Mendung Merintih

Kini aku telah menjadi saksi bisu

Menyaksikan malam yang sunyi kian sepi
Air mata yang tak henti menetes
Menyaksikan derita yang kian menerpa
Berhamburan senjata dan keranda

Sosok asing itu bertanya, “Tempat apa ini ? Bisakah kita keluar ?”
Tapi kita belum tahu
Hembusan angin mengajak orang-orang memasang topeng diri
Dan berjalan gagah bak diri tersisih oleh ego

Diamlah nona.
Di negeri ini kita tidak harus memerankan drama
Tak harus merasakan hiruk pikuk ini
Kebencian,kedengkian,keegoisan
Nona, ini hanyalah pentas yang membingungkan
Dari aktor – aktor yang mahir bermain peran

Mungkin aku telah berlabuh

Mengarungi pagi hingga larut pada hari gelap
Mungkin negeri ini telah usai, bagiku
Hingga tiba waktunya aku pergi

Tangan yang tak henti menggenggam dosa

Mata yang belum terkikis oleh nafsu
Dan hati yang masih berselimut oleh debu
Bagai imajinasi yang terkurung oleh kerangka
“Apa yang kau lihat dibalik pintu itu?”
Bangunan kokoh menjulang tinggi
Bak istana berlapis emas
Diatas jutaan jiwa

Ketika nona kecil bertanya pada ayahnya

“Apa yang ada dalam memorimu ayah ?”
Burung – burung mengapung didinding
Seperti titik hujan dikaca rumahku
Sementara pagi, dan daun – daun hijau saling mengisi
“Lalu, apa yang ada dalam memoriku ayah?”
Memori yang seperti kereta
Sebentar singgah, sebentar pergi
Dengan angan - angan yang disekap dalam keras ruang bejana
Dan hijau yang selalu hadir adalah tiang baja

Izinkan setidaknya aku untuk bermimpi

Menjelajahi keindahan yang terukir dikepalaku
Mencahayai harapan anak – anak disatu sudut gelap
Menghilangkan para aktor yang haus akan takhta

Aku tahu,
Semua yang kukatakan hanyalah angan – angan belaka
Tapi, hanya Tuhan yang dapat mengadili kita
Maka, biarkan kami bahagia sesuai jiwa kami
Menyaksikan burung-burung kecil berkicau dengan merdunya

Bergegaslah, jangan terlambat wahai malaikat kecil

Sebelum malam berlalu dan mimpi jadi hilang
Barangkali, kita belum bosan berotasi

Saat itulah, cita – cita akan datang lagi