Anda di halaman 1dari 90

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penelitian

Beberapa tahun terakhir banyak penelitian yang mempelajari fisiologi


tidur dan gangguan-gangguan tidur, seperti Obstructive Sleep Apnea (OSA).
Obstructive sleep apnea memperbesar resiko terjadinya stroke pada laki-laki.
Selain itu, menurut penelitian, peningkatan resiko pada laki-laki juga diikuti
dengan peningkatan keparahan. Keparahan ini juga disebabkan kecenderungan
laki-laki sudah mengalami sleep apnea sejak usia muda namun dibiarkan dalam
(1)
jangka lama tanpa ditangani. Prevalensi Obstructive sleep apnea di dunia
(1)
mencapai 5 dari 100 penduduk di amerika. Pada pasien OSA terdapat
penurunan fase tidur dalam. Pada OSA, episode obstruksi dapat berhubungan
dengan peningkatan kolapsnya jalan napas karena faktor mekanis dan saraf.
Faktor mekanis yang paling umum pada anak-anak adalah hipertropi adenoide dan
atau amandel, serta penyempitan lumen jalan napas. (1) Sekitar 2% dari anak-anak
yang sehat memiliki pembesaran amandel dan adenoide dapat menghalangi jalan
napas. Etiologi Obstructive Sleep Apnea adalah keadaan komplek yang sering
mempengaruhi berupa neural, hormonal, muscular dan struktur anatomi,
contohnya kegemukan terutama pada tubuh bagian atas dipertimbangkan sebagai
resiko utama terjadinya Obstructive Sleep Apnea. Penambahan berat badan akan
(1)(2)
meningkatkan gejala-gejala Obstructive Sleep Apnea.
Tidur merupakan suatu keadaan reversible yang bermanifestasi berupa
penurunan kesadaran juga reaksi terhadap stimulus eksternal. Manusia dewasa
memerlukan tidur rata-rata 6-8 jam per hari. Tidur dapat terbagi atas 2 fase, yaitu
NREM (Non Rapid Eye Movement) sleep yang mengisi 75-80% fase tidur dan
REM (Rapid Eye Movement) sleep mengisi 20-25 % dari fase tidur. Pada dewasa
normal, kedua fase ini muncul dalam siklus yang semi reguler yang berlangsung
sekitar 90-120 menit dan muncul sebanyak 3-4 kali setiap malam. (1)(2) Fase tidur
NREM terdiri dari stase 1 sampai 4, dimana stase 3 dan 4 merupakan fase tidur
dalam. Fungsi tidur NREM masih merupakan dugaan beberapa teori telah
diajukan salah satu teorinya menyatakan bahwa penurunan metabolisme akan
memfasilitasi peningkatan penyimpanan glikogen. Teori lain memanfaatkan
plastisitas neuron yang menyatakan bahwa depolarisasi dan hiperpolarisasi dari
osilasi akan berkonsolidasi dengan proses memori dan menghilangkan sinaps
yang berlebihan. Selama fase NREM permintaan metabolik otak berkurang.(1)
Diet yang kurang pada salah satu faktor vitamin B kompleks seringkali
sumber vitamin B lainnya jelek pula. Manifestasi klinis beberapa defisiensi
vitamin B ditemukan pada pasien yang sama, sehingga pengobatan pun dapat
menggunakan vitamin B kompleks. 2Vitamin B-kompleks merupakan ko-enzim
dalam jalur metabolismee. Sehingga, sedikitnya vitamin yang tersedia dapat
mengganggu rantai proses kimia, termasuk reaksi kimia yang bergantung pada
vitamin jenis lain, hingga menimbulkan suatu manifestasi klinis.Vitamin B12
berfungsi dalam berbagai fungsi metabolisme dalam tubuh manusia, seperti
pembentukan serta pematangan sel darah merah, membantu pematangan funsi sel
saraf, pembentukan berbagai hormon di dalam tubuh termasuk pembentukan
hormon melatonin. (2)(4) Melatonin merupakan suatu hormon yang berfungsi dalam
mengatur tidur manusia. Vitamin B12 dapat ditemukan dalam berbagai macam
makanan, seperti ikan, daging, telur, jamur. Defisiensi vitamin B12 dapat
menyebabkan anemia pernisiosa, depresi, alzheimer, penurunan durasi tidur dalam
dan kulit sensitif. Ketika ikatan vitamin B12 dengan faktor intrinsik telah dikenali
oleh reseptor spesifik di ileum terminal, dapat berdifusi secara transpor aktif lalu
mengikuti sirkulasi portal ke hepar. Lalu vitamin B12 dirubah menjadi
transcobalamin dan berikatan dengan plasma transporter. (44)(46) Di hepar melalui
methionin syntase transkobalamin di pecah menjadi methionin dan
sianokobalamin, dimana methionin bersama ATP dan ion Mg membentuk SAM
dan tryptofan. Metabolisme SAM melalui mekanisme, pertama methylisasi
dimana hasil akhir dapat berfungsi untuk pembentukan hormon hormon didalam
tubuh. Pada malam hari tryptofan bersama tryptofan hidroksilase membentuk S-
Hydroksitriptofan. Lalu S-hidroksitriptofan membentuk serotonin, serotonin
bersama SAM membentuk N-asetilserotonin yang pada akhirnya menjadi
melatonin. Melatonin merupakan hormon alami yang dihasilkan dalam tubuh
yang merupakan antioksidan poten. Melatonin hormon yang mempengaruhi
durasi tidur dalam.(2)(4)
Kurangnya data penelitian yang menghubungkan vitamin B serum dengan
durasi fase tidur pada pasien obstructive sleep apnea, ini yang membuat peneliti
tertarik untuk melakukan penelitian ini.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang diuraikan oleh penulis diatas, penulis

merumuskan pertanyaan penelitian apakah terdapat pengaruh kadar vitamin B

serum dengan durasi fase tidur pada penderita Obstructive Sleep Apnea?

1.3. Manfaat Penelitian

1.3.1 Bidang penelitian

A. Memberikan pengetahuan mengenai pengaruh kadar vitamin B serum

dengan durasi fase tidur dalam pada pasien Obstructive Sleep Apnea.

B. Memberikan pengetahuan mengenai faktor - faktor yang mempengaruhi

durasi fase tidur pada pasien obstructive sleep apnea.

C. Sebagai bahan informasi dan dijadikan sebagai rujukan untuk penelitian

selanjutnya.

1.3.2 Bidang Pelayanan Masyarakat


Memberikan informasi kepada masyarakat mengenai pengaruh kadar vitamin B

serum dengan durasi fase tidur dalam pada pasien Obstructive Sleep Apnea.

1.3.3 Bidang Pendidikan

A. Menambah wawasan tentang kadar vitamin B serum pada pasien

Obstructive Sleep Apnea dan hubungannya dengan durasi fase tidur.

B. Merupakan sarana proses pendidikan, khususnya dalam hal melakukan

penelitian dan meningkatkan pengetahuan bidang neurologi.

1.4. Tujuan Penelitian

a.Tujuan Umum

Mengetahui pengaruh kadar vitamin B serum dengan durasi fase tidur pada

penderita Obstructive Sleep Apnea.

b.Tujuan Khusus

Mengetahui pengaruh umur, jenis kelamin, lingkar leher, BMI, skor

mallampati, hipertensi, merokok, derajat OSA dengan durasi fase tidur dalam

pada penderita obstructive sleep apnea.

1.5. Keaslian Penelitian

Terdapat beberapa penelitian mengenai B12 serum dan fase tidur dalam.

Beberapa penelitian terdahulu dalam penelitian ini akan dijadikan sebagai bahan

acuan agar peneliti dapat memperoleh informasi mengenai topik pembahasan


penelitian yang akan dilakukan.

Penelitian terdahulu pertama yang berjudul Efek vitamin B12 terhadap

kadar melatonin plasma di manusia dalam penelitian ini bertujuan mengetahui

efek vitamin B12 terhadap kadar vitamin B12 terhadap kadar melatonin pada

manusia, pada penelitian ini menggunakan metode randomized control trial

dengan jumlah N 18 orang, 10 pasien mengkonsumsi vitamin B12 dan 8 pasien

mengkonsumsi plasebo. Penelitian ini berlangsung selama 23 hari, dengan

pengitungan statistik menggunakan two tailed T-Test, hasil dari penelitian ini

Terdapat hubungan bermakna antara konsumsi vitamin B12 dengan peningkatan

kadar melatonin plasma. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian kami adalah

pengunaan perlakuan pasien dengan mengkonsumsi vitamin B12 dan mengetahui

efek terhadap perubahan kadar melatonin dalam plasma pada manusia.

Penelitian terdahulu kedua yang berjudul Vitamin B12 dengan durasi

tidur, irama circardian dan suhu otak pada tikus, penelitian ini bertujuan

mengetahui hubungan vitamin B12 dengan durasi tidur NREM maupun REM,

irama sirkardian serta suhu otak pada tikus, pada penelitian ini menggunakan tikus

dengan berat 300gram dan di anestesi dengan natrium pentobarbital 50mg/kgbb,

dengan N penelitian sebanyak 16 tikus, 8 tikus merupakan tikus yang menjalani

prosedur malam, 8 tikus yang menjalankan prosedur siang, penelitian ini

berlangsung selama 4 hari. Pada penelitian ini mempunyai hasil Terdapat

hubungan bermakna antara pemberian B12 dengan peningkatan fase tidur NREM,

di banding fase tidur REM penurunan suhu otak pada tikus. Yang membedakan

penelitian ini dengan penelitian kami adalah pada penelitian ini merupakan
penelitian experimental pada tikus, dengan memberikan perlakuan infus vitamin

B12 100 nmol pada ventrikel 3 tikus.

Penelitian terdahulu ketiga yang berjudul Studi multicenter: vitamin B12

di dalam gangguan irama tidur di provinsi Shizuoka dalam penelitian ini

bertujuan mengetahui efek vitamin B12 terhadap irama tidur pada pasien

gangguan irama tidur di shizuoka, metode penelitian ini dengan randomized

control trial dengan total N: 29 pasien, 18 pasien dengan pasien gangguan irama

tidur, 11 pasien dengan pasien kontrol. Penelitian ini memberikan perlakuan

konsumsi vitamin B12 per hari selama 8 minggu, dan kontrol diberikan plasebo

selama 8 minggu. Hasil dari penelitian ini adalah Terdapat hubungan bermakna

antara vitamin B12 dengan perbaikan gangguan irama tidur. Yang membedakan

penelitian ini dengan penelitian kami adalah penelitian ini dilakukan pada pasien

dengan gangguan irama tidur sedangkan penelitian kami pada pasien obstructive

sleep apnea.

Tabel I. Matrix penelitian yang berhubungan dengan kadar B12 serum dan

durasi fase tidur dalam

No PENELITI JUDUL METODE HASIL

1 K. Honma, Efek Randomized control Terdapat hubungan

M. kohsaka, vitamin B12 trial, N= 18, 10 pasien bermakna antara

N. Fukuda, N terhadap mengkonsumsi B12, 8 konsumsi vitamin

Morita, S. kadar pasien mengkonsumsi B12 dengan

Honma melatonin placebo. peningkatan kadar


plasma di melatonin plasma

manusia.

2 I. Shojiro, H. Vitamin Studi case control, N Terdapat hubungan

Kazuki B12 dengan = 16, case= 8 tikus bermakna antara

durasi tidur menjalankan prosedur pemberian B12

,irama malam, kontrol =8 dengan

circardian tikus menjalankan peningkatan fase

dan suhu prosedur siang. tidur NREM,

otak pada dibanding fase

tikus tidur REM

3 Maeda K, Studi Randomized control Terdapat hubungan

Okamoto N, multicenter: trial : N: 29, 18 pasien bermakna antara

Hoshino R, vitamin B12 dengan gangguan vitamin B12

Ohara K, di dalam irama tdur, 11 kontrol. dengan perbaikan

Oshasi Y, gangguan gangguan irama

Kawaghuci K irama tidur tidur

di provinsi

Shizuoka

Yang membedakan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya :


1. Pada populasi penelitian ini berfokus pada pasien Obstructive Sleep Apnea

sedangkan penelitian sebelumnya dengan populasi pasien dengan

gangguan irama tidur.

2. Pada penelitian ini membandingkan langsung hubungan kadar B12 serum

dengan durasi fase tidur dalam pada pasien Obstructive Sleep Apnea

sedangkan penelitian sebelumnya mengetahui efek vitamin B12 terhadap

durasi tidur NREM pada tikus.

3. Pada penelitian ini mengetahui hubungan kadar vitamin B12 serum

dengan durasi tidur dalam, sedangkan penelitian sebelumnya mengetahui

hubungan kadar B12 serum dengan kadar melatonin plasma.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Fisiologi Tidur

Tidur adalah suatu periode istirahat bagi tubuh berdasarkan atas kemauan

serta kesadaran dan secara utuh atau sebagian fungsi tubuh yang akan dihambat

atau dikurangi. Tidur juga digambarkan sebagai suatu tingkah laku yang ditandai

dengan karakteristik pengurangan gerakan tetapi bersifat reversible terhadap


.3)
rangsangan dari luar. Tidur dibagi menjadi dua tahap secara garis besarnya,

pertama, fase Rapid Eye Movement (REM) disebut juga active sleep. Kedua, fase

Nonrapid Eye Movement (NREM) disebut juga quiet sleep.(3)


Non Rapid Eye Movement merupakan keadaan aktif yang terjadi melalui

osilasi antara talamus dan korteks. Tiga sistem utama osilasi adalah kumparan

tidur, delta osilasi, dan osilasi kortikal lambat. Kumparan tidur merupakan sebuah

ciri tahap tidur NREM yang dihasilkan dari hiperpolarisasi neuron GABAnergic
(3)(4)
dalam nukleus retikulotalamus. Hiperpolarisasi ini menghambat proyeksi

neuron kortikotalamus. Sebagai penyebaran diferensiasi proyeksi kortikotalamus

akan kembali ke sinkronisasi talamus. Gelombang delta dihasilkan oleh interaksi

dari retikulotalamus dan sumber piramidokortikal sedangkan osilasi kortikal

lambat dihasilkan di jaringan neokorteks oleh siklus hiperpolarisasi dan

depolarisasi.(3)(4)

EEG tambahan dari tidur fase REM adalah gelombang sleep spindel.

Selama fase REM yang berperan adalah sistem kolinergik yang dapat ditingkatkan

dengan reseptor agonis dan dihambat dengan antikolinergik. Fase REM (tahap R)

ditandai oleh atonia otot, aktivasi kortikal, desinkronisasi bertegangan rendah dari
(4)
EEG dan gerakan cepat dari mata. Fase REM memiliki komponen saraf

parasimpatomimetik dan saraf simpatik yang ditandai oleh otot rangka berkedut,

peningkatan denyut jantung, variabilitas pelebaran pupil, dan peningkatan laju

pernapasan. Atonia otot terdapat pada seluruh fase REM sebagai hasil dari inhibisi

neuron motor alfa oleh kelompok-kelompok seruleus peri-lokus neuron yang

secara kolektif disebut sebagai korteks retikuler sel kecil.(4)

Fungsi tidur NREM masih merupakan dugaan beberapa teori telah

diajukan salah satu teorinya menyatakan bahwa penurunan metabolisme akan

memfasilitasi peningkatan penyimpanan glikogen. Teori lain memanfaatkan


plastisitas neuron yang menyatakan bahwa depolarisasi dan hiperpolarisasi dari

osilasi akan berkonsolidasi dengan proses memori dan menghilangkan sinaps

yang berlebihan. Selama fase NREM permintaan metabolik otak berkurang. Hal

ini ditunjukkan oleh penelitian menggunakan oksigen Positron Emission

Tomography (PET) yaitu selama fase NREM aliran darah ke seluruh otak semakin

menurun.(5)

Selama fase REM aliran darah meningkat di talamus dan visual utama,

kortek motorik dan sensorik relatif menurun di prefrontal dan daerah parietal
(5)
asosiasional. Peningkatan aliran darah ke daerah visual utama dari korteks

dapat menjelaskan sifat alamiah bermimpi saat REM, penurunan aliran darah ke

korteks prefrontal dapat menjelaskan penerimaan isi mimpi.(5)

Saat ini banyak dilakukan penelitian tidur menggunakan alat

polysomnography (PSG). Elektroda yang dipakai untuk pemeriksaan tidur dengan

cara ini minimal berjumlah empat buah yaitu satu untuk melihat gambaran

gelombang dari Elektroencephalograpy (EEG) dua saluran untuk elektrokulogram

(EOG) dan satu untuk Elektromiogram (EMG). Elektroda EEG biasanya


(6)
diletakkan pada C3 atau C4. Elektrokulogram biasanya direkam dari kedua

mata dengan elektroda diletakkan 1 cm di sebelah kantus kanan dan kiri. Untuk

EEG dan EOG reference electroda diletakkan ipsilateral atau kontralateral dari

cuping telinga atau pada mastoid sedangkan EMG direkam secara bilateral dari

otot atau submental di dagu.(6)


Gambar 2.1 Gambaran polisomnografi fase tidur(7)

Gelombang tidur yang terlihat pada polisomnogram akan memperlihatkan

frekuensi dan amplitudo yang berbeda seperti terlihat pada tabel 1. Pada keadaan

perpindahan dari keadaan terjaga menuju tidur, gelombang alfa yang akan muncul

dengan frekuensi 8-13 Hz dengan amplitudo <50 mikrovolt. Gelombang teta

memiliki frekuensi 4-7 Hz dan amplitudo 50-100 mikrovolt. Spindle waves, slow

waves dan delta waves memiliki amplitudo 100-200 mikrovolt dengan frekuensi

0,5-4 Hz.(3)(4)(6)

Tabel II. Frekuensi dan amplitudo gelombang tidur(8)


Stase Frekwensi (Hz) Amplitudo (mikro Tipe gelombang

Volts)

bangun 15-50 <50

pre-sleep 8-13 50 Gelombang alfa

1 4-7 50-100 Gelombang theta

2 4-15 50-150 Gelombang sleep

splindle

3 2-4 100-150 Gelombang sleep

spindle and

gelombang slow

4 0.5-2 100-200 gelombang slow and

gelombang delta

REM 15-30 <50

Pada manusia, tidur dibagi menjadi lima fase yaitu:(3)(4)

1. Tahapan terjaga

Fase ini disebut juga fase nol yang ditandai dengan subjek dalam keadaan

tenang mata tertutup dengan karakteristik gelombang alfa (813 Hz) mendominasi

seluruh rekaman, tonus otot yang tinggi dan beberapa gerakan mata. Keadaan ini

biasanya berlangsung antara lima sampai sepuluh menit. (3)(4)

2. Fase 1
Fase ini merupakan fase perpindahan dari fase jaga ke fase tidur disebut

juga twilight sensation. Fase ini ditandai dengan berkurangnya gelombang alfa

dan munculnya gelombang teta (4-7 Hz), atau disebut juga gelombang low voltage

mix frequencies (LVM). Pada EOG tidak tampak kedip mata atau REM, tetapi

lebih banyak gerakan rolling (R) yang lambat dan terjadi penurunan potensial

EMG. Pada orang normal fase 1 ini tidak berlangsung lama yaitu antara lima

sampai sepuluh menit kemudian memasuki fase berikutnya. (3)(4)

3. Fase 2

Pada fase ini, tampak kompleks K pada gelombang EEG, sleep spindle (S)

atau gelombang delta (maksimum 20%). Elektrokulogram sama sekali tidak

terdapat REM atau R dan kedip mata. EMG potensialnya lebih rendah dari fase 1.

Fase 2 ini berjalan relatif lebih lama dari fase 1 yaitu antara 20 sampai 40 menit

dan bervariasi pada tiap individu. (3)(4)

4. Fase 3

Pada fase ini gelombang delta menjadi lebih banyak (maksimum 50%)

dan gambaran lain masih seperti pada fase 2. Fase ini lebih lama pada dewasa tua,

tetapi lebih singkat pada dewasa muda. Pada dewasa muda setelah 5 10 menit

fase 3 akan diikuti fase 4. (3)(4)

5. Fase 4
Pada fase ini gelombang EEG didominasi oleh gelombang delta

(gelombang delta 50%) sedangkan gambaran lain masih seperti fase 2. Pada fase 4

ini berlangsung cukup lama yaitu hampir 30 menit. (3)(4)

6. Fase REM .

Gambaran EEG tidak lagi didominasi oleh delta tetapi oleh LVM seperti

fase 1, sedangkan pada EOG didapat gerakan mata (EM) dan gambaran EMG

tetap sama seperti pada fase 3. Fase ini sering dinamakan fase REM yang

biasanya berlangsung 10 15 menit. (3)(4)


Gambaran fase tidur ini dapat dilihat

pada gambar 2.2 .

Fase REM umumnya dapat dicapai dalam waktu 90-110 menit, kemudian

akan mulai kembali ke fase permulaan fase 2 sampai fase 4 yang lamanya 75-90

menit. Setelah itu muncul kembali fase REM kedua yang biasanya lebih lama

dari eye movement (EM) dan lebih banyak dari REM pertama. Keadaan ini akan

berulang kembali setiap 75 90 menit tetapi pada siklus yang ketiga dan keempat,

fase 2 menjadi lebih panjang fase 3 dan fase 4 menjadi lebih pendek. Siklus ini

terjadi 4 5 kali setiap malam dengan irama yang teratur sehingga orang normal

dengan lama tidur 7 8 jam setiap hari terdapat 4-5 siklus dengan lama tiap siklus

75 90 menit. (3)(4)

2.2 Obstructive Sleep Apnea

2.2.1 Definisi Obstructive Sleep Apnea


Obstructive Sleep Apnea (OSA) adalah kondisi klinis dengan adanya

gangguan pernapasan saat tidur, Sleep-Disordered Breathing (SDB). SDB yaitu

obstruksi parsial pada saluran nafas atas. Pada anak-anak, obstruktif didefinisikan

sebagai tidak adanya aliran udara pada hidung meskipun terdapat dinding dada
(9)
dan gerakan dinding perut, setidaknya dua napas. Sebaliknya, obstructive

hypopnea penurunan aliran udara hidung sebesar 50% disertai oleh penurunan

saturasi oksigen 3%. Jumlah apneu dan hypopnea setiap jam tidur dinyatakan

sebagai indeks apnea hypopnea (AHI) di polysomnography.(9)

OSA adalah karakteristik untuk mengukur, sebagian (hypopneas),

berulang atau lengkap (apneas) obstruksi atas napas. OSA berhubungan

penurunan saturasi secara intermiten oxyhemoglobin, gangguan tidur, dan

fragmentasi tidur. Sekitar 3-12% anak sehat yang memiliki kebiasaan


(9)
mendengkur, sedangkan hanya 1- 3 % OSA. Namun harus diingat bahwa

mendengkur tidak selalu adalah OSA. Kebiasaan mendengkur biasanya tidak

memiliki obstruktif apnea, hypopnea, effort-related pernapasan arousals, atau

pertukaran gas yang abnormal. Ini karena adanya kompensasi neuromuskuler pada

anak-anak untuk mencegah obstruksi napas.(10)

Pada OSA, episode obstruksi dapat berhubungan dengan peningkatan

kolapsnya jalan napas karena faktor mekanis dan saraf. Faktor mekanis yang

paling umum pada anak-anak adalah hipertropi adenoide dan atau amandel, serta

penyempitan lumen jalan napas. Sekitar 2% dari anak-anak yang sehat memiliki

pembesaran amandel dan adenoide dapat menghalangi jalan napas. (10) (11)(12) Pada,

OSA keseimbangan obstruksi mekanis dan penurunan aktivitas dilatasi otot


faring. Saat tidur, anak-anak dengan OSA telah mengurangi kerja otot pernapasan

yang menyempit dan menghalangi jalan napas, mengakibatkan obstruksi jalan

napas bagian atas. Hypoxemia adalah gangguan jalan napas dan obstruktif

sebagian. Frekuensi episodik apnea menentukan diagnosis dan tingkat keparahan

OSA.(10) (11)(12)

2.2.2 Klasifikasi Obstructive Sleep Apnea

Klasifikasi sleep apnea berdasarkan kejadian dan etiologi terdiri dari,

pertama, Central Sleep Apnea (CSA), dimulai dari pusat kontrol pernafasan

diotak. Terjadi ketika otak tidak mengirimkan sinyal yang memadai ke otot-otot

pernafasan, sehingga otot-otot pernafasan mengalami paralisis atau kelumpuhan.

Ini biasanya terjadi pada bayi atau pada orang dewasa dengan penyakit jantung,

penyakit serebrovaskular atau penyakit herediter atau kelainan bawaan juga dapat

disebabkan oleh keracunan obat. Kedua, Obstructive Sleep Apnea (OSA), yaitu

suatu hambatan saluran pernafasan selama tidur, kedaan ini diperkirakan sekitar

4% dari pria dan 2% dari perempuan dari seluruh kasus sleep apnea ini. Dalam

sebuah penelitian orang dewasa 18 tahun yang mengalami hambatan pernafasan

selama tidur diperkirakan 1,5% dari semua angka kejadian pertahun. Yang lain

mengkhawatirkan adalah lebih 10% dari orang-orang yang mengalami serangan

ini membutuhkan perawatan khusus di Rumah Sakit. Ketiga, suatu keadaan

Gabungan dipusat persarafan pernafasan diotak dan hambatan pernafasan atau

obstruksi pernafasan.(9)(13)
2.2.3 Patofisiologi Obstructive Sleep Apnea

Ada tiga faktor yang berperan pada patogenesis OSA, pertama, obstruksi

saluran nafas daerah faring akibat pendorongan lidah dan palatum ke belakang

yang dapat menyebabkan oklusi nasofaring dan orofaring, yang menyebabkan

terhentinya aliran udara, meskipun pernafasan masih berlangsung saat tidur. Hal

ini menyebabkan apnea, asfiksia, sampai periode arousal. Terkadang pasien

tersadar selama periode apnea, dimana dalam hal ini mereka akan mengalami

sensasi tersedak yang biasa berlangsung beberapa detik. Kedua, ukuran lumen

faring yang dibentuk oleh otot dilator faring (M. Pterigoid Medial, M. Tensor Veli

Palatini, M. Genioglossus, M. Genihioid, dan M. Sternohioid) yang berfungsi

menjaga keseimbangan tekanan faring pada saat terjadinya tekanan negatif

intratorakal akibat kontraksi diafragma.(14)(15) Kelainan fungsi kontrol

neuromuskular pada otot dilator faring berperan terhadap kolapsnya saluran nafas.

Defek kontrol ventilasi di otak menyebabkan kegagalan atau bertambahnya

refleks otot dilator faring, saat pasien mengalami periode apnea hipopnea. Ketiga,

kelainan kraniofasial mulai dari hidung sampai hipofaring yang dapat

menyebabkan penyempitan pada saluran nafas atas. Kelainan daerah ini dapat

menghasilkan tekanan yang tinggi.(14)(15)

Suara mendengkur timbul akibat turbulensi aliran udara pada saluran nafas

atau akibat sumbatan. Tempat terjadinya sumbatan biasanya di basis lidah atau

palatum. Sumbatan terjadi akibat kegagalan otot-otot dilator saluran nafas atau

menstabilkan jalan nafas pada waktu tidur dimana otot-otot faring berelaksasi,

lidah dan palatum jatuh kebelakang sehingga terjadi obstruksi.(14)


Trauma pada jaringan di saluran nafas atas pada waktu mendengkur

mengakibatkan kerusakan pada serat-serat otot dan serabut-serabut saraf perifer.

Akibatnya kemampuan otot untuk menstabilkan saluran nafas terganggu dan

meningkatkan kecenderungan saluran nafas untuk mengalami obstruksi. Obstruksi

yang diperberat oleh edema karena vibrasi yang terjadi pada waktu mendengkur

dapat berperan pada progresivitas mendengkur menjadi sleep apnea pada individu

tertentu.(15)

Prinsip utama pada OSA yaitu terdorongnya lidah dan palatum ke

belakang hingga menempel pada dinding faring posterior menyebabkan oklusi

nasofaring dan orofaring. Tidur berbaring (Supine) dapat menyebabkan kolapsnya

saluran nafas akibat pergerakan mandibula, palatum mole, dan lidah kearah

belakang. Faktor struktural dan fungsional berperan penting dalam menentukan

tekanan kritis kolaps saluran nafas. Penyempitan saluran nafas akibat mikrognatia,

retrognatia, hipertrofi tonsil, makroglosia, dan akromegali juga dapat


(16)
meningkatkan resiko terjadinya OSA. Sistem saraf pusat berperan penting

dalam OSA kombinasi aktivitas otot saluran nafas atas yang menurun pada saat

tidur disertai struktur faring kecil membentuk tekanan kritis kolaps saluran nafas

atas. Aktivasi kemoreseptor oleh hipoksemia dan hiperkapnia selama apnea

mengakibatkan hiperventilasi disertai proses terbangun mendadak yang tidak

disadari. (16)

2.2.4 Faktor Resiko Obstructive Sleep Apnea


Etiologi Obstructive Sleep Apnea adalah keadaan komplek yang sering

mempengaruhi berupa neural, hormonal, muscular dan struktur anatomi,

contohnya kegemukan terutama pada tubuh bagian atas dipertimbangkan sebagai

resiko utama terjadinya Obstructive Sleep Apnea. Penambahan berat badan akan

meningkatkan gejala-gejala Obstructive Sleep Apnea. (12)(17) Pada anak biasanya

disebabkan hipertrofi tonsil dan adenoid hipertrofi. Pada orang tua cenderung

terjadi karena peningkatan deposisi lemak dan melemahnya reflek ventilasi

genioglossus.(12)(17)

Faktor resiko terjadinya:(9)(17)

a. Faktor yang diketahui:

1. Umur, prevalensi dan derajat obstructive sleep apnea meningkat

sesuai dengan bertambahnya umur

2. Jenis kelamin, resiko laki-laki untuk menderita obstructive sleep

apnea adalah 2 kali lebih tinggi dibanding perempuan sampai

menopause

3. Ukuran dan bentuk jalan nafas

- Struktur kraniofasial (palatum yang bercelah, retriposisi

mandibular)

- Mikrognathia (rahang yang kecil)

- Makroglossia (lidah yang besar), pembesarab adenotonsilar

- Trakea yan kecil (jalan nafas yang sempit)

b. Faktor resiko penyakit

Kegagalan control pernafasan yang berhubungan dengan:


1. Emfisema dan asma

2. Penyakit neuromuscular (polio, miastenia gravis)

3. Obstruksi nasal

4. Hipotiroid, akromegali, amyloidosis, paralisis pita suara, sindrom

post polio, kelainan neuromuscular, marfans dan down syndrome

c. Faktor gaya hidup

1. Merokok

2. Obesitas

2.2.5 Diagnosis Obstructive Sleep Apnea

Diagnosis OSA ditegakkan dengan melakukan anamnesis mengenai pola

tidur, pemeriksaan fisik, pemeriksaan radiologi dan pemeriksaan penunjang

khusus. Gabungan data yang akurat dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang

baik dapat mengarahkan kepada indikasi untuk melakukan pemeriksaan gold

standar OSA.(9)(18)

2.2.5.1 Anamnesis

Banyak penderita OSA tidak merasa punya masalah dengan tidurnya dan

datang ke dokter hanya karena partner tidur mengeluhkan suara mendengkur yang

keras (fase pre-obstruktif) diselingi oleh keadaan senyap yang lamanya bervariasi

(fase apneu obstruktif).(18)


1. Gejala : mendengkur, mengantuk yang berlebihan pada siang hari, tersedak,

tidur tidak nyenyak, letih dan lesu sepanjang hari, penurunan kosentrasi, ada

riwayat OSA dalam keluarga. (18)

2. Tanda : obesitas, mandibula/maksila hipoplasia, penyempitan orofaring,

pembesaran tonsil atau lidah, obstruksi nasal dan nasofaringeal. (18)

Banyak penderita OSA tidak merasa mempunyai masalah dengan tidurnya

dan datang ke dokter hanya karena partner tidur mengeluhkan suara mendengkur

yang keras (fase pre-obstruktif) diselingi oleh keadaan senyap yang lamanya

bervariasi (fase apnea obstruktif).(19)

The Epworth Sleepiness Scale digunakan untuk menilai mengantuk pada

siang hari. OSA disuspek pada pasien dengan skor diatas 10. (19)

Tabel III. Epworth Sleepiness Scale(16)

SITUASI SKALA PERUBAHAN

Duduk dan membaca

Menonton TV

Duduk santai di tempat umum

Sebagai penumpang di mobil 1 jam

tanpa istirahat

Bersantai di siang hari di sela sela

kesibukan
Duduk dan berbicara dengan orang lain

Duduk sehabis makan siang

Berhenti beberapa detik di kemacetan

ketika sedang mengendarai mobil

Penilaian skor Epworth sleepiness scale

0 = tidak ada perubahan mengantuk

1 = perubahan mengantuk ringan

2 = perubahan mengatuk sedang

3 = perubahan mengantuk berat

2.2.5.2 Pemeriksaan Fisik

Pengukuran BMI, tekanan darah, dan lingkaran lilit leher adalah parameter

yang penting dalam parameter pemeriksaan OSA. Dari pemeriksaan fisik harus di

identifikasi posisi dan ukuran tulang maksilla dan mandibula dan karakteristik

fasial juga harus diidentifikasikan.(16)(18)

Pemeriksaan fisik dilakukan pada hidung, orofaring, hipofaring, laring,

leher untuk menentukan adanya obstruksi pada bagian tersebut:(20)

1. Hidung : deviasi septum, hipertrofi adenoid, tumor atau polip

nasal, hipertrofi konka(19)

2. Orofaring : palatum molle yang besar, hipertrofi tonsil palatine,

makroglosia, penebalan(banding) dinding posterior faring(20)


3. Hipofaring : Collapse dinding faring lateral, tumor hipofaring,

hipertrofi tonsil lingual, retrognathia dan micrognathia(20)

4. Laring : paralisis pita suara, tumor laring(20)

5. Leher : ukur lingkar leher (20)

2.2.5.3 Pemeriksaan Penunjang

1. Fiberoptic Nasopharyngoscopy

Fiberoptik nasopharingoscopy adalah teknik yang digunakan untuk

evaluasi jalan nafas. Alat ini adalah penting untuk identifikasi tempat dan lokasi
(16)(20)
obstruktif : nasal, retropalatal atau retrolingual. Kebaikan dan limitasi

Muller manuver juga digunakan untuk pemeriksaan untuk prediksi preoperatif

terhadap keefektifan intervensi bedah berdasarkan beberapa study yang dilakukan.

Muller manuver dilakukan pada pasien sadar yang menghasilkan tekanan negatif

dengan melakukan inhalasi-inspirasi dengan menutup mulut dan hidung yang

akan menyebabkan kolaps pada saluran nafas.(16)(20)

2. X-foto Cephalometric

Merupakan pemeriksaan 2 dimensi yang dihasilkan memberikan informasi

tulang rangka dan jaringan lunak. Ini bisa mengkonfirmasi pasien OSA melalui

displacement tulang hioid ke inferior, ruang udara posterior yang sempit, palatum

molle yang lebih panjang dari pasien non-OSA.(21)

3. Oksimetri

Pemeriksaan Oksimetri pada saat tidur malam hari sebagai skrining OSA.
Memiliki sensitivitas sebesar 31%. Kombinasi dari semua faktor di atas dapat

meningkatkan kemampuan prediksi antara 60-70%.(22)

4. Polisomnografi

Gold standard untuk diagnosis OSA adalah melalui pemeriksaan tidur

semalam dengan alat polysomnography (PSG). Parameter-parameter yang

direkam pada polisomnogram adalah electroencephalography (EEG),

electroocculography (pergerakan bola mata), electrocardigraphy (EKG),

electromyography (pergerakan rahang bawah dan kaki), posisi tidur, aktivitas

pernafasan dan saturasi oksigen. Karakteristik OSA pada saat dilakukan PSG

adalah penurunan saturasi oksigen berulang, sumbatan sebagian atau komplit dari

jalan nafas atas, yang disertai dengan > 50%, penurunan amplitudo pernafasan,

peningkatan usaha pernafasan sehingga terjadi perubahan stadium tidur menjadi


(18)(22)(23)
lebih dangkal dan terjadi desaturasi oksigen. Sebelum dilakukan PSG,

pasien akan diminta kesediaannya untuk mengisi kuisioner berlin, bertujuan untuk

menjaring pasien yang mempunyai risiko tinggi terjadinya OSA. Kuisioner ini

terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama berisi tentang apakah mereka mendengkur,

seberapa keras, seberapa sering, dan apakah sampai mengganggu orang lain.

Bagian kedua berisi tentang kelelahan setelah tidur, seberapa sering merasakan

lelah, pernahkah tertidur saat berkendaraan. Bagian ketiga berisi tentang riwayat

hipertensi, berat badan, tinggi badan, umur, jenis kelamin, dan body mass index

(BMI). Seseorang dinyatakan beresiko tinggi OSA bila memenuhi paling sedikit 2

kriteria diatas. Kuisioner ini memiliki validitas yang tinggi.(18)(22)(23)


Saat ini, polisomnografi tidak lagi hanya menjadi sebuah pemeriksaan

penunjang, tetapi telah menjadi modalitas diagnosa standar bagi berbagai

gangguan tidur, termasuk OSA. Konfirmasi diagnosa dan tingkat keparahan OSA

melalui polisomnografi sangat direkomendasikan sebelum intervensi terapi

dilakukan.(24)

Polisomnografi atau studi tidur (sleep study) merupakan suatu tes

multiparameter yang dilakukan untuk mendapatkan rekaman komprehensif

mengenai perubahan-perubahan biofisikal yang terjadi pada tubuh seseorang

selama fase tidur. Hal ini dilakukan selama tidur malam (nocturnal sleep), di

bawah supervisi dari seorang teknisi dan dapat dilakukan dalam sebuah

laboratorium, rumah sakit, rumah pasien, atau bahkan hotel.(25)

Mekanisme

Peralatan yang dipakai dalam polisomnografi:(12) (26)

1. Elektroensefalografi (EEG)

Memiliki 6 elektroda eksplorasi yang dilekatkan dengan pasta khusus,

masing-masing 2 buah di scalp frontal, sentral dan oksipital. EEG

memberikan rekaman aktivitas otak selama tidur, berupa beberapa

gelombang yang khas terjadi dalam fase tidur tertentu. (12) (26)

2. Elektrookulografi (EOG)

Memiliki 2 elektroda yang diletakkan 1 cm di atas batas terluar canthus

okuli dekstra dan 1 cm di bawah batas terluar canthus okuli sinistra. EOG
memberikan rekaman perbedaan elektropotensial antara kornea dan retina

selama tidur. (12) (26)

3. Elektromiografi (EMG)

Memiliki 6 elektroda yang diletakkan di dahi (2 buah), di atas dagu (1

buah), di bawah dagu (1 buah) dan di daerah tibialis anterior (2 buah).

EMG mengukur tegangan otot-otot tubuh dan memonitor pergerakan kaki

selama tidur. (12) (26)

4. Elektrokardiografi (EKG)

Elektroda yang dipakai biasanya hanya 2 sampai 3 buah dan diletakkan di

dada. EKG mengukur aktivitas elektrik jantung. (12) (26)

5. Pressure transducer atau thermocouple, lengkap dengan ikat pinggangnya.

Alat ini diletakkan di dalam atau dekat dengan nostril dan berfungsi

mengukur kecepatan respirasi dan mengetahui adanya interupsi pernafasan.

Ikat pinggang di dada yang melebar selama pernapasan memberikan input

tentang usaha napas (respiratory effort) yang terjadi. (12) (26)

6. Pulse oxymetri

Diletakkan di jari atau cuping telinga. Alat ini akan mendeteksi perubahan

saturasi oksigen darah dengan mengukur banyakna oksihemoglobin dalam

darah. (12) (26)

7. Video monitor
Berfungsi memantau aktivitas tidur pasien. (12) (26)

8. Perekam suara

Diletakkan di leher dan berfungsi merekam suara ngorok (snoring) yang

terjadi. (12) (26)

Prosedur(16)(27)

1. 1 minggu sebelum pemeriksaan, beberapa persiapan harus dilakukan

pasien: (16)(27)

o Mempertahankan siklus bangun-tidur regular

o Menghindari konsumsi pil tidur

o Menghindari konsumsi alkohol

o Menghindari konsumsi stimulant

o Menghindari latihan dan aktivitas yang menguras tenaga

2. Pasien datang ke tempat pemeriksaan pada sore hari.

3. 1-2 jam pertama dilakukan introduksi dan pemasangan elektroda.

4. Perekaman data mulai dilakukan saat pertama lampu dimatikan.

5. Hasil perekaman dijadikan data yang akan diolah oleh sebuah sistem

operasi komputer, dan akan ditampilkan secara tertulis dalam sebuah

kertas dengan format khusus yang memuat hasil bacaan seluruh peralatan

detik per detik, yang disebut polisomnogram. Untuk mempermudah

pembacaan dan interpretasi, dalam hasil bacaan kertas dibuat batas tiap 30

detik yang disebut epoch. (16)(27)


6. Studi PSG dilakukan selama 8 jam dari jam 10 malam hingga keesokan

jam 7 pagi. (16)(27)

Hasil(16)(28)

1. Sleep onset latency

Awal mula tidur dihitung dari waktu pertama lampu dimatikan.

Awal mula tidur ditentukan dengan kriteria EEG, Normal: 20 menit. (16)(28)

2. Sleep efficiency (efisiensi tidur)

Rasio waktu tidur (dalam menit) dibandingkan dengan waktu yang

dihabiskan di tempat tidur (dalam menit), Normal: 85-90%.(16)(28)

3. Sleep stages (stadium tidur)

Stadium tidur ditentukan dari hasil EKG, EOG dan EMG.

Berdasarkan hasil tersebut, tidur dibagi menjadi 3 fase, yaitu fase bangun,

non-REM dan REM. Fase non-REM dibagi lagi menjadi stadium 1 sampai

4. Penilaian tiap fase dan stadium ini memperhitungkan berbagai hal,

mulai dari gelombang khas EEG, gerakan mata dalam EOG dan tonus otot

dari EMG. (16)(28)

4. Breathing irregularities (irregularitas pernafasan)

Irregularitas pernapasan dinilai berdasarkan beberapa kriteria yang

tegas. Terdapat beberapa pedoman dasar dalam penilaian tersebut: (16)(28)


o Tiap gangguan pernafasan harus diukur sampai pada fase REM jika

pasien dapat mencapai fase tersebut. Hal ini dikarenakan pada fase

REM terjadi penurunan tonus otot-otot pernafasan sehingga

gangguan pernafasan, terutama obstruksi dapat terlihat lebih jelas

dan berat pada fase ini.

o Tiap gangguan pernafasan harus memiliki durasi minimal 10 detik.

o Tiap gangguan pernafasan harus menyebabkan penurunan saturasi

oksigen minimal 3%.

o Arousal (perubahan tiba-tiba aktivitas otak atau gelombang EEG)

umumnya terjadi pada sebagian besar gangguan pernafasan.

Setiap gangguan pernafasan yang terjadi harus memenuhi 4 kriteria dasar

di atas selain kriteria diagnosanya sendiri. Beberapa kriteria diagnosa

tersebut adalah: (16)(28)

Abnormalitas ritme jantung

Pergerakan kaki

Posisi tubuh selama tidur

Interpretasi polisomnogram tetap harus dilakukan dengan

memperhitungkan faktor-faktor lain, misalnya: (16)(28)

Riwayat kesehatan pasien

Obat-obatan yang sedang dikonsumsi

Waktu makan terakhir


Diagnosa OSA berdasarkan polisomnogram: (16)(28)

Skor AHI (Apnea-Hypopnea Index) minimal 5 kali per jam.

AHI merupakan penjumlahan dari AI (Apnea Index = jumlah episode

obstructive apnea yang terjadi per jam) dan HI (Hypopnea Index = jumlah

episode hypopnea yang terjadi per jam). (16)(28)

Tingkat keparahan OSA juga dinilai berdasarkan skor AHI:

o OSA ringan: AHI 5-15

Mengantuk involunter selama aktivitas yang membutuhkan

sedikit atensi, seperti nonton TV atau membaca. (16)(28)

o OSA sedang: AHI 15-30

Mengantuk involunter selama aktivitas yang membutuhkan

atensi yang cukup, seperti pada rapat atau presentasi. (16)(28)

o OSA berat: AHI lebih dari 30

Mengantuk involunter selama aktivitas yang membutuhkan

atensi yang lebih aktif, seperti berbicara atau menyetir. (16)(28)


Gambar 2.2 Polisomnografi(29)
2.2.6 Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Durasi Tidur Dalam Pada Pasien

OSA (18)(28)(29)

2.2.6.1 Umur

Arsitektur tidur pada usia 50 tahun berubah secara signifikan. Inisiasi tidur

menjadi lebih sulit, durasi tidur dalam, waktu tidur total dan efisiensi tidur

berkurang, gelombang delta menurun, dan fragmentasi tidur meningkat.

Perubahan fisiologis alami pada siklus sirkadian menyebabkan kebanyakan orang

tua tidur lebih awal dan bangun lebih pagi. Hal ini dapat memperburuk kualitas

dan kuantitas tidur. Dengan penuaan, durasi tidur dalam menurun sedangkan

latensi tidur menetap, sehingga lebih cenderung mengantuk. (18)(28)(29)

2.2.6.2 Jenis Kelamin

Lakilaki mempunyai tahanan faring lebih tinggi ketika bangun dan celah

faring lebih kecil sehingga respon ventilasi yang menyebabkan terjadinya

hiperkarbia dan hipokia lebih besar pada lakilaki. Pada beberapa kesempatan

keaadaan hiperkarbia dan hipoksia pada saat tidur mengganggu dari durasi tidur

penderita. Faktor adanya hormon estrogen juga diduga berperan dalam fase tidur.
(19)

2.2.6.3 Lingkar Leher

Lingkar leher yang kecil beresiko dalam obstruksi saluran napas daerah

faring akibat pendorongan lidah dan palatum ke belakang yang dapat

menyebabkan oklusi nasofaring dan orofaring, yang menyebabkan terhentinya


aliran udara, meskipun pernapasan masih berlangsung pada saat tidur. Sehingga

timbul apnea, asfiksia sampai periode arousal atau proses terbangun yang singkat

dari tidur dan terjadi perbaikan patensi saluran napas atas sehingga aliran udara

dapat diteruskan kembali. Dengan perbaikan asfiksia, penderita tidur kembali

sampai kejadian berikutnya terulang kembali dan pada akhirnya mempengaruhi

kualitas tidur penderita.(29)

2.2.6.4 Obesitas

Peningkatan deposit lemak disekelilng leher dan ruang parafaring

menyebabkan penyempitan dan kompresi salur napas atas dan

mengganggu otot dilator yang mempertahankan patensi salur napas atas.

Obesitas bisa mengurangi volume paru yang menyebabkan pengurangan

functional residual capacity. (29) Perubahan dalam volume paru secara

signifikan menurunkan ukuran faring saluran nafas atas melalui efek

mekanikal traksi trakea dan toraks. obesitas mungkin disebabkan

perkembangan perubahan seperti pengurangan dalam nada saluran nafas atas dan

perubahan struktur anatomi. Waktu tidur, mekanisme pernafasan mengalami

perubahan saat inspirasi. Otot-otot dilator faring berkontraksi 50 mili-detik

sebelum kontraksi otot pernafasan, sehingga lumen faring tidak kolaps akibat

tekanan intrafaring yang negatif oleh karena kontraksi otot dinding dada dan

diafragma. (29)

Saat tidur aktivitas otot dilator faring yang strukturnya sangat lentur relatif

tertekan (relaksasi) sehingga ada kecenderungan lumen faring menyempit pada


saat inspirasi. Saat inspirasi, tekanan intralumen menjadi negatif guna menyedot

udara dari luar kedalam paru. Tekanan negatif cenderung menyebabkan kolaps

otot-otot saluran nafas atas. Di sisi lain, tekanan negatif pula yang mengaktivasi

otot fasik (genioglossus) untuk melawan kolaps sehingga jalan nafas tetap terbuka

ketika ekspirasi. Tekanan negatif pada saluran nafas mengaktivasi mekanoreseptor

yang terletak pada laring. Kemudian, menghantarkan rangsang aferen ke saraf

laringeal superior. Akhirnya Perubahan anatomi saluran nafas atas mempengaruhi

pola tidur dari penderita. (29)

2.2.6.5 Merokok

Asap rokok memicu inflamasi selama tidur selain itu juga menimbulkan

kerusakan mekanik dan saraf pada saluran napas atas, serta meningkatkan resiko

kolaps otot-otot faring selama tidur. (16)(28) Paparan rokok yang berlebihan dapat

memberikan inflamasi pada saluran nafas, selanjutnya terjadi edema pada saluran

pernafasan sehingga mennyebabkan obstruksi pada sluran pernafasan, dengan

adanya obstruksi pada saluran pernafasan menyebabkan berkurangnya durasi tidur

dalam pada seseorang. (16)(28)

2.3 Vitamin B12

Cobalamin atau biasa disebut vitamin B12 adalah sebuah vitamin yang

larut dalam air yang berperan penting dalam mengoptimalkan kerja otak dan

sistem saraf, serta dalam pembentukan darah. Vitamin B12 ini merupakan salah

satu dari 8 vitamin B. Umumnya, vitamin ini terlibat dalam metabolism setiap sel
tubuh, terutama dalam sintesis dan regulasi DNA serta pada sintesis asam lemak

dan produksi energi.(34)

Vitamin B12 merupakan kumpulan senyawa-senyawa yang terhubung

secara kimia, yang semuanya memiliki aktivitas sebagai vitamin. Secara

struktur, vitamin B12 adalah vitamin yang paling kompleks dan mengandung

elemen kobal yang jarang tersedia secara biokimia.(35) Biosintesis dari struktur

dasar vitamin ini hanya dapat dilakukan oleh bakteri, namun konversi antara

bentuk-bentuknya yang berbeda dapat terjadi dalam tubuh. Suatu bentuk sintesis

yang umum dari vitamin ini, sianokobalamin, tidak terjadi di alam, namun

digunakan dalam banyak sediaan farmasi dan suplemen, dan juga sebagai bahan

tambahan makanan karena kestabilannya dan harganya yang lebih murah. Dalam

tubuh, vitamin ini diubah menjadi bentuk dengan membuang gugus sianida nya

walaupun dalam konsentrasi minimal. Baru-baru ini, hidroksokobalamin (suatu

bentuk kobalamin yang dihasilkan dari bakteri), metilkobalamin, dan

adenosilkobalamin juga dapat ditemukan pada produk farmakologi dan

suplemen makanan yang mahal. Kegunaaan dari zat-zat ini masih

diperdebatkan.(34)(35)

Dalam sejarahnya, vitamin B12 ditemukan dari hubungannya dengan

penyakit anemia pernisiosa, sebuah penyakit otoimun yang menghancurkan sel-sel

parietal dalam perut yang mensekresi faktor intrinsik. Faktor intrinsik ini sangat

penting dalam absorpsi normal vitamin B12, sehingga kekurangan faktor intrinsik,

yang tampak pada anemia pernisius, disebabkan oleh kekurangan vitamin

B12.(36) Faktor ekstrinsik vitamin B12 kemudian dapat diisolasi dari hati.
Peranan sentral lambung dalam absorpsi vitamin B12 mengisolasi fakor intrinsik,

suatu glikoprotein yang dikeluarkan sel-sel mukosa lambung.(37)

Anemia Pernisiosa pertama kali dijelaskan oleh Thomas Addison (1855)

di Amerika Serikat, sebagai penyakit yang awalnya tidak terlihat dan diderita

manusia pada usia setengah tua atau tua. Murot dan Murphy pada tahun 1926

mendapat nobel karena temuannya bahwa anemia pernisiosa adalah penyakit

gangguan gizi yang dapat disembuhkan dengan pemberian makanan yag

mengandung 100-200 gram hati sapi. Temuan ini dilanjutkan dengan

pembuatan ekstrak hati dalam larutan air, yang bila diberikan melalui

Searching Machine suntikan ternyata dapat menyembuhkan penyakit ini.(38)

2.3.1 Struktur Vitamin B12

Struktur vitamin B12 ( dikenal juga dengan sebutan Kobalamin ) bersifat

kompleks. Vitamin ini memiliki cincin corrin, yang serupa dengan cincin forfirin

pada hem. Namun cincin corrin berbeda dengan hem, karena dua dari empat

cincin pyrol disatukan disatukan secara langsung dan bukan melalui jembatan

metilen. Cirinya yang paling tidak lazim adalah adanya Cobalt, yang terkoordinasi

dengan cincin corrin ( serupa dengan besi yang terkoordinasi dengan cincin

forfirin). Kobalt ini dapat membentuk ikatan dengan sebuah atom karbon. Pada

gambar dapat dilihat ikatan antara Co dengan CN dimana Co sendiri berikatan

dengan C, sesuai dengan definisi senyawa organologam di mana logam yang

berikatan langsung dengan karbon dikatakan sebagai senyawa organologam. (39)


Gambar 2.3 Struktur vitamin B 12(39)

Vitamin B12 atau kobalamin terdiri atas cincin mirip-porfirin seperti hem,

yang megandung kobalt serta terkait pada ribosa dan asam folat. Bentuk sintetik

siano-kobalamin, terdapat dalam jumlah sedikit dalam makanan dan jaringan

tubuh. Bentuk utama vitamin B12 dalam makanan adalah

5-deoksiadenosilkobalamin, metilkobalamin dan hidroksokabalamin.(35)(40)

Vitamin B12 adalah kristal merah yang larut dalam air. Warna merah

karena kehadiran kobalt. Vitamin B12 secara perlahan rusak oleh asam encer,

alkali, cahaya, dan bahan-bahan pengoksidasi dan pereduksi. Pada pemanasan,

kurang lebih 70% vitamin B12 dapat dipertahankan. Sianokobalamin adalah

bentuk paling stabil dan karena itu diproduksi secara komersial dari fermentasi

bakteri.(41)
2.3.2 Sumber Vitamin B12

Semua vitamin B12 alami diperoleh sebagai hasil sintesis bakteri, fungi

atau ganggang. Sumber utama vitamin B12 adalah makanan protein hewani yang

memperolehnya dari hasil sintesis bakteri di dalam usus, seperti hati, ginjal,

disusul oleh telur, susu, ikan, keju dan daging. Vitamin B12 dalam sayuran ada

bila terjadi pembusukan atau pada sintesis bakteri. Vitamin B12 yang terjadi

melalui sintesis bakteri pada manusia tidak dapat diabsorpsi karena sintesis terjadi

di dalam kolon. Bentuk vitamin B12 dalam makanan terutama sebagai

metilkobalamin dan sedikit sekali sebagai sianokobalamin.(42)

Vitamin B12 atau kobalamin selain di temukan dalam berbagai jenis

makanan, juga sering diproduksi di laboratorium sebagai hidroxikobalamin, yang

merupakan salah satu bentuk kobalamin, karena proses produksinya yang mudah

dan murah. Angka kecukupan gizi vitamin B12 untuk orang dewasa adalah 2,4

mikrogram. Jumlah ini mudah didapatkan dari makanan sehari-hari.(43)

2.3.3 Metabolisme Vitamin B12 Dalam Pengaturan Tidur

Vitamin B12 terikat pada protein makanan dan harus di pecah oleh pepsin

di lambung. Vitamin B12 lalu bergabung dengan R protein (kobalophilins) di

lambung dan berlanjut ke usus kecil, dimana protein R terhidrolisasi oleh faktor

intrinsik. Protein spesisfik untuk vitamin B12 diproduksi di lambung dan

mengikat kobalamin. Penyerapan dan metabolisme vitamin B12 tergantung dari

beberapa faktor seperti suplementasi vitamin B12, adanya penyakit hepar kronik,
kerusakan ginjal, penggunanaan obat obatan antasid. Mayoritas vitamin B12

diabsorbsi dengan transpor aktif, hanya sekitar 1% yang dapat di absorbsi dengan

difusi sederhana. Faktor intrinsik dapat mengikat empat rantai kobalamin dalam

ikatan faktor intrinsik- kobalamin, dimana vitamin akan masuk ke dalam sel darah

merah melibatkan pengikatan reseptor membran spesifik di brush-border

ileum..(39)

Absorbsi di usus dimediasi faktor intrinsik di mana terlarut 1.5-2g

kobalamin di bawah kondisi fisiologis. Zat makanan akan menstimulasi sekresi

asam dan faktor intrinsik. Disamping jumlah intrinsik faktor, jumlah dari reseptor

kobalamin-faktor intrinsik di usus adalah salah satu faktor yang membatasi

penyerapan dari kobalamin sesuai permintaan fisiologis. (16)(28) Dibawah kondisi

yang cukup baik, orang sehat dapat menyerap lebih dari 10g kobalamin per hari.

Ketika pemberian kobalamin secara oral meningkat, fraksi kobalamin yang

terserap menurun melebihi garis ambang batas. Ketika faktor intrinsik terlebihi,

penyerapan kobalamin menjadi keadaan yang tergantung dari mekanisme tidak

spesifik dimana kurang efisien ( 1-2% dari dosis).(44)

Setelah terserap di lambung, vitamin B12 terlibat 2 proses metabolisme

sebagai koenzym:(41)

a. Kobalamin di dalam siklus methionin

Kobalamin terlibat di dalam konversi homocystein menjadi methionin

di dalam siklus methionin. Homocystein di konversi menjadi methionin

dengan merubah 5-methyl-tetrahydrofolate (THF) menjadi N5, 10-


methylene-THF dimana diperlukan dalam sintesis de novo dari asam

thymidylic dan formasi DNA. (16)(28)

b. Kobalamin di dalam siklus methylmalonyl CoA mutase

Dua molekul kobalamin di dalam bentuk adenosyl kobalamin

diperlukan untuk merubah metylmalonyl CoA menjadi succinyl CoA,

dimana merupakan perantara siklus TCA melalui enzim methylmalonyl

CoA mutase, dimana propinoil CoA dirubah menjadi d-methylmalonil

CoA. Succinyl CoA penting untuk pembentukan hemoglobin, yang

penting untuk membawa oksigen di dalam darah. (44)

Vitamin B12 diperlukan untuk sintesis asam nukleat di dalam tubuh kita.

Defisiensi vitamin B12 disebabkan kurangnya faktor intrinsik, peningkatan pH di

usus kecil dan kurangnya absorbsi di ileum terminal. Ketika sintesis DNA/ RNA

meningkat, penghambatan perubahan sel progenitor di sumsum tulang,

menyebabkan pembesaran eritroblas yang terdiri dari kromatin. Megaloblas

memiliki fungsi dalam hemolisis intermedular. Hasil ini menyebakan eritripoesis

yang tidak efektif dan perubahan eritrosist menjadi makrositik dimana umur

eritrosist tersebut menjadi lebih pendek.(45)

Penyebab utama defisiensi vitamin B12 adalah malabsorbsi

dikarenakan produksi yang tidak adekuat dan sekresi faktor intrinsik. Anemia

megaloblastik disebut juga anemia pernisiosa. Pengurangan produksi faktor

intrinsik dapat menyebabkan penghancuran sistim imnunitas, perusakan sel

parietal di lambung sehingga memicu aging pada pasien. Tindakan Gastrectomy


dapat menurunkan faktor intrinsik secara signifikan. Suatu keadaan kelainan

kongenital autosomal resesif dapat menyebabkan defisiensi faktor intrinsik tanpa

melalui proses kerusakan di sel parietal lambung.(38)(42)(43)

Anemia pernisiosa biasa terjadi pada wanita dewasa, terutama umur 60

tahun ke atas. Gejala dapat meliputi gangguan pencernaan, kulit pucat, glositis,

ikterus ringan, nyeri kepala, dyspnue, nyeri dada, malaise, gangguan sisitem saraf

tepi, dan vertigo ketika sedang melalkuakan aktifitas. Gejala dapat ringan dan

berjalan secara lambat, membuat sulit pasien untuk mengenali gejala tersebut.
(44)(46)
Anemia pernisiosa sering ditemukan bersama dengan kelainan autoimun.

Untuk mendiagnosis anemia pernisiosa, seorang dokter harus melakukan

anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium secara akurat.

Pemeriksaan darah lengkap, darah tepi, serum vitamin B12, serum anti faktor

intrinsik, tes shilling, dan pemeriksaan endoskopi. Anemia pernisiosa dapat

diberikan diet yang seimbang dan suplementasi dari vitamin B12. Pengobatan

jangka panjang dan pengendalian komplikasi perlu dilakukan. Pengobatan harus

dimulai seawal mungkin karena defisiensi vitamin B12 dapat menyebabkan

kerusakan sel saraf secara permanen. (44)(46)

Ketika ikatan vitamin B12 dengan faktor intrinsik telah dikenali oleh

reseptor spesifik di ileum terminal, dapat berdifusi secara transpor aktif lalu

mengikuti sirkulasi portal ke hepar. Lalu vitamin B12 dirubah menjadi

transcobalamin dan berikatan dengan plasma transporter. (44)(46) Di hepar melalui

methionin syntase transkobalamin di pecah menjadi methionin dan


sianokobalamin, dimana methionin bersama ATP dan ion Mg membentuk SAM

dan tryptofan. Metabolisme SAM melalui mekanisme, pertama methylisasi

dimana hasil akhir dapat berfungsi untuk pembentukan hormon hormon didalam

tubuh, pembentukan fosfatidilkolin, aktivasi transkripsi, kedua mekanisme

poliamin dimana produk akhir berupa spermidine, putresin yang berfungsi untuk

ekspresi gen, pertumbuhan sel, homeostasis Ca, regenerasi sel. Ketiga

transulfurasi dimana hasil akhir berupa sulfat, gluthation, taurin yang berfungsi

sebagai antioksidan, melindungi hepar dan mencegah terjadinya cholestasis.(38)(47)

Pada malam hari tryptofan bersama tryptofan hidroksilase membentuk S-

Hydroksitriptofan. Lalu S-hidroksitriptofan membentuk serotonin, serotonin

bersama SAM membentuk N-asetilserotonin yang pada akhirnya menjadi

melatonin. Melatonin merupakan hormon alami yang dihasilkan dalam tubuh

yang merupakan antioksidan poten. (37)(46)(48) Melatonin dihasilkan di dalam tubuh

pada kelenjar pineal. Selain kelenjar pineal adalah retina, kulit, usus, dan sumsum

tulang belakang. Kelenjar pineal terletak di tengah struktur otak di belakang

ventrikel ketiga. Dalam kelenjar pineal, terdapat dua tipe sel yaitu pinealocytes,

yang dibedakan menjadi terang dan gelap yang berfungsi menghasilkan indolamin

(terutama melatonin) dan peptida, dan sel neuroglial.(37)(46)(48)


Melatonin melakukan banyak fungsi fisiologisnya dengan bekerja pada

reseptor membran dan nukleus.(49) Namun, banyak dari fungsi tersebut yang tidak

tergantung pada reseptor, seperti perlawanan terhadap radikal bebas, dan

berinteraksi dengan protein sitosol misalnya calmodulin.(49)(50) Melatonin

memiliki dua reseptor yaitu MT1 dan MT2 yang merupakan reseptor reseptor

membran yang memiliki tujuh domain membran dan termasuk dalam keluarga

besar dari reseptor reseptor G protein-coupled. Aktivasi dari reseptor ini akan

menginduksi berbagai respon yang dimediasi oleh pertussis-sensitive dan

insensitive G proteins. Sementara di dalam sitosol, melatonin berinteraksi dengan

calmodulin.(51)(52) Nuclear binding receptors telah diidentifikasikan di dalam

limfosit dan monosit manusia. Selain itu melatonin juga berfungsi mengatur

durasi tidur. Pada pasien dengan kadar melatonin yang rendah mempunyai durasi

tidur dalam yang rendah.(53) Sekresi melatonin mengikuti irama sirkadian dan

dapat dipengaruhi oleh siklus terang gelap, dimana pada kondisis gelap

pinealocytes akan mensekresi melatonin. Sekresi melatonin dimulai pada pukul

21.00 22.00 dan memuncak pada 22.00 04.00, Konsentrasi terendah melatonin

didapatkan pada pukul 07.00 09.00 pagi.(54) Konsentrasi melatonin sangat

bergantung pada umur. Bayi yang berumur kurang dari 3 bulan mensekresi

melatonin dalam jumlah yang sangat kecil dan menjadi teratur setelah 3 bulan

kelahiran.(55) Sekresi melatonin pada bayi berumur kurang dari 3 bulan belum

optimal. Sekresi ini menjadi semakin teratur setelah usia 3 bulan yang kemudian

meningkat mengikuti irama sirkadian pada usia 5 6 bulan. Sekresi melatonin

tertinggi (rata - rata 250 pg/ml) adalah pada umur 1-3 tahun..(56) Mendekati usia
pubertas, sekresi melatonin akan mulai berkurang. Pada orang dewasa muda

normal, rerata sekresi melatonin pada siang hari berkisar pada 10 pg/ml dan 60

pg/ml pada malam harinya. Siklus harian melatonin sebanding dengan siklus pagi

hingga malam dan bertahan pada subjek normal jika menetap di suasana gelap.

Sekitar 90% melatonin pada manusia diekskresi dari dalam tubuh melalui hepar,

dimana sel hepar membentuk 6-hydroxymelatonin sebagai sisa metabolisme yang

kemudian diubah menjadi 6-sulfatoxymelatonin dan glucuronide. Sejumlah kecil

melatonin akan dibuang melalui urin dan air liur.(57)(58)(59)


2.4. Kerangka Teori

Dalam keadaan normal sebanyak kurang lebih 70% vitamin B12 yang

dikonsumsi dapat diabsorpsi. Dalam lambung kobalamin dibebaskan dari

ikatannya dengan protein oleh cairan lambung dan pepsin, kemudian segera diikat

oleh protein-protein khusus dalam lambung. Vitamin B12 dilepas dari faktor R di

dalam duedonum yang bersuasana alkali, oleh enzim-enzim protease pancreas

terutama tripsin untuk segera diikat oleh faktor intrinsik (IF). Kompleks vitamin

B12-IF ini kemudian diikat oleh reseptor khusus pada membran mikrovili ileum

usus halus dan diabsorpsi. Di dalam sel mukosa usus halus vitamin B12

dilepas dan dipindahkan ke protein lain (transkobalamin II atau TC-2) untuk

kemudian dibawa ke hati.(60) Vitamin B12 yang terikat pada TC-2 kemudian

dibawa ke jaringan-jaringan tubuh oleh resptor-reseptor khusus. Lebih 95% dari

vitamin B12 di dalam sel berada dalam keadaan terikat pada enzim metionin

sintetase yang ada dalam sitoplasma sel atau pada enzim metilmalonil-KoA

mutase yang terdapat dalam mitokondria sel.(61) Vitamin B12 yang terdapat di

dalam cairan empedu dan sekresi saluran cerna lain disalurkan kembali melalui

sirkulasi entero hepatic.(62)

Metionin diperlukan dalam sintesis S-adenosilmetionin (SAM) satu-

satunya donor pada sejumlah reaksi metilasi yang melibatkan protein, fosfolipid,

dan amino biogenik. Saat transfer kelompok metilnya, SAM dikonversi menjadi

S-adenosilhomosistein (SAH). Selanjutnya terutama penting pada otak dan

khususnya bersandar pada pemeliharaan konsentrasi S-adenosilmetionin yang


pada gilirannya, memelihara reaksi metilasi dimana inhibisi dipertimbangkan

menyebabkan kekurangan produksi hormon, termasuk hormon melatonin, Pada

malam hari S-adenosylmethionin dirubah menjadi Hydroxyindole 0- Methyl

tranferase bersama N-Asetylserotonin (NAS) membentuk hormon melatonin.(62)

Pembentukan hormon melatonin dipengaruhi S-adenosyl methionin (SAM), orang

dengan defisiensi vitamin B12 mempunyai gangguan dalam pembentukan hormon

yang dibentuk di kelenjar pineal, termasuk hormon melatonin. Pasien dengan

obstructive sleep apnea, mempunyai kadar melatonin yang lebih rendah pada

malam hari, sehingga menyebabkan gangguan irama tidur. Beberapa penelitian

terakhir, penggunaan CPAP pada orang dengan obstructive sleep apnea

membantu peningkatan melatonin plasma.(63) Penderita obstructive sleep apnea

apabila diperiksa dengan polisomnografi mempunyai arsitektur tidur yang tidak

normal, terutama menurunnya fase tidur 3 dan 4 yang mana merupakan fase tidur

dalam. Hasil beberapa penelitian juga menggambarkan berkurangnya durasi tidur

dangkal maupun secara keseluruhan atau total.(54)

Pria lebih beresiko tinggi mengalami Obstructive Sleep Apnea

dibandingkan dengan wanita. Hal itu mungkin berhubungan dengan pengaruh

hormonal.(64) Teori ini di dukung dengan penemuan bahwa wanita post

menopause lebih beresiko mengalami Obstructive Sleep Apnea dibandingkan

dengan wanita premenoupause.(64) Prevalensi Obstructive Sleep Apnea lebih tinggi

pada usia tua dibandingkan dengan usia muda. Asap rokok memicu inflamasi

selama tidur selain itu juga menimbulkan kerusakan mekanik dan saraf pada

saluran napas atas, serta meningkatkan resiko kolaps otot-otot faring selama tidur.
Kebiasaan minum alkohol lebih dari sama dengan 2 sloki terbukti bisa memicu

terjadinya apneu pada individu normal/asimptomatik. Alkohol memperpanjang

durasi apneu, memperberat hipoksemia, menurunkan fase tidur dalam. (64)

Penumpukan jaringan lemak pada anterolateral saluran napas

menyebabkan lumen saluran napas menyempit. Studi menunjukkan lingkar leher


(64)
merupakan prediktor kuat Obstructive Sleep Apnea. Lingkar leher <37 cm

beresiko tinggi, lingkar leher yang sempit menyebabkan cronic hypoxia

intermitten yang pada akhirnya mengakibatkan fragmentasi fase tidur, dengan

menurunya fase tidur dalam.(65) Pada orang normal tekanan darah menurun 10% -

15% pada waktu tidur. Pada orang yang menderita hipertensi terjadi peningkatan

aktivitas saraf simpatis, dan peningkatan resistensi vascular sistemik. Peningkatan

aktivitas simpatis dalam jangka waktu lama berpengaruh terhadap Episode apnea

yang berulang, hipoksemia, aurosal, durasi fase tidur yang pada akhirnya

berpengaruh terhadap severity dari obstructive sleep apnea.(64)


Vitamin B12
serum

Metabolisme di Metionin Eksresi di ginjal


hepar

homosistein S-Adenosyl Metionin

Hipertensi Peningkatan N-asetil Suplementasi


aktivitas simpatis serotonin melatonin

BMI

Cronic
Skor mallampati hypoxia Melatonin
intermitten
Lingkar leher

umur
Irama Tidur Konsumsi cafein
Fragmentasi pasien
Jenis kelamin Fase tidur obstructive
sleep apnea
merokok
Obat obatan dengan
efek sedatif
Derajat OSA

Durasi Fase Tidur Dalam


Pasien Obstructive Sleep Apnea

Gambar 3.1 Kerangka Teori


2.5. Kerangka Konsep

Berdasarkan kerangka teori, variabel perancu yang berpengaruh terhadap

penelitian yaitu umur, jenis kelamin, skor mallampati, lingkar leher, BMI,

hipertensi, merokok, derajat OSA. Variabel lain tidak menjadi bagian dari

kerangka konsep karena keterbatasan peneliti dalam mengukur variabel-variabel

tersebut.

Kadar B12 Durasi fase tidur


serum dalam pada pasien
OSA

Umur
Jenis kelamin
Lingkar leher
Skor Mallampati
BMI
Hipertensi
Merokok
Derajat OSA

Gambar 3.2 Kerangka Konsep


2.6. Hipotesis.

2.6.1 Hipotesis mayor

Terdapat hubungan kadar B12 serum dan durasi fase tidur dalam pada

penderita Obstructive Sleep Apnea.

2.6.2 Hipotesis minor

a. Terdapat hubungan kadar B12 serum dengan durasi fase tidur total

pada penderita Obstructive Sleep Apnea.

b. Terdapat hubungan B12 serum dengan durasi fase tidur dangkal pada

penderita Obstructive Sleep Apnea.

c. Terdapat hubungan umur, jenis kelamin, lingkar leher, BMI, skor

mallampati, hipertensi, merokok dan derajat OSA dengan durasi fase

tidur dalam pada penderita obstructive sleep apnea.


BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian di bidang Ilmu Penyakit Saraf.

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di instalansi rawat jalan ilmu penyakit saraf RSUP Dr.

Kariadi Semarang mulai bulan november 2016 sampai dengan selesai.

3.3. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik dengan pendekatan

cross sectional
T1

B1 T2

T3

T1

Populasi subyek B2 T2

T3

T1

B3 T2

T3

Gambar 3.3 Rancangan Penelitian

Keterangan :

B1 : Kadar B12 serum normal pada Pasien Obstructive Sleep Apnea

yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi

B2 : Kadar B12 serum menurun pada Pasien Obstructive Sleep Apnea

yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi


B3 : Kadar B12 serum meningkat pada Pasien Obstructive Sleep Apnea

yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi

T1 : Durasi fase tidur dalam normal pada Pasien Obstructive Sleep

Apnea yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi

T2 : Durasi fase tidur dalam memendek pada Pasien Obstructive Sleep

Apnea yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi

T3 : Durasi fase tidur dalam memanjang pada Pasien Obstructive Sleep

Apnea yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi

3.4. Populasi dan Subyek Penelitian

3.4.1 Populasi target

Populasi target adalah pasien obstructive sleep apnea.

3.4.2 Populasi terjangkau

Populasi terjangkau adalah pasien obstructive sleep apnea di

instalansi rawat jalan bagian/smf ilmu penyakit saraf RSUP Dr.

Kariadi Semarang.

3.4.3 Subyek penelitian

Subyek adalah pasien yang didiagnosis obstructive sleep apnea

instalansi rawat jalan bagian/smf ilmu penyakit saraf RSUP Dr.

Kariadi Semarang dan memenuhi kriteria inklusi.

3.4.3.1 Kriteria inklusi


1. Pasien obstructive sleep apnea yang telah dibuktikan

dengan kuesioner epworth sleepiness scale.

2. Usia >18 tahun.

3. Pasien/keluarga setuju sebagai peserta penelitian dengan

menandatangani informed consent.

3.4.3.2 Kriteria eksklusi

1. Pasien dengan penyakit hepar kronik.

2. Gagal ginjal akut atau kronis (kadar kreatinin serum >2,0

mg/dl).

3. Pasien dengan suplementasi melatonin sebelumnya.

4. Mengkonsumsi 10 gelas atau lebih minuman yang

mengandung caffein (kopi, teh, soda) per hari.

5. Mengkonsumsi obat-obatan yang memberikan efek sedatif

(golongan benzodiazepin, golongan barbiturat,

dekstrometrofan) dan mendapatkan injeksi ketamin,

propofol selama 1 hari sebelum pemeriksaan.

6. Pasien atau keluarga tidak setuju sebagai peserta

penelitian.

3.4.4 Sampel Penelitian


Sampel penelitian adalah darah yang diambil dari pasien yang memenuhi

kriteria inklusi dan eksklusi sebanyak 5 cc dan disimpan didalam lemari

pendingin pada suhu 4 celcius.

3.5. Besar Subyek Penelitian

Besarnya subyek penelitian ditentukan secara consecutive sampling yaitu

semua pasien yang telah diseleksi dengan kriteria inklusi dan eksklusi dari periode

November 2016 sampai dengan selesai.

Adapun dasar penentuan besar sampel dihitung dengan rumus sampel :

n = Z2 PQ

d2

dimana Q = ( 1-P).

n : Besar sampel

Z : Tingkat kepercayaan 95% = 1,96

P : Perkiraan proporsi populasi (5%) = 0,05

d : Tingkat kesalahan yang diperbolehkan (0,1), power penelitian 90%

Berdasarkan rumus tersebut di atas, diperoleh 19 responden penelitian.

3.6. Variabel Penelitian

Variabel bebas : Kadar B12 serum

Variabel tergantung : Durasi fase tidur dalam


Variabel pengganggu: Umur, Jenis kelamin, Lingkar leher, Skor

Mallampati, BMI, hipertensi, merokok, derajat OSA.

3.7. Batasan Operasional

Tabel IV. Definisi operasional variabel

NO VARIABEL DEFINISI OPERASIONAL INSTRUMEN SKALA

1 Kadar B12 Kadar B12 dalam serum berdasarkan Atomic ordinal

dalam serum laboratorium yang dinyatakan dengan Absorbtion

satuan pg/ml. Spectro

1. menurun : <200pg/ml photometry

2. Normal : 200- 800 pg/ml

3. meningkat :>800 pg/ml

2 Durasi fase Di nilai menggunakan polisomnografi ordinal

tidur dalam polisomnografi.

durasi fase tidur dalam (N3)

1. Memanjang >180 menit

2. normal :120 180 menit

3. memendek <120 menit


3 usia Usia subyek saat penelitian kuesioner ordinal

berdasarkan tanggal lahir, dengan

pembulatan kurang dari 6 bulan di

bulatkan ke bawah dan sama atau

lebih dari 6 bulan dibulatkan ke atas

Usia dibedakan menjadi :

1. <40 tahun

2. 40- 50 tahun

3. >50 tahun

4 Jenis kelamin Gender subyek yang diperoleh dari kuesioner nominal

anamnesis jenis kelamin dibedakan

menjadi :

1. wanita

2. laki- laki

5 Lingkar leher Lingkar leher usia 18 tahun : Pengukuran ordinal

1. normal : antropometri

pria >43 cm

wanita >37 cm

2. sempit ringan:

pria 38 - 43 cm

wanita 32- 37 cm
3. sempit berat:

pria <38 cm

wanita <32 cm

6 Skor Dinilai berdasarkan pemeriksaan fisik Penlight ordinal

mallampati orofaringeal

1. Kelas 1: terlihat seutuhnya tonsil,

uvula, palatum mole, palatum durum.

2. Kelas 2 : terlihat sebagian uvula,

tonsil, terlihat seutuhnya palatum

durum dan palatum mole.

3. Kelas 3 : terlihat sebagian palatum

durum dan palatum mole

4. Kelas 4 : terlihat sebagian palatum

durum

7 BMI Berdasarkan rumus BMI (kg/m2) Pengukuran ordinal

BMI dibedakan menjadi : antropometri

1. Underweight, normoweight

(BMI < 25)

2. Overweight (BMI 25-30)

3. Obesitas ( BMI>30)

8 Hipertensi Pemeriksaan tanda vital diperiksa Sphigmanometer ordinal


tekanan darah sistol dan diastol air raksa

1.tidak hipertensi (<140/190)

2. hipertensi derajat 1 ( 140/90

159/99)

3. hipertensi derajat 2 ( 160/100)

9 merokok Riwayat merokok selama 2 minggu kuesioner ordinal

1. tidak

2. ya <6 batang sehari

3. ya >6 batang sehari

10 Derajat OSA OSA derajat ringan (AHI 5-15) Polisomnografi ordinal

OSA derajat sedang (AHI 15-30)

OSA derajat berat (AHI >30)

3.8. Cara Penelitian

Pencarian responden penelitian pasien obstructive sleep apnea yang

kontrol di instalansi rawat jalan smf ilmu penyakit saraf RSUP Dr. Kariadi

Semarang. Pasien yang memenuhi kriteria inklusi, diberikan penjelasan dan

informed consent.

Anamnesis, pemeriksaan fisik neurologis, pemeriksaan laboratorium darah

rutin, ureum, creatinin, SGOT, SGPT dilakukan di instalansi rawat jalan

bagian/smf ilmu penyakit saraf RSUP Dr. Kariadi Semarang. Pemeriksaan

polisomnografi di dilakukan di ruang kutilang RS Dr Kariadi Semarang pada

malam hari. Pengambilan sampel darah untuk mengukur kadar B12 serum di
ambil pada malam hari sebelum pemeriksaan polisomnografi, pasien diperiksa

menggunakan polisomnografi dari jam 22.00 malam hingga jam 06.00 pagi.

Pengambilan darah vena sebanyak 5 cc dari vena cubiti, darah disimpan di dalam

tabung lalu dipusing dan diambil serumnya. Serum disimpan dalam deep freeze

dan diberi nomer kode susuai pasien. Waktu antara pengambilan sampel darah

sampai ke penyimpanan dalam deep freeze tidak boleh melebihi 8 jam. Sampel

dilakukan pemeriksaan kadar B12 serum dengan AAS (Atomic Absorbtion

Spectrophotometry) di laboratorium Pramita.

Penilaian durasi fase tidur dalam dilakukan pagi hari setelah pemeriksaan

polisomnografi. Selain pemeriksaan durasi fase tidur dalam, di nilai juga fase tidur

lainya oleh seorang neurologis yang berkompetensi di bagian neurologi RSUP Dr

Kariadi Semarang

3.9. Alur Penelitian


Pasien obstructive sleep apnea

Anamnesa
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan laboratorium

Sesuai dengan kriteria


inklusi
Kriteria Eksklusi

Pemeriksaan darah kadar B12


serum

Pemeriksaan polisomnografi

Penilaian durasi fase tidur


dalam

Pengumpulan data

Analisa data

Hasil penelitian

Gambar 3.4 Alur Penelitian

3.10. Analisa Data

Data primer didapatkan dari pasien obstructive sleep apnea (umur, jenis

kelamin, riwayat penyakit, Lingkar leher, Skor Mallampati, BMI, Merokok,

hipertensi). Pengambilan sampel darah untuk diperiksa kadar B12 serum dalam

darah dilakukan di malam hari sebelum pemeriksaan polisomnografi. Durasi fase

tidur dalam dinilai menggunakan polisomnografi. Sebelum dilakukan analisis data


terlebih dahulu diperiksa kelengkapan datanya, diberi kode (koding), ditabulasi

dan dientry ke dalam komputer.

Data berskala kategorikal dinyatakan sebagai distribusi frekuensi dan

presentase (n dan %). Data berskala numerik diuji normalitasnya dengan saphiro-

wilk. Data berskala numerik dengan distribusi normal dinyatakan dalam bentuk

rerata dan simpang baku. Sedangkan data tidak berdistribusi normal disajikan

dalam median, minimum dan maksimum.

Analisa bivariat dilakukan dengan uji korelasi spearman untuk mengetahui

hubungan antara kadar B12 serum dengan durasi fase tidur dalam pada pasien

obstructive sleep apnea ringan, obstructive sleep apnea sedang dan obstructive

sleep apnea berat. Hasil analisis bivariat yang bermakna dianalisis lebih lanjut

dengan uji multivariat regresi linear untuk mengetahui variabel yang berpengaruh

terhadap durasi fase tidur dalam.

3.11. Etika Penelitian

Sebelum penelitian dilakukan akan dimintakan persetujuan dari Komisi

Etik Penelitian Kedokteran FK UNDIP/RSDK. Seluruh biaya yang berhubungan

dengan penelitian akan ditanggung oleh peneliti. Persetujuan keluarga akan

dimintakan dalam bentuk informed consent tertulis. Pasien atau keluarga berhak

menolak untuk diikutsertakan dalam penelitian tanpa ada konsekuensi apapun.

Identitas pasien akan dirahasiakan.


BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

1. Alur Pelaksanaan Penelitian

Penelitian diadakan pada Januari 2017 Agustus 2017 dan

diperoleh subjek pasien Obstructive sleep apnea di poli dan bangsal saraf

RS dr.Kariadi Semarang sebanyak 27 subjek.

Subjek pasien OSA(n=29)


Tidak bersedia mengikuti
penelitian
(n=1)
Subjek memenuhi kriteria
inklusi, dilakukan anamnesa,
pemeriksaan fisik, laboratorium
pengisian epworth sleeping scale
(n=28) Memenuhi kriteria
eksklusi
(n=4)

Subjek diperiksa PSG dan


diperiksa darah (n=24)
Serum subjek tidak dapat
dinilai karena darah lisis
(n=0)
Total subjek yang dianalisis
(n=24)

Gambar 4. Alur penelitian hubungan kadar B12 serum dengan durasi fase tidur

dalam pada paien obstructive sleep apnea.


Dari 29 subjek pasien Obstructive sleep apnea tersebut, sebanyak 1

subjek tidak bersedia mengikuti penelitian. Dari 28 subjek tersebut,

sebanyak 24 subjek memenuhi kriteria inklusi dan sebanyak 4 subjek

memenuhi kriteria eksklusi, dengan rincian 1 subjek nilai kuesioner

epworth sleeping scale <9, 2 subjek kadar kreatinin >2,0 , dan 1 subjek

mengkonsumsi the >10 gelas perhari. Setelah dilakukan pemeriksaan darah

tidak ada darah yang lisis. Subjek yang ikut dan menyelesaikan penelitian

ini sebanyak 24 subjek (gambar 4).

2. Karakteristik Subjek Penelitian

Karakteristik subjek penelitian dilihat dari umur, jenis kelamin,

lingkar leher, skor mallampati, BMI, Hipertensi, merokok, derajat OSA,

durasi fase tidur dalam.

Penelitian ini melibatkan 24 subjek pasien obstructive sleep apnea

yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Rata-rata umur responden

adalah 52,82 (SD=10,853) tahun, dimana 8 (33,3%) subjek berumur <40

tahun, 2 (8,3%) subjek berumur 40-50 tahun dan 14 ( 58,3%) subyek

berumur >50 tahun. Untuk jenis kelamin, didapatkan 16 (66,7%) subyek

laki-laki dan 8 (33,3%) subyek perempuan. Dari penyakit hipertensi yang

diderita, sebanyak 5 (20,8%) subyek tidak menderita hipertensi, sebanyak 5

(20,8%) subyek menderita hipertensi stage 1, dan sebnayak 14 (58,3%)

subyek menderita hipertensi stage 2. Pada penelitian ini juga terdapat 6

subyek (25%) tidak merokok, 8 subyek (33,3%) merokok <6 batang

64
perhari. Sebanyak 10 subyek (41,7%) merokok sebanyak >6 batang

perhari. Untuk skala epworth sleepiness scale sebanyak 11 subyek (45,8%)

di skala 10, sebanyak 10 subyek (41,7%) di skala 11, dan sebanyak 3

subyek (12,3%) di skala 12. Untuk Lingkar leher sebanyak 3 subyek

(12,5%) mempunyai lingkar leher yang normal, sebanyak 10 subyek

(41,7%) mempunyai lingkar leher sempit ringan, sebanyak 11 subyek

(45,8%) mempunyai lingkar leher sempit berat. Untuk skor mallampati

sebanyak 1 subyek (4,2%) mempunyai skor mallampati 1, sebanyak 13

subyek ( 54,2%) mepunyai skor malampati 2, sebanyak 7 subyek (29,2%)

mempunyai skor mallampati 3, sebanyak 3 subyek (12,3%) mempunyai

skor mallampati 4. Pada penelitian ini untuk BMI sebanyak 3 subyek

(12,5%) mempunyai BMI underweight atau normoweight, sebanyak 8

subyek (33,3%) mempunyai BMI overweight dan sebanyak 13 subyek

(54,2%) mempunyai BMI obesitas. Untuk durasi tidur total sebanyak 4

subyek (16,7%) mempunyai durasi tidur total memanjang (>480),

sebanyak 7 subyek (29,2%) memiliki durasi tidur total normal (360-480),

sebanyak 13 subyek (54,2%) memiliki durasi tidur total memendek

(<360). Untuk durasi tidur dangkal sebanyak 6 subyek (25%) memiliki

durasi tidur dangkal yang normal (240-280), sebanyak 18 subyek (75%)

memilik durasi tidur dangkal memanjang (>280). Untuk durasi tidur

dalam, sebanyak 2 subyek (8,3%) memiliki durasi tidur dalam yang

memanjang (>180), sebanyak 2 subyek (8,3%) memiliki durasi tidur

dalam yang normal (120-180), sebanyak 20 subyek (83,3%) memiliki

65
durasi tidur dalam yang memendek. Untuk durasi tidur REM sebanyak 22

subyek (92%) memiliki durasi tidur REM memendek (<60) dan sebanyak

2 subyek (8%) memiliki durasi tidur REM yang normal (60-80). Untuk

Sleep efficiency sebanyak 3 subyek (12,5%), memiliki sleep efficiency

yang normal (80-100%), sebanyak 10 subyek (41,7 %) memiliki sleep

efficiency yang menurun ringan (60-80%), sebanyak 11 subyek (45,3%)

memiliki sleep efficiency yang menurun berat (<60%). Untuk kadar B12

serum, rata-rata untuk kadar B12 serum adalah 92,47 pg/ml (SD =32,18),

dimana 22 subyek (91,6%) mempunyai kadar B12 serum yang menurun

(<200pg/ml), dan 2 subyek (8,4%) mempunyai kadar B12 serum yang

normal (200-800pg/ml). Untuk derajat OSA, sebanyak 7 subyek (29,2%)

mempunyai derajat OSA ringan, sebanyak 4 subyek (16,7%) mempunyai

derajat OSA sedang, sebanyak 13 subyek (54,2%) mempunyai derajat OSA

berat. Distribusi subjek berdasarkan karakteristik individu dapat dilihat

pada tabel v.

Tabel V. Distribusi subjek berdasarkan karakteristik individu

Karakteristik subjek Frekuensi (%)


Umur <40 8 (33,3%)
40-50 2 (8,3%)
>50 14 (58,3%)
Jenis kelamin Wanita 8 (33,3%)
Laki laki 16 (66,7%)
hipertensi Tidak hipertensi 5 (20,8%)
Hipertensi stage 1 5 (20,8%)
Hipertensi stage 2 14 (58,3%)

66
merokok Tidak merokok 6 (25%)
Merokok (<6 batang/ hari) 8 (33,3%)
Merokok (>6 batang/hari) 10(41,7%)
Skala epsworth
Skala 10 11 (45,8%)
sleepiness
Skala 11 10 (41,7%)
Skala 12 3 (12,6%)
Lingkar Leher Normal 3 (12,5%)
Sempit ringan 10 (41,7%)
Sempit Berat 11 (45,8%)
Skor Mallampati Skor mallampati 1 1 (4,2%)
Skor mallampati 2 13 (54,2%)
Skor mallampati 3 7 (29,2%)
Skor mallampati 4 3 (12,3%)
BMI Underweight dan normoweight 3 (12,5%)
Overweight 8 (33,3%)
Obesitas 13 (54,2%)
Durasi tidur total Memanjang (>480) 4 (16,7%)
Normal (360-480) 7 (29,2%)
Memendek (<360) 13 (54,2%)
Durasi tidur
Normal ( 240-280) 6 (25%)
dangkal
Memanjang ( >280) 18 (75%)
Durasi tidur
Memanjang (>180) 4 (16,6%)
dalam
Normal (120-180) 4 (16,6%)
Memendek (<120) 16 (66,8%)
Durasi tidur REM Normal (60-80) 2 (8%)
Memendek (<60) 22 (92%)
Sleep efficiency Normal (80-100%) 3 (12,5%)
Menurun ringan (60-80%) 10 (41,7%)
Menurun berat (<60%) 11 (45,3%)
Kadar B12 serum Normal (200-800pg/ml) 2 (8,4%)
Menurun (<200pg/ml) 22 (91,6%)

67
Derajat OSA OSA derajat ringan 7 (29,2%)
OSA derajat sedang 4 (16,7%)
OSA derajat berat 13 (54,2%)

3. Analisis Bivariat Faktor Risiko Terhadap Durasi Fase Tidur

Dalam Pada Pasien Obstructive Sleep Apnea

Pada penelitian ini didapatkan hubungan yang bermakna antara

kadar B12 serum dengan durasi fase tidur dalam pada pasien obstructive

sleep apnea (p=0,001) dan koefisien korelasi (r) 0,624 (Tabel VI)

(hipotesis 1 diterima). Pada penelitian ini tidak didapatkan hubungan yang

bermakna antara umur dengan durasi fase tidur dalam (p=0,74) (Tabel VI).

Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan

durasi fase tidur dalam (p=0,424) (Tabel VI). Untuk Lingkar leher,

didapatkan hubungan yang bermakna dengan durasi fase tidur dalam

(p=0,001) dan koefesien korelasi ( r) 0,643 (Tabel VI). Terdapat hubungan

yang bermakna antara skor mallampati dengan durasi fase tidur dalam

(p=0,007) dan koefisien korelasi (r) 0,537 (Tabel VI). Terdapat hubungan

yang bermakna antara BMI dengan durasi fase tidur dalam (p=0,003) dan

koefisien korelasi (r) 0,586 (Tabel VI). Tidak terdapat hubungan yang

bermakna antara penyakit hipertensi dengan durasi fase tidur dalam

(p=0,77) (Tabel VI). Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara

merokok dengan durasi fase tidur dalam (p=0,805) (Tabel VI). Terdapat

hubungan yang bermakna antara Derajat OSA dengan durasi fase tidur

68
dalam (p=0,000) dan koefisien korelasi (r) 0,811 (Tabel VI) (hipotesis 4

diterima).

Tabel VI. Analisis bivariat faktor-faktor risiko terhadap durasi fase tidur
dalam pasien OSA

Durasi Fase Tidur Dalam Pasien OSA


Statistik p
memendek normal memanjang
N % N % N %
Umur
<40 tahun 5 20,8% 2 8,3% 1 4,1% Spearman 0,744
40-50 tahun 1 4,1% 1 4,1% 0 0% r = -0,70
>50 tahun 10 41,6% 1 4,1% 3 4,1%
Jenis Kelamin
Laki-laki 11 45,8% 2 8,3% 3 12,5% Spearman 0,424
Perempuan 3 12,5% 2 8,3% 1 4,1% r = - 0,171
Lingkar leher
normal 1 4,1% 1 4,1% 1 4,1% Spearman 0,001*
Sempit ringan 8 33,3% 1 4,1% 1 4,1% r = 0,643
Sempit berat 7 29,1% 2 8,3% 2 8,3%
Skor
mallampati
mallampati 1 0 0% 0 0% 1 4,1% Spearman 0,007*
mallampati 2 10 41,6% 1 4,1 2 8,3% r = 0,537
mallampati 3 4 16,6% 2 8,3 1 4,1%
mallampati 4 2 8,3% 1 4,1 0 0%
BMI
Underweight, 1 4,1%
1 4,1% 1 4,1% Spearman 0,003*
normoweight
overweightt 5 20,8% 2 8,3% 1 4,1% r = 0,586
obesitas 10 41,6% 1 4,1% 2 8,3%
Hipertensi
Tidak hipertensi 2 8,3% 1 4,1% 2 8,3% Spearman 0,77
Hipertensi st 1 1 4,1% 2 8,3% 2 8,3% r = -0,368
Hipertensi st 2 13 54,1 1 4,1% 0 0%
Merokok
Tidak merokok 2 8,3% 2 8,3% 2 8,3% Spearman 0,805
Merokok (<6 1 4,1%
5 20,8% 2 8,3% r = 0,053
btg/hari)
Merokok 1 4,1%
9 37,5% 0 0%
(>6btg/hari)
69
Derajat OSA
OSA derajat 1 4,1%
4 16,6% 2 8,3% Spearman 0,000*
ringan
OSA derajat 2 8,3%
1 4,1% 1 4,1% r = 0,811
sedang
OSA derajat 1 4,1%
11 45,8% 1 4,1%
berat
Kadar B12
serum
70,83 3 12,5%
menurun 17 4 16,6% Spearman 0,001*
%
normal 1 4,1% 0 0% 1 4,1% r = 0,624
meningkat 0 0% 0 0% 0 0%

Signifikan p < 0,05

4. Analisis Bivariat Kadar B12 SerumTerhadap Durasi Fase

Tidur Total Pada Pasien Obstructive Sleep Apnea

Pada penelitian ini terdapat hubungan yang bermakna antara kadar


B12 serum dengan durasi fase tidur total (p=0,002) dan koefisien korelasi
(r) 0,597 (Tabel VII) (hipotesis 2 diterima).

Tabel VII. Analisis bivariat kadar B12 serum terhadap durasi fase tidur total
pasien OSA

70
Durasi Fase Tidur Total Pasien OSA
Statistik p
memendek normal memanjang
N % N % N %
Kadar B12
serum
menurun 15 62,5% 6 25% 3 12,5% Spearman 0,002*
normal 0 0% 1 4,1% 1 4,1% r = 0,597
meningkat 0 0% 0 0% 0 0%

Signifikan p < 0,05

5. Analisis Bivariat Kadar B12 SerumTerhadap Durasi Fase

Tidur Dangkal Pada Pasien Obstructive Sleep Apnea

Pada penelitian ini terdapat hubungan yang bermakna antara kadar


B12 serum dengan durasi fase tidur dangkal (p=0,038) dan koefisien
korelasi (r) 0,425 (Tabel VIII) (hipotesis 3 diterima).

Tabel VIII. Analisis bivariat kadar B12 serum terhadap durasi fase tidur
dangkal pasien OSA

71
Durasi Fase Tidur dangkal Pasien OSA
Statistik p
memendek normal memanjang
N % N % N %
Kadar B12
serum
menurun 0 0% 15 62,5% 7 29,1% Spearman 0,038*
normal 0 0% 1 4,1% 1 4,1% r = 0,425
meningkat 0 0% 0 0% 0 0%

Signifikan p < 0,05

6. Analisis Multivariat Faktor Risiko Terhadap Durasi Fase

Tidur Dalam pada Pasien OSA

Berdasarkan hasil analisis bivariat didapatkan bahwa lingkar leher,

Derajat OSA, skor mallampati, BMI dan Kadar B12 serum mempunyai

nilai p<0,25. Selanjutnya untuk kelima variabel tersebut dilakukan analisis

multivariat terhadap durasi fase tidur dalam. Dari hasil analisis data

tersebut didapatkan bahwa derajat OSA merupakan faktor yang paling

berpengaruh terhadap durasi fase tidur dalam pada pasien OSA (p=0,002,

OR=11,54 (1,74 13,21)), diikuti oleh skor mallampati (p=0,005,

OR=3,906 (1,127 13,537)), BMI (p=0,005, OR=3,805 (1,265-11,556)),

lingkar leher (p=0,005, OR=2,67 (1,26-11,55)), dan kadar B12 serum

(p=0,01 OR=6,345 (2,601-19,54)) (Tabel IX).

72
Analisis bivariat Analisis multivariat
Durasi fase tidur
IK 95%
dalam
Faktor risiko p OR p
memanj
memendek normal Min Max
ang
N % N % N%
Lingkar leher
normal 1 4,1% 1 4,1% 1 4,1% 0,001 2,67 0,005* 1,26 11,55
Sempit ringan 8 33,3% 1 4,1% 1 4,1%
Sempit berat 7 21,9% 2 8,3% 2 8,3%
Derajat OSA
OSA derajat ringan 4 16,6% 2 8,3% 1 4,1% 0,000 11,54 0,002* 1,74 13,21
OSA derajat sedang 1 4,1% 1 4,1% 2 8,3%
OSA derajat berat 11 45,8% 1 4,1% 1 4,1%
Skor mallampati
Mallampati 1 0 0% 0 0% 1 4,1% 0,007 3,906 0,005* 1,127 13,537
Mallampati 2 10 41,6% 1 4,1% 2 8,3%
Mallampati 3 4 16,6% 2 8,3% 1 4,1%
Mallampati 4 2 8,3% 1 4,1% 0 0%
BMI
Underweight dan 1 4,1%
1 4,1% 1 4,1% 0,003 3,805 0,005* 1,265 11,556
normoweight
overweight 5 20,8% 2 8,3% 1 4,1%
obesitas 10 41,6% 1 4,1% 2 8,3%
Kadar B12 serum
menurun 17 70,8% 4 16,6% 3 12% 0,001 6,345 0,010* 2,601 19,54
normal 1 4,1% 0 0% 1 4,1%
meningkat 0 0% 0 0% 0 0%

Tabel IX. Analisis regresi logistik faktor-faktor resiko terhadap durasi fase tidur
dalam pada pasien OSA
Hubungan signifikan, p<0,05, CI 95%

B. Pembahasan

73
Telah dilakukan penelitian pada 24 subjek pasien obstructive sleep apnea

yang diperiksa di RSUP Dr. Kariadi Semarang periode januari 2017 agustus

2017 dan memenuhi kriteria penelitian.Variabel utama pada penelitian ini adalah

kadar B12 serum yang dihubungkan dengan durasi fase tidur dalam pada pasien

obstructive sleep apnea yang diukur dengan polysomnografi. Karakteristik umum

subyek penelitian terdiri dari usia, jenis kelamin, hipertensi, merokok, skala

epsworth sleepiness, lingkar leher, skor mallampati, BMI, durasi tidur total, durasi

tidur, dangkal, durasi tidur dalam, durasi tidur REM, sleep efficiency, derajat

OSA.

Obstructive sleep apnea merupakan masalah kesehatan yang kadang

dijumpai di poliklinik, dan penanganannya harus memperhitungkan berbagai

faktor yang dapat memperberat keluhan. Salah satu yang di temukan pada

pemeriksaan polisomnografi pasien OSA adalan durasi faase tidur dalam yang

memendek.(1) Pada suatu penelitian yang dilakukan oleh Shojiro, Kazuki et al pada

1999 didapatkan bahwa penelitian tersebut mendukung hipotesis bahwa ada

hubungan etiologis antara vitamin B12 dan durasi fase tidur dalam.(1,5) Honma,

fusaka, fukuda et al 2006 menunjukkan bahwa vitamin B12 dapat mempengaruhi

produksi dari melatonin tubuh dan melatonin tersebut mempengaruhi irama tidur

dan durasi dari stase tidur.(5) Pada review yang lain, Maeda, okamoto, hoshino et al

melakukan studi multicenter di provinsi shizuoka jepang, bahwa vitamin B12

dapat memberikan pengaruh kepada pememendekan tidur dalam.(1,5).

Pada penelitian ini, dari 24 subjek dengan obstuctive sleep apnea, sebanyak

16 (66,8%) subyek pada pemeriksaan polisomnografinya didapatkan durasi fase

74
tidur dalam yang memendek. Hal ini sejalan dengan penelitian Andrew keong Ng

et al pada tahun 2012, yang mendapatkan bahwa sekitar 65% dari penderita

obstuctive sleep apnea di dapatkan durasi fase tidur dalam (N3) yang

memendek.(66) Pada penelitian lain yang dilakukan oleh Guo deng et al 2015

Derajat AHI pada pasien OSA berpengaruh secara signifikan terhadap durasi fase

tidur dalam (N3) dibandingkan dengan durasi REM.(67)

Kami menganalisis faktor-faktor yang dapat berpengaruh terhadap

insomnia tersebut. Faktor usia diduga mempunyai peranan pada terjadinya

insomnia. Selama kehidupan, pola tidur akan berubah seiring bertambahnya usia.

Masalah gangguan tidur banyak didapatkan pada usia lanjut dan terjadi pada lebih

dari 50% orang dewasa berusia diatas 65 tahun. Orang lanjut usia memiliki risiko

lebih tinggi untuk terjadinya gangguan tidur karena berbagai faktor, seperti

masalah-masalah sosial dan psikososial, meningkatnya prevalensi penyakit-

penyakit medis yang diderita, meningkatnya penggunaan obat-obatan dan alkohol,

dan perubahan pada irama sirkadian.43

Dari faktor usia, pada penelitian ini usia pasien menurut kelompok umur

adalah kelompok umur dewasa (26-45 tahun) sebanyak 12 (23,7%) subjek, dan

kelompok umur tua (>46 tahun) sebanyak 39 (76,3%) subjek. Tidak didapatkan

hubungan yang bermakna antara usia dengan insomnia (p=0,706). Hal ini sejalan

dengan penelitian Morphy et al pada tahun 2007 di UK pada 2363 subjek yang

mendapatkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara usia dan kejadian

insomnia.44 Penelitian Schlack et al pada populasi dewasa di Jerman pada tahun

2013 juga mendapatkan hasil yang serupa.45

75
Pada penelitian ini, dari 51 subjek kami mendapatkan 16 (31,4%) subjek

berjenis kelamin laki-laki dan 35 (68,6%) perempuan. Dari analisis statistik tidak

didapatkan hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dengan insomnia

(p=0,730). Hal ini sejalan dengan hasil yang didapatkan oleh Morphy et al tahun

2007 yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara jenis

kelamin dan kejadian insomnia.44 Meskipun demikian kami mendapatkan

kecenderungan bahwa insomnia lebih banyak terjadi pada jenis kelamin

perempuan (77,14%) dibandingkan pada laki-laki (68,75%). Hal ini sejalan dengan

hasil dari Voderholzer et al yang pada tahun 2003 melakukan penelitian pada

penderita insomnia dan kontrol orang sehat menggunakan polisomnografi, dan

mendapatkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dan

kejadian insomnia, walaupun terdapat kecenderungan insomnia lebih banyak pada

perempuan. Keluhan insomnia didapatkan lebih banyak pada perempuan usia pra

dan pasca menopause, sehingga diduga bahwa perubahan hormonal berperan pada

kondisi ini. 46

Dari intensitas nyeri, kami mendapatkan bahwa dari 51 subjek, sebanyak

12 (23,5%) subjek menderita nyeri intensitas ringan, dan 39 (76,5%) subjek

menderita nyeri intensitas sedang-berat. Terdapat kecenderungan untuk terjadinya

insomnia lebih besar pada nyeri sedang-berat (82,05%) dibandingkan pada nyeri

ringan (50%), tetapi tidak didapatkan hubungan yang signifikan antara intensitas

nyeri dan insomnia (p=0,053). Hal ini tidak sesuai dengan penelitian Tang et al

pada tahun 2007, yang mendapatkan bahwa pada pasien nyeri punggung kronis,

intensitas nyeri berpengaruh signifikan terhadap insomnia.47 Penelitian Chen et al

76
pada tahun 2011 pada berbagai kondisi nyeri kronis juga mendapatkan bahwa

intensitas nyeri berpengaruh signifikan pada insomnia.48 Penelitian Purushotaman

et al tahun 2013 pada nyeri punggung bawah kronis juga mendapatkan hasil yang

serupa.49 Ketidaksesuaian ini dapat disebabkan karena jumlah sampel yang tidak

seimbang antara kelompok nyeri ringan dan kelompok nyeri sedang-berat, dimana

pada penelitian ini subjek dengan intensitas nyeri sedang-berat lebih besar

jumlahnya dibanding subjek dengan intensitas nyeri ringan. Selain itu tampak

bahwa pada kelompok nyeri ringan, sebanyak 50% subjek juga menderita

insomnia. Hal ini tampaknya juga berkaitan dengan durasi penyakit nyeri kronis

yang diderita, dan juga berkaitan dengan ansietas yang diderita subjek.

Faktor lain yang dapat berperan pada insomnia adalah ansietas. Beberapa

penelitian telah menunjukkan bahwa ketakutan akan memberatnya nyeri dengan

gerakan dan antisipasi akan datangnya nyeri yang berat menimbulkan ansietas

pada pasien-pasien dengan nyeri kronis, dan kondisi ini membuat beban yang
50,51
dirasakan penderita nyeri kronis semakin berat. Pada penelitian ini kami

mendapatkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara derajat ansietas

dengan insomnia (p=0,142). Penelitian dari Taylor et al pada tahun 2005,

mendapatkan bahwa ansietas memiliki hubungan yang signifikan dengan

insomnia.52 Penelitian Uhde tahun 2009 juga mendapatkan bahwa ansietas dan

insomnia memiliki hubungan yang signifikan.53 Pada penelitian kami, 13 (25,5%)

subjek yang menderita ansietas sedang-berat, sedangkan sebagian besar (74,5%)

subjek kami menderita ansietas ringan. Disini tampak bahwa pada semua subjek

kami didapatkan insomnia dengan derajat yang bervariasi, sehingga dapat

77
disimpulkan bahwa pada semua penderita nyeri kronis menderita ansietas dengan

berbagai derajat. Hal ini disebabkan oleh ketakutan akan datangnya nyeri dan

kekuatiran akan kondisi kronis ini. Pada penelitian ini derajat ansietas tidak

memiliki hubungan yang signifikan dengan terjadinya insomnia, tetapi tampak

bahwa pada semua derajat ansietas angka terjadinya insomnia cukup besar (69%

pada ansietas ringan dan 58% pada ansietas sedang-berat), yang bisa diartikan juga

bahwa semua derajat ansietas berpengaruh dengan terjadinya insomnia.

Penelitian-penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa pasien-pasien

dengan ansietas memiliki kecenderungan untuk lebih memperhatikan sensasi nyeri

pada tubuh, lebih dapat mendeteksi adanya peningkatan gejala dari penyakit yang

dialami, melaporkan intensitas nyeri yang lebih tinggi, memiliki ambang nyeri

yang lebih rendah, dan cenderung untuk memikirkan kemungkinan-kemungkinan

terburuk dari penyakitnya, dibandingkan dengan pasien tanpa ansietas.47 Ansietas

dapat berperan memicu atau memperberat insomnia dengan memicu keterjagaan

dan mengaktivasi suatu kaskade proses kognitif-behavioral, seperti perhatian

selektif terhadap adanya ancaman atau berita buruk, yang telah terbukti

memperberat insomnia. Tidak bermaknanya hasil yang kami dapatkan pada faktor

intensitas nyeri dan ansietas mungkin saling berkaitan, karena dari hasil penelitian

sebelumnya diatas tampak bahwa intensitas nyeri dipengaruhi ansietas, dan

ansietas juga dipengaruhi oleh intensitas nyeri.

Salah satu kemungkinan penyebab insomnia pada kasus nyeri kronis

adalah menurunnya kadar serotonin dalam darah. Serotonin berperan dalam proses

modulasi nyeri untuk mempertahankan transmisi sinyal nyeri dari saraf ke otak,

78
terutama pada kondisi nyeri kronis.54 Pada penelitian ini, dari 51 subjek dengan

berbagai kondisi nyeri kronis, didapatkan kadar serotonin darah yang rendah pada

sebanyak 40 subjek (78,4%). Hal ini sejalan dengan beberapa penelitian

sebelumnya pada berbagai kondisi nyeri kronis. Cordero et al pada tahun 2010

melaporkan adanya penurunan kadar serotonin serum pada kasus-kasus

fibromyalgia kronis.8 Suatu studi metaanalisis oleh Mahdi et al pada 2011 juga

mendapatkan adanya penurunan kadar serotonin serum pada penderita sindroma

fibromyalgia.7 Penelitian Bendtsen et al pada 2012 pada nyeri kepala kronis

mendapatkan bahwa pada nyeri kepala tipe tegang kronis didapatkan kadar

serotonin platelet maupun plasma yang menurun, dengan kadar serotonin yang

normal atau meningkat pada saat bebas serangan nyeri kepala.34 Penelitian

Karakulova et al pada tahun 2006 juga mendapatkan kadar serotonin serum yang

rendah pada nyeri kepala tipe tegang kronis, yang berhubungan juga dengan

terjadinya depresi sedang-berat pada penderita.9 Penelitian Sokunbi et al pada

nyeri punggung bawah kronis pada tahun 2007 mendapatkan bahwa terdapat

konsentrasi serotonin plasma yang rendah pada penderita nyeri punggung bawah

kronis, dan didapatkan peningkatan kadar serotonin plasma setelah dilakukan

latihan stabilisasi spinal.35

Pada penelitian ini didapatkan hubungan yang bermakna antara kadar

serotonin serum dengan kejadian insomnia (p=0,021). Ini sejalan dengan

penelitian Ross pada tahun 2010 di Amerika Serikat yang mendapatkan bahwa

pada pasien-pasien insomnia didapatkan adanya penurunan kadar serotonin

darah.36 Penelitian Plesman pada tahun 2011 juga mendapatkan penurunan kadar

79
serotonin pada penderita insomnia, dan gejala membaik dengan pemberian

triptophan yang merupakan prekursor dari serotonin.37 Pada analisis regresi

logistik didapatkan bahwa risiko menderita insomnia pada subjek dengan kadar

serotonin serum rendah sebesar 9 kali lipat (OR=9,647, 95% CI=1,559-59,704).

Kondisi kekurangan serotonin memiliki dampak yang besar pada tubuh. Karena

serotonin dibutuhkan untuk arousal dan mempertahankan keterjagaan, maka

kekurangan serotonin menyebabkan penderita merasa lelah, tidak bisa terjaga

penuh, sedangkan karena kurangnya serotonin menyebabkan tubuh tidak bisa

memproduksi melatonin, maka penderita akan mengeluhkan sulit untuk memulai

tidur, walaupun tubuh terasa lelah. Penelitian Baghdoyan pada tahun 2006 telah

menunjukkan bahwa pada orang yang kurang tidur terjadi hiperalgesia, bahkan

dapat timbul keluhan nyeri de novo yang tidak berhubungan dengan keluhan nyeri

sebelumnya.40 Bila nyeri bertambah, maka diperlukan lebih banyak serotonin

untuk memodulasi nyeri tersebut, sehingga produksi melatonin pemicu tidur pun

makin berkurang, dan untuk memproduksi serotonin, otak perlu tidur. Kondisi ini

menyebabkan terjadinya lingkaran setan insomnia-nyeri kronis.

Penelitian Saldanha et al. di India pada tahun 2009 pada pasien-pasien

dengan depresi mendapatkan adanya penurunan kadar serotonin serum pada

pasien-pasien tersebut yang berkorelasi dengan beratnya derajat depresi, dan

didapatkan juga gejala insomnia pada pasien-pasien tersebut.38 Di sini kami

memperhitungkan depresi sebagai variabel antara, karena rendahnya kadar

serotonin memicu terjadinya depresi, dan pada kondisi depresi didapatkan juga

gejala insomnia. Pada penelitian ini, dari 51 subjek didapatkan 33 (64,7%)

80
menderita depresi. Terdapat beberapa mekanisme hubungan antara nyeri kronis

dan depresi. Pertama, stress fisik dan psikis yang diakibatkan oleh nyeri kronis

dapat memicu episode depresi. Kedua, depresi dapat berperan sebagai prekursor

dan salah satu faktor yang berkontribusi terhadap nyeri, karena toleransi terhadap

nyeri menurun pada pasien dengan depresi.55 Dari analisis statistik, didapatkan

hubungan yang signifikan antara depresi dan insomnia (p=0,006). Hal ini sesuai

dengan penelitian Tsuno et al pada tahun 2005 yang mendapatkan bahwa depresi

memiliki hubungan yang signifikan dengan insomnia.56 Penelitian Sivertsen et al

pada tahun 2012 juga mendapatkan hasil yang serupa, dimana depresi dan

insomnia memiliki hubungan yang signifikan dan bersifat bidireksional, dimana

depresi dapat menyebabkan insomnia dan begitu juga sebaliknya, insomnia dapat

menyebabkan depresi.57 Dari analisis regresi logistik, didapatkan bahwa depresi

merupakan prediktor yang bermakna untuk insomnia, dimana subjek yang

menderita depresi memiliki risiko menderita insomnia 11 kali lipat dibanding

subjek yang tidak menderita depresi (OR=11,073, 95% CI=2,035-60,243). Hal ini

sejalan dengan hasil yang didapatkan oleh Sivertsen et al pada tahun 2012, yang

mendapatkan bahwa risiko insomnia pada penderita depresi sebesar hampir 7 kali

lipat.57

C. Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini memiliki keterbatasan, yaitu:

81
1. Belum adanya instrumen yang tervalidasi untuk membedakan antara

insomnia primer dan insomnia sekunder

2. Terdapat kesulitan peneliti untuk mengendalikan sebaran sampel yang

tidak seimbang.

82
BAB V. SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan

1. Terdapat hubungan yang bermakna antara kadar serotonin serum

dengan terjadinya insomnia pada penderita nyeri kronis non kanker.

Penderita nyeri kronis non kanker dengan kadar serotonin <50 ng/mL

mempunyai risiko 9,647 kali untuk mengalami insomnia.

2. Terdapat hubungan yang bermakna antara depresi dengan terjadinya

insomnia pada penderita nyeri kronis non kanker. Penderita nyeri

kronis non kanker yang menderita depresi mempunyai risiko 11,073

kali untuk mengalami insomnia.

3. Tidak terdapat hubungan antara umur, jenis kelamin, intensitas nyeri,

dan ansietas baik secara tersendiri maupun bersamaan terhadap

insomnia pada pasien nyeri kronis non kanker.

B. Saran

Bidang Penelitian.

Perlu dikembangkan suatu instrumen untuk membedakan antara

insomnia primer dan insomnia sekunder.

Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan desain penelitian yang

berbeda, dalam waktu penelitian yang lebih panjang, untuk

menghindari jumlah sampel yang tidak seimbang.

Bidang Pendidikan.

83
Tenaga kesehatan perlu memahami faktor-faktor risiko yang

berhubungan dengan nyeri kronis.

Bidang Pelayanan Kesehatan.

Tenaga kesehatan perlu mempertimbangkan dan memperhatikan

pengaruh faktor-faktor resiko terhadap insomnia pada pasien nyeri kronis.

84
DAFTAR PUSTAKA

1. Sharma H, Sharma SK. Overview and implications of obstructive sleep


apnoea. Indian J Chest Dis Allied Sci. 2008;50(1):13750.
2. Jurado-Gmez B, Fernandez-Marin MC, Gmez-Chaparro JL, Muoz-
Cabrera L, Lopez-Barea J, Perez-Jimenez F, et al. Relationship of oxidative
stress and endothelial dysfunction in sleep apnoea. Eur Respir J Off J Eur
Soc Clin Respir Physiol. 2011;37(4):8739.
3. Rosenthal MS. Physiology and neurochemistry of sleep. Am J Pharm Educ.
2008;62(2):2048.
4. Rev P. Dempsey JA, Veasey SC, Morgan BJ, ODonnell CP. Physiol Rev.
2010;90:7978.
5. Lovell K, Leszewski C. Summary: Normal Sleep Patterns and Sleep
Disorders. Sleep (Rochester) [Internet]. 2008;18. Available from:
http://learn.chm.msu.edu/NeuroEd/neurobiology_disease/content/otheresour
ces/sleepdisorders.pdf
6. Thomas RJ, Sc MM. New Concepts in Sleep Staging and Sleep Physiology.
Hrv 2006:2-7.
7. Phillips B, Gelula R. Sleep-Wake Cycle: Its Physiology and Impact on
Health. Natl Sleep Found. 2006;119.
8. Carlsen MH, Halvorsen BL, Holte K, Bhn SK, Dragland S, Sampson L, et
al. The total antioxidant content of more than 3100 foods, beverages, spices,
herbs and supplements used worldwide. Nutr J. 2010;9:3.
9. AADSM, Ramar K, Dort LC, Katz SG, Lettieri CJ, Harrod CG, et al.
Clinical Practice Guideline for the Treatment of Obstructive Sleep Apnea
and Snoring with Oral Appliance Therapy: An Update for 2015. J Clin
Sleep Med. 2015;11(7):773827.
10. American Academy of Sleep Medicine. Obstructive Sleep Apnea. Aasm.
2008;1-6.
11. Syndrome A. Diagnosis and Medical Management of Obstructive Sleep
Apnea Syndrome. aasdm J. 2011;117.
12. Atmaca H, Can M. in Men with Obstructive Sleep Apnea Syndrome. Eur J

85
Gen Med. 2011;1-8.
13. Biko S, Hospital A, Sciences H, Health P, Systems H, Town C. Obstructive
sleep apnoea and obesity. S Afr J Clin Nutr. 2011;24(4):1747.
14. Carrasco E, Santamaria J, Iranzo A, Pintor L, De Pablo J, Solanas A, et al.
Changes in dreaming induced by CPAP in severe obstructive sleep apnea
syndrome patients. J Sleep Res. 2006;15(4):4306.
15. Cass AR., Alonso WJ., Islam J., Weller SC. Risk of obstructive sleep apnea
in patients with type 2 diabetes mellitus. Fam Med [Internet].
2013;45(7):492500.
16. Gupta RK, Chandra a, Verm a K, Kumar S. Obstructive sleep apnoea: a
clinical review. J Assoc Physicians India. 2010;58:43841.
17. Balk E, Moorthy D, Obadan N. Diagnosis and Treatment of Obstructive
Sleep Apnea in Adults. Agency Healthc Qual. 2011;(32):1-5
18. Faber P. Obstructive sleep apnoea. Br lung J. 2011;11(1):58.
19. Febriani D, Yunus F, Antariksa B, Andrianto H. Relationship Between
Obstructive Sleep Apnea and Cardiovascular Tinjauan Pustaka Hubungan
Obstructive Sleep Apnea dengan Kardiovaskular. J Kardiol Indones.
2011;32(1):4552.
20. Shamsuzzaman ASM, Gersh BJ, Somers VK. Obstructive sleep apnea.
JAMA J Am Med Assoc. 2003;290(14):190614.
21. Garcia JM, Sharafkhaneh H, Hirshkowitz M, Elkhatib R, Sharafkhaneh A.
Weight and metabolic effects of cpap in obstructive sleep apnea patients
with obesity. Respir Res. BioMed Central Ltd; 2011;12(1):80.
22. ICER. An Action Guide for Obstructive Sleep Apnea: Next Steps for
Patients, Clinicians, and Insurers. Inst Clin Econ Rev. 2013;1-87
23. Gottlieb DJ, Punjabi NM, Mehra R, Patel SR, Quan SF, Babineau DC, et al.
CPAP versus oxygen in obstructive sleep apnea. N Engl J Med.
2014;370(24):227685.
24. Ferguson KA, Cartwright R, Rogers R, Schmidt-Nowara W, Wolfgang S-N.
Oral appliances for snoring and obstructive sleep apnea: a review. Sleep .
2006;29(2):24462.

86
25. Highlights K, Guideline R. Sleep Apnea: Obstructive Sleep Apnea /
Hypopnea Syndrome ( OSAHS ). GAC gudelines. 2008;13.
26. Finkel KJ, Searleman AC, Tymkew H, Tanaka CY, Saager L, Safer-Zadeh
E, et al. Prevalence of undiagnosed obstructive sleep apnea among adult
surgical patients in an academic medical center. Sleep Med. Elsevier B.V.;
2009;10(7):7538.
27. Harsch IA, Konturek PC, Koebnick C, Kuehnlein PP, Fuchs FS, Schahin
SP, et al. Leptin and ghrelin levels in patients with obstructive sleep
apnoea: effect of CPAP treatment. Eur Respir J. 2003;2517.
28. Jaradat M, Rahhal A. Obstructive Sleep Apnea , Prevalence , Etiology &
Role of Dentist & Oral Appliances in Treatment: Review Article. open J
Stomatol. 2015:187201.
29. Lam JC, Sharma SK, Lam B. Obstructive sleep apnoea: definitions,
epidemiology & natural history. Indian J Med Res [Internet].
2010;131:16570.
30. Gala TR, Seaman DR. Lifestyle modifications and the resolution of
obstructive sleep apnea syndrome: A case report. J Chiropr Med.
2011;10(2):11825.
31. At, Atient, Benjamin Chaska PSE Al. Sleep Apnea: Is Your Patient At
Risk? NIH Publ. 1995;95-380.
32. Barcelo A, Sa M, Pen M De, Cao G, Martinez M, Lecea L De, et al. Plasma
levels of neuropeptides and metabolic hormones , and sleepiness in
obstructive sleep apnea. Respir Med J. 2011;195460.
33. Moos DD, Prasch M, Cantral DE, Huls B, Cuddeford JD. Are patients with
obstructive sleep apnea syndrome appropriate candidates for the ambulatory
surgical center? AANA J. 2005;73(3):197205.
34. Carmel R. How I treat How I treat cobalamin ( vitamin B 12 ) deficiency. J
Hematol. 2016;112:221422.
35. Sun-edelstein C, Tietjen GE. AHS Position Paper The FDA Alert on
Serotonin Syndrome With Use of Triptans Combined With Selective
Serotonin Reuptake Inhibitors or Selective Serotonin-Norepinephrine

87
Reuptake Inhibitors: 2010; 1-8.
36. Miller A, Korem M, Almog R, Galboiz Y. vitamin b12, demyelination and
remyelination. J Neurol Sci. 2005;2:15.
37. Pin L, Mart J, Garc X. Vitamin B12 deficiency , hyperhomocysteinemia
and thrombosis: a case and control study. Int J Hematol. 2011;12:45864.
38. Smith P. Vitamin B12 Deficiency: Causes , Evaluation and Treatment . J
Physiol. 2008;9:368.
39. Goyal V. Review Article- Vitamin B12 Virendra Goyal. J Pharm.
2015;5(3):305.
40. Maeda K, Okamoto N. A Multicenter Study of the Effects of Vitamin BI2
on Sleep-Waking Rhythm Disorders: In Shizuoka Prefecture.
1992;46(1):22930.
41. Kiuchi T, Sei H, Seno H, Sano A, Morita Y. Effect of Vitamin B12 on the
Sleep-Wake Rhythm Following an 8-Hour Advance of the Light-Dark
Cycle in the Rat. J Neurochem. 2007;61(4):5514.
42. Lungato L, Gazarini ML, Paredes-gamero EJ, Tersariol S, Tu S, Almeida
VD. Biochimica et Biophysica Acta Sleep deprivation impairs calcium
signaling in mouse splenocytes and leads to a decreased immune response. J
sleep. 2012;1820:19972006.
43. Sarrafi-zadeh S, Dharwadkar S, Singh RB, Meester F De, Wilczynska A,
Wilson DW, et al. Nutritional Modulators of Sleep Disorders. J Clin sleep
Med . 2012;2:114.
44. Dawson D. Vitamin B12 A brief overview. J Chem Inf Model.
2015;2(4):2116.
45. Lichstein KL, Payne KL, Soeffing JP, Durrence HH, Taylor DJ, Riedel
BW, et al. NIH Public Access. J Chem Inf Model. 2009;9(1):2732.
46. Sei H. Effects of Intravenously Administered Vitamin B12 on Sleep in the
Rat. J Neurochem. 2008;57(6):101924.
47. Weir DG, Scott JM. Brain function in the elderly: role of vitamin B 12 and
folate. J Nutr. 2009;12(3):66982.
48. Tufik S, Andersen ML, Bittencourt LIARA, Mello MTDE. Paradoxical

88
Sleep Deprivation: neurochemical , hormonal and behavioral alterations .
Evidence from 30 years of research. J Physiol. 2009;81:52138.
49. Abreu J, Abreu P, Castro A, Jime A. Nocturnal melatonin plasma levels in.
J sleep. 2007;30(3):496500.
50. Annoni J, Cook S. Migraine induced by melatonin withdrawal: a clue for
future trials? J Physiol. 2011;162(7):2934.
51. Gonalves AL, Ribeiro RT, Mario FP, Israelita H, Einstein A. Melatonin in
headache disorders A melatonina nas cefaleias. J Neurol Sci. 2012;619.
52. Cui W, Yu X, Zhang H. The serotonin transporter gene polymorphism is
associated with the susceptibility and the pain severity in Idiopathic
Trigeminal Neuralgia patients. J sleep. 2014;15(1):16.
53. Macchi MM, Je V, Bruce N. Human pineal physiology and functional signi
W cance of melatonin. J Nutr. 2004;25:17795.
54. Olavarrieta-bernardino S, Fernandez-mendoza J, Vela-bueno A,
Olavarrieta-bernardino S, Ferna J. Melatonin , Sleep , and Sleep Disorders
Melatonin , Sleep , and Sleep Disorders. J Neurol Sci. 2007; 1-8
55. Ozlece HK, Akyuz O, Huseyinoglu N, Aydin S, Can S, Serim VA. Is there
a correlation between the pineal gland calcification and migraine? J Nutr.
2015;2:38614.
56. Pandi-perumal SR, Trakht I, Brown GM, Cardinali DP. Melatonin ,
Circadian Dysregulation , and Sleep in Mental Disorders. J sleep.
2010;15:7782.
57. Redwine L, Hauger RL, Gillin JC, Irwin M. Effects of Sleep and Sleep
Deprivation on Interleukin-6 , Growth Hormone , Cortisol , and Melatonin
Levels in Humans . J Physiol. 2016;85-89.
58. Rogers NL, Dinges DF, Kennaway DJ, Dawson D. Potential Action of
Melatonin in Insomnia. Sleep. 2003;26(8):10589.
59. Zirlik S, Hildner KM, Targosz A, Neurath MF, Fuchs FS, Brzozowski T, et
al. melatonin and omentin: influence factors in the obstructive sleep apnoea
syndrome? J sleep. 2013;(2):35360.
60. Baltaci D, Deler MH, Turker Y, Ermis F, Iliev D, Velioglu U. Evaluation of

89
serum Vitamin B12 level and related nutritional status among apparently
healthy obese female individuals. J Nutr. 2016;10(2):17.
61. Hamedani MA, Tahmasbi AM, Ahangari YJ. Effects of vitamin B 12
supplementation on the quality of Ovine spermatozoa. J Neurochem.
2013;3:1404.
62. Sande H Van, Jacquemyn Y, Karepouan N, Ajaji M. Vitamin B12 in
pregnancy: Maternal and fetal / neonatal effects A review. J Physiol.
2013;1(2):599602.
63. Zanette SA De, Vercelino R, Laste G, Rozisky JR, Schwertner A, Machado
CB, et al. Melatonin analgesia is associated with improvement of the
descending endogenous pain-modulating system in fibromyalgia: a phase.
2014;114.
64. Ryan CM, Bradley TD. Pathogenesis of obstructive sleep apnea. J Clin
sleep Med . 2005;4(1):244050.
65. Davies RJ, Stradling JR. The relationship between neck circumference,
radiographic pharyngeal anatomy, and the obstructive sleep apnoea
syndrome. Eur Respir J Off J Eur Soc Clin Respir Physiol. 1990;3(5):509
14.
66. andrew keong

67. [Effects of obstructive sleep apnea-hypopnea


syndrome and age on sleep architecture].
[Article in Chinese]
Guo D1, Peng H, Feng Y, Li D, Xu T, Li T, Liao S

68

90

Anda mungkin juga menyukai