuat dari plat polimer atau logam.
Lapisan melekat pada permukaan dengan bantuan bahan pengikat, biasanya
kalsium sulfat atau amilum. Penjerap yang umum dipakai untuk
kromatografi lapis tipis adalah silika gel, alumina, kieselgur dan selulosa
(Gritter, et al., 1991).
Dua sifat yang penting dari fase diam adalah ukuran partikel dan
homogenitasnya, karena adesi terhadap penyokong sangat tergantung pada
kedua sifat tersebut. Ukuran partikel yang biasa digunakan adalah 1-25
mikron. Partikel yang butirannya kasar tidak akan memberikan hasil yang
memuaskan dan salah satu cara untuk memperbaiki hasil pemisahan adalah
dengan menggunakan fase diam yang butirannya lebih halus. Butiran yang
halus memberikan aliran pelarut yang lebih lambat dan resolusi yang lebih
baik (Sastrohamidjojo, 1985).
 Fase gerak
Fase gerak ialah medium angkut yang terdiri atas satu atau beberapa pelarut,
jika diperlukan sistem pelarut multi komponen, harus berupa suatu
campuran sesederhana mungkin yang terdiri atas maksimum tiga komponen
(Stahl, 1985).
Pemisahan senyawa organik selalu menggunakan pelarut campur. Tujuan
menggunakan pelarut campur adalah untuk memperoleh pemisahan
senyawa yang baik. Kombinasi pelarut adalah berdasarkan atas polaritas
masing-masing pelarut, sehingga dengan demikian akan diperoleh sistem
pengembang yang cocok. Pelarut pengembang yang digunakan dalam
kromatografi lapis tipis antara lain: n-heksan, karbontetraklorida, benzen,
kloroform, eter, etilasetat, piridian, aseton, etanol, metanol dan air (Gritter,
et al., 1991)
 Harga Rf
Mengidentifikasi noda-noda dalam kromatografi lapis tipis sangat lazim
menggunakan harga Rf (Retordation Factor) yang didefinisikan sebagai
berikut:
Harga Rf beragam mulai dari 0 sampai 1. Faktor-faktor yang
mempengaruhi harga Rf (Sastrohamidjojo, 1985):
 Struktur kimia dari senyawa yang sedang dipisahkan
 Sifat penjerat
 Tebal dan kerataan dari lapisan penjerat
 Pelarut dan derajat kemurniannya
 Derajat kejenuhan uap pengembang dalam bejana
 Teknik percobaan
 Jumlah cuplikan yang digunakan
 Suhu
 Kesetimbangan.
2.2.4.2 Kromatografi Kolom
Kromatografi cair yang dilakukan di dalam kolom besar merupakan metode
kromatografi terbaik untuk pemisahan campuran dalam jumlah besar (lebih dari 1
g), kadang-kadang cara ini disebut kromatografi cair preparatif (KCP = PLC). Pada
kromatografi kolom, campuran yang akan dipisahkan diletakkan berupa pita pada
bagian atas kolom penjerap yang berada pada tabung kaca, tabung logam, atau
tabung plastik. Pelarut (fase gerak) dibiarkan mengalir melalui kolom, karena aliran
yang disebabkan oleh gaya berat atau didorong dengan tekanan. Pita senyawa
bergerak melalui melalui kolom dengan laju yang berbeda, memisah dan
dikumpulkan berupa fraksi ketika keluar dari alas kolom (Sastrohamidjojo, 1985).

2.3 PROSEDUR KERJA


2.3.1 Uji Buih
1. Ekstrak sebanyak 0,2 g dimasukkan tabung reaksi, kemudian ditambahkan air
suling 10 ml dikocok kuat-kuat selama kira-kira 30 detik
2. Tes buih positif mengandung saponin bila terjadi buih yang stabil selama lebih dari
30 menit dengan tinggi 3 cm diatas permukaan cairan
2.3.2 Reaksi Warna
2.3.2.1 Preparasi Sampel
0,5 g ekstrak dilarutkan dalam 15 ml etanol, lalu dibagi menjadi tiga bagian
masing-masing 5 ml, disebut sebagai larutan IIA, IIB,IIC
2.3.2.2 Uji Liebermann-Burchard
1. Larutan IIA digunakan sebagai blangko, larutan IIB sebanyak 5 ml ditambahkan 3
tetes asam asetat anhidrat dan 5 tetes H 2SO4 pekat, amati perubahan warna yang
terjadi.
2. Terjadinya warna hijau biru menunjukkan adanya saponin steroid, warna merah
ungu menunjukkan adanya saponin triterpenoid dan warna kuning muda
menunjukkan adanya saponin triterpenoid/ steroid jenuh
2.3.2.3 Uji Salkowski
1. Larutan IIA digunakan sebagai blangko, larutan IIC sebanyak 5 ml ditambahkan 1-
2 ml H2SO4 pekat melalui dinding tabung reaksi
2. Adanya steroid tak jenuh ditandai dengan timbulnya cincin warna merah
2.3.3 Kromatografi Lapis Tipis
2.3.3.1 Identifikasi Sapogenin Steroid/Triterpenoid
1. Ekstrak sebanyak 0,5 g ditambah 5 ml HCl 2N, didihkan dan ditutup dengan
corong berisi kapas basah selama 50 menit untuk menghidrolisis saponin
2. Setelah dingin tambahkan ammonia sampai basa, kemudian ekstraksi dengan 4-5
ml n-heksan sebanyak 2x, lalu uapkan sampai tinggal 0,5 ml, totolkan pada plat
KLT.
Fase diam : Kiesel Gel 254
Fase Gerak : n-heksan-etil asetat (4:1)
Penampak noda : - anisaldehida asam sulfat (dengan pemanasan)
3. Adanya sapogenin ditunjukkan dengan terjadinya warna merah ungu (ungu) untuk
anesaldehida asam sulfat
2.3.3.2 Identifikasi Terpenoid/Steroid Bebas Secara KLT
1. Sedikit ekstrak ditambah beberapa 1-2 ml n-heksan, diaduk sampai larut, totolkan
pada fase diam
2. Uji kromatografi lapis tipis ini menggunkan :
Fase diam : Kiesel Gel
Fase Gerak : n-heksan-etil asetat (4:1)
Penampak noda : Anisaldehida asam sulfat (dengan pemanasan)
3. Adanya terpenoid/steroid ditunjukkan dengan terjadinya warna merah ungu atau
ungu.

2.4 SKEMA KERJA


2.4.1 Uji Buih

Ekstrak 0,2g Tambahkan air suling, (+) jika terdapat buih stabil
10 ml. Kocok kuat selama 30 menit dengan
masukkan dalam
selama 30 detik tinggi 3 cm diatas permukaan
tabung reaksi cairan
2.4.2 Reaksi Warna

0,5 g ekstrak
larutkan Lalu bagi menjadi
dalam 15 ml 3 bagian 5 ml
etanol

IIA IIB IIC

Blangko Ditambah 3 tetes Ditambah 1-2 ml


asam asetat H2SO4 pekat
anhidrat dan 5 melalui dinding
tetes H2SO4 pekat tabung reaksi

Kocok perlahan Adanya steroid


tak jenuh ditandai
denga timbulnya
Amati perubahan cincin merah
warna

Hijau biru : saponin steroid


Merah ungu : saponin triterpenoid
Kuning muda : saponin triterpenoid/
steroid jenuh
2.4.3 Kromatografi Lapis Tipis
2.4.3.1 Identifikasi Sapogenin Steroid / Triterpenoid

Di Setelah dingin
0,5 g ekstrak tambahkan
dihkan dan ditutup
ditambahkan 5 ml amonia sampai
dengan corong berisi
HCl 2N basa
kapas basah selama 50
menit

Eluasi dengan n-
heksan-etil asetat
(4:1) Ekstraksi dengan
Uapkan sampai tinggal 4-5 ml n-heksan
0,5 ml totolkan pada sebanyak 2x
plat KLT

Adanya sapogenin terjadi


warna merah ungu (ungu)
untyk anisaldehida asam
Semprot dengan sulfat
penampak noda dan
dipanaskan. Lihat noda
di UV 254 nm
2.4.3.1 Identifikasi Terpenoid/Steroid Bebas Secara KLT

Sedikit Ditambahkan
ekstrak dengan beberapa Totolkan pada
1-2 ml n-heksan fase diam

Adanya
terpenoid/steroid
terjadi warna
merah ungu atau
ungu
Semprot dengan
Eluasi dengan n-
penampak noda
heksan-etil asetat
dan dipanaskan
(4:1)
DAFTAR PUSTAKA
Afriastini, J.J. 1990. Daftar Nama Tanaman. Penebar Swadaya, Jakarta.
Astuti et al. 2008. Performa dan Profil Beberapa Komponen Darah Sapi Peranakan Ongole
yang di beri paka Mengandung Lerak (Sapindus rarak DC Condole) Departemen
Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan IPB
Depkes RI.(1995). Materia Medika Indonesia. Jilid VI . Cetakan Keenam. Jakarta:
Direktorat Jendral Pengawasam Obat dan Makana
Harbone, JB.1987. Phytochemical Methods. Terbitan kedua diterjemahkan oleh
Padmawinata.K dan Soediro L. ITB. Bandung
Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Vol. III. Terjemahan: Badan
Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Sarana Jaya, Jakarta.
Robinson, T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Penerjemah K.
Padmawinata. ITB Press, Bandung
Sastrohamidjojo, H. 1985. Kromatografi. 26-36. Lieberty Yogyakarta. Yogyakarta
Thalib A. 2004. In vitro study of effectiveness of saponin from Sapindus rarak fruits as
methanogenesis inhibitor on ruminal digestion system. JITV 9 (3) :164-171
Wina, E., S. Muezel, E. Hoffman, H.P.S. Makkar, and K. Becker. 2005. Saponins
containing methanol extract of sapindus rarak affect microbial fermentation,
microbal activity and microbial comunity structure in vitro. J. Animal Feed Science
and Technology
PEMBAHASAN

Anda mungkin juga menyukai