Anda di halaman 1dari 19

IDENTIFIKASI SENYAWA GOLONGAN GLIKOSIDA SAPONIN,

TRITERPENOID DAN STEROID (Ekstrak Sapindus rarak DC)

Disusun Oleh
Nama : Fitriyanawati
NIM : 201410410311091
Kelas : Farmasi A
Kelompok : V (Lima)

PROGRAM STUDI FARMASI


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
MALANG
2017
A. TUJUAN
Mahasiswa mampu melakukan identifikasi senyawa golongan glikosida saponin, triterpenoid
dan steroid dalam tanaman.
B. TINJAUAN PUSTAKA
1. Tanaman Buah lerak (Sapindus rarak DC)
Menurut taksonominya, Sapindus rarak dikalsifikasikan dalam :
 Divisi : Spermatophyta
 Subdivisi : Angiospermae
 Kelas : Dycotyledonae
 Bangsa : Sapindales
 Suku : Sapindaceae
 Marga : Sapindus
 Spesies : Sapindus rarak
Nama umumnya adalah lerak. Masyarakat Sunda menyebutnya dengan nama Rerek,
penduduk Jambi menyebutnya Kalikea, masyarakat Minang menyebutnya Kanikia. Di
Palembang tanaman ini dikenal dengan nama Lamuran, di Jawa tanaman ini dikenal
dengan nama Lerak atau Werak dan Tapanuli Selatan dikenal dengan nama buah sabun.
Sapindus rarak merupakan tanaman rimba yang tingginya mencapai 42 meter dan
batangnya 1 meter. Tanaman ini tumbuh liar di Jawa pada ketinggian antara 450 dan 1500
meter diatas permukaan laut. Tanaman ini mempunyai batang berwarna putih kotor. Daun
tanaman ini majemuk menyirip ganjil dan anak daun berbentuk lanset. Bunga tanaman ini
melekat di pangkal, kuning, dan daun mahkotanya empat. Tanaman ini mempunyai buah
yang keras, bulat, diameter ± 1,5 cm dan berwarna kuning kecoklatan. Biji tanaman ini
tunggang dan kuning kecoklatan. Buah lerak terdiri dari 73% daging buah dan 27% biji.
Secara tradisional, lerak juga digunakan sebagai sabun wajah untuk mengurangi jerawat,
obat eksim dan kudis. Sementara khasiat farmakologiknya antara lain adalah sebagai
antijamur, bakterisid, anti radang, anti spasmodinamik, peluruh dahak, dan diuretik. Pada
penelitian Nunik SA disebutkan bahwa senyawa saponin, alkaloid, steroid, dan triterpen
yang dikandung oleh buah lerak secara berurutan adalah 12%, 1%, 0,036%, dan 0,029%.
Kandungan utama lerak adalah saponin yang berfungsi sebagai detergen. Hal ini
dibuktikan pada penelitian Dyatmiko W, dkk yang mendapatkan saponin 20% dari buah
lerak. Saponin buah lerak pada konsentrasi 0,008% dapat membersihkan dinding saluran
akar gigi lebih baik dari NaOCl 5%. Berbagai khasiat farmakologik dari saponin adalah
antiinflamasi, antimikroba, antijamur, antivirus, ekspektoran, antiulser, perbaikan sintesa
protein, stimulasi dan depresi susunan saraf pusat dan molusida serta sebagai ekspektoran.
Disamping itu, ekstrak lerak mempunyai efek antibakteri dan dan antifungal yang telah
dibuktikan dengan beberapa penelitian. Penelitian Fadhilna I membuktikan bahwa ekstrak
lerak komersil dan ekstrak lerak 0,01% mempunyai efek antibakteri terhadap
Streptococcus mutans lebih baik dari NaOCl 5%, Sementara pada penelitian Sanny
dibuktikan bahwa 0,25% ekstrak buah lerak dan 0,01% saponin buah lerak mempunyai
efek antibakteri terhadap F.Nucleatum. Selain itu pada penelitian Juni F dibuktikan ekstrak
lerak 0,01% mempunyai efek antifungal terhadap Candida albicans lebih baik dari NaOCl
5%.
2. Golongan Senyawa Glikosida Saponin, Triterpenoid dan Steroid
Saponin merupakan senyawa glikosida triterpenoida ataupun glikosida steroida yang
merupakan senyawa aktif permukaan dan bersifat seperti sabun serta dapat dideteksi
berdasarkan kemampuannya membentuk busa dan menghemolisa sel darah merah. Pola
glikosida saponin kadang-kadang rumit, banyak saponin yang mempunyai satuan gula
sampai lima dan komponen yang umum ialah asam glukuronat (Harborne, 1996).
Glikosida saponin adalah glikosida yang aglikonnya berupa sapogenin. Saponin
tersebar luas di antara tanaman tinggi, keberadan saponin sangat mudah ditandai dengan
pembentukan larutan koloidal dengan air yang apabila dikocok menimbulkan buih yang
stabil. Saponin merupakan senyawa berasa pahit menusuk dan dapat menyebabkan bersin
dan bersifat racun bagi hewan berdarah dingin, banyak di antaranya digunakan sebagai
racun ikan (Gunawan dan Mulyani, 2004).
Saponin memiliki berat molekul tinggi, dan berdasarkan struktur aglikonnya, saponin
dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu tipe steroida dan tipe triterpenoida. Kedua
senyawa ini memiliki hubungan glikosidik pada atom C- 3 dan memiliki asal usul
biogenetika yang sama lewat asam mevalonat dan satuan-satuan isoprenoid (Gunawan dan
Mulyani, 2004).
Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam satuan
isoprena dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C-30 asiklik, yaitu skualena,
senyawa ini tidak berwarna, berbentuk kristal, bertitik leleh tinggi dan bersifat optis aktif
(Harborne,1987). Menurut Harborne (1987) senyawa triterpenoid dapat dibagi menjadi
empat golongan,yaitu: triterpen sebenarnya, saponin, steroid, dan glikosida jantung.
Steroid adalah suatu golongan senyawa triterpenoid yang mengandung inti
siklopentana perhidrofenantren yaitu dari tiga cincin sikloheksana dan sebuah cincin
Universitas Sumatera Utara siklopentana. Dahulu sering digunakan sebagai hormon
kelamin, asam empedu, dll. Tetapi pada tahun-tahun terakhir ini makin banyak senyawa
steroid yang ditemukan dalam jaringan tumbuhan .Tiga senyawa yang biasa disebut
fitosterol terdapat pada hampir setiap tumbuhan tinggi yaitu: sitosterol, stigmasterol, dan
kampesterol.(Harborne, 1987; Robinson, 1995).
Menurut asalnya senyawa steroid dibagi atas:
 Zoosterol, yaitu steroid yang berasal dari hewan misalnya kolesterol.
 Fitosterol, yaitu steroid yang berasal dari tumbuhan misalnya sitosterol dan
stigmasterol.
 Mycosterol, yaitu steroid yang berasal dari fungi misalnya ergosterol.
 Marinesterol, yaitu steroid yang berasal dari organisme laut misalnya spongesterol.
Berdasarkan jumlah atom karbonnya, steroid terbagi atas:
 Steroid dengan jumlah atom karbon 27, misalnya zimasterol.
 Steroid dengan jumlah atom karbon 28, misalnya ergosterol.
 Steroida dengan jumlah atom karbon 29, misalnya stigmasterol.
3. Cara Identifikasi Golongan Senyawa Glikosida Saponin, Triterpenoid, dan Steroid
Golongan kandungan kimia yang akan diperiksa adalah: glikosida saponin, steroid
dan triterpen Pada identifikasi terpenoid/saponin meliputi uji buih, Liebermann-Burchard,
Salkowski, dan KLT (Fong, 1973; Zaini et al., 1978).
Uji buih dilakukan untuk melihat ada tidaknya senyawa saponin pada sampel yang
akan diuji. Keberadan saponin sangat mudah ditandai dengan pembentukan larutan
koloidal dengan air yang apabila dikocok menimbulkan buih yang stabil (Gunawan dan
Mulyani, 2004).
Senyawa saponin dapat pula diidentifikasi dari warna yang dihasilkannya dengan
pereaksi Liebermann-Burchard. Warna biru-hijau menunjukkan saponin steroida, dan
warna merah, merah muda, atau ungu menunjukkan saponin triterpenoida (Farnsworth,
1966).
Pada uji salkoswki, apabila sterol dengan konfigurasi tidak jenuh di dalam
molekulnya direaksikan dengan asam kuat dalam kondisi bebas air, maka akan
memberikan reaksi warna.
Uji salkowski dilakukan dengan menggunakan ekstrak dari sampel yang akan diuji
lalu ditambahkan dengan H2SO4, terbentuknya warna merah mengindikasikan adanya
steroid. Penambahan H2SO4 bertujuan untuk memutuskan ikatan gula pada senyawa.
Sehingga akan terbentuk cincin yang berwarna merah, selain itu gugus sulfat akan
menggantikan gugus OH sehingga terbentuk kompleks warna merah.
Kromatografi lapis tipis adalah kromatografi serapan, dimana sebagai fasa tetap
(diam) berupa zat padat yang disebut adsorben (penyerap) dan fasa gerak adalah zat cair
yang disebut larutan pengembang (Gritter, 1991).
Penyerap untuk KLT ialah silika gel, alumina, kiselgur, dan selulosa. Penyerap
biasanya mengandung pengikat atau mengandung zat tambahan lain. Silika gel Silika gel
merupakan penyerap yang paling banyak dipakai dalam KLT. Senyawa netral yang
mempunyai gugusan sampai tiga pasti dapat dipisahkan pada lapisan yang diaktifkan
dengan memakai pelarut organik atau campuran pelarut yang normal. Karena sebagian
besar silika gel bersifar sedikit asam, maka asam sering agak mudah dipisahkan, jadi
meminimumkan reaksi asam-basa antara penyerap dengan senyawa yang dipisahkan.
Alumina berbeda dengan silika gel, alumina bersifat sedikit basa dan sering dipakai untuk
pemisahan basa. KLT pada alumina sering dipakai sebagai cara kualitatif cepat. Kiselgur
dan selulosa merupakan bahan penyangga lapisan zat cair yang dipakai dalam sistem KCC,
dan lapisan tipis selulosa berkaitan erat dengan kromatografi kertas klasik. Kromatografi
jenis ini selalu dipakai untuk pemisahan senyawa polar seperti asam amino, karbohidrat,
nukleotida, dan berbagai senyawa hidrofil alam lainnya.
4. Fase Gerak
Fase gerak atau eluen biasanya terdiri atas campuran pelarut yang dapat bercampur
yang secara keseluruhan berperan dalam daya elusi dan resolusi. Daya elusi dan resolusi
ini ditentukan oleh polaritas keseluruhan pelarut, polaritas fase diam, dan sifat komponen-
komponen sampel (Johnson, 1991).
Dalam kromatografi cair komposisi pelarut atau fase gerak adalah satu variabel
yang mempengaruhi pemisahan. Terdapat keragaman yang luas dari fase gerak yang
digunakan dalam semua mode KLT, tetapi ada beberapa sifat-sifat yang diinginkan yang
mana umumnya harus dipenuhi oleh semua fase gerak.
Fase gerak harus:
• Murni; tidak ada pencemar/kontaminan
• Tidak bereaksi dengan pengemas
• Sesuai dengan detektor
• Melarutkan cuplikan
• Mempunyai viskositas rendah
• Mudah rekoveri cuplikan, bila diinginkan
• Tersedia diperdagangan dengan harga yang pantas
Umumnya, pelarut-pelarut dibuang setelah digunakan karena prosedur pemurnian
kembali membosankan dan mahal. Dari semua persyaratan di atas, 4 persyaratan pertama
adalah yang paling penting. Gelembung udara (degassing) yang ada harus dihilangkan dari
pelarut, karena udara yang terlarut keluar melewati detektor dapat menghasilkan banyak
noise sehingga data tidak dapat digunakan (Johnson, 1991).
Elusi Gradien dan Isokratik Elusi dapat dilakukan dengan cara isokratik (komposisi
fase gerak tetap selama elusi) atau dengan cara bergradien (komposisi fase gerak berubah –
ubah selama elusi). Elusi bergradien digunakan untuk meningkatkan resolusi campuran
yang kompleks terutama jika sampel mempunyai kisaran polaritas yang luas (Rohman,
2007).
5. Polaritas
Polaritas sering diartikan sebagai adanya pemisahan kutub bermuatan positif dan
negatif dari suatu molekul sebagai akibat terbentuknya konfigurasi tertentu dari atom-atom
penyusunnya. Dengan demikian, molekul tersebut dapat tertarik oleh molekul yang lain
yang juga mempunyai polaritas yang kurang lebih sama. Besarnya polaritas dari suatu
pelarut proporsional dengan besarnya konstanta dielektriknya (Adnan 1997).
Menurut Stahl (1985), konstanta dielektrik (ε) merupakan salah satu ukuran
kepolaran pelarut yang mengukur kemampuan pelarut untuk menyaring daya tarik
elektrostatik antara isi yang berbeda.
Ekstraksi berkesinambungan dilakukan secara berturut-turut dimulai dengan pelarut
nonpolar (misalnya n-heksan atau kloroform) dilanjutkan dengan pelarut semipolar (etil
asetat atau dietil eter) kemudian dilanjutkan dengan pelarut polar (metanol atau etanol).
Pada proses ekstraksi akan diperoleh ekstrak awal (crude extract) yang mengandung
berturutturut senyawa nonpolar, semipolar, dan polar (Hostettmann et al. 1997).
C. ALAT DAN BAHAN
a. Alat b. Bahan
 Pipet  Ekstrak Sapindus rarak DC
 Tisu dan kain lap  Etanol
 Sudip  Aquadest
 Label  Asam asetat anhidrat
 Penjepit kayu  H2SO4 pekat
 Aluminium foil  HCl 2N
 Pinset  Ammonia
 Vial 10ml  n-heksana
 KLT  Kiesel gel GF 254
 Plat Kaca
 Tabung reaksi
 Rak kayu
 Timbangan gram balance
 Corong
 Kapas
D. BAGAN ALIR
a. Uji Buih

Ekstrak sebanyak 0,2 gram dimasukkan tabung reaksi

Tambahkan air suling 10 ml

Kocok kuat-kuat selama ± 30 detik

Tes buih positif mengandung saponin bila buih stabil selama lebih dari 30
menit dengan tinggi 3 cm diatas permukaan cairan

b. Reaksi Warna
1. Preparasi Sampel:
Timbang 0,5 gram ekstrak

Larutkan dalam etanol 15 ml

Bagi menjadi 3 bagian masing-masing 5 ml

Larutan IIA, IIB, IIC

2. Uji Liebermann-Burchard
Larutan IIA digunakan sebagai blanko, larutan IIB sebanyak 5 ml + 3 tetes
asam asetat anhidrat dan 5 tetes H2SO4 pekat, amati perubahan
warna yang terjadi
Kocok perlahan dan amati perubahan warna

Terjadi warna hijau biru menunjukkan adanya saponin steroid, warna


merah ungu menunjukkan adanya saponin triterpenoid dan warna kuning
muda menunjukkan adanya saponin triterpenoid/ steroid jenuh
3. Uji Salkowski
Larutan IIA digunakan sebagai blanko, larutan IIC sebanyak 5 ml +
1-2 ml H2SO4 pekat melalui dinding tabung reaksi

Adanya steroid tak jenuh ditandai dengan timbulnya cincin warna merah

c. Kromatografi Lapis Tipis


1. Identifikasi sapogenin steroid/ triterpenoid
Timbang ekstrak 0,5 gram + 5 ml HCl 2N, didihkan dan tutup dengan
corong berisi kapas basah selama 50 menit untuk menghidrolisis saponin

Setelah dingin, tambahkan ammonia sampai basah, kemudian ekstraksi


dengan 4-5 ml n-heksana sebanyak 2x, lalu uapkan sampai tinggal 0,5 ml,
totolkan pada plat KLT

Fase diam: Kiesel Gel 254


Fase gerak: n-heksana-etil asetat (4:1)
Penampak noda: Anisaldehida asam sulfat (dengan pemanasan)

Adanya sapogenin ditunjukkan dengan terjadinya warna merah


ungu (ungu) untuk anisaldehida asam sulfat

2. Identifikasi terpenoid/ steroid bebas secara KLT


Sedikit ekstrak + beberapa tetes n-heksana 0,5-1 ml, aduk

Totolkan pada fase diam

Fase diam: Kiesel Gel 254


Fase gerak: n-heksana-etil asetat (4:1)
Penampak noda: Anisaldehida asam sulfat (dengan pemanasan)

Adanya terpenoid/ streroid ditunjukkan dengan terjadinya


warna merah ungu atau ungu
E. Hasil
1. Uji Buih

Ekstrak Sapindus rarak DC

Hasil dari penambahan ekstrak 0,2


gram + aquadest 10 ml, dikocok kuat
±30 detik

Setelah didiamkan ±30 menit


didapatkan buih tingginya ±7 cm
diatas permukaan larutan. Hasil
menunjukkan adanya kandungan
saponin pada ekstrak Sapindus rarak
DC
2. Reaksi Warna

Ekstrak Sapindus rarak DC

Hasil dari uji Liebermann-Burchard


setelah penambahan 3 tetes asam
asetat dan 5 tetes H2SO4 pekat.
Terdapat endapan berwarna merah
merah ungu. Hasil membuktikan
bahwa terdapat kandungan saponin
triterpenoid pada ekstrak Sapindus
rarak DC
Hasil dari uji Salkowski setelah
penambahan 1-2 ml H2SO4 pekat
melalui dinding tabung reaksi,
didapatkan cincin warna merah.
Hasil membuktikan bahwa terdapat
kandungan steroid tak jenuh pada
ekstrak Sapindus rarak DC
3. Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

Ekstrak Sapindus rarak DC

0,5 gram ekstrak Sapindus rarak DC


+ 5 ml HCl 2N dididihkan dan
ditutup dengan corong berisis kapas
basah lalu didinginkan dan
ditambahkan ammonia kemudian
diekstraksi dengan 4-5 ml n-heksana
Ekstrak sapindus rarak ditambahkan
0,5-1 ml n-heksana, diaduk sampai
larut kemudian diuapkan sampai 1/3
bagian

Penampakan noda setelah eluen,


dilihat dari sinar UV 254 nm
(Kanan) terdapat 5 titik noda yang
berwarna merah ungu menunjukkan
adanya kandungan sapogenin pada
ekstrak Sapindus rarak DC.
(Kiri) tidak terlihat titk noda
Penampakan noda setelah eluen,
dilihat dari sinar UV 356 nm
(Kanan) terdapat 5 titik noda yang
berwarna merah ungu menunjukkan
adanya kandungan sapogenin pada
ekstrak Sapindus rarak DC.
(Kiri) tidak terlihat titik noda
Setelah penambahan penampak noda
anesaldehida dan dipanaskan
(Kanan) terdapat 5 titik noda yang
berwarna merah ungu menunjukkan
adanya kandungan sapogenin pada
ekstrak Sapindus rarak DC.
(Kiri) terdapat 3 titik noda yang
berwarna ungu menunjukkan adanya
kandungan terpenoid dan steroid
pada ekstrak Sapindus rarak DC
F. PERHITUNGAN
1. Identifikasi sapogenin steroid/ triterpenoid
Nilai RF1

Nilai RF2

Nilai RF3

Nilai RF4

Nilai RF5

2. Identifikasi terpenoid/ steroid bebas


Nilai RF1

Nilai RF2

Nilai RF3
G. PEMBAHASAN
Praktikum kali ini, kelompok kami melakukan identifikasi adanya senyawa golongan
glikosida saponin, triterpenoid dan steroid dari ekstrak Sapindus rarak DC. Sebanyak 0,2
gram, ekstrak Sapindus rarak DC ditambahkan 10 ml aquadest dan dikocok kuat-kuat
selama ±3G. 0 detik. Tes buih ini positif ketika buih atau busa yang dihasilkan tingginya 3 cm
diatas permukaan cairan dan bertahan selama lebih dari 30 menit. Uji buih ini bertujuan untuk
mengidentifikasi adanya kandungan saponin pada ekstrak Sapindus rarak DC dan pada
percobaan ini didapatkan hasil buih yang tingginya ±7 cm dan hal ini menunjukkan bahwa
adanya kandungan saponin pada ekstrak Sapindus rarak DC.
Identifikasi yang kedua yaitu dengan menggunakan pereaksi warna, uji Liebermann-
Burchard dan uji Salkowski. Mula-mula ekstrak Sapindus rarak DC ditimbang sebanyak 0,5
gram lalu dilarutkan dengan etanol 15 ml. Penambahan etanol ini bertujuan untuk melarutkan
senyawa golongan glikosida saponin, triterpenoid dan steroid. Kemudian bagi larutan menjadi
tiga bagian secara visual masing-masing 5 ml (larutan IIA, IIB, dan IIC). Larutan IIA
digunakan sebagai blanko, larutan IIB dugunakan untuk uji Liebermann-Burchard, dan
larutan IIC digunakan untuk uji Salkowski. Pada uji Liebermann-Burchard (larutan IIB)
ditambahkan dengan 3 tetes asam asetat anhidrat dan 5 tetes H 2SO4 pekat. Penambahan asam
asetat dan H2SO4 pekat ini bertujuan untuk menarik air yang terdapat pada ekstrak karena
pada percobaan ini, tidak diperbolehkan adanya kandungan air pada reaksi ini sedangkan
asam sulfat pekat berfungsi untuk menghidrolisis air sehingga terbentuk warna merah ungu
yang berasal dari reaksi antara sterol tidak jenuh atau triterpen dalam asam, kemudian amati
perubahan warna yang terjadi pada larutan. Pada uji Liebermann-Burchard ini didapatkan
hasil larutan bewarna merah ungu, hal ini menunjukkan adanya kandungan saponin
triterpenoid pada ekstrak Sapindus rarak DC. Pada uji Salkowski (larutan IIC) ditambahkan
1-2 ml H2SO4 pekat melalui dinding tabung reaksi. Penambahan H2SO4 ini bertujuan untuk
menghidrolisis air yang akan bereaksi dengan turunan asetil membentuk cincin merah coklat
atau ungu, kemudian amati perubahan warna yang terjadi. Pada uji Salkowski ini didapatkan
pada larutan terdapat cincin warna merah coklat, hal ini menunjukkan adanya kandungan
steroid tak jenuh pada ekstrak Sapindus rarak DC.
Identifikasi yang ketiga yaitu mengidentifikasi sapogenin steroid/ triterpenoid dan
terpenoid/ steroid bebas dengan metode Kromatografi Lapis Tipis (KLT). Mula-mula
timbang ekstrak Sapindus rarak DC 0,5 gram kemudian tambahkan dengan 5 ml HCl 2N,
didihkan dan tutup dengan corong berisi kapas basah selama 50 menit. Penambahan HCl 2N
ini bertujuan untuk membebaskan aglikonnya (sapogenin) dari suatu ikatan glikosida,
sedangkan pemanasan ini bertujuan untuk membantu dan mempercepat putusnya (hidrolisis)
sapogenin dari ikatan glikosidanya. Setelah dingin, tambahkan dengan ammonia sampai basa,
kemudian ekstraksi dengan 4-5 ml n-heksana sebnyak 2X, penambahan ammonia ini
bertujuan untuk menentralkan larutan yang awalnya bersifat asam sedangkan tujuan dari
pengekstraksian dengan n-heksana unutuk memisahkan sapogenin dan senyawa lainnya.
Dalam pengekstrakan tersebut akan terbentuk 2 lapisan. Lapiasan yang diambil adalah lapisan
n-heksana, karena sapogenin cenderung larut dalam n-heksana. Kemudian dilakukan
penguapan untuk menghilangkan n-heksana tadi setalah itu ditotolkan pada plat KLT. Fase
diam yang digunakan adalah kiesel gel 254, fase geraknya dalah n-heksana-etil asetat (4:1),
dan penampak nodanya digunakan anisaldehida asam sulfat (dengan pemanasan). Adanya
sapogenin ditunjukkan dengan terjadinya warna merah ungu (ungu) untuk anisaldehida asam
sulfat. Pada percobaan ini didapatkan 5 titik noda berwarna ungu setelah ditambahkan
penampak noda anisaldehida (dipanaskan), hal ini menunjukkan adanya kandungan sapogenin
pada ekstrak Sapindus rarak DC. Sedangakn untuk identifikasi terpenoid/ steroid bebas yaitu
mula-mula ambil sedikit ekstrak Sapindus rarak DC, lalu tambahkan dengan beberapa tetes n-
heksana 0,5-1 ml aduk ad larut. Penambahan n-heksana ini bertujuan untuk melarutkan
ekstrak setelah itu diuapkan dilemari asam sampai 1/3, totolkan pada plat KLT. Fase diam
yang digunakan kiesel gel 254, fase geraknya n-heksana-etil asetat (4:1), dan penampak
nodanyanya anisakdehida asam sulfat (dengan pemanasan). Pada percobaan ini didapatkan 3
titik noda berwarna ungu setelah ditambahkan penampak noda anisaldehida (dipanaskan), hal
ini menunjukkan adanya kandungan terpenoid dan steroid pada ekstrak Sapindus rarak DC.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1979. Materia Medika Indonesia Jilid III. Jakarta :
Direktorat Pengawasan Obat dan Makanan.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1980. Materia Medika Indonesia Jilid IV. Jakarta :
Direktorat Pengawasan Obat dan Makanan.
Sarker, S.D, Latif, Z. and Gray, A, I. 2006. Natural Products Isolation Second Edition. Humana
Press, New Jersey.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/28697/4/Chapter%20II.pdf (diakses pada tanggal
22 Februari 2017)
http://repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/53776/2/BAB%20II%20Tinjauan
%20Pustaka.pdf (diakses pada tanggal 22 Februari 2017)
http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/pharmacon/article/view/914 (diakses pada tanggal 28
Februari 2017)
https://www.researchgate.net/profile/Retno_Widyowati/publication/
277741546_Kandungan_Kimia_dan_Aktivitas_Antimikroba_Ekstrak_Garcinia_Celebica_l
_terhadap_Staphylococcus_Aureus_Shigella_Dysenteriae_dan_Candida_Albicans/links/
55bc2ea308ae9289a0957ba6.pdf (diakses pada tanggal 28 Februari 2017)
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/23253/4/Chapter%20II.pdf (diakses pada tanggal
28 Februari 2017)
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/16111/4/Chapter%20II.pdf(diakses pada tanggal
28 Februari 2017)
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/20837/4/Chapter%20II.pdf (diakses pada tanggal
28 Februari 2017)

Anda mungkin juga menyukai