Anda di halaman 1dari 30

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanaman Asam Jawa (Tamarindus indica L)

Asam jawa atau Tamarindus indica l merupakan tanaman yang hidup

di daerah tropis dan subtropics, genus monotipik, subfamily

Caesalpinioideae,dan family Leguminosae (Fabaceae). Indonesia memiliki

beberapa provinsi yang memiliki tumbuhan ini, seperti Jawa Barat, Jawa

Tengah, Jawa Timur, Madura, Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Bali dan

Sulawesi Selatan. Pohon Tamarindus indica L hidup di dataran rendah,

pertumbuhannya lambat, dan umurnya sangat panjang (Rini & Putri, 2014).

2.1.1 Taksonomi Asam Jawa

(Rini & Putri, 2014; Reddy D, 2016)

Gambar 2.1
kulit batang Tamarindus indica linn

6
7

Klasifikasi Tamarindus indica L

Kingdom : Plantae

Sub Kingdom : Tracheobionta

Division : Spermatphyta

Sub Division : Magniliophyta

Class : Magnoliopsida

Sub Class : Risidae

Ordo : Fabales

Family : Fabaceae

Genus : Tamarindus L

Species : Tamarindus indica L (Rini & Putri., 2014).

2.1.2 Anatomi dan Morfologi Asam Jawa

Pohon Tamarindus indica tumbuh secara lambat, mampu

bertahan terhadap angin yang kencang, dan berumur sangat panjang.

Pohon ini berwarna hijau sepanjang tahun, tingginya dapat mencapai 25-

30 meter dan diameternya dapat mencapai lebih dari 2 meter. Pada bagian

atas sangat padat dengan dedaunan dengan banyak batang dan ranting.

Daun menyebar dengan luas dan melingkar. Kulit batang kasar, bersisik,

pecah-pecah,dan berwarna coklat ke abu-abuan.Kayu dari Tamarindus

indica ini kuat, padat, keras, berat dengan warna pucat keputihan.

Daunnya sepanjang 7,5-15 cm dan teratur, panjang tangkai daunnya

dapat sampai lebih dari 1,5 cm.Terdapat tiga benang sari hijau, yang

menghasilkan 1 hingga 8 ovum. Buah dari Tamarindus indica berbentuk

sub silindris sederhana atau melengkung dalam polong yang tidak


8

merekah dengan pinggir yang membulat hingga 14 cm x 4 cm, dalam

jumlah hingga 10 biji. Daging dari polong yang sudah matang dapat

dimakan, walaupun rasanya asam. Biji Tamarindus indica berbentuk

jajaran genjang yang pipih dan tak teratur, panjangnya hingga 1,8 cm,

sangat keras, berwarna coklat, dan sebagian besar bersudut (Rini &

Putri.,2014).

2.1.3 Habitat Asam Jawa

Habitat asal tanaman asam jawa adalah daerah tropis atau

subtropis. Pola persebarannya berada di iklim tropis. Tanaman ini berasal

dari Afrika, namun kemudian juga berkembang di India, Sudan, Pakistan,

Spanyol, Meksiko dan juga Indonesia. Provinsi yang dikenal

menghasilkan tumbuhan ini adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa

Timur termasuk Madura,Sumatra Utara, Kalimantan Barat, Balidan

Sulawesi Selatan. Tumbuhan ini biasanya tumbuh pada dataran rendah

dan menjadi pohon yang ditanam di pinggir jalan sebagai pohon

pelindung (Rini & Putri, 2014).

2.1.4 Kandungan Kimia Asam Jawa

Penelitian fitokimia menunjukkan bahwa Tamarindus indica

memiliki berbagai kandungan sebagai berikut : senyawa fenol, glikosida,

mallic acid, tartaric acid, getah, pectin, arabinosa, xylosa, galaktosa,

glukosa, dan uronic acid. Melalui ekstrak ethanol Tamarindus indica

ditemukan adanya asam lemak dan berbagai elemen esensial seperti

arsenik, calcium, cadmium, tembaga, besi, sodium, mangan, magnesium,

potassium, fosfor, zinc dan sedikit vitamin A. (Rini & Putri, 2014).
9

Buah dari Tamarindus indica ini mengandung kadar protein dan

karbohidrat yang tertinggi dibanding buah lain. Selain itu, terdapat

berbagai asam organik,termasuk tartaric acid, acetic acid,citric acid,

formic acid, malic acid, dan succinic acid; asam amino, invert glucose

(25-30%); pektin; protein;lemak; beberapa pyrazine (trans-2-hexenal);

dan beberapa thiazoles (2-ethylthiazole, 2-methylthiazole) sebagai bahan

yang menimbulkan bau. (Rini & Putri, 2014).

Pada biji Tamarindus indica mengandung polisakarida, dimana rantai

utama terdiri dari molekul glukosa α-1,4 yang berhubungan dengan

xylosa (α-1,6) dan galaktosa. Terdapat pula kandungan protein, lemak

dan minyak lemak, beberapa asam keto serta antioksidan fenol. Senyawa

polifenol pada bagian biji ini hanya berisi procyanidin diantaranya

tetramer procyanidin oligomer, procyanidin hexamer, dan procyanidin

pentamer dengan sejumlah kecil dari procyanidin B2 epicatechin. (Rini

& Putri, 2014)

Daun Tamarindus indica mengandung 13 komponen, dimana

linonene dan benzylbenzoatnya paling dominan. Pada bagian ini juga

dapat ditemukan dua triterpene,lupanone dan lupeol Kandungan yang

lain yaitu sitexin, isovetexin, orientin, isiorientin, 1-malic acid, tannin,

glycoside, dan peroxidase. Kulit batang Tamarindus indica, mengandung

flavonoid, tannin, saponin, glycoside, peroxidase dan lemak. (Rini &

Putri, 2014). Senyawa antioksidan yang paling banyak terdapat pada

kulit batang. Tamarindus indica merupakan salah satu tumbuhan kaya

akan antioksidan disetiap bagian tubuhnya. (Rini & Putri, 2014).


10

Leaf Fruit Root Stem Seed Pulp


Bark
Plant
part
(Atowadi et al, 2014)

Gambar 2.2
Kandungan Polifenol pada Kandungan Asam Jawa
Dari penelitian (Atowadi et al, 2014) mengenai kandungan total

polifenol dan flavonoid pada semua bagian dari tanaman asam jawa.

Didapatkan hasil polifenol pada kulit batang memiliki kandungan terbanyak

secara statistik 158±2.5, μg GAE /g. sedangkan pada biji (66± 0.7 μg GAE /g),

akar (60± 0.7 μg GAE /g), dan daun (55±0.0 μg GAE /g).

Kemudian, komposisi antioksidan dalam asam jawa, berupa flavonoid,

tannin, dan saponin. (Atowadi et al, 2014 ; Degree et al, 2017; Ma’roef and

Jannah2 2018).

Tabel 2.1 Komposisi antioksidan dalam bagian asam jawa

Bagian Flavonoid Tannin Saponin


asam jawa
Kulit batang ++ + +
Buah + + +
Daun + + +
Biji + + +
(Atowadi et al, 2014 ; Degree and Pradesh, 2017; Ma’roef and Jannah2, 2018)
11

Sementara pada kandungan flavonoid didapatkan hasil konsentrasi

tertinggi terdapat pada kulit batang 39±0.7 μg QE /g), diikuti kulit buah (27±

1.0 μg QE /g), daging buah (24± 1.4 μg QE /g), biji nya (21± 0.7 μg QE /g),

akar serta daun 17±1.4 μg QE /g dan 17± 1.0 μg QE /g. (Atowadi et al, 2014).

Lea Fruit Roo Ste See Pul


f Bark t m d p
Plant
part
(Atowadi et al, 2014)

Gambar 2.3
Kandungan Flavonoid pada Tanaman Asam Jawa
Kemudian dilakukan pengujian sebagai radical scavenger pada

kandungan antioksidan tanaman asam jawa dengan aktivitas DPPH sebagai

radikal bebas. Didapatkan hasil aktivitas antioksidan tertinggi terdapat pada

kulit batang (168±3.5 μg TE /g), diikuti buah (143±3.5 μg TE /g), lalu biji 83±

3.5 μg TE /g), akar (63± 3.5 μg TE /g) dan daun (63± 3.5 μg TE /g) sebagai

radical scavenging terendah. (Atowadi et al, 2014).


12

Leaf Fruit Root Stem Seed Pulp

Bark Plant
parts

(Atowadi et al, 2014)


Gambar 2.4
Uji Aktivitas Radical Scavenger dengan Radikal Bebas DPPH pada bagian
tanaman asam jawa
Dengan demikian, pada ekstrak bagian kulit batang diikuti buah

memiliki kemampuan sebagai radical scavenger tertinggi, sedangkan daun

serta akar paling rendah. (Atowadi et al, 2014).

2.1.5 Kandungan Bahan Aktif Asam Jawa

2.1.5.1 Flavonoid

Flavonoid termasuk kelas metabolit sekunder yang

memiliki struktur polifenol. Zat ini memiliki efek biokimia dan

antioksidan yang berhubungan dengan berbagai macam penyakit

seperti kanker, alzheimer, aterosklerosis dan lainnya. Flavonoid

dikenal sebagai inhibitor untuk beberapa enzim seperti xanthine

oxidase (XO), cyclo-oxygenase (COX), lipoxygenase dan

phosphoinositide 3-kinase (4-6). Flavonoid dibagi menjadi

beberapa subkelompok diantara nya chalcones, flavones,

flavonols dan isoflavon. Zat ini dianggap memiliki efek positif


13

terhadap kesehatan manusia dan hewan untuk terapi dan

kemoprevensi suatu penyakit. (Widiasari, 2018).

(Widiasari, 2018).
Gambar 2.5
Struktur Flavonoid

Flavonoid mempunyai kemampuan sebagai antioksidan.

Aktifvitas antioksidan dari flavonoid tergantung dari pengaturan

kelompok fungsional dari struktur intinya. Konfigurasi, subtitusi

dan total jumlah dari kelompok hidroksil sangat mempengaruhi

beberapa mekanisme kerja antioksidan seperti kemampuan

mendeteksi radikal (radical scavenger) dan pengikatan ion.

Mekanisme kerja antioksidan flavonoid meliputi : mensupresi

pembentukan ROS baik dengan inhibisi enzim-enzim atau

mengikat trace elemen yang terkait dengan pembentukan radikal

bebas, mendeteksi ROS dan meningkatkan regulasi atau proteksi

pertahanan antioksida (Widiasari, 2018).

Flavonoid dapat mencegah kerusakan yang dikarenakan

oleh radikal bebas secara langsung, atau bisa disebut dengan


14

radical scavenger. Zat ini dapat secara langsung membuang

superoksida (Panche et al., 2016).

(Panche et al., 2016)


Gambar 2.6
Struktural Flavonoid sebagai Radical Scavenger
2.1.5.2 Tannin

Tannin dapat dibagi berdasarkan struktur kimia, kelarutan

atau dengan daya ekstraksinya. Tentang struktur kimia nya,

tannin dibagi menjadi empat kelompok besar, tergantung pada

struktur monomer Protoanthocyanidin atau tannin terkondensasi,

phlorotannins dan complex tannins (Serrano, Puupponen-Pimiä,

Dauer, Aura, & Saura-Calixto, 2009).

Tannin merupakan antioksidan yang dapat bekerja sebagai

radical scavenger. Bahan aktif ini diketahui dapat menghambat

peroksida lipid dan lipoksigenase dalam in vitro dan telah

membuktikan dari informasi yang ada, tannin memiliki

kemampuan radical scavenger pada zat aktif radikal seperti

hidroksil, superoksida, dan peroksil yang diketahui penting dalam

seluler prooxidant. Sebagian besar aktivitas dari procyanidins


15

bagian struktur tannin memiliki kapasitas dalam pengurangan

radikal bebas yang bergantung pada struktur, khususnya tingkat

polimerisasi mereka dimana peningkatan kekuatan sebagai

antiradikal diamati dengan peningkatan derajat polierasi (Serrano

et al., 2009).

(Serrano et al., 2009).


Gambar 2.7
Klasifikasi dan Struktural Tannin
Bagian struktur tannin yaitu procyanidins B1 dan B3 telah

dievaluasi sebagai antioksidan untuk asam linoleate dalam air

yang diberikan aktivitas antioksidan lebih kuat daripada asam

askorbat atau a-tokoferol. Hasilnya semakin tinggi derajat

polimerasi, semakin banyak radikal yang terambil per

molekulnya. kemudian dilakukan evaluasi pada tannin

terkondensasi oleh anion DPPH-radikal, superoksida, hidroksil

dan peroksil untuk melihat seberapa besar dosis yang digunakan


16

dalam kemampuan sebagai radical scavenger (Serrano et al.,

2009).

2.1.5.3 Saponin

Saponin merupakan senyawa yang bagian dari keluarga

besar aglikon triterpenoid (Saponigen) (Chen Y et al., 2014).

Saponin terdiri bagian dari gula yang mengandung glukosa,

galaktosa, asam glukuronat, xylose, rhamnose, atau

methylpentose terkait glikosidik ke aglikon hidrofibik (Francis,

Kerem, Makkar, & Becker, 2003).

Saponin terjadi secara konstitutif dalam banyak spesies

tanaman, baik tanaman liar atau tanaman budidaya. Dalam

tanaman, terdapat dua saponin, saponin triterpenoid yang

dominan sedangkan satu nya berupa saponin steroid yang

digunakan ramuan atau properti untuk dibidang kesehatan.

Saponin triterpenoid banyak terdapat di kacang-kacangan seperti

kedelai, kacang polong, Lucerne, dll. Saponin steroid ditemukan

dalam gandum, paprika capsicum, terong, biji tomat, asparagus

dll (Francis et al., 2003).

(Francis et al., 2003).


Gambar 2.8
Struktur dari Saponin
17

Senyawa ini telah menunjukkan peningkatan aplikasi

tradisional dan industri dalam kedokteran sebagai antioksidan,

anti-inflamasi, antimikroba, dan antitumor serta bahan adjuvant.

Banyak bukti menunjukkan bahwa beberapa saponin dalam

tanaman memiliki aktivitas antioksidan yang kuat dan dapat

menjadi kandidat potensial antioksidan baru yang akan

mengandalkan kemampuan radical scavenger nya untuk

mengatasi berbagai radikal bebas (Chen Y et al., 2014).

Saponin yang diproduksi dalam kacang-kacangan yaitu

soyasaponins grup B, mengandung antioksidan yang terdapat di

C23. Kandungan 2,3- dihydro-2, 5-dihydroxy-6-methyl-4H-

pyran-4-one (DDMP) memungkinkan saponin untuk mencari

superoksida dengan membentuk za tantara hidroperoksida

sehingga mencegah kerusakan bio-molekul oleh radikal bebas

(Francis et al., 2003).

2.2 Hemoglobin

2.2.1 Definisi Hemoglobin

Hemoglobin adalah molekul heme dalam sel eritrosit yang

mengandung hampir duapertiga kebutuhan besi tubuh. Sebuah sel

eritrosit dapat mengangkut sekitar 250 juta molekul hemoglobin. Satu

molekul hemoglobin terdiri dari empat ion ferro untuk empat heme

yang dimilikinya. Bentuk hemoglobin utama pada manusia adalah

HbA1, yang mana rantai globinnya terdiri dari dua rantai α dan dua

rantai β (α2 β2). Polipeptida α mempunyai 141 asam amino dan β


18

mempunyai 146 asam amino. Hemoglobin lain ialah HbA2 yang hanya

ada sekitar 2% dari populasi. HbA2 mengandung α2 δ2. Darah janin

mempunyai Hb berbeda dari orang dewasa yaitu HbF yang globinnya

terdiri dari α2 γ2 (Kadri, 2012).

2.2.2 Fungsi Hemoglobin

Fungsi utama hemoglobin ialah mentranspor O2 dari paru- paru

ke berbagai jaringan dan membawa CO2 serta proton (H+) dari jaringan

ke paru-paru. hemoglobin mengikat satu molekul O2 untuk tiap heme,

jadi satu molekul hemoglobin dapat mengikat empat molekul O2, tetapi

hanya satu molekul CO2 yang terikat pada rantai polipeptida globin

sebagai karbamat hemoglobin (kadarnya 15% dari CO2 darah vena)

(Kadri, 2012).

2.2.3 Sintesis Hemoglobin

Sumber heme dapat berasal dari makanan produk hewani dan

hasil biosintesis sel tubuh itu sendiri. Pencernaan heme terjadi di lambung

dan usus halus dengan bantuan protease saluran cerna. Proses awal heme

dibebaskan terlebih dahulu dari struktur proteinnya, kemudian heme

yang mengandung besi diabsorpsi 25-35% oleh enterosit usus halus,

sedangkan heme non besi hanya diabsorpsi 2-20% saja. Hasil biosintesis

sel tubuh sendiri sekitar 85% terjadi dalam sel prekursor eritrosit pada

sumsum tulang dan sebagian besar sisanya dalam hepatosit.Biosintesis

heme terdiri dari delapan tahap enzimatik yang terjadi empat tahap di

mitokondria dan empat tahap juga di sitosol. Tahap enzimatik pertama

dan tiga terakhir terjadi di mitokondria, sedangkan tahap dua sampai lima
19

terjadi di sitosol. Bahan pertama yang diperlukan adalah suksinil KoA

yang berasal dari siklus Kreb’s dan asam amino glisin. Piridoksal fosfat

(vitamin piridoksin) diperlukan untuk mengaktifkan glisin. Hasil

kondensasi suksinil KoA dan glisin adalah asam α-amino-β-ketoadipat

yang dengan cepat didekarboksilasi oleh ALA sintase (Aminolevulinat

sintase) menjadi δ-aminolevulinat (ALA). Dua molekul ALA pindah ke

sitosol untuk dikatalisis oleh ALA dehidratase menjadi porfobilinogen.

Perubahan protoporfirinogen III menjadi protoporfirin IX adalah satu-

satunya proses oksidasi porfirin yang normal terjadi dalam tubuh. Tahap

akhir biosintesis heme ialah penggabungan ion ferro kedalam

protoporfirin yang dikatalisis oleh ferrokelatase (hem-sintase).

Pengaturan biosintesis heme terjadi melalui kerja enzim ALA sintase.

Enzim ini terdapat sebagai ALAS 1 di hepar dan ALAS 2 di sel-sel

prekursor eritrosit, tetapi hanya ALAS 1 yang berperan dalam pengaturan

biosintesis heme. Sintesis ALAS 1 akan meningkat bila terjadi

kekurangan heme intrasel. Keadaan ini juga bisa disebabkan oleh

peningkatan penggunaan heme untuk membentuk hemoprotein sitokrom

P450 yang berperan dalam metabolisme obat-obatan (Kadri, 2012)


20

(Kadri, 2012)
Gambar 2.9
Sintesis Hemoglobin
2.3 Timbal

2.3.1 Definisi dan Karakteristik Timbal

Timbal atau plumbum (Pb) merupakan suatu logam berat yang

bewarna abu-abu kebiruan dan bersifat lunak dengan nomor atom 82;

bobot atom 207,21; titik didih 16.200ºC , tidak berbau serta tidak berasa

dan valensi 2-4 yang titik leleh 3.270ºC (BSN, 2009; WHO, 2010;

Reffiane, Arifin, & Santoso, 2011).

Logam timbal secara alami ditemukan di lapisan kerak bumi,

namun sangat jarang ditemukan secara alami sebagai logam. Hal ini

ditemukan biasanya dikombinasikan dengan dua atau lebih unsur kimia

lain untuk membentuk suatu senyawa timbal yang disebut garam-garam

timbal. Unsur logam timbal tidak larut dalam air, namun garam timbal

bersifat larut air. Walaupun timbal bersifat lunak, tetapi juga sangat rapuh
21

dan mengkerut pada saat pendinginan (Reffiane, Arifin, & Santoso,

2011; Priyono, 2013).

2.3.2 Sumber Pencemaran Timbal di Lingkungan

Pencemaran timbal dapat disebabkan melalui :

1) Asap kendaraan bermotor

2) Bahan bakar

3) Pabrik industri terutama pertambangan

4) Cat

5) Kaleng

6) Kosmetik

7) Tanah yang tercemar timbal

8) Perairan yang tercemar timbal

9) Pipa air

10) Glasik keramik

11) Makanan meliputi : sayuran, buah-buahan dan bahan makanan

lainnya yang terkontaminasi timbal

12) Mainan anak

13) Sampah elektronik berupa baterai. (Suherni, 2010; WHO, 2010;

Pamungkasari, 2013; Wahyuningsih, Rumanta & Nurdin, 2015;

Irma, 2016; KPBB, 2017).

2.3.3 Metabolisme Timbal di Dalam Tubuh

Proses masuknya timbal ke dalam tubuh dapat melalui beberapa

jalur, yaitu melalui saluran pencernaan, udara (pernafasan/inhalasi) serta

penetrasi pada selaput atau lapisan kulit. Sebesar 30-40 % dari jumlah
22

timbal udara yang terhirup akan diabsorbsi oleh tubuh. Metabolisme

timbal dalam tubuh meliputi proses absorbsi, deposisi (distribusi dan

akumulasi), serta ekskresi. Timbal yang terhirup pada saat bernafas akan

masuk ke dalam pembuluh darah paru-paru kemudian diedarkan ke

jaringan dan organ seluruh tubuh. Pada saluran cerna pengabsorbsian

dipengaruhi oleh bentuk, daya larut, ukuran partikel, status gizi dan tipe

diet. Pada orang dewasa sekitar 5-10% dari pencemaran timbal yang

masuk ke saluran cerna akan diabsorpsi oleh tubuh. (Suciani, 2007).

Absorbsi timbal yang melalui saluran pernapasan, pencernaan atau kulit

akan diangkut oleh darah ke organ-organ lainnya. Terdapat dua jalur

dalam distribusi timbal kedalam tubuh yaitu : jaringan keras (tulang,

rambut, kuku dan gigi); dan jaringan lunak (sumsum tulang, sistem saraf,

paru-paru, otak, otot jantung, limpa, ginjal, hati).(Suciani, 2007). Timbal

yang masuk melalui saluran pernapasan mengalami deposisi,

pembersihan alveolar dan pembersihan mukosiliar. Proses deposisi

terjadi pada saluran trakeobronkhial, nasofaring dan alveoulus.

(Darmono, 2001). Pada pembersihan alveolar terjadi proses berupa

partikel yang masuk akan dibawa ke ekskalator mukosiliar, menembus

lapisan jaringan paru kemudian sekitar 30-40% menuju kelenjar limfe

dan aliran darah. Timbal yang masuk ke dalam aliran darah dipengaruhi

oleh daya larut, ukuran partikel, variasi faal antar individu, dan volume

pernafasan. (Palar, 2004).

Timbal yang terabsorbsi baik dari saluran pernapasan,

pencernaan maupun penetrasi kulit akan masuk ke dalam pembuluh


23

darah. Timbal tersebut kemudian diangkut oleh darah ke organ-organ lain

(distribusi). Pada darah, 95% terikat pada sel darah merah dan 5% terikat

pada plasma. Saat proses distribusi tersebut, sebagian dari timbal akan

terikat pada jaringan lunak seperti sum-sum tulang, sistem syaraf, ginjal,

dan hati serta jaringan keras seperti tulang, kuku, rambut, dan gigi

(akumulasi). Pada jaringan lunak timbal lebih bersifat toksik, sedangkan

pada jaringan keras tidak toksik kecuali jaringan tersebut berpotensi

menjadi sumber timbal bagi jaringan lunak di sekitarnya (Palar, 2004;

Suciani, 2007).

Ekskresi timbal dalam tubuh melalui beberapa cara, yaitu

keringat dan air susu ibu sedangkan yang terabsorbsi masuk ke dalam

darah akan diekskresikan oleh tubuh melalui urin (75-85 %), feses (15

%). Tetapi waktu yang dibutuhkan dalam ekskresi timbal terjadi secara

lambat dengan diketahui dari waktu paruh timbal dalam darah sekitar 36

hari, pada jaringan lunak 40 hari, dan pada tulang lebih dari 25 tahun.

Proses perlambatan eksresi timbal berdampak pada akumulasinya dalam

jaringan tubuh dan menyebabkan keracunan timbal jika terjadi paparan

secara terus-menerus (Suciani, 2007).

Menurut CDC (1997) telah ditetapkan bahwa kadar level timbal

maksimal dalam darah adalah dibawah dari 10 μL/dL. Kadar timbal

dalam darah yang melebihi 10 μL/dL memiliki resiko terjadinya

keracunan timbal, hal tersebut merupakan kondisi kesehatan yang serius

dan perlu penanganan lebih lanjut serta jika dibiarkan akan berbahaya

bagi tubuh (Laila & Shofwati, 2013).


24

(Suciani, 2007)
Gambar 2.10
Metabolisme Timbal dalam Tubuh
2.3.4 Mekanisme Ikatan Timbal Dalam Darah

Timbal yang masuk kedalam tubuh akan di transportasi dan

absorbsi ke jaringan lainnya bersama aliran darah. Timbal akan

terakumulasi pada tiga kompartemen diantara nya darah, jaringan lunak

dan tulang. Timbal di transfer dari darah ke jaringan lunak akan

membutuhkan waktu sekitar 4-6 minggu (Papanikolaou, Hatzidaki,

Belivanis, Tzanakakis, & Tsatsakis, 2005). Sebagian besar timbal

berikatan dengan SH- protein eritrositik atau plasmatik dan hanya

sebagian kecil diangkut sebagai ion bebas kemudian di distribusikan ke

jaringan dalam jumlah tergantung karakteristik pembuluh darah dan

metabolisme masing-masing jaringan (Garza, Vega, & Soto, 2006). Pada

darah, 99% timbal ditemukan pada eritrosit sementara 1% ada pada


25

plasma dan serum. Namun, konsentrasi timbal pada plasma memiliki

nilai yang penting karena mengartikan besaran distribusi ke organ target

(Papanikolaou et al., 2005).Timbal menyebabkan toksisitas pada sel

jaringan lunak (ginjal, saraf , dan hepar dengan mekanisme ionik dan

stress oksidatif. Stress oksidatif disebabkan tidak seimbangnya produksi

radikal bebas dan antioksidan untuk mengatasi radikal tersebut Timbal

memiliki kemampuan menggantikan kation polivalen (kalsium, seng,

natrium dan magnesium) pada binding site ((Garza et al., 2006);

(Jaishankar, Tseten, Anbalagan, et al, 2014)). Mekanisme ionic toksisitas

timbal menyebabkan perubahan yang signifikan pada berbagai macam

proses biologis seperti adhesi sel, intraseluler dan interseluler, maturase,

apoptosis, transportasi ion dan regulasi enzim (Jaishankar, Tseten,

Anbalagan, et al, 2014).

Penyimpanan timbal utama dalam tubuh manusia adalah pada

tulang, ada dua kompartemen tulang yang menjadi tempat penyimpanan

diantaranya bagian permukaan dan bagian terdalam dari kortikal. Pada

tulang, timbal ditemukan dalam bentuk Pb-fosfat/Pb3 (PO4)2 dan selama

timbal terikat dalam tulang tidak akan menyebabkan gejala sakit pada

penderita. Tetapi yang berbahaya terjadi nya toksisitas timbal yang

diakibatkan oleh gangguan absorbsi kalsium dari tulang menyebabkan

terjadinya penarikan deposit timbal dari tulang (ardillah, 2016).

2.3.5 Dampak Keracunan Timbal Pada Sistem Hematopoises

Efek dari timbal yang predominan merupakan gangguan

hematopoesis dan biosintesis hem. Timbal dalam tubuh terutama terikat


26

pada gugus -SH pada protein enzim sehingga mengganggu aktivitas kerja

enzim yaitu dengan menekan aktivitas enzim pada permulaan,

pertengahan dan akhir dari sintesis hem (Sacher, 2002; Suciani, 2007).

(Suciani, 2007)
Gambar 2.11
Skema Intervensi Timbal pada Sintesis Hemoglobin
Timbal berikatan dengan gugus aktif enzim δ-aminolevulinat

dehidratase (ALAD) dalam sitosol serta corproporfirinogen oksidase

mitokondria pada eritroblas sumsum tulang dan eritrosit. Ikatan timbal

dengan ALAD mengakibatkan pembentukan porphobilinogen dan

kelanjutan dari proses reaksi ini tidak dapat berlanjut (terputus). Hal ini

mengakibatkan peningkatan kadar δ-aminolevulinat (δ-ALA) dalam

serum dan kemih. Sedangkan ikatan timbal dengan corproporfirinogen

membuat metabolisme corproporfirin tertekan. Pemasukan besi dalam

bentuk fero ke protphorfirin terhambat karena penghambatan ferolaktase

disamping juga terjadi penghambatan hem sintetase akibat timbal.

Penekanan hem sintetase ini pada akhirnya menyebabkan sel darah


27

merah menimbun protphorfirin secara berlebihan dalam sel (Widmann,

1995; Sacher, 2002; Suciani, 2007).

Peristiwa ini dapat mengakibatkan anemia dikarenakan produksi hemoglobin

menurun dan masa hidup sel eritrosit yang lebih pendek. Terdapat dua macam

anemia yang bisa disebabkan akibat timbal dan sering didapatkan bentukan eritrosit

berbintik basofilik. Keadaan keracunan timbal akut dapat menyebabkan anemia

hemolitik, sedangkan pada keracunan timbal yang kronis terjadi anemia makrositik

hipokromik (Margarita, 2014).

2.4 Radikal Bebas

2.4.1 Definisi Radikal Bebas

Radikal bebas merupakan atom atau senyawa oksigen reaktif

yang mengandung komponen elektron tidak stabil dan tidak

berpasangan. Contoh radikal bebas adalah Hidrogen Peroxida (H2O2),

Singlet Oxygen (O2-), Superoksidaradikal (O2-), dan Hydroxyl Radikal

(OH). Contoh berikut merupakan bagian dari spesies oksigen yang

reaktif (Reactive Oxygen Species) atau ROS . (Werdhasari, 2014; Sayuti

& Yenrina, 2015).

Tabel 2.2 Reactive Oxygen Species (ROS)

No Radicals
1 O2* superoxide H2O2 hydrogen peroxide
2 HO* hydroxyl radical 1
O2 singlet oxygen
3 HO2 hydroperoxyl radical LOOH lipid hydroperoxide
4 LO2* Lipid peroxyl radical Fe=O iron-oxygen complexes
5 LO* Lipid alkoxyl radical HOCl hypochlorite
6 NO2 nitrogen dioxide
7 NO* nitric oxide
(Sayuti & Yenrina, 2015)
28

2.4.2 Sifat Radikal Bebas

a) Membentuk radikal baru melalui penambahan dan pengambilan satu

elektron pada molekul yang stabil

b) Reaktivitas tinggi sehingga menarik molekul atau atom lain.

(Werdhasari, 2014).

2.4.3 Sumber Radikal Bebas

Radikal bebas berasal dari berbagai sumber , yaitu :

1) Endogen

Sumber radikal bebas yang berasal dari dalam tubuh antara lain :

a) Respiratory brust

Sel fagositik menggunakan oksigen dalam jumlah besar

dimana proses tersebut terjadi dalam fagositosis. Oksigen yang

dibutuhkan sejumlah 70-90% sehingga berperan dalam produksi

superoksidas yang merupakan bentukan awal dari radikal bebas.

(Sayuti & Yenrina, 2015).

b) Oksidasi Enzimatik

Jenis enzim yang dapat menghasilkan radikal bebas antara

lain : lipoxygenase, xanthine oksidase, aldehid oxidase,

prostaglandin synthase dan amino acid oxidase. (Sayuti &

Yenrina, 2015).

2) Eksogen

Sumber radikal bebas yang berasal dari luar tubuh, antara lain :

a) Logam berat
29

Logam yang dapat menjadi sumber radikal bebas seperti

Pb, Cd, Hg, Fe, As dan lain-lain. (Pham-Huy, 2008).

b) Radiasi

Penggunaan radioterapi terus-menerus dapat

mengakibatkan kerusakan jaringan yang disebabkan radikal

bebas. Radiasi dibagi menjadi radiasi partikel dan

elektromagnetik. Radiasi partikel yaitu partikel elektron, neutron,

foton, alfa, dan beta sedangkan radiasi elektromagnetik seperti

sinar gamma dan sinar X. (Sayuti & Yenrina, 2015).

2.4.4 Pembentukan Radikal Bebas

Pembentukan radikal bebas terbagi menjadi 3 tahapan :

a. Inisiasi

Tahapan dimana terjadi pembentukan radikal bebas

b. Propogasi

Tahapan pemanjangan rantai radikal bebas

c. Terminasi

Tahapan dimana bereaksinya senyawa radikal dengan radikal lain

sehingga propogasi memiliki potensi yang rendah. (Sayuti & Yenrina,

2015).

2.5 Antioksidan

2.5.1 Definisi Antioksidan

Antioksidan merupakan senyawa elektron yang berfungsi sebagai

pemberi untuk mencegah terjadinya radikal atau dengan mengikatnya


30

sehingga dapat memperlambat hingga mengentikan reaksi oksidasi.

(Werdhasari, 2014).

2.5.2 Jenis Antioksidan

Antioksidan dibagi menjadi dua kelompok besar, antara lain :

a) Antioksidan primer

Antikoksidan enzimatik yang berperan penting dalam

mencegah pembentukan radikal bebas baru. Antioksidan primer

memiliki aktivitas yang bergantung pada keberadaan ion logam,

termasuk didalamnya aktivitas SOD, katalase maupun gluthatione.

Aktivitas SOD bergantung pada logam Fe, Cu, Zn, dan Mn. Aktivitas

glutation bergantung pada ion logam Se. Aktivitas katalase

bergantung pada ion logam Fe (Sayuti & Yenrina, 2015).

b) Antioksidan sekunder

Antioksidan non-enzimatik yang memiliki peran dalam

penangkapan senyawa radikal bebas, pencegahan akibat reaksi rantai

dan perbaikan kerusakan yang disebabkan radikal bebas. Antioksidan

sekunder meliputi flavonoid, vitamin A,C,E, albumin, bilirupin, dan

seruloplasmin. (Yunanto, Setiawan, Sudarmaji & Suhartono, 2009,).

2.6 Tikus Putih

Taksonomi tikus putih sebagai berikut :

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Subfilum : Vertebrata
31

Kelas : Mamalia

Ordo : Rodentia

Subordo : Myomorpha

Famili : Muroidae

Subfamili : Murinae

Genus : Rattus

Spesies : Rattus norvegicus (Nursyah, 2012).

Hewan percobaan yang biasa digunakan dalam suatu penelitian ilmiah

adalah tikus. Tikus (Rattus norvegicus) telah diketahui sifat-sifatnya secara

sempurna, mudah dipelihara, dan hewan yang relatif sehat dan cocok untuk

digunakan dalam berbagai penelitian. Ciri-ciri morfologi Rattus norvegicus

antara lain memiliki berat 150-600 gram, badan besar dengan panjang 18-25

cm, hidung tumpul, kepala dan badan lebih pendek dari ekornya, serta telinga

relatif kecil dan tidak lebih dari 20-23 mm. Secara fisik, ukuran badan jantan

biasanya lebih besar daripada betina. Tikus memiliki beberapa galur yang

merupakan hasil persilangan sesama jenis. Galur yang sering digunakan untuk

penelitian adalah galur Wistar, Long-Evans dan Sprague-Dawley (Nursyah,

2012).
32

(Nursyah, 2012).

Gambar 2.1
Tikus Putih Jantan (Rattus norvegicus strain wistar)
2.6.1 Perbandingan Kadar Timbal Darah pada Manusia dan Tikus

Kadar timbal dalam darah pada manusia memiliki nilai batas

normal sebesar 10-25 µg/dl dan tidak boleh melebihi 25-30 µg/dl (WHO,

1995). Berdasarkan data dari Center for Disease Control and Prevention,

batas nilai normal timbal dalam darah pada anak adalah ≤ 5 µg/dl

(Maskinah, Suhartono & Wahyuningsih, 2016; CDC, 2017). Sedangkan

di Jakarta, seperempat dari anak usia sekolah memiliki kandungan timbal

dalam darah berkisar 10-14.9 µg/dL (Suherni, 2010).

Kadar timbal dalam darah pada anak sebesar 10-14 µg/dl dapat

menyebabkan ganguan pendengaran, pertumbuhan lamban, dan masalah

belajar. Kadar 20-44 µg/dl mengakibatkan sakit kepala, berat badan

menurun, dan gangguan sistem saraf. Kadar 45-69 µg/dl mengakibatkan

anemia dan nyeri perut yang hebat. Sedangkan kadar >69 µg/dl

menimbulkan kerusakan otak yang berakhir dengan kematian (CDC,

2000). Pada orang dewasa kadar 10 µg/dl timbal dalam darah dapat

mempengaruhi perkembangan sel darah, sedangkan 40 µg/dl dapat


33

mempengaruhi kemampuan pembentukan hemoglobin, gangguan sistem

saraf, kelelahan, amnesia, dan reaksi metabolisme yang lambat, penyakit

gagal ginjal kronis, gangguan produksi sperma, keguguran, serta

peningkatan tekanan darah (Shannon, 1998).

Sedangkan pada tikus (Rattus Novergicus), penelitian (Chizma,

Y, 2017) yang mengukur kadar timbal darah didapatkan hasil berupa

timbal darah pada tikus sebesar dengan rata-rata 0,006mg/L. Nilai kadar

yang mendekati angka 0. Meskipun timbal tidak seharusnya didalam

darah, tetapi hal ini dapat terjadi karena pajanan dari luar seperti (polusi,

makanan, minuman, dll) (Maskinah, 2016).

2.7 Pengaruh pemberian ekstrak kulit batang asam jawa terhadap timbal

Kadar timbal dalam darah pada manusia memiliki nilai batas

normal sebesar 10-25 µg/dl dan tidak boleh melebihi 25-30 µg/dl (WHO,

1995). Berdasarkan data dari Center for Disease Control and Prevention,

batas nilai normal timbal dalam darah pada anak adalah ≤ 5 µg/dl

(Maskinah, Suhartono & Wahyuningsih, 2016; CDC, 2017). Sedangkan

di Jakarta, seperempat dari anak usia sekolah memiliki kandungan timbal

dalam darah berkisar 10-14.9 µg/dL (Suherni, 2010). Kadar timbal dalam

darah pada anak sebesar 10-14 µg/dl dapat menyebabkan ganguan

pendengaran, pertumbuhan lamban, dan masalah belajar. Kadar 20-44

µg/dl mengakibatkan sakit kepala, berat badan menurun, dan gangguan

sistem saraf. Kadar 45-69 µg/dl mengakibatkan anemia dan nyeri perut

yang hebat. Sedangkan kadar >69 µg/dl menimbulkan kerusakan otak

yang berakhir dengan kematian (CDC, 2000). Pada orang dewasa kadar
34

10 µg/dl timbal dalam darah dapat mempengaruhi perkembangan sel

darah, sedangkan 40 µg/dl dapat mempengaruhi kemampuan

pembentukan hemoglobin, gangguan sistem saraf, kelelahan, amnesia,

dan reaksi metabolisme yang lambat, penyakit gagal ginjal kronis,

gangguan produksi sperma, keguguran, serta peningkatan tekanan darah

(Shannon, 1998).

Sedangkan pada tikus (Rattus Novergicus), penelitian (Chizma,

Y, 2017) yang mengukur kadar timbal darah didapatkan hasil berupa

timbal darah pada tikus sebesar dengan rata-rata 0,006mg/L. Nilai kadar

yang mendekati angka 0. Meskipun timbal tidak seharusnya didalam

darah, tetapi hal ini dapat terjadi karena pajanan dari luar seperti (polusi,

makanan, minuman, dll) (Maskinah, 2016).

2.8 Ekstraksi kulit batang asam jawa (Tamarindus indica l)

Dari penelitian (Yusha, Gabari, Dabo, Hassan, & Dahiru, 2014)

memperlihatkan kandungan ekstrak etanol lebih baik daripada ekstrak Aqueous

atau Cloroform. Kandungan hasil ekstrak etanol didapatkan alkaloids,

flavonoids, glycoside, tannins, saponins, dan reducing sugar lebih banyak dari

ekstrak yang lain.

Tabel 2.3 Analisis Fitokimia Kulit batang asam jawa dengan berbagai
metode ekstraksi
Test Ethanol 70% Aqueous Cloroform
extract extract extract
Alkaloids + + -
Flavonoids + - -
Glycoside + + -
Tannins + + -
Saponins + + -
Reducing + - -
sugar
(Yusha et al., 2014)
35

Penelitian yang telah dilakukan oleh (Hidayat et al, 2014)

menggunakan etanol 70% sebagai pelarut pada proses ekstrasi yaitu maserasi

untuk mendapatkan kandungan antioksidan berupa flavonoid, saponin dan

tannin.

Tabel 2.4 Analisis Kandungan Fitokimia pada Ekstrak Kulit Batang


Asam Jawa

Interpretasi
Deteksi No hRf Keterangan warna
senyawa
1 0 Pemadaman kuat -
UV 2 60 Pemadaman lemah -
254 3 80 Pemadaman lemah -
3 95 Pemadaman lemah -
1 0 Fluoresensi kuning lemah Flavonoid
UV 366 2 60 Fluoresensi biru kekuningan Flavonoid
3 92,5 Fluoresensi biru kekuningan Flavonoid
Vanilin 1 0 Coklat Terpenoid
H2SO4 2 95 Kehitaman Terpenoid
1 0 Fluoresensi kuning lemah Flavonoid
Sitroborat 2 60 Fluoresensi biru kekuningan Flavonoid
3 92,5 Fluoresensi biru kekuningan Flavonoid
1 0 Kehitaman Fenolik
FeCl3
2 60 Kehitaman Fenolik
(Hidayat et al, 2014)

Anda mungkin juga menyukai