AUTIS
ILMU KEDOKTERAN JIWA
Disusun oleh:
Petrina Theda Philothra (102011101087)
Nadya Anisah (102011101009)
Indah Kusuma Wardani (102011101048)
Pembimbing:
dr. Justina Evy T., Sp.KJ
dr. Alif Mardijana, Sp.KJ
Disusun untuk melaksanakan tugas Kepaniteraan Klinik Madya
Lab/SMF Ilmu Kesehatan Jiwa FK Universitas Jember - RSD dr.Soebandi Jember
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2014
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.............................................................................. 1
DAFTAR ISI.......................................................................................... 2
PENDAHULUAN.................................................................................. 3
EPIDEMIOLOGI.................................................................................. 4
ETIOLOGI............................................................................................. 4
DIAGNOSIS DAN PEMERIKSAAN.................................................. 7
Perkembangan anak
....................................
17
18
20
22
PROGNOSIS ..36
DETEKSI DINI ..37
STIMULASI DINI . 41
KESIMPULAN ...46
DAFTAR PUSTAKA 47
I. PENDAHULUAN
Autisme adalah gangguan perkembangan pervasif pada anak yang ditandai
dengan gangguan dan keterlambatan dalam kognitif, bahasa, perilaku dan
interaksi sosial. Gejala harus sudah tampak sebelum usia 3 tahun. Beberapa
penelitian terdahulu ditemukan bahwa anak autis mengalami ketidakmampuan
untuk melakukan kontak afeksi dengan orang lain dan sulit membaca ekspresi
orang lain, mengalami kesulitan mengenali emosi-emosi tertentu (Castelli, 2005),
dan kesulitan mengekspresikan emosinya. Sistem limbik salah satu bagian otak
yang mengalami kelainan pada anak autis memiliki peranan yang penting dalam
proses emosi pada anak autistik. Gangguan pada sistem limbik yang merupakan
pusat emosi mengakibatkan anak autistik kesulitan mengendalikan emosi, mudah
mengamuk, marah, agresif, menangis, takut pada hal-hal tertentu, dan mendadak
tertawa. Selain itu anak menjadi hiperkinetis, agresif, menolak beraktivitas dengan
alasan tidak jelas, membenturkan kepala, menggigit, mencakar, atau menarik
rambut (Moetrasi dalam Azwandi, 2005). Perilaku steriotip yang dilakukan anakanak autistik adalah suatu cara mereka untuk mengendalikan emosi. Tindakan
menyakiti diri sendiri seperti, membenturkan kepala atau menarik rambut sendiri
dilakukan anak autis untuk menghindari rasa sakit yang lebih besar dan menjadi
fungsi komunikatif untuk mencari perhatian. Kembali pada rutinitas dapat
menjadi cara anak untuk menghindari dan mengontrol rasa takut atau suatu cara
untuk lari dari situasi yang membingungkan (Azwandi, 2005).
Salah satu bidang fungsional dari syaraf pusat yang mengalami gangguan
adalah pemrosesan sensorik. Anak-anak dengan gangguan pemrosesan sensorik
tidak dapat mengintegrasikan data emosional yang masuk dan menafsirkannya
dari berbagai sudut pandang. Pemrosesan emosional dapat dikacaukan oleh
mereka yang terlampau reaktif atau kurang reaktif. Reaktifitas sensorik atau
gangguan pemrosesan dapat menyebabkan anak salah menafsirkan informasi
emosional dari sekelilingnya sehingga mengakibatkan reaksi emosional yang
tidak tepat atau ekstrim (Greenspan dan Weider, 2006). Anak-anak autistik
mengalami dampak gangguan kemampuan biologis untuk menambahkan makna
pada persepsi harafiah. Anak-anak autis ini kesulitan untuk menganalisis dan
3
memahami komunikasi manusia dan akhirnya anak-anak autis ini juga kesulitan
untuk berkomunikasi. Autisme merupakan suatu gangguan perkembangan,
gangguan pemahaman/atau gangguan pervasif. Kognisi adalah mengenai
pemahaman. Anakanak melihat, mendengar, merasakan, dan mengecap. Mereka
kemudian belajar untuk menghayati, memahami, untuk berpikir abstrak.
Pemahaman berhubungan dengan proses seperti memperhatikan dan mengingat.
Gangguan pemrosesan pada anak autistik yang dapat menyebabkan anak salah
menafsirkan informasi emosional dari sekelilingnya tersebut mengakibatkan
reaksi emosional yang tidak tepat atau ekstrim sehingga menyebabkan
kebingungan dan ketakutan. Dalam pengenalan emosi anak autis memiliki strategi
pengganti sehingga mereka memiliki respon yang berbeda pula. Dalam beberapa
teori dan penelitian mengenai emosi pada anak autis didapatkan beberapa stimulus
yang menimbulkan respon emosi. Anak autistik yang mengalami permasalahan
pemrosesan sensorik dapat sangat peka atau kurang peka pada rangsangan
(Greenspan dan Wieder, 2006).Penyandang autisme mendapatkan terapi
medikamentosa, terapi biomedik, terapi wicara, terapi perilaku dan terapi okupasi
untuk meminimalkan gejala autisme.
II. EPIDEMIOLOGI
Angka kejadian autisme di Indonesia pada tahun 2003 telah mencapai 152per 10.000 anak (0,15-0,2%), meningkat tajam dibanding sepuluh tahun yang lalu
yang hanya 2-4 per 10.000 anak. Melihat angka tersebut, dapat diperkirakan di
lndonesia setiap tahun akan lahir lebih kurang 69000 anak penyandang autis
(Yanwar Hadiyanto, 2003). Hasil penelitian yang dilakukan Melly Budiman
(2001) memperlihatkan bahwa pada tahun 1987 penderita autisme 1/500 anak dan
tahun 2001 menjadi 1/150 anak.
III.ETIOLOGI
Beberapa hal yang dapat menjadi penyebab terjadinya autisme diantaranya
adalah sebagai berikut:
autisme. Hal ini didasarkan pada laporan adanya autistic like syndrome pada
mereka dengan kerusakan lobus temporalis. Penemuan lain adalah
berkurangnya sel purkinje di otak kecil yang mengakibatkan gangguan
perhatian, arousal, dan proses-proses sensorik.
7. Faktor Biokimia
Pada sepertiga pasien autisme ditemuykan peningkatan kadar serotonin pada
plasma. Pada beberapa anak autistik, peningkatan kadar homovanilic acid
(metabolit dopamine) dalam cairan serebrospinal berhubungan dengan
perilaku menarik diri serta gerakan stereotipik.
8. Faktor Lingkungan
Sallie Bernard menemukan kumpulan gejala yang sangat mirip antara kasus
autisme dengan keracunan air raksa dan mengklaim bahwa autism adalah
suatu bentuk keracunan Hg. Merkuri yang berlebihan akan mempengaruhi
ketidakseimbangan immune cells, mengakibatkan tingginya kadar IgE,
mempengaruhi respon imun terhadap makanan (IgE dan IgG), mengganggu
fungsi enzim DDPIV (Dipeptidil Peptidase IV), dan mempengaruhi
mielinisasi jaringan saraf. Pada banyak anak autistik ditemukan logam berat
(Hg, Pb, As, Al dan Cd) yang berlebihan pada pemeriksaan rambut.
9. Teori Opioid
Menurut teori ini, autisme muncul dari adanya opioid yang berlebihan pada
system saraf pusat yang berlangsung lama. Opioid tersebut dianggap
bersumber pada hasil pencernaan yang tidak sempurna dari gluten dan atau
casein berupa morphine like peptides yaitu casomorfin dan gliadorfin. Teori
ini juga berkaitan dengan adanya leaky gut sehingga peptide itu bias
menembus mukosa usus masuk ke peredaran darah dan menembus sawar
darah otak.
10. Mikroorganisme Patogen dalam Saluran Cerna
Pada umumnya anak autis mengalami gangguan pencernaan kronis, berupa
diare dan atau konstipasi, nyeri perut atau kembung. Pada biakan feces,
ditemukan berbagai penyebab, termasuk jamur, bakteri, virus, dan parasit.
11. Defisiensi Nutrisi
Pada kelompok anak autistik ditemukan defisiensi Zn, Ca, Mg, Omega-3
fatty acid, serat (fiber), anti oksidan dan berbagai vitamin. Konsekuensi dari
defisiensi tersebut adalah gangguan pencernaan, fungsi imunologi, dan
fungsi otak.
6
12. Autoimunitas
Penelitian oleh Singh V.K et al, menunjukkan adanya anti Myelin Basic
Protein (suatu antibodi) pada kasus autisme.
IV. DIAGNOSIS DAN PEMERIKSAAN
Tidak diperlukan suatu pemeriksaan laboratorium ataupun pemeriksaan
tambahan lainnya seperti EEG, CT-Scan kepala, MRI kepala, ataupun Brain
Mapping. Diagnosis didasarkan atas anamnesis yang teliti dan observasi perilaku
anak. Anamnesis meliputi perkembangan anak sejak lahir, serta keadaan ibu
sebelum dan selama hamil serta saat persalinan, kemudian ditambah riwayat
keluarga untuk berbagai gangguan perkembangan serta gangguan jiwa.
Pemeriksaan laboratorium atau pemeriksaan tambahan kadang diperlukan apabila
ada indikasi untuk memastikan faktor-faktor etiologi, diagnosis banding, atau
apabila ada kondisi atau gangguan lain yang menyertainya.
Perkembangan Anak
Pengetahuan mengenai perkembangan anak merupakan hal yang sentral dalam
psikiatri anak. Tanpa pengetahuan mengenai hal ini sesorang tidak mungkin
bekerja dan menangani masalah-masalah anak. Seorang bayi tumbuh dan
berkembang hingga akhir menjadi manusia dewasa. Perkembangan anak
merupakan hasil interaksi antara nature dan muture atau antara
biologi(aspek fisik, genetik dan lingkungan) dan lingkungan(psikoedukatif,
sosiokultural). Walaupun secara teoritik nature dan muture itu dapat dipisahkan,
tetapi dalam kenyataannya keduanya saling berada bersama, saling berinteraksi
dan tumpang tindih. Faktor lingkungan dapat mencetuskan atau merangsang
berkembangnya fungsi-fungsi tertentu, mengatur dan memberikan arah,
percepatan dan sebaliknya, menghambat perkembangan fungsi-fungsi itu. Di
pihak lain, sifat-sifat tertentu dari organisme itu sendiri dapat merangsang respon
lingkungan yang mendukung atau mengahambat, atau menimbulkan reaksi-reaksi
idiosinkratik dalam perkembangan fungsi-fungsinya. Proses perkembangan
merupakan proses yang kompleks.
: 0 2 tahun
b. Fase anal-uretral
: 2 4 tahun
c. Fase phallus
: 4 6 tahun
d. Fase laten
: 6 11 tahun
e. Fase genital
: 12 tahun remaja
a.
b.
c.
d.
e.
Oral sensory stage : lahir-1- 1 1/2 tahun, basic trust vs basic mistrust
Muscular anal stage : 2-3 tahun, autonomy vs shame and doubt
Locomotor genital stage : 3-6 tahun initiative vs guilt
Stage of latency : 6-11 tahun, industry vs inferiority
Stage of puberty and adolescence: 11-18 tahun ego identity vs role
confusion.
f. Stage of young adulthood :18-30 tahun, intimacy vs isolation
g. Stage of adulthood : 30-45 tahun, generativity vs stagnation
h. Stage of maturity : 45 thn keatas, Integrity vs despair.
3. Teori perkembangan psikokognitif Jean Piaget
Perkembangan intelegensia anak berdasarkan atas rangkaian yang
progresif dari suatu pola dimana dasarnya adalah proses asimilasi dan proses
akomodasi Ada 4 faktor utama menurut Piaget, terjadinya perkembangan
mental
a. Adanya pertumbuhan dan maturasi organik dari persyarafan dan sistem
endokrin.
b. Pengaruh dan peranan dari latihan dan pengalaman yang diperoleh dari
tindakan-tindakan yg dilakukan terhadap objek fisik
c. Adanya interaksi sosial dan transmisi sosial
d. Adanya daya upaya yang saling taut bertautan untuk mempertahankan
ekuilibrium.
Dalam setiap tingkatan perkembangan, persoalan dalam pembentukan
ekuilibrium, dimana konsep terdahulu akan merupakan dasar dalam
pembentukan kesanggupan selanjutnya, dan akan berakumulasi dalam pikiran
logis pada saat dewasa. Anak berada dalam suatu ekuilibrium konseptual, dan
bila ia memperoleh pengalaman yang tidak sesuai dengan ekuilibrium yang
dimilikinya, anak akan berada dalam unpleasant state, yaitu suatu keadaan
disekuilibrium dan anak akan mengadakan perubahan dalam kerangka
konseptual yang dimilikinya, sehingga ia berada dalam tingkatan yang lebih
maju dalam menghadapi masalah tersebut. Dan ini berarti anak kembali dalam
state equilibrium, dan berarti anak telah dapat menyesuaikan diri terhadap
persoalan tersebut. Perkembangan mental anak bergerak dari suatu
tingkatan/dataran/plateau ke tingkat yang lebih tinggi, dan anak mengadakan
perubahan terhadap kerangka. Konseptual yg dimilikinya, dengan melakukan
proses akodasi dalam menghadapi masalah/pengalaman dan kesulitan baru.
9
Bila anak menerima persoalan atau pengalaman, akan tetapi masih dalam
tingkatan atau plateau yg sama, maka anak melakukan proses asimilasi.
Proses perkembangan Psikokognitif dari Jean Piaget melalaui empat peride
sebagai berikut :
1. Periode sensori-motor : lahir 2 tahun
2. Periode pikiran pra - operasional, terdiri dari :
a. fase pra - operasional : 2-4 tahun
b. fase intuitif : 4-7 tahun
3. Periode operasional konkrit : 7 - 12 tahun
4. Periode operasional abstrak atau operasional formal : 12 - 15 tahun
4. Perkembangan moral dari Kohlberg
Secara sederhana, moralitas dapat diartikan sebagai kemampuan untuk
membedakan yang benar atau baik dan yang salah atau buruk. Namun dalam
kenyataan, tidaklah sesederhana itu karena konsep tersebut mencakup tiga
aspek kemampuan seseorang, yaitu : aspek kognitif, aspek efektif, dan aspek
perilaku. Kematangan moral akan tercapai pada akhir masa remaja, dan
seringkali proses maturasi masih berlanjut sampai usia dewasa. Panutan pada
model sangat mempengaruhi, karena itu figur-figur percontohan dalam
lingkup keluarga dan masyarakat sangat penting dalam proses perkembangan
moral anak. Menurut kohlberg, perkembangan moral itu terjadi secara gradual
melalui 6 fase, menurut orientasi maralitas yang digunakan :
Pre Konvensional :
1. Orientasi kepatuhan dan hukuman
2. Orientasi perhatian diri
Konvensional :
1. Kesesuaian interpersonal
2. Otoritas dan mempertahankan perintah sosial
Post Konvensional :
1. Orientasi kontrak sosial
2. Prinsip etik universal
Perkembangan Bayi-Remaja
a. Masa Bayi 0-1,5 tahun
Tuntutan perkembangan: Mendapatkan rasa percaya diri dan rasa aman.
10
Sarana
Ciri-ciri
Kebutuhan
: Proses penyusunan
: Tidak berdaya, ketergantungan.
: rasa kasih sayang secara
Tercapai
berkesinambungan.
: rasa aman dan kepercayaan terhadap sesama
konsisten
dan
manusia.
Gagal
Pujian
Penghargaan
Dukungan
Dorongan
Pengertian
Tercapai :
Kemandirian
Kepercayaan diri
Gagal
Rasa malu
Sikap ragu-ragu
Pengekangan diri secara berlebihan
Kekaburan antara cinta dan benci
11
Ingin tahu
Banyak bertanya
Berkhayal
Aktif
Senang main bersama
Senang meniru
Iri atau cemburu terhadap jenis kelamin yang sama
Kebutuhan
Pengertian
persahabatan
Penerangan
Tercapai
Kemampuan bermasyarakat
Identifikasi seksual
Inisiatif
Gagal
Rasa bersalah
Takut berbuat sesuatu
Takut mengemukakan sesuatu
d. Masa Sekolah 6-12 tahun
Tuntutan perkembangan : Memperoleh rasa mampu menyelesaikan sesuatu
dengan sempurna dan mampu menghasilkan sesuatu
Sarana
:
Rasa percaya diri dan aman
Rasa kemampuan diri
Modal inisiatif
Lingkungan lebih luas (sekolah, dll)
Ciri-ciri
:
12
Belajar
Bertanggung jawab
Berkarya
Bersahabat
Keadilan
Kejujuran
Kebutuhan
Tercapai
: Produktivitas
Gagal
: pengertian
Tercapai
: Identitas diri
13
Gagal
Ada beberapa gejala yang harus diwaspadai terlihat sejak bayi atau anak
menurut usia.
USIA 0 6 BULAN
Bayi tampak terlalu tenang ( jarang menangis)
Terlalu sensitif, cepat terganggu/terusik
Gerakan tangan dan kaki berlebihan terutama bila mandi
Tidak ditemukan senyum sosial diatas 10 minggu
Tidak ada kontak mata diatas umur 3 bulan
Perkembangan motor kasar/halus sering tampak normal
USIA 6 12 BULAN
Bayi tampak terlalu tenang ( jarang menangis)
Terlalu sensitif, cepat terganggu/terusik
Gerakan tangan dan kaki berlebihan
Sulit bila digendong
Menggigit tangan dan badan orang lain secara berlebihan
Tidak ditemukan senyum sosial
Tidak ada kontak mata
Perkembangan motor kasar/halus sering tampak normal
USIA 1 2 TAHUN
Kaku bila digendong
Tidak mau bermain permainan sederhana (ciluk ba, da-da)
Tidak mengeluarkan kata
Tidak tertarik pada boneka
Memperhatikan tangannya sendiri
Terdapat keterlambatan dalam perkembangan motor kasar/halus
Mungkin tidak dapat menerima makanan cair
USIA 2 3 TAHUN
Tidak tertarik untuk bersosialisasi dengan anak lain
Melihat orang sebagai benda
Kontak mata terbatas
Tertarik pada benda tertentu
Kaku bila digendong
USIA 4 5 TAHUN
Mengeluarkan suara yang aneh (nada tinggi atau datar)
Marah bila rutinitas yang seharusnya berubah
14
perubahan fluktuasi
afek
selama
wawancara
dan
menyangkal,
menghindar, beralasan,
ataupun
berusaha
merasionalisasi.
5. Neuromuscular integration
Kita perlu mengetahui bagaimana derajat aktivitas anak yang dilihat dari
kemampuan motorik kasar dan halus dibandingkan anak normal seusianya.
Pada beberapa anak yang masih sangat kecil, anak psikotik ataupun
dengan anak yang memiliki gangguan otak organik mengalami kesulitan
dana motilitas dan koordinasi diri.
6. Thought process and verbalization
Informasi mengenai cara berbicara pasien dan cara berpikirnya dapat
dievaluasi saat wawancara langsung. Dengan membiarkannya bercerita,
kita dapat mengetahui banyak mengenai kelancaran berbicaranya,
kosakata, kesukaannya, bagaimana hubungannya dengan sesama, dan
kemampuannya mengorganisir pikirannya.
7. Fantasy
16
Fantasi merupakan salah satu bagian dari cara berpikir, fungsi ego,
kemampuan intelektual dan perseptif anak yang dapat digambarkan dalam
gambar, harapan, impian, dan aktivitas bermainnya.
8. Superego
Merupakan nilai-nilai yang telah diinternalisasikan oleh orangtua,
bagaimana mempertahankan kesadaran moral seseorang atas dasar
kompleks sistem yang ideal.
9. Concept of self
Konsep atas diri, relasi terhadap objek, dan identifikasi dalam kelompok
merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Pemeriksa dapat
mengidentifikasi bagaimana interaksi pasien dengan pemeriksa, hubungan
dengan orangtua, dan teman sebayanya serta terhadap lingkungan osisal
yang ada. Dalam hal ini, dapat diketahui pula apakah erkembangannya
normal, mengalami retardasi atau regresi.
DSM IV ( 1995) Kriteria Gangguan Autisme:
A. Harus ada total 6 gejala dari (1),(2) dan (3), dengan minimal 2 gejala
dari (1) dan masing-masing 1 gejala dari ( 2 ) dan (3) :
1. Kelemahan kwalitatif dalam interaksi sosial, yang termanifestasi
dalam sedikitnya 2 dari beberapa gejala berikut ini :
a. Kelemahan dalam penggunaan perilaku nonverbal, seperti kontak
mata, ekspresi wajah, sikap tubuh, gerak tangan dalam interaksi
sosial.
b. Kegagalan dalam mengembangkan hubungan dengan teman sebaya
sesuai dengan tingkat perkembangannya.
c. Kurangnya kemampuan untuk berbagi perasaan dan empati dengan
orang lain.
d. Kurang mampu mengadakan hubungan sosial dan emosional yang
timbal balik.
2. Kelemahan kualitatif dalam bidang komunikasi. Minimal harus ada 1
dari gejala berikut ini:
17
berkembang
dan
anak
tidak
mencari
jalan
untuk
imitasi
sosial
lainnya
sesuai
dengan
taraf
perkembangannya.
3. Pola perilaku serta minat dan kegiatan yang terbatas, berulang.
Minimal harus ada 1dari gejala berikut ini :
a. Preokupasi terhadap satu atau lebih kegiatan dengan fokus dan
intensitas yang abnormal atau berlebihan.
b. Terpaku pada suatu kegiatan ritualistik atau rutinitas
c. Gerakan-gerakan fisik yang aneh dan berulang-ulang seperti
menggerak-gerakkan
tangan,
bertepuk
tangan,menggerakkan
tubuh.
d. Sikap tertarik yang sangat kuat/ preokupasi dengan bagian-bagian
tertentu dari obyek.
J. Keterlambatan atau abnormalitas muncul sebelum usia 3 tahun
minimal pada salah satu bidang (1) interaksi sosial, (2) kemampuan
bahasa dan komunikasi, (3) cara bermain simbolik dan imajinatif.
K. Bukan disebabkan oleh Sindroma Rett atau Gangguan Disintegratif
Masa Anak.
Kriteria Diagnosis Autisme menurut PPDGJ-3
A. Abnormalitas atau terganggunya perkembangan sudah terkihat
sebelum usia 3 tahun, minimal satu area di bawah ini:
1. Kemampuan bahasa reseptif dan ekspresif dalam komunikasi
social.
18
c. Gerakan motorik berulang pada tangan atau jari-jari, kepakkepak atau gerakan memelintir, atau gerakan tubuh yang
kompleks.
d. Preokupasi terhadap bagian dari benda atau mainan (misal: pada
baunya,
teksturnya,
suaranya,
atau
getaran
yang
ditimbulkannya).
C. Gambaran
klinis
tidak
sesuai
untuk
kelompok
gangguan
dan bersosialisasi dengan masyarakat yang normal. Semakin cerdas anak, semakin
cepat kemajuannya (Handojo, 2004).
Berbagai jenis terapi telah dikembangkan untuk mengembangkan
kemampuan anak autisme agar dapat hidup mendekati normal. Tatalaksana ini
meliputi semua disiplin ilmu yang terkait seperti tenaga medis (psikiater, dokter
jiwa, dokter anak, neurolog, dokter rehabilitasi medik) dan non medis (tenaga
pendidik, psikolog, alhli terapi bicara/okupasi/fisik, pekerja sosial). Tujuan terapi
pada anak autisme adalah untuk mengurangi masalah perilaku serta meningkatkan
kemampuan belajar dan perkembangannya, terutama dalam penggunaan bahasa.
Tujuan ini dapat tercapai dengan baik melalui suatu program terapi yang
menyeluruh dan bersifat individual (Ferizal Masra, 2003). Hal yang paling
ditakuti jika anak tidak diterapi adalah ketidak mampuan anak melakukan segala
sesuatunya sendiri dengan kata lain anak: tidak akan bisa mandiri seperti makan,
minum, toileting, gosok gigi, dan kegiatan-kegiatan lain (Y. Handoyo, 2003).
Bahkan literature mengatakan 75% anak autisme yang tidak tertangani, akhimya
menjadi tunagrahita (Clara Westy, 2004).
Anak yang diberikan terapi tidak mempunyai target waktu yang
ditentukan, karena terapi dari anak autisme ini tidak mempunyai waktu yang pasti
dan terapi yang diberikan tergantung pada banyak hal seperti usia anak pada saat
pertama kali diterapi dan kemampuan terapis untuk memberikan terapi. Anak
penyandang autisme harus ditempa agar dapat hidup dan berkembang layaknya
anak normal, sebuah penelitian menunjukkan anak yang diintervensi secara terus
menerus selama lebih kurang 6 minggu secara terstruktur memperlihatkan hasil
yang baik. Hal ini mungkin didukung oleh fasilitasi dalam menjalankan terapi
dimana pada saat anak diberikan terapi perilaku mereka mendapatkan satu
ruangan perorang sehingga anak bebas dari gangguan dari lingkungan sekitamya
seperti bunyi-bunyian. Ruangan yang tenang dapat membantu anak untuk
menerima materi dengan mudah karena lebih konsentrasi. Begitu juga dengan
terapis lebih konsentrasi menangkap kemajuan yang diperlihatkan anak autistik.
Menurut Abdul Hadits dalam bukunya Pendidikan Anak Berkebutuhan
Khusus Autistik mengistilahkan dengan layanan pendidikan, yang meliputi :
21
layanan pendidikan awal dengan program intervensi dini, dengan program terapi
penunjang dan layanan pendidikan lanjutan (Hadist, 2006)
A. Layanan Pendidikan Awal dengan Program Intervensi Dini
Anak autis dengan masalah perkembangan dan kemampuan berbeda,
pendekatan penanganan pendidikannya pun juga berbeda-beda. Depdiknas
mengemukakan bahwa program pendidikan dalam pendidikan intervensi dini
untuk anak autis meliputi :
1. Discrete Trial Training (DTT)
Program ini didasari oleh model perilaku orper and conditioning yaitu
pemberian hadiah atau penguatan terhadap perilaku positif yang terjadi
dan dikehendaki oleh guru, orang tua, dan masyarakat, agar perilaku baik
itu diulang-ulang atau dipertahankan.
2. Learning Experience and Alternative Program for Preschooler and
Parents (LEAP)
Merupakan perkembangan sosial anak dengan menggunakan teknik
pengajaran reinforcement (penguatan) dan kontrol terhadap stimulus.
Metode stimulus respon sama dengan DTT tetapi anak langsung berda
dalam lingkungan sosial (dengan teman-temannya). Anak yang autis
belajar dan berperilaku melalui pengamatan perilaku orang lain.
3. Floor time
Perkembangan keterampilan kognitif dalam 4-5 tahun pertama kehidupan
berdasarkan
mengembangkan
pada
suatu
emosi
dan
pendekatan
relationship.
perkembangan
Greenspan
terpadu
dkk
untuk
22
24
yang
dapat
diberikan
antara
lain:
Proprioceptive
Neuromuscular.
3. Untuk Bahasa:
Aktifitas-aktifitas yang menyangkut tahapan bahasa dibawah:
1. Phonology (bahasa bunyi);
2. Semantics (kata), termasuk pengembangan kosa kata;
3. Morphology (perubahan pada kata),
4. Syntax (kalimat), termasuk tata bahasa;
5. Discourse (Pemakaian Bahasa dalam konteks yang lebih luas),
6. Metalinguistics (Bagaimana cara bekerjanya suatu Bahasa) dan;
7. Pragmatics (Bahasa dalam konteks sosial).
4. Suara:
Gangguan pada suara adalah penyimpangan dari nada, intensitas,
kualitas, atau penyimpangan-penyimpangan lainnya dari atributatribut dasar pada suara, yang mengganggu komunikasi, membawa
perhatian negatif pada si pembicara, mempengaruhi si pembicara
ataupun si pendengar, dan tidak pantas (inappropriate) untuk umur,
jenis kelamin, atau mungkin budaya dari individu itu sendiri.
5. Pendengaran:
Bila keadaan diikut sertakan dengan gangguan pada pendengaran
maka bantuan dan terapi yang dapat diberikan: (1) Alat bantu
ataupun lainnya yang bersifat medis akan di rujuk pada dokter yang
terkait;
(2)
Penggunaan
sensori
lainnya
untuk
membantu
komunikasi;
Pada beberapa anak yang tidak mengalami kemajuan terapi wicara
dimana hal ini bisa disebabkan oleh koordinasi otot mulut yang tidak
baik dan adanya gangguan di pusat bahasa pada otak anak sehingga
perkembangan bahasa dan wicaranya belum mempunyai konsep
pemahaman dan ujaran dan belum terhubungnya antara pusat
pemahaman bahasa (area wemicke's) dengan pusat motoriknya (area
26
oleh
orang
lain
dan
akhimya
mampu
perilaku, fokus
penanganan terletak
pada pemberian
27
reinforcement positif setiap kali anak berespons benar sesuai instruksi yang
diberikan. Tidak ada hukuman (punishment) dalam terapi ini, akan tetapi bila
anak berespons negatif (salah/tidak tepat) atau tidak berespons sama sekali
maka ia tidak mendapatkan reinforcement positif yang ia sukai tersebut.
Perlakuan ini diharapkan meningkatkan kemungkinan anak untuk berespons
positif dan mengurangi kemungkinan ia berespons negatif (atau tidak
berespons) terhadap instruksi yang diberikan.
Metode ABA lebih banyak diterapkan karena materi yang diajarkan
sistematik, terstruktur dan terukur, dimulai dari sistem one on one, adanya
prompt (bimbingan, model, arahan) kemudian respon yang benar akan
mendapatkan imbalan. Latihan yang dilakukan oleh terapis juga sangat
mendukung dimana latihan dilakukan dengan berulang-ulang sampai anak
berespon dengan sendiri tanpa prompt serta adanya evaluasi yang sesuai
dengan kriteria yang sudah dibuat (Hardiono, 2005). Pada 10 anak yang
melakukan terapi perilaku dengan kurang baik yang memperlihatkan
kemajuan hanya 4 orang (40%). Hal ini bisa saja disebabkan oleh efek terapi
yang lain yang diterima oleh anak autisme yaitu terapi medikamentosa atau
terapi obat-obatan. Anak autisme mendapatkan obat-obatan yang bekerja pada
susunan saraf pusat karena pada penyandang autisme adanya kelainan pada
otak mereka, contoh obat-obatan yang diberi adalah risperdal dan vitamin B6
(Pyridoksin) sehingga efek dan pengaruh obat yang mereka terima membuat
anak masih berada dalam keadaan yang sulit untuk fokus terhadap materi yang
diberikan (Y.Handoyo, 2003). Pemakaian obat yang tidak tepat bisa membuat
penyaluran informasi antar otak semakin kacau mengingat obat yang dipakai
adalah obat-obatan yang bekerja pada susunan saraf pusat (Agus Suryana,
2004).
Dalam ABA disarankan waktu yang dibutuhkan adalah 40 jam/minggu,
tetapi keberhasilan terapi ini dipengaruhi beberapa faktor :
1). Berat ringannya derajat autisme,
2). Usia anak saat pertama kali ditangani / terapi,
3). Intensitas terapi,
28
31
32
33
banyak, disertai alat visual berupa gambar dan kartu dengan instruksi
yang jelas. Kelas terpadu dalam bentuk kelas transisi ini membantu
anak dalam mempersiapkan transisi ke sekolah reguler (normal) dan
membantu anak beajar secara intensif terhadap pebelajaran yang
tertinggal di kelas reguler.
2. Program inklusi
Dalam program ini, anak autis diintegrasikan ke sekolah reguler
(normal) dan membantu anak belajar secara intensif terhadap pelajaran
yang tertinggal di kelas reguler. Pada anak autis, selain diajar oleh guru
kelas untuk anak normal, namun juga didampingi oleh guru
pembimbing khusus.
3. Sekolah khusus, dan program sekolah di rumah.
VII. PROGNOSIS
Prognosa untuk penyandang autis tidak selalu buruk. Bagi banyak anak,
gejala autisme membaik dengan pengobatan dan tergantung pada umur. Beberapa
anak autis tumbuh dengan menjalani kehidupan normal atau mendekati normal.
Anak-anak dengan kemunduran kemampuan bahasa di awal kehidupan, biasanya
sebelum usia 3 tahun, mempunyai resiko epilepsi atau aktivitas kejang otak.
Selama masa remaja, beberapa anak dengan autisme dapat menjadi depresi atau
mengalami masalah perilaku. Dukungan dan layanan tetap dibutuhkan oleh
penderita autis walaupun umur bertambah, tetapi ada pulayang dapat bekerja dengan
sukses dan hidup mandiri dalam lingkungan yang juga mendukug
VIII. DETEKSI DINI
Definisi Deteksi Dini
Deteksi dini adalah upaya penyaringan yang dilaksanakan untuk
menemukan penyimpangan kelainan tumbuh kembang secara dini dan mengetahui
serta mengenal faktor-faktor resiko terjadinya kelainan tumbuh kembang tersebut
(Ismail, 2009). Deteksi dini gangguan tumbuh kembang balita dapat dilakukan
melalui anamnesis, pemeriksaan fisis rutin, skrining perkembangan dan
pemeriksaan lanjutan. Skrining merupakan hal yang sangat penting dan
35
anak
dalam
berkomunikasi,
bertingkah
laku
dan
tingkat
36
Bayi tidak menunjukkan kontak mata dan tidak bereaksi ketika diajak
berbicara/bercanda.
Cenderung sangat tenang, terlalu cuek dan diam atau sebaliknya sangat
D. Skrining Perkembangan
Menurut batasan WHO, skrining adalah prosedur yang relatif cepat,
sederhana dan murah untuk populasi yang asimptomatik tetapi mempunyai
resiko tinggi atau dicurigai mempunyai masalah. Skrining perkembangan
harus dilakukan secara periodik pada bayi atau anak dengan risiko tinggi
(berdasarkan anamnesis atau pemeriksaan fisik rutin). Sedangkan bayi atau
anak dengan risiko rendah dimulai dengan kuesioner praskrining yang diisi
atau dijawab oleh orangtua. Bila dari kuesioner dicurigai ada gangguan
tumbuh kembang dilanjutkan dengan tes skrining (Soedjatmiko, 2001).
Skrining
perkembangan
yang
dilakukan
untuk
memantau
pemberian stimulasi akan lebih efektif apabila memperhatikan kebutuhankebutuhan anak sesuai dengan tahap-tahap perkembangannya (Soetjinigsih,
1998).
Stimulasi dini adalah rangsangan yang dilakukan sejak bayi lahir (bahkan
sebaiknya sejak janin 6 bulan di dalam kandungan) dilakukan setiap hari, untuk
merangsang semua sistem indera (pendengaran, penglihatan, perabaan, pembauan,
pengecapan). Selain itu harus pula merangsang gerak kasar dan halus kaki, tangan
dan jari-jari, mengajak berkomunikasi, serta merangsang perasaan yang
menyenangkan dan pikiran bayi dan balita. Rangsangan yang dilakukan sejak
lahir, terus menerus, bervariasi, dengan suasana bermain dan kasih sayang, akan
memacu berbagai aspek kecerdasan anak (kecerdasan multipel) yaitu kecerdasan :
logiko-matematik, emosi, komunikasi bahasa (linguistik), kecerdasan musikal,
gerak (kinestetik), visuo-spasial, senirupa, dan lain-lain (Soedjatmiko, 2012).
Bentuk Stimulasi
Pemberian stimulasi akan lebih efektif apabila memperhatikan kebutuhankebutuhan anak sesuai dengan tahap-tahap perkembangannya. Pieget dan
Kohberg dalam Hurlock (1999) mengatakan, rangsangan dan stimulasi adalah
upaya dalam memperkuat perkembangan anak seoptimal mungkin sesuai potensi
yang dimiliki anak. Pada awal perkembangan kognitif, anak berada dalam tahap
sensori motorik. Pada tahap ini keadaan kognitif anak akan memperlihatkan
aktifitas-aktifitas motoriknya, yang merupakan hasil dari stimulasi sensorik.
Misalnya pemberian stimulasi visual pada ranjang bayi akan meningkatkan
perhatian anak terhadap lingkungannya, bayi akan gembira dengan tertawatertawa dan menggerak-gerakkan seluruh tubuhnya. Selain stimulasi sensorik
untuk
selanjutnya stimulasi yang mempunyai aspek sosial dan kognitif, sehingga akan
terwujud perkembangan yang optimal baik fisik, mental dan sosial (Soetjinigsih,
1998).
Pada
tahun-tahun
pertama
tumbuh
kembang
anak,
anak
belajar
verbal pada periode ini sangat penting untuk perkembangan bahasa anak pada
tahun pertama kehidupannya, karena kualitas dan kuantitas vokalisasi seorang
anak akan dapat bertambah dengan stimulasi verbal dan anak-anak akan belajar
menirukan kata-kata yang didengarnya (Soetjinigsih, 1998).
Stimulasi visual dan verbal pada permulaan perkembangan anak, merupakan
stimulasi awal yang penting karena dapat menimbulkan sifat-sifat ekspresif,
misalnya mengangkat alis, membuka mulut dan mata seperti ekspresi keheranan,
dan lain-lain. Selain stimulasi tersebut di atas, anak juga memerlukan stimulasi
taktil. Kurangnya stimulasi taktil dapat menimbulkan penyimpangan perilaku
sosial, emosional dan motorik (Soetjinigsih, 1998).
Perhatian dan kasih sayang juga merupakan stimulasi yang diperlukan anak.
Stimulasi semacam ini akan menimbulkan rasa aman dan rasa percaya diri pada
anak sehingga anak lebih responsif terhadap lingkungannya dan lebih berkembang
(Soetjinigsih, 1998).
Pada anak yang lebih besar yang sudah mampu berjalan dan berbicara, akan
senang melakukan eksplorasi dan manipulasi terhadap lingkungannya, yang
merupakan perwujudan dari motif kompetensinya. Motif kompetensi ini dapat
diperkuat ataupun diperlemah oleh lingkungannya, melalui jumlah reaksi yang
diberikan terhadap perilaku anak tersebut. Anak akan cenderung mengulangi
perilakunya lagi apabila terdapat reaksi yang sering diberikan terhadap perbuatan
anak. Di sini anak akan belajar menganalisis perilaku mana yang dapat
memberikan efek tertentu dan meletakkan hubungan antara perilaku tersebut
dengan akibat yang ditimbulkan. Dengan demikian stimulasi verbal sangat
diperlukan pada tahap perkembangan ini. Dengan penguasaan bahasa, anak akan
mengembangkan inisiatif atau ide-ide melalui pertanyaan-pertanyaan, yang
selanjutnya akan mempengaruhi perkembangan kognitifnya (Soetjinigsih, 1998).
Pada masa sekolah, perhatian anak mulai keluar dari lingkungan
keluarganya, perhatian mulai beralih ke teman sebayanya (peer group). Pada
tahap perkembangan ini, anak akan sangat beruntung jika mempunyai kesempatan
untuk bersosialisasi dengan lingkungannya. Melalui sosialisasi anak akan
41
b. Umur 3 - 6 bulan ditambah dengan bermain cilukba, melihat wajah bayi dan
pengasuh di cermin, dirangsang untuk tengkurap, terlentang bolak-balik,
duduk.
c. Umur 6 - 9 bulan ditambah dengan memanggil namanya, mengajak
bersalaman, tepuk tangan, membacakan dongeng, merangsang duduk, dilatih
berdiri berpegangan.
d. Umur 9 - 12 bulan ditambah dengan mengulang-ulang menyebutkan mamapapa, kakak, memasukkan mainan ke dalam wadah, minum dari gelas,
menggelinding bola, dilatih berdiri, berjalan dengan berpegangan.
e. Umur 12 18 bulan ditambah dengan latihan mencoret-coret menggunakan
pensil warna, menyusun kubus, balok-balok, potongan gambar sederhana
(puzzle), memasukkan dan mengeluarkan benda-benda kecil dari wadahnya,
bermain dengan boneka, sendok, piring, gelas, teko, lap. Latihlah berjalan
tanpa berpegangan, berjalan mundur, memanjat tangga, menendang bola,
melepas celana, mengerti dan melakukan perintah-perintah sederhana,
menyebutkan nama atau menunjukkan benda-benda.
f. Umur 18-24 bulan ditambah dengan menanyakan,
menyebutkan,
43
KESIMPULAN
Autisme adalah gangguan perkembangan pervasif pada anak yang
ditandai dengan gangguan dan keterlambatan dalam kognitif, bahasa, perilaku dan
interaksi social. Angka kejadian autisme di Indonesia pada tahun 2003 telah
mencapai 152- per 10.000 anak (0,15-0,2%), meningkat tajam dibanding sepuluh
tahun yang lalu yang hanya 2-4 per 10.000 anak. Autis bisa disebabkan oleh
multifaktorial seperti psikodinamika keluarga, faktor biokimia, dan faktor
lingkungan. Diagnosisnnya juga tidak memerlukan pemeriksaan tambahan yang
banyak, cukup dengan anamnesis yang cermat dan observasi perilaku anak. Terapi
pada autis umumnya mendapatkan hasil yang signifikan bila dilakukan secara
intensif, teratur dan konsisten pada usia dini.
44
DAFTAR PUSTAKA
D Pusponegoro, Hardiono. 2005. Autisme Bagaimana Mengenalnya, Majalah
Anakku vol 1 no 4
Hurlock, E.B. 1999. Perkembangan Anak. Jakarta : Erlangga
Handojo, 2004. Autisma : Petunjuk Praktis dan Pedoman Materi untuk Mengajar
Anak Normal, Autis, dan Perilaku Lain. Jakarta : Bhuana Ilmu Populer
Hadis, Abdul. 2006. Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Autistik. Bandung:
Alfabeta.
Ismael, Sofyan. 2010. A Journey to Child Development : dalam A Journey to
Child Neurodevelopment : Application in Daily Practice. Jakarta : Badan
Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia
45
Kementerian Kesehatan Indonesia. 2010. Buku Kesehatan Ibu dan Anak. Jakarta:
Kementerian Kesehatan Indonesia dan Japan International Cooperatation
Agency.
Maulana, Mirza. 2007. Mendidik Anak Autis dan Gangguan Mental Lain Menuju
Anak Cerdas dan Sehat. Yogyakarta: Kata Hati
Puspita, D. 2004. Makalah : Masalah Peran Keluarga pada Penanganan Individu
Autistic Spectrum Disorder. Jakarta : Yayasan Autisma Indonesia
Shattock, P. 2002. Langkah Awal Menanggulangi Autisme dengan Memperbaiki
Metabolisme Tubuh. Jakarta: Nirmala
SIMMONS, James. 1981. Psychiatric Examination of Children. Third edition.
U.S.A. Lea & Febiger
Soedjatmiko. 2001. Deteksi Dini Gangguan Tumbuh Kembang Balita. Sari
Pediatri. Vol 3(3). 175-188.
Soetjiningsih. 1998. Tumbuh Kembang Anak. Cetakan ke-2. Jakarta : EGC.
Soetjiningsih. 2010. Upaya Peningkatan Kualitas Tumbuh Kembang Anak :
dalam Buku Ajar Tumbuh Kembang Anak dan Remaja. Edisi Pertama
IDAI. Yogyakarta : Sagung Seto.
Suryana, A. 2004. Terapi Autisme, anak berbakat dan anak hiperaktif. Jakarta:
Progres Jakarta
Widyawati, I. Rosadi, D. E., dan Yulidar. 2003. Terapi Anak Autis di Rumah.
Jakarta: Puspa Swara
46