Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

“LEPTOSPIROSIS”

DISUSUN OEH :
RIRIN PUTRI PARLINA
1904063

DOSEN PENGAMPUH :
Apt. Puspa Pameswari, M.Farm

UNIVERSITAS PERINTIS INDONESIA


PADANG
2020/2021
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI................................................................................................................................... i
BAB I .............................................................................................................................................. 1
1.1 LATAR BELAKANG .................................................................................................... 1
1.2 RUMUSAN MASALAH ................................................................................................ 2
1.3 TUJUAN.......................................................................................................................... 2
BAB II ............................................................................................................................................ 3
2.1 LEPTOSPIROSIS .......................................................................................................... 3
2.2 BAKTERI LEPTOSPIRA ............................................................................................. 4
2.3 PATOLOGI LEPTOSPIROSIS ................................................................................... 6
2.4 MANIFESTASI KLINIK .............................................................................................. 7
2.5 EPIDEMIOLOGI LEPTOSPIROSIS ........................................................................ 11
2.6 PENCEGAHAN DAN PENGOBATAN LEPTOSPIROSIS .................................... 14
BAB III......................................................................................................................................... 17
3.1 KESIMPULAN ............................................................................................................. 17
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................. 18

i
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Leptospirosis merupakan penyakit zoonosis yang mempunyai dampak signifikan


terhadap kesehatan di banyak belahan dunia, khususnya di negara beriklim sub tropis dan
tropis. Namun insiden leptospirosis lebih banyak terjadi di negara beriklim tropis karena
suhu lingkungan mendukung bakteri Leptospira lebih survive di daerah ini.
Leptospirosis menjadi suatu masalah di dunia karena angka kejadian yang tinggi
namun dilaporkan rendah di sebagian besar negara. Hal tersebut diakibatkan karena
sulitnya dalam menentukan diagnosis klinis dan tidak adanya alat untuk diagnosis
sehingga sebagian besar negara melaporkannya sebagai angka kejadian yang rendah. Di
sisi lain, di suatu negara angka kejadian Leptospirosis meningkat setiap tahunnya. Di
negara tropis diperkirakan terdapat kasus leptospirosisantara 10-100 kejadian tiap
100.000 penduduk per tahun.
Banyaknya kasus leptospirosisyang terjadi salah satunya diakibatkan oleh sikap
masyarakat yang kurang peduli terhadap penyakit tersebut. Sikap preventif masyarakat
terhadap leptospirosis saat ini masih tergolong negatif.
Menurut masyarakat, berjalan di genangan air banjir atau selokan tanpa alat
pelindung seperti sepatu bot bukanlah suatu masalah, masyarakat juga kurang peduli
dengan adanya luka pada tangan atau kaki meskipun kecil yang beresiko menjadi tempat
masuknya bakteri leptospira. Selain itu, masyarakat menganggap keberadaan tikus di
rumah atau di lingkungan sekitar mereka adalah hal yang wajar, mereka hanya
menggertak untuk mengusir tikus-tikus yang ada di dalam rumah.

1
1.2 RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah dari makalah ini, yaitu :
1. Pengertian Leptospirosis
2. Bentuk, jenis dan sifat dari bakteri Leptospira
3. Mekanisme penyakit Leptospirosis
4. Pengobatan dan cara pencegahan dari penyakit Leptospirosis

1.3 TUJUAN
1. Mengetahui penyakit Leptospirosis
2. Mengetahui dan memahami bakteri penyebab Leptospirosis dari bentuk, jenis dan
sifat bakterinya
3. Mengetahui dan memahami mekanisme penginfeksian oleh bakteri
4. Mengetahui pengobatan dan pencegahan terhadap penyakit Leptospirosis

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 LEPTOSPIROSIS
Leptospirosis adalah infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri leptospira.
Penyakit ini juga disebut Weil disease, Canicola fever, Hemorrhagic jaundice, Mud fever,
atau Swineherd disease. Bakteri Leptospira Interrogans merupakan penyebab
leptospirosis yang dapat menyerang hewan dan manusia. Penyakit ini paling sering
ditularkan dari hewan ke manusia ketika orang dengan luka terbuka di kulit, melakukan
kontak dengan air atau tanah yang telah terkontaminasi urine hewan pembawa bakteri
leptospira. Penularan leptospirosis paling sering terjadi pada kondisi banjir yang
menyebabkan perubahan lingkungan seperti genangan air, becek, banyak timbunan
sampah sehingga bakteri Leptospira lebih mudah berkembang biak.
Leptospirosis popular disebut penyakit kencing tikus. Manusia dapat terinfeksi
melalui beberapa cara berikut ini:
a. Kontak dengan air, tanah dan lumpur yang terancam bakteri.
b. Kontak dengan organ, darah, dan urin hewan terinfeksi.
c. Mengkonsumsi makanan yang terkontaminasi.

Hewan-hewan yang menjadi sumber penularan Leptospirosis ialah tikus, babi,


sapi, kambing, domba, kuda, anjing, kucing, serangga, burung, insektivora (landak,
kelelawar, tupai), sedangkan rubah dapat menjadi karier leptospira. Sejauh ini tikus
merupakan reservoir dan sekaligus penyebar utama leptospirosis karena bertindak
sebagia inang alami dan memiliki daya reproduksi tinggi. Beberapa hewan lain yang juga
merupakan sumber penularan leptospira memiliki potensi penularan ke manusia tidak
sebesar tikus, Leptospirosis dapat mengenai pasien pada usia berapapun. Penyakit ini
dapat dikendalikan dan diatasi dengan cara mengurangi faktor risiko yang ada.
Leptospirosis tidak menular langsung dari pasien ke pasien. Masa inkubasi
leptospirosis adalah dua hingga 26 hari. Sekali berada di aliran darah, bakteri ini bisa
menyebar ke seluruh tubuh dan mengakibatkan gangguan khususnya hati dan ginjal.
Penularan tidak langsung terjadi melalui genangan air, sungai, danau, selokan saluran air

3
dan lumpur yang tercemar urin hewan seperti tikus, umumnya terjadi saat banjir. Wabah
leptospirosis dapat juga terjadi pada musim kemarau karena sumber air yang sama
dipakai oleh manusia dan hewan. Sedangkan untuk penularan secara langsung dapat
terjadi pada seorang yang senantiasa kontak dengan hewan (peternak, dokter hewan).
Penularan juga dapat terjadi melalui air susu, plasenta, hubungan seksual, percikan darah
manusia penderita leptospira meski kejadian ini jarang ditemukan.Manusia jarang
menginfeksi manusia lain, tetapi mungkin melakukannya selama hubungan seksual atau
menyusui.

2.2 BAKTERI LEPTOSPIRA


Bakteri penyebab Leptosirosis yaitu bakteri Leptospira sp. Leptospira mempunyai
±175 serovar, bahkan ada yang mengatakan Leptospira memiliki lebih dari 200 serovar.
Infeksi dapat disebabkan oleh satu atau lebih serovar sekaligus. Bila infeksi terjadi, maka
pada tubuh penderita dalam waktu 6-12 hari akan terbentuk zat kebal aglutinasi.
Leptospirosis pada anjing disebabkan oleh infeksi satu atau lebih serovar dari Leptospira
interrogans. Serovar yang telah diketahui dapat menyerang anjing yaitu L. australis, L.
autumnalis, L. ballum, L. batislava, L. canicola, L. grippotyphosa, L. hardjo, L.
ichterohemorarhagica, L. pomona, dan L. tarassovi.
Pada anjing, telah tersedia vaksin terhadap Leptospira yang mengandung biakan
serovar L. canicola dan L. icterohemorrhagica yang telah dimatikan. Serovar yang dapat
menyerang sapi yaitu L. pamona dan L. gryptosa[. Serovar yang diketahui terdapat pada
kucing adalah L. bratislava, L. canicola, L. gryppothyphosa, dan L. pomona. Babi dapat
terserang L. pamona dan L. interogans, sedangkan tikus dapat terserang L. ballum dan L.
ichterohaemorhagicae. Bila terkena bahan kimia atau dimakan oleh fagosit, bakteri dapat
kolaps menjadi bola berbentuk kubah dan tipis. Pada kondisi ini, Leptospira tidak
memiliki aktivitas patogenik. Leptospira dapat hidup dalam waktu lama di air, tanah yang
lembap, tanaman dan lumpur.

4
Klasifikasi bakteri Leptospira
Kerajaan : Bacteria
Filum : Spirochaetes
Kelas : Spirochaeates
Ordo : Spirochaetales
Famili : Leptospiraceae
Genus : Leptospira

2.2.1 MORFOLOGI DAN SIFAT BAKTERI LEPTOSPIRA


Bakteri Leptospira merupakan Spirochaeta aerobik (membutuhkan
oksigen untuk bertahan hidup), motil (dapat bergerak), gram negatif, bentuknya
spiral yang ujungnya seperti kait, berkerut-kerut dan terpilin dengan ketat, lentur,
tipis fleksibel. Bakteri ini dapat bergerak maju mundur memutar sepanjang
sumbunya. Leptospira tidak berflagel, namun dapat melakukan gerakan rotasi
aktif. Bakteri ini tidak mudah diwarnai, namun dapat diwarnai dengan impregnasi
perak. Bakteri Lepstospira berukuran panjang 6-20 µm dan diameter 0,1-0,2 µm.
Sebagai pembanding, ukuran sel darah merah hanya 7 µm. Jadi, ukuran bakteri ini
relatif kecil dan panjang sehingga sulit terlihat bila menggunakan mikroskop
cahaya dan untuk melihat bakteri ini diperlukan mikroskop dengan teknik kontras.
Leptospira menyukai tinggal dipermukaan air dalam waktu lama dan siap
menginfeksi calon korbanya apabila kontak dengannya. Maka dari itu
Leptospirosis sering pula disebut sebagai penyakit yang timbul dari air (water
born diseases). Leptospira peka terhadap asam dan dapat hidup di dalam air tawar
selama kurang lebih satu bulan tetapi dalam air laut, air selokan dan air kemih
yang tidak diencerkan akan cepat mati. Leptospira tumbuh baik pada kondisi
aerobik di suhu 28-30°C. Leptospira dapat disimpan di dalam freezer pada suhu -
70oC dan tahan sampai beberapa tahun tanpa berkurang virulensinyz, tetapi
leptospira dapat mengalami kematian hanya dalam waktu 2 hari pada suhu 32 oC
sedangkan pada suhu 60oC leptospira akan mati hanya dalam waktu 10 menit.

5
Ketahanan hidup bakteri Leptospira sp. di luar hospes dipengaruhi oleh
beberapa faktor antara lain:
a. Makanan
b. Kompetisi dengan mikroba lainnya
c. pH
d. Temperature
e. Kelembaban tanah dan infeksi campuran pada hewan carrier

2.3 PATOLOGI LEPTOSPIROSIS


Leptospira masuk ke dalam darah, berkembang biak dan menyebar di jaringan
tubuh. Tubuh manusia akan memberikan respon imunologi, baik secara selular maupun
humoral. Leptospira berkembang biak terutama di ginjal (tubulus konvoluta). Leptospira
ini akan bertahan dan diekresi melalui urin. Leptospira dapat berada di urin sekitar 8 hari
setelah infeksi hingga bertahun-tahun. Leptospira dapat dihilangkan melalui mekanisme
fagositosis dan imunitas humoral.
Leptospira dapat masuk melalui luka dikulit atau menembus jaringan mukosa
seperti konjungtiva, nasofaring dan vagina. Setelah menembus kulit atau mukosa,
organisme ini ikut aliran darah dan menyebar keseluruh tubuh. Leptospira juga dapat
menembus jaringan seperti serambi depan mata dan ruang subarahnoid tanpa
menimbulkan reaksi peradangan yang berarti. Faktor yang bertanggung jawab untuk
virulensi leptospira masih belum diketahui sebaliknya leptospira yang virulen dapat
bermutasi menjadi tidak virulen. Virulensi tampaknya berhubungan dengan resistensi
terhadap proses pemusnahan didalam serum oleh neutrofil. Antibodi yang terjadi
meningkatkan klirens leptospira dari darah melalui peningkatan opsonisasi dan dengan
demikian mengaktifkan fagositosis.
Sistem saraf pusat, hati, dan ginjal merupakan organ yang paling sering terkena
infeksi bakteri Leptospira pada manusia. Beratnya patologi bervariasi tergantung dari
antarsevoar, misalnya infeksi L. icterohaemorrhagiae biasanya lebih berat daripada
infeksi L. copenhageni. Gangguan fungsi hati yang paling mencolok adalah ikterus,
gangguan faktor pembekuan, albumin serum menurun, globulin serum meningkat.

6
Gagal ginjal merupakan penyebab kematian yang penting pada leptospirosis. Pada
kasus yang meninggal minggu pertama perjalanan penyakit, terlihat pembengkakan atau
nekrosis sel epitel tubulus ginjal. Pada kasus yang meninggal pada minggu ke dua,
terlihat banyak fokus nekrosis pada epitel tubulus ginjal. Sedangkan yang meninggal
setelah hari ke dua belas ditemukan sel radang yang menginfiltrasi seluruh ginjal (medula
dan korteks). Penurunan fungsi ginjal disebabkan oleh hipotensi, hipovolemia dan
kegagalan sirkulasi. Gangguan aliran darah ke ginjal menimbulkan nefropati pada
leptospirosis. Kadang-kadang dapat terjadi insufisiensi adrenal karena perdarahan pada
kelenjar adrenal.
Mialgia merupakan keluhan umum pada leptospirosis, hal ini disebabkan oleh
vakuolisasi sitoplasma pada myofibril. Keadaan lain yang dapat terjadi antara lain
pneumonia hemoragik akut, hemoptisis, meningitis, meningoensefalitis, ensefalitis,
radikulitis, mielitis dan neuritis perifer. Peningkatan titer antibodi didalam serum tidak
disertai peningkatan antibodi leptospira (hamper tidak ada) di dalam cairan bola mata,
sehingga leptospira masih dapat bertahan hidup diserambi depan mata selama berbulan-
bulan. Hal ini penting dalam terjadinya uveitis rekurens, kronik atau laten pada kasus
leptospirosis.

2.4 MANIFESTASI KLINIK


Gejala klinik leptospirosis tidak spesifik, gejala dan tanda yang timbul tergantung
kepada berat ringannya infeksi, sering menyerupai influenza, meningitis aseptika,
ensefalitis, dengue fever, hepatitis atau gastro enteritis. Gejala ringan yang timbul berupa
panas, lesu, sakit pada otot, dan sakit kepala. Gejala yang berat ditandai dengan demam,
ikterus, disertai perdarahan, anemia, azotemia dan gangguan kesadaran.
Gejala klinis dari Leptospirosis pada manusia bisa dibedakan menjadi tiga
stadium, yaitu:
1) Stadium Pertama(leptospiremia)
Gejala-gejala tersebut akan tampak antara 4-9 hari
 Demam, menggigil
 Sakit kepala
 Bercak merah pada kulit

7
 Malaise dan muntah
 Konjungtivis serta kemerahan pada mata
 Rasa nyeri pada otot terutama otot betis dan punggung.
2) Stadium Kedua
 Pada stadium ini biasanya telah terbentuk antibodi di dalam tubuh penderita
 Gejala-gejala yang tampak pada stadium ini lebih bervariasi dibanding pada
stadium pertama antara lain ikterus (kekuningan)
 Apabila demam dan gejala-gejala lain timbul lagi, besar kemungkinan akan
terjadi meningitis
 Biasanya fase ini berlangsung selama 4-30 hari
3) Stadium Ketiga
Menurut beberapa klinikus, penyakit ini juga dapat menunjukkan gejala klinis
pada stadium ketiga (konvalesen phase). Komplikasi Leptospirosis dapat
menimbulkan gejala-gejala berikut:
 Pada ginjal, renal failure yang dapat menyebabkan kematian
 Pada mata, konjungtiva yang tertutup menggambarkan fase septisemi yang erat
hubungannya dengan keadaan fotobia dan konjungtiva hemorrhagic
 Pada hati, jaundice (kekuningan) yang terjadi pada hari keempat dan keenam
dengan adanya pembesaran hati dan konsistensi lunak
 Pada jantung, aritmia, dilatasi jantung dan kegagalan jantung yang dapat
menyebabkan kematian mendadak
 Pada paru-paru, hemorhagic pneumonitis denganbatuk darah, nyeri dada,
respiratory distress dan cyanosis
 Perdarahan karena adanya kerusakan pembuluh darah (vascular damage) dari
saluran pernapasan, saluran pencernaan, ginjal dan saluran genitalia
 Infeksi pada kehamilan menyebabkan abortus, lahir mati, premature dan
kecacatan pada bayi

8
Penderita leptospirosis pada manusia bisa tanpa keluhan. Akan tetapi ditemukan
memperlihatkan gejala seperti demam biasanya dengan menggigil, sakit kepala yang
berat, nyeri otot, muntah-muntah, kulit kuning dan mata putih, mata merah, nyeri perut,
diare dan bercak merah pada kulit.Bila tidak segera diobati, penyakit bisa berlanjut
dengan gejala gangguan ginjal, radang selaput pembungkus otak dan sumsum tulang
belakang, gangguan pernafasan dan kematian.
Sedangkan pada hewan ternak ruminansia dan babi yang hamil, gejala abortus,
pedet lahir mati atau lemah sering muncul pada kasus leptospirosis. Pada sapi muncul
demam dan penurunan produksi susu. Pada babi sering muncul gangguan reproduksi.
Gejala klinis leptospirosis pada sapi dapat bervariasi mulai dari yang ringan, infeksi yang
tidak tampak, sampai infeksi akut yang dapat mengakibatkan kematian. Infeksi akut
paling sering terjadi pada pedet/sapi muda.
Bentuk berat dari penyakit leptospirosis ini dikenal sebagai Weil’s disease. Masa
inkubasi leptospirosis 2-26 hari, biasanya 7-13 hari dengan rata-rata 10 hari.
Leptospirosis mempunyai 3 fase penyakit yang khas yaitu:
1) Fase leptospiremia
Pada fase ini Leptospira dapat dijumpai dalam darah dan cairan tubuh lain. Gejala
ditandai dengan sakit kepala pada daerah frontal, sakit otot betis, paha, pinggang
disertai nyeri saat ditekan. Gejala ini diikuti hiperestesi kulit, demam tinggi,
menggigil, mual, diare, bahkan penurunan kesadaran. Pada sakit berat dapat ditemui
bradikardia dan ikterus (50%). Pada sebagian penderita dapat ditemui fotofobia, rash,
urtikaria kulit, splenomegali, hepatomegali, dan limfadenopati. Gejala ini terjadi saat
hari ke 4-7. Jika pasien ditangani secara baik, suhu tubuh akan kembali normal
dengan organ-organ yang terlibat akan membaik. Fungsi organ-organ ini akan
kembali ke 3-6 minggu setelah perawatan. Pada keadaan sakit lebih berat, demam
turun setelah hari ke-7 diikuti fase bebas demam 1-3 hari, lalu demam kembali.
Keadaan ini disebut sebagai fase kedua atau fase imun.

9
2) Fase Imun
Fase ini ditandai dengan peningkatan titer antibodi, demam hingga 40°C disertai
mengigil dan kelemahan umum. Pada leher, perut, dan otot kaki dijumpai rasa sakit.
Perdarahan paling jelas saat fase ikterik, dapat ditemukan purpura, peteki, epistaksis,
dan perdarahan gusi. Conjuntiva injection dan conjungtival suffusion dengan ikterus
merupakan tanda patognomonis untuk leptospirosis. Fase ini juga dapat ditandai
dengan meningitis, yang dapat menetap dalam beberapa minggu dan menghilang
setelah 2 hari. Pada fase ini, leptospira juga dapat dijumpai dalam urin.
3) Fase Penyembuhan
Fase ini terjadi pada minggu ke 2 - 4 dengan patogenesis yang belum jelas. Gejala
klinis pada penelitian ditemukan berupa demam dengan atau tanpa muntah, nyeri
otot, ikterik, sakit kepala, batuk, hepatomegali, perdarahan dan menggigil serta
splenomegali.

Menurut berat ringannya, leptospirosis dibagi menjadi ringan dan berat, tetapi
untuk pendekatan diagnosis klinis dan penanganannya, para ahli lebih senang membagi
penyakit ini menjadi leptospirosis anikterik (non ikterik) dan leptospirosis ikterik.
1) Leptospirosis anikterik
Onset leptospirosis ini mendadak dan ditandai dengan demam ringan atau tinggi
yang umumnya bersifat remiten, nyeri kepala dan menggigil serta mialgia. Nyeri
kepala bisa berat, mirip yang terjadi pada infeksi dengue, disertai nyeri retro-orbital
dan photopobia. Nyeri otot terutama di daerah betis, punggung dan paha. Nyeri ini
diduga akibat kerusakan otot sehingga creatinin phosphokinase pada sebagian besar
kasus akan meningkat, dan pemeriksaan cretinin phosphokinase ini dapat untuk
membantu diagnosis klinis leptospirosis. Akibat nyeri betis yang menyolok ini, pasien
kadang-kadang mengeluh sukar berjalan. Mual, muntah dan anoreksia dilaporkan
oleh sebagian besar pasien.
Pemeriksaan fisik yang khas adalah conjunctival suffusion dan nyeri tekan di
daerah betis. Limpadenopati, splenomegali, hepatomegali dan rash macupapular bisa
ditemukan, meskipun jarang. Kelainan mata berupa uveitis dan iridosiklis dapat
dijumpai pada pasien leptospirosis anikterik maupun ikterik.

10
Gambaran klinik terpenting leptospirosis anikterik adalah meningitis aseptik yang
tidak spesifik sehingga sering terlewatkan diagnosisnya. Dalam fase leptospiremia,
bakteri leptospira bisa ditemukandi dalam cairan serebrospinal, tetapi dalam minggu
kedua bakteri ini menghilang setelah munculnya antibodi ( fase imun ).
Pasien dengan Leptospirosis anikterik pada umumnya tidak berobat karena
keluhannya bisa sangat ringan. Pada sebagian pasien, penyakit ini dapat sembuh
sendiri ( self -limited ) dan biasanya gejala kliniknya akan menghilang dalam waktu
2-3 minggu. Karena gambaran kliniknya mirip penyakit-penyakit demam akut lain,
maka pada setiap kasus dengan keluhan demam, leptospirosis anikterik harus
dipikirkan sebagai salah satu diagnosis bandingnya, apalagi yang di daerah endemik.
Leptospirosis anikterik merupakan penyebab utama Fever of unknown origindi
beberapa negara Asia seperti Thailand dan Malaysia. Diagnosis banding leptospirosis
anikterik harus mencakup penyakit-penyakit infeksi virus seperti influenza, HIV
seroconversion, infeksi dengue, infeksi hantavirus, hepatitis virus, infeksi
mononukleosis dan juga infeksi bakterial atau parasitik seperti demam tifoid,
bruselosis, riketsiosis dan malaria.
2) Leptospirosis ikterik
Ikterus umumnya dianggap sebagai indikator utama leptospirosis berat. Gagal
ginjal akut, ikterus dan manifestasi perdarahan merupakan gambaran klinik khas
penyakit Weil. Pada leptospirosis ikterik, demam dapat persisten sehingga fase
imunmenjadi tidak jelas atau nampak overlapping dengan fase leptospiremia. Ada
tidaknya fase imun juga dipengaruhi oleh jenis serovar dan jumlah bakteri leptospira
yang menginfeksi, status imunologik dan nutrisi penderita serta
kecepatanmemperoleh terapi yang tepat. Leptospirosis adalah penyebab tersering
gagal ginjal akut.

2.5 EPIDEMIOLOGI LEPTOSPIROSIS


Leptospirosis adalah penyaki infeksi akut yang dapat menyerang manusia maupun
hewan dan digolongkan sebagai zoonosis. Leptospirosis adalah zoonosis bakterial
berdasarkan penyebabnya, berdasarkan cara penularan merupakan direct zoonosis karena
tidak memerlukan vektor, dan dapat juga digolongkan sebagai amfiksenose karena jalur

11
penularan dapa dari hewan ke manusia dan sebaliknya. Penularan leptospirosis pada
manusia ditularkan oleh hewan yang terinfeksi kuman leptospira. Hewan pejamu kuman
leptospira adalah hewan peliharaan seperti babi, lembu, kambing, kucing, anjing
sedangkan kelompok unggas serta beberapa hewan liar seperti tikus, bajing, ular, dan
lain-lain. Pejamu resevoar utama adalah roden. Kuman leptospira hidup didalam ginjal
pejamu reservoar dan dikeluarkan melalui urin saat berkemih.

Sebagai host (inang), pada hewan dan manusia, dapat dibedakan atas maintenance
host dan incidental host. Dalam tubulus ginjal maintenance host, leptospirosis akan
menetap sebagai infeksi kronik. Infeksi biasanya ditularkan dari hewan ke hewan melalui
kontak langsung dan dapat terjadi pada usia dini dan juga prevalensi ekskresi kronik
melalui urin meningkat dengan bertambahnya umur hewan.
Pada manusia, penularan melalui kontak tidak langsung dengan-maintenance host.
Luasnya penularan tergantung dari banyak faktor yang meliputi iklim, kepadatan
populasi, dan derajat kontak antara maintenance host dan incidental host. Hal ini dan juga
tentang serovar penting untuk studi epidemiologi leptospirosis pada setiap daerah.
Penularan juga dapat terjadi melalui gigitan hewan yang sebelumnya telah
terinfeksi leptospirosis atau kontak dengan kultur leptospirosis di laboratorium. Manusia
yang mempunyai risiko tinggi tertular penyakit ini adalah pekerja di sawah, peternak,
pekerja tambang, penjagalan hewan, pekerja industri perikanan, dan dokter hewan.
Aktivitas yang berisiko tertular penyakit ini adalah berenang di sungai, berburu dan
kegiatan di hutan.
Kejadian pada negara beriklim hangat lebih tinggi dari Negara yang beriklim
sedang karena Leptospira hidup lebih lama dalam lingkungan yang hangat dan kondisi

12
lembab. Kebanyakan negara-negara tropis merupakan negara berkembang dimana
terdapat kesempatan lebih besar pada manusia untuk terpapar dengan hewan yang
terinfeksi karena tidak terbatas pada pekerjaan tetapi lebih sering disebabkan oleh
kontaminasi yang tersebar luas di lingkungan. Lingkungan yang terkontaminasi oleh urin
hewan yang terinfeksi Leptospira merupakan titik sentral epidemiologi leptospirosis.
Kejadian leptospirosis dapat meningkat pada saat curah hujan yang tinggi dan lingkungan
yang banyak genangan air.
Penularan leptospirosis dapat secara langsung dan tidak langsung yaitu:
1) Penularan secara langsung dapat terjadi melalui :
 darah, urin atau cairan tubuh lain yang mengandung kuman leptospira masuk
kedalam tubuh pejamu
 Dari hewan ke manusia merupakan peyakit akibat pekerjaan, terjadi pada orang
yang merawat hewan atau menangani organ tubuh hewan misalnya pekerja
potong hewan, atau seseorang yang tertular dari hewan peliharaan.
 Dari manusia ke manusia meskipun jarang, dapat terjadi melalui hubungan
seksual pada masa konvalesen atau dari ibu penderita leptospirosis ke janin
melalui sawar plasenta dan air susu ibu.
2) Penularan tidak langsung dapat terjadi melalui :
 Genangan air
 Sungai atau badan air
 Danau
 Selokan saluran air dan lumpur yang tercemar urin hewan
 Jarak rumah dengan tempat pengumpulan sampah

Faktor resiko terinfeksi kuman leptospira, bila kontak langsung atau terpajan air
atau rawa yang terkontaminasi yaitu :
1) Kontak dengan air yang terkonaminasi kuman leptospira atau urin tikus saat banjir
2) Pekerjaan tukang perahu, rakit bambu, pemulung
3) Mencuci atau mandi disungai atau danau
4) Tukang kebun atau pekerjaan di perkebunan
5) Petani tanpa alas kaki di sawah

13
6) Pembersih selokan
7) Pekerja potong hewan, ukang daging yang terpajan saat memotong hewan
8) Peternak, pemeliharaan hewan dan dorter hewan yang terpajan karena menangani
ternak atau hewan, terutama saat memerah susu, menyentuh hewan mati, menolong
hewan melahirkan, atau kontak dengan bahan lain seperti plasenta, cairan amnion dan
bila kontak dengan percikan infeksius saat hewan berkemih
9) Pekerja tambang
10) Pemancing ikan, pekerja tambak udang atau ikan tawar.
11) Anak-anak yang bermain di taman, genangan air hujan atau kubangan.
12) Tempat rekreasi di air tawar

2.6 PENCEGAHAN DAN PENGOBATAN LEPTOSPIROSIS


Pencegahan penularan kuman leptospirosis dapat dilakukan melalui tiga jalur
yaitu :
1) Jalur sumber infeksi
 Melakukan tindakan isolasi atau membunuh hewan yang terinfeksi
 Memberikan antibiotik pada hewan yang terinfeksi, seperti penisilin, ampisilin,
atau dihydrostreptomycin. Dosis dan cara pemberian berbeda-beda, tergantung
jenis hewan yang terinfeksi
 Mengurangi populasi tikus dengan beberapa cara seperti penggunaan racun tikus,
pemasangan jebakan, penggunaan rondentisida dan predator ronden
 Meniadakan akses tikus ke lingkungan pemukiman, makanan dan air minum
dengan membangun gudang penyimpanan makanan atau hasil pertanian, sumber
penampungan air, dan perkarangan yang kedap tikus, dan dengan membuang sisa
makanan serta sampah jauh dari jangkauan tikus.
 Mencengah tikus dan hewan liar lain tinggal di habitat manusia dengan
memelihara lingkungan bersih, membuang sampah, memangkas rumput dan
semak berlukar, menjaga sanitasi,
2) Jalur penularan
 Memakai pelindung kerja (sepatu, sarung tangan, pelindung mata, apron,
masker)

14
 Mencuci luka dengan cairan antiseptik, dan ditutup dengan plester kedap air
 Mencuci atau mandi dengan sabun antiseptik setelah terpajan percikan urin,
tanah, dan air yang terkontaminasi
 Menumbuhkan kesadara terhadap potensi resiko dan metode untuk mencegah
atau mengurangi pajanan misalnya dengan mewaspadai percikan atau aerosol,
tidak menyentuh bangkai hewan, janin, plasenta, organ (ginjal, kandung kemih)
dengan tangan telanjang, dan jangn menolong persalinan hewan tanpa sarung
tangan
 Mengenakan sarung tangan saat melakukan tindakan higienik saat kontak dengan
urin hewan, cuci tangan setelah selesai dan waspada terhadap kemungkinan
terinfeksi saat merawat hewan yang sakit
 Melakukan desinfektan daerah yang terkontaminasi, dengan membersihkan
lantai kandang, rumah potong hewan dan lain-lain
 Melindungi sanitasi air minum penduduk dengan pengolalaan air minum yang
baik, filtrasi dan korinasi untuk mencengah infeksi kuman leptospira
 Menurunkan PH air sawah menjadi asam dengan pemakaian pupuk aau bahan-
bahan kimia sehingga jumlah dan virulensi kuman leptospira berkurang
 Memberikan peringatan kepada masyarakat mengenai air kolam, genagan air dan
sungai yang telah atau diduga terkontaminasi kuman leptospira
 Manajemen ternak yang baik
3) Jalur pejamu manusia
 Menumbuhkan sikap waspada
Diperlukan pendekatan penting pada masyarakat umum dan kelompok resiko
tinggi terinfeksi kuman leptospira. Masyarakat perlu mengetahui aspek penyakit
leptospira, cara-cara menghindari pajanan dan segera ke sarana kesehatan bila di
duga terinfeksi kuman leptospira.

15
 Melakukan upaya edukasi
Dalam upaya promotif, untuk menghindari leptospirosis dilakukan dengan
cara-cara edukasi yang meliputi memberikan selembaran kepada klinik
kesehatan, departemen pertanian, institusi militer, dan lain-lain. Di dalamnya
diuraikan mengenai penyakit leptospirosis, kriteria menengakkan diagnosis,
terapi dan cara mencengah pajanan. Dicatumkan pula nomor televon yang dapat
dihubungi untuk informasi lebih lanjut dan melakukan penyebaran informasi.

Pada umumnya leptospirosis diobati dengan antibiotika seperti doxycycline atau


penicillin. Berhubung uji cobanya memakan waktu dan penyakitnya mungkin parah,
dokter mungkin mulai memberi antibiotika itu sebelum meneguhkannya dengan ujicoba.
Pengobatan dengan antibiotika dianggap paling efektif jika dimulai dini.
Doxycycline merupakan agen profilaktik yang efektif jika pajanan infeksi
tampaknya telah terjadi. Doksisiklin oral dengan dosis 200mg seminggu sekali bila
terdapat pemaparan yang berat, memberikan profilaksis yang efektif. Leptospiura
dihilangkan dengan ampisin dan beberapa obat beta-laktamnya, tetapi tidak dengan
tetrasiklin atau obat beta-laktam tertentu. Antibiotic yang dapat diberikan antara lain :
1) Penyakit sedang atau berat
 Penisilin 4 x 15 IU
 Amoksilin 4 x 1 gr selama 7 hari
2) Penyakit ringan
 Ampisilin 4 x 500 mg
 amoksilin 4 x 500 mg
 eritromisin 4 x 500 mg

16
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Leptospirosis disebabkan kuman dari genus Leptospira dari famili
Leptospiraceae. Leptospira merupakan bakteri aerob, berbentuk spiral yang rapat,
bersifat motil, dan merupakan spiroketa gram negative. Penularan leptospirosis dapat
secara langsung dan tidak langsung. Faktor yang mempengaruhi penyebaran leptospirosis
antara lain kondisi selokan buruk, keberadaan sampah dalam rumah, keberadaan tikus
didalam dan sekitar rumah, kebiasaan tidak memakai alas kaki, kebiasaan mandi/mencuci
di sungai, pekerjaan berisiko, tidak ada penyuluhan tentang leptospirosis.
Beratnya patologi bervariasi tergantung dari antarsevoar. Pada pemeriksaan fisik
dijumpai demam, bradikardia, nyeri tekan otot, hepatomegali, dan lain-lain. Diagnosis
dapat dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopik langsung. Kejadian pada negara
beriklim hangat lebih tinggi dari negara yang beriklim sedang, karena Leptospira hidup
lebih lama dalam lingkungan yang hangat dan kondisi lembab. Pencegahan dapat
dilakukan dengan melakukan tindakan isolasi atau membunuh hewan yang terinfeksi,
memelihara lingkungan bersih, membuang sampah pada tong sampah, menjaga sanitasi,
meningkatkan pengetahuan tentang kesehatan. Leptospirosis diobati dengan antibiotika
seperti doxycycline atau penicillin.

17
DAFTAR PUSTAKA

Febrian, Ferry dan Sholihah. 2013. Analisis Spasial Kejadian Penyakit Leptospirosis di
Kabupaten Sleman Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. KES MAS Vol. 7 No. 1: 1 –
54.

Gillespie, Stephen H. dan Bamford, K. B. 2008. At A Glance Mikrobiologi Medis dan Infeksi.
Erlangga: Jakarta.

Muliawan, Sylvia Y. 2011. Bakteri Spiral Patogen. Erlangga: Jakarta.

Oktini, Mari, dkk. 2007. Hubungan Faktor Lingkungan Dan Karakteristik Individu Terhadap
Kejadian Penyakit Leptospirosis di Jakarta, 2003-2005. MAKARA, KESEHATAN,
VOL. 11, NO. 1: 17-24.

Priyanto, Agus, dkk. 2008. Faktor-Faktor Risiko Yang Berpengaruh Terhadap Kejadian
Leptospirosis. Universitas Diponegoro: Semarang.

Ramadhani, Tri dan Yunianto, Bambang. 2012. Reservoir dan Kasus Leptospirosis di
Wilayah Kejadian Luar Biasa. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 7, No.
4:162-168.

Sudoyo, Aru W., dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Internal Publishing: Jakarta.

Tanzil, Kunadi. 2012. Ekologi Dan Patogenitas Kuman Leptospira. Bagian Mikrobiologi
Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya. Tahun 29 Nomor 324.

18

Anda mungkin juga menyukai