Anda di halaman 1dari 8

Embun Membisu

By : Hawara

Kebodohan dan keluguan ku membuat semua berkabut, semenjak semua tatapanmu


tertuju padaku namun aku tak pernah menyadari itu. Setiap pagi, kamu selalu melakukan hal
yang sama kepadaku. Kamu mengetahui persis setiap aktivitasku dipagi itu. Pagi terus berganti
malam, hingga lagi – lagi jarak menjadi penyudah kebiasaan yang kamu lakukan kepadaku.
Kamu harus pergi jauh untuk bekerja. Dan membuat mu terus dirundung kegundahan dan selalu
bertanya, “Apakah kelak aku akan bisa melihatmu lagi, atau apakah kita bisa bertemu dalam
suatu moment yang indah?”. Hmm.. itu hanya kehaluan aku saja, tidak akan mungkin itu terjadi
jika aku saja masih menutupi keberanian untuk mengutarakan nya padamu.

***

(bel rumah berbunyi) ting..tong. Menyuruhku untuk bergegas melangkahkan kaki untuk
menyapa tamu yang berdiri dibalik pintu rumah. “Hi bubun…” itulah sapaan hangat sahabat –
sahabat ku disekolah maupun di komplek rumahku. Sembari aku suguhi mereka dengan cemilan
dan manisnya sirup strawberry dan tanpa basa – basi hawara pun dengan gelar ratu celoteh
memulai percakapan kita. Kita pun bercengkrama membahas kegilaan yang sudah lewat, banyak
sekali kejadian – kejadian lucu hingga menyeramkan selama 3 tahun terakhir. Hingga teman –
teman lain khususnya dikelas ku menjuluki kami genk tumis buncis. Yaa, sesuai dengan
sebutannya kita terdiri dari lima cewek manis, namun terselip kegarangan dari tingkah, hingga
lisan kami yang pedas. Well.. tapi sebenarnya hati kita baik kok. Namun, suasana ramai berubah
menjadi keheningan ketika fey menanyakan satu pertanyaan “Nanti, kita akan tetap bareng –
bareng lagi kan? Apalagi kumpul – kumpul gini sudah jarang kita lakuin ditambah kalian pasti
akan merantau kekota – kota untuk menyambut kampus impian kalian”. “Tidak..tidak akan itu
terjadi, kita pasti tetap berkomunikasi kok, sekarang kan zaman modern ada whatssapp video
call kan bisa, terus ntar pasti kita dapat jatah libur kok buat balik kerumah lagi ya kan ?”
(jawabku menghadirkan senyum diwajah mereka). Sehingga kita kembali bergurau, namun
kembali satu pertaanya yang begitu mengejutkan terjadi dan mengarah kepadaku. “Oiya bun,
kamu tau nggak kalau selama ini si Al tetangga belakang rumah mu itu, suka ngeliatain kamu
tauu. Sepertinya dia suka deh sama kamu” (tanya hawara sambal bercanda). Hanya jawaban
mengelak yang aku lontarkan, dengan rasa tidak percaya akan pertanyaannya. Kemarin kan si Al
bareng aku dan teman – temannya lagi kumpul di cafe sebelah rumahmu, dan tatapan si Al selalu
kearah rumah mu saat itu juga kami iseng dan mengageti Al tiba – tiba si Al bilang “Embun lagi
apa ya?” seketika kami pun dibuat tercengang oleh perkataannya. Saat itulah aku menyimpulkan
kalua Al suka sama kamu bun. Tapi tetap saja aku hanya tercengir dengan pernyataan hawara.
“Bun, kalau jodoh maah, nggak kemana. Siapa tau nanti dia jodohmu (jawab fey)”. “Gak
mungkin laah, ngomong aja kita belum pernah. Kita juga beda banget aku anaknya rumahan
sedangkan dia suka nongkrong – nongkrong gituu, keliatannya sih anak nakal dia itu
(jawabku)”. “Benci lama – lama jadi cinta lhoo (cetus fey)”. Sesaat setelah mereka membuat ku
kaget, mereka pun balik, dan ini pertemuan terakhir kami sebelum kita pergi merantau.

Teriak ibu, dari lantai bawah untuk menyuruhku segera makan malam. Akan tetapi,
pikiran ku masih terbayang oleh perkataan fey tadi sore dan membuatku melamun saat dimeja
makan. “Bun, ayo dimakan makanmu keburu dingin (kaget ibuku)”. Tak lama selesai makan,
akupun bergegas kembali kekamar untuk melanjutkan kegiatan packing ku dibantu juga oleh
ibuku karena besok pagi – pagi aku harus terbang ke daerah Jawa untuk memulai sekolah yang
baru sebagai mahasiswi. “Besok kamu sudah berangkat, apalagi yang kamu pikirkan hingga ibu
lihat kamu dari tadi melamun terus, ada apa cerita saja sama ibu ? (tanya ibu)”. Dan
kuceritakan lah keibu apa yang dikatakan oleh fet tadi. “Jodoh memang gak kemana nak, kalau
memang jodoh Tuhan akan mempertemukan kalian, meskipun sejauh apapun jarak jika jodoh
pasti akan ditemukan (jawab ibu)”.

***

Keesokan paginya, aku pun berpamit dengan orang tua dan kakak ku, serta sahabat –
sahabatku juga. Sekaligus meminta doa restu mereka untuk ku dalam menjalani perkuliahan
Berhubung jarak bandara dari rumah ku lumayan jauh, dan ayah ibu yang juga bekerja dijam
yang sama jaidnya aku dianter oleh pak karmin supir di keluarga ku. Sepanjang jalan aku selalu
teringat dengan perkataan fey. Sambal berpikir “Apa iya dia suka sama aku. Apa aku aja yang
nggak peka dan nggak terbuka sama hatiku sekarang?. Ahh.. ntahlah ntar juga aku pasti lupa
kok, benar kata ibu jodoh emang nggak kemana. Aku sibuk kuliah juga, pasti lupa daah”.

***
Seperti dugaan ku 3,5 tahun berlalu, awalnya semua baik – baik saja. Hingga ada salah
satu kegiatan pengabdian yang mewajibkan aku untuk ikut andil didalamnya. Mungkin sobat
semua pada tahu kan istilah KKN. Yaa… kebanyakan orang bilang kegiatan tersebut adalah
tempat dimana hubungan terjalin sebut aja cinlok. Seminggu telah berlalu, aku telah
mendapatkan tugas yang mesti aku lakukan dan itu terjadwal tiga hari kedepan. Sehingga aku
menyibukkan diri untuk mempersiapkan segala keperluan yang digunakan. Salah satunya adalah
aku harus mendesain poster untuk acara tersebut. Untuk itu, salah satu media yang aku gunakan
ialah laptop. Sebelum mendesain aku selalu browsing terkait gambar, dan isi dari poster tersebut.
Dan ketika aku browsing, salah satu akun sosisal media ku terbuka karena aku selalu
memainkannya ketika dirumah. Sehingga ketika aku browsing akan otomatis terbuka. Dan begitu
kagetnya, ada 5 notifikasi messages yang masuk dan saat aku buka, itu dari Al tetangga belakang
rumah ku. Tiga diantaranya dia mengirimkan pesan dengan mengirimkan salam
“Assalamuallaikum Wr.Wb” karena dia tahu aku terbilang gadis yang tertutup dan juga tidak
sering keluar rumah semacam hangout gitu. Dan dua pesannya lagi dia menanyakan kabar aku
bagaimana. Dia mengirimkan pesan tersebut di hari yang berbeda. Ntah, mengapa dia melakukan
itu, dan akupun tanpa pakai pikir panjang segera membalas pesan tersebut meski setelah
bertahun – tahun lamanya. Dari situlah awal mulanya embun membisu. Dengan segera akupun
menyelesaikan desain ku.

***

Seiring berjalannya waktu, akupun bersama teman yang juga satu divisi dengan ku
menyelasaikan tugas kami dalam kegiatan pengbdian tersebut, dan hal selanjutnya kita kerjakan
adalah untuk membuatnya dalam sebuah laporan. Yaa.. ketika moment itu tiba, aku mulai
merasakan kebosanan yang amat, dan hanya bisa menunggu kapan kita pulang,. Keesokan
harinya hingga hari terakhir kami ditempat penginapan yang aku kerjakan hanyalah tidur, makan,
ngobrol bareng teman – teman, main musik, dan tidak lupa dengan laporan. Hanya itu dan itu itu
saja, “Sungguh membosankan (ketusku)”. Sesambil aku mengerjakan laporan, aku teringat oleh
pesan yang beberapa hari lalu masuk di salah satu akun sosial mediaku. Dan ketika aku buka,
terlihat jelas simbol merah menghiasi halaman beranda ku. Itu menunjukkan ada satu pesan
masuk. Assalamuallaikum embun, aku Al tetangga belakang rumahmu. Kamu sedang apa? Aku
harap kamu baik – baik saja (bunyi pesan masuk). Aku pun membalas pesan tersebut. Dan terus
berlanjut hingga beberapa hari kedepan. Sampai akhirnya kita pun bertukar nomor WA. Dari
situlah awal kedekatan aku dengan Al, kita saling mengenal satu sama lain, dan tanpa ragu kita
juga berbagi cerita mulai dari pekerjaan dia di negara tetangga hingga hari pertama aku masuk
kuliah hingga sekarang. Lama – kelamaan aku pun merasa nyaman dengan kehadirannya,
meskipun jarak menjadi saksi dan dia pun tak pernah lupa untuk menanyakan kabar dan
keberadaan ku. Hari demi hari terlewati, hingga tiba pada satu peristiwa yang amat baru aku dan
dia alami. Ada satu panggilan masuk di whatssapp ku, panggilan tersebut dari Al. Awalnya aku
sempat ragu untuk menerima panggilan tersebut, karena sebelumnya aku belum pernah teleponan
dengan seseorang khusunya laki – laki. Akan tetapi, aku mencoba memberanikan diri untuk
mengankat telepon tersebut. Ketika angka durasi telepon muncul dillayar hp ku, tak ada satu kata
pun keluar dari mulut kita berdua. Kita sama – sama canggung. Dan tidak lama kemudian teman
satu kos ku, berteriak sambal tertawa “Ciee.. bubun teleponan sama gebetannya”. “Hah! Apaan
sih, bukan dia teman aku aja”. “Teman apa teman (canda temanku)”. Seketika Al pun mulai
bicara dengan suara pelan “Tadi siapa? Teman mu ? (tanya Al)”. “Iya..hmm maaf ya tadi dia
teriak emang suka iseng dia anaknya (jawabku tersipuh malu)”. “Iya, nggak apa – apa kok”.
Selanjutnya kita mulai berani dan tidak canggung satu sama lain untuk mengobrol, dan bahkan
hanya sekedar tanya kabar. Dan tiba pada topik terakhir kita ditelepon saat itu. Al yang mula –
mula berbicara pelan denganku, hingga obrolan yang awal penuh dengan keseruan, tiba– tiba
berubah menjadi hening. Dan Al pun seketika berbicara dengan nada serius “Setelah sekian
lama, kita dekat. Aku merasa nyaman dan yakin akan perasaan ini kekamu. Mungkin ini akan
mengejutkan buatmu dan untuk ku sendiri. Jujur, ini merupakan pengalaman pertamaku, dan
sekarang aku merasa gugup ketika harus mengatakan ini kekamu. Bahwa sudah lama aku
memendamnya, namun ternyata keberanian tidak memihak kepadaku. Sehingga jarak hadir
menjadi takdir. Embun, aku suka sama kamu”. “Tidak apa, jika kamu belum menjawabnya. Aku
rasa kamu butuh waktu untuk memikirkannya (lanjut Al)”. Dan begitulah panggilan kita
berakhir. Aku pun belum memberikan jawabannya. Aku pun berpikir untuk menceritakan ke
salah satu sahabat ku yaitu hawara. Dan dia pun menyarankan untuk jujur juga dengan perasaan
yang aku rasakan sekarang ke Al. Setelah itu, aku mencoba untuk memikirkannya. Dan selalu
saja pernyataan Al tersebut menghantui pikiran ku. Tiga hari telah berlalu, namun tidak dengan
pikiran ku yang masih saja terhambat oleh pernyataan Al beberapa hari lalu. Tidak lama, Al pun
kembali meneleponku. Kecurigaanku tentang dia ingin meminta jawaban ku bermunculan. Dan
benar saja, hal itu terjadi. Saat aku ingin memberikan penjelasan, lagi – lagi dia membuat ku
dihantui rasa bersalah jika tidak menerima dia. Bahkan dia pun berjanji untuk melakukan apapun
yang aku inginkan, dan memberikan yang aku minta. Terlepas dari apakah aku juga menyimpan
perasaan yang sama atau tidak ke dia. Akupun mengikuti saran sahabatku, aku mengatakan
sejujurnya tentang perasaan ku. Seterusnya hubungan kita pun bisa dibilang semakin dekat
layaknya seperti sepasang kasih. Namun, hubungan kita tidak dalam status pacaran, akan tetapi
kita menjalaninya saja dengan komitmen yang sudah kita sepakati bersama. Hubungan kami
sudah berjalan baik selama sepuluh bulan. Sebagian orang mungkin mengira hubungan jarak
jauh memanglah sulit, tapi tidak dengan aku dan Al. Kami begitu menjalani hubungan ini
dengan sangat baik, selagi komunikasi tetap berjalan dan saling terbuka satu sama lain. Oiya, aku
dan Al sama – sama menjalani cinta pertama kami. Sehingga terkadang kami sering berbagi
cerita dan pendapat dengan sahabat kita masing – masing.

***

Tiba saatnya dimana aku harus berurusan dengan tugas akhir sebagai seorang mahasiswa.
Ya, apalagi kalau bukan skripsi istilah yang sangat identik dengan seorang sarjana. Akupun
beserta teman 1 kelompok ku sangat fokus selama proses penelitian dan disaat yang bersamaan
aku merasa ada kejanggalan hubungan aku dengan Al. Awalnya aku merasa biasa saja selagi
penelitian ku membuat aku tidak memikirkan seseorang yang saat ini sedang dekat dengan ku.
Tetapi, setelah 1 bulan aku menjalani penelitian, tidak satupun panggilan maupun pesan
menghiasi halaman notifikasi di handphone ku. Akupun meminta saran dari hawara apa yang
harus aku lakukan, dan dia mengatakan untuk aku berpikir positif bisa saja dia sibuk dan ada
urusan dari pekerjaanya. Akupun mengikuti sarannya, aku berhenti berpikir buruk tentang Al.
Bulan kedua pun tiba, dan Al kerap belum memberikan kabar apapun, dia juga tidak ada
menghubungi aku sama sekali. Dan aku mencoba untuk menghubunginya balik tetap tidak ada
balasan apapun darinya. Hingga semakin sedikit waktuku untuk memikirkannya dikarenakan aku
harus bergelut dengan ratusan data yang harus aku selesaikan dalam kurun waktu 2 minggu.
Gila..! ini sangat membuat aku gila. Disisi lain kuliah ku sangat aku prioritaskan, namun disisi
lain juga asmara tetap aku pikirkan. Seiring berjalannya waktu hawara yang mengetahui hal ini,
dia khawatir dengan kondisi ku yang makin buruk, nafsu makan tidak terkendali, tidur pun hanya
kurang dari lima jam. Dia pun memutuskan untuk tinggal di kos ku beberapa hari untuk
mengontrol kondisiku dan membantu ku untuk menyelesaikan analisis data penelitianku. Tak
lupa, dia juga selalu menyemangati ku dikala aku terkadang teringat oleh renggangnya hubungan
ku dengan Al. Berselang 3 hari berikutnya, aku pun mendapatkan sebuah notifikasi pesan di
whaatssapp ku. Aku berharap itu Al dan ternyata bukan. Pesan tersebut tidak diketahui namanya,
hanya bertulis nomor yang belum terdaftar di kontak handphone ku. Dan isi pesan tersebut
“Assalamuallaikum, aku moris. Pasti kamu masih ingat aku kan tetangga sebelah rumahmu ?”.
Ketika aku mengetahuinya aku senang dan masih tidak percaya teman semasa kecil ku setelah
bertahun – tahun lamanya kita tidak lagi menjalani komunikasi. Oiya sob.. moris adalah teman
ku dari kecil, dia anak tetangga sebelah rumah ku. Dia kerap setiap hari bermain kerumah ku dan
orang tua kami pun sangat akrab, sehingga kami kadang disebut seperti kakak dan adik. Padahal
usia kami sama hanya berbeda beberapa bulan saja. Dan dia juga sudah dianggap seperti anak
sendiri oleh ibuku, berhubung aku tidak punya saudara laki – laki. Yang mungkin juga
mengejutkan untuk sobat adalah bahwa moris dan Al merupakan saudara sepupu. Hanya saja aku
lebih akrab dengan moris. Itulah sedikit perkenalan ku tentang moris. Akupun segera membalas
pesan tersebut. Dan tanpa ragu aku juga berbagi kisah tentang hubungan ku dengan Al
kepadanya. Kita pun sering video call bercengkrama bareng. Dan dia juga selalu mendukung dan
menyemangati ku untuk segera menyelesaikan analisis data ku. Dari situ aku mulai menyadari,
bahwa semakin kesini aku sudah mulai perlahan melupakan Al yang ntah dimana dan bagaimana
kabarnya. Setiap malam moris selalu menyempatkan waktunya untuk menghubungi ku, bahkan
dia pun rela menunggu aku sambil meyelesaiakn kerjaan ku hingga tengah malam. Begitupun
seterusnya hingga 2 minggu kedepan dan tugas yang telah terselesaikan. Semakin sering aku
ngobrol dengan moris di via telepon, dan kami yang sudah mengenal satu sama lain semakin aku
merasa nyaman akan kehadirannya, begitupun dia yang dengan lantang mengatakan jujur atas
perasaannya yang dia pendam kepadaku. Yang terjadi justru sebaliknya aku nayaman dengannya
hanya sebatas teman dan sudah aku anggap seperti abang (kakak laki – laki) aku sendiri. Tapi
dengan begitu, aku tetap menghargai apapun yang sudah dia lakukan dengan kejujuran yang
begitu tinggi atas rasa sukanya padaku. Akupun hanya memberikan kesempatan padanya untuk
menjalani saja sebagaimana hubungan kita sebelumnya tanpa ada sebuah status diantara kita.
Karena prinsip ku adalah ketika kamu memiliki status pacaran dengan seseorang yang kamu
suka dan ketika takdir mengharuskan kita untuk berpisah saat itu pula status tersebut berubah
menjadi mantan. Akan tetapi, jika dari awal hanya komitmen yang dipegang satu sama lain,
walaupun takdir berkata “tidak” kamu masih akan tetap menjalin hubungan layaknya sahabat
bahkan saudara dan tidak akan terjadi kecanggungan jika kamu bertemu dengannya
dikemudian hari. Setelah dia mengetahui alasan dan prinsip ku tentang menjalani hubungan
dengan seseorang dia pun mengerti. Dan menerima keputusan ku. Dan lagi dia juga sudah tahu
renggang nya hubungan ku saat ini dengan Al, ditambah dia pun mengerti perasaan ku yang
masih belum bisa melupakan Al sepenuhnya dan dia juga menghargai perasaan sepupunya itu
yang pernah terjalin dengan ku. Satu hal yang membuat aku masih tetap memberikan
kesempatan kedua kepada Al adalah ketika moris menceritakan kegiatan Al akhir – akhir ini
ialah asyik bermain dengan gadget nya. Dan aku berpikir kebiasaan itu bisa hilang jika aku dan
ia bisa kembali berkomunikasi lagi dan memberitahukan apa yang seharusnya ia lakukan dengan
begitu aku juga akan menjelaskan agar kita harus bisa saling mengerti. Disini aku menanti
kabarnya sedangkan dia disana malah asyik dengan gamesnya. Moris bisa mengetahui hal itu
karena mereka berdua bekerja di satu kantor yang sama. Oleh sebab itu terkadang moris juga
membantu ku untuk memperbaiki hubungan aku dengan Al.

Namun, dengan pengorbanan yang dilakukan oleh moris kepadaku membuat aku semakin
merasakan rasa bersalah, sehingga aku curhat dengan hawara dan ia menasihati ku untuk
“Jangan menyakiti perasaanya, jangan kau berikan harapan apapun padanya jika memang
kamu tidak menaruh rasa suka juga dengannya. Aku tahu perasaanmu sekarang bagaimana tapi
bukan berarti kamu berhak menyakiti ia yang sudah memulihkan kondisimu setelah ditinggal
kabar oleh Al. Sekarang begini saja, jika kamu sayang dengan keduanya, supaya kamu tidak
kehilangan keduanya. Kamu harus rela kehilangan salah satunya daripada kamu harus
kehilangan keduanya. Jadikan ia menjadi sahabat mu seperti aku yang ikhlas, tulus
mensupportmu, hadir saat suka dan duka mu. Dan begitu juga dengan dia, kalaupun dia sayang
sama kamu pasti dia bisa menerimanya, dan kamu juga bisa memberikan dia kesempatan untuk
menyukai gadis lain yang mungkin bisa lebih baik dari kamu sekarang. Karena itu haknya (jelas
hawara)”. Akupun hanya bisa terdiam setelah apa yang aku lakukan terhadap moris terlalu
berlebih, yang bisa mengundang kesalahpahaman diantara kami. Aku mulai berpikir dalam
beberapa waktu kedepan untuk memutuskan mana yang aku pilih. Disaat aku mulai
memikirkannya, tiba – tiba satu panggilan masuk dari Al, seperti harapan ku sebelumnya untuk
memberikan dia kesempatan kedua aku pun menerima panggilan itu, dan ternyata tujuan dia
menelepon adalah meminta maaf yang sebesar – besarnya dan meminta diberikan kesempatan
kedua untuk memperbaiki kesalahan yang sudah ia perbuat. Dia sadar bahwa perbuatannya
memang keterlaluan ketika wanita yang dia sayang menanti kabar dari nya tapi ia hanya sibuk
dengan hobi nya tanpa memberikan kabar satupun hingga berbulan – bulan. Dia pun sempat
berpikir selama itu aku sudah punya yang baru sehingga dia tidak memberanikan diri untuk
menghubungi ku, akan tetapi dia merasa ragu dengan keputusannya itu. Dia mengatakan bahwa
usaha yang sudah ia lakukan untuk bisa mengikhlaskanku bersama orang lain berakhir sia – sia
dan itu sangatlah sulit. Dan hanya menambah rasa sakit hatinya. Dan pada akhirnya dia pun
memberanikan untuk menghubungi aku kembali, disaat yang tepat. Aku pun menceritakan apa
yang aku lakukan selama ia tidak ada kabar, dan aku jelaskan salahnya dia dimana, begitu juga
kesalahan ku. Dari sinilah kita sama – sama belajar untuk mengerti satu sama lain, belajar cara
bersikap lebih dewasa lagi, dan sesibuk apapun jika bisa berikan kabar walaupun hanya sekali.
Keputusan yang aku pilih adalah kembali menjalin hubungan dengan Al, dan tetap bersahabat
dengan moris persis seperti empat belas tahun yang lalu.

-The End-

Anda mungkin juga menyukai