Anda di halaman 1dari 7

F.

  Patofisiologi
Leptospira dapat masuk melalui luka dikulit atau menembus jaringan mukosa
seperti konjungtiva, nasofaring dan vagina. Setelah menembus kulit atau mukosa,
organisme ini ikut aliran darah dan menyebar keseluruh tubuh. Leptospira juga dapat
menembus jaringan seperti serambi depan mata dan ruang subarahnoid tanpa
menimbulkan reaksi peradangan yang berarti. Faktor yang bertanggung jawab untuk
virulensi leptospira masih belum diketahui. Sebaliknya leptospira yang virulen dapat
bermutasi menjadi tidak virulen. Virulensi tampaknya berhubungan dengan resistensi
terhadap proses pemusnahan didalam serum oleh neutrofil. Antibodi yang terjadi
meningkatkan klirens leptospira dari darah melalui peningkatan opsonisasi dan dengan
demikian mengaktifkan fagositosis.
Beberapa penemuan menegaskan bahwa leptospira yang lisis dapat
mengeluarkan enzim, toksin, atau metabolit lain yang dapat menimbulkan gejala-gejala
klinis. Hemolisis pada leptospira dapat terjadi karena hemolisin yang tersirkulasi diserap
oleh eritrosit, sehingga eritrosit tersebut lisis, walaupun didalam darah sudah ada
antibodi. Diastesis hemoragik pada umumnya terbatas pada kulit dan mukosa, pada
keadaan tertentu dapat terjadi perdarahan gastrointestinal atau organ vital dan dapat
menyebabkan kematian. Beberapa penelitian mencoba menjelaskan bahwa proses
hemoragik tersebut disebabkan rendahnya protrombin serum dan trombositopenia.
Namun terbukti, walaupun aktivitas protrombin dapat dikoreksi dengan pemberian
vitamin K, beratnya diastesis hemoragik tidak terpengaruh. Juga trombositopenia tidak
selalu ditemukan pada pasien dengan perdarahan. Jadi, diastesis hemoragik ini
merupakan refleksi dari kerusakan endothelium kapiler yang meluas. Penyebab
kerusakan endotel ini belum jelas, tapi diduga disebabkan oleh toksin.
Beberapa teori menjelaskan terjadinya ikterus pada leptospirosis. Terdapat
bukti yang menunjukkan bahwa hemolisis bukanlah penyebab ikterus, disamping itu
hemoglobinuria dapat ditemukan pada awal perjalanan leptospirosis, bahkan sebelum
terjadinya ikterus. Namun akhir-akhir ini ditemukan bahwa anemia hanya ada pada
pasien leptospirosis dengan ikterus. Tampaknya hemolisis hanya terjadi pada kasus
leptospirosis berat dan mungkin dapat menimbulkan ikterus pada beberapa kasus.
Penurunan fungsi hati juga sering terjadi, namun nekrosis sel hati jarang terjadi
sedangkan SGOT dan SGPT hanya sedikit meningkat.
Gangguan fungsi hati yang paling mencolok adalah ikterus, gangguan factor
pembekuan, albumin serum menurun, globulin serum meningkat. Gagal ginjal
merupakan penyebab kematian yang penting pada leptospirosis. Pada kasus yang
meninggal minggu pertama perjalanan penyakit, terlihat pembengkakan atau nekrosis
sel epitel tubulus ginjal. Pada kasus yang meninggal pada minggu ke dua, terlihat
banyak focus nekrosis pada epitel tubulus ginjal. Sedangkan yang meninggal setelah
hari ke dua belas ditemukan sel radang yang menginfiltrasi seluruh ginjal (medula dan
korteks). Penurunan fungsi ginjal disebabkan oleh hipotensi, hipovolemia dan
kegagalan sirkulasi. Gangguan aliran darah ke ginjal menimbulkan nefropati pada
leptospirosis. Kadang-kadang dapat terjadi insufisiensi adrenal karena perdarahan pada
kelenjar adrenal.
Gangguan fungsi jantung seperti miokarditis, perikarditis dan aritmia dapat
menyebabkan hipoperfusi pada leptospirosis. Gangguan jantung ini terjadi sekunder
karena hipotensi, gangguan elektrolit, hipovolemia atau anemia. Mialgia merupakan
keluhan umum pada leptospirosis, hal ini disebabkan oleh vakuolisasi sitoplasma pada
myofibril. Keadaan lain yang dapat terjadi antara lain pneumonia hemoragik akut,
hemoptisis, meningitis, meningoensefalitis, ensefalitis, radikulitis, mielitis dan neuritis
perifer. Peningkatan titer antibodi didalam serum tidak disertai peningkatan antibody
leptospira (hamper tidak ada) di dalam cairan bola mata, sehingga leptospira masih
dapat bertahan hidup diserambi depan mata selama berbulan-bulan. Hal ini penting
dalam terjadinya uveitis rekurens, kronik atau laten pada kasus leptospirosis (Poerwo,
2002).
G. Cara Penularan
Infeksi pada manusia dapat terjadi melalui beberapa cara berikut ini:
1.  Kontak dengan air, tanah dan lumpur yang tercemar bakteri.
2.  Kontak dengan organ, darah dan urin hewan yang terinfeksi.
3.  Menkonsumsi makanan yang terkontaminasi.
Bakteri masuk kedalam tubuh manusia melalui kulit yang luka atau lecet dan
selaput mukosa, bahkan dalam literatur disebutkan bahwa penularan penyakit ini dapat
melalui kontak dengan kulit sehat terutama bila kontak lama dengan air. Di Indonesia
infeksi ini banyak terjadi di daerah banjir. Penularan dari manusia ke manusia sangat
jarang terjadi. Penularan dari manusia ke manusia dapat ditularkan melalui hubungan
seksual, plasenta ibu dan air susu ibu. Urin dari pasien yang terinfeksi juga dapat
menginfeksi.
Terdapat tiga pola epidemiologi leptospira, yaitu:
1.  Penularan melalui kontak langsung, biasanya pada daerah beriklim sedang, sering
terjadi di peternakan sapi atau babi.
2.  Penularan atau penyebaran penyakit karena kontaminasi pada lingkungan, biasanya
pada musim penghujan. Paparan pada manusia lebih luas karena faktor pekerjaan.
3.  Penularan melalui infeksi rodensia pada lingkungan perkotaan yang kumuh.(Widoyono,
2002; Faine, 1994)
H. Gambaran Klinis
Masa inkubasi leptospirosis adalah 4-19 hari, dengan rata rata 10 hari. Setelah
masuk ke dalam tubuh manusia, bakteri akan masuk ke peredaran darah dan beredar
ke seluruh tubuh sehingga dapat menyebabkan kerusakan di mana saja termasuk
organ jantung, otak dan ginjal. Manifestasi klinis leptospirosis terbagi menjadi tiga fase:
1.  Fase pertama (leptospiremia)
Fase ini ditandai dengan demam tinggi mendadak, skin rash, conjunctival (mata
merah), nyeri otot hebat terutama di otot belakang paha dan betis sehingga kadang-
kadang penderita mengeluh sulit berjalan, ikterus, sakit kepala berat dan nyeri perut
yang disebabkan oleh gangguan hati, ginjal dan meningitis. Fase ini berlangsung
selama 4-9 hari.
2.  Fase kedua (imun)
Titer antibodi IgM mulai terbentuk dan meningkat dengan cepat. Gangguan klinis
akan memuncak. Dapat terjadi leptopiura (leptospira dalam urin) selama satu minggu
sampai satu bulan. Fase ini berlangsung selama 4-30 hari.
3.  Fase ketiga (konvalesen)
Fase ini ditandai dengan gejala klinis yang sudah berkurang dapat timbul kembali dan
berlangsung selama 4-30 hari (Depkes RI, 2005 ; Gasem, 2002).
Menurut berat ringannya, leptospirosis dibagi menjadi ringan dan berat, tetapi untuk pendekatan
diagnosis klinis dan penanganannya, para ahli lebih senang membagi penyakit ini menjadi leptospirosis
anikterik (non ikterik) dan leptospirosis ikterik.

1.  Leptospirosis Anikterik
Onset leptospirosis ini mendadak dan ditandai dengan demam ringan atau tinggi yang umumnya
bersifat remiten, nyeri kepala dan menggigil serta mialgia. Nyeri kepala bisa berat, mirip yang terjadi pada
infeksi dengue, disertai nyeri retro-orbital dan photopobia. Nyeri otot terutama di daerah betis, punggung
dan paha. Nyeri ini diduga akibat kerusakan otot sehingga creatinin phosphokinase pada sebagian besar
kasus akan meningkat, dan pemeriksaan cretinin phosphokinase ini dapat untuk membantu diagnosis
klinis leptospirosis.
 Akibat nyeri betis yang menyolok ini, pasien kadang-kadang mengeluh sukar berjalan. Mual,
muntah dan anoreksia dilaporkan oleh sebagian besar pasien. Pemeriksaan fisik yang khas adalah
conjunctival suffusion dan nyeri tekan di daerah betis. Limpadenopati, splenomegali, hepatomegali dan
rash macupapular bisa ditemukan, meskipun jarang. Kelainan mata berupa uveitis dan iridosiklis dapat
dijumpai pada pasien leptospirosis anikterik maupun ikterik. Gambaran klinik terpenting leptospirosis
anikterik adalah meningitis aseptik yang tidak spesifik sehingga sering terlewatkan diagnosisnya.
Dalam fase leptospiremia, bakteri leptospira bisa ditemukan di dalam cairan serebrospinal, tetapi
dalam minggu kedua bakteri ini menghilang setelah munculnya antibodi (fase imun). Pasien dengan
Leptospirosis anikterik pada umumnya tidak berobat karena keluhannya bisa sangat ringan. Pada
sebagian pasien, penyakit ini dapat sembuh sendiri (self - limited) dan biasanya gejala kliniknya akan
menghilang dalam waktu 2-3 minggu. Karena gambaran kliniknya mirip penyakit-penyakit demam akut
lain, maka pada setiap kasus dengan keluhan demam, leptospirosis anikterik harus dipikirkan sebagai
salah satu diagnosis bandingnya, apalagi yang di daerah endemik.
Leptospirosis anikterik merupakan penyebab utama Fever of unknown origin  di beberapa negara
Asia seperti Thailand dan Malaysia. Diagnosis banding leptospirosis anikterik harus mencakup penyakit-
penyakit infeksi virus seperti influenza, HIV serocon version, infeksi dengue, infeksi hanta virus, hepatitis
virus, infeksi mononukleosis dan juga infeksi bakterial atau parasitik seperti demam tifoid, bruselosis,
riketsiosis dan malaria.

2.  Leptospirosis Ikterik
Ikterus umumnya dianggap sebagai indikator utama leptospirosis berat. Gagal ginjal akut, ikterus
dan manifestasi perdarahan merupakan gambaran klinik khas penyakit Weil. Pada leptospirosis ikterik,
demam dapat persisten sehingga fase imun menjadi tidak jelas atau nampak overlapping dengan fase
leptospiremia. Ada tidaknya fase imun juga dipengaruhi oleh jenis serovar dan jumlah bakteri leptospira
yang menginfeksi, status imunologik dan nutrisi penderita serta kecepatanmemperoleh terapi yang tepat.
Leptospirosis adalah penyebab tersering gagal ginjal akut.

Tabel 2 Perbedaan Gambaran Klinik Leptospirosis Aninkterik dan Ikterik


Sindroma, Fase Gambaran Klinik Spesimen
Laboratorium
Leptospirosis Anikterik Demam tinggi, nyeri Darah, LCS
Fase Leptospiremia kepala, mialgia,  nyeri perut,
(3 -7 hari ) mual, muntah, conjunctiva
suffusion

Fase Imun (3-30 hari) Demam ringan, nyeri kepala, Urine


muntah,

Leptospirosis ikterik Demam, nyeri Darah, LCS


Fase Leptospiremia dan kepala, mialgia, ikterik, gagal minggu I
fase Imun (sering menjadi ginjal, hipotensi, manifestasi Urin minggu II
satu atau overlapping ) pendarahan,pneumonitis,
pneumonitis hemorhagik,
leukositosis

I.    Pencegahan
Menurut Saroso (2003) pencegahan penularan kuman leptospirosis dapat
dilakukan melalui tiga jalur yang meliputi:
1.  Jalur sumber infeksi
a.  Melakukan tindakan isolasi atau membunuh hewan yang terinfeksi.
b.  Memberikan antibiotik pada hewan yang terinfeksi, seperti penisilin, ampisilin,
atau dihydrostreptomycin, agar tidak menjadi karier kuman leptospira. Dosis dan cara
pemberian berbeda-beda, tergantung jenis hewan yang terinfeksi.
c.   Mengurangi populasi tikus dengan beberapa cara seperti penggunaan racun tikus,
pemasangan jebakan, penggunaan rondentisida dan predator ronden.
d.  Meniadakan akses tikus ke lingkungan pemukiman, makanan dan air minum dengan
membangun gudang penyimpanan makanan atau hasil pertanian, sumber
penampungan air, dan perkarangan yang kedap tikus, dan dengan membuang sisa
makanan serta sampah jauh dari jangkauan tikus.
e.  Mencengah tikus dan hewan liar lain tinggal di habitat manusia dengan memelihara
lingkungan bersih, membuang sampah, memangkas rumput dan semak berlukar,
menjaga sanitasi, khususnya dengan membangun sarana pembuangan limbah dan
kamar mandi yang baik, dan menyediakan air minum yang bersih.
f.      Melakukan vaksinasi hewan ternak dan hewan peliharaan.
g.  Membuang kotoran hewan peliharaan. Sadakimian rupa sehinnga tidak menimbulkan
kontaminasi, misalnya dengan pemberian desinfektan.
2.  Jalur penularan
Penularan dapat dicegah dengan:
a.  Memakai pelindung kerja (sepatu, sarung tangan, pelindung mata, apron, masker).
b.  Mencuci luka dengan cairan antiseptik, dan ditutup dengan plester kedap air.
c.   Mencuci atau mandi dengan sabun antiseptik setelah terpajan percikan urin, tanah, dan
air yang terkontaminasi.
d.  Menumbuhkan kesadara terhadap potensi resiko dan metode untuk mencegah atau
mengurangi pajanan misalnya dengan mewaspadai percikan atau aerosol, tidak
menyentuh bangkai hewan, janin, plasenta, organ (ginjal, kandung kemih) dengan
tangan telanjang, dan jangn menolong persalinan hewan tanpa sarung tangan.
e.  Mengenakan sarung tangan saat melakukan tindakan higienik saat kontak dengan urin
hewan, cuci tangan setelah selesai dan waspada terhadap kemungkinan terinfeksi saat
merawat hewan yang sakit.
f.      Melakukan desinfektan daerah yang terkontaminasi, dengan membersihkan lantai
kandang, rumah potong hewan dan lain-lain.
g.  Melindungi sanitasi air minum penduduk dengan pengolalaan air minum yang baik,
filtrasi dan korinasi untuk mencengah infeksi kuman leptospira.
h.  Menurunkan PH air sawah menjadi asam dengan pemakaian pupuk aau bahan-bahan
kimia sehingga jumlah dan virulensi kuman leptospira berkurang.
i.      Memberikan peringatan kepada masyarakat mengenai air kolam, genagan air dan
sungai yang telah atau diduga terkontaminasi kuman leptospira.
j.      Manajemen ternak yang baik.
3.  Jalur pejamu manusia
a.  Menumbuhkan sikap waspada
Diperlukan pendekatan penting pada masyarakat umum dan kelompok resiko tinggi
terinfeksi kuman leptospira. Masyarakat perlu mengetahui aspek penyakit leptospira,
cara-cara menghindari pajanan dan segera ke sarana kesehatan bila di duga terinfeksi
kuman leptospira.
b.  Melakukan upaya edukasi
Dalam upaya promotif, untuk menghindari leptospirosis dilakukan dengan cara-cara
edukasi yang meliputi:
1)  Memberikan selembaran kepada klinik kesehatan, departemen pertanian, institusi
militer, dan lain-lain. Di dalamnya diuraikan mengenai penyakit leptospirosis, kriteria
menengakkan diagnosis, terapi dan cara mencengah pajanan. Dicatumkan pula nomor
televon yang dapat dihubungi untuk informasi lebih lanjut.

2)  Melakukan penyebaran informasi.


J.  Pengobatan
Pemeriksaan complete blood count (CBC). Penurunan hemoglobin yang
menurun dapat terjadi pada perdarahan paru dan gastrointestinal. Hitung trombosit
untuk mengetahui komponen DIC. Blood urea nitrogen dan serum creatinin dapat
meningkat pada anuri atau oliguri tubulointerstitial nefritis yang dapat terjadi pada
penyakit Weil. Terapi antimikrobial adalah pengobatan yanhg utama pada leptospirosis.
Pada infeksi tidak dengan komplikasi tidak membutuhkan rawat inap. Penggunaan
doksisiklin oral menunjukkan penurunan durasi demam. Rawat inap diperlukan untuk
penderita dengan pemberian terapi penicillin G intravena sebagai pilihan utama.
Penelitian terakhir menunjukkan cephalosporins sama efektifnya dengan doksisiklin dan
penicillin pada pengobatan fase akut.
Erythromycin digunakan pada kasus kehamilan yang alergi terhadap penicillin
sedangkan amoxicillin adalah terapi alternatif. Pada kasus berat mengakibatkan
gangguan beberapa organ dan gagal multiorgan. Tatalaksana penderita yang paling
penting adalah memonitor dengan cermat perubahan klinis karena berpotensi terjadi
gangguan kolap kardiovaskular dan syok dapat terjadi secara cepat dan mendadak.
Fungsi ginjal harus dievaluasi secara cermat dan diperlukan dialisis pada kasus gagal
ginjal. Pada umumnya kerusakan ginjal adalah reversibel jika penderita dapat bertahan
dalam fase akut. Penyediaan ventilasi mekanik dan proteksi jalan napas harus tersedia
bila terjadi gangguan pernapasan berat. Continuous cardiac monitoring untuk
memantau keadaan yang dapat timbul seperti ventricular tachycardia, kontaksi ventrikel
prematur premature ventricular contractions, fibrilasi atrial, flutter, dan takikardia.

DAFTAR PUSTAKA

Depkes RI. 2005. Pedoman Penanggulangan Leptospirosis di Indonesia. Jakarta: Depkes RI


Ditjen P2M dan PLP.
Febrian, Ferry. dkk. 2013. Analisis Spasial Kejadian Penyakit Leptospirosis di Kabupaten
Sleman Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun
2011. http://journal.uad.ac.id/index.php/KesMas/article/viewFile/1012/750. Diakese
pada tanggal 2013.
Kusmiati, dkk. 2005. Leptospirosis pada Hewan dan Manusia di Indonesia. Balai Penelitian
Veteriner. Bogor.
Mansjoer, A. (2005). Kapita Selekta Kedokteran edisi 3 Bagian I. Media Aesculapius, FKUI.
Jakarta.
Mukono. (2006). Prinsip Dasar Kesehatan Lingkungan. Jakarta : Airlangga University Press.
Muliyani, Titik Guntari. 2014. Pembelian Ternak dan Kelembaban Tinggi merupakan Faktor
Risiko Leptospirosis pada Sapi di Girimulyo, Kulon Progo, Jogjakarta. Pusat Kesehatan
Hewan. Jogjakarta.
Notoadmodjo, S. (2007). Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Cet.pertama. Rineka Cipta :
Jakarta.
Nurhadi, Muhammad. 2012. Kesehatan Masyarakat Veteriner Higiene bahan pangan asal
Hewan dan Zoonosis. Gosyen Publising. Yogyakarta.
Priyanto, A. (2008). Faktor-Faktor Risiko yang Berhubungan Terhadap Kejadian
Leptospirosis Studi Kasus di Kabupaten Demak. Program Magister Epidemiologi Pasca
Sarjana Universitas Diponegoro.
Profil Kesehatan Indonesia. 2012. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
_______. 2013. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Profil Pengendalian Zoonosis. 2013. Kementerian Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia. 
Saroso, S. (2003). Pedoman Tatalaksana Kasus dan Pemeriksaan Laboratorium
Leptospirosis di Rumah Sakit. Departemen Kesehatan R.I. : Jakarta.
Soemirat, J. (2005). Epidemiologi Lingkungan. Edisi 2. Yogyakarta : Gadjah Mada University
Press.
Suratman. (2008). Analisis Faktor Risiko Lingkungan dan Perilaku yang Berpengaruh
Terhadap Kejadian Leptospirosis Berat di Kota Semarang (Studi Kasus Leptospirosis
yang Dirawat di Rumah Sakit Dr. Kariadi, Semarang)dalam Jurnal Media Kesehatan
Masyarakat Indonesia, Vol 7 No 2.
Widoyono. 2011. Penyakit Tropis : Epidemiologi, Penularan, Pencegahan dan
Pemberantasan. Erlangga : Jakarta.
Tunissea, Asyhar. 2008. Analisis Spasila Faktor Risiko Lingkungan pada Kejadian
Leptospirosis di Kota Semarang (sebagai Sistem Kewaspadaan Dini). Tesis.
Universitas Diponegoro. Semarang.

Anda mungkin juga menyukai