Anda di halaman 1dari 19

PRAKTIKUM FITOKIMIA

TUGAS 2 : IDENTIFIKASI SENYAWA GOLONGAN GLIKOSIDA SAPONIN,

TRITERPENOID DAN STEROID

(Ekstrak Sapindus rarak DC)

Nama : Linda Novita Putri


NIM : 201510410311064
Kelas : Farmasi B
Kelompok : 4

PROGRAM STUDI FARMASI

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2018
1.1. JUDUL
Identifikasi senyawa golongan glikosida saponin, triterpenoid dan steroid dari ekstrak
Sapindus rarak DC

1.2. TUJUAN
Mahasiswa mampu melakukan identifikasi senyawa golongan glikosida saponin,
triterpenoid dan steroid dalam tanaman.

1.3. TINJAUAN PUSTAKA


1.3.1. Tinjauan Tanaman Sapindus rarak
Buah lerak (Sapindus rarak) banyak terdapat di Pulau Jawa dan lazim dipakai oleh
masyarakat sebagai bahan pencuci kain batik dan perhiasan emas. Bahan insektisida yang
dikandung buah lerak adalah saponin. Lerak (terutama Sapindus rarak De Candole, dapat
pula S. mukorossi) atau dikenal juga sebagai rerek atau lamuran adalah tumbuhan yang
dikenal karena kegunaan bijinya yang dipakai sebagai deterjen tradisional. Batik biasanya
dianjurkan untuk dicuci dengan lerak karena dianggap sebagai bahan pencuci paling sesuai
untuk menjaga kualitasnya (warna batik).
Secara taksonomi, Lerak mempunyai urutan sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisio : Spermatophyta
Sub Divisio : Angiospermae
Kelas : Eudikotiledon
Sub Kelas : Rosidae
Ordo : Sapindales
Famili : Sapindaceae
Sub Famili : Sapindoideae
Genus : Sapindus
Spesies : Sapindus rarak DC
Sinonim : Sapindus delavayi (China, India) Gambar 1. Sapindus rarak DC
Sapindus detergens (syn. var. Soapnut, Ritha)
Sapindus emarginatus Vahl (Southern Asia)
Sapindus laurifolius Vahl – Ritha (India)
Sapindus tomentosus (China)
Sapindus vitiensis A.Gray (American Samoa, Samoa, Fiji)
Tumbuhan lerak berbentuk pohon dan rata-rata memiliki tinggi 10 m walaupun bisa
mencapai 42 meter dengan diameter 1 meter, karenanya pohon lerak besar dengan kualitas
kayu yang setara kayu jati banyak ditebang karena memiliki nilai ekonomis. Bentuk daunnya
bulat-telur berujung runcing, bertepi rata, bertangkai pendek dan berwarna hijau. Biji
terbungkus kulit cukup keras bulat seperti kelereng, kalau sudah masak warnanya coklat
kehitaman, permukaan buah licin dan mengkilat.

Gambar 2. Buah lerak kering


Kandungan Buah Lerak
Biji lerak mengandung bahan aktif alkaloid, triterpen, ateroid, dan saponin. Saponin
pada lerak suatu alkaloid beracun dan bermanfaat, saponin inilah yang menghasilkan busa
dan berfungsi sebagai bahan pencuci, dan dapat pula dimanfaatkan sebagai pembersih
berbagai peralatan dapur, lantai, bahkan memandikan dan membersihkan binatang
peliharaan. Kandungan racun biji lerak juga berpotensi sebagai insektisida. Kulit buah lerak
dapat digunakan sebagai wajah untuk mengurangi jerawat dan kudis. Buah lerak relatif
mudah didapatkan biasanya dijual di pasar-pasar tradisional.

Tabel 1. Persentase senyawa aktif pada lerak

No. Senyawa Aktif Persentase Senyawa


Aktif
1 Saponin 12 %
2 Alkaloid 1%
3 Ateroid 0,036 %
4 Triterpen 0,029 %
Sumber : Nevi Yanti, 2009
1.3.2. Tinjauan Golongan Senyawa
1.3.2.1. Saponin
Saponin adalah glikosida triterpena dan sterol, telah terdeteksi dalam lebih dari 90
suku tumbuhan. Glikosida saponin adalah glikosida yang aglikonnya berupa sapogenin.
Saponin tersebar luas di antara tanaman tinggi, keberadan saponin sangat mudah ditandai
dengan pembentukan larutan koloidal dengan air yang apabila dikocok.

Sumber Saponin
Di dalam tanaman, saponin dapat ditemukan di bagian akar, kulit batang, daun, dan
buah. Sumber saponin yang sudah dikenal di Indonesia berasal dari buah lerak (Sapindus
rarak). Secara tradisional, buah lerak dipakai sebagai sabun pencuci batik karena sifat
saponin yang spesifik yaitu membentuk busa di dalam air. Spesies lain tanaman Sapindus
adalah Sapindus emarginatus, Sapindus mukorossi, Sapindus saponaria dan Sapindus
delavayii. Buahnya mengandung senyawa bioaktif yang dapat membentuk busa (saponin).
Senyawa saponin yang sudah diisolasi dari daging buah Sapindus rarak dan diperoleh
struktur kimianya ada 20 macam yang mempunyai aglikon yang sama yaitu Hederagenin
dengan gugus-gugus monosakarida yang berbeda.
Sumber saponin lain yang dapat ditemui di Indonesia adalah daun kembang Sepatu
(Hibiscus rosasinensis), daun Waru, daun dan kulit batang Enterolobium cyclocarpum
(nama lokal: Sengon Buto), buah Mengkudu (Morinda citrifolia), daun legum Sesbania
sesban, kulit batang Albizia saponaria, kulit manggis, buah terung-terungan atau umbi
dioscorea. Struktur dari saponin dalam masing-masing tanaman-tersebut belum diteliti
secara mendalam. Sumber lainnya dapat diuji dengan menggunakan cara cepat yaitu dengan
uji busa, walaupun busa juga dapat menunjukkan hal lain. Bila hendak digunakan untuk
menekan protozoa, maka uji yang paling tepat yaitu uji aktivitasnya terhadap protozoa.
Sumber saponin yang sudah banyak dikenal di Amerika Serikat yaitu tanaman Yucca
schidigera yang berasal dari Amerika Tengah. Batang Yucca schidigera mengandung 10%
saponin steroid yang terdiri 28 struktur yang berbeda. Selain itu di Amerika Serikat juga
sudah dikomersialkan saponin dari kulit batang Quillaja saponaria. Konsentrasi saponin
dalam kulit batang sebanyak 10% dan terdiri dari 47 struktur yang berbeda

Distribusi Saponin
Saponin bisa ditemukan pada tanaman liar maupun tanaman peliharaan, pada binatang
laut tingkat rendah (lower marine animals ), dalam beberapa bakteri, namun jarang
ditemukan pada binatang tingkat tinggi (higher animals). Saponin Triterpenoid tersebar luas
dalam lebih dari 500 spesies tanaman seperti, kedele, buncis, teh, beet, bunga matahari,
ginseng, alfalfa, quillaja, spinach, horse chestnut, guar dan banyak lagi. Sedangkan Saponin
Steroid terdapat dalam 85 spesies dari Genera Agave, Discorea and Yucca, dan dalam 56
Genera yang lain seperti, tomat, asparagus, ginseng, dan oat. Dalam legume saponin
berikatan dengan protein, jadi bisa ditemukan dalam bagian tumbuhan yang kaya protein
Tipe dan macam Saponin berbeda tergantung banyak faktor, misalnya spesies, umur
tanaman, dan bagian tanaman. Selain itu juga bisa dipengarui oleh cuaca, macam tanah, sinar
matahari, tempat bercocok tanam dan banyak lagi. Dalam satu spesies mungkin mengandung
lebih dari satu macam Saponin.

Karakteristik Saponin
Saponin adalah jenis glikosida yang banyak ditemukan dalam tumbuhan. Saponin
memiliki karakteristik berupa buih. Sehingga ketika direaksikan dengan air dan dikocok
maka akan terbentuk buih yang dapat bertahan lama. Saponin mudah larut dalam air dan
tidak larut dalam eter.
Saponin memberikan rasa pahit pada bahan pangan nabati. Sumber utama saponin
adalah biji-bijian khususnya kedelai. Saponin dapat menghambat pertumbuhan kanker kolon
dan membantu kadar kolesterol menjadi normal. Tergantung pada jenis bahan makanan yang
dikonsumsi, seharinya dapat mengkonsumsi saponin sebesar 10-200 mg.

Sifat-sifat Saponin
Saponin memiliki sifat sebagai berikut :
1) Mempunyai rasa pahit
2) Dalam larutan air membentuk busa yang stabil
3) Menghemolisa eritrosit
4) Merupakan racun kuat untuk ikan dan amfibi
5) Membentuk persenyawaan dengan kolesterol dan hidroksi steroid lainnya
6) Sulit untuk dimurnikan dan diidentifikasi
7) Berat molekul relatif tinggi, dan analisis hanya menghasilkan formula empiris yang
mendekati.
Aktivitas Biologi
Saponin mempunyai aktivitas biologi yang beragam. Aktivitas biologi ini dipengaruhi
oleh kelas Aglycone, gugus polar pada Aglycone, macam karbohidrat yang terikat pada
Aglycone, posisi terikatnya pada Aglycone, bahkan orientasi Saponin setelah mengikat
membran sel juga ikut mempengaruhinya.
1. Aktivitas hemolisis
Saponin dapat menyebabkan sel darah merah pecah (lisis). Ini disebabkan karena Saponin
dapat berikatan dengan kholesterol dari membran sel. Aktivitas ini berkurang kalau aglycone
dibuang
Ciri-ciri yang lain dari aktivitas hemolisis ini, misalnya:
a. Makin banyak karbohidrat yang terikat pada Aglycone makin kecil daya hemolisisnya.
b. Kecepatan hemolisis Saponin Steroid lebih besar dari Saponin Triterpenoid
c. Karbohidrat yang terikat pada C3 OH mempunyai daya hemolisis makin tinggi apabila
jumlah unit monosakaridanya makin besar (kalau diurut daya hemolisis paling rendah
meningkat ke urutan lebih tinggi adalah mono, di, tri, tetra, penta dan heksa sakarida).
d. Makin banyak gugus polar pada Aglycone makin rendah daya hemolisisnya.

2. Mempengaruhi sistim immun


Telah dilaporkan bahwa Saponin dapat menginduksi produksi dari cytokine seperti
interleukin dan interferon yang mungkin dapat memediasi efek immunostimulan. Saponin
juga telah dibuktikan dapat meningkatkan respon immun melalui immunisasi oral. Hal ini
disebabkan saponin dapat meningkatkan pengambilan (up take) antigen oleh usus dan sel
mukosa yang lain (misalnya hidung). Contoh Saponin yang dapat meningkatkan immun
respon: Panax ginseng C. A. Meyer saponins, Quillaja saponins, dan Lonicerajaponica.

3. Saponin sebagai anti kanker


Saponin Ginsenosides, dammaranes, mempunyai efek anti tumor dengan menghambat
penyebaran melalui pembuluh darah dengan mekanisme supresi inducer dalam sel endotel
sehingga mencegah pelekatan (adhering), invasi, dan metastasis. Dioscin, suatu Saponin
steroid dan Aglycone diosgenin mempunyai efek anti tumor dengan menghentikan siklus sel
(cell cycle arrest) dan apoptosis.
1.3.2.2.Triterpenoid
Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam satuan
isoprene (CH=C(CH3)-CH=CH2) dan diturunkan dari hidrokarbon C30 asiklik, yaitu
skualen.
Triterpenoid dapat dibagi menjadi empat golongan, yaitu triterpenoid sejati, steroid,
saponin, dan glikosida jantung. Berdasarkan struktur kimianya triterpenoid digolongkan
menjadi tiga golongan yaitu: triterpenoid asiklik, triterpenoid tetrasiklik, dan triterpenoid
pentasiklik. Triterpen pentasiklik triterpen α-amirin dan β-amirin, serta asam turunannya
yaitu asam ursolat dan asam oleanolat. Senyawa ini berfungsi sebagai pelindung untuk
menolak serangga dari serangan mikroba.
Saponin jenis triterpenoid ini bersifat asam. Tersusun atas inti triterpenoid dengan
molekul karbohidrat. Dihidrolisis menghasilkan suatu aglikon yang disebut sapogenin ini
merupakan suatu senyawa yang mudah dikristalkan lewat asetilasi sehingga dapat
dimurnikan. Sapogenin triterpen dapat dikelompokkan sebagai : α-amirin dan β-amirin dan
lupeol. Perbedaan dari kerangka karbon α-amirin dan β-amirin terletak pada kedudukan
substituen yang terikat pada C-20, apabila satu gugus metil terikat pada C-20 termasuk α-
amirin dan bila dua gugus metol terikat pada C-20 termasuk β-amirin.
Glikosida jantung atau kardenolida adalah golongan terakhir dari senyawa
triterpenoid. Salah satu contoh glikosida jantung yang penting adalah oleandrin, racun daun
Nerium oleander. Ciri khas struktur oleandrin adalah adanya substituen gula yang terikat
pada kerangka dasarnya. Kebanyakan glikosida jantung bersifat sebagai racun dan
berkhasiat farmakologi terutama terhadap jantung.

1.3.2.3.Steroid
Tersusun atas inti steroid (C27) dengan molekul karbohidrat. Steroid saponin
dihidrolisis menghasilkan satu aglikon yang dikenal sebagai sapogenin. Tipe saponin ini
memiliki efek antijamur. Pada binatang menunjukan penghambatan aktifitas otot polos.
Saponin steroid diekskresikan setelah koagulasi dengan asam glukotonida dan digunakan
sebagai bahan baku pada proses biosintetis obat kortikosteroid.
Saponin steroid mempunyai peran penting pada bidang pharmceutical karena
hubungannya dengan beberapa senyawa seperti hormon sex, kortison, diuretic steroid,
vitamin D dan glikosida jantung. Beberapa saponin digunakan sebagai starting material pada
sintesis senyawa tersebut. Selain itu saponin triterpenoid juga digunakan sebagai
antiinflamasi, antifungi, antibakteri.
Saponin steroid kebanyakan ditemukan didalam famili monokotil, terutama Liliaceae
(Allium, Smilax, Asparagus), Agavaceae (Agave, Yucca) dan Dioscoreaceae (Dioscorea).
Selain itu juga ditemukan dalam Fabaceae (Fenugrek), Solanaceae (Tobacco), atau
Scrophulariaceae (foxgloves). Berbeda dengan steroid, saponin triterpenoid jarang terdapat
pada monokotil. Sebagian besar terdapat dalam famili dikotil seperti Araliaceae,
Caryophyllaceae, Cucurbitaceae, Fabales, Primulaceae, Ranunculaceae, Rosaceae dan
Sapindaceae.
Saponin jenis ini memiliki aglikon berupa steroid yang di peroleh dari metabolisme
sekunder tumbuhan. Jembatan ini juga sering disebut dengan glikosida jantung, hal ini
disebabkan karena memiliki efek kuat terhadap jantung. Salah satu contoh saponin jenis ini
adalah Asparagosida (Asparagus sarmentosus)

1.3.3. Identifikasi Glikosida Saponin, Triterpenoid Dan Steroid


Secara kualitatif untuk menyatakan keberadaan saponin pada contoh bahan dapat
dilakukan dengan uji busa dan menghemolisis sel-sel darah merah, bila larutan saponin
diinjeksikan ke dalam aliran darah. Pembentukan busa yang mantap sewaktu mengekstraksi
tumbuhan atau waktu memekatkan ekstrak tumbuhan merupakan bukti terpercaya akan
adanya saponin. Selanjutnya golongan sapogeninnya dapat ditentukan dengan reaksi warna
menggunakan pereaksi Liebermann-Burchard. Berdasarkan warna yang terbentuk, apabila
terbentuk warna merah atau ungu menunjukkan saponin triterpen, sedangkan bila terbentuk
warna hijau atau birumenunjukkan saponin steroid.
Secara kualitatif, saponin steroid yang termasuk golongan spirostanol dapat dibedakan
dengan furostanol. Glikosida furostanol menunjukkan warna merah pada lempeng
kromatografi lapis tipis (KLT) bila disemprot dengan pereaksi Ehrlich (p-dimetil amino
benzaldehida dan asam klorida) dan warna kuning dengan pereaksi anisaldehida, sebaliknya
tidak terjadi perubahan warna pada glikosida spirostanol.
Secara konvensional, elusidasi struktur saponin dilakukan melalui studi Derivatisasi
dan degradasi. Derivatisasi saponin dilakukan melalui reaksi metilasi atau asetilasi.
Degradasi saponin dilakukan melalui reaksi hidrolisis total dan atau hidrolisis parsial.
Hidrolisis saponin dapat dilakukan dengan cara enzim, basa, atau asam yang menghasilkan
sapogenin dan gula.
Hidrolisis dalam suasana asam menghasilkan hidrolisis total maupun hidrolisis parsial
tergantung konsentrasi asam,waktu, dan suhu. Secara khusus hasil hidrolisis total saponin
adalah untuk mengidentifikasi sapogenin dan glikon. Posisi ikatan glikosidik inter glikon
maupun antar glikon dan sapogenin, di identifikasi dengan melakukan reaksi permetilasi dan
diikuti dengan reaksi hidrolisis secara total satuan-satuan gula yang menyusun aglikonnya.
Bagian yang tidak termetilasi pada masing-masing satuan gula adalah sisi yang berikatan.
Uji pendahuluan untuk mengetahui kadar saponin secara kualitatif dilakukan dengan
metode yang dideskripsikan oleh Suharto et al. (2012). Uji kadar saponin secara kualitatif
tersebut terdiri dari uji busa dan uji warna.
Uji Busa
Simplisia sebanyak 0,5 gram dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang telah berisikan
aquades 10 ml, dikocok dan ditambahkan satu tetes larutan asam klorida 2 N. Tabungreaksi
tersebut didiamkan dan diperhatikan ada atau tidak adanya busa stabil. Sampel mengandung
saponin jika terbentuk busa stabil dengan ketinggian 1-3 cm selama 30 detik.
Uji Warna
Simplisia sebanyak 0,5 gram dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang telah berisikan
kloroform 10 ml, dipanaskan selama 5 menit denganpenangas air sambil dikocok.
Selanjutnya, ditambahkan beberapa tetes pereaksi LB. Jika terbentuk cincin coklat atau
violet maka menunjukkan adanya saponin triterpen, sedangkan warna hijau atau biru
menunjukkan adanya saponin steroid

1.3.4. Tinjauan Kromatografi Lapis Tipis


Gambaran Umum
Kromatografi lapis tipis (KLT) dan kromatografi kertas tergolong "kromatografi
planar." KLT adalah yang metode kromatografi paling sederhana yang banyak digunakan.
Peralatan dan bahan yang dibutuhkan untuk melaksanakan pemisahan dan analisis sampel
dengan metode KLT cukup sederhana yaitu sebuah bejana tertutup (chamber) yang berisi
pelarut dan lempeng KLT. Dengan optimasi metode dan menggunakan instrumen komersial
yang tersedia, pemisahan yang efisien dan kuantifikasi yang akurat dapat dicapai.
Kromatografi planar juga dapat digunakan untuk pemisahan skala preparatif yaitu dengan
menggunakan lempeng, peralatan, dan teknik khusus.
Pelaksanaan analisis dengan KLT diawali dengan menotolkan alikuot kecil sampel
pada salah satu ujung fase diam (lempeng KLT), untuk membentuk zona awal. Kemudian
sampel dikeringkan. Ujung fase diam yang terdapat zona awal dicelupkan ke dalam fase
gerak (pelarut tunggal ataupun campuran dua sampai empat pelarut murni) di dalam
chamber. Jika fase diam dan fase gerak dipilih dengan benar, campuran komponen-
komponen sampel bermigrasi dengan kecepatan yang berbeda selama pergerakan fase gerak
melalui fase diam. Hal ini disebut dengan pengembangan kromatogram. Ketika fase gerak
telah bergerak sampai jarak yang diinginkan, fase diam diambil, fase gerak yang terjebak
dalam lempeng dikeringkan, dan zona yang dihasilkan dideteksi secara langsung (visual)
atau di bawah sinar ultraviolet (UV) baik dengan atau tanpa penambahan pereaksi penampak
noda yang cocok.
Perbedaan migrasi merupakan hasil dari perbedaan tingkat afinitas masing-masing
komponen dalam fase diam dan fase gerak. Berbagai mekanisme pemisahan terlibat dalam
penentuan kecepatan migrasi. Kecepatan migrasi komponen sampel tergantung pada sifat
fisika kimia dari fase diam, fase gerak dan komponen sampel. Retensi dan selektivitas
kromatografi juga ditentukan oleh interaksi antara fase diam, fase gerak dan komponen
sampel yang berupa ikatan hidrogen, pasangan elektron donor atau pasangan elektron-
akseptor (transfer karge), ikatan ionion, ikatan ion-dipol, dan ikatan van der Waals.
Pengambilan sampel, pengawetan, dan pemurnian sampel adalah masalah umum
untuk KLT dan metode kromatografi lainnya. Sebagai contoh, pengembangan KLT biasanya
tidak sepenuhnya melarutkan kembali analit yang berada dalam lempeng kecuali dilakukan
pemurnian sebelumnya (clean up). Metode clean up paling sering dilakukan pada ekstraksi
selektif dan kromatografi kolom. Dalam beberapa kasus zat/senyawa perlu dikonversi
dahulu sebelum dianalisis dengan KLT. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan turunan
senyawa yang lebih cocok untuk proses pemisahan, deteksi, dan / atau kuantifikasi. KLT
dapat mengatasi sampel yang terkontaminasi, seluruh kromatogram dapat dievaluasi,
mempersingkat proses perlakuan sampel sehingga hemat waktu dan biaya. Kehadiran
pengotor atau partikel yang terjerap dalam sorben fase diam tidak menjadi masalah, karena
lempeng hanya digunakan sekali (habis pakai).
Deteksi senyawa menjadi mudah ketika senyawa secara alami dapat berwarna atau
berberfluoresensi atau menyerap sinar UV. Namun, perlakuan penambahan pereaksi
penampak noda dengan penyemprotan atau pencelupan terkadang diperlukan untuk
menghasilkan turunan senyawa yang berwarna atau berfluoresensi. Pada umumnya senyawa
aromatik terkonjugasi dan beberapa senyawa tak jenuh dapat menyerap sinar UV. Senyawa-
senyawa ini dapat dianalisis dengan KLT dengan fase diam yang diimpregnasi indikator
fluoresensi dan deteksi dapat dilakukan hanya dengan pemeriksaan di bawah sinar UV 254
nm.
Pada KLT, identifikasi awal suatu senyawa didasarkan pada perbandingan nilai Rf
dibandingkan Rf standar. Nilai Rf umumnya tidak sama dari laboratorium ke laboratorium
bahkan pada waktu analisis yang berbeda dalam laboratorium yang sama, sehingga perlu
dipertimbangkan penggunaan Rf relatif yaitu nilai Rf noda senyawa dibandingan noda
senyawa lain dalam lempeng yang sama. Faktor-faktor yang menyebabkan nilai Rf
bervariasi meliputi dimensi dan jenis ruang, sifat dan ukuran lempeng, arah aliran fase gerak,
volume dan komposisi fase gerak, kondisi kesetimbangan, kelembaban, dan metode
persiapan sampel KLT sebelumnya.

Metode Pemisahan pada Kromatografi


Berbagai teknik pemisahan dapat diterapkan untuk memisahkan campuran diantaranya
ekstraksi, destilasi, kristalisasi dan kromatografi. Ekstraksi adalah proses pemisahan satu
atau lebih komponen dari suatu campuran homogen menggunakan pelarut cair (pelarut)
sebagai separating agent. Campuran diluen dan pelarut ini adalah heterogen (immiscible,
tidak saling campur). Pemilihan pelarut menjadi sangat penting, dipilih pelarut yang
memiliki sifat antara lain pelarut dapat melarutkan solut tetapi sedikit atau tidak melarutkan
diluen, pelarut tidak mudah menguap pada saat ekstraksi, pelarut mudah dipisahkan dari
solut, sehingga dapat dipergunakan kembali dan pelarut tersedia dipasaran dan tidak mahal.
Pemisahan dengan teknik kristalisasi didasari atas dasar pelepasan pelarut dari zat
terlarutnya dalam sebuah campuran homogen atau larutan, sehingga terbentuk kristal dari
zat terlarutnya. Kromatografi adalah teknik pemisahan campuran didasarkan atas perbedaan
distribusi dari komponen-komponen campuran tersebut diantara dua fase, yaitu fase diam
(padat atau cair) dan fase gerak (cair atau gas) yang menyebabkan terjadinya perbedaan
migrasi dari masing-masing komponen. Perbedaan migrasi merupakan hasil dari perbedaan
tingkat afinitas masing-masing komponen dalam fase diam dan fase gerak. Afinitas senyawa
dalam fase diam dan fase gerak ditentukan oleh sifat fisika kimia dari masing-masing
senyawa.
Faktor –faktor yang menyebabkan perbedaan migrasi komponenkomponen dalam
sampel meliputi faktor pendorong migrasi analit dan faktor penghambat migrasi analit.
Faktor pendorong migrasi meliputi gaya gravitasi, elektrokinetik, dan hidrodinamik. Faktor
penghambat migrasi meliputi friksi molekul, elektrostatik, adsorbsi, kelarutan, ikatan kimia
dan interaksi ion. Metode pemisahan pada kromatografi sangat tergantung dari jenis fase
diam yang digunakan. Jenis fase diam yang digunakan menentukan interaksi yang terjadi
antara analit dengan fase diam dan fase gerak. Metode pemisahan pada kromatografi terbagi
menjadi:
a. Pemisahan berdasarkan polaritas
Metode pemisahan berdasarkan polaritas, senyawa-senyawa terpisah karena
perbedaan polaritas. Afinitas analit tehadap fase diam dan fase gerak tergantung kedekatan
polaritas analit terhadap fase diam dan fase gerak (like dissolve like). Analit akan cenderung
larut dalam fase dengan polaritas sama. Analit akan berpartisi diantara dua fase yaitu fase
padat-cair dan fase cair-cair. Ketika analit berpartisi antara fase padat dan cair faktor utama
pemisahan adalah adsorbsi. Sedangkan bila analit berpartisi antara fase cair dan fase cair,
faktor utama pemisahan adalah kelarutan. Prinsip pemisahan dimana analit terpisah karena
afinitas terhadap fase padat dan fase cair biasa disebut dengan adsorbs dan metode
kromatografinya biasa disebut kromatografi adsorbsi. Sedangkan prinsip pemisahan dimana
analit terpisah karena afinitas terhadap fase cair dan fase cair disebut dengan partisi dan
metode kromatografinya biasa disebut kromatografi cair.

b. Pemisahan berdasarkan muatan ion


Pemisahan berdasarkan muatan ion dipengaruhi oleh jumlah ionisasi senyawa, pH
lingkungan dan keberadaan ion lain. Pemisahan yang disebabkan oleh kompetisi senyawa-
senyawa dalam sampel dengan sisi resin yang bermuatan sehingga terjadi penggabungan
ion-ion dengan muatan yang berlawanan disebut kromatografi penukar ion. Pemisahan yang
terjadi karena perbedaan arah dan kecepatan pergerakan senyawasenyawa dalam sampel
karena perbedaan jenis dan intensitas muatan ion dalam medan listrik disebut elektroforesis.

c. Pemisahan berdasarkan ukuran molekul


Ukuran molekul suatu senyawa mempengaruhi difusi senyawa-senyawa melewati
pori-pori fase diam. Pemisahan terjadi karena perbedaan difusi senyawa-senyawa melewati
pori-pori fase diam dengan ukuran pori-pori yang bervariasi. Senyawa dengan ukuran
molekul besar hanya berdifusi kedalam pori-pori fase diam yang berukuran besar, sedangkan
senyawa dengan ukuran molekul kecil akan berdifusi ke dalam semua pori-pori fase diam,
sehingga terjadi perbedaan kecepatan pergerakan molekul melewati fase diam. Senyawa
dengan ukuran molekul besar memiliki kecepatan yang lebih besar dibanding senyawa
dengan ukuran molekul kecil. Metode pemisahan ini biasa disebut dengan kromatografi
permeasi gel.
d. Pemisahan berdasarkan bentukan spesifik
Pemisahan senyawa berdasarkan bentukan yang spesifik melibatkan ikatan kompleks
yang spesifik antara senyawa sampel dengan fase diam. Ikatan ini sangat selektif seperti
ikatan antara antigen dan antibody atau ikatan antara enzim dengan substrat. Pemisahan ini
biasa disebut dengan kromatogafi afinitas.

1.4. PROSEDUR KERJA


a. Uji buih
1. Ekstrak sebanyak 0,2 gram dimasukkan tabung reaksi, kemudian ditambah air
suling 10 ml, dikocok kuat-kuat selama kira-kira 30 detik.
2. Tes buih positif mengandung saponin bila terjadi buih yang stabil selama lebih dari
30 menit dengan tinggi 3 cm di atas permukaan cairan.
b. Reaksi warna
1. Preparasi sampel
0,5 gram ekstrak dilarutkan dalam 15 ml etanol, lalu di bagi menjadi tiga bagian,
masing-masing 5 ml, disebut sebagai larutan II A, II B, dan II C.
2. Uji Liebermann-Burchard
a) Larutan II A digunakan sebagai blanko, larutan II B sebanyak 5 ml
ditambahkan 3 tetes asam asetat anhidrat dan 1 tetes H2SO4 pekat, amati
perubahan warna yang terjadi. Kemudian kocok perlahan dan amati terjadinya
perubahan warna.
b) Terjadinya warna hijau biru menunjukkan adanya saponin steroid, warna
merah ungu menunjukkan adanya saponin triterpenoid dan warna kuning muda
menunjukkan adanya saponin triterpenoid atau steroid jenuh.
3. Uji Salkowski
a) Larutan II A digunakan sebagai blanko, larutan II C sebanyak 5 ml ditambahkan 1-
2 ml H2SO4 pekat melalui dinding tabung reaksi.
b) Adanya steroid tidak jenuh ditandai dengan timbulnya cincin warna merah.
c. Kromatografi Lapis Tipis
1. Identifikasi sapogenin steroid atau triterpenoid
a) Ekstrak sebanyak 0,5 gram ditambahkan 5 ml HCl 2N, didihkan dan tutup dengan
corong berisi kapas basah selama 50 menit untuk menghidrolisis saponin.
b) Setelah dingin, tambahkan ammonia sampai basa, kemudian ekstraksi dengan 4-
5 ml n-heksana sebanyak 2x lalu uapkan sampai tinggal 0,5 ml. totolkan pada plat
KLT.
Fase diam : kiesel gel 254
Fase gerak : n-heksana – etil asetat (4:1)
Penampak noda: anisaldehida asam sulfat (dengan pemanasan)
c) Adanya sapogenin ditunjukkan dengan terjadinya warna merah ungu (ungu) untuk
anisaldehid asam sulfat.
2. Identifikasi terpenoid atau steroid bebas secara KLT
a) Sedikit ekstrak ditambah beberapa tetes etanol, diaduk sampai larut, totolkan pada
fase diam.
b) Uji kromatografi lapis tipis ini menggunakan:
Fase diam : kiesel Gel 254
Fase gerak :n-heksana – etil asetat (4:1)
Penampak noda: anisaldehida asam sulfat (dengan pemanasan)
c) Adanya terpenoid atau steroid ditunjukkan dengan terjadinya warna merah ungu atau
ungu.
SKEMA KERJA
a. Uji Buih

0,2 gram ekstrak Dimasukkan kedalam tabung reaksi + air suling 10 ml. Dikocok
Sapindus rarak DC kuat-kuat selama kira-kira 30 detik

Tes buih positif mengandung saponin bila terjadi buih yang stabil selama lebih
dari 30 menit dengan tinggi 3 cm diatas permukaan cairan

b. Reaksi Warna
- Preparasi Sampel

IIA IIB IIC

0,5 gram ekstrak Ditambahkan Dibagi menjadi 3 bagian (@5ml)


Sapindus rarak DC 15 ml etanol

- Uji Liebermann-Burchard

IIA sebagai blanko

3 tetes asam asetat anhidrat


Diamati
5 ml IIB perubahan
warna
1 tetes H2SO4 pekat

- Uji Salkowski
IIA sebagai blanko

5 ml IIC 1-2 ml H2SO4 pekat melalui dinding tabung reaksi


c. Kromatografi Lapis Tipis
1. Identifikasi sapogenin steroid/triterpenoid

0,5 gram ekstrak Ditambah 5 ml Didihkan dan ditutup dengan corong


Sapindus rarak DC HCl 2N berisi kapas basa selama 50 menit

Setelah dingin ditambahkan


Ammonia sampai basa, kemudian diekstraksi dengan 4-5 ml n-heksana sebanyak 2x

Diuapkan sampai tinggal 0,5 ml Ditotolkan pada plat KLT

2. Identifikasi terpenoid/steroid bebas secara KLT

Ekstrk ditambah beberapa


tetes etanol, diaduk sampai larut kemudian ditotolkan pada fase diam
1.5. HASIL
1.6. PEMBAHASAN
DAFTAR PUSTAKA

Wulandari, Lestyo. 2011. Kromatografi Lapis Tipis. PT. Taman Kampus Perindo: Jember
Wina, Elizabeth. 2012. Senyawa Bioaktif Saponin Sebagai Agen Defaunasi Dan Mitigasi
Gas Metana Pada Ruminansia. Jurnal Penelitian Peternakan, Bogor: Balai Penelitian
Ternak.
Susanty, Eva. 2014. Skrining Fitokimia Ekstrak Etanol Daun Gatal. Jurnal Penelitian
Farmasi. Jayapura: Universitas Cendrawasih
Fahrunnida. 2015. Kandungan Saponin Daun, Buah, dan Tangkai Daun Belimbing Wuluh.
Jurnal Penelitian Biologi. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada
kupdf.com

Anda mungkin juga menyukai