PENDAHULUAN
serum dengan durasi fase tidur pada penderita Obstructive Sleep Apnea?
dengan durasi fase tidur dalam pada pasien Obstructive Sleep Apnea.
selanjutnya.
serum dengan durasi fase tidur dalam pada pasien Obstructive Sleep Apnea.
a.Tujuan Umum
Mengetahui pengaruh kadar vitamin B serum dengan durasi fase tidur pada
b.Tujuan Khusus
mallampati, hipertensi, merokok, derajat OSA dengan durasi fase tidur dalam
Terdapat beberapa penelitian mengenai B12 serum dan fase tidur dalam.
Beberapa penelitian terdahulu dalam penelitian ini akan dijadikan sebagai bahan
efek vitamin B12 terhadap kadar vitamin B12 terhadap kadar melatonin pada
pengitungan statistik menggunakan two tailed T-Test, hasil dari penelitian ini
kadar melatonin plasma. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian kami adalah
tidur, irama circardian dan suhu otak pada tikus, penelitian ini bertujuan
mengetahui hubungan vitamin B12 dengan durasi tidur NREM maupun REM,
irama sirkardian serta suhu otak pada tikus, pada penelitian ini menggunakan tikus
hubungan bermakna antara pemberian B12 dengan peningkatan fase tidur NREM,
di banding fase tidur REM penurunan suhu otak pada tikus. Yang membedakan
penelitian ini dengan penelitian kami adalah pada penelitian ini merupakan
penelitian experimental pada tikus, dengan memberikan perlakuan infus vitamin
bertujuan mengetahui efek vitamin B12 terhadap irama tidur pada pasien
control trial dengan total N: 29 pasien, 18 pasien dengan pasien gangguan irama
konsumsi vitamin B12 per hari selama 8 minggu, dan kontrol diberikan plasebo
selama 8 minggu. Hasil dari penelitian ini adalah Terdapat hubungan bermakna
antara vitamin B12 dengan perbaikan gangguan irama tidur. Yang membedakan
penelitian ini dengan penelitian kami adalah penelitian ini dilakukan pada pasien
dengan gangguan irama tidur sedangkan penelitian kami pada pasien obstructive
sleep apnea.
Tabel I. Matrix penelitian yang berhubungan dengan kadar B12 serum dan
manusia.
di provinsi
Shizuoka
dengan durasi fase tidur dalam pada pasien Obstructive Sleep Apnea
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Tidur adalah suatu periode istirahat bagi tubuh berdasarkan atas kemauan
serta kesadaran dan secara utuh atau sebagian fungsi tubuh yang akan dihambat
atau dikurangi. Tidur juga digambarkan sebagai suatu tingkah laku yang ditandai
pertama, fase Rapid Eye Movement (REM) disebut juga active sleep. Kedua, fase
osilasi antara talamus dan korteks. Tiga sistem utama osilasi adalah kumparan
tidur, delta osilasi, dan osilasi kortikal lambat. Kumparan tidur merupakan sebuah
ciri tahap tidur NREM yang dihasilkan dari hiperpolarisasi neuron GABAnergic
(3)(4)
dalam nukleus retikulotalamus. Hiperpolarisasi ini menghambat proyeksi
depolarisasi.(3)(4)
EEG tambahan dari tidur fase REM adalah gelombang sleep spindel.
Selama fase REM yang berperan adalah sistem kolinergik yang dapat ditingkatkan
dengan reseptor agonis dan dihambat dengan antikolinergik. Fase REM (tahap R)
ditandai oleh atonia otot, aktivasi kortikal, desinkronisasi bertegangan rendah dari
(4)
EEG dan gerakan cepat dari mata. Fase REM memiliki komponen saraf
parasimpatomimetik dan saraf simpatik yang ditandai oleh otot rangka berkedut,
pernapasan. Atonia otot terdapat pada seluruh fase REM sebagai hasil dari inhibisi
yang berlebihan. Selama fase NREM permintaan metabolik otak berkurang. Hal
Tomography (PET) yaitu selama fase NREM aliran darah ke seluruh otak semakin
menurun.(5)
Selama fase REM aliran darah meningkat di talamus dan visual utama,
kortek motorik dan sensorik relatif menurun di prefrontal dan daerah parietal
(5)
asosiasional. Peningkatan aliran darah ke daerah visual utama dari korteks
dapat menjelaskan sifat alamiah bermimpi saat REM, penurunan aliran darah ke
cara ini minimal berjumlah empat buah yaitu satu untuk melihat gambaran
mata dengan elektroda diletakkan 1 cm di sebelah kantus kanan dan kiri. Untuk
EEG dan EOG reference electroda diletakkan ipsilateral atau kontralateral dari
cuping telinga atau pada mastoid sedangkan EMG direkam secara bilateral dari
frekuensi dan amplitudo yang berbeda seperti terlihat pada tabel 1. Pada keadaan
perpindahan dari keadaan terjaga menuju tidur, gelombang alfa yang akan muncul
memiliki frekuensi 4-7 Hz dan amplitudo 50-100 mikrovolt. Spindle waves, slow
waves dan delta waves memiliki amplitudo 100-200 mikrovolt dengan frekuensi
0,5-4 Hz.(3)(4)(6)
Volts)
splindle
spindle and
gelombang slow
gelombang delta
1. Tahapan terjaga
Fase ini disebut juga fase nol yang ditandai dengan subjek dalam keadaan
tenang mata tertutup dengan karakteristik gelombang alfa (813 Hz) mendominasi
seluruh rekaman, tonus otot yang tinggi dan beberapa gerakan mata. Keadaan ini
2. Fase 1
Fase ini merupakan fase perpindahan dari fase jaga ke fase tidur disebut
juga twilight sensation. Fase ini ditandai dengan berkurangnya gelombang alfa
dan munculnya gelombang teta (4-7 Hz), atau disebut juga gelombang low voltage
mix frequencies (LVM). Pada EOG tidak tampak kedip mata atau REM, tetapi
lebih banyak gerakan rolling (R) yang lambat dan terjadi penurunan potensial
EMG. Pada orang normal fase 1 ini tidak berlangsung lama yaitu antara lima
3. Fase 2
Pada fase ini, tampak kompleks K pada gelombang EEG, sleep spindle (S)
terdapat REM atau R dan kedip mata. EMG potensialnya lebih rendah dari fase 1.
Fase 2 ini berjalan relatif lebih lama dari fase 1 yaitu antara 20 sampai 40 menit
4. Fase 3
Pada fase ini gelombang delta menjadi lebih banyak (maksimum 50%)
dan gambaran lain masih seperti pada fase 2. Fase ini lebih lama pada dewasa tua,
tetapi lebih singkat pada dewasa muda. Pada dewasa muda setelah 5 10 menit
5. Fase 4
Pada fase ini gelombang EEG didominasi oleh gelombang delta
(gelombang delta 50%) sedangkan gambaran lain masih seperti fase 2. Pada fase 4
6. Fase REM .
Gambaran EEG tidak lagi didominasi oleh delta tetapi oleh LVM seperti
fase 1, sedangkan pada EOG didapat gerakan mata (EM) dan gambaran EMG
tetap sama seperti pada fase 3. Fase ini sering dinamakan fase REM yang
Fase REM umumnya dapat dicapai dalam waktu 90-110 menit, kemudian
akan mulai kembali ke fase permulaan fase 2 sampai fase 4 yang lamanya 75-90
menit. Setelah itu muncul kembali fase REM kedua yang biasanya lebih lama
dari eye movement (EM) dan lebih banyak dari REM pertama. Keadaan ini akan
berulang kembali setiap 75 90 menit tetapi pada siklus yang ketiga dan keempat,
fase 2 menjadi lebih panjang fase 3 dan fase 4 menjadi lebih pendek. Siklus ini
terjadi 4 5 kali setiap malam dengan irama yang teratur sehingga orang normal
dengan lama tidur 7 8 jam setiap hari terdapat 4-5 siklus dengan lama tiap siklus
75 90 menit. (3)(4)
obstruksi parsial pada saluran nafas atas. Pada anak-anak, obstruktif didefinisikan
sebagai tidak adanya aliran udara pada hidung meskipun terdapat dinding dada
(9)
dan gerakan dinding perut, setidaknya dua napas. Sebaliknya, obstructive
hypopnea penurunan aliran udara hidung sebesar 50% disertai oleh penurunan
saturasi oksigen 3%. Jumlah apneu dan hypopnea setiap jam tidur dinyatakan
pertukaran gas yang abnormal. Ini karena adanya kompensasi neuromuskuler pada
kolapsnya jalan napas karena faktor mekanis dan saraf. Faktor mekanis yang
paling umum pada anak-anak adalah hipertropi adenoide dan atau amandel, serta
penyempitan lumen jalan napas. Sekitar 2% dari anak-anak yang sehat memiliki
pembesaran amandel dan adenoide dapat menghalangi jalan napas. (10) (11)(12) Pada,
napas bagian atas. Hypoxemia adalah gangguan jalan napas dan obstruktif
OSA.(10) (11)(12)
pertama, Central Sleep Apnea (CSA), dimulai dari pusat kontrol pernafasan
diotak. Terjadi ketika otak tidak mengirimkan sinyal yang memadai ke otot-otot
Ini biasanya terjadi pada bayi atau pada orang dewasa dengan penyakit jantung,
penyakit serebrovaskular atau penyakit herediter atau kelainan bawaan juga dapat
disebabkan oleh keracunan obat. Kedua, Obstructive Sleep Apnea (OSA), yaitu
suatu hambatan saluran pernafasan selama tidur, kedaan ini diperkirakan sekitar
4% dari pria dan 2% dari perempuan dari seluruh kasus sleep apnea ini. Dalam
selama tidur diperkirakan 1,5% dari semua angka kejadian pertahun. Yang lain
obstruksi pernafasan.(9)(13)
2.2.3 Patofisiologi Obstructive Sleep Apnea
Ada tiga faktor yang berperan pada patogenesis OSA, pertama, obstruksi
saluran nafas daerah faring akibat pendorongan lidah dan palatum ke belakang
terhentinya aliran udara, meskipun pernafasan masih berlangsung saat tidur. Hal
tersadar selama periode apnea, dimana dalam hal ini mereka akan mengalami
sensasi tersedak yang biasa berlangsung beberapa detik. Kedua, ukuran lumen
faring yang dibentuk oleh otot dilator faring (M. Pterigoid Medial, M. Tensor Veli
neuromuskular pada otot dilator faring berperan terhadap kolapsnya saluran nafas.
refleks otot dilator faring, saat pasien mengalami periode apnea hipopnea. Ketiga,
menyebabkan penyempitan pada saluran nafas atas. Kelainan daerah ini dapat
Suara mendengkur timbul akibat turbulensi aliran udara pada saluran nafas
atau akibat sumbatan. Tempat terjadinya sumbatan biasanya di basis lidah atau
palatum. Sumbatan terjadi akibat kegagalan otot-otot dilator saluran nafas atau
menstabilkan jalan nafas pada waktu tidur dimana otot-otot faring berelaksasi,
yang diperberat oleh edema karena vibrasi yang terjadi pada waktu mendengkur
dapat berperan pada progresivitas mendengkur menjadi sleep apnea pada individu
tertentu.(15)
saluran nafas akibat pergerakan mandibula, palatum mole, dan lidah kearah
tekanan kritis kolaps saluran nafas. Penyempitan saluran nafas akibat mikrognatia,
dalam OSA kombinasi aktivitas otot saluran nafas atas yang menurun pada saat
tidur disertai struktur faring kecil membentuk tekanan kritis kolaps saluran nafas
disadari. (16)
resiko utama terjadinya Obstructive Sleep Apnea. Penambahan berat badan akan
disebabkan hipertrofi tonsil dan adenoid hipertrofi. Pada orang tua cenderung
genioglossus.(12)(17)
menopause
mandibular)
3. Obstruksi nasal
1. Merokok
2. Obesitas
khusus. Gabungan data yang akurat dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang
standar OSA.(9)(18)
2.2.5.1 Anamnesis
Banyak penderita OSA tidak merasa punya masalah dengan tidurnya dan
datang ke dokter hanya karena partner tidur mengeluhkan suara mendengkur yang
keras (fase pre-obstruktif) diselingi oleh keadaan senyap yang lamanya bervariasi
tidur tidak nyenyak, letih dan lesu sepanjang hari, penurunan kosentrasi, ada
dan datang ke dokter hanya karena partner tidur mengeluhkan suara mendengkur
yang keras (fase pre-obstruktif) diselingi oleh keadaan senyap yang lamanya
siang hari. OSA disuspek pada pasien dengan skor diatas 10. (19)
Menonton TV
tanpa istirahat
kesibukan
Duduk dan berbicara dengan orang lain
Pengukuran BMI, tekanan darah, dan lingkaran lilit leher adalah parameter
yang penting dalam parameter pemeriksaan OSA. Dari pemeriksaan fisik harus di
identifikasi posisi dan ukuran tulang maksilla dan mandibula dan karakteristik
1. Fiberoptic Nasopharyngoscopy
evaluasi jalan nafas. Alat ini adalah penting untuk identifikasi tempat dan lokasi
(16)(20)
obstruktif : nasal, retropalatal atau retrolingual. Kebaikan dan limitasi
Muller manuver dilakukan pada pasien sadar yang menghasilkan tekanan negatif
2. X-foto Cephalometric
tulang rangka dan jaringan lunak. Ini bisa mengkonfirmasi pasien OSA melalui
displacement tulang hioid ke inferior, ruang udara posterior yang sempit, palatum
3. Oksimetri
Pemeriksaan Oksimetri pada saat tidur malam hari sebagai skrining OSA.
Memiliki sensitivitas sebesar 31%. Kombinasi dari semua faktor di atas dapat
4. Polisomnografi
pernafasan dan saturasi oksigen. Karakteristik OSA pada saat dilakukan PSG
adalah penurunan saturasi oksigen berulang, sumbatan sebagian atau komplit dari
jalan nafas atas, yang disertai dengan > 50%, penurunan amplitudo pernafasan,
pasien akan diminta kesediaannya untuk mengisi kuisioner berlin, bertujuan untuk
menjaring pasien yang mempunyai risiko tinggi terjadinya OSA. Kuisioner ini
terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama berisi tentang apakah mereka mendengkur,
seberapa keras, seberapa sering, dan apakah sampai mengganggu orang lain.
Bagian kedua berisi tentang kelelahan setelah tidur, seberapa sering merasakan
lelah, pernahkah tertidur saat berkendaraan. Bagian ketiga berisi tentang riwayat
hipertensi, berat badan, tinggi badan, umur, jenis kelamin, dan body mass index
(BMI). Seseorang dinyatakan beresiko tinggi OSA bila memenuhi paling sedikit 2
gangguan tidur, termasuk OSA. Konfirmasi diagnosa dan tingkat keparahan OSA
dilakukan.(24)
selama fase tidur. Hal ini dilakukan selama tidur malam (nocturnal sleep), di
bawah supervisi dari seorang teknisi dan dapat dilakukan dalam sebuah
Mekanisme
1. Elektroensefalografi (EEG)
gelombang yang khas terjadi dalam fase tidur tertentu. (12) (26)
2. Elektrookulografi (EOG)
okuli dekstra dan 1 cm di bawah batas terluar canthus okuli sinistra. EOG
memberikan rekaman perbedaan elektropotensial antara kornea dan retina
3. Elektromiografi (EMG)
4. Elektrokardiografi (EKG)
Alat ini diletakkan di dalam atau dekat dengan nostril dan berfungsi
6. Pulse oxymetri
Diletakkan di jari atau cuping telinga. Alat ini akan mendeteksi perubahan
7. Video monitor
Berfungsi memantau aktivitas tidur pasien. (12) (26)
8. Perekam suara
Prosedur(16)(27)
pasien: (16)(27)
5. Hasil perekaman dijadikan data yang akan diolah oleh sebuah sistem
kertas dengan format khusus yang memuat hasil bacaan seluruh peralatan
pembacaan dan interpretasi, dalam hasil bacaan kertas dibuat batas tiap 30
Hasil(16)(28)
Awal mula tidur ditentukan dengan kriteria EEG, Normal: 20 menit. (16)(28)
Berdasarkan hasil tersebut, tidur dibagi menjadi 3 fase, yaitu fase bangun,
non-REM dan REM. Fase non-REM dibagi lagi menjadi stadium 1 sampai
mulai dari gelombang khas EEG, gerakan mata dalam EOG dan tonus otot
pasien dapat mencapai fase tersebut. Hal ini dikarenakan pada fase
Pergerakan kaki
obstructive apnea yang terjadi per jam) dan HI (Hypopnea Index = jumlah
OSA (18)(28)(29)
2.2.6.1 Umur
Arsitektur tidur pada usia 50 tahun berubah secara signifikan. Inisiasi tidur
menjadi lebih sulit, durasi tidur dalam, waktu tidur total dan efisiensi tidur
tua tidur lebih awal dan bangun lebih pagi. Hal ini dapat memperburuk kualitas
dan kuantitas tidur. Dengan penuaan, durasi tidur dalam menurun sedangkan
Lakilaki mempunyai tahanan faring lebih tinggi ketika bangun dan celah
hiperkarbia dan hipokia lebih besar pada lakilaki. Pada beberapa kesempatan
keaadaan hiperkarbia dan hipoksia pada saat tidur mengganggu dari durasi tidur
penderita. Faktor adanya hormon estrogen juga diduga berperan dalam fase tidur.
(19)
Lingkar leher yang kecil beresiko dalam obstruksi saluran napas daerah
timbul apnea, asfiksia sampai periode arousal atau proses terbangun yang singkat
dari tidur dan terjadi perbaikan patensi saluran napas atas sehingga aliran udara
2.2.6.4 Obesitas
perkembangan perubahan seperti pengurangan dalam nada saluran nafas atas dan
sebelum kontraksi otot pernafasan, sehingga lumen faring tidak kolaps akibat
tekanan intrafaring yang negatif oleh karena kontraksi otot dinding dada dan
diafragma. (29)
Saat tidur aktivitas otot dilator faring yang strukturnya sangat lentur relatif
udara dari luar kedalam paru. Tekanan negatif cenderung menyebabkan kolaps
otot-otot saluran nafas atas. Di sisi lain, tekanan negatif pula yang mengaktivasi
otot fasik (genioglossus) untuk melawan kolaps sehingga jalan nafas tetap terbuka
2.2.6.5 Merokok
Asap rokok memicu inflamasi selama tidur selain itu juga menimbulkan
kerusakan mekanik dan saraf pada saluran napas atas, serta meningkatkan resiko
kolaps otot-otot faring selama tidur. (16)(28) Paparan rokok yang berlebihan dapat
memberikan inflamasi pada saluran nafas, selanjutnya terjadi edema pada saluran
Cobalamin atau biasa disebut vitamin B12 adalah sebuah vitamin yang
larut dalam air yang berperan penting dalam mengoptimalkan kerja otak dan
sistem saraf, serta dalam pembentukan darah. Vitamin B12 ini merupakan salah
satu dari 8 vitamin B. Umumnya, vitamin ini terlibat dalam metabolism setiap sel
tubuh, terutama dalam sintesis dan regulasi DNA serta pada sintesis asam lemak
struktur, vitamin B12 adalah vitamin yang paling kompleks dan mengandung
elemen kobal yang jarang tersedia secara biokimia.(35) Biosintesis dari struktur
dasar vitamin ini hanya dapat dilakukan oleh bakteri, namun konversi antara
bentuk-bentuknya yang berbeda dapat terjadi dalam tubuh. Suatu bentuk sintesis
yang umum dari vitamin ini, sianokobalamin, tidak terjadi di alam, namun
digunakan dalam banyak sediaan farmasi dan suplemen, dan juga sebagai bahan
tambahan makanan karena kestabilannya dan harganya yang lebih murah. Dalam
tubuh, vitamin ini diubah menjadi bentuk dengan membuang gugus sianida nya
diperdebatkan.(34)(35)
parietal dalam perut yang mensekresi faktor intrinsik. Faktor intrinsik ini sangat
penting dalam absorpsi normal vitamin B12, sehingga kekurangan faktor intrinsik,
B12.(36) Faktor ekstrinsik vitamin B12 kemudian dapat diisolasi dari hati.
Peranan sentral lambung dalam absorpsi vitamin B12 mengisolasi fakor intrinsik,
di Amerika Serikat, sebagai penyakit yang awalnya tidak terlihat dan diderita
manusia pada usia setengah tua atau tua. Murot dan Murphy pada tahun 1926
pembuatan ekstrak hati dalam larutan air, yang bila diberikan melalui
kompleks. Vitamin ini memiliki cincin corrin, yang serupa dengan cincin forfirin
pada hem. Namun cincin corrin berbeda dengan hem, karena dua dari empat
cincin pyrol disatukan disatukan secara langsung dan bukan melalui jembatan
metilen. Cirinya yang paling tidak lazim adalah adanya Cobalt, yang terkoordinasi
dengan cincin corrin ( serupa dengan besi yang terkoordinasi dengan cincin
forfirin). Kobalt ini dapat membentuk ikatan dengan sebuah atom karbon. Pada
Vitamin B12 atau kobalamin terdiri atas cincin mirip-porfirin seperti hem,
yang megandung kobalt serta terkait pada ribosa dan asam folat. Bentuk sintetik
Vitamin B12 adalah kristal merah yang larut dalam air. Warna merah
karena kehadiran kobalt. Vitamin B12 secara perlahan rusak oleh asam encer,
bentuk paling stabil dan karena itu diproduksi secara komersial dari fermentasi
bakteri.(41)
2.3.2 Sumber Vitamin B12
Semua vitamin B12 alami diperoleh sebagai hasil sintesis bakteri, fungi
atau ganggang. Sumber utama vitamin B12 adalah makanan protein hewani yang
memperolehnya dari hasil sintesis bakteri di dalam usus, seperti hati, ginjal,
disusul oleh telur, susu, ikan, keju dan daging. Vitamin B12 dalam sayuran ada
bila terjadi pembusukan atau pada sintesis bakteri. Vitamin B12 yang terjadi
melalui sintesis bakteri pada manusia tidak dapat diabsorpsi karena sintesis terjadi
merupakan salah satu bentuk kobalamin, karena proses produksinya yang mudah
dan murah. Angka kecukupan gizi vitamin B12 untuk orang dewasa adalah 2,4
Vitamin B12 terikat pada protein makanan dan harus di pecah oleh pepsin
lambung dan berlanjut ke usus kecil, dimana protein R terhidrolisasi oleh faktor
beberapa faktor seperti suplementasi vitamin B12, adanya penyakit hepar kronik,
kerusakan ginjal, penggunanaan obat obatan antasid. Mayoritas vitamin B12
diabsorbsi dengan transpor aktif, hanya sekitar 1% yang dapat di absorbsi dengan
difusi sederhana. Faktor intrinsik dapat mengikat empat rantai kobalamin dalam
ikatan faktor intrinsik- kobalamin, dimana vitamin akan masuk ke dalam sel darah
ileum..(39)
asam dan faktor intrinsik. Disamping jumlah intrinsik faktor, jumlah dari reseptor
yang cukup baik, orang sehat dapat menyerap lebih dari 10g kobalamin per hari.
terserap menurun melebihi garis ambang batas. Ketika faktor intrinsik terlebihi,
sebagai koenzym:(41)
Vitamin B12 diperlukan untuk sintesis asam nukleat di dalam tubuh kita.
usus kecil dan kurangnya absorbsi di ileum terminal. Ketika sintesis DNA/ RNA
yang tidak efektif dan perubahan eritrosist menjadi makrositik dimana umur
dikarenakan produksi yang tidak adekuat dan sekresi faktor intrinsik. Anemia
tahun ke atas. Gejala dapat meliputi gangguan pencernaan, kulit pucat, glositis,
ikterus ringan, nyeri kepala, dyspnue, nyeri dada, malaise, gangguan sisitem saraf
tepi, dan vertigo ketika sedang melalkuakan aktifitas. Gejala dapat ringan dan
berjalan secara lambat, membuat sulit pasien untuk mengenali gejala tersebut.
(44)(46)
Anemia pernisiosa sering ditemukan bersama dengan kelainan autoimun.
Pemeriksaan darah lengkap, darah tepi, serum vitamin B12, serum anti faktor
diberikan diet yang seimbang dan suplementasi dari vitamin B12. Pengobatan
Ketika ikatan vitamin B12 dengan faktor intrinsik telah dikenali oleh
reseptor spesifik di ileum terminal, dapat berdifusi secara transpor aktif lalu
dimana hasil akhir dapat berfungsi untuk pembentukan hormon hormon didalam
poliamin dimana produk akhir berupa spermidine, putresin yang berfungsi untuk
transulfurasi dimana hasil akhir berupa sulfat, gluthation, taurin yang berfungsi
pada kelenjar pineal. Selain kelenjar pineal adalah retina, kulit, usus, dan sumsum
ventrikel ketiga. Dalam kelenjar pineal, terdapat dua tipe sel yaitu pinealocytes,
yang dibedakan menjadi terang dan gelap yang berfungsi menghasilkan indolamin
reseptor membran dan nukleus.(49) Namun, banyak dari fungsi tersebut yang tidak
memiliki dua reseptor yaitu MT1 dan MT2 yang merupakan reseptor reseptor
membran yang memiliki tujuh domain membran dan termasuk dalam keluarga
besar dari reseptor reseptor G protein-coupled. Aktivasi dari reseptor ini akan
limfosit dan monosit manusia. Selain itu melatonin juga berfungsi mengatur
durasi tidur. Pada pasien dengan kadar melatonin yang rendah mempunyai durasi
tidur dalam yang rendah.(53) Sekresi melatonin mengikuti irama sirkadian dan
dapat dipengaruhi oleh siklus terang gelap, dimana pada kondisis gelap
21.00 22.00 dan memuncak pada 22.00 04.00, Konsentrasi terendah melatonin
bergantung pada umur. Bayi yang berumur kurang dari 3 bulan mensekresi
melatonin dalam jumlah yang sangat kecil dan menjadi teratur setelah 3 bulan
kelahiran.(55) Sekresi melatonin pada bayi berumur kurang dari 3 bulan belum
optimal. Sekresi ini menjadi semakin teratur setelah usia 3 bulan yang kemudian
tertinggi (rata - rata 250 pg/ml) adalah pada umur 1-3 tahun..(56) Mendekati usia
pubertas, sekresi melatonin akan mulai berkurang. Pada orang dewasa muda
normal, rerata sekresi melatonin pada siang hari berkisar pada 10 pg/ml dan 60
pg/ml pada malam harinya. Siklus harian melatonin sebanding dengan siklus pagi
hingga malam dan bertahan pada subjek normal jika menetap di suasana gelap.
Sekitar 90% melatonin pada manusia diekskresi dari dalam tubuh melalui hepar,
Dalam keadaan normal sebanyak kurang lebih 70% vitamin B12 yang
ikatannya dengan protein oleh cairan lambung dan pepsin, kemudian segera diikat
oleh protein-protein khusus dalam lambung. Vitamin B12 dilepas dari faktor R di
terutama tripsin untuk segera diikat oleh faktor intrinsik (IF). Kompleks vitamin
B12-IF ini kemudian diikat oleh reseptor khusus pada membran mikrovili ileum
usus halus dan diabsorpsi. Di dalam sel mukosa usus halus vitamin B12
kemudian dibawa ke hati.(60) Vitamin B12 yang terikat pada TC-2 kemudian
vitamin B12 di dalam sel berada dalam keadaan terikat pada enzim metionin
sintetase yang ada dalam sitoplasma sel atau pada enzim metilmalonil-KoA
mutase yang terdapat dalam mitokondria sel.(61) Vitamin B12 yang terdapat di
dalam cairan empedu dan sekresi saluran cerna lain disalurkan kembali melalui
satunya donor pada sejumlah reaksi metilasi yang melibatkan protein, fosfolipid,
dan amino biogenik. Saat transfer kelompok metilnya, SAM dikonversi menjadi
obstructive sleep apnea, mempunyai kadar melatonin yang lebih rendah pada
normal, terutama menurunnya fase tidur 3 dan 4 yang mana merupakan fase tidur
pada usia tua dibandingkan dengan usia muda. Asap rokok memicu inflamasi
selama tidur selain itu juga menimbulkan kerusakan mekanik dan saraf pada
saluran napas atas, serta meningkatkan resiko kolaps otot-otot faring selama tidur.
Kebiasaan minum alkohol lebih dari sama dengan 2 sloki terbukti bisa memicu
menurunya fase tidur dalam.(65) Pada orang normal tekanan darah menurun 10% -
15% pada waktu tidur. Pada orang yang menderita hipertensi terjadi peningkatan
aktivitas simpatis dalam jangka waktu lama berpengaruh terhadap Episode apnea
yang berulang, hipoksemia, aurosal, durasi fase tidur yang pada akhirnya
BMI
Cronic
Skor mallampati hypoxia Melatonin
intermitten
Lingkar leher
umur
Irama Tidur Konsumsi cafein
Fragmentasi pasien
Jenis kelamin Fase tidur obstructive
sleep apnea
merokok
Obat obatan dengan
efek sedatif
Derajat OSA
penelitian yaitu umur, jenis kelamin, skor mallampati, lingkar leher, BMI,
hipertensi, merokok, derajat OSA. Variabel lain tidak menjadi bagian dari
tersebut.
Umur
Jenis kelamin
Lingkar leher
Skor Mallampati
BMI
Hipertensi
Merokok
Derajat OSA
Terdapat hubungan kadar B12 serum dan durasi fase tidur dalam pada
a. Terdapat hubungan kadar B12 serum dengan durasi fase tidur total
b. Terdapat hubungan B12 serum dengan durasi fase tidur dangkal pada
METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan di instalansi rawat jalan ilmu penyakit saraf RSUP Dr.
cross sectional
T1
B1 T2
T3
T1
Populasi subyek B2 T2
T3
T1
B3 T2
T3
Keterangan :
Kariadi Semarang.
mg/dl).
penelitian.
semua pasien yang telah diseleksi dengan kriteria inklusi dan eksklusi dari periode
n = Z2 PQ
d2
dimana Q = ( 1-P).
n : Besar sampel
1. <40 tahun
2. 40- 50 tahun
3. >50 tahun
menjadi :
1. wanita
2. laki- laki
1. normal : antropometri
pria >43 cm
wanita >37 cm
2. sempit ringan:
pria 38 - 43 cm
wanita 32- 37 cm
3. sempit berat:
pria <38 cm
wanita <32 cm
mallampati orofaringeal
durum
1. Underweight, normoweight
3. Obesitas ( BMI>30)
159/99)
1. tidak
kontrol di instalansi rawat jalan smf ilmu penyakit saraf RSUP Dr. Kariadi
informed consent.
malam hari. Pengambilan sampel darah untuk mengukur kadar B12 serum di
ambil pada malam hari sebelum pemeriksaan polisomnografi, pasien diperiksa
menggunakan polisomnografi dari jam 22.00 malam hingga jam 06.00 pagi.
Pengambilan darah vena sebanyak 5 cc dari vena cubiti, darah disimpan di dalam
tabung lalu dipusing dan diambil serumnya. Serum disimpan dalam deep freeze
dan diberi nomer kode susuai pasien. Waktu antara pengambilan sampel darah
sampai ke penyimpanan dalam deep freeze tidak boleh melebihi 8 jam. Sampel
Penilaian durasi fase tidur dalam dilakukan pagi hari setelah pemeriksaan
polisomnografi. Selain pemeriksaan durasi fase tidur dalam, di nilai juga fase tidur
Kariadi Semarang
Anamnesa
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan polisomnografi
Pengumpulan data
Analisa data
Hasil penelitian
Data primer didapatkan dari pasien obstructive sleep apnea (umur, jenis
hipertensi). Pengambilan sampel darah untuk diperiksa kadar B12 serum dalam
presentase (n dan %). Data berskala numerik diuji normalitasnya dengan saphiro-
wilk. Data berskala numerik dengan distribusi normal dinyatakan dalam bentuk
rerata dan simpang baku. Sedangkan data tidak berdistribusi normal disajikan
hubungan antara kadar B12 serum dengan durasi fase tidur dalam pada pasien
obstructive sleep apnea ringan, obstructive sleep apnea sedang dan obstructive
sleep apnea berat. Hasil analisis bivariat yang bermakna dianalisis lebih lanjut
dengan uji multivariat regresi linear untuk mengetahui variabel yang berpengaruh
dimintakan dalam bentuk informed consent tertulis. Pasien atau keluarga berhak
A. Hasil
diperoleh subjek pasien Obstructive sleep apnea di poli dan bangsal saraf
Gambar 4. Alur penelitian hubungan kadar B12 serum dengan durasi fase tidur
epworth sleeping scale <9, 2 subjek kadar kreatinin >2,0 , dan 1 subjek
tidak ada darah yang lisis. Subjek yang ikut dan menyelesaikan penelitian
64
perhari. Sebanyak 10 subyek (41,7%) merokok sebanyak >6 batang
65
durasi tidur dalam yang memendek. Untuk durasi tidur REM sebanyak 22
subyek (92%) memiliki durasi tidur REM memendek (<60) dan sebanyak
2 subyek (8%) memiliki durasi tidur REM yang normal (60-80). Untuk
memiliki sleep efficiency yang menurun berat (<60%). Untuk kadar B12
serum, rata-rata untuk kadar B12 serum adalah 92,47 pg/ml (SD =32,18),
pada tabel v.
66
merokok Tidak merokok 6 (25%)
Merokok (<6 batang/ hari) 8 (33,3%)
Merokok (>6 batang/hari) 10(41,7%)
Skala epsworth
Skala 10 11 (45,8%)
sleepiness
Skala 11 10 (41,7%)
Skala 12 3 (12,6%)
Lingkar Leher Normal 3 (12,5%)
Sempit ringan 10 (41,7%)
Sempit Berat 11 (45,8%)
Skor Mallampati Skor mallampati 1 1 (4,2%)
Skor mallampati 2 13 (54,2%)
Skor mallampati 3 7 (29,2%)
Skor mallampati 4 3 (12,3%)
BMI Underweight dan normoweight 3 (12,5%)
Overweight 8 (33,3%)
Obesitas 13 (54,2%)
Durasi tidur total Memanjang (>480) 4 (16,7%)
Normal (360-480) 7 (29,2%)
Memendek (<360) 13 (54,2%)
Durasi tidur
Normal ( 240-280) 6 (25%)
dangkal
Memanjang ( >280) 18 (75%)
Durasi tidur
Memanjang (>180) 4 (16,6%)
dalam
Normal (120-180) 4 (16,6%)
Memendek (<120) 16 (66,8%)
Durasi tidur REM Normal (60-80) 2 (8%)
Memendek (<60) 22 (92%)
Sleep efficiency Normal (80-100%) 3 (12,5%)
Menurun ringan (60-80%) 10 (41,7%)
Menurun berat (<60%) 11 (45,3%)
Kadar B12 serum Normal (200-800pg/ml) 2 (8,4%)
Menurun (<200pg/ml) 22 (91,6%)
67
Derajat OSA OSA derajat ringan 7 (29,2%)
OSA derajat sedang 4 (16,7%)
OSA derajat berat 13 (54,2%)
kadar B12 serum dengan durasi fase tidur dalam pada pasien obstructive
sleep apnea (p=0,001) dan koefisien korelasi (r) 0,624 (Tabel VI)
bermakna antara umur dengan durasi fase tidur dalam (p=0,74) (Tabel VI).
durasi fase tidur dalam (p=0,424) (Tabel VI). Untuk Lingkar leher,
yang bermakna antara skor mallampati dengan durasi fase tidur dalam
(p=0,007) dan koefisien korelasi (r) 0,537 (Tabel VI). Terdapat hubungan
yang bermakna antara BMI dengan durasi fase tidur dalam (p=0,003) dan
koefisien korelasi (r) 0,586 (Tabel VI). Tidak terdapat hubungan yang
merokok dengan durasi fase tidur dalam (p=0,805) (Tabel VI). Terdapat
hubungan yang bermakna antara Derajat OSA dengan durasi fase tidur
68
dalam (p=0,000) dan koefisien korelasi (r) 0,811 (Tabel VI) (hipotesis 4
diterima).
Tabel VI. Analisis bivariat faktor-faktor risiko terhadap durasi fase tidur
dalam pasien OSA
Tabel VII. Analisis bivariat kadar B12 serum terhadap durasi fase tidur total
pasien OSA
70
Durasi Fase Tidur Total Pasien OSA
Statistik p
memendek normal memanjang
N % N % N %
Kadar B12
serum
menurun 15 62,5% 6 25% 3 12,5% Spearman 0,002*
normal 0 0% 1 4,1% 1 4,1% r = 0,597
meningkat 0 0% 0 0% 0 0%
Tabel VIII. Analisis bivariat kadar B12 serum terhadap durasi fase tidur
dangkal pasien OSA
71
Durasi Fase Tidur dangkal Pasien OSA
Statistik p
memendek normal memanjang
N % N % N %
Kadar B12
serum
menurun 0 0% 15 62,5% 7 29,1% Spearman 0,038*
normal 0 0% 1 4,1% 1 4,1% r = 0,425
meningkat 0 0% 0 0% 0 0%
Derajat OSA, skor mallampati, BMI dan Kadar B12 serum mempunyai
multivariat terhadap durasi fase tidur dalam. Dari hasil analisis data
berpengaruh terhadap durasi fase tidur dalam pada pasien OSA (p=0,002,
72
Analisis bivariat Analisis multivariat
Durasi fase tidur
IK 95%
dalam
Faktor risiko p OR p
memanj
memendek normal Min Max
ang
N % N % N%
Lingkar leher
normal 1 4,1% 1 4,1% 1 4,1% 0,001 2,67 0,005* 1,26 11,55
Sempit ringan 8 33,3% 1 4,1% 1 4,1%
Sempit berat 7 21,9% 2 8,3% 2 8,3%
Derajat OSA
OSA derajat ringan 4 16,6% 2 8,3% 1 4,1% 0,000 11,54 0,002* 1,74 13,21
OSA derajat sedang 1 4,1% 1 4,1% 2 8,3%
OSA derajat berat 11 45,8% 1 4,1% 1 4,1%
Skor mallampati
Mallampati 1 0 0% 0 0% 1 4,1% 0,007 3,906 0,005* 1,127 13,537
Mallampati 2 10 41,6% 1 4,1% 2 8,3%
Mallampati 3 4 16,6% 2 8,3% 1 4,1%
Mallampati 4 2 8,3% 1 4,1% 0 0%
BMI
Underweight dan 1 4,1%
1 4,1% 1 4,1% 0,003 3,805 0,005* 1,265 11,556
normoweight
overweight 5 20,8% 2 8,3% 1 4,1%
obesitas 10 41,6% 1 4,1% 2 8,3%
Kadar B12 serum
menurun 17 70,8% 4 16,6% 3 12% 0,001 6,345 0,010* 2,601 19,54
normal 1 4,1% 0 0% 1 4,1%
meningkat 0 0% 0 0% 0 0%
Tabel IX. Analisis regresi logistik faktor-faktor resiko terhadap durasi fase tidur
dalam pada pasien OSA
Hubungan signifikan, p<0,05, CI 95%
B. Pembahasan
73
Telah dilakukan penelitian pada 24 subjek pasien obstructive sleep apnea
yang diperiksa di RSUP Dr. Kariadi Semarang periode januari 2017 agustus
2017 dan memenuhi kriteria penelitian.Variabel utama pada penelitian ini adalah
kadar B12 serum yang dihubungkan dengan durasi fase tidur dalam pada pasien
subyek penelitian terdiri dari usia, jenis kelamin, hipertensi, merokok, skala
epsworth sleepiness, lingkar leher, skor mallampati, BMI, durasi tidur total, durasi
tidur, dangkal, durasi tidur dalam, durasi tidur REM, sleep efficiency, derajat
OSA.
faktor yang dapat memperberat keluhan. Salah satu yang di temukan pada
pemeriksaan polisomnografi pasien OSA adalan durasi faase tidur dalam yang
memendek.(1) Pada suatu penelitian yang dilakukan oleh Shojiro, Kazuki et al pada
hubungan etiologis antara vitamin B12 dan durasi fase tidur dalam.(1,5) Honma,
produksi dari melatonin tubuh dan melatonin tersebut mempengaruhi irama tidur
dan durasi dari stase tidur.(5) Pada review yang lain, Maeda, okamoto, hoshino et al
Pada penelitian ini, dari 24 subjek dengan obstuctive sleep apnea, sebanyak
74
tidur dalam yang memendek. Hal ini sejalan dengan penelitian Andrew keong Ng
et al pada tahun 2012, yang mendapatkan bahwa sekitar 65% dari penderita
obstuctive sleep apnea di dapatkan durasi fase tidur dalam (N3) yang
memendek.(66) Pada penelitian lain yang dilakukan oleh Guo deng et al 2015
Derajat AHI pada pasien OSA berpengaruh secara signifikan terhadap durasi fase
insomnia. Selama kehidupan, pola tidur akan berubah seiring bertambahnya usia.
Masalah gangguan tidur banyak didapatkan pada usia lanjut dan terjadi pada lebih
dari 50% orang dewasa berusia diatas 65 tahun. Orang lanjut usia memiliki risiko
lebih tinggi untuk terjadinya gangguan tidur karena berbagai faktor, seperti
Dari faktor usia, pada penelitian ini usia pasien menurut kelompok umur
adalah kelompok umur dewasa (26-45 tahun) sebanyak 12 (23,7%) subjek, dan
kelompok umur tua (>46 tahun) sebanyak 39 (76,3%) subjek. Tidak didapatkan
hubungan yang bermakna antara usia dengan insomnia (p=0,706). Hal ini sejalan
dengan penelitian Morphy et al pada tahun 2007 di UK pada 2363 subjek yang
mendapatkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara usia dan kejadian
75
Pada penelitian ini, dari 51 subjek kami mendapatkan 16 (31,4%) subjek
berjenis kelamin laki-laki dan 35 (68,6%) perempuan. Dari analisis statistik tidak
(p=0,730). Hal ini sejalan dengan hasil yang didapatkan oleh Morphy et al tahun
2007 yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara jenis
perempuan (77,14%) dibandingkan pada laki-laki (68,75%). Hal ini sejalan dengan
hasil dari Voderholzer et al yang pada tahun 2003 melakukan penelitian pada
mendapatkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dan
perempuan. Keluhan insomnia didapatkan lebih banyak pada perempuan usia pra
dan pasca menopause, sehingga diduga bahwa perubahan hormonal berperan pada
kondisi ini. 46
insomnia lebih besar pada nyeri sedang-berat (82,05%) dibandingkan pada nyeri
ringan (50%), tetapi tidak didapatkan hubungan yang signifikan antara intensitas
nyeri dan insomnia (p=0,053). Hal ini tidak sesuai dengan penelitian Tang et al
pada tahun 2007, yang mendapatkan bahwa pada pasien nyeri punggung kronis,
76
pada tahun 2011 pada berbagai kondisi nyeri kronis juga mendapatkan bahwa
et al tahun 2013 pada nyeri punggung bawah kronis juga mendapatkan hasil yang
serupa.49 Ketidaksesuaian ini dapat disebabkan karena jumlah sampel yang tidak
seimbang antara kelompok nyeri ringan dan kelompok nyeri sedang-berat, dimana
pada penelitian ini subjek dengan intensitas nyeri sedang-berat lebih besar
jumlahnya dibanding subjek dengan intensitas nyeri ringan. Selain itu tampak
bahwa pada kelompok nyeri ringan, sebanyak 50% subjek juga menderita
insomnia. Hal ini tampaknya juga berkaitan dengan durasi penyakit nyeri kronis
yang diderita, dan juga berkaitan dengan ansietas yang diderita subjek.
Faktor lain yang dapat berperan pada insomnia adalah ansietas. Beberapa
gerakan dan antisipasi akan datangnya nyeri yang berat menimbulkan ansietas
pada pasien-pasien dengan nyeri kronis, dan kondisi ini membuat beban yang
50,51
dirasakan penderita nyeri kronis semakin berat. Pada penelitian ini kami
mendapatkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara derajat ansietas
insomnia.52 Penelitian Uhde tahun 2009 juga mendapatkan bahwa ansietas dan
subjek kami menderita ansietas ringan. Disini tampak bahwa pada semua subjek
77
disimpulkan bahwa pada semua penderita nyeri kronis menderita ansietas dengan
berbagai derajat. Hal ini disebabkan oleh ketakutan akan datangnya nyeri dan
kekuatiran akan kondisi kronis ini. Pada penelitian ini derajat ansietas tidak
bahwa pada semua derajat ansietas angka terjadinya insomnia cukup besar (69%
pada ansietas ringan dan 58% pada ansietas sedang-berat), yang bisa diartikan juga
pada tubuh, lebih dapat mendeteksi adanya peningkatan gejala dari penyakit yang
dialami, melaporkan intensitas nyeri yang lebih tinggi, memiliki ambang nyeri
selektif terhadap adanya ancaman atau berita buruk, yang telah terbukti
memperberat insomnia. Tidak bermaknanya hasil yang kami dapatkan pada faktor
intensitas nyeri dan ansietas mungkin saling berkaitan, karena dari hasil penelitian
adalah menurunnya kadar serotonin dalam darah. Serotonin berperan dalam proses
modulasi nyeri untuk mempertahankan transmisi sinyal nyeri dari saraf ke otak,
78
terutama pada kondisi nyeri kronis.54 Pada penelitian ini, dari 51 subjek dengan
berbagai kondisi nyeri kronis, didapatkan kadar serotonin darah yang rendah pada
sebelumnya pada berbagai kondisi nyeri kronis. Cordero et al pada tahun 2010
fibromyalgia kronis.8 Suatu studi metaanalisis oleh Mahdi et al pada 2011 juga
mendapatkan bahwa pada nyeri kepala tipe tegang kronis didapatkan kadar
serotonin platelet maupun plasma yang menurun, dengan kadar serotonin yang
normal atau meningkat pada saat bebas serangan nyeri kepala.34 Penelitian
Karakulova et al pada tahun 2006 juga mendapatkan kadar serotonin serum yang
rendah pada nyeri kepala tipe tegang kronis, yang berhubungan juga dengan
nyeri punggung bawah kronis pada tahun 2007 mendapatkan bahwa terdapat
konsentrasi serotonin plasma yang rendah pada penderita nyeri punggung bawah
penelitian Ross pada tahun 2010 di Amerika Serikat yang mendapatkan bahwa
darah.36 Penelitian Plesman pada tahun 2011 juga mendapatkan penurunan kadar
79
serotonin pada penderita insomnia, dan gejala membaik dengan pemberian
logistik didapatkan bahwa risiko menderita insomnia pada subjek dengan kadar
Kondisi kekurangan serotonin memiliki dampak yang besar pada tubuh. Karena
tidur, walaupun tubuh terasa lelah. Penelitian Baghdoyan pada tahun 2006 telah
menunjukkan bahwa pada orang yang kurang tidur terjadi hiperalgesia, bahkan
dapat timbul keluhan nyeri de novo yang tidak berhubungan dengan keluhan nyeri
untuk memodulasi nyeri tersebut, sehingga produksi melatonin pemicu tidur pun
makin berkurang, dan untuk memproduksi serotonin, otak perlu tidur. Kondisi ini
serotonin memicu terjadinya depresi, dan pada kondisi depresi didapatkan juga
80
menderita depresi. Terdapat beberapa mekanisme hubungan antara nyeri kronis
dan depresi. Pertama, stress fisik dan psikis yang diakibatkan oleh nyeri kronis
dapat memicu episode depresi. Kedua, depresi dapat berperan sebagai prekursor
dan salah satu faktor yang berkontribusi terhadap nyeri, karena toleransi terhadap
nyeri menurun pada pasien dengan depresi.55 Dari analisis statistik, didapatkan
hubungan yang signifikan antara depresi dan insomnia (p=0,006). Hal ini sesuai
dengan penelitian Tsuno et al pada tahun 2005 yang mendapatkan bahwa depresi
pada tahun 2012 juga mendapatkan hasil yang serupa, dimana depresi dan
depresi dapat menyebabkan insomnia dan begitu juga sebaliknya, insomnia dapat
subjek yang tidak menderita depresi (OR=11,073, 95% CI=2,035-60,243). Hal ini
sejalan dengan hasil yang didapatkan oleh Sivertsen et al pada tahun 2012, yang
mendapatkan bahwa risiko insomnia pada penderita depresi sebesar hampir 7 kali
lipat.57
C. Keterbatasan Penelitian
81
1. Belum adanya instrumen yang tervalidasi untuk membedakan antara
tidak seimbang.
82
BAB V. SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Penderita nyeri kronis non kanker dengan kadar serotonin <50 ng/mL
B. Saran
Bidang Penelitian.
Bidang Pendidikan.
83
Tenaga kesehatan perlu memahami faktor-faktor risiko yang
84
DAFTAR PUSTAKA
85
Gen Med. 2011;1-8.
13. Biko S, Hospital A, Sciences H, Health P, Systems H, Town C. Obstructive
sleep apnoea and obesity. S Afr J Clin Nutr. 2011;24(4):1747.
14. Carrasco E, Santamaria J, Iranzo A, Pintor L, De Pablo J, Solanas A, et al.
Changes in dreaming induced by CPAP in severe obstructive sleep apnea
syndrome patients. J Sleep Res. 2006;15(4):4306.
15. Cass AR., Alonso WJ., Islam J., Weller SC. Risk of obstructive sleep apnea
in patients with type 2 diabetes mellitus. Fam Med [Internet].
2013;45(7):492500.
16. Gupta RK, Chandra a, Verm a K, Kumar S. Obstructive sleep apnoea: a
clinical review. J Assoc Physicians India. 2010;58:43841.
17. Balk E, Moorthy D, Obadan N. Diagnosis and Treatment of Obstructive
Sleep Apnea in Adults. Agency Healthc Qual. 2011;(32):1-5
18. Faber P. Obstructive sleep apnoea. Br lung J. 2011;11(1):58.
19. Febriani D, Yunus F, Antariksa B, Andrianto H. Relationship Between
Obstructive Sleep Apnea and Cardiovascular Tinjauan Pustaka Hubungan
Obstructive Sleep Apnea dengan Kardiovaskular. J Kardiol Indones.
2011;32(1):4552.
20. Shamsuzzaman ASM, Gersh BJ, Somers VK. Obstructive sleep apnea.
JAMA J Am Med Assoc. 2003;290(14):190614.
21. Garcia JM, Sharafkhaneh H, Hirshkowitz M, Elkhatib R, Sharafkhaneh A.
Weight and metabolic effects of cpap in obstructive sleep apnea patients
with obesity. Respir Res. BioMed Central Ltd; 2011;12(1):80.
22. ICER. An Action Guide for Obstructive Sleep Apnea: Next Steps for
Patients, Clinicians, and Insurers. Inst Clin Econ Rev. 2013;1-87
23. Gottlieb DJ, Punjabi NM, Mehra R, Patel SR, Quan SF, Babineau DC, et al.
CPAP versus oxygen in obstructive sleep apnea. N Engl J Med.
2014;370(24):227685.
24. Ferguson KA, Cartwright R, Rogers R, Schmidt-Nowara W, Wolfgang S-N.
Oral appliances for snoring and obstructive sleep apnea: a review. Sleep .
2006;29(2):24462.
86
25. Highlights K, Guideline R. Sleep Apnea: Obstructive Sleep Apnea /
Hypopnea Syndrome ( OSAHS ). GAC gudelines. 2008;13.
26. Finkel KJ, Searleman AC, Tymkew H, Tanaka CY, Saager L, Safer-Zadeh
E, et al. Prevalence of undiagnosed obstructive sleep apnea among adult
surgical patients in an academic medical center. Sleep Med. Elsevier B.V.;
2009;10(7):7538.
27. Harsch IA, Konturek PC, Koebnick C, Kuehnlein PP, Fuchs FS, Schahin
SP, et al. Leptin and ghrelin levels in patients with obstructive sleep
apnoea: effect of CPAP treatment. Eur Respir J. 2003;2517.
28. Jaradat M, Rahhal A. Obstructive Sleep Apnea , Prevalence , Etiology &
Role of Dentist & Oral Appliances in Treatment: Review Article. open J
Stomatol. 2015:187201.
29. Lam JC, Sharma SK, Lam B. Obstructive sleep apnoea: definitions,
epidemiology & natural history. Indian J Med Res [Internet].
2010;131:16570.
30. Gala TR, Seaman DR. Lifestyle modifications and the resolution of
obstructive sleep apnea syndrome: A case report. J Chiropr Med.
2011;10(2):11825.
31. At, Atient, Benjamin Chaska PSE Al. Sleep Apnea: Is Your Patient At
Risk? NIH Publ. 1995;95-380.
32. Barcelo A, Sa M, Pen M De, Cao G, Martinez M, Lecea L De, et al. Plasma
levels of neuropeptides and metabolic hormones , and sleepiness in
obstructive sleep apnea. Respir Med J. 2011;195460.
33. Moos DD, Prasch M, Cantral DE, Huls B, Cuddeford JD. Are patients with
obstructive sleep apnea syndrome appropriate candidates for the ambulatory
surgical center? AANA J. 2005;73(3):197205.
34. Carmel R. How I treat How I treat cobalamin ( vitamin B 12 ) deficiency. J
Hematol. 2016;112:221422.
35. Sun-edelstein C, Tietjen GE. AHS Position Paper The FDA Alert on
Serotonin Syndrome With Use of Triptans Combined With Selective
Serotonin Reuptake Inhibitors or Selective Serotonin-Norepinephrine
87
Reuptake Inhibitors: 2010; 1-8.
36. Miller A, Korem M, Almog R, Galboiz Y. vitamin b12, demyelination and
remyelination. J Neurol Sci. 2005;2:15.
37. Pin L, Mart J, Garc X. Vitamin B12 deficiency , hyperhomocysteinemia
and thrombosis: a case and control study. Int J Hematol. 2011;12:45864.
38. Smith P. Vitamin B12 Deficiency: Causes , Evaluation and Treatment . J
Physiol. 2008;9:368.
39. Goyal V. Review Article- Vitamin B12 Virendra Goyal. J Pharm.
2015;5(3):305.
40. Maeda K, Okamoto N. A Multicenter Study of the Effects of Vitamin BI2
on Sleep-Waking Rhythm Disorders: In Shizuoka Prefecture.
1992;46(1):22930.
41. Kiuchi T, Sei H, Seno H, Sano A, Morita Y. Effect of Vitamin B12 on the
Sleep-Wake Rhythm Following an 8-Hour Advance of the Light-Dark
Cycle in the Rat. J Neurochem. 2007;61(4):5514.
42. Lungato L, Gazarini ML, Paredes-gamero EJ, Tersariol S, Tu S, Almeida
VD. Biochimica et Biophysica Acta Sleep deprivation impairs calcium
signaling in mouse splenocytes and leads to a decreased immune response. J
sleep. 2012;1820:19972006.
43. Sarrafi-zadeh S, Dharwadkar S, Singh RB, Meester F De, Wilczynska A,
Wilson DW, et al. Nutritional Modulators of Sleep Disorders. J Clin sleep
Med . 2012;2:114.
44. Dawson D. Vitamin B12 A brief overview. J Chem Inf Model.
2015;2(4):2116.
45. Lichstein KL, Payne KL, Soeffing JP, Durrence HH, Taylor DJ, Riedel
BW, et al. NIH Public Access. J Chem Inf Model. 2009;9(1):2732.
46. Sei H. Effects of Intravenously Administered Vitamin B12 on Sleep in the
Rat. J Neurochem. 2008;57(6):101924.
47. Weir DG, Scott JM. Brain function in the elderly: role of vitamin B 12 and
folate. J Nutr. 2009;12(3):66982.
48. Tufik S, Andersen ML, Bittencourt LIARA, Mello MTDE. Paradoxical
88
Sleep Deprivation: neurochemical , hormonal and behavioral alterations .
Evidence from 30 years of research. J Physiol. 2009;81:52138.
49. Abreu J, Abreu P, Castro A, Jime A. Nocturnal melatonin plasma levels in.
J sleep. 2007;30(3):496500.
50. Annoni J, Cook S. Migraine induced by melatonin withdrawal: a clue for
future trials? J Physiol. 2011;162(7):2934.
51. Gonalves AL, Ribeiro RT, Mario FP, Israelita H, Einstein A. Melatonin in
headache disorders A melatonina nas cefaleias. J Neurol Sci. 2012;619.
52. Cui W, Yu X, Zhang H. The serotonin transporter gene polymorphism is
associated with the susceptibility and the pain severity in Idiopathic
Trigeminal Neuralgia patients. J sleep. 2014;15(1):16.
53. Macchi MM, Je V, Bruce N. Human pineal physiology and functional signi
W cance of melatonin. J Nutr. 2004;25:17795.
54. Olavarrieta-bernardino S, Fernandez-mendoza J, Vela-bueno A,
Olavarrieta-bernardino S, Ferna J. Melatonin , Sleep , and Sleep Disorders
Melatonin , Sleep , and Sleep Disorders. J Neurol Sci. 2007; 1-8
55. Ozlece HK, Akyuz O, Huseyinoglu N, Aydin S, Can S, Serim VA. Is there
a correlation between the pineal gland calcification and migraine? J Nutr.
2015;2:38614.
56. Pandi-perumal SR, Trakht I, Brown GM, Cardinali DP. Melatonin ,
Circadian Dysregulation , and Sleep in Mental Disorders. J sleep.
2010;15:7782.
57. Redwine L, Hauger RL, Gillin JC, Irwin M. Effects of Sleep and Sleep
Deprivation on Interleukin-6 , Growth Hormone , Cortisol , and Melatonin
Levels in Humans . J Physiol. 2016;85-89.
58. Rogers NL, Dinges DF, Kennaway DJ, Dawson D. Potential Action of
Melatonin in Insomnia. Sleep. 2003;26(8):10589.
59. Zirlik S, Hildner KM, Targosz A, Neurath MF, Fuchs FS, Brzozowski T, et
al. melatonin and omentin: influence factors in the obstructive sleep apnoea
syndrome? J sleep. 2013;(2):35360.
60. Baltaci D, Deler MH, Turker Y, Ermis F, Iliev D, Velioglu U. Evaluation of
89
serum Vitamin B12 level and related nutritional status among apparently
healthy obese female individuals. J Nutr. 2016;10(2):17.
61. Hamedani MA, Tahmasbi AM, Ahangari YJ. Effects of vitamin B 12
supplementation on the quality of Ovine spermatozoa. J Neurochem.
2013;3:1404.
62. Sande H Van, Jacquemyn Y, Karepouan N, Ajaji M. Vitamin B12 in
pregnancy: Maternal and fetal / neonatal effects A review. J Physiol.
2013;1(2):599602.
63. Zanette SA De, Vercelino R, Laste G, Rozisky JR, Schwertner A, Machado
CB, et al. Melatonin analgesia is associated with improvement of the
descending endogenous pain-modulating system in fibromyalgia: a phase.
2014;114.
64. Ryan CM, Bradley TD. Pathogenesis of obstructive sleep apnea. J Clin
sleep Med . 2005;4(1):244050.
65. Davies RJ, Stradling JR. The relationship between neck circumference,
radiographic pharyngeal anatomy, and the obstructive sleep apnoea
syndrome. Eur Respir J Off J Eur Soc Clin Respir Physiol. 1990;3(5):509
14.
66. andrew keong
68
90